Senin, 13 Januari 2025

Sebagian [orang] Ambon yang lain : Beberapa tinjauan awal tentang Masyarakat dan Sejarah Islam Ambon


(bag 1)

[Richard Chauvel]

 

A.      Kata Pengantar

Pada masa kolonial, kaum Muslim terpinggirkan dalam lingkup kekuasaan. Begitu juga yang dialami oleh masyarakat Muslim Maluku, khususnya dalam konteks masyarakat Muslim  Ambon. Selama periode kolonial itulah, orang Islam Ambon seperti tidak mendapat “tempat” dalam percaturan sosial politik dibandingkan dengan saudara mereka, orang Kristen Ambon. Misalnya saja, hingga awal abad ke-20, masih banyak anak-anak Muslim Ambon yang tidak bersekolah, kalaupun ada itu hanya terbatas pada anak-anak Raja atau kalangan “bangsawan” di suatu negeri.

Membaca kajian dari almarhum Richard Chauvel ini, kita akan mengetahui, memahami ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Ambon, dalam hal ini penduduk Islam Ambon. Kajian dari Chauvel berjudul Ambon’s other half :  some preliminary observations on Ambonese Moslem Society and History, dimuat dalam Review of Indonesian and Malayan Affairs, volume 14, nomor 1, June 1980, halaman 40-80, dan  diterbitkan oleh the Department of Indonesian and Malayan Studies The University of Sidney bekerjasama dengan the Documentation Centre for Modern Indonesia, Royal Institute for Linguistic and Anthropology, The Netherlands. 

Perayaan Koningindaag di Ambon, ca. 1921 oleh penduduk Islam Ambon

Merupakan hal yang menarik bahwa Chauvel menggunakan judul Ambon’s other half atau sebagian orang Ambon [yang] “lain”. Ia menggunakan kata yang “lain” untuk menggambarkan orang Ambon Muslim, bukan dalam pengertian merendahkan, atau aneh, tetapi dalam makna “terpinggirkan”  atau “terasing” dibandingkan sebagian orang Ambon, yang lebih "utama" yaitu masyarakat Kristen Ambon.  

Artikel dari Chauvel ini sepanjang 41 halaman dengan 93 catatan kaki, namun sayangnya tidak ada ilustrasi, sehingga kami akan menambahkan sedikit ilustrasi dan catatan tambahan dalam artikel terjemahan ini dan membaginya menjadi 3 bagian. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk menambah wawasan kesejarahan kita, misalnya memahami kondisi psikologi masyarakat Muslim Ambon terhadap kolonialisme, “ketidak sukaan” terhadap orang Kristen Ambon, serta ujungnya tidak terlalu terpesona dengan ide pemisahan dalam bentuk pemberontakan RMS, meskipun ada juga tokoh-tokoh Islam yang terlibat, namun itu hanyalah segelintir atau “minor”.

B.      Terjemahan

Penduduk Karesidenan Ambon pada hakikatnya dapat dibagi ke dalam tiga kelas: Pertama, mereka yang karena agama Kristen, status burger, dan sebagainya, dapat disebut sebagai orang Ambon, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk pulau-pulau rempah, juga sebagian penduduk di pesisir Seram dan Buru, dan yang jumlahnya paling banyak; Ketiga, kelas muslim yang jumlahnya jauh lebih sedikit, bersama dengan orang-orang Arab dan orang-orang Asia lainnya1.

Karakterisasi Ludekinga tentang orang Ambon merupakan ekspresi ekstrem dari pandangan yang dianut secara luas, baik oleh orang Indonesia maupun orang lain, bahwa orang Ambon adalah orang Kristen. Kesalahpahaman tersebut cukup dapat dimengerti. Sebagian besar orang Ambon yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk melayani kekuasaan kolonial, sebagai tentara, profesional, dan pegawai negeri, adalah orang Kristen. Hanya di negeri-negeri (desa-desa) di pulau Ambon dan Lease2 bukti visual masyarakat Muslim Ambon dapat ditemukan. Kota Ambon, sebagai pusat birokrasi, memiliki kesan Kristen dan banyak dari Muslim yang paling jelas, pedagang misalnya, adalah orang non-Ambon. Ilusi tersebut semakin diperkuat dalam beberapa tahun terakhir oleh publisitas yang menarik minat masyarakat Maluku Selatan di Belanda, yang sebagian besar terdiri dari tentara kolonial tua dan keturunan mereka dan, tidak mengherankan, lebih dari 90% beragama Kristen3

Komposisi agama di pulau Ambon dan Lease sulit dipastikan dengan akurat, tetapi diperkirakan hampir sama antara pemeluk Islam dan Kristen. Di luar kota Ambon, dengan beberapa pengecualian, pemeluk Islam dan Kristen tinggal di negeri yang terpisah, masing-masing dengan raja (kepala desa) dan pemerintahan sendiri, berbagi adat (hukum adat) yang sama, yang fondasinya mendahului "perpindahan agama" masing-masing4.

Penduduk [negeri] Laha, ca. 1924

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji berbagai aspek masyarakat Muslim Ambon dan perkembangan sejarahnya – penyesuaian antara adat dan Islam, perubahan agama, hubungan kolonial, dekolonisasi, dan tradisi historis – untuk mengilustrasikan, melalui penggunaan contoh-contoh regional dan desa, komunitas yang beragam, kompleks, dan dinamis yang pengalaman sejarahnya sangat berbeda dari komunitas Kristen yang lebih dikenal. Dapat dikatakan bahwa perubahan struktural utama dalam masyarakat Ambon selama lima atau enam dekade terakhir adalah emansipasi Komunitas Muslim, yang melaluinya kaum Muslim memainkan peran yang semakin aktif di semua bidang masyarakat. Pembahasan berikut difokuskan pada komunitas Muslim dalam perkembangan sejarah Ambon yang kontras dengan fokus Kristen yang dominan pada sebagian besar tulisan sejarah dan sosiologis tentang masyarakat Ambon. Bukan maksud untuk menyatakan bahwa fokus seperti itu lebih baik daripada fokus pada komunitas Kristen, tetapi lebih pada fokus yang dapat memberikan wawasan penting tentang hakikat masyarakat Ambon. Namun, pada akhirnya, kedua perspektif tersebut harus dipertimbangkan jika kita ingin memahami masyarakat secara keseluruhan. Perkembangan sejarah umat Islam dan Kristen telah berbeda dalam banyak hal, tetapi kedua komunitas tersebut selalu berinteraksi satu sama lain dalam entitas sosial yang lebih besar atas dasar adat yang sama. Meskipun pola konflik dan ketegangan terus berubah, apa yang dimiliki orang Ambon tetap lebih penting daripada perbedaan agama mereka.

Kedatangan Islam.

Islam mendahului agama Kristen di kepulauan Ambon. Pada saat Portugis tiba, terdapat komunitas Muslim yang didirikan di pusat perdagangan Hitu di semenanjung utara pulau Ambon dan uli Hatuhaha di bagian utara Haruku sudah beragama Islam. Islam dibawa ke daerah tersebut oleh para pedagang yang mencari rempah-rempah, sehingga hubungan erat antara perdagangan dan Islam yang ditemukan di banyak bagian kepulauan tersebut terlihat jelas di sini. Berapa lama Islam telah terbentuk tidak dapat dipastikan. Pires dan Antonio Galvao memperkirakan bahwa "konversi" Ternate terjadi sekitar tahun 1460-1465, sementara Hikayat Tanah Hitu menceritakan bahwa salah satu pemimpin Hitu, Patih Putih, pernah ke Tuban sekitar tahun 1510 untuk mempelajari Islam dan di sana menjalin aliansi dengan Kesultanan Ternate5. Tampaknya kemungkinan besar kontak keagamaan awal berasal dari pelabuhan dagang di Utara Jawa, tetapi seiring berkembangnya Hitu sebagai pusat perdagangan, kontak dengan daerah Islam lainnya pun semakin beragam, dengan Makassar menjadi yang terpenting. Kontak ini terus berlanjut hingga akhirnya Belanda berhasil menekan Hitu pada tahun 1656.

Islam dan hubungan dagang yang membawanya, meruntuhkan isolasi masyarakat Ambon. Orang Ambon, atau setidaknya sebagian dari mereka, menjadi bagian dari komunitas Muslim yang lebih besar6, yang keanggotaannya memberikan fokus identitas alternatif dan visi baru tentang dunia. Kepercayaan dan praktik keagamaan mereka mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan orang luar, tetapi orang Ambon tidak meragukan identitas mereka sebagai Muslim. Tampaknya mungkin bahwa hubungan keagamaan dan perdagangan ini memiliki pengaruh penting pada pertumbuhan struktur politik. Hitu adalah contoh terbaik, tetapi pembentukan negeri sebagai unit teritorial dan lembaga raja dapat dikaitkan dengan hubungan perdagangan dengan pelabuhan Jawa pasisir dan bagian lain dari kepulauan barat7.

Mesjid di [negeri] Kaitetu, ca. 1920an

Dari sudut pandang Muslim, kekalahan Hitu tidak hanya berarti hilangnya otonomi politik mereka, tetapi dengan penerapan monopoli rempah-rempah, Belanda memutuskan hubungan Ambon dengan pusat-pusat Muslim lainnya di kepulauan tersebut. Muslim Ambon dengan demikian relatif terisolasi dari arus utama pemikiran Islam hingga akhir abad ke-19. Sifat terputus-putus dari kontak awal dengan Islam dan abad-abad isolasi berikutnya memberikan konteks historis bagi pengembangan akomodasi antara adat dan Islam, di mana adat tetap dominan. Muslim Ambon sendiri merupakan penengah utama dalam proses tersebut.

Di uli Hatuhaha, misalnya, beberapa ketaatan beragama mengembangkan variasi lokal yang berbeda. Puasa dilakukan selama tiga hari di bulan Ramadhan, yang ditentukan oleh iman menurut sistemnya sendiri. Salat dilakukan seminggu sekali pada ibadah Jumat utama dan masjid hanya dibuka pada waktu tersebut. Ada sebagian yang meyakini bahwa Nabi sendirilah yang membawa Islam ke daerah tersebut dan karenanya mereka merasa tidak perlu pergi ke Mekkah untuk berziarah, cukup dengan mengunjungi kramat (makam) beliau di perbukitan8. Ritual-ritual penting ini dan ritual-ritual penting lainnya di daerah tersebut dicirikan oleh jalinan adat dan kepercayaan serta praktik Islam. Penyesuaian ini dijelaskan oleh kaum Muslim akhir-akhir ini dalam konteks kontak awal dengan Islam. Pada saat itu pemukiman Hatuhaha masih berada di perbukitan sehingga komunikasi buruk dan para misionaris/pedagang pertama hanya tinggal sebentar. Tuntutan yang mereka berikan kepada para mualaf baru terbatas.

Dalam struktur otoritas negeri Muslim, para pejabat agama berada di bawah raja. Setiap negeri memiliki kasisi yang terdiri dari seorang imam, chatib, modin, dan marboth, yang masing-masing memiliki tanggung jawab khusus di masjid. Ada variasi antar negeri dalam jumlah pejabat dan cara mereka ditunjuk. Akan tetapi, posisi umum adalah bahwa orang yang ditunjuk harus berasal dari mata rumah (kelompok keturunan), dengan tanggung jawab akhir untuk pengangkatan dan pemberhentian berada di tangan raja. Raja juga berbagi tanggung jawab dengan pejabat kasisi untuk pengawasan dan pelaksanaan ritual penting – puasa, lebaran haji, maulud, dll. Penulis laporan pemerintah tahun 1920b menyimpulkan

………….bahwa raja di negeri Muslim di pulau Haruku menurut istiadat tanah mengenai agama memiliki tanggung jawab penting dan bahwa rakyat harus mengakui otoritas raja juga dalam hal-hal ini9.

Kekuasaan raja cenderung meluas melampaui negeri mereka sendiri melalui jaringan perkawinan campur yang menghubungkan keluarga raja di sebagian besar negeri Muslim, sedangkan tidak ada pola yang setara untuk pejabat agama, dan tidak ada, hingga setelah kemerdekaan, organisasi Muslim supra-desa. 

Regent van [negeri] Morela, ca. 1928

Dominasi adat di negeri Muslim telah menyebabkan pengamat seperti Hollemanc berpendapat bahwa Islam memiliki pengaruh yang melestarikan pada masyarakat Ambon sedangkan Kristen bersifat merusak (denationaliseerend en denatureerend)10. Retensi bahasa asli (bahasa tanah) di negeri Muslim dan penggantiannya secara virtual di antara orang Kristen oleh apa yang disebut Melayu Ambon telah menjadi simbol perbedaan tersebut. Perbandingan tersebut meluas melampaui pemeriksaan pengaruh agama itu sendiri hingga hubungan yang dimiliki setiap komunitas dengan otoritas kolonial. Tidak seperti saudara-saudara Muslim mereka, orang Kristen tidak pernah terisolasi dari sumber ide-ide keagamaan mereka. Selama masa kolonial, otoritas dan personel agama Eropa selalu hadir untuk memberikan contoh, dan pengajaran tentang, versi Kristen mereka. Namun, seperti yang ditunjukkan Cooley, telah terjadi pencampuran yang luas antara adat dan tradisi Kristen11. Perwakilan agama Kristen di negeri itu, pendeta, berbeda dengan anggota kasisi, adalah orang luar dan ditunjuk oleh otoritas gereja. Pendeta adalah/merupakan pesaing potensial, bukan bawahan raja.

Meskipun terdapat perbedaan proses akomodasi di negeri Kristen dan Muslim, masih banyak kesamaan yang tersisa, khususnya ikatan kekerabatan, struktur sosial, agama asli, organisasi politik dan ekonomi. Dalam kompleks lembaga dan kepercayaan adat, peran penting simbolis bagi persatuan masyarakat Ambon telah dimainkan oleh sistem aliansi antardesa yang dikenal sebagai pela. Aliansi pela adalah persaudaraan yang langgeng dan tidak dapat diganggu gugat, yang disepakati antara dua negeri atau lebih, biasanya dengan keyakinan agama yang berbedad. Aliansi pela bervariasi dalam asal usul dan keadaan historis, beberapa mendahului perpindahan agama pasangan, sementara yang lain baru berusia beberapa tahun. Jaringan persekutuan pela berfungsi untuk menghubungkan dan memisahkan masyarakat Ambon dan membentuk saluran komunikasi yang penting antara komunikasi keagamaan antara komunitas-komunitas agama. Individu-individu dari pela negeri tidak diizinkan untuk menikahe. Mitra pela diharapkan untuk saling membantu di saat-saat krisis dan dalam pelaksanaan proyek-proyek masyarakat yang besar. Ilustrasi orang Ambon yang paling umum tentang bagaimana pela bekerja adalah bahwa ketika sebuah negeri Kristen ingin (kembali) membangun sebuah gereja, ia meminta bantuan dari pela negeri Muslimnya. Sebuah negeri Muslim akan meminta bantuan serupa dari pela Kristennya sehubungan dengan masjidnya. Banyak orang Ambon percaya bahwa keberadaan pela telah memungkinkan dua komunitas agama mereka untuk hidup berdampingan dalam harmoni yang relatif. Di sini disarankan bahwa lembaga pela telah berfungsi sebagai ikatan bersama yang telah membantu masyarakat Ambon menahan tekanan eksternal yang memecah belah pada, dan pengalaman sejarah yang berbeda, dari orang-orang Kristen dan Muslim. Akan tetapi, tidak ada maksud untuk menyiratkan bahwa aliansi pela telah diaktifkan dalam pengembangan dan penyelesaian konflik politik. Aliansi pela jarang diterjemahkan secara langsung ke dalam ranah politik12.

Hubungan Kolonial.

Selama satu setengah abad pertama kontak dengan orang Eropa, orang Ambon Muslim dan Kristen menentang, kadang-kadang bersama-sama, dominasi politik dan ekonomi. Setelah dominasi Eropa diamankan, kedua komunitas harus menanggung beban sistem monopoli. Di antara para pemimpin masing-masing, dapat ditemukan contoh "kolaborator" dan "pemberontak". Kapitein Jonkerf mungkin yang paling terkenal dari contoh yang pertama (kolaborator) dan Pattimura (Thomas Matulesi) dari contoh yang terakhir (pemberontak).

Selama abad ke-19, hubungan kedua komunitas dengan otoritas kolonial mulai menyimpang. Sejumlah besar orang Ambon Kristen memainkan peran penting di masyarakat Hindia Belanda sebagai juru tulis, profesional, dan tentara. Mereka mewakili kelas-kelas baru dalam masyarakat Ambong, yang awalnya diambil dari negeri, tetapi menghabiskan setidaknya masa kerja mereka di daerah perkotaan dan barak-barak di seluruh nusantara. Kelas-kelas yang terurbanisasi dan berpendidikan barat ini menjadi lambang bagi orang non-Ambon bahwa apa "orang Ambon" itu. Yang tidak kalah pentingnya, mereka sendiri mengalami krisis identitas saat mereka berhubungan dan bersaing dengan orang Indonesia lainnya. Di bawah perlindungan kolonial, mereka memperoleh status istimewa di atas rekan senegaranya (dan di bawah Belanda). Rasa superioritas mereka merupakan bagian intrinsik dari identitas agama/etnis mereka yang sedang berkembang. Kekristenan mereka dianggap sebagai langkah menuju menjadi orang Eropa13. Namun, perlindungan Belanda terhadap orang Kristen tidak berdampak signifikan terhadap tingkat kesejahteraan materi di negeri Kristen14.

Komunitas Muslim tidak berpartisipasi dalam usaha kolonial terakhir. Umat Muslim tidak menikmati fasilitas pendidikan dan kesempatan kerja yang diberikan kepada saudara-saudara Kristen mereka. Tidak seperti Kapitein Jonker, umat Muslim di kemudian hari menganggap bergabung dengan tentara kolonial sama saja dengan menjadi kafir. Menurut seorang Muslim terkemuka Ambon, A. Halim M.A. Tuasikal,

Di dalam tentara kolonial hanya sedikit Muslim yang direkrut, karena pekerjaan ini dianggap haram menurut hukum Islam: Muslim dari klan yang terkait (stam) akan menjadi musuh, karena tentara kolonial adalah organisasi militer yang ditujukan untuk melawan Muslim di Aceh dan daerah lain, yang membela agama dan tanah air mereka15.

Ketika ingatan tentang perang di Aceh memudar, beberapa Muslim bergabung tetapi mewakili minoritas yang sangat kecil di antara tentara Ambon. Hingga tahun 1949, Kennedy mencatat di Tulehu, bahwa orang-orang tidak tertarik untuk bergabung dengan KNIL karena takut harus makan daging babi16. Berbeda dengan orang Kristen, Muslim dikenal karena kegiatan ekonomi mereka17.

Pekerjaan seperti pegawai negeri dan profesi lainnya memerlukan pendidikan Barat. Di antara orang Ambon, pendidikan telah berjalan seiring dengan agama Kristen. Telah ada bentuk-bentuk pendidikan dasar sejak konversi pertama, tetapi perluasan kesempatan pendidikan yang nyata terjadi pada dekade terakhir abad ke-19. Pada tahun 1924 setiap negeri Kristen di Ambon-Lease memiliki sekolah negeri kelas II, sementara ada sekolah rakyat (volksscholen) yang baru-baru ini dibuka untuk uji coba di 6 negeri Muslim18/h. Pada pertengahan tahun 1930-an di Pulau Ambon sekolah-sekolah di 3 negeri Muslim telah ditutupi karena kurangnya minat, hanya sekolah di Tulehu yang dapat dibandingkan dengan sekolah di negeri Kristen. Tetapi bahkan di sana hanya sebagian kecil anak-anak yang bersekolah19. Diperkirakan tidak ada lagi buta huruf di antara orang Kristen, tetapi masih merajalela di komunitas Muslim20

Harko Johanes Schmidt, Asistent Resident van Ambon

Pejabat kolonial menjelaskan situasi ini dengan sejumlah cara. H.J. Schmidt, seorang asisten residen pada awal tahun 1920j, yang mendirikan 6 sekolah yang disebutkan di atas, berpikir bahwa tidak ada kebutuhan yang dirasakan untuk pendidikan di negeri Muslim dan bahwa banyak raja Muslim konservatif tidak ingin tahu apa pun tentang sekolah, karena hal itu membuat orang-orang mereka enggan untuk bekerja kasar. Schmidt mencatat bahwa ketakutan itu tidak sepenuhnya tidak berdasar21. N.A. van Wijck, seorang controleur pada pertengahan tahun 1930-ank, menyatakan bahwa ada kepercayaan yang mengakar kuat yang dipegang oleh umat Islam bahwa anak-anak yang bersekolah menjadi "Kristen", sebuah ide yang dipromosikan oleh guru mengadji (guru agama). Sudah diketahui umum bahwa tidak ada lagi tekanan pemerintah pada masalah agama, tetapi "……. Ada sesuatu yang benar dalam hal orang-orang di negeri Muslim, yang telah bersekolah menjadi menjauh dari agama mereka"22.

Orang Ambon yang beragama Islam memandang kebijakan pendidikan kolonial dari sudut pandang yang agak berbeda. Dalam kata-kata Tausikal:

Di antara orang-orang Maluku, hampir tidak ditemukan intelektual Islam……..Ini adalah konsekuensi dari kebijakan pendidikan kolonial dan betapapun besarnya kemampuan orang-orang Muslim untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang terbuka bagi saudara-saudara Kristen mereka, mereka terhalang karena 1.001 alasan, meskipun hal itu memengaruhi seorang raja yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat dan bahkan pada pemerintahan Hindia Belanda. Dari sekian banyak raja yang beragama Islam, hanya sedikit dari anak-anak mereka yang dapat memperoleh tempat di MULO, apalagi HBS atau AMS. Jadi tidak ada harapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi23.

Bahkan hingga saat ini orang Ambon yang beragama Islam masih mengungkapkan rasa kesal yang kuat tentang apa yang mereka anggap sebagai kurangnya kesempatan pendidikan di bawah rezim kolonial. Hal ini sering digunakan sebagai faktor penjelasan dalam diskusi mereka tentang perkembangan sejarah abad ke-20. Banyak yang mengakui bahwa ada dasar agama di balik penolakan masyarakat mereka terhadap pendidikan pemerintah dan jika dipikir-pikir kembali, hal ini disesalkan dan dilihat sebagai tanda keterbelakangan. Penolakan yang sama terhadap bergabung dengan tentara kolonial tetap dianggap positif.

Apakah kaum Muslim kehilangan kesempatan pendidikan atau mereka sendiri yang kehilangan kesempatan itu masih menjadi pokok bahasan yang diperdebatkan. Akan tetapi, masalah ini memberi tahu kita sesuatu tentang hubungan antara otoritas kolonial dan masyarakat Muslim. Dalam hal ini dan hal-hal lainnya, tampaknya hubungan itu berjarak, “hidup dan biarkan hidup”, bercampur dengan kesalahpahaman dan ketidakpercayaan satu sama lain24. Kaum Muslim bergantung pada Belanda baik untuk kesejahteraan materi maupun rasa status mereka (atau ketiadaan status). Setelah penghapusan monopoli rempah-rempah, negeri Muslim itu kurang lebih dibiarkan hidup sendiri, dengan syarat, tentu saja, “rust en orde” tidak diganggu. Selain keluarga raja, yang otoritasnya seperti rekan-rekan Kristen mereka, didukung oleh otoritas, hanya sedikit kaum Muslim yang memiliki kepentingan pribadi dalam rezim kolonial.

Hubungan Muslim dengan penguasa kolonial dengan demikian sangat bertolak belakang dengan hubungan dengan rekan-rekan Kristen mereka. Kelompok militer dan birokrasi di antara orang-orang Kristen tidak hanya memiliki kepentingan dalam mempertahankan kekuasaan Belanda tetapi juga dimensi lain dari identitas mereka sebagai orang Ambon. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang Belanda Hitam (Black Dutchmen), identitas semacam itu secara khusus mengecualikan orang Muslim. Pengalaman sejarah yang sangat berbeda di bawah kolonialisme dari kedua komunitas agama tersebut menimbulkan ketegangan besar pada persatuan masyarakat Ambon, ketegangan yang muncul selama Pendudukan Jepang dan proses dekolonisasi25.

Tradisi Sejarah.

Banyak tradisi sejarah masyarakat Ambon yang berkaitan dengan aspek hubungan kolonial. Barangkali yang paling terkenal adalah tradisi “Ambon door de eeuwen trouw” (Orang Ambon yang setia sepanjang masa), Kapitein Jonker, dan pemberontakan Pattimura26. Tradisi-tradisi ini sebagian besar merupakan tradisi komunitas Kristen27. Umat Islam kontemporer telah mempertahankan dan mengembangkan tradisi mereka sendiri, yang melambangkan hubungan mereka dengan Belanda dan emansipasi mereka selanjutnya. Mereka mengenang dengan bangga perlawanan yang dilakukan oleh para leluhur mereka terhadap gangguan orang Eropa dan ketidakterlibatan mereka selanjutnya dalam usaha kolonial. Tradisi-tradisi semacam itu memberikan dasar bagi dukungan Muslim terhadap gerakan nasionalis dan memainkan peran penting dalam identitas komunitas Muslim yang bangkit kembali. Tradisi-tradisi tersebut sebagian ditransmisikan dalam bentuk kapatah (syair yang dinyanyikan pada upacara adat) dalam Bahasa Tanah. Kapatah dianggap sebagai dasar data historis yang lebih murni dan lebih kuat daripada sumber-sumber Eropa atau tradisi lisan lainnya karena bentuknya yang standar dan ritualistik28. Di Hatuhaha, misalnya, cerita-cerita tentang perjuangan mereka melawan Portugis dan Belanda, yang berpuncak pada Perang Alaka pada tahun 1637, telah dilestarikan29. Bartles telah menunjukkan bahwa catatan Eropa dan Ambon secara luas saling mendukung, keduanya menegaskan intensitas konflik30. Perang Alaka adalah awal dari tradisi anti-kolonial di Hatuhaha yang berkembang melalui keterlibatan dalam pemberontakan Pattimura dan dalam organisasi-organisasi nasionalis sebelum dan sesudah perang. Dalam kata-kata Abu Sangaji: “Orang-orang Hatuhaha selama berabad-abad telah mewariskan semangat kepahlawanan kepada anak-anak mereka”31

Negeri Pelauw, awal abad ke-20

Tradisi sejarah Muslim Ambon tidak tetap statis dan perubahan-perubahan di dalamnya mencerminkan perubahan struktural dalam masyarakat Ambon. De Graaf berpendapat, dalam kasus Hitu, bahwa orang Ambon yang bekerja sama dengan Belandalah yang diingat dan lawan-lawan merekalah yang dilupakan oleh orang Ambon kontemporer32. Ia tampaknya mendasarkan argumen tersebut pada pengamatan Controleur van Hoevelll (1875), mengenai pengetahuan sejarah yang ia temukan di antara orang Hitu. Ia menganggapnya minim; hampir tidak ada nama-nama pahlawan anti-kolonial, seperti Kakiali dan Toeloekabesi yang diingat, dan bahkan ingatan tentang hongi yang terkenal itu pun memudar. Orang-orang cenderung mengingat nama-nama gubernur Belanda dan orang Ambon, seperti Kapitein Jonker dan Hasan Suleimanm, yang berdamai dengan Belanda. Van Hoevell melanjutkan dengan mengamati bahwa ketika ia menanyai orang-orang yang lebih tua tentang ingatan mereka tentang pemberontakan Pattimura pada tahun 1817, ada keengganan yang besar untuk berbicara tentang apa yang dianggap sensitif secara politis. Untuk semua pertanyaan, satu-satunya jawaban adalah "soe loepah" (telah lupa)33. Dalam suasana seperti itu, tidak mengherankan bahwa Kapitein Jonker dan Hasan Suleiman lebih diterima sebagai pahlawan budaya daripada Kakiali dan Toeloekabesi. Ketika penulis mengunjungi daerah Hitu, pada awal tahun 1979, informasi yang diberikan secara sukarela adalah tentang tokoh-tokoh terakhir ini dan perjuangan mereka melawan kompeni34. Tradisi sejarah mungkin lebih banyak menceritakan tentang keadaan di mana mereka diceritakan daripada tentang peristiwa sejarah yang mereka ingat. Sejarah Muslim Ambon telah menyediakan banyak bahan untuk tradisi yang sesuai dengan lingkungan kolonial dan pascakolonial. Kemunculan kembali dan perkembangan tradisi antikolonial di antara umat Islam, sejak masa van Hoevell, telah menjadi ukuran meningkatnya kesadaran politik mereka dan pencarian mereka untuk identitas di Indonesia yang merdeka.

Perubahan Agama

Meskipun komunitas Muslim tidak berpartisipasi dalam usaha kolonial akhir, itu tidak berarti bahwa komunitas itu tidak berubah. Komunikasi yang lebih baik yang berkembang dalam dekade terakhir abad ke-19 bersamaan dengan pencabutan monopoli rempah-rempah memungkinkan komunitas Muslim untuk memperbarui kontak yang siap dengan pusat-pusat Islam di nusantara dan di tempat lain. Peningkatan kontak ini menghasilkan kesadaran dari waktu ke waktu bahwa Islam mereka sendiri dalam beberapa hal berbeda dari daerah lain di nusantara. Kesadaran ini, bersama dengan identifikasi mereka yang kuat sebagai Muslim, menjadi kekuatan pendorong untuk perubahan selama abad berikutnya. Itu akan membantu menghasilkan perubahan struktural besar dalam masyarakat Ambon – emansipasi komunitas Muslim.

Transformasi agama negeri Muslim mungkin tidak spektakuler menurut standar nusantara tetapi dalam konteksnya sendiri bersifat mendasar, yang memengaruhi fondasi kepercayaan dan praktik keagamaan. Mengingat penyesuaian Islam dan adat yang berkembang selama berabad-abad dalam isolasi virtual, perubahan awal terjadi melalui kesadaran akan kontras antara praktik dan kepercayaan mereka sendiri dan ketaatan pada lima pilar. Hal ini dapat dipahami dengan baik sebagai proses "re-Islamisasi". Setidaknya pada tahap awal, gerakan modernis Muhamadiyah kurang relevan atau menarik bagi penduduk desa Muslim. 

Akan tetapi, gagasan modernis menjadi pengaruh penting di antara umat Muslim perkotaan. Meskipun penting untuk membedakan antara perubahan di daerah pedesaan dan perkotaan, elemen penting di masing-masing daerah adalah interaksi di antara keduanya. Hal ini paling jelas terlihat dalam kasus negeri yang menjadikan kota sebagai sumber gagasan baru. Yang tidak kalah penting, status quo di kota terus dipelihara oleh penduduk kota yang kembali ke negeri mereka, khususnya untuk berpartisipasi dalam ritual adat/Islam. Interaksi ini tidak dilembagakan. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, tidak ada organisasi formal di luar langgar (rumah ibadah) dan masjid di negeri tersebut.

Di kota Ambon, masyarakat Muslim terdiri dari orang Ambon, di samping orang Arab, Cina, dan orang Indonesia lainnya. Banyak keluarga telah tinggal di sana sejak masa awal VOC dan telah menikah dengan satu sama lain dan dengan orang Ambon35. Orang Cina dan Arab memiliki pengaruh khusus dalam masyarakat Muslim, tetapi pada tahun 1920-an rasa hormat tradisional yang dimiliki orang Ambon terhadap orang Muslim asing mulai memudar. Perubahan ini menunjukkan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan agama orang Ambon. Gubernur Tidemann mengungkapkan perubahan tersebut dengan cara berikut:

Secara umum, orang Arab hingga saat ini menduduki posisi dalam masalah agama, yang menurutnya dapat diembannya berdasarkan kelahirannya di antara orang Muslim yang kurang berkembang. Orang Arab, yang memiliki pengetahuan dasar tentang hukum dan ketentuan agama, membiarkan orang-orang untuk bertahan dengan kepercayaan dan praktik yang bertentangan dengan apa yang dianggap di dunia Islam sebagai penafsiran yang adil terhadap hukum dan ketentuan tersebut, asalkan keunggulannya sebagai orang Arab tetap berupa pengetahuan. Akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam hal ini. Orang Indonesia (penduduk pedalaman) juga menjadi lebih mengenal hukum dan aturan-aturannya. Di bawah penduduk asli, bahkan ada yang mempelajarinya secara menyeluruh. Di satu sisi, para cendekiawan pribumi ini mulai menentang apa yang mereka lihat sebagai pelanggaran dalam masalah agama dan dengan demikian membuat musuh di antara orang-orang yang lebih konservatif. Di sisi lain, mereka menyerang posisi dominan orang Arab dan mereka mengajari orang-orang untuk melihat betapa sedikitnya pengetahuan orang Arab tentang agama tersebut.36

Konflik antara Muslim Ambon dan orang Arab dilambangkan dengan penggantian imam Arab di masjid agung oleh orang Ambon. Perbedaan menjadi begitu besar sehingga orang Arab mendirikan langgar mereka sendiri. Namun, konflik itu bukan hanya masalah orang Arab yang ditentang oleh orang Ambon. Karena praktik keagamaan yang sudah lama menjadi masalah, orang Arab menikmati dukungan dari kaum konservatif setempat. Di antara orang Arab sendiri ada pertikaian antar generasi yang kuat di mana para pemimpin generasi muda memiliki hubungan dekat dengan organisasi-organisasi nasionalis.37

Dalam lingkungan ini, cabang Muhammadiyah didirikan pada tahun 1933, di bawah sponsor Haji Abdul Kadir Kimkoa0. Seperti di tempat lain di kepulauan itu, organisasi itu secara formal membatasi dirinya pada usaha-usaha non-politik. Ia mencoba menyebarkan pengajarannya ke negeri dan berusaha untuk menghilangkan keengganan umat Islam untuk menghadiri sekolah-sekolah pemerintah38. Keberhasilan Muhammadiyah terbatas. Pada tahun 1939, Residen menggambarkannya sebagai merana39. Muhammadiyah tidak sendirian di bidang pendidikan Islam. Ada Perkoempoelan Pendidikan Islam (Asosiasi Pendidikan Islam) yang didirikan pada tahun 1939 di bawah tahanan R.A.N. Hassannoesi40 dan sejak tahun 1920-an telah ada sekolah Arabp dan madrasah. Pada tahun 1930 hampir separuh siswa yang menghadiri sekolah Arab adalah orang Indonesia41

Meskipun ada perkembangan ini, masih ada penolakan besar terhadap perubahan dan gagasan dari luar. Tuasikal berpendapat bahwa Muslim Maluku menganggap ajaran pemimpin spiritual dan tetua mereka tidak dapat disangkal dan akibatnya ide-ide yang tidak dikonfirmasi oleh pemimpin mereka sendiri dianggap keliru. Ia mengutip penyingkiran Habib Dahlan dan Hamka yang tidak sopan saat mencoba berbicara di masjid agung di Ambon42. Bahkan seorang reformis asal Ambon mengalami masa-masa sulit. Pada tahun 1932 A.M. Sangajiq, seorang anggota Sarekat Islam, mengunjungi negerinya, Rohomonyr, tempat saudaranya menjadi rajas. Rohomony adalah salah satu negeri yang lebih "berorientasi pada adat" di Hatuhaha. Menurut laporan pemerintah, ia mencari dukungan dari penduduk setempat untuk mendirikan sekolah-sekolah Sarekat Islam dan mendesak mereka untuk mengikuti doktrin yang benar. Satu-satunya hasil yang tampak adalah bahwa mayoritas penduduk Rohomony bersikap bermusuhan terhadapnya dan ia pergi tanpa hasil43.

Setelah perang, Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) didirikan oleh para pemimpin Ambon untuk membina pendidikan Islam. Permi memiliki sekolah yang dipimpin oleh Abu Sangaji. Seperti Muhamadiyah, perhatian utamanya adalah non-politik, tetapi banyak anggotanya yang terkait dengan Partai Indonesia Merdeka. Para pemimpinnya menganggap Permi lebih evolusioner dan fleksibel daripada Muhamadiyah dalam hal reformasi agama. Pendekatan Permi mungkin dilihat sebagai reaksi terhadap perlawanan besar yang ditimbulkan oleh Muhamadiyah. Permi adalah representasi institusional dari orientasi reformis di komunitas Muslim. Kaum konservatif tidak memiliki organisasi seperti itu, tetapi tokoh utamanya adalah imam masjid agung dan dia mendapat simpati dari banyak raja Muslim dan kasisi negeri. Mereka berusaha melestarikan adat lama dan menentang pembentukan Mahkamah, pengadilan Islam, yang telah dipromosikan oleh Permi dan yang akan mengurangi kekuasaan mereka44. Konservatisme banyak raja Muslim tidak perlu dikaitkan dengan kecenderungan atau kepentingan mereka sendiri. Ruang lingkup untuk menyimpang dari norma-norma desa bahkan untuk raja, atau mungkin khususnya untuk raja, terbatas.

Setelah kemerdekaan, laju dan karakter perubahan agama berubah dengan pembentukan Departemen Agama, yang telah melakukan banyak hal untuk memperluas dan meningkatkan tingkat pendidikan Islam, melalui subsidi untuk sekolah swasta dan pengenalan pengajaran agama ke sekolah pemerintah45. Pembentukan departemen tersebut menandai perubahan penting dengan masa lalu dalam dua hal. Pertama, departemen tersebut merupakan lembaga pertama yang mengoordinasikan urusan agama di atas tingkat negeri. Kedua, departemen tersebut mewakili keterlibatan pemerintah dalam urusan agama, dalam arti yang konstruktif, dan pemerintahan baru tersebut dapat dilihat sebagai setidaknya beragam agama atau netral daripada hanya Kristen.

===== bersambung ====

 

Catatan Kaki

1.       E.W.A. Ludeking, Schets van de Residentie Ambboina, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1868, hal 39

2.      Tulisan ini akan membahas tentang masyarakat di pulau Ambon, Haruku, Nusalaut, Saparua, dan wilayah pesisir Seram bagian tengah dan barat yang oleh Bartels disebut sebagai wilayah budaya Ambon, yang sesuai dengan penggunaan bahasa Ambon oleh orang Belanda adat kring. D. Bartels, “Guarding the Invisible Mountain : Intervillage Alliance, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas”, Ph.D. thesis, Cornel University, 1977, hal 5. Umat ​​Islam mencakup 1% dari populasi Ambon di Jawa Barat pada tahun 1930. Volkstelling 1930, deel 1, Batavia, Department van Economische Zaken, Landsdrukkerij, 1936, hal 79

3.      Komposisi agama masyarakat Maluku Selatan di Belanda diperkirakan 93% Protestan, 2% Muslim dan 5% Katolik Roma, yang terakhir sebagian besar berasal dari pulau Key dan Tanimbar. 85% masyarakat Maluku Selatan berasal dari daerah budaya Ambon. “De Problematiek van de Molukse minderheid in Nederland”, (Regeringsnota, ‘s Gravenhage, 1978) hal 5. Van Wijk juga membahas stereotip umum orang Ambon. Ia mengemukakan bahwa ada dunia Ambon lain di mana hanya setengahnya beragama Kristen, setengah lainnya, sama seperti orang Ambon, beragama Islam. Di negeri Kristen ada orang Ambon yang bukan tentara, yang tidak memiliki pekerjaan kantoran, yang dapat bekerja dengan tangan mereka dan yang dapat mengekspresikan diri mereka dengan tenang. Ia berpendapat bahwa pandangan umum itu tidak salah, tetapi pandangan itu sama sekali tidak berlaku untuk semua orang Ambon, hanya sebagian kecil dari mereka , “Memorie van Overgave Van Bestuur van de Aftrdenden Controleur van Amboina, N.A. van Wijk”, Agustus 1937, hal 116-118, (Koninklijk Instituut voor de Tropen [KIT], Amsterdam).

4.      Dalam sensus tahun 1930, penduduk “Ambon” yang tinggal di afdeling Ambon, 65,9% beragama Protestan, dan 32,7% beragama Islam. Volkstelling 1920, deel V, hal 91. Angka-angka ini mungkin sedikit menyimpang karena "orang Ambon" dalam sensus tersebut mencakup banyak penduduk asli non-Ambon. (hal 18). Van Fraasen mengutip angka-angka dari Jawatan Agama (Departemen Agama) untuk Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 1970, di mana penduduknya adalah 55% Muslim, 40% Protestan dan 5% Katolik. Van Fraasen, C., Ambon Rapport, Stichting Werkgroep Studiereizen Ontwikkelingslanden, 1972, hal 8. Kabupaten Maluku Tengah lebih luas daripada wilayah budaya Ambon sehingga angka tersebut mencakup masyarakat non-Ambon dari Seram dan Buru serta para pendatang. Yang paling banyak jumlahnya adalah orang Buton. Pada tahun 1930, orang Buton telah mencapai 6,14% dari populasi afdeling Ambon, dibandingkan dengan “orang Ambon” yang mencapai 53,45%.Volkstelling 1930, deel V, hal 176.

5.      Z.J. Manusama (editor and translator) “Ridjali, Hikayat Tanah Hitu”, doctorate proefschrift, Rijksuniversiteit te Leiden, 1977, hal 7 dan 29. Meski Ridjali adalah Imam Hitu, teksnya tidak memberi tahu kita banyak tentang praktik Islam di Hitu. H. Jacobs (editor and translator) A Treatise on the Moluccas, Rome, Jesuit Historical Institute, 1971, hal 83. Risalah tersebut diduga merupakan karya Antonio Galvao. Uli awalnya berarti komunitas genealogis, tetapi dalam konteks ini, Uli merupakan “konfederasi” negeri.

6.      H.J. de Graaf, De Geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, Franeker, Wever, 1977, hal 23

7.      F.D. Holleman, Het Adat-Grondenrecht van Ambon en de Oeliassers, Delft, W.D. Meinema, 1923, hal 54-55; Adatrechbundels, XXI, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1922, hal 61

8.      Bartels, op. cit., hal 293

9.      Adatrechbundels, XXI, hal 64. Penulis menyebutkan variasi pada sistem kasisi. Lihat juga van Fraassen, op. cit., hal 326

10.    Holleman, op. cit., hal 59. Untuk analisis yang lebih teoritis mengenai akomodasi antara adat dan dua agama dunia, lihat Bartels, op. cit., 278ff

11.     F.L. Cooley, “Altar and Throne in Central Moluccan Societies : A Study of the relationship between the institutions of Religion and the institutions of local government in a traditional society undergoing rapid social change”, Ph.D. thesis, Yale University, 1962, passim

12.     12. Pembahasan yang paling lengkap mengenai aliansi pela dapat ditemukan dalam Bartels, op. cit., passim

13.     Holleman, op. cit., hal 58-59

14.    Ibid.; I.D. Nanulaita, Timbulnja Militarisme Ambon : Sebagai suatu persoalan Politik, Sosial-Ekonomis, Jakarta, Bhratara, 1966, hal 117-119

15.     A. Halim M.A. Tuasikal, “De Islam in de Molukken”, Cultureel Nieuws Indonesie, nomor 13 (Oktober 1951), hal 386

16.    R. Kennedy, Field Notes on Indonesia : Ambon and Ceram (New Haven, HRAF, 1955), hal 48. Perlu dicatat bahwa umat Islam dari tempat lain di kepulauan ini, terutama Jawa, tampaknya tidak memiliki keraguan seperti itu untuk bertugas di tentara kolonial. Bertentangan dengan pandangan umum, orang Jawa dan bukan orang Ambon atau Menado, adalah kelompok etnis Indonesia terbesar di KNIL. Pada tahun 1916 jumlahnya adalah: orang Jawa 17.854, orang Manado 5.925, "orang Ambon" 3.519. G.J. Sieburgh and F. Kroon, Leerboek der Militaire Aardrijkskunde en Statistiek van Nederlandsch Oost-Indie, Breda, De Koninklijke Militaire Academie, 1919, hal 222

17.     Holleman, op. cit., hal 59

18.    H.J. Schmidt, Memorie van Overgave van de Afdeeling Amboina, section F a (Kon. Istituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden). Kesempatan pendidikan yang berbeda bagi umat Islam dan Kristen tercermin dengan sangat jelas dalam pengeluaran pemerintah di negeri itu dalam onderafdeeling Saparua pada tahun 1926. Pengeluaran rata-rata untuk orang Kristen per kepala adalah: untuk pendidikan f. 3,04, ibadah umum f. 1,16, untuk administrasi f. 0,44 (total f. 4,66); untuk umat Islam f. 0,17 dialokasikan untuk pendidikan, tidak ada untuk ibadah umum dan f. 0,38 untuk administrasi, sehingga totalnya f. 0,55. Sedangkan pajak rata-rata per kepala untuk orang Kristen adalah f. 0,65 dan untuk umat Islam f. 0,86. A.J. Beversluis and A.H.C. Gieben, Het Gouvernement der Molukken, Weltrevreden, Landsdrukkerij, 1929, hal 111-112

19.    Van Wijk, op. cit., hal 147

20.    H.E. Haak, Memorie van Overgave van de Assistant-Resident H.E. Haak omtrent Onderafdeeling Amboina, Mei 1929 – Juni 1931, hal 33 (KII, Amsterdam)

21.     Schmidt, op. cit

22.    Van Wijk, op. cit., hal 146

23.    Tuasikal, op. cit., hal 387. Middelbaar Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO); Hoogere Burger School (HBS); Algemene Middelbare School (AMS). Hampir semua Muslim yang menikmati pendidikan Barat adalah anak-anak keluarga raja. Banyak dari mereka dilatih sebagai administrator lokal. Pada periode pasca perang, mereka menjadi inti dan pemimpin elit Muslim yang baru muncul.

24.    Van Hoevell mengamati bahwa umat Islam, berbeda dengan umat Kristen, tidak membawa perselisihan mereka ke pengadilan yang dipimpin oleh pejabat Eropa, dan lebih memilih keputusan sewenang-wenang dari pemimpin spiritual dan sekuler mereka sendiri. G.W.W.C. Baron van Hoevell, Ambon en meer bepaaldelijk de Oeliasers, Dordrecht, Blusse en van Braam, 1875, hal 142

25.    Sebaliknya, Bartels, op. cit., hal 132, berpendapat bahwa “…….. hubungan tampaknya telah membaik daripada memburuk selama masa kolonial, dan, secara budaya juga, tampaknya kedua kelompok menjadi lebih dekat dalam pandangan mereka, terutama dalam pandangan agama mereka. Hal ini dimungkinkan karena hubungan sosial dan komunikasi terus-menerus di antara mitra pela, dan gagasan persaudaraan pela memainkan peran yang menentukan dalam perkembangan tersebut”.

26.    Lihat Nanulaita, op. cit., passim; dan Ben van Kam, Ambon door de Euwen, Baarn, Uitgeverij in de Toren, 1977, untuk diskusi mengenai beberapa tradisi ini

27.    Umat Islam menyatakan ikut serta dalam pemberontakan Pattimura. Meskipun Jonker adalah seorang Muslim, tradisi yang ada di sekitarnya sebagian besar dipertahankan oleh tentara Kristen di KNIL.

28.    Abu Sangaji, “Batang Terendam di Hatuhaha” (unpublished manuscript), Ambon. Sebaliknya van Hoevell, op. cit., hal 96, menemukan kapatah membingungkan dan sulit dipahami

29.    Sangaji, op. cit.; and “Maluku & Perjuangan Nasional”, Obor : majalah penerangan, (Kanwil Deppen Propinsi Maluku) no 7 (Juli 1975), hal 11 ff

30.    Bartels, op. cit., hal 118 ff

31.     Sangaji, op. cit.;

32.    De Graaf, op. cit., hal 106, 147, 162

33.    Van Hoevell, op. cit., hal 96, 97, 98

34.    Penulis tidak menyadari pernyataan van Hoevell pada saat kunjungannya ke Hila

35.    Schmidt, op. cit., Section II

36.    J. Tideman, Memorie van Overgaven van den Gouverneur der Molukken, Deel II, Hoofdstuk VII, hal 2-3, verbal 1-11-30 K 24 (Archive, Ministry of the Overseas Territories [minour] The Hague)

37.    Ibid, hal 3 ff

38.    Sejararah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah Maluku (1900 – 1942), Ambon, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departmen P& K, 1977-1978, hal 78-79, Hereafter Sejarah

39.    Verslag over den bestuurlijken politiek-politioneelen toestand der Residentie Molukken over het eerste half jaar 1939, mail-rapport 834x/39, hal 7 (Minour)

40.   Ibid

41.    Rapport van de wde. Inspecteur van het Westerch lager onderwijs in het 7e resort aan de Directeur van Onderwijs en Eeredienst, 3-2-30, Algemeene-Secretarie, Ag. No 15957 (Arsip Nasional, Jakarta)

42.    Tuasikal, op. cit., hal 386

43.    Politiek Verslag der Residentie Molukken 2e half jaar 1932, mailrapport 637 geh/33, hal 2 (Minour)

44.   Politiek Verslag der Residentie Zuid-Molukken, 15 Januari – 14 Februari 1948,  mailrapport 112 geh/48, hal 2 (Minour)

45.    Van Fraasen, op. cit., hal 329.

 

 

Catatan Tambahan

a.      Ludeking yang dimaksud bernama Everhardus Wijnandus Adrianus Ludeking, lahir pada 29 Mei 1830 dan meninggal dunia pada 16 Februari 1877. Ia pernah bertugas di Ambon sejak 31 Juli 1861 - 1864.

b.      Laporan pemerintah tahun 1920 yang dimaksud ini berjudul lengkap Burgerlijke stand en godsdienst in Mohemmedaansche dorpen op Haroekoe (1920)

c.      Holleman yang dimaksud bernama Mr. F.D. Holleman, Ketua Landraad di Ambon (Des 1918 - Mei 1921, Okto 1922 - Okto 1924), Anggota Ambonraad (1921 - 1924), anggota Gementeerad Ambon (1921 - 1924)

d.      Misalnya, aliansi pela antara negeri Seith (Islam) dengan negeri Ouw (Kristen), Tulehu (Islam) dengan negeri Paperu (Kristen), dll. Untuk daftar pela negeri-negeri di pulau Ambon, bisa dilihat pada, N.A. van Wijk, Memorie van Overgave van Assistent Resident van Onderfdeeling van Ambon, Agustus 1937

e.      Misalnya pela antara negeri Siri Sori Islam (Islam) dengan negeri Haria, dimana pernikahan antara penduduk/masyarakat dari kedua negeri ini sangat tabu/dilarang

f.       Tentang Kapitein Jonker, lihat

§  J.A. van der Chijs, Kapitein Jonker 1630? – 1689, Tijdschrift voor Indische Taal,-Land- en Volkenkunde, deel XXVIII, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1882, halaman 351 – 461, Tijdschrift voor Indische Taal,-Land- en Volkenkunde, deel XXX, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1885, halaman 1 - 233

§  Petrik Matanassy, Kapitan Jonker : Sang Legenda, Yogkarta, 2014

g.      Tentang kelas baru atau new elite orang Ambon, lihat R.Z. Leirissa, Social Development in Ambon during 19th century : Ambonese Burger, Cakalele, volume 6, 1995, halaman 1 – 11

h.      6 Negeri Muslim yang dimaksud adalah Tulehu, Laha, Hitumesing (di onderafdeeling Ambon), serta Pelauw, Kailolo dan Kulor (di onderafdeeling Saparua)

i.       3 Negeri Muslim yang dimaksud adalah di negeri Laha, Hitumesing dan Asilulu

j.       Harko Johanes Schmidt, lahir pada 22 Februari 1879 di Vlieland, dan meninggal pada28 Juni 1953 di Belanda, putra dari Harko Johanes Schmidt sr dan Elizabeth Mazirel. Ia menikah dengan Theodora Aurelia Goosens. H.J. Schmidt menjadi asisten resident afdeeling van Ambon (25 Oktober 1922 – 5 September 1924)

k.      N.A. van Wijck, Controleur onderafdeeling Ambon (1 Jan 1935 – 20 April 1937)

l.       Controleur van Hoevell yang dimaksud bernama Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Hoevell. Ia Controleur van Hila (1871 – 1872), Controleur van Saparua (1872 – 1875), kemudian juga Resident van Ambon (1891-1896)

m.    Hasan Suleiman [Hassam Sulayman] adalah putra dari Entje Tai, anak angkat dari Asauken. Hasan Suleiman adalah Orangkaija Bulang di Hila. Tentang Hasan Suleiman, lihat

§  Frans von Benda-Beckman & Keebet von Benda-Beckman, 1987, De Testamenten van Hasan Suleiman : Grondenrechtenkwesties op Islamitisch Ambon, Bijdragen Tot de Taal,- Land- en Volkenkunde, volume 143, nomor 2/3, halaman 237 – 266

n.      Gubernur Tideman  yang dimaksud adalah Governeur der Molukken, Jan Tideman (6 Oktober 1928 – 2 Mei 1930)

o.      Tentang Haji Abdul Kadir Kimkoa dan pendirian Muhamadiyah di Ambon, lihat

§  https://web.suaramuhammadiyah.id/2017/02/21/perintis-muhammadiyah-ambon-seorang-china-muslim/

§  Yusuf Laisouw, 2022, Diskursus Historis Muhammadiyah di Kota Ambon, Tahkim, volume xviii, nomor 2, Desember, halaman 279 – 301

p.      Sekolah Arab di Ambon pada tahun 1920-an bernama Mahasin Al Echlaag, dibuka pada 2 Mei 1925 dan berlokasi di Urimessingstraat

q.      A.M. Sangaji  atau Abdoel Mutalib Sangaji, lahir di [negeri] Rohomoni, pada 3 Juni 1889 dan meninggal di Jogjakarta pada 20 April 1949. Ia adalah putra dari Abdul Wahab Sangaji (Regent van Rohomoni, 1887 – 1922?)  dan Siti Saat Pattisahusiwa (putri dari Abdul Madjid Pattisahusiwa, Regent van Siri Sori Islam, 1870 – 1908 dan Maemunah/Munjuna Toisutta)

r.      A.M. Sangaji tiba di [negeri] Rohomoni pada 5 Juli 1932 

s.    Saudara dari A,M. Sangaji yang menjadi Radja (Regent) van Rohomoni bernama Abdullah Sangaji (1922 – 1930an)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar