Oleh
Penulis-penulis Portugis,
Belanda dan berikutnya, tidak akrab dengan aturan ini, dan sering mengucapkan
tentang “ beberapa ratu, istri dan selir” dan “anak-anak haram”. Haruslah
dipahami bahwa untuk 4 kerajaan Maluku (mungkin meniru aturan yang berlaku di
Jawa dan kesultanan Muslim lainnya), hanya ada 1 ratu, “permaisuri” yaitu Boki
Raja yang berdarah bangsawan/kerajaan. 3 istri resmi adalah putri dari keluarga
bangsawan atau aristokrat, atau bisa saja dari luar lingkaran ini, tetapi
statusnya dinaikan. Para selir berada di luar kategori ini. Anak-anak mereka,
yang biasa disebut “ haram” dapat dilegitimasi oleh penguasa, tetapi tidak bisa
menjadi calon untuk suksesi. Namun anak-anak dari istri resmi bukanlah “anak
haram”.
Dengan permaisuri dari luar
keluarga asli, garis suksesi juga tampaknya telah berubah. Sultan akan lebih
cenderung memprioritaskan putra-putranya dari pasangan kerajaannya sebagai
calon untuk para tetua/dewan tetua. Dapat
dimengerti bahwa Dewan Tetua enggan menerima pemimpin baru mereka, seseorang
dengan darah “asing”. Jadi, karena Kolano sangat sadar bahwa ia bergantung pada
4 eksekutif untuk mempermanenkan posisinya, perubahan tampaknya telah terjadi secara
perlahan dan rumit.
Sangat mungkin, bahwa Daroes
adalah seorang dari keluarga Tomagola. Pada saat Portugis tiba, dia dikirim
untuk menjemput mereka, bersama dengan Kaichil Samarau (Barros menyebutnya
‘Koliba’, Rebello menyebutnya ‘Vaidua’). Menurut Valentijn, Samarau adalah
seorang Tomagola, dan telah dikirim oleh Abulais untuk menaklukan Pulau Baru
pada tahun 1511. Dia kemudian digantikan oleh putranya, Rubuhongi dalam
kampanye melawan Portugis di perairan Seram-Ambon-Lease. Namun sebelum itu
semua, Daroes yang mengakuisisi kepulauan Banda untuk kerajaan Ternate.
Boki Raja, tentu saja memahami
aturan tradisional, pasti mengerti posisinya, dimana dia harus melawan serangan
rumit orang Ternate, tekanan dari Portugis dan ambisi ayahnya.
Kematian mendadak Serrao, tidak
lama setelah kematian Sultan, juga akibat diracun, adalah peristiwa misterius,
tetapi pastinya merupakan bagian dari jaringan intrik yang dijalin di antara
kerajaan-kerajaan Maluku. Merupakan petunjuk jelas bahwa bangsa Ternate tidak ingin
ada campur tangan dalam urusan internal mereka, baik oleh orang Tidore atau
kerajaan Maluku lainnya atau oleh Portugis. Tetapi Tidore juga tidak ingin
Portugis menjadi penasehat bagi Ratu, karena Serrao telah menolak undangan
Kolano Tidore untuk mendirikan sebuah pos perdagangan di pulaunya.
Kedatangan armada Magalhaes di
Tidore, tidak lama kemudian, menambah situasi semakin rumit. Terutama saat
penguasa Tidore bergegas menyambut mereka dan memfasilitasi pendirian pos
perdagangan dan kemudian benteng.
Kapten Portugis di Ternate,
Antonio de Britoa, merasa khawatir dengan berubahnya peristiwa ini.
Dia mulai meletakan fondasi untuk benteng pada Juni 1522, dan meminta Boki Raja
membantunya dalam percepatan penyelesaiannya. Boki Raja enggan melakukannya,
karena ia tidak ingin membuat jengkel ayahnya. Karena itu, ia tidak mendorong
orang Ternate untuk membantu membangun benteng. Situasi ini pasti membuat
frustasi orang Portugis, sehingga Brito mengambil langkah – menurut rumor, setelah dinasehati oleh Daroes
– dan “menangkap” Abu Hayat dan adik-adiknya, Dayalo dan Tabarija, bersama
rombongan mereka dan orang-orang istana lainnya, dan memenjarakan mereka di
penjara bawah tanah di benteng yang belum selesai. Boki Raja, yang pada saat serangan
Portugis terjadi, ada di bagian lain istana, bisa melarikan diri dan berhasil
tiba di Tidore. Seperti Brito katakan “ a
sua may (Abu Hayat) me fogyo, em que folgera muito de a tomar, puque me parece
que fyzera ayda grande servico a Vossa Alteza” (Sa I: 24, hal 192). Menurut
Brito, sesudah insiden ini, orang-orang Ternate mulai membantu. Dengan
kepergian Boki Raja dan penerus tahta yang sah di penjara, sekarang Daroes
adalah penguasa tertinggi di Ternate. Brito memberi tahu kepada penguasa
berusia muda (Abu Hayat), bahwa ia (Brito) ingin menjadikannya “hebat”, itulah
alasan penculikannya. Mereka juga melindungi Daroes. Namun, menurut Barros (Asia III,VII,IX), Boki Raja disarankan
ayahnya, untuk memperhatikan munculnya kekuatan Daroes, karena itu akan merusak
posisinya dan juga posisi Tidore. Dia kemudian kembali ke Ternate dan berdamai
dengan Portugis dan Daroes. Mungkin dalam periode ini, dia meminta Daroes untuk
menikahinya, dengan demikian memastikan dan menggabungkan kekuasaan formal dan
tradisional. Namun, Daroes menolak tawarannya, karena menurutnya, dia (Boki
Raja) pernah hidup bersama sebagai suami istri dengan Kaichil Latu (Rebello,
texto II, cao 5 dalam Sa, 3).
Sementara itu, saudara lelakinya
yang lain, Kaichil Mamole, yang telah diasingkan di Jailolo, sedang berusaha
untuk kembali ke Ternate. Daroes tidak menganjurkan hal ini, dengan demikian
Mamole berusaha untuk mencari sekutu lain. Kolano Tidore didapati bersedia
mendukungan usahanya (Kaichil Mamole), jika dia mencoba berusaha mencari cara
untuk menjatuhkan Daroes. Mamole mengunjungi Ternate beberapa kali, selalu pada
malam hari, untuk merekrut orang-orang yang akan mendukung niatnya. Pada salah
satu kunjungan malam itu, ia disergap oleh para perampok dan dibunuh. Ini
menimbulkan kecurigaan di antara orang-orang Ternate, yang curiga Daroes telah
mendukung aksi tersebut. Dilihat dari dokumen-dokumen Portugis, Daroes tidak
bersalah dan dilindungi oleh Portugis, namun demikian ia menjadi titik fokus
intrik yang ditujukan kepadanya.
Kolano Tidore mengintensifkan usahanya
untuk menyingkirkan Brito,dimana ia didukung oleh Kolano Jailolo. Itu akhirnya
berujung bentrok, saat junk-junk dari Banda tiba di Tidore, untuk mendapatkan
cengkih. Banda sejak awal abad ke-16 dianggap berada dalam lingkup kekuasaan
Ternate, jadi seharusnya datang ke Ternate. Kapten Portugis tersinggung dengan
tindakan orang Banda, dan dia ingin menyatakan perang terhadap Tidore. Portugis
telah mendirikan pos dagang di Banda dengan persetujuan Ternate, dan dengan
demikian, posisi mereka akan terancam, jika kepentingan Ternate diabaikan. Boki
Raja diberitahu, bahwa dia harus mengambil langkah. Dia menyadari dirinya
kembali dalam posisi genting; di satu sisi, dia tidak bisa menolak untuk
membantu Portugis, karena anak-anaknya masih disandera, tetapi dia juga tidak
bisa bertindak melawan ayahnya
sendiri. Jadi dia berusaha untuk
menunda-nuda konfrontasi militer. Tapi apa pun yang dia coba, itu tidak akan
banyak membantu. Titik balik telah terjadi, dan relasi Ternate – Tidore –
Portugis, dengan kerajaan-kerajaan lain serta figur-figur yang berada di sisi
masing-masing sekutu mereka sendiri, semakin memburuk. Sejak saat itu Antonio
de Brito memulai perang pada tahun 1523 hingga Baab Ullah menjadi Sultan –
selama 45 tahun – Maluku terus menerus dalam kekacauan dan Portugis selalu kalah, bahkan jika untuk
jangka pendek, mereka mungkin nampaknya bisa menguasai situasi.
Sumber gambar : Buku Bartholemeus Argensola |
Para Kapten datang dan pergi.
Brito punya banyak masalah sehingga dia diminta untuk diganti. Penggantinya,
Garcia Henriquesb, tiba pada tahun 1524 dan berhasil membuat
perjanjian damai dengan Tidore. Tapi, ketika Kolano Al Mansur meninggal pada
tahun 1526 (juga karena racun), penerusnya, Kolano Mir, melakukan peperangan
lagi.
Tampaknya dengan kamatian
ayahnya, peran Boki Raja mulai berkurang. Ia sekarang hanyalah Ratu yang telah
menjanda dan seorang putri yatim piatu. Kesedihannya semakin bertambah,
putranya, Kolano Abu Hayat meninggal di penjara, dan kontroversi segera muncul
antara Daroes dan Boki Raja, nampaknya soal suksesi. Kemungkin besar juga
tentang intervensi Portugis dalam masalah-masalah Ternate dan kecenderungan
Daroes untuk mendukung mereka. Karenanya, Garcia Henriques, yang dibantu oleh
orang-orang Ternate, melancarkan perang melawan Tidore. Aliansi ini, mungkin
disebabkan oleh kedatangan dari armada
Spanyol lainnya di Tidore, dimana mereka disambut hangat oleh penguasa Tidore.
Tidore yang kuat akan menjadi ancaman bagi Ternate dan Portugis.
Aliansi ini akan bertahan, jika
Goa tidak mengirim beberapa figur yang tampaknya hanya ingin memperkaya diri
sendiri bukan untuk kepentingan kerajaan Portugis, dan terlebih lagi tidak
berniat untuk merawat hubungan baik, dengan orang-orang Ternate dan
kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Yang pertama dari beberapa yang datang adalah
Dom Jorge de Menezesc yang tiba pada tahun 1527, dan yang akan
diingat dalam sejarah Maluku sebagai
manusia bengis. Sangat menarik bahwa Joao de Baros mengomentari hal ini :
Dos
excessos deste capitao succedeu a tragedia que vera depois, e que sempre soe
acontecer quando os principes ou ministros seus tratam sem clamencia e
humanidade aos vencidos, fazendo-se senhores dos corpos e nao das vontades.
Porque nenhum presidio nem prisao ha que mais faca ter os suditos em onbedience
e alegre servidao, que o suave tratamento; e pelp contrario, por nenhum caminho
se perdeu e se arriscam mais os Estados, e vem a dominacao, que por asperenza e
insolencia dos senhores para os vassalos, mormento quando sao de outra nacao,
ou novamente ganhados12
Begitulah
tindakannya sehingga orang-orang Ternate memboikot Portugis dengan memotong
jalur suplai makanan dari benteng dan komunitas mestizo di sekitarnya, sehingga
kelaparan mulai timbul. Menezes membalas dengan menyerang beberapa desa dan
menangkap 2 kepala suku penting, yang dia tuduh telah membunuh babi piarannya.
Tangan kedua laki-laki itu dipotong, dan mereka diusir untuk melarikan diri,
tetapi beberapa anjing liar dilepaskan mengejar dan menyerang mereka.
Orang-orang yang tak bisa membela diri itu tenggelam di laut dengan menyedihkan.
Penulis-penulis
Portugis sering menggambarkan kejadian ini, tetapi sekali lagi Joao de Barros
memberikan pendapatnya dan petunjuk, tentang perubahan sikap orang-orang
Ternate yang berhadap-hadapan dengan Portugis : “Dalli por diante teve Cachil Daroes mortal odio a D. Jorge, e aos
Portuguezes, e desejava de os matar a todor, e livrar a terra de seu jogo”. Saat
Cachil Daroes memprotes kekejaman ini, ia dipenjara oleh Menezes, dan setelah
itu kepalanya dipenggal (Barros, Dec. IV, II, XX).
Bahkan
hal ini tak diterima oleh Boki Raja, dan dia bersama para menterinya
meninggalkan tempat mereka, yang terletak di dekat benteng, dan pindah ke
tempat yang disebut “ Turuco”, yang terletak 1 mil dari Ternate. Dia kecewa
dengan Portugis13. Namun, situasinya masih begitu menyedihkan, karena
kedua putranya yang lain, Dajalo dan Tabarija masih terpenjara di benteng
Portugis.
Seorang
Kapten baru tiba di tempat itu pada tahun 1530, tetapi hal itu tidak
memperbaiki situasi. Meskipun Goncalo Pereirad mengirim Dom Jorge de
Menezes sebagai tawanan ke Goa, dia sendiri adalah orang yang bahkan lebih
keras dan juga serakah. Dia mengenakan pajak atas penjualan cengkih, dan itu
menciptakan tekanan terakhir untuk bertindak melawan Portugis.
Dengan
tidak adanya otoritas Ternate yang kuat, Portugis dapat melanjutkan tindakan
represif mereka. Tetapi pada titik inilah, Boki Raja tampil di “panggung”
sebagai pemimpin, dan tidak ada keraguan, bahwa ia pasti telah diterima oleh
rakyatnya seperti itu. Menurut Diogo de Couto (Dec. IV,VIII,II), ia
mengumpulkan para menterinya dan rakyatnya dan berbicara kepada mereka,
mempengaruhi mereka untuk mengangkat senjata dan melawan Portugis. Sebuah serangan ke benteng terjadi dan Goncalo
Pereira terbunuh. Benteng Portugis dengan demikian tanpa Kapten, tetapi para casado dengan bebas menunjuk pemimpin baru
mereka sendiri, yaitu Vicente de Fonsecae, yang pasti menjadi
pemimpin factorij (gudang). Couto berpendapat bahwa ini tidaklah sah, karena
Wakil Raja di Goa tidak mengetahui tentang peristiwa itu, dan seolah-olah ia
(Couto) menyalahkan Boki Raja atas apa yang terjadi. Fonseca sendiri dalam
sepucuk suratnya kepada Raja Portugis, menyampaikan semua laporan peristiwa
itu; dia (Fonseca) tidak menyebutkan peran Boki Raja (Sa I, 32, hal 228-245;
Couto IV, VIII, I)
Dari
sudut pandang kaum Ternate, dan Boki Raja, itu bukanlah urusan mereka. Boki
Raja memberi hak Kapten baru untuk berdagang, tetapi juga meminta
putra-putranya dan rombongan mereka untuk dikembalikan kepadanya. Saat Fonseca
menolak, Boki Raja menjadi marah dan memanggil semua penguasa Maluku untuk
datang membantunya. Dia pasti wanita yang berpengaruh, status kebangsawanan dan
posisinya merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Semua Kolano datang untuk
mendukungnya, dan blokade terhadap benteng benar-benar terjadi, memotong
kembali jalur suplai persediaan makanan, dan kali ini dari semua jalur, “menjauhkan”
semua pulau-pulau di sekitar Ternate. Hal itu pasti memberi tahu kepada
Portugis dengan jelas, apa perasaan sebagian orang Maluku, dan Fonseca tidak
ragu membebaskan putra-putra Boki Raja. Dengan demikian, Dayalo kemudian
menjadi Kolano, tetapi sayangnya, bagi ibunya dan kerajaan Ternate, dia berubah
menjadi pribadi yang berkarakter lemah. Tahun-tahun dalam kurungan tanpa
pelatihan kepemimpinan, mungkin membuatnya seperti itu; dia lebih tertarik pada
urusan hati daripada urusan negara. Segera muncul kritikan dan kegaduhan
terdengar di antara penduduk, dan bahkan Boki Raja tidak bisa melindunginya.
Akhirnya ia (Dayalo) meninggalkan Ternate dan melarikan diri ke Tidore.
Masih
ada putra bungsu dari Boki Raja, bernama Tabarija, saat itu (tahun 1531) ia
berusia sekitar 13 tahun. Pasti dalam periode ini, Boki Raja sebenarnya adalah
penguasa, otoritas dan eksekutif tertinggi. Dia menikah lagi dengan Pati
Serang, yang merupakan seorang Jou-Gugu (Perdana
Menteri), kemungkinan besar berasal dari salah satu keluarga Fala Raha. Sayangnya tidak ada satu pun
orang Portugis atau Valentijn yang memberi tahu kita, dari keluarga mana ia
berasal.
Situasi
pasti relatif tenang sampai tahun 1534. Kapten baru, Tristao de Ataidef tiba pada tahun 1533, dan seorang lagi yang
menjadi contoh buruk pilihan Portugis, untuk menemukan orang yang tepat untuk
menjadi Kapten dari benteng-benteng yang penting. Dia tampaknya telah menjadi
laki-laki bengis dan untaian kesabaran terakhir orang-orang Maluku menjadi
hancur selama kepemimpinannya. Salah satu tindakan awalnya adalah menyerang
Bacan dan Jailolo, mungkin untuk mengamankan jalur suplai makanan.
Dia mungkin merasa bahwa
Boki Raja terlalu kuat dan berpengaruh, dan dengan alasan pengkhianatan tingkat
tinggi, Boki Raja dipenjara bersama Kolano Tabarija, Pati Serang, para menteri
lainnya dan rombongan mereka. Mereka dibelenggu dan dikirim ke Goa pada tahun
1535. Untuk menggantikan Kolano Tabarija Kapten Portugis itu menunjuk putra
Bayan Sirullah yang lain, saat itu berusia sekitar 12 atau 13 tahun, yang ibunya
adalah orang Jawa. Tidak jelas apakah ibunya ini istri sah atau selir, tetapi
dia pasti telah diterima oleh kerajaan ketika Bayan Sirullah meninggal. Sebagai
Jou-Gugu, Ataide menunjuk Kachil
Samarau. Jelas, bahwa tidak ada konsultasi dengan Dewan Tradisional Kerajaan
Ternate. Tetapi perbuatan-perbuatan “bermartabat” ini, hanya meningkatkan
kemarahan yang sudah sangat sensitif orang-orang Maluku, terkhususnya mengirim
para penguasa yang sah sebagai penjahat dalam belenggu ke Goa. Seluruh Maluku
bangkit dalam pemberontakan, seperti yang dikatakan Galvao dalam Tratado-nya (Jacobs, A Treatise, hal 225), “dari kepulauan Papua
hingga Jawa”. Portugis telah berhasil dalam 25 tahun untuk mengubah diri mereka
sendiri, dari teman sejati, menjadi musuh bebuyutan. Dan seperti yang juga
dikatakan dalam Tratado, orang-orang
Maluku menjadi kerugian total bagi Portugis. Rasa dendam itu diambil oleh kapten
bertipe lain, Antonio Galvao, untuk membalas perasaan sakit hati dan melakukan
serangan merajalela selama bertahun-tahun.
Kisah tentang
Tabarija, tentang ibunya, dan para menteri yang ditawan di Goa, sering
diceritakan dalam tulisan-tulisan orang Portugis, khususnya tentang fakta bahwa
Tabarija menjadi Kristen pada tahun 1537, setelah dia berteman baik dengan seorang
pejabat Portugis, Jurdao de Freitas. Pertemanan dengan orang Portugis ini,
pasti mengejutkan bagi nasib orang-orang buangan Ternate. Dia (Jurdao de
Freitas) mengajukan banding atas nama mereka kepada Gubernur Nuno da Cunhag,
untuk memperbaiki akomodasi dan uang saku untuk makanan dan pakaian, dan tidak ada
keraguan bahwa dia membantu mereka dalam banyak hal. Namun, dia mungkin juga
adalah orang ambisius, dan berharap memperoleh posisi Kapten benteng Portugis.
Dia ingin menikahkan keponakannya dengan Tabarija, dan menjadi ayah baptisnya
bersama dengan gubernur, ketika Tabarija dibaptis dan menggunakan nama Dom Manuel. Dia pasti senang akhirnya
menerima doacao (tanah/wilayah),
sehingga dia menjadi pemilik “wilayah di antara pulau-pulau Buru dan Papua”
yang dihargai sebagai “penduduk Ternate” oleh para Kolano Ternate.
Sangat sedikit yang
dikatakan tentang Boki Raja di tahun-tahun pengasingannya. Dia pasti bosan
dengan seluruh situasi itu, dan sangat menarik bahwa dia tidak menentang pengkristenisasian
putranya, yang dia tahu masih menjadi “Sultan” di mata orang-orang Ternate.
Entah dia menyerah pada harapan untuk kembali ke Ternate dan mengklaim tahta
untuk putranya, atau dia mungkin menyetujui konversi putranya, agar situasi
mereka di Goa semakin membaik. Ini jelas dari tulisan Portugis, bahwa setelah
pembaptisan itu, uang saku dinaikan. Boki Raja, pada saat itu pastilah berusia
sekitar 36 tahun, dan menurut tradisi adalah seorang Nyonya.
Situasi mereka memang
berubah ketika Gubernur baru, Martim Affonso de Sousah, mengambil
alih jabatan itu pada tahun 1542. Dia menghormati mereka dan segera mengatur
bahwa seluruh rombongan orang Ternate, akan kembali ke tanah air mereka.
Kembalinya mereka didahului oleh penunjukan Jurdao de Freitasi
sebagai Kapten Benteng Portugis di Ternate. Freitas, pada saat tiba kemudian
menangkap Hairun dan membawanya sebagai tawanan ke Goa dengan armada yang ia
tumpangi bersama. Dari Goa, Tabarija, Boki Raja dan rombongan tiba di Malaka,
sementara armada dari Ternate datang dari arah yang berlawanan. Di sana, di
Malaka, takdir “mempermainkan” Tabarija dan Boki Raja, dan sepertinya Hairun
membantu hal itu. Malam sebelum keberangkatan ke Ternate, Tabarija (Dom Manuel)
diracun, menurut rumor didalangi oleh Fernao Moreno, yang adalah teman Hairun
(Sa 3/Rebello, Texto I, c.6: “ esto se
disse, mas nao se teve por certo”). Namun, Freitas hadir ketika Tabarija
meninggal; dia yang mengambil pengakuan dan mendesaknya membuat wasiat, dimana ia
(Tabarija) “menyerahkan” kerajaan Ternate kepada Raja Portugis sebagai
penggantinya (Sa, 2, hal 19-20).
Dokumen yang aneh ini, disusun
oleh penguasa beragama Kristen dari kerajaan Islam, bisa menjadi dukungan
penting bagi Portugis untuk mengklaim dunia Maluku, jika mereka memainkan kartu
mereka dengan benar – yang dilakukan, untuk sementara waktu, oleh Jurdao de
Freitas, orang yang diberikan salinan, ketika Boki Raja dan Pati Serang
kembali. Freitas mengumpulkan para menteri kerajaan Ternate, para pejabat
benteng Portugis, penduduk Ternate dan orang Portugis – komunitas Mestizo. Dia
membaca wasiat itu, dan menyatakan dirinya sebagai eksekutif (gubernur)
kerajaan Ternate atas nama Raja Portugis, sementara Boki Raja tetap menjadi
penguasa Ternate. Pasti ada banyak kesukacitaan, dan para imam Katolik, yang
telah aktif di daerah itu, sekarang bisa menuai panen dari apa yang mereka
tabur, karena banyak orang Ternate kemudia menjadi Kristen.
Namun, Hairun yang telah dikirim
ke Goa, tiba di sana dan diterima dengan baik oleh Gubernurj, yang
selanjutnya menyatakannya sebagai penerus yang sah tahta kerajaan Ternate.
Gubernur bahkan melangkah lebih jauh seperti menyebutnya “Rei de Maluco” di
hadapan “Veadores, Fidalgos, Capitaes,
Officia de Fazenda e Justica em sala publica – com condicao, e declaracao por
esse que recebia aquelle Reyno da mao d’ El Rey de Portugal.........”. Hairun
sekarang bisa kembali ke Ternate kapan saja dia ingin kembali. Sebelum pergi
dia “jurou nas maso do Governador de ser
sevidor, e vassalo d’ El Rey de Portugal, elle, e todos os que delle herdassem
aquelle Reyno, o que tudo se fez com o mor apparato, e solemnidade que pode
ser” (Couto, VI, I, IV).
Tidak lama kemudian, Hairun
memulai perjalanan pulang ke Ternate, dan tiba di sana pada tahun 1546.
Setibanya di sana, dia berdamai dengan Boki Raja, Pati Serang dan para pejabat
Ternate lainnya. Tapi dia membawa bersamanya surat resmi dari Wakil Raja di
Goa, tentang status posisinya, dan segera kemudian dia diangkat kembali sebagai
penguasa, sementara Freitas ditangkap dan dikirim pulang ke Goa. Kerajaan
Ternate kembali lagi menjadi kerajaan Islam, dan meskipun Hairun menerima
kekuasaannya dari tangan gubernur Portugis, dan bukan karena aturan tradisi,
dan menjadi pengikut Raja Portugis, Portugis gagal menggunakan momen ini, dan
memantapkan kekuatan mereka secara permanen di Maluku.
Sedangkan bagi Boki
Raja, suaminya dan rombongan pengiringnya, tidak butuh lama untuk Hairun menyita
semua properti yang Boki Raja miliki sebagai pasangan utama dari almarhum
ayahnya. Dia (Hairun) mungkin takut akan posisi dan kekuasaan wanita itu. Ia
(Hairun) bukanlah putra dari permaisuri, mungkin salah satu istri yang sah, dan
menjadi penguasa bukan karena pilihan dari Dewan Tetua, tapi karena situasi
kritis, maka Portugis menunjuknya. Jadi dia memutuskan untuk menggunakan semua
cara untuk memastikan dan memantapkan posisinya. Boki Raja nampaknya menjadi
ketakutan utama Hairun, dan dengan demikian menjadi target utamanya. Boki Raja
tidak diberi nafkah penghidupan, dan dia mungkin meninggal dalam keadaan
menyedihkan, jika bukan karena Balthasar Veloso, seorang morador, yang menikah
dengan seorang putri mendiang Sultan Bayan Sirullah. Wanita itu telah menjadi
Kristen setelah menikah dan dikenal dengan nama “Dona Catharina”. Mereka
membawa Boki Raja dan merawatnya.
Itu terjadi pada
tahun 1546, saat Fransico Xavier tiba di Ternate untuk menyebarkan Injil. Boki
Raja bertemu dengannya, dan akhirnya menemukan penghiburan bagi persoalan
hidupnya. Boki Raja memeluk agama Kristen pada tahun 1547, dan dibaptis oleh Xaverius
sendiri, dan menggunakan nama “Dona Isabel” (Sa, I, 77, hal 580). Tidak banyak
lagi yang diketahui tentang Boki Raja: terakhir kali, dia disebutkan dalam
permohonan Balthasar Veloso, yang menulis kepada Wakil Raja, menyampaikan
padanya tentang nasib Boki Raja dan meminta nafkah hidup untuk Boki Raja.
Permohonan lainnya dibuat oleh Fransiscus Xaverius kepada para pater di Goa,
yang ditulis dari Malaka pada tahun 1549 (Sa I, 85, hal 611-612). Xaverius
meminta bantuan atas nama “Ratu” agar bantuan itu dikirim melalui Balthasar
Veloso.
Boki Raja tidak
pernah disebutkan lagi, dan hanya dapat diduga bahwa mungkin tetap hidup oleh
kemurahan hati keluarga Mestizo, dilupakan oleh rakyatnya sendiri, dan sekali
lagi, seperti perempuan lain yang dalam dokumen-dokumen Portugis, hanya berupa
“ wajah tanpa nama”.
d)
Penutup
Berkaca pada sosok Niachile Puka Raga , “
Ratu” atau lebih tepatny, Boki Raja, orang hanya dapat menyimpulkan bahwa dia
“terperangkap” di arus lalu lintas yang menyapu laut Maluku yang tak berdasar, di
saat-saat ketika para Kolano dari 4 kerajaan berjuang untuk politik kekuasan. Pengaruh
dari luar daerah – Islam yang dibawa oleh
pedagang dari Gujarat, dan daerah lainnya, serta Kristen oleh Portugis – masing-masing
berkontribusi pada perubahan yang lambat, tetapi mau tidak mau terjadi di
wilayah kepulauan Maluku yang luas. Tradisi dan pengaruh luar saling bersaing
demi kelangsungannya; campur tangan politik oleh Portugis berkontribusi pada
pergolakan paruh pertama abad ke-16.
Akibatnya bagi Boki Raja, benar-benar tragis.
Dimaksudkan untuk menjadi jembatan antara 2 kekuatan ambisius, Tidore dan
Ternate, dan diwujudkan untuknya secara pribadi oleh ayah dan suaminya, mimpi
ini tidak terwujud. Dunia kekuasaan, politik dan kekuasaan, serta intervensi
dari luar, menyebabkan kesenjangan antara Ternate dan Tidore, dan dengan
kerajaan-kerajaan lainnya bahkan lebih menonjol. Bahkan, sebagai Ratu penguasa
yang Muslim, dia telah mengizinkan putranya, Sultan yang sah, untuk berpindah
agama menjadi Kristen. Dia sendiri, dan pejabat lainnya yang mengikutinya,
dengan demikian menjadi terasing keluarga mereka dan kerajaan. Jadi dia hanya
bisa menghilang dalam sejarah, tidak diingat oleh siapa pun, bahkan dalam adat
dan pengetahuan orang lokal, dan hanya secara spordis disebutkan dalam
dokumen-dokumen Portugis. Namun, pada momen-momen saat rakyatnya tanpa
pemimpin, dia muncul dan memberikan tanda bagi Jihad, pemberontakan umum, yang menguncang daerah “dari Papua
hingga Jawa”, dan memantapkan Ternate sebagai kekuatan, serta menandai awal
dari kejatuhan Portugis.
Adapun Portugis, mereka sama-sama terjebak
dalam kontrasnya angin arus lalu lintas, berputar-putar hanya di wilayah
tersebut. Sepertinya mereka tidak menyadari perubahan yang terjadi, bahwa Dunia
Maluku “terbentuk” dari pulau-pulau yang hanya dikenal sebagai tempat lahirnya
cengkih dan pala, menjadi 4 kerajaan merdeka, yang kehadiran dan keberadaannya
terasa di seluruh Nusantara. Mereka tidak menyadari bahwa kedatangan mereka dan
kehadirannya, sebagai katalis untuk memutuskan kerajaan mana yang akan menjadi
yang tertinggi dan terkuat.
Berniat untuk berdagang dan memonopoli, serta
memerangi Islam, mereka gagal memahami bahasa halus diplomasi yang berlaku di
dunia berbahasa Melayu, dan dengan demikian percaya bahwa tawaran vasal bagi
raja asing harus dipahami secara harfiah. Sama berlaku juga untuk upaya dakwah
mereka pada saat Islam sedang berkembang di daerah tersebut. Bukanlah hal
penting bagi orang kebanyakan untuk berpindah agama, tetapi kepala negara
haruslah seorang Muslim.
Tetapi dalam analisis terakhir, Portugis memang menyumbang sesuatu yang baru, yang memiliki efek jangka panjang, khusus dalam ruang lingkup terbatas. Wasiat, yang disusun oleh Sultan Bayan Sirullah, kemungkinan besar atas saran dari Fransisco Serrao, dan diulangi oleh Tabarija (Dom Manuel) atas saran dari Jurdao de Freitas. Namun, Portugis gagal memahami momen yang bisa membuat Ternate menjadi bagian integral dari kekaisaran Portugis. Di sisi lain, Hairun, setelah memantapkan dirinya sebagai penguasa, memahami takdir yang tak berubah (dalam orang-orang Ternate atau Portugis), menyusun sebuah wasiat, dimana ia membanggakan putra sulungnya, Baab Ullah, untuk menjadi pewaris tahta yang sah.
Tetapi dalam analisis terakhir, Portugis memang menyumbang sesuatu yang baru, yang memiliki efek jangka panjang, khusus dalam ruang lingkup terbatas. Wasiat, yang disusun oleh Sultan Bayan Sirullah, kemungkinan besar atas saran dari Fransisco Serrao, dan diulangi oleh Tabarija (Dom Manuel) atas saran dari Jurdao de Freitas. Namun, Portugis gagal memahami momen yang bisa membuat Ternate menjadi bagian integral dari kekaisaran Portugis. Di sisi lain, Hairun, setelah memantapkan dirinya sebagai penguasa, memahami takdir yang tak berubah (dalam orang-orang Ternate atau Portugis), menyusun sebuah wasiat, dimana ia membanggakan putra sulungnya, Baab Ullah, untuk menjadi pewaris tahta yang sah.
Wasiat-wasiat dan aturan tentang hak anak
sulung, bersama dengan aturan tradisional tentang suksesi, yang harus disetujui
oleh Para Tetua dan Fala Raha, menjadi bagian dari tradisi
baru
===== selesai =====
Catatan Kaki
:
12.
Dalam edisi
tahun 1955, yang dibuat oleh Agenda Geral das Colonias of Portugas, bagian ini
ditempatkan di antara tanda kurung besar/siku-siku atau [ ]
13.
Menurut
tradisi (dan sebagian diulang oleh Valentijn), pemukiman paling kuno dari
Kolano Ternate adalah Tabona (dekat
puncak gunung), yang kemudian berpindah ke Foramadiahe
(di lembah) dan kemudian ke Sampalu (pesisir)
dan teluk, Akerica. Tempat ini berada
di tempat yang disebut Gamalama (Gamlamo),
yang mana Portugis mendirikan benteng mereka (Kastela). Tempat-tempat itu, semuanya berlokasi di bagian selatan
dan barat daya pulau. Tucuco (Tuluko?)
lebih ke arah pesisir tenggara, dan masih menjadi bagian penting wilayah Sultan
hingga sekarang. Namun, menurut tradisi, Sultan Hairun dan Baab Ullah, tinggal
di Foramadiahe, dimana kuburan mereka ditemui, serta juga reruntuhan bangunan
batu. Sayangnya, saat penulisan artikel ini, saya (penulis) tak dapat
memperoleh salinan disertasi doktoral dari Chr. F. Van Fraasen dari Universitas
Leidenk, yang mengurai tentang klasifikasi masyarakat Ternate.
Catatan
Tambahan :
- Antonio de Brito menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1522- 1525
§ F.S.A. de Clerq, Ternate: The Residency and It’s Sultanate, (edisi
terjemahan B Inggris), hal 107
§ Muridan Satrio Widjojo, CrossCultural Alliances-Making and Local
Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780 – 1810, disertasi,
Universitas Leiden, 2007, apendix 4, hal 265
- Garcia Henriques menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1525- 1527
- Dom Jorge Menezes menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1527- 1530
- Goncalo Pereira menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1530- 1532
- Vicente de Fonseca menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1532- 1534
- Tristao de Ataide menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1534 – 1536
- Nuno da Cunha menjadi Gubernur Portugis(sebagai wakil Raja Portugis) di Goa pada 1529 – 1538
- Martim Affonso de Sousa Gubernur Portugis(sebagai wakil Raja Portugis) di Goa pada 1542 - 1545
- Jurdao de Freitas menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1544 – 1547
- Mungkin Gubernur yang dimaksud adalah Joan de Castro yang menjabat 1545 – 1548
- Disertasi doktoral dari Chr. F. Fraasen yang dimaksud oleh Paramita R Abdurachman berjudul Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel; van Soa-organisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesie (2 volume), Universitas Leiden, 1987
Bibliografi
- Blagden, C O .
'Two Malay Letters from Ternate in the Moluccas written in 1521 and
1522', Bulletin S.O.A.S., 1930: 87-101. - Bocarro, Antonio, Historia de Maluco no tempo de Goncalo Pereira Marramaque e Sancho de Vasconcellos. BNL, Fundo Geral No. 474: Relacao dosfeitos eroicos em armas que Sancho de Vasconcelosfez nas paries de Amboino . . ., in A. B. de Sa Documenta(ao . . ., vol. 4.
- Campen, C. F. H., 'Enige mededelingen over de Alfoeren van Hale-ma-hera', BK1, XXXII (4thSer., VIII/2), 1884: 162-97.
- Clerq, F. S. A. de, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, Leiden, 1890.
- Couto, Diogo do, Decadas da Asia, 14 vols (collected edition), Lisboa, 1778-88.
- Encyclopedic van Nederlandsch Indie, 2nd edition, 1917.
- Jacobs, Hubert, Th. Th. M.A Treatise on the Moluccas, Rome, 1971. Documenta Malucensia (3 vols), Rome, 1971-1983.
- Naidah. 'Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen Maleischen tekst, beschreven door den Ternatan Nadiah' (met vertaling en aanteekeningen door P. van der Crab), BKI, XXVI (4de Volgreeks, D1.2), 1878, pp. 381-493.
- Pigafetta, Antonio and Maximilian Transylvanus, First Voyage around the World and De Moluccis lnsulis (Filipiniana Book Guild), Manila, 1969.
- Polman, Katrien, The North Moluccas. An Annotated Bibliography (with an introduction by Ch. van Fraassen), The Hague, 1981.
- Rebello, Gabriel, Informacao Sobre as Moluccas, Texto II, B.N.L.: F. G. Caira 199. Documento 41, in A. B. de Sa, Documentacao . . ., vol. 3.
- Sa, Artur Basilio de Documentacao para a historia das Missoes do Padroado Portugues do Oriente, Insulindia (5 vols) Lisboa, 1954-58.
- Schurhammer, G., Franz Xaver, Sein Leben und seine Zeit. 2nd vol. (1541-52), Freiburg, 1963-
- Valentijn, Francois, Ouden Nieuw Oost-Indien (Vol. I), Dordrecht, 1724.
- Visser, Leontine, E. 'Mijn
Tuin is Mijn Kind. Een antropologische studie van de droge rijstteelt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar