Rabu, 30 April 2025

Gambar Cepat [dari] Seram dan beberapa analogi yang luar biasa

 [G.L. Tichelman]

 

A.      Kata Pengantar

Leluhur kita di masa lalu, dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan keamanan, selalu berkaitan erat dengan  aksi pengayauan atau perburuan kepala manusia, sederhannya, potong kapala dalam terminologi Melayu Ambon. Saat leluhur kita memotong kepala dan membawanya, ia bisa mengecat/menggambar atau “mewarnai” ikat pinggang penutup kemaluan mereka yang disebut Tjidako dengan warna dan motif tertentu. 

 

Tjidako Baboenga, ca. 1926

Motif gambar atau “tato” yang dilukis pada tjidako, pastilah memiliki makna sakral dan spiritual dalam dunia “keagamaan” para leluhur kita. Apa makna dan “asal-usulnya”, yang mungkin tidak diketahui secara jelas dan bersifat “misterius”. G.L. Tichelman, seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Gezaghebber van Amahai pada periode 1918-1922, menulis artikel pendek tentang hal itu. Artikel pendeknya berjudul Het Ceramsche snelteeken en enkele opmerkelijke analogieën, yang dimuat pada Jurnal De Natuur, volume 8, Oktober 1940, halaman 185-190. Tulisan 6 halaman ini memiliki 10 catatan kaki, dan 5 gambar/lukisan/foto. 


Bagaimana Tichelman memahami, menjelaskan makna dan asal usul motif pada Tjidako, adalah mungkin lebih baik untuk kita membacanya. Kami mencoba menerjemahkan tulisan ini, menambahkan sedikit catatan tambahan dan beberapa ilustrasi untuk “melengkapi” apa yang telah ada pada naskah aslinya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk memahami “alam pikir” dan “dunia” para leluhur kita, yang mewariskan semua itu kepada generasi berikutnya, yang masih kita lestarikan, meskipun mungkin telah diberi perspektif yang lebih “berwarna” oleh kita di masa kini.

B.      Terjemahan

Seorang kepala suku yang sangat dihormati (kapala soa) di daerah Ahioloa di Seram, yang termasuk suku Patasiwa hitam, seorang pemburu/pengayau [atau pemotong] kepala yang telah berusia tua yang menyaksikan seluruh perang Ahiolo, menuturkan legenda berikut ini:

"Nah, suatu malam seekor [burung] pemerah susu kambing (toelemane) muncul dalam mimpi kepada pemimpin (kapitan) Koï-ja dan burung ini mengatakan kepadanya bahwa manusia masih kekurangan sesuatu untuk dapat hidup tanpa rasa takut dan sempurna. Manusia tidak boleh puas hanya dengan memenuhi kebutuhannya akan makanan dan minuman; ia tidak boleh hanya bekerja dan beristirahat, tetapi di atas semua itu ia harus berusaha membuat dirinya hebat, mengangkat dirinya sendiri dan memperkaya keberadaannya dengan mendapatkan kepala musuh-musuhnya dan orang lain. Ketika Koï-ja bersama para tetua keesokan harinya di balai negeri (baileo) Sahoelaoe Goenoeng, yang disebut Baileo Masaela, toelemane muncul di sana dan mengulangi pesannya kepada semua yang hadir, yang meninggalkan kesan yang mendalam. Kemudian kapitan Koï-ja, dengan meniup terompet dari kerang (tahoeri), membuat semua orang yang berbadan sehat berkumpul dan membicarakan mimpinya dan penampakan toelemane. Sementara orang-orang sibuk berunding panjang lebar tentang masalah itu, toelemane muncul lagi dan sekarang ia memiliki kadal di mulutnya, simbol perburuan kepala dan penaklukan. Burung itu terbang menjauh dan akhirnya kembali dengan seekor tikus mati di mulutnya. Mereka yang hadir sekarang memahami maksud burung itu dan sepenuhnya percaya pada wawasan dan kebijakan pemimpin mereka. Didorong oleh Kapitan Koï-ja, mereka mempersiapkan diri untuk penyerbuan, yang mereka lakukan dengan sangat sukses. Untuk membedakan para pahlawan dari rakyat jelata, mereka diizinkan untuk mentato tanda cepat di tubuh mereka dan juga menempelkannya di ikat pinggang kemaluan mereka (tjidako)”.

 

 

 
 
 

Toelemane (Caprimulgus macrourus. Horsf.) adalah burung malam dengan panjang sekitar 10 inci dan seukuran burung hantu malam atau burung elang pipit dan bentuknya tidak jauh berbeda dari burung belibis1. Valentijn menceritakan tentang burung hantu malam ini, bahwa orang Ambon menyebutnya manu tahau dan orang Belanda memberinya nama caulking atau clapper, karena suaranya yang biasa, top-top dan yup-yup, terdengar persis seperti jika seseorang mendengar tukang kayu kapal mendempul kapal. Burung yang dimaksud anehnya berwarna “marmer” dan berbintik-bintik dan membawa tanda tidak hanya di kepalanya, tetapi juga pada bulu di seluruh tubuh, sampai ke ekor.

Keinginan kuat Alifuru [Alfoer] adalah untuk mengambil kepala, dimana seorang korban kurang lebih memiliki kepentingan sekunder. Tentu saja, [kepala] dari musuh akan lebih disukai/dipilih. Perburuan kepala yang berasal  dari keluarga, soa, negorij atau sekutu (pela) adalah pelanggaran adat yang serius, yang dikenakan denda yang sangat tinggi. Pemburu kepala akan selalu membunuh atau menombak korbannya secara tiba-tiba dan bahkan beraksi bersama orang lain (hongi), ia tidak akan melakukan serangan terbuka. Kepala harus diambil secara tiba-tiba. Bukan kejayaan atau kehebatan dan kemegahan militer yang menjadi hal terpenting dalam perburuan kepala, tetapi memperoleh/mendapatkan kekuatan magis yang ada di kepala tersebut dan karena alasan itu seseorang akan berusaha mendapatkan kepala dengan cara yang paling tidak berbahaya. Masuknya kekuatan magis korban memastikan pasokan makanan, kesehatan, keturunan yang cukup, singkatnya segala sesuatu yang sangat diinginkan dan diperjuangkan dalam hidup. Setelah kepala dipenggal, Alifur mengeluarkan teriakan kemenangan yang melengking, yang terdengar seperti "Oetjé atau Oeatjé". 

 

Alifuru Honitetu

Dia yang telah mendapatkan kepala, dapat mengecat atau mewarnai ikat pinggang penutup kemaluannya (tjidako) dengan warna merah, kuning, dan biru atau - meminta kapitan untuk memberinya - lambang tertentu. Pemburu yang lebih cepat [mendapatkan kepala] mengenakan ikat pinggang penutup kemaluan dengan bermotif bunga (tjidako baboenga).

Menurut penelitian mendalam yang dilakukan oleh Dr. Carl Schuster dari "Philadelphia Museum Art”, simbol-simbol pemburu kepala adalah sekelompok tanda yang berkembang dari figur burung fregat (Fregata magnificens)b, yang dengan gaya tertentu telah memunculkan serangkaian pola yang kompleks, yang di Seram dan di tempat lain diwakili oleh tato yang diwariskan dari generasi ke generasi dan yang juga menjadi dasar bagi ekspresi seni dekoratif lainnya. 

Motif yang dalam bentuk paling sederhana menyerupai huruf W terbalik ini dapat dianggap sebagai warisan budaya kuno, yang terkait dengan lembaga-lembaga tertentu dalam masyarakat primitif. Motif ini muncul dalam berbagai macam kombinasi, tetapi yang menjadi ciri khasnya adalah 4 /\/\ yang ditempelkan di sudut-sudut figur berbentuk belah ketupat atau berlian, atau ditempelkan pada lingkaran atau cincin konsentris (oiale), dimana lingkaran melambangkan matahari dan kepala. Komposisi yang cukup sering digunakan adalah komposisi garis bergelombang, di kedua sisinya figur burung bergaya tersebut diaplikasikan.

Di Seram, motif ini memperoleh makna khususnya dari fakta bahwa tatonya terkait erat dengan pengayauan dan keberadaan kakean (asosiasi rahasia lelaki). Empat burung fregat dalam bentuk alamiah, yang langsung dapat dikenali seperti itu, yang melekat pada cincin pusat atau lingkaran konsentris, adalah pola yang tidak hanya dilukis pada ikat pinggang para pengayauan yang sukses, tetapi juga sering dilukis ke dalam tabung bambu. Ciri khusus dalam representasi burung fregat ini adalah lubang bundar di badan burung2. Motif ini tersebar luas dan koherensi morfologis pada awalnya akan berjalan seiring dengan nilai konten spiritual yang sama. Di tempat lain juga penduduk mengadopsi motif ini sebagai ornamen dalam seni dekoratif mereka. 

 

Alifuru Marahunu, ca. 1850an

Beberapa informasi tentang kemunculan motif-motif ini dan berbagai kombinasinya di Pasifik Barat telah dipublikasikan dalam majalah bulanan "Cultureel Indië"3. Yang juga perlu disebutkan adalah ornamen yang digunakan di Melanesia (terutama Papua Selatan, Kepulauan Admiralty, dan juga Marquesas), yang disebut tamar atau kap-kap dan terdiri dari lempengan bundar dari kulit kerang, tridacna gigas, yang di atasnya diikatkan cakram dari kulit kura-kura dengan tali, tempat figur-figur dibuat4. Lempengan-lempengan ini sekarang dikenakan pada acara-acara perayaan, tetapi tidak lagi memiliki makna sosial.

Di masa lalu, lempengan-lempengan ini tampaknya menunjukkan kedudukan. Tamar berarti bulan, yang sebagai istri matahari dan prinsip kreatif, yang melaluinya seluruh dunia tercipta, menempati tempat penting dalam pemikiran keagamaan di pulau-pulau ini. Burung fregat dapat dikenali dalam banyak figur. Jelas bahwa representasi ini memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar hiasan dan secara mistis mewujudkan dunia spiritual pulau-pulau ini. Ornamen-ornamen ini pasti sangat kuno, karena berbagai spesimen menunjukkan jenis teknik yang khas, yang pengembangannya pasti memakan waktu berabad-abad.

 

G.L. Tichelman bersama pasukan tjakalele

Kedekatan budaya dengan Asia Tenggara juga harus dipertimbangkan. Ornamen Konyak Nagas dari Asam, terbuat dari sejenis kerang (turbinella pirum) dengan penutup tanduk cokelat tua, dapat dianggap sepenuhnya serupa dengan tamar Santa Cruz. Namun, tamar dikenakan oleh Nagas sebagai hiasan telinga dan bukan di dahi, atau sebagai hiasan dada, atau, seperti di Papua Tenggara, pada rambut keriting tinggi. Ornamen serupa juga tampaknya ditemukan di Filipina. Ornamen serupa dikenakan oleh suku Atandroy di Madagaskar Selatan. Objek tersebut, yang memiliki distribusi yang sangat luas di dunia Melayu-Polinesia, mungkin termasuk dalam lapisan budaya Melayu-Polinesia kuno, yang mencapai Madagaskar sangat awal.

Pejabat administratif [bestuursambtenaar] di Hollandia (Nugini), J. Hooglandc, mengumpulkan sejumlah motif tato dari orang Papua di Teluk Humboldt dan Danau Sentani, dengan catatan bahwa sangat sulit untuk mempelajari apa pun tentang hal ini dari penduduk, karena orang Papua paling banyak tahu apa yang dilambangkan oleh beberapa figur, tetapi tidak mengaitkan makna lain kepada mereka selain bahwa mereka berfungsi sebagai hiasan. Para wanita khususnya saling menato, karena menurut orang-orang Danau Sentani seorang wanita tanpa tato tampak seperti pria. Banyak dari tato-tato ini, seperti beberapa lukisan batu Nugini dan motif foeja, menunjukkan tanda cepat, kadang-kadang berubah bentuk menjadi figur yang menyerupai figur manusia.

Di Kepulauan Kei, tembikar pada dasarnya merupakan monopoli orang-orang Keieesche Banda [Banda Kei], yang didirikan di Wadan Elat dan Wadan II. Mereka adalah keturunan orang-orang yang beremigrasi dari Banda pada periode VOC. Cabang industri ini dipraktikkan secara eksklusif oleh kaum perempuan dan pembuat tembikar tahu cara menghias tembikarnya dengan berbagai figur simetris, yang dipotong atau ditekan ke dalam tanah liat lunak, atau dilukis pada pot yang dipanggang/dibakar. Tembikar yang tidak dicat diberi semacam tanda pembuat. Setiap pembuat tembikar memiliki tandanya sendiri, yang dipotong ke dalam tembikar dengan pisau sebelum dipanggang/dibakar. Pastor Geurtjensd memberikan sejumlah figur ini di bukunya "Uiteenvreemd wereld"5 (hlm. 251, 252 dan 263) dan pada sebagian besar figur, tanda cepat dapat ditemukan dengan jelas. 

 

Terkait motif tato di Roti, yang disebut inoek, yang telah dibentuk menyerupai figur manusia bergaya dan secara jelas memperlihatkan hubungan dengan motif Seram, Controleur di Baa, Dr. N. W. Bruynise, menyatakan bahwa nama tersebut merujuk pada burung hitam legam yang hanya dapat terlihat berkelompok saat angin kencang. Burung ini karenanya dikenal sebagai boeroeng makan angin (penangkap angin). Burung ini terbang dengan anggun, memiliki sayap yang panjang dan tidak pernah terlihat “bertanduk”, itulah sebabnya hewan ini dianggap sebagai burung laut. Controleur Bruynis selanjutnya mencatat sungguh luar biasa bahwa penduduk pulau itu pasti berasal dari Seram menurut tradisi lama Rotinean [penduduk Roti]; juga diduga ada kesamaan garis keturunan dengan orang Beloenese di Timor. Lebih jauh, disimpulkan dari cerita penduduk di beberapa kampung di Flores Timur dan di Pulau Adonara bahwa mereka juga percaya berasal dari Seram. Kesan yang didapat seseorang tentang tipe penduduk Roti dan Adonara rata-rata akan sangat berbeda. Di Adonara pengaruh Papua-Melanesia akan terlihat jelas, meskipun ada jenis yang menunjukkan kesamaan dengan Roti yang lebih Indonesia. 

 

Hubungan gambar burung ini dengan apa yang disebut ornamen tanduk kerbau dari Sulawesi Tengah, yang juga muncul sebagai motif ornamen di Sulawesi Utara, tidak dapat disangkal6.

Perbandingan motif ini pada suku-suku yang tidak memiliki tanduk kerbau mungkin akan menghasilkan hasil yang mengejutkan, sementara tentu saja masih dapat ditemukan perbedaan antara suku-suku yang telah sepenuhnya bercampur dengan apa yang disebut "Pengrajin Tembikar" dan suku-suku di mana suku Toraja dan Pengrajin Tembikar yang sebenarnya tetap berdampingan7. Pada suku To Loinang dan Mian See-see motif tanduk ditemukan lagi pada ornamen gigi babi roesa

 

Motif tanduk pada suku Timor disebut meo. Di Kalimantan, penenunan motif hias dari rotan dan poeron telah dipertahankan sebagai seni rakyat hingga ke Dayak Hilir, yang jaraknya hanya empat jam perjalanan perahu dari pelabuhan besar Bandjermasin. Di kalangan generasi muda, pemahaman tentang motif dan simbol dari dunia sangiang, yang mereka gambarkan, telah memudar dan menghilang. Orang-orang tua dan pendeta (balian) bahkan tidak mengenal makna motif dan simbol, yang terus hidup sebagai ornamen membatu pada tenun dan perkakas lainnya8.

Pasti ada hubungan erat antara ini dan representasi yang sama sekali mirip dari populasi pegunungan Miao dan suku-suku Asia Tenggara lainnya. Suku Mongolia Buriat, dekat Danau Baikal dan suku Kirgistan di Asia Tengah memiliki motif dekoratif yang sama, yang mereka sebut tanduk domba (karpet baranny). Motif ini sering diaplikasikan dengan satu atau dua lingkaran konsentris di tengah, yang melambangkan matahari dan bulan. Kesamaan dengan oiale dari tjidako-tjidako penduduk Seram sangat mencolok dan motif-motifnya pasti terkait secara mendasar.

Prof. Hentze menyatakan dirinya yakin bahwa motif ini terkait dengan motif Tiongkok kuno. Motif ini awalnya terdiri dari elemen yang sama, yaitu bulu (burung) yang dikelompokkan di sekitar simbol pusat, yang pasti melambangkan matahari. Matahari bersayap identik dengan burung matahari. Simbol Tiongkok kuno lainnya ditambahkan ke dalamnya: matahari (tengah/pusat) dikelilingi oleh empat bulan sabit. Terakhir, kerbau air di Tiongkok kuno juga merupakan hewan bulan (bulan sabit = tanduk) dan simbol air.

 

Lebih jauh, motif M muncul sebagai tanda tato dan pada labu (kalabasa) di Madagaskar. Afrika Utara juga pasti termasuk dalam kompleks budaya yang sama. Selain tato, motif ini sangat terwakili dalam dekorasi produk tembikar. Di seluruh Afrika Utara, motif ini disebut "burung" atau "elang" dan tidak ada keraguan tentang hubungan antara tanda-tanda Afrika Utara dan tanda-tanda Oseania9.

Tanda tato yang sama seperti di Seram disebut "jejak kaki burung" oleh penduduk asli. Menurut catatan yang tidak dipublikasikan oleh Prof. Dr. E. Stresemann tentang motif tato Seram, nama Alifuru untuk jenis figur yang sama adalah: manuetalai, manuehane, jejak kaki burung.

Fenomena budaya ini, yang tersebar luas di tempat dan waktu, mungkin dapat ditelusuri kembali ke periode Neolitikum10.

==== selesai ===

Catatan Kaki

1.       Erwin Stresemann “Die Vogel von Seran (Ceram)”.  Novitates Zoölogicae Vol. XXI, Febr. 1914. Blz. 109 e.v.

2.      Prof. K. Martin: “Reisen inden Molukken”. Leiden 1894. pl. VIII; 2 en 2a; XXIII: 1; la en lb; XXIV: 9; 9a; 10; 13; 14 dan 16.

§  Prof. W. Kükenthal: „Forschungsreisen in den Molukken und in Borneo”. Frankfurt a. Main 1896, pl. II; 9a en 9b; VII: 41.

§  Herman F. E. Visser: “Over ornamentkunst op Ceram”. Uitgave Kol. Instituut, A’dam, 1917, pl. 3,2; 4,3 en 4; 12,2.

§  O. D. Tauern: “Patasiwa und Patalima”. Leipzig 1918, vide voor tatouages, pl. 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7! 8.

§  W. Ruinen: “De Molukken”. Gids in het Volkenkundig Museum van het Kol. Instituut VII, blz. 30.

3.      G. L. Tichelman: “Dr. Carl Schuster on bird-designs in the Western Pacific: IndonesiaMelanesia-Polynesia”. Guit. Indië Juli 1939, blz. 232—235.

§  Vgl. Henry Lavachery: “Les pétroglvphes de I’ile de Paqiies”, Antwerpen, 1939, DL I. Titelplaat. Dl. 11, pl. XI, fig. 103; pl. XIX, fig. 220. (PI. LXIII, 116); pl. XXXIV, fig. 422, I, 11, 111, IV; pl. XLIX, 49; pl. LX, 89.

4.      H. G. Beasley: “The tamar of Santa Cruz”,  Ethnologia Cranmorensis, April, 1939.

5.      H. Geurtjens, M.S.C.: “Uiteen vreemde wereld”; ’s Hertogenbosch, 1921

6.      G. L. Tichelman: “Het snelmotief op Toradja-foejas”. Cult. Indië. April 1940.

7.      Dr. Alb. C. Kruyt: “De West Toradjas op Midden Celebes”. A’dam 1938.

8.      Panduan koleksi barang industri dari Kalimantan, dipamerkan di Pasar Gambir 1939. Afb. 1; 2; 3; 11; 14.

§  J. A. Loebèr Jr.: “Het weven in Ned.-Indië”. Bulletin van het Kol. Museum te Haarlem nr. 29, A dam 1903; pl. VIII, afb. 1 en 2, baadje en weefsel van N. Borneo, vgl. pl. X afb. 2. deken van Timor en pl. XVI afb. 1, saroeng van Amarasi en afb. 2, deken van O. Soemba.

§  Voorts: J. A. Loebèr Jr.: “Het schelpen- en kralenwerk in Ned.-Indië”. Bulletin van het Kol. Museum te Haarlem, nr. 51, A’dam 1913, pl. VI kraalwerk op zwart katoenen saroeng van Soemba en pl. XI kraalwerk op doozen van gevlochten pandanblaren van de Sangir-eilanden.

9.      Raymond Decary: “Les Tatouages chez les Indigènes de Madagascar”. Journal de la Société des Africanistes, Parijs. Dl. V. 1935, blz. 1140. Vide van denzelfden schrijver: “La sculpture chez les Antandroy de Madagascar”,
Bulletins et mémoires de la Société d’Anthropologie de Paris, Séance du 5 février, 1920, blz. 30—35 (zie fig. V). Vgl. ook de publicaties in „Hesperio” van Dr. Herber, die als geneesheer in het vreemdelingenlegioen in Marocco niet minder dan 30.000 tatouagemotieven uit alle deelen van Noord-Afrika heeft verzameld en tenslotte: Dr. E. Gobert: “Notes sur les tatouages des Indigènes tunisiens”, I’Anthropologle XXXIV, 1924, bib. 57—90.

10.    Kliment Cermaak: „Eine pn' -tie Ansiedlung beider südlich gelegenen hütte in Caslau (Böhmen), Zeitschr. f. Ethn. Dl. 21, 1889, blz. 447, fig. 5, een aardewerk potje.

 

Catatan Tambahan

a.      Radja van Ahiolo dalam tahun 1908-1909 bernama Toemelona

b.      Cikalang elok (Fregata magnificens) adalah spesies burung cikalang yang dikenal sebagai burung perompak. Disebabkan mereka suka menyerang dan makanan burung lain seperti jenis burung cikalang lainnya

c.      J. Hoogland adalah Gezaghebber onderafdeeling van Hollandia  pada periode 30 Januari 1938 – 9 Agustus 1940

d.      Pastor  Henricus Geurtjens (5 Juni 1875 – 22 Desember 1957)

e.      Dr. N. W. Bruynis  adalah controleur van onderafdeeling Roti (Baa) pada periode 27 Desember 1938 – Februari 1940


Tidak ada komentar:

Posting Komentar