(bagian 1)
[Philip Post]
A. Kata Pengantar
Sesuai judulnya, Philip Post, seorang sarjana membahas tentang efek pengulangan atau the looping effect dalam tulisannya ini. Efek pengulangan atau the looping effect yang dimaksud adalah suatu peristiwa atau moment yang pernah terjadi di antara 2 pihak, akan digunakan kembali oleh 1 pihak untuk melawan atau menentang pihak yang lain. Tulisan Philip Post ini berjudul Revolution and Resistance : An Exploration of the Looping Effect in the Moluccas in 1817, dimuat pada Jurnal Itinerario, volume 48, spesial isu bagian 2, edisi Agustus 2024, halaman 136 – 151. Edisi spesial ini sendiri mengambil tema besar Looping Bereaucracies. Imperial Administrations and Socio-Political Change in Asia (1750-1950). Selain tulisan dari Philip Post, juga ada tulisan dari para sarjana lainnya, misalnya Luc Bulten tentang persoalan di Srilangkaa, Anubha Anushree tentang persoalan di Indiab, Maarten Manse tentang persoalan pajak di Indonesia abad 19 dan 20c, serta beberapa lainnya.
Kora-kora Ternate & Tidore tiba di Ambon, ca. Oktober 1817 |
Pada tulisannya ini, Philip Post mengambil 3 contoh efek perulangan tersebut yaitu peristiwa pemberontakan Pattimura, tindakan para regent di Ambon, serta upaya Sultan Ternate. Bagaimana contoh dan penjelasannya, semuanya disajikan dalam tulisan sepanjang 16 halaman dengan 57 catatan kaki ini. Kami menerjemahkan tulisan ini dan membaginya menjadi 2 bagian agar secara teknis lebih “gampang” untuk dibaca dan diikuti serta dipahami, menambahkan sedikit catatan tambahan serta beberapa ilustrasi yang tidak ada dalam artikel aslinya. Semoga upaya kami yang sedikit ini bisa menambah dan mengembangkan wawasan kesejarahan kita dalam hal mengetahui, memahami konteks sejarah orang Maluku, yang turut membentuk kita di masa kini.
B. Terjemahan
Abstrak
Artikel ini mengeksplorasi 3 contoh efek pengulangan dengan mempelajari perlawanan kolonial di Maluku pada tahun 1817. Artikel ini berfokus pada hubungan antara pejabat kolonial Belanda dan sultan Ternate di Maluku Utara, dan antara pejabat Belanda dan para Regent Ambon di Maluku Tengah. Contoh pertama efek pengulangan berkisar pada bagaimana para Regent Ambon, yang menganut Calvinisme, menggunakan prinsip-prinsip Kristen untuk menentang kekuasaan Belanda di Maluku. Hal ini menjadi jelas pada tahun 1817 ketika pemberontakan meletus terhadap penegakan kembali kekuasaan Belanda di Maluku. Para pemimpin pemberontakan ini menggunakan ajaran agama Calvinisme, yang sebelumnya diperkenalkan oleh Belanda, untuk menyatakan bahwa penegakan kembali kekuasaan Belanda harus ditolak. Artikel ini berlanjut dengan contoh kedua efek pengulangan, yang merekonstruksi bagaimana penguasa Ambon menggunakan instruksi yang dikeluarkan oleh negara kolonial pada tahun 1818 untuk mengurangi klaim dari pemerintah kolonial. Terakhir, contoh ketiga dari efek pengulangan dapat dilihat dari bagaimana Sultan Ternate menggunakan kontrak yang ditandatangani dengan negara kolonial Belanda pada tahun 1817 untuk meminta bantuan militer Belanda dalam menghadapi pemberontakan internal dan dengan demikian meningkatkan kekuasaannya di seluruh wilayah.
Pendahuluan
Tahun 1817 memiliki makna khusus dalam sejarah Maluku—dan Indonesia secara umum. Pada tahun ini, pemberontakan berskala besar meletus melawan kekuasaan kolonial Belanda di Ambon, yang merupakan wilayah pertama tempat Belanda mengklaim hak teritorial pada awal abad ke-17. Dipimpin oleh Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura (1783–1817d), pertempuran dimulai pada bulan Mei 1817 dan berlangsung selama berbulan-bulan, di mana kedua belah pihak saling menyerang dengan kejam. Yang paling membuat marah pejabat Belanda yang mengomentari pemberontakan tersebut adalah bahwa Pattimura dan para pengikutnya menggunakan gagasan keadilan Kristen untuk mengkritik rezim kolonial. Misalnya, salah satu dari mereka, perwira angkatan laut Maurits Ver Huell (1787–1860)e, menggambarkan bagaimana “salah satu pemberontak yang paling terkemuka sangat menguasai Kitab Suci, yang membuatnya terus-menerus merujuk pada bagian-bagian tertentu dari Alkitab untuk mendukung apa yang dianggap sebagai keadilan dari tindakan-tindakan orang senegaranya”1.
Calvinisme, denominasi Protestanisme yang diperkenalkan ke Maluku oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-17, selalu digunakan oleh VOC untuk menanamkan rasa hormat terhadap otoritasnya. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh kutipan Ver Huell, pada tahun 1817, penduduk lokal Ambon membalikkan keadaan melawan negara kolonial dan menggunakan ajaran-ajaran agama untuk menantang klaim-klaimnya.
Artikel ini membahas fenomena ini secara lebih mendalam dan mengeksplorasi bagaimana perangkat dan konsep-konsep pemerintahan kekaisaran itu sendiri menyediakan kemungkinan perubahan sosial dan kemasyarakatan. Inilah yang dalam edisi khususf ini disebut sebagai "efek berulang", suatu bentuk perlawanan kekaisaran tertentu. Dalam beberapa dekade terakhir, para sejarawan telah beralih dari analisis perlawanan semata-mata melalui lensa “narasi anti-kolonial nasionalis agung”, yang menurutnya tindakan perlawanan kolonial dianggap sebagai “pelopor perjuangan kontemporer untuk kemerdekaan nasional”2. Sebaliknya, para sarjana perlawanan kolonial telah memperluas cakupan penelitian mereka dan telah mempelajari tindakan perlawanan sehari-hari yang tidak memerlukan perencanaan yang rumit atau skema ideologis yang agung. Contohnya adalah pelarian, tipu daya, dan sabotase, antara lain3. Selain itu, para sarjana telah berfokus pada bagaimana kepercayaan, cerita, dan ingatan prakolonial terus menawarkan visi otoritas alternatif4. Yang lain, seperti Sujit Sivasundaram, telah menunjukkan pentingnya pertukaran ide untuk mendorong perlawanan kolonial. Dalam karyanya, Waves Across the South, Sivasundaram telah menonjolkan pentingnya Samudra Hindia dan Pasifik di Era Revolusi dan telah menunjukkan bagaimana “[penduduknya] […] mengadopsi dan terkadang secara paksa mengambil dari orang luar objek, ide, informasi, dan bentuk organisasi baru, yang semuanya digunakan untuk tujuan mereka sendiri”5. Jika Sivasundaram menekankan perlawanan di wilayah-wilayah ini berdasarkan ide-ide yang baru diperkenalkan pada pergantian abad ke-19, artikel ini menekankan pentingnya perlawanan berdasarkan kesinambungan yang bertahan lama, yang kembali ke pemerintahan kolonial pada abad ke-17 dan ke-18.
Seperti yang dijelaskan dalam pengantar edisi inig, fokus pada efek perulangan menambah studi-studi ini dengan mempelajari mekanisme yang digunakan aktor-aktor lokal untuk memajukan kepentingan mereka sendiri. Secara lebih konkret, artikel ini menganalisis bagaimana penduduk lokal menavigasi birokrasi kolonial untuk perubahan sosial atau politik dan menyoroti bagaimana birokrasi ini menawarkan peluang yang tidak diinginkan bagi agen-agen lokal untuk menavigasi negara kekaisaran. Artikel ini membahas tiga cara yang saling terkait di mana ajaran agama, instruksi birokrasi, dan perjanjian politik -yang diperkenalkan oleh penguasa kolonial- digunakan oleh para pelaku lokal untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Artikel ini membahasnya dengan mencermati pemerintahan kolonial di Maluku sekitar tahun 1817, dengan fokus pada hubungan antara pejabat kolonial Belanda dan berbagai pelaku lokal: sultan Ternate di Maluku Utara dan para Regent Ambon di Maluku Tengah.
Dengan berfokus pada Maluku, artikel ini menyorot perlawanan kolonial di kawasan yang kurang mendapat perhatian dibandingkan wilayah lain di kepulauan Indonesia, khususnya jika dibandingkan dengan Jawa. Namun, dengan mempelajari efek perulangan, akan terlihat bahwa agensi kolonial khususnya hadir di Maluku sekitar tahun 1817. Pentingnya pemberontakan Pattimura telah lama diakui—bagaimanapun juga, ia adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Robert Cribb, misalnya, menulis bahwa “pemberontakan antikolonial sejati di Ambon di bawah Pattimura pada tahun 1817 adalah contoh paling awal perlawanan terhadap Belanda setelah masa jeda Napoleon"6. Namun, meskipun banyak sarjana telah menyelidiki sikap anti-Belanda Pattimura, hanya ada sedikit penelitian tentang bagaimana kritiknya terhadap Belanda diilhami oleh agama yang diperkenalkan oleh Belanda. Lebih jauh, jika pentingnya Pattimura diakui secara luas, hanya sedikit peneliti yang menyelidiki bagaimana perlawanan tetap menjadi bagian dari politik Maluku setelah Belanda meredam pemberontakan Pattimura.
Artikel ini mengkaji tiga contoh efek berulang, yang dua di antaranya menyangkut hubungan antara pejabat kolonial Belanda dan para Regent di Maluku bagian tengah, dan yang ketiga, hubungan antara Belanda dan sultan Ternate. Yang pertama berkisar pada bagaimana Pattimura dan para pengikutnya menggunakan cita-cita keagamaan dalam agama Kristen untuk menentang kekuasaan Belanda di Maluku, dengan menyatakan bahwa, berdasarkan prinsip-prinsip Calvinis, negara Belanda tidak memiliki legitimasi. Artikel ini kemudian berlanjut dengan contoh kedua dari efek berulang, dengan fokus pada bagaimana para Regent Maluku memanfaatkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan kembali oleh negara kolonial Belanda pada tahun 1818 untuk melawan kekuasaannya. Belanda mengeluarkan instruksi-instruksi ini kepada para Regent lokal untuk mengingatkan mereka tentang kewajiban mereka terhadap pemerintah kolonial. Akan tetapi, mereka tidak mengantisipasi bagaimana para Regent tersebut kemudian akan menggunakan instruksi-instruksi ini untuk melawan Belanda. Contoh ketiga dari efek berulang berkisar pada kebijakan sultan Ternate di Maluku Utara. Akan ditunjukkan bagaimana ia menggunakan kontrak yang ditandatangani dengan negara kolonial Belanda pada tahun 1817 untuk meminta bantuan militer dalam menghadapi pemberontakan internal pada dekade-dekade berikutnya. Para sultan Ternate telah mendukung Belanda dalam menghentikan pemberontakan Ambon pada tahun 1817, dengan mengirimkan sekitar 1.500 orang. Ketika satu dekade kemudian sultan Ternate dihadapkan dengan potensi pemberontakannya sendiri, ia dapat merujuk pada kontrak yang telah ditandatanganinya pada tahun 1817 untuk meminta bantuan dari pemerintah kolonial Belanda.
Artikel ini disusun sebagai berikut. Artikel ini akan dimulai dengan menjelaskan bagaimana pemerintahan Belanda bekerja di Ambon dan Ternate dan akan menjelaskan posisi Regent lokal dan sultan dalam pemerintahan kolonial Belanda. Artikel ini kemudian akan membahas contoh pertama dari efek berulang dengan memfokuskan pada bagaimana agama digunakan untuk melegitimasi pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda. Setelah Belanda memadamkan revolusi ini dengan bantuan Sultan Ternate, mereka harus membangun kembali hubungan dengan para Regent lokal di Ambon, dan menerbitkan kembali instruksi untuk mereka. Artikel ini kemudian mempertimbangkan contoh kedua dari efek berulang dengan menganalisis isi instruksi ini dan akan membahas bagaimana para Regent Ambon menggunakan instruksi ini untuk keuntungan mereka. Artikel ini akan dilanjutkan dengan membahas contoh ketiga dari efek berulang dengan menunjukkan bagaimana Sultan Ternate berhasil menggunakan kontrak-kontrak yang telah ditandatanganinya dengan pemerintah kolonial untuk meminta bantuan Belanda melawan pemberontakan internal dan dengan demikian meningkatkan otoritasnya.
Perubahan dan Kelangsungan di Maluku
Maluku telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang berpusat di Samudra Hindia selama lebih dari dua milenium. Hal ini terjadi karena keberadaan tiga rempah-rempah yang berharga di wilayah ini: cengkeh, pala, dan fuli. Referensi tentang rempah-rempah ini dapat ditemukan dalam teks-teks Romawi kuno, yang menyarankan penggunaannya tidak hanya untuk meningkatkan rasa makanan tetapi juga karena kualitas spiritual dan obat-obatannya. Pada awal era modern, perdagangan rempah-rempah semakin dikuasai oleh pedagang Timur Tengah dan Venesia, setelah itu Portugis sempat mendominasi Maluku. Pada awal abad ke-17, Portugis dikalahkan dan digulingkan oleh Belanda; sejak saat itu Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang didirikan pada tahun 1602, dengan cepat mengalahkan pesaing lokal dan Eropa, sering kali melalui kekerasan, dan memperoleh posisi dominan di Maluku.
Posisi militer VOC yang dominan tercermin dalam cara VOC mengatur perdagangan rempah-rempah. Untuk mengendalikan pasokan perdagangan rempah-rempah Maluku, VOC menetapkan monopoli, yang berlaku sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya7. VOC menentukan jumlah pasti pohon rempah yang dapat ditanam penduduk setempat dan membeli rempah-rempah yang dibudidayakan dengan harga tetap. Sementara para petani tetap miskin karena posisi mereka dalam sistem tersebut, Perusahaan memperoleh keuntungan besar dengan menjual rempah-rempah ke seluruh dunia. Cengkeh dibudidayakan secara eksklusif di Ambon dan beberapa pulau di dekatnya, sebuah praktik yang diberlakukan secara ketat oleh VOC untuk mempertahankan monopolinya. Demikian pula, budidaya pala terbatas di Kepulauan Banda. VOC melarang budidaya rempah-rempah di pulau-pulau lain di Maluku, khususnya di Ternate, tempat pohon cengkeh awalnya tumbuh. Semua pohon rempah-rempah yang ada di sana diperintahkan untuk ditebang. Kebijakan ini dirancang untuk mengonsolidasikan kendali VOC atas pasar rempah-rempah dengan memusatkan produksi di area-area tertentu yang dapat dipantau secara lebih efektif, untuk memastikan monopoli yang aman. Untuk memastikan rempah-rempah tidak tumbuh di pulau lain, VOC melakukan inspeksi keliling, yang disebut ekspedisi hongi. Setiap tahun, ratusan pegawai VOC dan penduduk lokal Ambon akan memeriksa puluhan pulau untuk memastikan pohon yang ditanam secara ilegal ditebang.
Monopoli ini pada akhirnya didasarkan pada (ancaman) kekerasan, tetapi operasi sehari-harinya hanya dapat dilakukan dengan dukungan para Regent dan sultan setempat. Di Ambon, VOC menjalin hubungan dekat dengan sejumlah besar Regent dan di Ternate, VOC berinteraksi dengan seorang sultan. Para penguasa lokal ini memainkan peran penting dalam cara VOC memerintah karena campur tangan langsung dalam urusan Maluku akan membutuhkan kehadiran militer dan birokrasi yang jauh lebih besar. Para Regent lokal dan sultan sangat penting untuk memobilisasi tenaga kerja yang cukup untuk menanam cengkeh dan mempertahankan monopoli rempah-rempah Belanda. Para pekerja paksa ini penting dalam memelihara gedung-gedung VOC, mengirim surat ke dan dari para Regent lokal, dan memuat dan menurunkan muatan kapal.
Para Regent dan sultan mampu memobilisasi sejumlah besar buruh karena mereka memiliki status istimewa dalam masyarakat lokal. Penguasa kolonial Belanda akan menyebut kepala desa di Ambon sebagai Regent, tetapi mereka dikenal dalam masyarakat mereka sebagai raja, patih, atau orangkaya, dan, dalam historiografi Belanda, istilah regent terutama digunakan untuk penguasa Jawa8. Ketika seorang regent mengundurkan diri, para tetua desa akan bersidang untuk membahas dan memilih seorang kandidat dari antara mereka. Calon ini kemudian akan direkomendasikan kepada penguasa kolonial. Biasanya, pemerintah kolonial akan menerima rekomendasi para tetua, yang mengarah pada penunjukan resmi calon tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda di Ambon9. Di Ternate, VOC tidak harus berurusan dengan sejumlah besar regent tetapi berinteraksi dengan satu sultan. Karena sultan ini tidak diizinkan menanam pohon rempah-rempah di tanahnya, VOC telah memutuskan untuk membayarnya sejumlah besar uang sebagai kompensasi, yang diterimanya setiap tahun. Secara teori, sultan dan regent berada di bawah kendali Perusahaan [kompeni] dan, secara formal, VOC berwenang untuk memberhentikan mereka. Akan tetapi, karena posisi istimewa mereka dalam masyarakat, Perusahaan sangat bergantung pada mereka dan perlu menjalin hubungan yang langgeng dengan para pemimpin lokal ini.
Hubungan yang stabil dengan para regent lokal di Ambon penting bukan hanya untuk budidaya rempah-rempah, tetapi juga karena mereka berperan dalam memastikan bahwa ajaran agama dijalankan dengan benar. Meskipun sebagian besar operasi VOC diarahkan untuk perdagangan dan memaksimalkan keuntungan, VOC menyadari bahwa mereka memiliki tugas keagamaan. Ini telah menjadi bagian dari alasan keberadaan VOC, yang didirikan untuk melawan kekuatan Katolik Spanyol dan Portugal. Lebih jauh, masuk akal secara strategis untuk menggunakan agama guna menciptakan hubungan antara VOC dan rakyatnya di Asia. Hal ini terutama terlihat di Maluku. Ketika Belanda menguasai Ambon, Portugis telah mengubah sekitar 16.000 penduduk lokal menjadi penganut Katolik10. Kebijakan VOC difokuskan pada mengubah penganut Katolik ini menjadi penganut Calvinisme. Hal itu dilakukan dengan mengirimkan para pendeta Belanda, yang di setiap tempat pendiriannya didukung oleh sejumlah besar guru sekolah (schoolmeester). Jumlah pendeta Belanda sangat sedikit, sering kali terdiri dari paling banyak 4 orang di Malukuh, dan dalam praktiknya, para guru sekolah Ambon memainkan peran penting dalam mengajar penduduk setempat tentang iman Kristen. Di pulau-pulau Ambon, sekitar 60 guru lokal diawasi oleh 4 pendeta Belanda. Rata-rata, masing-masing dari 60 sekolah ini menerima sekitar 80 hingga 90 anak, terutama anak laki-laki. Sekolah-sekolah tersebut berfokus pada pengajaran anak-anak cara membaca dan menulis, terutama menggunakan buku-buku pelajaran Kristen, dan anak-anak menyanyikan mazmur setiap hari. Pada hari Minggu, kepala sekolah biasanya menyampaikan khotbah, menekankan pentingnya kesetiaan kepada kompeni. Menurut peraturan mereka, “para kepala sekolah terutama harus menanamkan dalam diri kaum muda rasa takut akan Tuhan, untuk mengajar mereka berdoa, bernyanyi, menghadiri gereja, dan mengkatekisasi mereka; selanjutnya untuk mengajarkan mereka ketaatan kepada orang tua, penguasa, dan tuan mereka”11. Oleh karena itu, seorang pakar Calvinisme Belanda, Charles Parker, menyimpulkan bahwa “dari sudut pandang pejabat VOC di wilayah Asia, pendeta […] diperlukan untuk menanamkan kesetiaan di antara penduduk setempat”12. Ketika para pendeta dan kepala sekolah Calvinis ini menekankan pentingnya kesetiaan kepada Perusahaan, Parker menyatakan bahwa “Calvinisme melayani kepentingan kekaisaran dan komersial perusahaan”13.
Selama abad ke-18, kendali Belanda di Maluku sebagian besar tetap tidak tertandingi. Namun, pada awal abad ke-19, dominasi ini secara signifikan dirusak ketika Inggris berhasil mengusir Belanda dari wilayah tersebut pada dua kesempatan. Dari tahun 1796 hingga 1803, Inggris menguasai Ambon, dan dari tahun 1801 hingga 1803, mereka juga menguasai Ternate. Setelah periode singkat pemerintahan Belanda antara tahun 1803 dan 1810, Inggris kembali menduduki kedua pulau tersebut dari tahun 1810 hingga 1817. Peristiwa-peristiwa ini terjadi dengan latar belakang perang revolusioner dan Napoleon, menyusul pengambilalihan Republik Belanda oleh Prancis pada pertengahan tahun 1790-an. Sasaran strategis Inggris adalah mengamankan bekas wilayah Belanda ini untuk melindungi rute perdagangan ke India dan membatasi ekspansi Prancis di Asia14. Perdamaian singkat yang dicapai melalui Perjanjian Amiens pada tahun 1802 menyebabkan pengembalian Maluku ke Republik Batavia pada tahun 180315. Namun, pemulihan kekuasaan Belanda berikutnya menandai perubahan yang signifikan; sekarang pemerintah Belanda, bukan VOC yang sedang mengalami kesulitan keuangan, yang mengambil alih kekuasaan. VOC telah bubar menjelang akhir abad ke-18 karena hampir bangkrut. Inggris merebut kembali kepulauan Maluku pada tahun 1810, memperluas kendali mereka hingga mencakup Jawa, sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk menegaskan pengaruh mereka atas Samudra Hindia16. Tindakan ini menyusul pengusiran Prancis sebelumnya dari Mauritius, yang secara signifikan mengurangi pengaruh mereka di wilayah tersebut17. Namun, kendali Inggris tidak berlangsung lama. Setelah jatuhnya Napoleon dan pembentukan kembali monarki Belanda di bawah William I dari Orange, diskusi dimulai mengenai pengembalian wilayah kolonial Belanda. Perjanjian London tahun 1814 antara pemerintah Inggris dan Belanda menetapkan pengembalian Maluku, yang diselesaikan pada tahun 1817.
Filsafat Kolonial Baru
Pada tanggal 24 Maret 1817, perwakilan Belanda Jan Albertus van Middelkoop dan Nicolaus Engelhardi, bersama dengan perwakilan Inggris William Byam Martinj, menyelesaikan perjanjian yang secara cermat menguraikan prosedur pemindahan kekuasaan. Keesokan harinya, bendera Belanda dikibarkan di Ambon, menandai perayaan resmi pemindahan ini. Meskipun bendera tersebut sudah dikenal oleh semua orang, Belanda bermaksud untuk menunjukkan kepada Inggris dan orang Ambon bahwa filosofi pemerintahan mereka telah bergeser secara nyata dari filosofi VOC yang sudah tidak ada lagi. Banyak pejabat kolonial dari era baru ini berpendapat bahwa Perusahaan Hindia Timur Belanda telah dirundung oleh korupsi, dengan para pejabat lebih berfokus pada keuntungan pribadi daripada kepentingan perusahaan atau rakyat Maluku. Korupsi ini, menurut mereka, merupakan alasan utama kejatuhan VOC.
Namun, sekarang, otoritas kolonial tidak dijalankan oleh perusahaan dagang, tetapi oleh pemerintah Hindia Belanda, yang secara resmi didirikan pada tahun 1816. Dinyatakan dengan lantang bahwa perlombaan untuk mendapatkan keuntungan tidak akan lagi berkuasa dan sebagai gantinya perhatian yang tulus terhadap rakyat kolonial akan ditunjukkan. Pemerintahan kolonial Belanda ditata ulang, dan lembaga-lembaga baru didirikan untuk menciptakan birokrasi yang lebih profesional. Profesionalisasi ini mengharuskan para pejabat untuk mematuhi protokol dan instruksi yang ketat dan hanya ada sedikit ruang untuk memperkaya diri sendiri. Dalam instruksi tersebut, ditetapkan bahwa gubernur harus memastikan bahwa baik dia maupun bawahannya tidak mengambil “gaji, keuntungan diam-diam, persentase, atau keuntungan lainnya”18. Perubahan birokrasi ini juga mengandung cara baru dalam berinteraksi dengan penduduk lokal. Seorang gubernur menulis bahwa falsafah kolonial ini juga mengandung rasa hormat baru bagi orang Ambon: “Saya telah menjadikan tugas saya yang menyenangkan untuk menanamkan rasa hormat di antara penduduk asli/pribumi (penduduk pedalaman) terhadap pemerintahan Belanda. Dalam semua kesempatan, saya telah menerima dan berbicara dengan para regent dan mereka yang berasal dari keturunan terendah, dan menyampaikan kepada mereka bahwa pemerintah, dalam arti yang seluas-luasnya, menghendaki agar penduduk asli/pribumi diperintah dengan lembut dan adil, dan agar mereka tidak ditindas atau diperlakukan tidak adil”19.
Pemberontakan Pattimura
Namun, jika Belanda memiliki gagasan yang sama sekali berbeda tentang diri mereka sendiri, akan segera diketahui bahwa orang Ambon masih memiliki gagasan yang jelas tentang siapa mereka. Di mata orang Maluku, pidato-pidato Belanda tentang filosofi kolonial baru tidak lebih dari sekadar frasa kosong. Sebaliknya, ada kekhawatiran bahwa Belanda akan mengutamakan keuntungan daripada prinsip dan kembali ke kebijakan pendahulu mereka yang terkenal, VOC. Selain itu, prestise Belanda telah sangat menurun setelah dikalahkan dengan mudah oleh Inggris beberapa tahun sebelumnya. Jika, sepanjang abad ke-18, VOC dianggap sebagai kekuatan yang kuat, kemudahan Inggris mengalahkan Belanda menunjukkan kepada para pemimpin Maluku betapa rapuhnya kekuatan mereka.
Pemulihan kekuasaan Belanda menyebabkan ketidakpuasan yang besar di antara para penguasa Ambon, yang membantu memicu pemberontakan besar, yang dipimpin oleh Thomas Matulessy, yang dikenal sebagai Kapitan Pattimura. Dia adalah seorang Kristen yang taat yang telah bergabung dengan tentara Inggris setelah mengambil alih kendali atas Maluku. Di sana, ia mencapai pangkat sersan mayor dan, sebagian karena kemampuan bela dirinya, segera menjadi pemimpin pemberontakan. Pemberontakan dimulai pada tanggal 15 Mei 1817 di Pulau Saparua dan melibatkan pembunuhan seorang pejabat kolonial Belandak, yang dituduh oleh para Regent Ambon telah menindas penduduk desa setempat. Bagi Pattimura dan banyak pemimpin Ambon lainnya, kebijakan keras pemerintah kolonial Belanda menjadi semakin jelas karena sangat kontras dengan pemerintahan Inggris, yang dianggap jauh lebih lunak dan lebih mudah ditanggung oleh orang Ambon. Seorang penduduk setempat menyatakan, “jika Belanda ingin memerintah kita, maka mereka harus bersikap adil dan jujur, seperti orang Inggris, yang menepati janji mereka"20. Banyak orang marah ketika mengetahui bahwa Belanda berencana untuk mengembalikan monopoli rempah-rempah. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pemerintah Belanda ingin memaksa orang-orang Maluku untuk bergabung dengan tentara, hanya untuk kemudian mengirim mereka ke Jawa yang jauh. Oleh karena itu, Pattimura dan sejumlah regent lokal berfokus untuk memastikan agar Belanda digulingkan sebelum mereka dapat mengonsolidasikan kekuasaan mereka atas semua pulau di Maluku Tengah. Antara bulan Mei dan November 1817, terjadi beberapa bentrokan hebat antara angkatan bersenjata Belanda dan para pemimpin Ambon ini.
Pemberontakan Kristen?
Dinamika efek perulangan dapat dilihat dari peran agama dalam memobilisasi dukungan di antara para pemimpin Ambon untuk melawan kembalinya Belanda. Pada tanggal 29 Mei 1817, para pemimpin pemberontakan mengajukan petisi kepada pemerintah kolonial Belanda. Dokumen ini, yang ditulis dan ditandatangani oleh Pattimura dan banyak regent lainnya, berisi sekitar 14 pasal/tuntutan, yang, di mata para penulis, melegitimasi “segala sesuatu yang telah terjadi”21 .
Poin pertama dari daftar tuntutan mereka langsung menyentuh inti permasalahan. Seperti yang dikatakan Pattimura dan para pengikutnya, “Yang menyangkut agama: pemerintah Belanda ingin memecat para guru sekolah dan menghancurkan agama Kristen”22. Para guru sekolah ini, yang sering kali merupakan keturunan Ambon, sebelumnya telah dibayar oleh VOC dan memainkan peran penting dalam menyediakan pendidikan dan pengajaran agama di Ambon. Pada tahun 1817, tersebar rumor bahwa negara kolonial percaya bahwa akan lebih bermanfaat dan lebih murah jika penduduk desa Ambon sendiri yang membayar para guru sekolah ini. Pattimura dan para pengikutnya menganggap hal ini sebagai upaya “oleh Kompeni yang Terhormat untuk mengubah kami menjadi penyembah berhala, dan ini telah sangat menyakiti kami orang-orang Kristen, karena Kompeni Belanda yang Terhormatlah yang, pada zaman nenek moyang kami […] telah menjadikan kami orang-orang Kristen”23. Pentingnya para guru sekolah menjadi sangat jelas selama tahun-tahun pemerintahan Inggris dan pergolakan revolusioner. Antara tahun 1794 dan 1815 tidak ada pendeta Belanda di Ambon, dan hanya karena kerja keras para guru sekolah, prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Kristen masih diajarkan di antara masyarakat Maluku24. Karena percaya bahwa “Kompeni tidak menjalankan agama sebagaimana mestinya”, maka tibalah waktunya bagi masyarakat Ambon untuk memutuskan hubungan dengan bekas penguasa kolonial mereka. Penyebutan yang terus-menerus terhadap negara kolonial sebagai “Kompeni” menunjukkan bahwa dalam benak masyarakat Ambon, hanya ada sedikit gagasan tentang VOC yang telah digantikan oleh rezim yang dianggap lebih tercerahkan.
Para pemohon membandingkan kebijakan baru Belanda ini dengan bagaimana urusan agama dibiarkan begitu saja oleh pemerintah kolonial Inggris selama Interregnum Inggris kedua. Seperti yang diklaim oleh para pemohon, “Inggris membayar kami untuk pekerjaan kami dan menghormati agama kami; itulah sebabnya orang-orang mematuhi mereka dan hidup dalam damai, tetapi begitu Belanda datang untuk memerintah kami, semuanya berakhir. Itulah sebabnya orang-orang menjadi tidak puas dan memberontak terhadap pemerintah”25. Pattimura menyatakan bahwa jika Belanda ingin melanjutkan kekuasaan mereka, mereka harus “adil dan jujur seperti Inggris, yang menepati janji mereka.” Namun, ia menyatakan, jika Belanda tidak memerintah seperti Inggris, maka “kami akan menentangnya [negara Belanda] untuk selamanya”26. Perjuangan akan dipimpin oleh Pattimura, yang, menurut para pemohon, tidak dipilih oleh masyarakat mereka, tetapi telah “ditunjuk oleh Yang Mahatinggi”27.
Pentingnya agama juga relevan dalam poin lain dalam daftar keluhan, yang pada bacaan pertama tampaknya tentang masalah perdagangan dan ekonomi. Orang Ambon mengeluh bahwa kekurangan perak memaksa mereka menggunakan uang kertas sebagai gantinya. Hal ini bermasalah bukan hanya karena nilai mata uang kertas yang lebih rendah tetapi juga karena hal ini bertentangan dengan adat gereja tentang bagaimana sedekah diberikan, yang menyatakan bahwa hanya koin perak yang dapat dimasukkan ke dalam kotak persembahan gereja. Seperti yang dinyatakan salah seorang regent dalam sebuah negosiasi dengan seorang pejabat kolonial: “Kami tidak ingin menerima uang kertas, yang menghalangi kami untuk dapat mengurus orang miskin di gereja kami, karena kertas tidak dapat dimasukkan ke dalam kotak”28. Para regent mengklaim bahwa mereka ingin mempertahankan tradisi lama mereka, “yang tanpanya perdamaian tidak dapat dicapai, bahkan jika ini mengarah pada kehancuran seluruh pulau”29. Pentingnya agama juga ditonjolkan dalam beberapa kompromi yang bersedia dilakukan oleh Pattimura dan para regent. Gagasan bahwa pemberontakan ini pada dasarnya tidak bersifat anti-kolonial juga dapat dilihat dari bagaimana beberapa pemimpin Ambon percaya bahwa perdamaian dapat dicapai antara mereka dan Belanda. Mereka mengklaim bahwa mereka akan terus “hidup dalam damai dan tenang” jika “dua pendeta ditempatkan di Ambon” dan diizinkan untuk terus “mempertahankan agama mereka, yang dibawa ke pulau-pulau ini oleh pemerintah Belanda”30. Sentimen ini menunjukkan bahwa para pemimpin Maluku menghubungkan agama mereka dengan kedatangan Belanda dan masih memiliki sedikit rasa hormat kepada mereka karena mereka telah memperkenalkan Calvinisme di Maluku.
Lebih jauh, bukan hanya kepatuhan yang tepat terhadap ritual Kristen menjadi alasan pemberontakan, tetapi mazmur-mazmur dari Alkitab juga digunakan untuk melegitimasi pemberontakan yang dilancarkan Pattimura. Dalam konteks Eropa, banyak sarjana telah menekankan bagaimana revolusi Atlantik pada akhir abad ke-18 dibenarkan oleh retorika yang tercerahkan tentang kesetaraan, hak asasi manusia, dan kedaulatan rakyat. Sementara gagasan-gagasan seperti itu sangat hadir dalam retorika pejabat kolonial, Pattimura dan para pengikutnya sebagian besar merujuk kembali ke tradisi doktrin Calvinis yang jauh lebih tua untuk memberontak terhadap kebijakan-kebijakan kolonial. Contoh-contoh ini dapat ditemukan dalam sebuah catatan perjalanan yang ditulis oleh seorang pejabat kolonial Belanda, Maurits Ver Huell, yang kisahnya yang sangat jelas dan terperinci tentang pemberontakan Pattimura dikutip dalam pengantar artikel ini. Dalam narasinya, ia menyebutkan bagaimana ia bertemu dengan “beberapa pemberontak,” di antaranya salah seorang guru sekolah Saparual. Ver Huell menggambarkannya sebagai “kepala sekolah yang tua dan beruban [, yang] merupakan salah satu pembuat onar utama; dan karena ia sangat menguasai Alkitab, ia berulang kali mengutip Kitab Suci untuk mendukung anggapan bahwa tindakan rekan senegaranya itu adil”31. Ver Huell tidak membagikan informasi apa pun tentang ayat-ayat yang disajikan oleh guru sekolah itu, tetapi informasi lebih lanjut tentang hal ini dapat ditemukan dalam laporan yang berbeda. Dalam laporan ini, seorang pejabat kolonial membahas bagaimana, selama inspeksi di sebuah desa Ambon yang terjadi sehari setelah serangan terhadap salah satu benteng Belanda dilakukan, ia menemukan sebuah Alkitab di sebuah gereja di Saparua. Alkitab itu dibuka di Mazmur 17, yang sebagiannya berbunyi:
Dengarlah perkara yang benar, ya TUHAN; perhatikanlah teriakku! […] Biarlah mata-Mu melihat apa yang benar! Jagalah aku seperti biji mata-Mu; sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu, terhadap orang-orang fasik yang menyiksaku, terhadap musuh bebuyutanku yang mengepung aku. Mereka menutup hati mereka terhadap belas kasihan; dengan mulut mereka berbicara dengan sombong. […] Bangkitlah, ya TUHAN! Hadapi dia, taklukkan dia! Bebaskanlah jiwaku dari orang-orang fasik dengan pedang-Mu, dari manusia dengan tangan-Mu, ya TUHAN.
Mazmur ini, dengan baris-barisnya tentang tujuan yang benar, berbicara dengan sangat menyentuh perasaan orang Ambon yang diperlakukan tidak adil oleh rezim kolonial Belanda. Lebih jauh, fakta bahwa kebaktian Komuni Kudus diadakan untuk mempersiapkan diri menghadapi pertempuran melawan Belanda merupakan tanda bahwa orang Ambon telah menolak tidak hanya tuntutan politik negara Belanda tetapi juga peran Belanda dalam upacara keagamaan. Hingga saat itu, hanya pendeta Belanda yang diizinkan untuk melaksanakan sakramen Komuni Kudus, sementara guru-guru sekolah Ambon hanya memainkan peran sekunder dalam ritual-ritual ini. Dengan mengadakan kebaktian tanpa partisipasi pendeta Belanda, orang-orang Kristen Ambon juga telah memproklamasikan kemerdekaan mereka dari Belanda dalam arti keagamaan.
Setelah pemberontakan dimulai, Pattimura secara teratur menekankan pentingnya mematuhi ritual-ritual Kristen untuk memperkuat hubungan antara para pemberontak. Kebutuhan akan persatuan ini sangat penting, karena Belanda selalu berhasil menguasai Maluku melalui kebijakan adu domba dan kini berupaya menebarkan perpecahan di antara orang Ambon selama masa perang. Pattimura menekankan bahwa para pengikutnya perlu berpegang teguh pada kepercayaan Kristen mereka. Ia mendesak mereka untuk “terus memajukan kepentingan kita orang Kristen sesuai dengan perintah Yang Mahakuasa yang ada di surga. Hal ini harus dilakukan dengan pergi ke Gereja pada hari Minggu dan menghadiri pertemuan-pertemuan pada hari kerja”32. Lebih jauh, di masa krisis ini, Pattimura menekankan pentingnya pendidikan Kristen. Ia menasihati para pengikutnya untuk “memastikan anak-anak bersekolah,” karena di sana mereka dapat “diajarkan firman Tuhan dan menjadi seorang Kristen, demi kemuliaan negara kita, sesuai dengan kehendak suci Tuhan”33. Agama bukan hanya merupakan unsur penting dalam upaya VOC untuk menciptakan rakyat yang loyal, tetapi Pattimura juga menekankan kekuatannya dalam menciptakan persatuan di antara kelompok besar orang Ambon yang memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Gagasan tentang efek perulangan dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai cara pada bagaimana Pattimura dan para pengikutnya menggunakan agama untuk membenarkan serangan mereka terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagi orang Belanda, Calvinisme merupakan bagian dari identitas republik mereka di Eropa, serta identitas VOC. Hal ini muncul dalam konteks perang melawan kekaisaran Iberia, yang menganut Katolik. Para pendeta Belanda, setelah banyak orang di Maluku bertobat, secara teratur menekankan pentingnya kesetiaan kepada Perusahaan. Pada awal abad ke-19, banyak pengikut Pattimura menyadari bahwa agama Kristen, dalam interpretasi Calvinisnya, telah dibawa ke Maluku oleh Belanda pada abad ke-17. Namun, relevansi Calvinisme yang berkelanjutan pada pergantian abad ke-19 bukan karena para pendeta Belanda, tetapi karena para guru sekolah lokal, yang telah mengajarkan orang Ambon dasar-dasar iman Kristen pada masa perang dan krisis. Iman Kristen mereka menawarkan kepada mereka pedoman spiritual dan etika tentang apa yang mereka harapkan dari sebuah rezim politik. Ketika kepercayaan menyebar luas bahwa Belanda yang kembali akan menghentikan pembayaran kepada para guru sekolah dan memberlakukan kembali monopoli rempah-rempah, Pattimura dan para pengikutnya menggunakan cita-cita dan mazmur Kristen untuk melegitimasi tindakan mereka terhadap Belanda.
==== bersambung ====
Catatan Kaki
1. Maurits Ver Huell, Herinnnering aan een reis naar Oost-Indië. Reisverslag en aquarellen van Maurits Ver Huell, 1815–1819, ed. Chris F. Van Fraassen and Pieter Jan Klapwijk (Zutphen: Walburg Pers, 2008), halaman 291.
2. Nuno Domingos, Miguel Bandeira Jerónimo, and Ricardo Roque, “Introduction,” in Resistance and Colonialism: Insurgent Peoples in World History, ed. Nuno Domingos, Miguel Bandeira Jerónimo, and Ricardo Roque (Cambridge: Palgrave Macmillan, 2019), halaman 4.
3. James Scott, “Everyday Forms of Peasant Resistance,” in Everyday Forms of Peasant Resistance in South-East Asia, ed. James Scott and Benedict J. Tria Kerkvliet (London: Frank Cass, 1986), halaman 8.
4. Merle Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726–49: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II (Sydney: Allen Unwin, 1998).
5. Sujit Sivasundaram, Waves Across the South: A New History of Revolution and Empire (London: William Collins, 2020), halaman 2.
6. Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2000), halaman 122.
7. Gerrit Knaap, Kruidnagelen en christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656–1696, 2nd ed. (Leiden: KITLV Uitgeverij, 2004).
8. Ch. F. Van Fraassen, Ambon in het 19-eeuwse Indië, van wingewest tot werfdepot (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2018), halaman 73.
9. Knaap, Kruidnagelen en christenen, halaman 44.
10. Charles Boxer, The Dutch Seaborne Empire (London: Hutchinson, 1988), halaman 163.
11. Charles Parker, Global Calvinism: Conversion and Commerce in the Dutch Empire, 1600–1800 (New Haven, Conn.:Yale University Press, 2022), halaman 128.
12. Ibid., halaman 33.
13. Ibid., halaman 17.
14. Alexander Mikaberidze. The Napoleonic Wars: A Global History (Oxford: Oxford University Press, 2020), halaman 62.
15. Jeroen Koch, Koning Willem I, 1772–1843 (Amsterdam: Boom Uitgeverij, 2013), halaman 125.
16. Mikaberidze, The Napoleonic Wars, halaman 498.
17. Sivasundaram, Waves Across the South, halaman 230.
18. National Archives (NA), The Hague, Koloniën 2.10.01, 2367, Instructions for the Commissioners tasked with the transition of power for the Moluccas, 31-01-1817, Art. 30
19. Leiden University Library, Leiden, D H 71, Beknopte memorie overgeven door den afgaande Gouverneur [derMolukken] H. M. de Kock, Generaal Majoor, aan den aankomende Gouverneur [J. H.] Tielenius Kruithoff, 1 January 1819
20. Dikutip dalam Piet Hagen, Koloniale Oorlogen in Indonesië. Vijf Eeuwen Verzet Tegen Vreemde Overheersing (Amsterdam: De Arbeiderspers, 2018), halaman 278.
21. P. H. van der Kemp, Het Nederlandsch-Indisch bestuur in het midden van 1817; naar oorspronkelijke stukken s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1915), halaman 29.
22. Ibid.
23. National Archives of Indonesia (ANRI), Jakarta, Ambon 566, Report of Captain Groot’s actions in Saparua, annex O
24. Karel Steenbrink, “Moluccan Christianity in the 19th and 20th century between Agama Ambon and Islam,” in Karel Steenbrink, Jan Aritonang eds. A History of Christianity in Indonesia, ed. Karel Steenbrink and Jan Aritonang (Leiden: Brill, 2008), halaman 383.
25. Van der Kemp, Het Nederlandsch-Indisch Bestuur, halaman 30.
26. Ibid.
27. Ibid., halaman 32.
28. Ibid.
29. Ibid.
30. National Archives of Indonesia (ANRI), Jakarta, Ambon 566, Report of Captain Groot’s actions in Saparua, annex D.
31. Ver Huell, Herrinering, halaman 291.
32. Dikutip dalam Ben Van Kaam, The South Moluccans: Background to the Train Hijackings (London: Hurst, 1979),halaman 18.
33. Ibid.
Catatan Tambahan
a. Luc Bulten, Colonial Recognition? The Appropriation of Dutch Land and Population Registers as Legal Documents in Eighteenth-Century Sri Lanka (halaman 118 – 135)
b. Anubha Anushree, Corrupt Traditions and Traditions of Corruption: Caste, Colonialism, and Corruption in Late Nineteenth-Century India (halaman 152 – 168)
c. Maarten Manse, State of Reciprocity: The “Looping Effect” in the Circular Production of Colonial Knowledge, Social Customs, and Tax Policy in Nineteenth- and Twentieth-Century Indonesia (halaman 169 – 184)
d. Periode hidup Thomas Matulessy yaitu 1783 – 1817, secara umum telah diterima. Namun faktanya, tahun 1783 sebagai tahun lahirnya Thomas Matulessy hanyalah suatu “estimasi” oleh para penulis Indonesia, misalnya I.O. Nanulaita berdasarkan tulisan dari Q.M.R. Verhuell dan J.B.J. van Doren, yang menulis bahwa saat Thomas Matulessy dieksekusi pada Desember 1817, ia berusia sekitar 34 tahun. Catatan pasti tentang tanggal lahir Thomas Matulessy sendiri, baik berupa register baptisan dirinya, atau catatan lahirnya, tidak/belum ditemukan sejauh ini.
e. Querijn Maurits Rudolph Verhuell, lahir pada 11 September 1787 dan meninggal dunia pada 10 Mei 1860
f. Artikel dari Philip Post ini dimuat dalam Jurnal Itinerario volume 48, dengan spesial isue mengambil tema besar Looping Bureaucracies. Imperial Administrations and Social-Political Change in Asia (1750 – 1950)
g. Pengantar atau pendahuluan dalam edisi yang dimaksud adalah tulisan atau artikel yang ditulis oleh Dries Lyna, Luc Bulten, Henrik Chetan Aspengren dengan judul Looping Bureaucracies. Imperial Administrations and Social-Political Change in Asia (1750 – 1950), pada halaman 111-118
h. Misalnya untuk tahun 1732, di Gubernemen Amboina, hanya dilayani oleh 4 pendeta yaitu Balthasaar Demhorst (dari Oldenburg), Petrus Kraan (dari Zeeland), Philipus Capelle (dari Detmolt) dan Hendricus Grimbergen (dari Utrecht)
§ Maarten Vanharverbeke, Amboina De VOC op Ambon in 1732 : een socio-economische analyse, Thesis, Universitas Ghent, Belanda.
i. Jan Albertus van Middelkoop dan Nicolaus Engelhard adalah Komisioner Pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris
j. William Byam Martin adalah Resident Maluku asal Inggris yang bermarkas di Ambon pada periode 7 Januari 1811 – 24/25 Maret 1817
k. Resident van Saparoua, Johannes Rudolph van den Berg, dibunuh pada tanggal 16 Mei 1817 di benteng Duurstede, Saparua.
Jacob Sahetapi, asal [negeri] Kamariang, Seram. Sebelumnya ia bertugas di Hatusua (?? – 1804), Siri Sori Serani (1805 - ???) dan di Saparua (??? – 1817).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar