(bag 2)
[Richard Chauvel]
Agama dan Politik di Hatuhaha
Proses perubahan agama di negeri Muslim sama sekali tidak terjadi pada tingkat atau arah yang sama. Sejak awal Islamisasi, mungkin ada perbedaan dalam kepercayaan dan praktik antarpulau dan antar negeri. Hitu merupakan pusat perdagangan dan kontak dengan dunia luar, sedangkan di Hatuhaha pemukiman tetap berada di pegunungan hingga Belanda memaksa mereka pindah ke pesisir, sehingga kontak tidak terlalu intens. Secara umum, ada pelestarian adat yang lebih besar di Hatuhaha daripada di semenanjung Hitu46. Negeri-negeri uli Hatuhaha – Pelauw, Rohomony, Kabau, dan Kailolo – terus mempertahankan banyak aspek dari kesatuan sebelumnya meskipun dipecah menjadi unit administratif terpisah oleh Belanda. Dapat diasumsikan bahwa ada tingkat homogenitas yang tinggi dalam hal bahasa, adat, dan Islam hingga abad ke-1947.
Perubahan agama di Hatuhaha dimulai di Kailolo sekitar satu abad yang lalu dan paling luas di sana. Kemudian Kabau dan Pelauw juga terkena dampaknya. Di Pelauw, konflik mencapai titik yang membuat para "pembangkang" dipindahkan oleh pihak berwenang ke pemukiman baru di Orij pada tahun 1939. Rohomoni hingga saat ini masih sangat terpengaruh oleh perubahan tersebut.
Di Pelauw, yang merupakan "ibu kota politik" dari uli, selama tahun 1910-an dan 1920-an terjadi pertentangan yang hebat dari sebagian besar penduduk terhadap raja, yang melibatkan dua partai politik yang berpusat di Ambon, Insulinde dan Sarekat Ambon. Perselisihan tersebut baru terselesaikan ketika otoritas kolonial mengangkat raja sebagai bestuurs- assisten (administrator distrik/wilayah)a.
Dapat dikatakan bahwa perubahan agama dan aktivisme politik merupakan bagian dari proses perkembangan sejarah yang lebih besar. Meskipun para peserta mungkin menganggap pertikaian agama dan politik sebagai isu yang terpisah, secara umum orang yang sama terlibat dalam masing-masing. Selain itu, faktor kausal yang serupa, komunikasi yang lebih baik, mobilitas, dan pendidikan berpengaruh dalam kedua kasus tersebut. Posisi raja menjadi pusat kedua konflik tersebut. Raja menjadi fokus pertentangan politik, tetapi perannya dalam struktur kekuasaan adat/Islam tradisional dipertanyakan secara implisit ketika para reformis mulai menantang “tambahan” adat terhadap praktik Islam.
![]() |
sebuah mesjid di Pelauw, ca. 1974 |
Beberapa varian lokal utama praktik keagamaan di Hatuhaha telah dibahas. Perubahan agama yang telah terjadi selama seabad terakhir melibatkan konflik antara praktik-praktik yang mapan ini dan pemenuhan beberapa kewajiban dasar Islam: salat lima kali sehari daripada seminggu sekali, dengan masjid desa tetap buka setiap hari daripada hanya untuk ibadah Jumat; berpuasa selama bulan Ramadhan daripada tiga hari yang ditetapkan oleh imam; dan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Jumlah haji di suatu negeri sering kali dilihat oleh orang Ambon sebagai ukuran perubahan agama; di Rohomoni ada 3 atau 4 haji sementara Kailolo menghitung jumlah hajinya dalam ratusan haji48. Terjadi pula pergeseran penekanan dari upacara-upacara seperti maulud dan pertunjukan hotbah, di mana pengaruh dan konotasi adat telah terjalin erat. Di Pelauw, maulud merupakan penegasan kembali persatuan negeri sekaligus perayaan hari lahir Nabi. Pertunjukan hotbah merupakan ritus penting dalam kehidupan seorang pria yang menandakan kedewasaan religiusnya, setelah itu ia memenuhi syarat untuk diangkat sebagai anggota kasisi. Upacara ini melibatkan pembacaan teks panjang yang menceritakan kisah Kerbala49. Setelah pembacaan, keluarga pria tersebut harus menyediakan sebuah pertunjukan untuk seluruh desa, sebuah pekerjaan yang sangat mahal. Para pembangkang agama yang pindah ke Orij tidak melakukan ritual itu sendiri, lebih karena tidak setuju dengan biaya yang dikeluarkan daripada karena alasan dogmatis apa pun. Akan tetapi, mereka berpartisipasi dalam perayaan tersebut jika melibatkan anggota keluarga dari Pelauw.
Sulit untuk memperkirakan kapan perbedaan agama mulai muncul di Pelauw, mungkin pada awal pergantian abad. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut baru mulai mengancam kesatuan negeri itu selama tahun 1930-an, yang menyebabkan konflik fisik antara "kaum modernis" dan "kelompok adat" pada bulan November 193950. Belanda campur tangan dan memindahkan "kaum modernis" ke Orij. Mungkin saja pertentangan terhadap raja hingga ia disingkirkan pada tahun 1923, yang tampaknya telah menyatukan Pelauw, cenderung mengesampingkan isu-isu agama. Orang-orang pindah ke Orij secara individual dengan anggota keluarga yang sama ditemukan di Pelauw dan Orij. Orij tetap menjadi bagian dari Pelauw, secara administratif di bawah raja Pelauw, tetapi memiliki masjid sendiri. Selain hotbah, di mana terdapat sedikit perbedaan pendapat, orang-orang dari Orij berpartisipasi dalam sebagian besar upacara adat yang penting. Sejak tahun 1939 perubahan terus berlanjut di Pelauw, yang secara bertahap mempersempit perbedaan dengan Orij. Anak-anak dari Pelauw bersekolah di madrasah di Orij.
Komunikator utama gagasan baru tersebut tampaknya adalah para buruh dari Pelauw dan Kailolo yang bekerja di kota Ambon, terutama di pelabuhan. Praktik ini bermula pada dekade terakhir abad ke-19. Di sana mereka berhubungan dengan umat Islam dari tempat lain di kepulauan tersebut dan sejumlah besar orang dari Kailolo melakukan ibadah haji ke Mekkah51. Orang-orang ini membentuk sarana komunikasi alternatif dengan dunia luar, yaitu alternatif terhadap administrasi formal dan saudara-saudara Kristen mereka yang bepergian ke luar Ambon untuk melayani kekuasaan kolonial. Sebagian dari mereka yang pergi ke Mekkah tinggal beberapa lama untuk belajar. Keterasingan Hatuhaha selanjutnya dipecah oleh pendirian sekolah-sekolah (baik Islam maupun sekuler) di Ambon dan kemudian di Hatuhaha.
Cara-cara untuk meningkatkan kontak dengan dunia luar ini – bekerja, berziarah, dan pendidikan – tidak dengan sendirinya menjelaskan perbedaan mencolok yang berkembang di antara negeri-negeri di Hatuhaha. Orang-orang dari Kailolo dan Pelauw bekerja sebagai buruh di Ambon. Namun, orang-orang dari Kailolo yang pergi berziarah dan di negeri mereka perubahan agama dimulai lebih awal telah paling luas. Seperti yang akan dibahas di bawah, para buruh dari Pelauw tertarik pada ide-ide politik maupun agama. Melalui merekalah partai-partai politik terlibat dalam pertikaian dengan raja. Rohomoni tetap menjadi yang paling terisolasi dan memiliki perkembangan pendidikan yang paling terbatas. Namun, isolasi bersifat relatif, Rohomoni terletak dalam jarak beberapa kilometer dari Kailolo dan berbatasan dengan Kabau, tempat terjadinya perubahan agama yang luas. Mungkin keadaan ekonomi negeri yang berbeda dapat menjelaskan paparan dan penerimaan mereka terhadap ide-ide eksternal. Kailolo miskin sumber makanan; upah kerja di Ambon diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Motivasi dan kebutuhan tinggi dan mereka cepat memanfaatkan ide-ide baru. Di Pelauw, sumber makanan berlimpah dan orang-orang bekerja di Ambon hanya untuk menambah taraf hidup mereka. Sejak kemerdekaan, produksi cengkeh telah bangkit kembali, yang menjadi sumber kekayaan alternatif, dan lebih sedikit orang dari Pelauw yang bekerja sebagai buruh di kota. Ketertarikan mereka pada ide-ide dan organisasi politik juga mencerminkan keinginan untuk menyelesaikan masalah mereka dengan raja.
![]() |
M.S. Latuconsina sebagai anggota Ambonraad 1921 |
Sulit untuk menentukan kapan pertentangan terhadap raja, Mohammad Saleh Latuconsinab, dimulai di Pelauw. Ada indikasi bahwa konflik mungkin telah menjadi ciri permanen dari 26 tahun masa jabatannya sebagai raja52. Namun, pertentangan mencapai puncaknya pada tahun 1919 dan baru “diselesaikan” dengan pencopotan raja pada bulan Juli 1923. Selama tahun-tahun inilah organisasi nasionalis Insulinde dan Sarekat Ambon terlibat dalam perselisihan.
Masalah-masalah yang dipertaruhkan dalam konflik dengan raja agak samar-samar. Pihak oposisi menuduh bahwa raja telah melanggar adat dan dengan demikian telah menyinggung para leluhur53. Tindakan keuangannya yang keras terhadap rakyat menimbulkan ketidaksenangan di daerah setempat, seperti juga upayanya untuk membatasi penyebaran penyakit menular54. Pihak berwenang tidak mempercayai keluhan terhadap raja dan melihat konflik tersebut sebagai perebutan kekuasaan, di mana para penggugat yang bersaing atas kekuasaan raja mengatur gerakan Insulinde untuk tujuan mereka sendiri. Residenc menulis tentang kunjungannya ke Pelauw pada bulan Januari 1920d:
Di Pelauw saya menanyai 8 orang juru bicara demonstran dan saya mendapat kesan bahwa keluhan-keluhan ini tidak penting, tidak masuk akal dan tujuan gerakan ini adalah untuk menyingkirkan raja, yang telah mengabdi selama 23 tahun dan terlebih lagi dianugerahi bintang perak untuk kesetiaan dan jasanya serta tongkat bergagang/berkepala emas dan mengamankan seseorang dari partai Insulinde di tempat/rumahnya……….Raja memberikan kesan yang sangat baik kepada saya dan karena itu dari apa yang saya dengar tidak ada alasan untuk menangguhkan tugasnya selama penyelidikan (atas keluhan rakyatnya), atau untuk membawanya ke Ambon. Saya tidak ragu bahwa hasil penyelidikan akan menguntungkannya55.
Baik pejabat kolonial maupun sejarawan Ambon akhir-akhir ini, masing-masing karena alasan mereka sendiri, telah menekankan peran Insulinde dan Sarekat Ambon. Penguasa kolonial melihat Insulinde sebagai organisasi luar yang menciptakan masalah di dalam negeri. Sejarawan Ambon melihatnya sebagai contoh organisasi nasionalis yang menyebarkan ide-idenya di tingkat desa dan menentang raja karena hubungannya yang erat dengan penguasa kolonial56.
Kedua pandangan ini cenderung mengabaikan dimensi lokal dari konflik tersebut. Kampanye melawan raja mendahului pembentukan Insulinde di Pelauw (Juli 1919). Para penentang raja telah mencoba berbagai cara untuk membujuk penguasa agar menyingkirkannya tetapi tidak berhasil, tidak mengherankan, karena ia sangat dihormati oleh Belanda. Dalam mengejar tujuan mereka, mereka berhubungan dengan para pemimpin Insulinde di Ambon dan Sapaoea. Dari sudut pandang masyarakat Pelauw, pendirian cabang Insulinde berarti terciptanya jalur komunikasi alternatif dengan dunia luar sekaligus sumber ide-ide baru. Insulinde mampu mengartikulasikan keluhan-keluhan lokal di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini memberikan kontribusi penting bagi pemecahan isolasi Pelauw57. Para buruh Pelauw yang bekerja di Ambon berperan penting dalam hubungan dengan organisasi Insulinde58.
Meskipun mungkin ada ketidakjelasan mengenai keluhan-keluhan terhadap raja, tidak ada keraguan sedikit pun mengenai solidaritas dan kekuatan oposisi. Laporan-laporan Belanda menegaskan bahwa Insulinde mendapat dukungan penuh dari rakyat. Rakyat menghindari kerja sama apa pun dengan raja, bahkan lebih memilih untuk bekerja melalui controleur. Ketika controleur menjatuhkan hukuman dan menyingkirkan para pemimpin Insulinde Pelauw, upaya mereka disambut dengan perlawanan pasif dari seluruh penduduk dan pembangkangan dari para pemimpin itu sendiri59.
Aktivitas organisasi Insulinde di Pelauw terdiri dari mobilisasi para buruh yang bekerja di Ambon untuk menyatukan sumber-sumber keuangan mereka. Mereka mengorganisasikan boikot ekonomi terhadap toko-toko raja dan mendirikan toko koperasi sendiri, [yaitu] Toko Andil. Pertemuan politik diadakan di Pelauw oleh Johan Tupamahue, pemimpin Kristen Insulinde di Saparua, dan orang-orang dari Pelauw berpartisipasi dalam demonstrasi di Saparua untuk mendukung kebebasan bertindak bagi partai-partai politik. Pada tanggal 10 Desember 1919 sekitar 350 orang dari Pelauw, di bawah Ali Sahabaoef, menyampaikan keluhan mereka terhadap raja kepada controleurg di Saparua. Controleur memerintahkan penangkapan Ali Sahabaoe dan memerintahkan Schutterij (milisi) yang enggan untuk membubarkan kerumunan. Ali Sahaboe segera dijatuhi hukuman oleh controleur 4 tahun penjara dan tuduhan diajukan terhadap yang lain60.
Meskipun optimisme diungkapkan dalam laporan-laporan Belanda setelah pemenjaraan para pemimpin Insulinde pada tahun 192061, perselisihan masih sangat hidup, ketika, pada tahun 1923, A.J. Patty, pemimpin Sarekat Ambon, diundang oleh “unsur-unsur Insulinde” untuk terlibat dalam pertikaian tersebut tepat pada saat penguasa kolonial mengira mereka akan segera menyelesaikannya. Kunjungan Patty ke Pelauw membawanya ke dalam konflik yang tidak menguntungkan dengan penguasa adat: konflik yang diatur dengan baik oleh pejabat kolonial yang akhirnya menyebabkan pengusirannya dari Ambon62. Patty tidak diberi kesempatan untuk mempengaruhi pertikaian dengan raja dan pertikaian itu diselesaikan segera setelah kepergian Patty yang tidak sopan dari Pelauw atas permintaan Saniri Negeri (dewan desa). Bagian dari penyelesaian tersebut tampaknya adalah “promosi” raja untuk menjadi asisten bestuurs di Seramh. Pemerintah menerima petisi dari sejumlah penduduk Pelauw yang menjelaskan perubahan hati mereka dengan ketentuan berikut:
…….. bahwa sudah beberapa tahun kami menentang raja kami karena kami berpendapat bahwa kami tidak boleh mengikuti keinginan raja yang menentang adat dan karena itu telah mendatangkan kutukan leluhur atas dirinya sendiri;
………….. bahwa dalam penentangan kami terhadap raja kami, kami secara tidak sengaja terlibat dengan banyak kelompok pemberontak Kristen dan mereka sangat cerdik dan menipu kami, hingga akhirnya, kami juga dianggap sebagai pemberontak;
…………. bahwa beberapa waktu yang lalu mata kami terbuka dan kami mengerti bahwa kami telah ditipu oleh mereka, oleh karena itu kami tidak ingin lagi mengikuti Insulinde dan Sarekat Ambon, karena keduanya benar-benar penipu sejati63.
Pada tahun 1928 putra raja tuai, A.B. Latuconsinaj, diangkat untuk menggantikan ayahnya setelah masa transisi di mana raja Harukuk (seorang Kristen) bertindak sebagai raja64.
![]() |
Abdul Basir [Duba] Latuconsina, Raja Pelauw, 1974 |
Perselisihan dengan Raja Mohammad Saleh Latuconsina telah menjadi bagian penting dari tradisi sejarah Pelauw, yang telah ditransmisikan, seperti halnya perjuangan sebelumnya dengan Belanda, dalam bentuk kapata (syair tradisional yang dinyanyikan). Baru-baru ini, kisah-kisah telah diterbitkan di Indonesia yang secara wajar mengikuti kisah-kisah kolonial tentang peristiwa tersebut65. Namun, ada dua tema yang mendapat penekanan khusus. Pertama, perselisihan dengan raja dianggap sebagai bagian dari tradisi anti-kolonial yang panjang yang berasal dari perlawanan terhadap Portugis dan perang Alaka. Dalam perspektif ini raja ditentang karena hubungannya yang erat dengan Belanda.
Sebagai kelanjutan dari perlawanan Hatuhaha dari Perang Alaka, permusuhan rakyat muncul lagi dengan pembentukan organisasi-organisasi politik……..
Dengan datangnya periode Insulinde, secara sadar atau tidak perasaan dendam dan kebencian terhadap Belanda muncul kembali dan berkembang dengan pembentukan Insulinde sebagai format perjuangan.
Raja sendiri tidak ditentang oleh rakyat, namun dalam kedudukannya ia dimanfaatkan oleh Belanda sebagai kolaborator (kaki tangan) yang ditentang oleh rakyat66.
Tema kedua adalah bahwa para pemimpin Insulinde diperlakukan dengan sangat buruk oleh Belanda dibandingkan dengan para nasionalis lainnya dan, meskipun tekanan besar diberikan kepada para pemimpin dan pengikut Insulinde, mereka tidak melepaskan perjuangannya. Melalui kisah-kisah seperti yang dikutip di bawah ini, intensitas komitmen terhadap perjuangan nasionalis dalam menghadapi kekuatan yang luar biasa diilustrasikan.
Para pemimpin Insulinde dijatuhi hukuman dan diasingkan dari daerah tersebut. Pada saat itu tempat untuk hukuman yang paling berat adalah Sawahlunto (Sumatera Barat) dan Nusakambangan (Jawa Tengah), yang secara umum, mereka yang dijatuhi hukuman 15 tahun ke atas dikirim. Namun, untuk mengintimidasi rakyat, para pemimpin Insulinde, yang dijatuhi hukuman 3 atau 4 tahun, dikirim ke penjara-penjara tersebut.
![]() |
Pengurus Insulinde cabang Pelauw, 1919 - 1920 |
Abubakar Tuasikal, sekretaris Insulindel, pada malam setelah dia menikah, dia ditangkap dan dijatuhi hukuman di Nusakambangan. Abubakar tergoda, karena ketika ia ditahan sebelum berangkat ke Nusakambangan, ia dibujuk oleh Belanda untuk mengubah haluan dan meninggalkan Insulinde. Tawaran pertama adalah ia akan meninggalkan jabatannya sebagai sekretaris dan diangkat menjadi sekretaris di kantor controleur, suatu jabatan yang jarang dipegang oleh orang pribumi. Tawaran kedua adalah ia akan segera dapat dikembalikan kepada istri dan keluarganya, jika ia bersedia meninggalkan Insulinde. Meskipun demikian, Abubakar menolak semua tawaran tersebut. Abubakar segera dikirim ke Nusakembangan67.
Penulis Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah Maluku menyimpulkan:
Meskipun kegiatan Insulinde ditekan dan dilarang, semangat kebangkitan nasional tertanam di Pelauw dan terus tumbuh subur68.
Tradisi anti-kolonial Pelauw dimobilisasi lagi setelah Jepang menyerah dengan pembentukan PRIMA (Pemuda Republik Indonesia Maluku Ambon), yang merupakan salah satu dari sedikit organisasi revolusioner di Maluku Selatan. Ia mengalami nasib yang sama di tangan Belanda seperti yang dialami Insulinde sebelum perang, namun meskipun para pemimpinnya terus-menerus ditangkap, organisasi tersebut tetap bertahan, hanya untuk menderita lagi di tangan RMS69.
Perkembangan politik di Hatuhaha tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan tradisi anti-kolonialnya. Hanya sedikit daerah lain di Ambon-Lease yang dapat membanggakan perlawanan yang begitu lama dan aktif terhadap intrusi dan kendali Eropa70. Tradisi inilah yang dapat dimohonkan oleh para pemimpin Insulinde dan kemudian PRIMA. Dengan melakukan hal itu, mereka dapat mengubah protes terhadap campur tangan dan dominasi, melalui penyediaan sarana komunikasi alternatif, menjadi aspirasi nasional yang lebih luas. Mereka dapat menciptakan rasa memiliki terhadap masyarakat di luar Ambon-Lease. Sebagian besar penentangan awal terhadap raja disebabkan oleh tindakan yang telah diambilnya untuk memperbaiki kondisi, misalnya, isolasi terhadap mereka yang menderita penyakit menular, yang dianggap oleh Belanda sebagai tanda "kemajuan". Akan tetapi, para pengikutnya memandang hal itu sebagai pelanggaran norma adat dan dukungan Belanda yang semakin meningkat hanya berfungsi untuk semakin melemahkan dukungan lokalnya. Paradoks dari situasi ini adalah bahwa penguasa kolonial mendukung raja atas nama mempertahankan otoritas adat, sementara penentangan rakyat didasarkan pada pelanggaran raja terhadap adat yang seharusnya sama71.
Dua aspek lain perlu diingat. Pertama, perubahan politik dan agama di Hatuhaha terjadi dalam pengembangan komunikasi dan mobilitas yang lebih baik, yang memecah keterisolasian wilayah tersebut selama berabad-abad. Kedua, posisi raja sangat penting dalam kedua bidang perubahan tersebut. Sementara raja secara terang-terangan terlibat dalam konflik politik, dengan pergeseran penekanan praktik keagamaan secara bertahap dari ritual yang dipengaruhi adat ke ketaatan pada "lima pilar", kekuasaan raja, yang dikaitkan dengan yang pertama, telah menurun.
Islam, Nasionalisme, dan RMS
Keterlibatan masyarakat Pelauw dengan partai politik nasionalis merupakan contoh peran penting yang dimainkan kaum Muslim dalam gerakan nasionalis. Dapat dikatakan bahwa ada hubungan umum, tetapi tidak mutlak, antara keyakinan agama dan orientasi politik dan bahwa identifikasi kaum Muslim dengan gerakan nasionalis Indonesia membawa mereka ke dalam konflik dengan unsur-unsur komunitas Kristen, khususnya selama Pendudukan Jepang dan RMS. Peran nasionalis kaum Muslim telah menjadi bagian dari tradisi sejarah mereka dan telah diungkapkan secara ringkas oleh Tuasikal:
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita menjumpai tidak sedikit pahlawan nasional Maluku, pemimpin perang melawan Portugis dan perjuangan melawan Belanda. Setelah perjuangan pada awal abad ke-20 telah berubah karakter dan telah menjadi gerakan politik, komunitas Islam di Maluku memainkan peran khusus. Gerakan kemerdekaan hampir seluruhnya didasarkan pada kelompok Muslim. Sangat disayangkan bahwa kepemimpinan hampir seluruhnya tidak ada72.
Komentar Tuasikal juga menunjuk pada karakter struktural organisasi nasionalis di Ambon: massa pendukungnya beragama Islam sementara pimpinannya sebagian besar beragama Kristen. Ini adalah karakteristik yang oleh sebagian orang Ambon dapat ditelusuri kembali ke pemberontakan Pattimura, tetapi jelas terlihat dalam organisasi nasionalis dari tahun 1920-an hingga 1950. Setelah RMS, partai politik yang sukses, Parkindo (Protestan) dan Masjumi (reformis Muslim), dipimpin dan didukung dalam satu komunitas agama. Dalam kasus Insulinde dan Sarekat Islam di Pelauw, politisi Kristen, seperti Johan Tupamahu dan A.J. Patty, mampu memberikan pengaruh di negeri Muslim dan mengartikulasikan kepentingan Muslim dalam masyarakat yang lebih luas. Politisi Kristen mampu mengambil peran kepemimpinan karena kurangnya sumber kepemimpinan alternatif bagi raja dari anggota kasisi yang ditunjuk oleh raja dan hanya sedikit orang di luar keluarga raja yang menikmati pendidikan barat. Para pemimpin nasionalis Kristen sering kali merasa sulit untuk mengembangkan pengikut dari komunitas mereka sendiri. Struktur organisasi nasionalis terdiri dari para pemimpin berpendidikan Barat dengan pengikut di pedesaan.
![]() |
A.J. Patty, Pemimpin Sarekat Ambon |
Pendudukan Jepang merupakan periode kritis bagi perkembangan kesadaran dan partisipasi politik Muslim dan tahun-tahun perang memiliki pengaruh radikal dalam hubungan antara kedua komunitas agama tersebut. Sebuah catatan kontemporer oleh akademisi Universitas Pattimura telah menggambarkan dampak Jepang dalam istilah-istilah berikut:
Reaksi masyarakat Maluku terhadap kemenangan Jepang dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Umat Islam menyambut Jepang sebagai pembebas dan menganggap Belanda sebagai penindas. Mereka menyambut Jepang dengan rasa terima kasih yang diungkapkan melalui bantuan yang mereka berikan untuk menghancurkan kolaborator Belanda di daerah tersebut.
2. Umat Kristen melihat kedatangan Jepang sebagai malapetaka besar bagi jiwa dan keamanan mereka. Hilangnya Belanda berarti hilangnya pelindung dan pendukung mereka.
3. Kaum nasionalis menerima Jepang dengan hati-hati. Namun, mereka menggunakan kesempatan itu untuk mengatur ulang diri mereka sendiri. Kaum nasionalis terdiri dari orang-orang Kristen dan Muslim….. Umat Muslim memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas dendam. Mereka merasa inilah saatnya mereka….
Berita kekalahan Jepang disambut dengan gembira oleh masyarakat. Kesenangan itu tampak jelas di negeri Kristen, sementara di negeri Muslim, hal itu kurang jelas bagi mereka dan timbul pertanyaan apakah dengan kekalahan Jepang dan kembalinya Belanda, mereka akan aman lagi73.
Kondisi masa perang sedemikian rupa sehingga hanya ada sedikit kesempatan untuk reformasi administrasi, kegiatan politik, atau perluasan pendidikan. Mereka yang dipilih oleh Jepang untuk posisi-posisi puncak adalah orang-orang berlatar belakang Sarekat Ambon, meskipun pengalaman itu sendiri berguna, mereka diberi ruang lingkup politik yang sangat kecil. Mengatakan bahwa Jepang menghancurkan mitos supremasi Eropa telah menjadi klise, tetapi di beberapa daerah di Indonesia, karakter keagamaan pemerintahan memiliki pengaruh yang sangat penting pada hubungan masyarakat seperti di Ambon. Pemerintahan Belanda telah menjadi unsur utama dalam Identitas Orang Ambon Kristen. Sulit untuk meremehkan konsekuensi psikologis dari hilangnya kekuasaan Belanda bagi orang-orang Kristen. Meskipun semua orang mengalami kesulitan, umat Islam merasakan bagaimana hidup tanpa penguasa Kristen.
Tahun-tahun pascaperang adalah masa senja. Belanda kembali, tetapi tidak mampu, bahkan di Ambon, untuk menegakkan pemulihan kondisi sebelum perang. Tren tahun-tahun sebelum perang, komunikasi yang lebih baik dan perluasan pendidikan, terus berlanjut dan ada kebebasan politik yang jauh lebih besar di lembaga-lembaga federal yang dibangun Belanda yang telah ada pada tahun 1920-an dan 1930-an. Para pemimpin politik Ambon memiliki akses mudah ke bagian lain Indonesia Timur dan mengikuti dengan saksama revolusi di Jawa dan Sumatera. Yang penting, Belanda tidak pernah menegaskan kembali otoritas moral dan status yang hilang selama pendudukan Jepang. Orang-orang Ambon yang paling mengidentifikasi diri dengan Belanda tidak pernah mendapatkan kembali dominasi mereka atas masyarakat Ambon. Mereka bingung dengan promosi yang tidak dapat dipahami oleh Belanda tentang Indonesia federal yang seharusnya merdeka. Indonesia federal mungkin tidak disukai oleh kaum Republik, tetapi tidak kurang menjijikkan bagi orang-orang Ambon yang "setia" yang ingin tetap menjadi bagian dari kerajaan Belanda. Mereka tidak dapat tetap "setia" pada saat yang sama sambil mengejar tujuan yang terakhir.
===== bersambung =====
Catatan Kaki
46. H. Kraemer, Mededeelingen over den Islam op Ambon en Haroekoe. Djawa (1927), hal 82
47. Uli Hatuhaha awalnya terdiri dari lima negeri, negeri yang kelima, Hulaliu, dipaksa masuk Kristen – menurut masyarakat Hatuhaha Islam.
48. Adatrechtbundels, XXI, hal 61. Pejabat pemerintah memperkirakan ada sekitar 100 haji di Kailolo (1920). Perkiraan sumber Ambon kontemporer menyebutkan bahwa setengah dari populasi orang dewasa pernah ke Mekkah. Populasi Kailolo pada tahun 1926 adalah 1616. Beversluis dalam Gieben, op.cit.hal 111.
49. Dalam hubungan ini sebagian masyarakat Ambon berpendapat bahwa pengaruh Islam terdahulu adalah Syiah dan selanjutnya adalah Sunni.
50. Telegram Gouvernment Groot Oost aand de Landvoogd, 20-11-39, mailrapport 1250/39 (minour)
51. Tidak ada angka pasti mengenai jumlah jamaah haji dari Kailolo, tetapi “Algemene Verslagen van de Residentie Amboina en Oderhoorigheden” tahun 1878, 1881, 1882, dan 1889 serta “Politiek Verslag” tahun 1870 (Arsip Nasional, Jakarta) memberikan angka-angka untuk keseluruhan residensi, yang menunjukkan peningkatan jumlah jamaah haji yang cukup pesat. Pada tahun 1870, terdapat 36 jamaah haji di residensi tersebut. Pada tahun 1878 17 orang lagi berangkat, kemudian 36 orang pada tahun 1881, 62 orang pada tahun 1882, dan 26 orang pada tahun 1889. Seperti dikutip dalam catatan kaki nomor 48 di atas, diperkirakan terdapat 100 orang di Kailolo saja pada tahun 1920. Pada tahun 1882, residen melaporkan bahwa di negeri Koelor (Saparua) ada pengaduan terhadap para haji yang kembali yang ingin mengubah praktik keagamaan yang sudah ada.
52. Schmidt, op cit. section Nb
53. Petition from residents of Pelauw to the Governor-General, mailrapport 41x/24, afs 17 (minour)
54. Obor, no 7 (Juli 1975)
55. Letter, the Resident (van den Brandhof) to the Governor-General, 3-1-20, mailrapport 252x/20, afs 2 (minour)
56. Letter, the controleur (Schouten) to the Assistant-Resident, 8-4-20, mailrapport 553x/20, afs 4; and sejarah, hal 35 ff
57. Letter, the Assistant-Resident (L.E. Noll) to the Resident, 16-4-20, mailrapport 553x/20. Noll menjelaskan “Revolusi Pelauw” dalam konteks krisis yang lebih umum dalam administrasi desa yang disebabkan oleh kebijakan yang kurang represif oleh pihak berwenang, komunikasi yang lebih baik, dan sebagainya, sehingga meningkatkan pengaruh eksternal, yang membuat pemeliharaan raja sebagai figur otokratis tidak dapat dipertahankan. Situasi tersebut memungkinkan organisasi luar dan internal yang kuat untuk memanipulasi situasi demi kepentingan mereka sendiri. Solusinya adalah meningkatkan partisipasi rakyat, melalui dewan desa yang disponsori Belanda.
58. Schouten, op. cit.
59. Letter, the Assistant-Resident (L.E. Noll) to the Resident, 2-1-20, mailrapport 252x/20
60. Letter, the Controleur (Schouten) to the Resident, 10-12-19, mailrapport 252x/20 afs 4 dan 5. Residen menganggap bahwa Controleur telah bertindak tidak bijaksana. Ali Sahaboea dan para pengikutnya hanya ingin menyampaikan keluhan mereka kepada Controleur. Lihat juga, Obor, no 7 (Juli 1975), hal 15-16, dan Sejarah, hal 36
61. Noll, op. cit
62. Mailrapports 41x/24 and 37x/25 contains correspondence and reports on Patty’s activities on Ambon (minour)
63. Petition from residents of Pelauw, lihat catatan kaki nomor 53 di atas
64. A.B. Latuconsina menjadi salah satu orang Ambon yang paling terkemuka pada generasinya, yang dihormati dalam lingkungan adat dan di kalangan elit perkotaan yang berpendidikan Barat.
65. Obor, no 7 (Juli 1975), hal 15-16, Sejarah, hal 40
66. Obor, no 7 (Juli 1975), hal 12 dan 15
67. Ibid, hal 16. Patut dicatat bahwa perasaan diperlakukan tidak adil itu diungkapkan pada saat itu dalam petisi dari penduduk Pelauw yang baru saja “tercerahkan” (mailrapport 41x/24, afs 17 (minor) yang dikutip sebelumnya catatan kaki nomor 53) dalam istilah seperti “………bahwa sekarang ada berbagai orang dari negeri kita, yang tertipu sekarang dipenjara, sementara para penipu (para pemimpin Insulinde dan Sarekat Ambon) dibebaskan”. Sangat jelas dari laporan Belanda tentang hukuman terhadap para pemimpin Insulinde Pelauw bahwa mereka dijadikan “contoh”. Noll, op cit; van den Brandhof to the Governor-General, 22-4-20, mailrapport 553x/20
68. Sejarah, hal 38
69. Hal mendetail tentang PRIMA, lihat Politieke Verslagen der Residentie Zuid-Molukken, 15-31 August 1947, 1-15 September 1947, 15-30 September 1947, 1-15 Oktober 1947
70. Banyak negeri Kristen memiliki tradisi historis menentang Belanda, khususnya mereka yang terlibat dalam pemberontakan Pattimura. Akan tetapi, kemampuan kaum nasionalis untuk menarik perhatian pada tradisi tersebut berkurang karena daya tarik yang berlawanan dengan bekerja untuk rezim kolonial dalam kapasitas sipil dan militer. Selain raja, hanya sedikit umat Islam yang menjadi sasaran bujukan ini.
71. Van Sandick melihat perbedaan nilai-nilai Ambon dan Belanda dalam konteks ini. “Setiap kepala/pemimpin (raja) seolah-olah memiliki nilai-nilai barat dan timur. Seorang raja dalam nilai-nilai barat bisa jadi seorang yang payah (prul), menurut nilai-nilai timur seorang tokoh yang hebat dan sebaliknya”. Dalam kasus sebaliknya, ia memilih Raja Pelauw: “…… Raja Pelauw dipuji setinggi langit, jalan-jalannya indah, pagar-pagarnya rapi, selokan-selokan bersih, catatan pajaknya terawat baik, pekerjaan-pekerjaan besar negeri dilaksanakan, dsb….., pada suatu hari muncullah komplikasi, Raja tampak tidak memiliki semua kewenangan, dukungan militer harus diberikan untuk mempertahankannya, akhirnya raja dengan semua keistimewaannya yang indah harus disingkirkan”, Van Sandick, op. cit, hal 8
72. Tuasikal, op cit, hal 386
73. Sejarah, hal 122-123 dan 135
Catatan Tambahan
a. bestuurs- assisten, kami terjemahkan sebagai asisten administrasi atau “pembantu” administrasi. suatu jabatan yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 (1910an) khususnya dalam konteks wilayah karesidenan Ambon. Jabatan ini pertama kali disebutkan dalam Memorie van Overgave Resident van Ambon, Raedt van Oldenbarnevelt tertanggal 12 Juni 1915.
§ Memorie van Overgave van de Resident van Ambon, Raedt van Oldenbarnevelt, 12 Juni 1915 (dimuat dalam P.Jobse Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel I (1900 – 1918), Den Haag, 1997, hal 383 – 417, khususnya hal 409.
Jabatan ini diisi oleh 4 asisten administrasi dan para figurnya dipilih dari keluarga Raja yang “berpengaruh” berdasarkan kesetiaan kepercayaan mereka kepada Belanda. Menurut Memorie van Overgave Assisten Residen Afdeling Ambon, H.J. Schmidt (1922-1924) tertanggal 23 September 1924, menyebutkan bahwa Afdeling Ambon memiliki 4 onderafdeling, yaitu : onderafdeling Ambon yang dibantu oleh 2 bestuur assistent, onderafdeling Saparua yang dibantu oleh 2 bestuur assistant
§ Lihat Memorie van Overgave van de Afdeeling van Ambon, van Assistent-Resident Schmidt , 23 September 1924 (dimuat dalam Ch. F. Fraasen Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel II (1918 – 1924), Den Haag, 1997, hal 451 – 466, khususnya hal 452.
§ Lihat Richard Chauvel Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950), Leiden, 1990, hal 15
Misalnya untuk tahun 1910an-1924, khusus untuk onderafdeeling Saparua, bestuur-assistant-nya yaitu Pattiradja R. Toeharea (Regent van Tengah-tengah) untuk pulau Haruku dan Johan Robbert Titaleij (Regent van Saparoea) untuk pulau Saparua dan Nusalaut.
b. Pada artikel yang kami tulis dengan judul Para Regent di Pulau Haruku [1800 – awal abad ke-20] bagian ke-3 yang menyajikan para Regent untuk 5 negeri yaitu Pelauw, Kailolo, Rohomoni, Kabau dan Hulaliu, khusus untuk regent negeri Pelauw, daftar para regent-nya kami “akhiri” dengan nama Made Latuconsina sebagai Gezaghebber van Pelauw yang telah disebut namanya secara eksplisit memerintah negeri Pelauw dalam tahun 1893. Dengan membaca informasi “lanjutan” dari artikel milik Richard Chauvel ini, maka bisa dipastikan bahwa Muhammad Saleh Latuconsina adalah figur yang menggantikan Made Latuconsina. Muhammad Saleh Latuconsina menjadi Regent van Pelauw (dengan gelar Raja) kira-kira tahun 1896 - 1897 (berdasarkan informasi atau laporan tanggal 3 Januari 1920 yang menyebut bahwa ia telah memerintah selama 23 tahun). Muhammad Saleh Latuconsina juga menjadi anggota Ambonraad pada periode 1921 - 1924
c. Resident yang dimaksud adalah Nicolaas Johannes van den Brandhof, Resident van Ambon (Agustus 1918 – Mei 1921)
d. Resident berkunjung dan tiba di negeri Pelauw pada tanggal 20 Desember 1919
e. Johan Tupamahu, lahir pada tahun 1894, seorang fotografer. Ia juga menjadi anggota Ambonraad (1921 – 1927)
f. Ali Sahaboea, mungkin lebih tepatnya adalah Ali Sahubawa
g. Controleur van Saparua pada tahun 1919 adalah H.P. Schouten (1919 – 1920)
h. Muhammad Saleh Latuconsina menjadi bestuur-assistent di afdeeling Seram, onderafdeeling Oost-Seran, Seranlaoet en Goram yang bermarkas di Geser (1923 - ???)
i. Istilah “raja tua” adalah merujuk pada bekas/mantan raja, biasanya bekas/mantan raja itu masih hidup
j. Achmade. B. Latuconsina masih disebut sebagai Regent van Pelauw hingga April 1950. Menjadi anggota Ambonraad (1930 - 1942).
k. Regent van Haroekoe yang menjadi penjabat regent van Pelauw pada masa ini adalah Christoffel Manusama.
l. Pengurus Insulinde cabang Pelauw adalah Ali Sahubawa (President/Ketua), Abubakar Tuasikal (Sekretaris), Taslim Tuasikal (Vice-President/Wakil ketua), Gawi Latupono (Penningmeester/bendahara), Moehamad Amin Tuasikal, Sahadjali Angkotasan, Lasra Latupono dan Rohotamat Angkotasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar