Minggu, 26 Januari 2025

Mantra [suku] Alune: Kontinuitas atau diskontinuitas dalam seni verbal?

 

(bag 2-selesai)

 

[Margareth Florey]

 

3.          STRUKTUR MANTRA TRADISIONAL

Leksikon

Penutur yang lebih tua menyatakan bahwa bagian-bagian leksikon mantra, khususnya yang dimiliki oleh seseorang, tidak jelas dan sulit diterjemahkan. Kata-kata tersebut dikatakan milik pemilik mantra dan oleh karena itu hanya pemiliknya yang memiliki akses penuh terhadap makna unsur leksikalnya. Kesulitan penerjemahan bahasa ritual juga diakui dalam bahasa-bahasa lain di Indonesia timur, seperti Tobelo (Taylor 1988) dan Roti (Fox 1986b). Ketidakjelasan beberapa mantra [suku] Alune menyediakan sarana untuk melindungi pengetahuan, dan dapat ditingkatkan melalui penggunaan leksem yang oleh orang Alune modern dianggap sebagai leksem kuno sehari-hari dalam arti metaforis untuk mengaburkan makna, atau leksem dari register rasa hormat, dan melalui penggabungan kata-kata pinjaman sesekali, yang paling sering dipinjam dari bahasa tetangga mereka, [suku] Wemale.

Paralelisme

Teknik paralelisme atau pasangan leksikal telah dijelaskan secara luas untuk komunitas etnolinguistik Indonesia timur. Forth (1996) telah menguraikan penggunaan “pasangan leksikal biasa” di antara suku Nage di Flores. Paralelisme lebih dikenal dalam tuturan ritual, khususnya sebagaimana telah dibahas melalui karya Fox (1971, 1986a, 1986b, 1988, 1992), yang telah mencatat banyak contoh himpunan pasangan untuk Pulau Roti. Fox menyatakan bahwa “unsur-unsur semantik meliputi himpunan diadik yang ditentukan; himpunan-himpunan ini terstruktur dalam formula frasa-frasa; dan sebagai hasilnya, komposisi umumnya terdiri dari produksi baris-baris puisi paralel” (1971: 215). Van Engelenhoven (segera terbita) telah menguraikan fenomena ini di antara suku Leti di Maluku barat daya, sementara Lewis (1992: 50) telah mencatat penggunaan “unsur diadik dari pasangan-pasangan komplementer” di antara suku Ata Tana ’Ai di Flores timur.


Di antara suku Alune, pasangan leksikal tidak mencapai kompleksitas yang dijelaskan untuk komunitas ini, namun data menunjukkan bahwa paralelisme merupakan ciri dari beberapa kategori pengetahuan oratoris khusus suku Alune. Paralelisme tidak terjadi dalam mantra yang dimiliki dan digunakan oleh individu. Mantra-mantra ini dibisikkan atau “ditiup” ke seseorang atau objek atau zat lain yang digunakan untuk membantu mencapai hasil yang diinginkan – sebuah teknik yang memastikan bahwa mantra tersebut tetap tidak dapat diakses oleh siapa pun yang mendengarkan. Karena tidak diucapkan dengan suara keras, mantra-mantra ini tidak memberi individu kesempatan untuk menunjukkan keterampilan verbal, namun kata-kata tetap sangat penting karena kemanjurannya sebagian bergantung pada pembacaan mantra yang akurat.

Namun, paralelisme ditemukan dalam ucapan mantra yang sangat formal yang dimiliki oleh seorang nuru atau luma dan dilantunkan dengan suara keras selama pelaksanaan ritual oleh orator yang terampil. Di sini, para orator menunjukkan kemampuan pertunjukan dan keterampilan linguistik mereka. Contoh paralelisme dalam mantra yang digunakan oleh seorang nuru atau luma diberikan di bawah ini.

Sejumlah contoh pasangan leksikal ditemukan dalam contoh (1), mantra yang dilantunkan selama pembaruan aliansi antardesa:

lanite // tapele

bulane // lematai

Tuale // Dabike

pela // ‘wate

tetu // ‘oli

 

Dalam contoh (2), mantra yang dilantunkan untuk menenangkan leluhur, ditemukan contoh paralelisme di mana reptil dan invertebrata secara teratur dipasangkan, seperti juga mamalia yang dapat dimakan (babi dan kuskus) dan mamalia yang tidak dapat dimakan (kucing dan anjing). Pasangan leksikal tersebut mencerminkan taksonomi zoologi asli dan memperkuat pengetahuan lokal tentang bahan makanan yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Mantra ini juga memasangkan barang-barang rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat.

              niane baini // obite kahite

Contoh paralelisme lainnya dapat ditemukan pada contoh (3), yaitu mantra yang diucapkan oleh seorang luma matai ketika menanam padi.

              tibu metene // tibu ‘ namane

              tenine // ole

              derine // ala

Analogi

Teknik lebih lanjut adalah dengan membuat analogi antara perilaku satu aspek lingkungan dan aspek lainnya, yang menunjukkan pemahaman yang komprehensif tentang ekologi lokal. Dalam contoh (1), mantra yang digunakan selama pembaruan aliansi antardesa, dibuat analogi antara kematian sebagai konsekuensi bagi manusia karena memutuskan aliansi, dan sebagai konsekuensi bagi serangga lali beleni karena terbang ke dalam api. Dalam contoh (5), mantra yang digunakan dalam berburu kuskus, disebutkan tentang semut aru inai yang hidup di pohon aru. Jika parang digunakan untuk menebang pohon ini, semut-semut akan mengalir ke tempat yang ditebang, dan dibuat analogi dengan cara pemburu menginginkan kuskus mengalir ke bawah saat dipanggil.

Mantra yang diucapkan selama penanaman padi pada contoh (3) membuat analogi antara tanaman yang berkembang biak di wilayah tersebut, seperti varietas bambu tenine dan ole serta Ensete sp., dan perkembangbiakan padi yang diinginkan. Mantra yang dibacakan saat panen padi pada contoh (4) menggambarkan analogi antara aspek alam yang tumbuh kembali tanpa campur tangan manusia, seperti pasir atau debu, dan pertumbuhan kembali padi, yang dicari sebagai hasil dari pelaksanaan ritual.

Analogi umumnya digunakan dalam mantra penyembuhan, khususnya yang digunakan untuk mengobati luka berdarah. Dalam contoh (7), menghentikan aliran darah dari luka dibandingkan dengan tindakan larva batele, yang mengunyah kulit pohon lalu berhenti dan bergerak di sepanjang pohon sebelum mengunyah lagi. Kulit pohon yang dikunyah dikatakan jatuh seperti tumpukan tinja ke tanah. Dalam contoh (6), sebuah analogi dibuat antara pelangi yang turun ke tanah dan tingkat keparahan penyakit perut yang berkurang.

Sinonim

Kebutuhan akan kemampuan linguistik yang canggih dalam penggunaan mantra lebih lanjut ditunjukkan dengan penggunaan sinonim, sinonim yang hampir sama, atau item dari himpunan semantik yang sama. Contoh-contoh ditemukan dalam mantra pada contoh (1, 2, 5):

tetu // ‘oli

niane // ile’we

lalu // bate’

 

Pengulangan

Ciri lain yang menonjol dalam kumpulan mantra penyembuhan adalah pengulangan, yang memiliki dua bentuk. Jenis pertama, di mana seluruh mantra diulang, muncul dalam beberapa mantra penyembuhan dan dalam contoh (5), mantra yang digunakan untuk memburu kuskus. Jenis pengulangan kedua, di mana satu baris mantra diulang, dicontohkan oleh mantra penyembuhan termasuk contoh (7), di mana baris berikut diucapkan empat kali:

      batele reba taini deba lala’we

Pada kedua jenis pengulangan tersebut kita melihat bahwa pola yang paling umum adalah pengulangan yang terjadi sebanyak empat kali.

 

Pemanggilan

Seperti yang disebutkan di atas, banyak mantra yang ditujukan kepada dewa dari agama Alune asli, roh leluhur luma, atau roh yang dapat dipanggil oleh praktisi perorangan. Mantra pada contoh (1) yang dilantunkan selama pembaruan aliansi antardesa memanggil Tuale, dewa matahari, dan Dabike, dewi bulan. Tuale kembali dipanggil dalam contoh (8), mantra untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sumpah larangan. Mantra menanam padi pada contoh (3) ditujukan kepada Putilaha, roh leluhur yang konon tinggal di dalam gunung yang menyandang namanya. Ciri dari beberapa mantra yang dimiliki oleh perorangan adalah bahwa mantra tersebut bergantian antara menggambarkan tindakan roh yang dipanggil dan tindakan praktisi itu sendiri.


4. KONTEKS PERUBAHAN

Selama 50 tahun terakhir, beberapa desa Alune telah mengalami perubahan ekologi, sosial politik, dan bahasa yang luas. Dampak perubahan ini terhadap penggunaan bahasa dan pelaksanaan ritual yang melibatkan mantra kini dibahas sebagai pendahuluan yang diperlukan untuk pembahasan konteks kontemporer penggunaan mantra.

Di Maluku Tengah, sejumlah besar bahasa asli telah punah di desa-desa Kristen dan sebagian besar bahasa yang masih ada di desa-desa tersebut terancam oleh proses pergeseran bahasa menuju lingua franca regional, Melayu Ambon (lih. Collins 1982, 1983; Grimes 1991). Pergeseran bahasa telah dipercepat oleh pengenalan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, yang telah meningkatkan status Bahasa Melayu di wilayah ini dan meningkatkan domain fungsionalnya. Bahasa asli di desa-desa Muslim juga mengalami pergeseran bahasa, meskipun prosesnya lebih lambat dan penggunaan bahasa asli dilaporkan dipertahankan di antara semua generasi penutur. Namun, ada penyempitan fungsi bahasa asli desa-desa ini.

Vitalitas bahasa Alune bervariasi di antara desa-desa tempat bahasa itu digunakan. Bahasa Alune kini hampir punah di ibu kota administratif selatan Kairatu, sementara Kawa, di pantai utara Seram, telah menjadi sasaran imigrasi yang sangat intensif dari orang-orang yang berasal dari Sulawesi. Analisis terperinci tentang penggunaan bahasa di Lohiatala (Florey 1991, 1993) menunjukkan bahwa peralihan bahasa ke Bahasa Melayu Ambon membahayakan bahasa Alune di lokasi tersebut. Sebuah studi perbandingan berikutnya tentang vitalitas bahasa di tiga desa Alune menegaskan bahwa terdapat berbagai kemampuan bahasa di antara berbagai lokasi yang menggunakan bahasa Alune, dan bahwa perbedaan bahasa juga diikuti oleh perbedaan sosial dan budaya (Florey 1997). Dibandingkan dengan desa pedalaman Lohiasapalewa, kemahiran bahasa Alune jauh lebih lemah di desa-desa pesisir Lohiatala dan Murnaten, yang telah mengalami kontak berkelanjutan dengan kelompok bahasa lain selama masing-masing sekitar 40 tahun dan 100 tahun. Dalam situasi ini, Bahasa Melayu Ambon adalah bahasa pertama semua penduduk desa yang berusia di bawah 30 tahun, dan merupakan kode utama untuk interaksi antargenerasi sehari-hari. Ada beberapa kemampuan reseptif bahasa Alune yang masih dipertahankan di kalangan anak muda, namun kemampuan produktif sangat terbatas dan melibatkan pencampuran bahasa Alune dan Bahasa Melayu Ambon secara ekstensif.

 

Yang penting untuk memahami pergeseran bahasa di wilayah ini adalah sejarah konversi ke agama Kristen dan peran gereja dalam menekan penggunaan bahasa Alune. Konversi ke agama Kristen terjadi di Seram bagian barat sepanjang dekade awal abad ini, dimulai pada tahun 1925 di Lohiatala dan tahun 1935 di Lohiasapalewa. Saat ini, semua desa Alune beragama Kristen, meskipun sejumlah kecil Muslim tinggal di desa-desa pesisir Alune sebagai akibat dari migrasi dan perkawinan campur. Para misionaris pertama di desa-desa Alune mendirikan sekolah-sekolah gereja dan mengajar serta berkhotbah melalui media bahasa Melayu. Seorang pria tua di Lohiatala menceritakan pengalamannya di sekolah pada tahun 1920-an:

Jika kami berbicara bahasa Alune, gurunya marah, dia menghukum kami. Misalnya, dia menggunakan sepotong kayu untuk menopang (rahang kami) agar terbuka. Dia akan membiarkan kami berdiri seperti itu di depan kelas. Jika tidak, kami akan dipukuli sampai hampir mati. (HK)


Seorang pria muda menceritakan pengalaman serupa sekitar dua puluh lima tahun kemudian, dan menggambarkan dampaknya pada penggunaan bahasa dalam keluarganya:

Guru berkata, "Jangan terlalu banyak bicara bahasa Alune." Kami dipukuli. Akhirnya adik-adik kami, yang paling muda, karena itu kami tidak mengajarinya bahasa Alune. Namun, dia tidak bisa berbicara bahasa Alune. Itulah akibatnya. (PK)

Sejarah lisan menunjukkan bahwa para pemimpin gereja di desa-desa Alune, yang semuanya berasal dari daerah non-Alune, percaya bahwa keberhasilan konversi ke agama Kristen menuntut penghapusan bahasa Alune untuk menghapuskan agama asli dan praktik-praktik terkait. Percakapan dengan penduduk desa di Lohiasapalewa dan Lohiatala mengungkapkan bahwa ada penolakan terang-terangan terhadap kepercayaan dan praktik Alune pra-Kristen demi praktik-praktik Kristen modern (lih. Florey dan Wolff yang akan terbitb). Misalnya, mengenai penggunaan mantra, seorang penduduk Lohiatala menegaskan:

Ya, jika kita menggunakan [mantra] itu, kita bukan manusia, kita tidak dapat memilih antara satu hal dan yang lain. Tetapi karena Tuhan bekerja dengan kita, kita berperilaku dengan cara-cara tertentu dan harus membuang (pengetahuan) itu. Jika tidak, kita akan hancur, hancur! (NR)

Sentimen ini digaungkan oleh seorang pria tua lain di Lohiatala, yang menyatakan bahwa orang-orang yang masih tahu cara menggunakan mantra, “tidak percaya kepada Tuhan, tetapi percaya pada mantra mereka” (OS).

Proses perubahan sosial politik di luar gereja juga berdampak pada penggunaan bahasa dan pelaksanaan ritual yang melibatkan mantra. Beberapa aspek perubahan telah didorong oleh negara, dengan struktur politik tradisional dan peran kepemimpinan dalam komunitas Alune dicabut oleh pemerintah Indonesia dan digantikan oleh pejabat yang ditunjuk negara. Proses ini telah menyebabkan matinya peran pemimpin ritual dan orator dalam komunitas tersebut. 


Dapat diduga, perubahan lokasi desa dan gaya hidup telah menyebabkan pergeseran dari ekonomi subsisten menjadi ekonomi moneter. Untuk berhasil di dunia Indonesia modern, penekanan besar diberikan pada pendidikan. Sementara ada sekolah dasar yang menyediakan pendidikan 6 tahun di semua desa Alune, sekolah menengah atas hanya ada di lingkungan non-Alune dan, bagi kaum muda dari beberapa desa, termasuk Lohiasapalewa, berarti tinggal jauh dari rumah hingga 6 tahun. Perubahan lingkungan juga berdampak pada penggunaan mantra. Padi tidak dapat ditanam di daerah dataran rendah berawa, seperti Lohiatala, meskipun padi tetap menjadi makanan ritual yang penting. Baik di daerah dataran rendah maupun pegunungan, waktu yang tersedia untuk hortikultura jauh lebih sedikit, yang menyebabkan praktik hortikultura dimodifikasi. Mengingat perubahan ekologi dan hortikultura ini, tidak mengherankan bahwa mantra yang dilantunkan selama penanaman dan panen padi dengan cepat menghilang dari penggunaan. Kesulitan yang dialami seorang luma matai di Lohiatala dalam mencoba mengingat bentuk mantra penanaman padi yang tepat yang telah digunakannya di masa mudanya menggambarkan proses ini.

 

9. Penanaman Padi

              mata bina Ima, ei-due lomei ulat bubui Ima,

              mai leba ala, leba ala.

              ‘ele mlete lupa tibu metene, tibu ‘namane

              ei-lupa ‘ele tibu ‘namane

              wi-unui tati bei mo ne [saru ‘ene?]

              tenine hlipute tenine hlapute

              ole hlipute ole hlapute

              [tenine saru’e ‘ele....]

              ei-unui tati lupa [saru’?] asu alui, pipi alui    

Di desa-desa Alune pesisir, bahasa Melayu semakin dievaluasi secara positif melalui hubungannya dengan kemajuan. Bahasa Melayu merupakan bahasa gereja Kristen, pendidikan, pengobatan modern, dan sistem pemerintahan seluruh Indonesia (lih. Florey 1990). Sebaliknya, bahasa Alune semakin dievaluasi secara negatif melalui hubungannya dengan masa lalu: kurangnya pendidikan, retensi pengetahuan tradisional, dan praktik kepercayaan agama adat. Penganut gaya hidup suku Alune yang lebih tradisional digambarkan sebagai orang kafir dan menolak proses modernisasi. Pemicu pergeseran bahasa semacam itu telah dijelaskan oleh Gal (1979) dan Kulick (1992) untuk kelompok etnolinguistik lainnya. 

 

Pertanyaan penting tetap ada mengenai sejauh mana pengetahuan sosiokultural dan linguistik terkait yang terspesialisasi tetap ada dalam konteks pergeseran bahasa. Meskipun praktik pra-Kristen secara terbuka ditekan di antara orang Alune, ada beberapa bukti bahwa praktik tertentu yang melibatkan mantra terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Lohiatala. Bagian selanjutnya menyelidiki konteks kontemporer penggunaan mantra dalam kerangka ini dan membahas implikasinya terhadap retensi pengetahuan khusus.


5.
MANTRA DAN KONTEKS PENGGUNAANNYA PADA SAAT INI

Tinjauan proses perubahan di atas mengungkap dua hasil utama untuk pelaksanaan mantra – hilangnya banyak konteks penggunaan yang tepat untuk pengetahuan ritual dan sosial budaya, dan terputusnya transmisi bahasa Alune dan praktik ritual. Lebih jauh, kaum muda yang menghabiskan sebagian besar tahun-tahun pembentukan diri mereka di lingkungan non-Alune tidak memperoleh pengetahuan terperinci tentang ekologi Alune dan praktik sosial yang mereka butuhkan untuk memperoleh keterampilan sebagai praktisi ritual.

Mengingat skenario ini, mungkin masuk akal untuk berhipotesis bahwa semua pemanfaatan mantra menghilang. Di Lohiasapalewa, hipotesis ini didukung oleh bukti yang menunjukkan penolakan yang hampir lengkap terhadap praktik pra-Kristen. Di Lohiatala, mantra yang dimiliki oleh nuru dan luma menjadi usang. Namun, di desa ini tampaknya bentuk sinkretis Kekristenan sedang diciptakan yang memungkinkan beberapa penduduk desa untuk menggabungkan beberapa fitur praktik pra-Kristen. Kaum muda terus-menerus mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap pengetahuan tentang ilmu sihir yang mereka katakan dimiliki oleh orang-orang non-Alune dan dapat digunakan untuk menyakiti mereka, dan perhatian utama dalam hidup mereka adalah perlindungan dari cedera. Hal ini dicapai melalui penggunaan mantra, meskipun dalam bentuk yang dimodifikasi secara radikal.

 

Mantra yang digunakan untuk perlindungan diri

Pria Lohiatala yang lebih muda, mereka yang digolongkan sebagai penutur bahasa Alune yang tidak sempurna atau penutur bahasa Alune yang lebih muda dan fasih (Florey 1990, 1997), memiliki dan menggunakan mantra yang sebagian besar berfungsi untuk melindungi diri sendiri atau menyakiti musuh. Mantra-mantra ini, yang sebagian besar menggunakan leksem dari beberapa bahasa yang berbeda, diambil dari korpus tertulis yang disusun oleh pemiliknya. Beberapa mantra memiliki judul, yang diberikan di bawah ini. Bahasa judul dan mantra, jika diketahui, diberi tanda kurung. Identifikasi bahasa dalam korpus ini masih bermasalah, dan dibahas lebih lanjut di bawah ini. Bila bahasa dalam setiap mantra dapat diidentifikasi (meskipun dalam beberapa kasus masih tentatif), bahasa-bahasa tersebut dibedakan dalam teks melalui penggunaan jenis huruf yang berbeda sebagai berikut: Alune, Indonesia, Arab, bahasa yang tidak teridentifikasi. Penandaan sebagai bahasa Melayu (Ambon) menunjukkan bahwa leksem tersebut adalah bahasa Melayu Ambon atau bahwa kedua ragam bahasa Melayu tersebut tidak dapat dibedakan. Terjemahan mantra-mantra tersebut tetap tidak lengkap bila bahasa sumbernya tidak teridentifikasi, dan ini ditandai dengan serangkaian titik. Kata-kata dalam tanda kurung dalam terjemahan menunjukkan kata-kata yang disisipkan jika sesuai dengan konteksnya. Tidak ada koreksi ejaan yang dilakukan pada korpus tertulis.

10. Mantra untuk melindungi diri dari musuh [Alune]

              Pere nitu matale

              Pere musu nanawalai3

11. Mantra untuk membuat diri tidak terlihat dari musuh

              [Indonesia, Melayu (Ambon), Arab]

              bismillah balik balik mata

              mati ke bawa sono ke bawah

              balik balik kumata

12. Untuk musu korek api tujuh bisi

              [Indonesia, Melayu Ambon, Arab, bahasa yang tidak teridentifikasi]

              tenaga ofu tenaga ufa

              tenaga tenaga pasih tenaga pasih

              touba raja alambin4 ma

              cahaya taja laya dona ipala

              ipala ka gou gou

              bismillah


13. Tutup musu punya mulut

Seorang praktisi disarankan untuk mengulang mantra ini 3 kali, meniup 3 kali, menulis nama salah satu musuh di kertas dan meletakannya di telapak kaki (di dalam sepatu), kemudian menghentakan kaki 3 kali di tanah/lantai

         [Judul Ambon Melayu, Indonesia, Melayu Ambon, bahasa tidak teridentifikasi]

         gerak gerak

         tertutup mulutmu

         terancing5/c lidahmu

         hilang hati hilang jiwa

         hilang roh

         berkat Allah

14. Bela diri dari pukulan musu

              [Indonesia, Melayu Ambon, Arab, bahasa tidak teridentifikasi]

              Ruahim ruahim badan kulit

              Tembaga welauta

              Allah welaute bano

              berkatilah illah ilailah6

              berkatmu hamat darah

              sululullah

             


Mantra Penyembuhan

Meskipun sebagian besar mantra modern yang digunakan oleh orang muda berkaitan dengan perlindungan diri, kumpulan mantra tersebut mencakup tiga mantra penyembuhan, misalnya:

 

15. Beranak susa

Seorang praktisi disarankan untuk meniup mantra tiga kali di atas semangkuk air, kemudian wanita tersebut diberi dua hingga tiga sendok untuk diminum. Atau, mantra tersebut ditiupkan ke ujung rambut wanita tersebut.

              [Indonesia, Melayu Ambon]

              Allah suru malaekat Jibril

              turun dari surga

              untuk membuka pintu rahim

              dan Allah tutup segala perbuatan manusia

 

6. STRUKTUR MANTRA MODERN

Analisis mantra-mantra modern yang dimiliki dan digunakan oleh penduduk desa Lohiatala muda menunjukkan bahwa mantra-mantra tersebut berbeda dalam bentuk dan fungsi dari mantra-mantra leluhur mereka dari suku Alune. Mantra-mantra tersebut lebih pendek – panjangnya bervariasi antara 3 dan 6 baris – dan tampaknya tidak menunjukkan ciri-ciri puitis paralelisme, analogi, atau sinonim yang ditemukan dalam mantra-mantra tradisional. Ciri-ciri utama yang menunjukkan modifikasi antara mantra-mantra tradisional dan modern dibahas di bawah ini.

Leksikon

Korpus di atas mengungkapkan bahwa bahasa Alune sebagian besar telah tergeser dari leksikon mantra-mantra modern. Kemanjuran mantra-mantra tradisional dikatakan sebagian berasal dari pelafalannya yang tepat – yaitu, penggunaan bahasa Alune yang tepat. Oleh karena itu, penduduk desa Alune yang lebih tua menolak mantra-mantra modern, dengan menyatakan bahwa penggunaan bahasa selain bahasa Alune membuat mantra-mantra tersebut tidak efektif. Penduduk desa Lohiatala yang lebih muda, yang kurang fasih berbahasa Alune, enggan melafalkan mantra-mantra leluhur mereka. Karena takut akan hasil yang merugikan dari pembacaan yang tidak tepat, mereka beralih ke sumber-sumber linguistik lain. Karena nenek moyang mereka memasukkan beberapa kata serapan sebagai salah satu teknik untuk meningkatkan keburaman mantra-mantra mereka, maka kaum muda telah banyak menggunakan teknik ini dalam kumpulan mantra-mantra modern. 


Bahasa Melayu, baik sebagai bahasa pergaulan daerah maupun bahasa nasional, adalah bahasa sumber yang paling umum. Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon berbeda di semua tingkatan: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan struktur wacana (van Minde 1997). Suatu unsur leksikal atau konstruksi sintaksis, misalnya, dapat diidentifikasi sebagai bahasa Indonesia melalui keberadaan akhiran kata, morfologi seperti awalan ter- dan ber-, atau urutan kata dalam konstruksi posesif. Demikian pula, unsur leksikal tertentu, seperti sono “tidur nyenyak”, merupakan bagian dari leksikon Melayu Ambon tetapi bukan bagian dari bahasa Indonesia. Dalam kasus lain, misalnya kata mati, tenaga, gunting, dan orang, kedua ragam bahasa Melayu tersebut tidak dapat dibedakan. Beberapa kata telah ditandai sebagai bahasa Indonesia meskipun merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Kata-kata ini sekarang umum digunakan dalam leksikon bahasa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam beberapa kasus dari morfologi bahasa Indonesia: misalnya, berkat. Dalam tiga mantra, unsur leksikal ditandai sebagai bahasa Arab: kata-kata ini bukan bagian dari leksikon bahasa Indonesia. Mereka memberikan bukti bahwa beberapa mantra modern mungkin telah berpindah ke Lohiatala dari desa-desa Islam di Seram barat atau dari desa-desa yang lebih jauh di bagian lain Maluku.

Terjemahan untuk mantra seperti pada contoh (12) dan (14) tetap tidak lengkap karena adanya kata-kata yang dikaitkan dengan “bahasa yang tidak dikenal”. Dalam kasus ini, kata-kata tersebut mungkin memang diambil dari leksikon bahasa lain, yang identitasnya saat ini tidak diketahui. Namun, ada kemungkinan juga bahwa ini adalah kata-kata tidak masuk akal yang diciptakan oleh komposer untuk meningkatkan keburaman mantra. Dalam mantra pada contoh (12), morfem ofu dan ufa pada baris 1 dan cahaya, taja, laya pada baris 4 memberikan beberapa bukti permainan kata. Mengingat adanya leksem yang tidak dikenal ini, kita harus tetap berhati-hati tentang identifikasi leksem tertentu lainnya, khususnya yang terdapat dalam mantra yang paling buram dan tidak dapat diterjemahkan. Misalnya, identifikasi leksem tola sebagai Alune “menetapkan” harus dilihat dengan hati-hati. Ini juga mungkin merupakan kata yang diciptakan yang secara kebetulan menunjukkan homofoni dengan leksem Alune.


Pemanggilan

Pada masa lampau, perlindungan terhadap orang dan harta benda merupakan ranah kosmologi Alune, dan tanggung jawab untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia berada di tangan leluhur dan dewa-dewi Alune. Meskipun roh leluhur dan dewa-dewi tidak dipanggil dalam mantra-mantra modern, unsur keagamaan sering kali disertakan. Struktur pada contoh (15), misalnya, menyerupai format doa Kristen. Perbedaannya dengan doa ditunjukkan oleh persyaratan bahwa, seperti halnya mantra-mantra tradisional, mantra harus diucapkan dalam bentuk yang tepat ini. Menarik untuk dicatat dalam konteks Kristen ini bahwa unsur keagamaan dalam beberapa mantra modern bersifat Islam.


Transmisi dan kepemilikan pengetahuan

Sebuah penyimpangan  yang luar biasa mencolok  dari praktik tradisional diilustrasikan oleh contoh (15). Mantra kebidanan ini dimiliki dan digunakan oleh seorang pria, situasi yang tidak mungkin terjadi dalam konteks praktik kebidanan tradisional Alune. Oleh karena itu, bidan Alune menolak mantra ini karena dianggap tidak pantas dan sama sekali tidak efektif.

Pola transmisi mantra juga telah berubah dalam konteks kontemporer. Suku Alune secara tradisional mewarisi mantra dari kerabat yang masih hidup, dari leluhur (melalui mimpi), atau sangat jarang menerimanya sebagai transaksi keuangan atau sebagai hadiah. Pengetahuan tentang mantra dilindungi sebagian melalui hafalan setelah transmisi lisan. Saat ini, sumber tradisional untuk mantra tertutup bagi kaum muda karena anggota masyarakat yang lebih tua telah berhenti mentransmisikan pengetahuan pra-Kristen mereka. Penduduk desa muda sekarang memperoleh mantra dari berbagai sumber, baik Alune maupun non-Alune. Pembelian mantra telah menjadi lebih umum, dan, seperti yang ditunjukkan oleh korpus modern, mantra sering kali dalam bentuk tertulis.

 
7. SENI VERBAL DALAM KERANGKA PERGESERAN BAHASA

Di antara suku Alune, kemampuan sebagai orator secara tradisional dapat ditunjukkan melalui beberapa genre, beberapa di antaranya dijelaskan di bagian 1. Mantra harus dilihat terutama dalam kerangka sosiokulturalnya sebagai sarana menjaga tatanan kosmik. Namun, mantra yang dimiliki oleh nuru atau luma merupakan bentuk seni verbal, yang dilakukan secara terbuka oleh spesialis ritual terkenal. Para spesialis tersebut memanfaatkan pengetahuan mereka tentang kosmologi dan ekologi Alune, dan menggabungkannya ke dalam pertunjukan mereka menggunakan berbagai teknik puitis, termasuk paralelisme, pengulangan, simbolisme, dan analogi. 

 

Interaksi faktor yang kompleks menyebabkan hilangnya genre pengetahuan khusus yang melibatkan pertunjukan keterampilan berpidato/berbicara bahasa Alune di desa-desa Lohiatala dan Lohiasapalewa. Semua aspek dunia Alune telah terganggu oleh perubahan sosial politik, ekologi, dan linguistik. Dalam menghadapi hal ini, pemanfaatan terus-menerus sejumlah kecil mantra oleh sebagian penduduk desa Lohiatala memang patut diperhatikan. Perbandingan antara mantra tradisional dan modern dalam konteks penggunaannya menunjukkan adanya kesinambungan dan ketidaksinambungan praktik, dan mengungkapkan bahwa seni verbal di antara suku Alune dapat dirumuskan ulang. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar praktik ritual pra-Kristen dan konteks keterampilan berpidato suku Alune menjadi usang, praktik yang berasal dari dunia Alune pra-Kristen tetap dipertahankan. Penggunaan mantra yang terus-menerus di antara penduduk desa yang lebih muda di Lohiatala dapat dilihat sebagai respons terhadap peristiwa eksternal. Mantra dalam konteks ini terus memenuhi fungsi terpentingnya: memberikan semacam kendali atas lingkungan mereka kepada orang-orang yang menghuni dunia yang berubah dengan cepat.

Struktur mantra modern mencerminkan lingkungan kontemporer tetapi tetap mempertahankan fitur tradisional tertentu. Mantra-mantra tersebut mencerminkan kepercayaan agama modern melalui pemanggilan dewa (Kristen atau Islam), dan kaum muda mempertahankan praktik memberikan mantra-mantra mereka kekuatan melalui kata-kata yang tidak jelas. Perbandingan antara desa-desa Lohiatala dan Lohiasapalewa mengungkapkan bahwa, dalam satu kelompok etnolinguistik, pengetahuan khusus dapat dipertahankan pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil di tempat-tempat yang berbeda. Kasus khusus ini memberikan dasar yang menarik untuk studi jangka panjang. Saat ini, tampaknya penduduk desa di kedua tempat tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk menunjukkan keanggotaan mereka dalam budaya Indonesia modern sambil menandakan identitas Alune mereka. Di Lohiasapalewa, penduduk desa telah memilih untuk meninggalkan semua praktik ritual pra-Kristen untuk secara tegas menunjukkan komunitas tersebut sebagai orang Kristen dan terpelajar. Namun, retensi bahasa Alune dalam latar ini memberikan penanda identitas yang jelas. Di Lohiatala, modernitas ditandai dengan pergeseran bahasa ke bahasa Melayu. Akan tetapi, bentuk sinkretik Kekristenan telah berkembang, yang memungkinkan munculnya kembali beberapa praktik ritual pra-Kristen, termasuk penggunaan mantra. Penggunaan fitur tradisional dalam kumpulan mantra modern, meskipun dalam bahasa selain bahasa leluhur mereka, memungkinkan identitas modern dikembangkan sambil mempertahankan hubungan dengan warisan Alune.

=== selesai ===

 

Catatan Kaki

3.      Dalam bahasa Alune yang digunakan oleh penutur lama yang fasih, kata ini mengandung hentian glotal: nana’walai

4.      Uri Tadmor (Universitas Hawai’i) menganggap bahwa morfem pada baris ke-3 dari mantra (12) sebenarnya adalah raja alam bin: raja alam “raja alam semesta” dan bin “putra” (komunikasi pribadi).

5.      Morfem ter- dalam leksem ini dalam mantra (13) menunjukkan bahwa itu adalah bahasa Indonesia, namun morfem rancing tidak diketahui. Tadmor (komunikasi pribadi)  menunjukkan bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia berbentuk rVncVng (di mana V adalah vokal apa pun) cenderung berarti tajam dan runcing, seperti senjata. Pengamatan ini relevan dengan konteksnya.

6.      Tadmor menunjukkan bahwa beberapa kata atau frasa dalam mantra (14) berasal dari bahasa Arab. Illah ilailah pada baris ke-4 tampaknya adalah la illahi ila ‘llah, yang merupakan pernyataan iman Muslim “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Terjemahan saya dalam mantra mengadaptasi ungkapan ini untuk menggabungkannya dengan leksem bahasa Indonesia berkatilah. Tadmor mengusulkan bahwa hamat pada baris ke-5 juga bisa menjadi kata Arab berdasarkan akar kata HMM yang berarti “panas”. Akhirnya, ia menganggap bahwa sululullah pada baris ke-6 menyerupai unsur pertama dalam julukan yang mungkin mengikuti nama Nabi ketika disebutkan dalam ucapan: salla ‘llahu alaihi wasallama “Semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian”. Dengan sendirinya, salla ‘llahu berarti “Semoga Tuhan memberkati . . .”.

 

Catatan Tambahan

a.      Artikel yang dimaksud ditulis oleh Aoene van Engelenhoven dengan judul Words and Expressions: Notes on Parallelism in Leti, diterbitkan di Jurnal Cakalele, volume 8, 1997, halaman 1 – 25

b.      Artikel yang dimaksud berjudul  Incantations and herbal medicines: Alune ethnomedical knowledge in a context of change, diterbitkan dan dimuat pada Journal of Ethnobiology, volume 18, bagian 1, halaman 39-67. Artikel ini pernah kami terjemahkan dan dimuat pada blog ini juga.

c.      Menurut pendapat kami kata “terancing” pada mantra itu adalah “korupsi” dari kata “terkancing” atau “takancing” yang berasal dari bahasa Melayu-Ambon. Kata “terkancing” dapat dimaknai sebagai “terkunci”, “tertutup”, “tidak terbuka”, kata ini biasa digunakan oleh orang Ambon untuk mengekspresikan sesuatu kondisi atau sesuatu yang “tidak bisa melakukan apa-apa”  seperti “terkunci”. Misalnya dalam percakapan : Mulu takancing, Lidah takancing., Tubuh takancing, dan seterusnya.  Meski begitu, perspektif yang ditawarkan oleh Uli Tadmor maupun Margaret Jean Florey [lihat catatan kaki nomor 5 di atas], menarik untuk dipikirkan dan sepertinya “logis” juga”

 

 

REFERENCES

§  Adimihardja, Kusnaka. 1992. The traditional agricultural rituals and practices of the Kasepuhan community of west Java. In James J. Fox (ed.) The Heritage of Traditional Agriculture Among the Western Austronesians. Canberra: Department of Anthropology Occasional Papers, Australian National University. 33–46.

§  Bartlett, Harley Harris. 1952. Batak and Malay chant on rice cultivation, with introductory notes on bilingualism and acculturation in Indonesia. Proceedings of the American Philosophical Society 96: 629–652.

§  Collins, James T. 1982. Linguistic research in Maluku: A report of recent field work. Oceanic Linguistics 21: 73–146.

§  Collins, James T. 1983. The Historical Relationships of the Languages of Central Maluku, Indonesia. Canberra: Pacific Linguistics Series D-47.

§  Ecklund, Judith L. 1977. Sasak cultural change, ritual change, and the use of ritualized language. Indonesia 24: 1–26.

§  Ekris, A. van. 1867. Iets over het Ceramsche Kakianverbond. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 16: 290–315.

§  Engelenhoven, Aone van. Forthcoming. Words and expressions: Notes on parallelism in Leti (East-Indonesia). To appear in Cakalele: Maluku Research Journal 8.

§  Florey, Margaret J. 1990. Language shift: Changing patterns of language allegiance in western Seram. Unpublished PhD dissertation. Honolulu: University of Hawai’i.

§  Florey, Margaret J. 1991. Shifting patterns of language allegiance: A generational perspective from eastern Indonesia. In Hein Steinhauer (ed.) Papers in Austronesian Linguistics. Canberra: Pacific Linguistics Series A-81. 39–47.

§  Florey, Margaret J. 1993. The reinterpretation of knowledge and its role in the process of language obsolescence. Oceanic Linguistics 32: 295–309.

§  Florey, Margaret J. 1997. Skewed performance and structural variation in the process of language obsolescence. In Cecilia Ode and Wim Stokhof (eds.) Proceedings of the Seventh International Conference on Austronesian Linguistics. Editions Rodopi B.V.: Amsterdam/Atlanta. 639–660.

§  Florey, Margaret J. and Xenia Y. Wolff. Forthcoming. Incantations and herbal medicines: Alune ethnomedical knowledge in a context of change. Journal of Ethnobiology.

§  Forth, Gregory. 1996. To chat in pairs: Lexical pairing as a pervasive feature of Nage mundane speech. Canberra Anthropology 19: 31–51.

§  Fox, James J. 1971. Semantic parallelism in Rotinese ritual language. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 127: 215–255.

§  Fox, James J. 1986a. On binary categories and primary symbols: Some Rotinese perspectives. In James J. Fox Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Indonesian Linguistics Development Project (ILDEP) 200–279.

§  Fox, James J. 1986b. Our ancestors spoke in pairs: Rotinese views of language, dialect, and code. In James J. Fox Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Indonesian Linguistics Development Project (ILDEP). 144–199.

§  Fox, James J. (ed.). 1988. To speak in pairs: Essays on the ritual languages of Eastern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

§  Fox, James J. 1992. The heritage of traditional agriculture in Eastern Indonesia: Lexical evidence and the indications of rituals from the outer arc of the Lesser Sundas. In James J. Fox (ed.) The Heritage of Traditional Agriculture among the Western Austronesians. Canberra: Department of Anthropology Occasional Papers, Australian National University. 67–88.

§  Gal, Susan. 1979. Language shift: Social determinants of linguistic change in bilingual Austria. New York: Academic Press.

§  Grimes, Barbara Dix. 1991. The development and use of Ambonese Malay. In Hein Steinhauer (ed.) Papers in Austronesian Linguistics. Canberra: Pacific Linguistics Series A-81. 83–123.

§  Hoskins, Janet. 1996. From diagnosis to performance: Medical practice and the politics of exchange in Kodi, West Sumba. In Carol Laderman and Marina Roseman (eds.) The Performance of Healing. New York: Routledge. 271–290.

§  Jensen, Adolf E. 1948. Die drei Stro¨me; Zu¨ge aus dem geistigen und religio¨sen Leben der Wemale, einem primitiven Volk in dem Molukken. Leipzig: J.W. Goethe-Universita¨t, Frobenius-Institut.

§  Jensen, Adolf E. and H. Niggemeyer. 1939. Hainuwele; Volkserza¨hlungen von der MolukkenInsel Ceram. Frankfurt: J.W. Goethe-Universita¨t, Forschungsinstitut fu¨ r Kulturmorphologie.

§  Kuipers, Joel C. 1992. Obligations to the word: Ritual speech, performance, and responsibility among the Weyewa. In Jane H. Hill and Judith T. Irvine (eds.) Responsibility and Evidence in Oral Discourse. New York: Cambridge University Press. 88–104.

§  Kulick, Don. 1992. Language Shift and Cultural Reproduction: Socialization, Self, and Syncretism in a Papua New Guinean Village. Cambridge: Cambridge University Press.

§  Lewis, E. Douglas. 1992. The relations of the social order, agricultural practice, and environment in Tana’Ai, Flores. In James J. Fox (ed.) The Heritage of Traditional Agriculture among the Western Austronesians. Canberra: Department of Anthropology Occasional Papers, Australian National University. 47–66.

§  Makerawe, Matheus and Maks Nikolebu. 1988. Suilima: Sejarah Singkat Asal Mula Lahirnya Desa Lohiatala. Unpublished manuscript (reproduced in Florey 1990).

§  Minde, Donald van. 1997. Malayu Ambong: Phonology, Morphology, Syntax. Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies.

§  Niggemeyer, H. 1951. Alune-Sprache; Texte, Wo¨rterverzeichnis und Grammatik einer Sprache West-Ceram. Zeitschrift fu¨r Ethnologie 76: 50–69, 288–300.

§  Niggemeyer, H. 1952. Alune-Sprache; Texte, Wo¨rterverzeichnis und Grammatik einer Sprache West-Ceram. Zeitschrift fu¨r Ethnologie 77: 116–132, 238–250.

§  Prentice, Jack. 1981. The minstrel-priestesses: A Timugon Murut exorcism ceremony and its liturgy. In Nigel Phillips and Khaidir Anwar (eds.) Papers on Indonesian Languages and Literatures. London: School of Oriental and African Studies, University of London. 121–144.

§  Rosaldo, Michelle Z. 1982. The things we do with words: Ilongot speech acts and speech act theory in philosophy. Language in Society 11: 203–237.

§  Sachse, F. J. P. 1907. Het Eiland Seran en Zijne Bewoners. Leiden: Brill.

§  Sachse, F. J. P. 1919. Gegevens uit de Nota Betreffende de Onderafdeeling West-Ceram. Batavia: Encyclopaedisch Bureau.

§  Schieffelin, Edward. 1996. On failure and performance: Throwing the medium out of the seance. In Carol Laderman and Marina Roseman (eds.) The Performance of Healing. New York: Routledge. 59–89.

§  Stresemann, E. 1923. Religio¨se Gebra¨uche auf Seran. Tijdschrift voor Indische Taal-, Landen Volkenkunde 62: 305–424.

§  Tambiah, S.J. 1968. The magical power of words. Man 3: 175–208.

§  Tauern, Odo D. 1913. Ceram. Zeitschrift fu¨r Ethnologie 45: 162–178.

§  Tauern, Odo D. 1918. Patasiwa und Patalima; vom Molukkeneiland Seran und seinen Bewohnern. Leipzig: Voigtla¨nder.

§  Taylor, Paul M. 1988. From mantra to mataraa: Opacity and transparency in the language of Tobelo magic and medicine (Halmahera Island, Indonesia). Social Science and Medicine 27: 425–436.

§  Valeri, Valerio. 1985. ‘Our ancestors talked little’: Forms of knowledge and forms of ‘power’ among the Huaulu of Seram (Indonesia). Paper presented to the panel ‘Who’s in the Know: Epistemological Foundations of Control and Secrecy’, American Anthropological Association Annual Meeting, Washington, D.C.

§  Visser, Leontine E. 1989. My rice field is my child: Social and territorial aspects of swidden cultivation in Sahu, Eastern Indonesia (Verhandelingen 136). Dordrecht: Foris.

 

Daftar Istilah bahasa Alune

ala                        : beras

biane                    : seorang wanita dengan hak warisan untuk pengetahuan kebidanan

hnusu                  : narasi sejarah

amale                  : kepala desa laki-laki

‘wate                    : sumpah larangan

lala                       : mantra yang dibacakan untuk menenangkan roh leluhur

leba                     : untuk membacakan mantra untuk mengobati (memberkati) tanaman padi

luma                    : garis keturunan lokal (lit: rumah)

luma matai         : kepala laki-laki dari seorang luma

ma'alalu              : orang yang menggunakan mantra untuk berburu kuskus

ma'aleru              : orang yang menyembuhkan menggunakan ramalan dan jampi-jampi

ma'lulu : cerita asal-usul atau penciptaan

ma'selu : tabib yang membantu setelah melahirkan dengan memeriksa anak yang baru lahir dan memperbaiki masalah fisik

marele                 : kuskus berkantung, Fam. Phalangeridae

(m)lerue              : untuk menyembuhkan dengan menggunakan ramalan dan mantra

mlinu                   : Penyanyi desa

nuru                    : Marga patrilineal

pela                      : Persekutuan antardesa

sidi ’wete belu’we  : Ritual kebidanan yang dilakukan oleh seorang bidan ketika seorang anak berusia 7–10 hari setelah lahir digendong pulang dari gubuk bersalin

tapel upui            :  penjaga tanah

tuni                      : Cerita rakyat

ume                     : pasir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar