Jumat, 04 April 2025

Mengenai Pemanfaatan Sejarah Kolonial Kontemporer dan Legitimasi Status Politik di Kepulauan Seram Tenggara

(bag 1) 

[Roy F Ellen]

  

A.      Kata Pengantar

Pada masa kolonial, gelar-gelar seperti radja, pattij, orangkaya, dalam historiografi Amboina, banyak dikenal. Namun saat Indonesia merdeka, terkhususnya di rezim Orde Baru, gelar-gelar itu “dibekukan” dan semua pemimpin desa/negeri, disebut Kepala Desa atau Lurah. Hal itu juga terjadi di Pulau Seram, yang dalam konteks tulisan ini, di wilayah pinggiran yaitu di Kecamatan Seram Timur. Meski demikian, gelar-gelar lama, seperti raja, patih, orang kaya, mayor, kapitan, orang tua, masih tetap “digunakan” dalam lingkup-lingkup yang terbatas di wilayah pinggiran ini. 

Hal ini menjadi tema dari tulisan Roy F Ellen dalam artikelnya yang berjudul On the Contemporary Uses of Colonial History and the Legitamation of Political Status in Archipelago Southeast Seram, yang dimuat di Journal of Southeast Asian Studies, volume 28, isu 1, Maret 1997, halaman 78-102. Artikel dari Ellen ini sepanjang 25 halaman, dengan 25 catatan kaki, 9 gambar ilustrasi [1 peta, 1 tabel, 6 foto dan 1 gambar], membahas tentang penggunaan gelar-gelar dimaksud sebagai legitimasi status politik di wilayah Tenggara Seram atau di Kecamatan Seram Timur, pada tahun 1980an. Tulisan ini berlandaskan kerja lapangan sang penulis yang bekerja di wilayah itu pada tahun 1981 dan 1986.

Kami menerjemahkan artikel ini, membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan ilustrasi untuk “melengkapi” ilustrasi yang sudah ada pada naskah aslinya. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

B.       Terjemahan

Ketika pemerintah Indonesia yang merdeka menggantikan Hindia Belanda sebagai pemerintahan berdaulat di Maluku, gelar-gelar bertingkat yang diberikan kepada para penguasa lokal oleh rezim kolonial secara resmi dihapuskan dan diganti dengan gelar kepala desa atau lurah yang seragam. Akan tetapi, dalam hubungan formal dan informal antara para penguasa dan pemerintahan individu, dan antara pemerintahan tersebut dan perwakilan lokal pemerintah Indonesia, gelar-gelar tertentu dipertahankan secara semi-resmi, yang paling menonjol adalah raja. Akan tetapi, seolah-olah untuk membuat konsesi semacam itu dapat diterima di bawah sistem egaliter yang baru, semua penguasa lokal dan kepala desa diizinkan untuk menyebut diri mereka sebagai raja, meskipun mereka belum pernah ditunjuk demikian sebelumnya. Meskipun ada perubahan-perubahan ini, pangkat dan status era prakolonial telah secara efektif "dibekukan" dengan penggabungan dalam sistem kolonial, dan terus memainkan peran dalam identifikasi diri para pemimpin politik lokal dan wilayah kekuasaan mereka, dan dalam wacana persaingan di antara mereka sejak saat itu. Makalah ini membahas masalah mengapa hal ini harus terjadi, dan bagaimana, dalam kasus-kasus tertentu, perbedaan politik kuno yang diwujudkan melalui struktur otoritas kolonial, bersama dengan retorika yang mengacu pada konstruksi sejarah yang sepenuhnya lokal, harus dilihat sebagai cara yang tepat untuk mewakili dan mengartikulasikan pertikaian politik modern. Dengan demikian, makalah ini harus ditempatkan dalam konteks karya-karya terbaru lainnya tentang representasi dan penggunaan oleh kelompok-kelompok etnis dan para pemimpin mereka di masa lalu dalam politik masa kini, dan tentang jalinan tradisi lokal dan ideologi nasionalis, di Indonesia bagian luar1.

Administrasi dan Ruang di Distrik Maritim

Data yang dievaluasi di sini diambil secara eksklusif dari apa yang saat ini merupakan kecamatan administratif lokal Seram Timura, bagian dari kabupaten Maluku Tengah, di provinsi Maluku, dengan ibu kotanya di Ambon. Karena saya akan merujuk pada sejumlah pemerintahan tradisional yang sekarang dibentuk sebagai kelompok desa, dan karena dimensi jarak dan ruang berhubungan erat dengan pemahaman tentang tingkat otonomi politik yang ditunjukkan oleh berbagai domain dan hubungan di antara mereka, mungkin lebih baik untuk menetapkan beberapa indikator lokasi yang cukup tepat. Ukuran geografis dan demografis yang saya andalkan adalah untuk tahun 1982, yang terbaru yang tersedia, dan diambil dari Statistik Tahunan Kecamatan Seram Timur untuk tahun itu, dan dalam beberapa kasus tahun-tahun sebelumnya. Dalam pengalaman saya, ringkasan statistik tahunan ini tidak seakurat yang diharapkan, tetapi saya percaya dalam konteks ini datanya tidak terlalu menyimpang sehingga ketika digabungkan, kemungkinan besar akan menyajikan gambaran yang sangat menyimpang.

Kecamatan Seram Timur terletak antara 3 dan 4 derajat lintang selatan dan 129 dan 130 derajat bujur timur (lihat Gambar 1). Kecamatan ini berbatasan dengan pulau utama Seram, yaitu Kecamatan Bula di sebelah utara dan Kecamatan Werinama di sebelah barat. Di sebelah selatan terdapat Laut Banda yang kosong dan di sebelah tenggara terdapat Kepulauan Kei di dalam Kabupaten Maluku Tenggara. Di sebelah timur dan timur laut terdapat Provinsi Irian Jaya (Nugini Indonesia). Kecamatan Seram Timur menempati wilayah daratan dan perairan sekitar 55.000 kilometer persegi, dengan menggunakan batas laut yang ditetapkan secara resmi untuk keperluan perhitungan, tetapi luas daratannya hanya 1.196,8 kilometer persegi. Dari Gah di ujung barat laut hingga Teor di ujung tenggara adalah 236,3 km. Sebagai perbandingan, ini lebih besar dari jarak antara titik tengah kecamatan dan pusat administrasi kabupaten di Masohi di daratan Seram (230 km), dan hampir sejauh ibu kota provinsi Ambon di sebelah barat (318 km)2. Yang lebih jelas, ukuran rata-rata bahkan distrik pedesaan di Jawa Tengah dan Timur adalah sekitar 7,7 km persegi dengan kepadatan penduduk melebihi 500 orang per kilometer persegi. Total populasi Seram Timur adalah 44.786, dan kepadatan untuk total wilayah adalah 1,02 orang per kilometer persegi, yang untuk wilayah daratan saja 37,42 per kilometer persegi3.

Saya menyebutkan semua ini karena perspektif jarak dan skala geografis sangat penting untuk memahami hubungan politik. Dalam konteks Indonesia, realitas sosial kecamatan administratif di Jawa sangat berbeda dari yang ada di sebagian besar wilayah nusantara lainnya, dan tentu saja di provinsi seperti Maluku. Di sini, jarak yang sangat jauh dan populasi yang sedikit, sejarah otonomi politik lokal dengan hanya federasi supra-lokal yang longgar, dimana dominasi kesultanan asli dan pusat-pusat pengaruh regional lainnya lemah dan berkala, dan dimana penggabungan yang efektif ke dalam negara kolonial Belanda (dengan pengecualian Ambon-Lease dan Banda) datang agak terlambat, memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Selain itu, camat (pejabat/kepala kecamatan) mewakili tokoh yang lebih penting dalam politik lokal Maluku daripada di Jawa, dalam kasus Seram Timur tidak hanya bertanggung jawab atas wilayah yang luas tetapi juga penengah dicta, seolah-olah, antara 37 penguasa lokal yang sebagian besar sangat independen (lihat Tabel I)4

Intinya mungkin dapat dibuat sedikit lebih kuat jika kita mempertimbangkan bukan jarak ortografis, yang bagaimanapun juga merupakan abstraksi dengan sedikit dampak pengalaman langsung, tetapi biaya perjalanan dan komunikasi. Saat ini feri antarpulau dengan mesin diesel dapat menempuh jarak dari Geser ke Kataloka dalam waktu tiga jam, kano dengan motor tempel dapat mencapai Amarsekaru dari Kataloka dalam waktu 30 menit, dan mencapai Danama dari Geser dalam waktu 85 menit. Namun, dengan menggunakan perahu layar dan kano dayung, yang merupakan satu-satunya alat transportasi laut hingga saat ini dan masih banyak digunakan, waktu tempuh menjadi sepuluh kali lipat: perahu dari Geser ke Kataloka memakan waktu dua hari (jika angin mendukung, dan jika tidak dua kali lebih lama) dan seterusnya. Untuk semua ini harus ditambahkan kondisi perjalanan: cuaca yang sangat musiman dan berubah-ubah, gerakan ombak dan banjir, kondisi duduk dan makan yang sempit dan tidak nyaman, dan kurangnya privasi untuk fungsi tubuh yang paling intim. Bersama-sama, semua ini merupakan realitas budaya jarak5.

Pusat administrasi kecamatan Seram Timur terletak di atol karang Geser yang sangat kecil, tempat hampir semua kantor dan lembaga pemerintah berada: camat dan stafnya, polisi, bea cukai, kantor kejaksaan setempat, pos militer, stasiun meteorologi, kantor pos, kantor pajak negara bagian dan provinsi, pengadilan hukum, penjara (yang melayani seluruh wilayah Maluku), administrasi pelabuhan, rumah sakit kecil, jaringan telepon radio (RATELDAb) dengan dunia luar, dan kantor-kantor pertanahan setempat, departemen pendidikan, urusan agama dan pekerjaan umum, penyuluhan pertanian dan layanan perkebunan. Jika kita mengecualikan guru (kelompok pegawai negeri terbesar) dan pejabat agama Islam setempat, jumlahnya sekitar 157 orang. Kekuatan detasemen militer setempat (KORAMIL, Komando Rayon Militer) secara resmi ditempatkan pada enam orang, sementara kontingen polisi sekitar dua kali lipat dari jumlah tersebut. Geser juga merupakan pusat perdagangan penting, yang menangani sebagian besar ekspor pala, ikan kering dan hasil laut eksotis, dan impor beras dan barang-barang konsumsi. Hampir semua rute masuk dan keluar kecamatan melewati Geser, baik untuk alasan regulasi maupun alasan historis lainnya. Dengan kata lain, Geser adalah leher botol metaforis yang mengendalikan akses ke dunia luar, serta menjadi titik dimana negara Indonesia modern paling terlihat.

Di bagian Maluku ini, seperti di sebagian besar wilayah pinggiran Indonesia, negara nasional dikonseptualisasikan secara sentripetal sebagai pusat geografis (yang pada akhirnya terletak di Jakarta) yang memperluas kekuasaannya melalui kendali atas titik-titik tanpa batas yang tetap, berbeda dengan gaya barat di mana negara-negara dengan batas wilayah yang pasti (jika diperebutkan) telah ada lebih lama, dan dimana kekuasaan politik direpresentasikan sebagai ruang absolut yang mencakup semua pusat kekuasaan yang sebelumnya independen di dalamnya. Dengan kata lain, kita di sini berhadapan dengan gagasan yang sangat berbeda tentang kedaulatan teritorial6. Gagasan tentang negara yang mengganggu diperkuat oleh kontras utama dalam etnisitas7. Sejak 1948, delapan dari 15 camat hingga 1986 adalah orang Kristen Ambon, setidaknya dilihat dari nama mereka; dan sebagian besar orang luar lainnya dari jenis yang lain. Hanya satu, W. Kilwarany (1961-62) yang memiliki nama yang dapat dikenali sebagai orang Seram bagian timur8. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam persepsi sebagian besar penduduk asli Seram bagian tenggara kepulauan, negara Indonesia terletak di Geser. Memang benar bahwa di tempat lain terdapat sekolah pemerintah desa dengan guru dan kepala desa perorangan, yang seperti guru secara teknis adalah pegawai negeri yang menerima gaji kecil, serta beberapa pejabat agama yang digaji, pegawai negeri sipil yang sudah pensiun, dan veteran angkatan bersenjata9. Di luar Geser, terdapat poliklinik dan kantor pelabuhan di Kataloka. Namun, hanya itu saja. Di daerah yang luas ini, tidak ada polisi, tidak ada militer. Memang, kedua angkatan bersenjata tersebut terhambat oleh fakta bahwa keduanya tidak memiliki sarana transportasi independen untuk memungkinkan mereka keluar dari Pulau Geser. Saya diberitahu pada tahun 1986 bahwa Polisi pernah menggunakan speedboat fiberglass kecil, tetapi sekarang terbengkalai di dataran lumpur laguna, tidak digunakan dan tidak dapat digunakan. Seperti orang lain, mereka bergantung pada feri yang berlayar antara Ambon, Geser dan seterusnya ke Kataloka dan terkadang Teor dan Kesuy, dan kapal-kapal milik perusahaan pelayaran nasional PELNI, yang memasok pulau-pulau di tenggara dari Ambon, melalui Banda, Geser, Kataloka dan seterusnya ke Tual, Aru dan Saumlaki di Tanimbar. Selain itu, mereka menyewa kano, yang biasanya dimiliki oleh pedagang Tionghoa, yang dapat mereka berikan tekanan resmi dan sesekali tidak teratur. Selama saya tinggal di Geser, Polisi menyewa kano kayu secara ad hoc untuk menangani kapal diesel yang rusak dan pencurian kargo yang diselamatkan. Kano disewa secara lebih rutin untuk patroli polisi dan oleh Camat untuk kunjungan berkala ke semua desa di distrik tersebut.

Dengan demikian, negara hanya melanggar batas sebagian dan secara tidak menentu di beberapa tempat, terhambat oleh bahaya jarak dan topografi, transportasi yang tidak memadai dan pembatasan lembaga-lembaga regulasinya terhadap Geser. Selain itu, pembatasan fisik terhadap penetrasi negara ini diperkuat oleh konseptualisasi kekuasaan negara yang terletak di titik-titik tertentu, di mana masing-masing negara menerima perlindungan dan campur tangan pemerintah, bukan karena mereka merasa tertekan secara politik karenanya, karena mereka memahami negara sebagai ruang yang dihuni, atau bahkan karena mereka memberikan tingkat kesetiaan kepada negara nasional yang mengesampingkan kesetiaan yang diberikan kepada negara mereka sendiri; tetapi karena negara diakui sebagai sumber kekuatan eksistensial yang harus mereka akomodasikan, dan yang mungkin juga menjadi sumber manfaat. Sekarang perlu untuk menyelidiki bagaimana situasi ini terjadi.

Sejarah Kolonial dan Akumulasi Gelar

Dari sudut pandang banyak penguasa tradisional di Seram bagian tenggara dan kepulauan Gorom, kekuasaan negara Indonesia di wilayah mereka bersifat sementara, tidak lengkap, dan dapat dinegosiasikan. Sejarah politik mereka sebagian besar didominasi oleh kisah-kisah tentang penguasa imigran yang diserap ke dalam tradisi lokal yang otonom, tentang orang luar yang menunjukkan kekuasaan mereka dan kepada siapa sebagian otoritas memang diserahkan, tetapi pengaruhnya akhirnya memudar. Republik Indonesia, harus diingat, baru berusia 50 tahun. Ketika kehadiran orang luar yang kuat bersifat berkala, bukti kekuasaan mereka didelegasikan kepada tanda-tanda fisik dan gelar, yang tidak hanya mewujudkan kekuasaan pemberi tetapi juga menambah kekuasaan penerima. Jadi ketika perwakilan dari berbagai negara Eropa mulai berdatangan sejak awal abad ke-16 dan seterusnya, mereka pada awalnya dianggap tidak berbeda dari perwakilan Majapahit, Tidore, Ternate; dari Banda, Bugis atau Makasar. Hal ini dilambangkan dengan kuat oleh pusat administrasi modern yang terletak di Geser, sebuah atol karang kecil dan rentan, yang sebelum Belanda mendirikan kantor pos di sana pada tahun 1880-anc tidak memiliki signifikansi politik lokal tertentu, hanya ditempati secara sementara, dan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan tradisional.

Sejauh yang memungkinkan untuk merekonstruksi sistem politik daerah ini sebelum periode Eropa, tampaknya meskipun secara budaya disatukan melalui satu bahasa, daerah ini terdiri dari sejumlah besar pemerintahan otonom yang dikepalai oleh para penguasa (matlen). Setiap pemerintahan dikelompokkan ke dalam kelas aristokrat dan rakyat jelata, dengan para budak (sebagian besar orang Irian, setidaknya pada periode selanjutnya) tinggal terpisah tetapi mengadopsi nama marga pemiliknya. Pada saat Portugis tiba pada tahun 1512, daerah tersebut telah berada di bawah pengaruh Majapahit, Ternate, dan Tidore, dan sedang dalam proses menganut Islam. Selama beberapa abad sebelumnya, orang Ternate telah memperluas pengaruh mereka di sepanjang pantai selatan Seram dari barat, dan orang Tidore di sepanjang pantai timur dari utara. Untuk menarik upeti dan memberikan pengaruh, kedua wilayah itu memberikan gelar. Kita tahu, misalnya, bahwa matlen Kianlaut diberi gelar sengaji (kepala distrik) oleh Tidore dan gelar kimelaha Keffing (kepala desa) oleh Ternate. Dalam setiap kasus, pejabat tersebut dianggap sebagai wakil dari sultan masing-masing. Istilah pattih berasal dari bahasa Jawa atau bahasa Sansekerta dan mungkin diperkenalkan oleh Majapahit. Orang Portugis mengikuti dengan mayor (di Keffing) dan kapitan (Kiltai). Pada saat ini bahasa Melayu telah memperoleh status lingua franca, dan gelar seperti raja dan orang kaya umumnya digunakan oleh orang dalam dan orang luar untuk menggambarkan penguasa lokal tertentu atau untuk merujuk mereka secara umum. Gelar-gelar yang berasal dari luar negeri tersebut melekat karena gelar-gelar tersebut merupakan kebutuhan langsung yang diperlukan dalam hubungan internasional di zona perdagangan polilinguistik dan polikultural yang kompleks dan baru muncul, dengan sejumlah besar negara kecil yang independen atau semi-independen.

Jadi, ketika Belanda tiba pada tahun-tahun awal abad ke-17, mereka dihadapkan dengan serangkaian gelar yang membingungkan yang berasal dari sumber-sumber lokal, Melayu, dan Eropa, yang dalam beberapa kasus merupakan deskripsi yang mudah dipahami dan dalam kasus lain merupakan sebutan resmi10. Kita tahu bahwa pada paruh pertama abad ke-19, beberapa negara bagian di Seram tenggara kepulauan diperintah oleh orang kaya yang independen, dan bahwa negara-negara bagian lain yang terbentuk memiliki raja dan di bawahnya seorang orang kaya, dan bahkan gelar-gelar lainnya. Negara-negara bagian lain tersebar, diperintah oleh raja tetapi dengan orang kaya yang mengepalai desa-desa tertentu. Dengan demikian, orang kaya Ainikke dan Besilan di Pulau Panjung berada di bawah kekuasaan Raja Amar, sementara orang kaya Kwaai berada di bawah kekuasaan Raja Kelu, dan kapitan Kiltai berada di bawah kekuasaan Raja Kilwaru11

 

Pada tahun 1824, sebuah peraturan dikeluarkan oleh Residen Belandad di Banda yang secara teoritis membawa para penguasa lokal ke dalam bentuk kendali kolonial tidak langsung dan mengakui wilayah pengaruh mereka. Meskipun para penguasa tidak berada di bawah kendali Belanda yang efektif, mereka tetap menghargai cap jabatan yang diberikan oleh kontrak komisi, suatu hal yang akan saya bahas nanti. Selama paruh kedua abad ke-19, wilayah tersebut secara resmi dibagi oleh Belanda menjadi "gebied" (regentschip), pertama di dalam Keresidenan Banda dan kemudian di Amboina. Pada tahun 1881, "Gebied" telah dibagi menjadi kampong dan para penguasa yang memiliki berbagai gelar secara pura-pura direduksi menjadi kepala kampong. Akan tetapi, gelar-gelar pra-kolonial diterima secara selektif dan didefinisikan ulang menjadi sistem peringkat untuk tujuan administrasi kolonial yang mudah. ​​Jadi, di "gebied" Kilmuri, kampong Dawana, Afang, dan K(w)amar memiliki orang tua, meskipun Batoloming memiliki seorang mayor. Di Kilwaru, Geser memiliki seorang mayor, Kiltai seorang kapitan, dan Maar seorang orang tua. Dari berbagai gelar, yang paling menonjol adalah raja, pattih, dan orang kaya (dalam urutan peringkat yang menurun), di bawahnya adalah mayor, kapitan, dan terakhir orang kaya. Pemegang salah satu gelar dapat dipromosikan (meskipun tidak pernah — menurut saya — diturunkan pangkatnya) ke peringkat lain tergantung pada keistimewaan layanannya dan bantuan politik yang diberikan. Pangkat administratif pemegang gelar juga tercermin dalam tanda kebesaran (tongkat dan medali bermahkota emas, pakaian asal Eropa) dan terutama dokumen yang diberikan kepada pemegang jabatan atas nama takhta Belanda, sebuah praktik yang sangat sesuai dengan gagasan adat tentang kekuasaan, penyaluran dan pembatasan kekuasaan. Bagaimana dan mengapa hal ini terjadi dengan cara seperti itu merupakan masalah menarik yang telah dibahas dalam makalah sebelumnya12. Ruang terbatas sehingga tidak ada yang dapat mengulang poin-poin utama di sini.

Yang membuat Seram tenggara kepulauan sangat istimewa dalam hal kepatuhannya terhadap gelar kolonial adalah tingkat otonomi yang dipertahankan oleh pemerintahannya hingga tahap akhir kontak dengan Eropa. Selama periode akhir abad ke-17 ketika VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) telah menguasai Banda dan Ambon, dan berusaha memperluas monopoli perdagangan pala dan cengkeh, pemerintahan perdagangan independen di Seram tenggara selalu menjadi pengganggu: menantang (menurut pandangan Belanda) monopoli dan terlibat dalam pembajakan kecil-kecilan. Sebagai balasannya, Belanda melancarkan serangkaian serangan hukuman untuk membasmi perkebunan yang mengganggu (kecuali pala), meskipun orang Seram berdagang produk dari Nugini yang tidak tunduk pada monopoli, VOC siap menoleransi kemerdekaan mereka13. Daerah tersebut makmur dengan munculnya perdagangan trepang (teripang) dan komoditas khusus bernilai tinggi lainnya dari Tiongkok. Baru pada abad ke-19 langkah-langkah efektif diambil untuk membangun kehadiran Belanda. Seram Tenggara awalnya [dimasukan] ke karesidenan Banda dan pos-pos kecil didirikan di Keffing dan Gorom; Geser akhirnya menjadi pos pemerintah pada tahun 1880-an14. Namun, administrasi sepenuhnya tidak langsung melalui raja-raja lokal dan Belanda tidak begitu tertarik pada daerah Muslim yang menghasilkan sedikit untuk mendorong ekonomi kolonial. Di bawah dispensasi yang lemah dan jinak ini, pemerintahan tradisional berfungsi seperti sebelumnya hingga sekitar pergantian abad15, meskipun perang antar wilayah secara efektif ditekan. Beberapa upaya juga dilakukan untuk mengendalikan penggunaan opium dan perbudakan, tetapi yang terakhir tentu saja tidak sepenuhnya berhasil.

Dengan kemerdekaan Indonesia, Pax Nederlandica secara efektif berubah menjadi Pax Indonesica, dengan sedikit perubahan langsung yang nyata dalam struktur pemerintahan daerah, atau kehadiran otoritas negara yang lebih besar. Tidak pernah ada penolakan terhadap negara Indonesia bersatu yang ditemukan di tempat lain di Maluku selatan, dan Islam berfungsi sebagai penghubung yang berguna dengan pemerintah di mana sebelumnya Kristen telah menjadi penghalang. Perbudakan secara resmi dihapuskan, partai politik diperkenalkan, dan pemilihan umum diadakan. Mungkin perubahan terbesar dalam kehidupan orang Seram adalah penghentian perdagangan dengan pantai Nugini antara sekitar tahun 1950 dan 1963. Namun yang paling penting di sini adalah perubahan dalam gelar yang disebutkan dalam pendahuluan; penghapusan resmi gelar berjenjang untuk penguasa tradisional yang diakui atau orang yang ditunjuk, dan penggantiannya dengan struktur desa yang seragam. Alih-alih berbagai gelar hierarkis yang belakangan diberikan oleh Belanda, yang mengurutkan pemerintahan dalam hal perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kolonial, semua penguasa lokal sekarang menjadi raja "kehormatan". Agar terhindar dari stigma dan aib karena tidak menjadi raja, setiap orang diakui sebagai raja.


Domain Politik dan Hubungan di Antara Domain-domain Tersebut

Salah satu alasan mengapa gelar tetap penting adalah hubungan yang secara historis lemah antara pusat kekuasaan kolonial dan pascakolonial dengan domain yang ingin mereka kuasai, meskipun lebih banyak terjadi pada masa kolonial daripada setelah Kemerdekaan. Namun, hal ini tidak cukup untuk menjelaskan mengapa penguasa tertentu, di wilayah yang dikuasai Belanda terlambat, tidak lengkap, dan sering ditentang, harus terlibat dalam apa yang disebut permainan status kompetitif, di mana lawannya adalah gelar yang dibekukan oleh penggunaan kolonial. Tentu saja, paradoksnya, ketidaklengkapan kontak dengan Belanda itu sendiri merupakan kuncinya. Karakter kehadiran Belanda, dengan pemerintahan tidak langsungnya, sangat mirip dengan pendahulunya, Ternate dan Tidore. Dan penafsiran tentang signifikansi gelar harus dilihat dari sudut pandang yang sama. Namun, untuk melakukan analisis lebih lanjut, perlu untuk memeriksa beberapa fitur posisi raja dalam sistem pemerintahan lokal kontemporer.

Saat ini ada dua jenis raja di Seram tenggara kepulauan, menggunakan istilah tersebut dalam pengertian umum untuk merujuk pada semua kepala desa termasuk semua yang mempertahankan gelar lama secara tidak resmi. Pertama, ada raja turunan (misalnya Kilmuri, Amarsekaru dan Kataloka), yang memperoleh status mereka melalui garis keturunan. Kedua, ada raja angkat, di mana seorang raja dipilih. Dalam praktik pra-kolonial langsung yang diperkuat oleh mandat kolonial, raja angkat dipilih dari orang kaya kelas bawah yang telah menunjukkan prestasi. Bagi Riedel16/e, orang kaya dipilih, raja bersifat turun-temurun; putra orang kaya juga sering mewarisi gelar tersebut setelah kematian ayah mereka. Di bawah sistem saat ini, siapa pun, secara teori, dapat dipilih. Contoh terbaru dari kemungkinan terakhir ini muncul pada tahun 1980 dengan pemilihan seseorang yang tidak berasal dari keluarga penguasa turun-temurun untuk jabatan raja di Keffing. Saya akan kembali ke kasus penting ini nanti. Bagi banyak orang, baik penguasa maupun rakyat biasa, orang-orang seperti itu bukanlah raja yang "tepat"; mereka tidak memiliki kekuasaan yang sah yang berasal dari garis keturunan leluhur, dari memiliki otoritas yang berakar dalam sejarah. Seperti di Jawa, orang-orang yang memiliki kekuasaan intrinsik yang nyata tidak dikenali dari kemewahan atau perintah ekstrinsik mereka atas perlengkapan kekuasaan, tetapi oleh sikap dan perilaku tertentu ketika pengerahan tenaga tidak diperlukan17.

Dalam semua dokumen resmi yang berasal dari kantor camat, atau di antara para penguasa wilayah, gelar raja atau kepala desa digunakan; pada semua kesempatan resmi mereka disapa sebagai raja. Namun demikian, raja-raja individu banyak dijalankan oleh status tradisional, memelihara koleksi dokumen-dokumen lama yang mengesahkan klaim mereka atas gelar-gelar tersebut. Oleh karena itu, dua jenis perbedaan tampaknya penting bagi mereka: yang pertama antara legitimasi berdasarkan garis keturunan (ascription) versus legitimasi melalui pengangkatan atau pemilihan (prestasi), yang kedua antara orang-orang yang menggunakan gelar raja berdasarkan telah mewarisinya dan mereka yang menggunakan gelar tersebut sebagai rasa hormat, terlepas dari apakah posisi mereka sebagai penguasa diwarisi atau melalui pengangkatan.

Banyak penguasa tradisional yang pada dasarnya dinaikkan statusnya menjadi raja dengan kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditentang oleh para penguasa yang diakui sebagai raja di bawah Belanda. Raja Kataloka saat ini, Abdul Aziz R. Wattimena, sangat bersusah payah membedakan antara raja pemerintah dan raja sejati (raja asli, raja betul), dan penuh dengan komentar yang merendahkan dan menggurui tentang orang kaya belaka. Kami membahas bangsawan Eropa dan gelar mereka. Ketika saya menyarankan bahwa Pangeran Monoco adalah orang kaya, dibandingkan dengan monarki Inggris, dia sangat geli. Dengan kata lain, otoritas politik tradisional dan modern berbeda dalam konseptualisasi kekuasaan yang terbuka: yang satu intrinsik dan memancar, yang lain ekstrinsik dan muncul dari posisi dalam hierarki yang lebih luas.

Fakta lain yang mungkin diharapkan dapat melemahkan struktur otoritas adat dan menunjukkan kesetiaan para penguasa tradisionalis kepada pemerintah Indonesia adalah bahwa banyak raja menghabiskan banyak waktu di luar wilayah kekuasaan mereka. Para raja Ondor dan Kataloka menghabiskan waktu yang lama setiap tahun di Amboina, dan terkadang bahkan bepergian lebih jauh. Yang lain tinggal hampir secara permanen di Geser, misalnya raja-raja Kelu dan Urang, kembali ke desa mereka hanya sesekali untuk mengurus administrasi lokal dan menghadiri festival. Hanya selama bulan Ramadan semua raja diharapkan berada di rumah. Tiga hal dapat dikatakan tentang hal ini. Pertama, ada manfaat praktis dalam pengaturan tersebut: seorang raja dapat lebih baik mewakili kepentingan rakyatnya kepada pemerintah jika ia dekat dengan sumber kekuasaannya, baik itu pusat administrasi kecamatan atau ibu kota provinsi. Kedua, tinggal di tempat-tempat seperti itu memberi raja berbagai koneksi politik dan komersial yang mendukung reputasinya sendiri dan potensinya sebagai pelindung. Ketiga, konsepsi tradisionalis tentang kerajaan sangat konsisten dengan pola tempat tinggal seperti itu: para raja datang dari luar negeri, pindah sesuka hati. Mereka punya tanggung jawab, tetapi selama mereka lebih mampu melindungi kepentingan wilayah daripada orang lain, mereka dapat diterima18. Hubungan antara kesejahteraan suatu pemerintahan dan ketergantungan pada koneksi dengan sumber daya eksternal dipahami dengan baik.

Namun, ada masalah praktis rutin yang lebih memperkuat paradoks tersebut. Sebagai pegawai negeri yang digaji, kepala desa diharuskan memilih GOLKAR, dan mendorong desa mereka untuk mengikutinya. Dalam pemilihan umum legislatif nasional tahun 1985, GOLKAR dilaporkan memenangkan 75 persen suara di kecamatan tersebut, sementara Partai Persatuan Pembangunan yang mewakili kepentingan Muslim hanya 25 persen. Namun, istilah wacana politik nasional sama sekali tidak membahas masalah langsung penduduk desa biasa. Memang, sering kali pejabat dan penguasa tradisional menyarankan bahwa politik adalah urusan yang tidak pantas, bahkan menggelikan, bagi penduduk desa biasa; itu adalah masalah kota dan mereka yang berpendidikan. Selain itu, hal itu berbahaya dan rahasia. Melalui pernyataan-pernyataan seperti itu, politik dieksternalisasi dari area-area di mana gagasan-gagasan tradisional tentang otoritas (adat) mendominasi. Mungkin penting bahwa undang-undang tahun 1979 yang melembagakan komite-komite konsultatif baru di tingkat desa tampaknya tidak banyak terlihat selama kerja lapangan saya sendiri di area tersebut, baik pada tahun 1981 maupun 1986. Dalam keadaan tersebut, tampaknya sangat masuk akal, seperti yang dikemukakan Bill Watson19 secara lebih umum, untuk menjelaskan kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan proposal-proposal di kecamatan Seram Timur dalam hal kombinasi dari kebencian dan skeptisisme lokal yang timbul dari pengalaman korupsi dan pemaksaan di masa lalu, dan tantangan yang mereka buat terhadap adat.

Akan menyesatkan untuk memberi kesan bahwa semua domain Seram Timur sama-sama tradisionalis dalam pandangan mereka, pada titik-titik yang setara dalam proses umum perubahan sosial, atau telah mencapai akomodasi yang sama antara realitas politik sebelumnya dan modern. Untuk menunjukkan sebagian variasinya, dan untuk menggambarkan secara empiris perselisihan mengenai hak milik, saya akan memeriksa satu kasus panjang dan dua kasus pendek mengenai masing-masing pemerintahan dan hubungan di antara mereka: kasus Kataloka dan Ondor, Kilwaru dan Kiltai, dan Keffing.

==== bersambung ===

Catatan Kaki

1.       Lihat khususnya J. Hoskins, "The headhunter as hero: local traditions and their reinterpretation in national history", American Ethnologist 14, 4 (1987): 605-622; C. E. Cunningham, "Celebrating a Toba Batak national hero: an Indonesian rite of identity", in Changing Lives, Changing Rites: Ritual and Social Dynamics in Philippine and Indonesian Uplands, ed. S. D. Russell and C. E. Cunningham (University of Michigan: Michigan Studies in South and Southeast Asia, Center for South and Southeast Asian Studies, 1989), pp. 167-200.

2.      Perhitungan ini berdasarkan angka-angka yang diberikan dalam Statistik Tahunan Kecamatan Seram Timur
Dalam Angka
(Geser: Kantor Wilayah Kecamatan Seram Timur) untuk tahun 1982, kecuali untuk luas wilayah kecamatan yang dihitung dari batas wilayah yang tertera pada Peta Propinsi Maluku yang dikeluarkan tahun 1965. Batas wilayah tidak berubah sejak saat itu.

3.      Jumlah penduduk bertambah sebanyak 2.725 jiwa antara tahun 1974 dan 1982, meskipun bila dianggap sebagai sebagian kecil dari jumlah keseluruhan harus diperlakukan sebagai jumlah yang stabil menurut standar keseluruhan Indonesia: 1974: 42.324; 1975: 42.937; 1976: 43.087; 1977: 43.318; 1978: 43.500 (perkiraan, angka tidak tersedia); 1979: 43.618; 1980: 43.846; 1981: 44.518; 1982: 45.049.

4.      Mungkin perlu dicatat di sini bahwa dalam konteks yang lebih luas, konsep ruang dan jarak masih bersifat periferal terhadap banyak pemodelan hubungan kekuasaan dalam antropologi politik. Namun, lihat: B. Benedict, "Sociological characteristics of small territories and their implications for economic development", in The social anthropology of complex societies, ed. M. Banton ( London: Tavistock, Association of Social Anthropologists, Monograph 4, 1966); R. L. Canfield, "The ecology of rural ethnic groups and the spatial dimensions of power", American Anthropologist 75 (1973): 1511-28; C. L. Crumley, "Towards a locational definition of state systems", American Anthropologist 78 (1976): 59-73; R. F. Ellen, "Persistence and change in the relationship between anthropology and human geography", Progress in Human Geography 2 (1988): 244; P. Richards, "Spatial organization as a theme in African studies", Progress in Human Geography 8 (1984): 551-61; C. A. Smith (ed.), Regional analysis. Vol. 2. Social systems (New York: Academic Press, 1976).

5.      Pasti ada kecamatan-kecamatan yang lebih besar di tempat lain (diukur dari segi jarak antara dua titik terjauh yang dihuni) dengan masalah komunikasi internal yang lebih besar, baik melalui darat (seperti di Irian Jaya) maupun laut, di mana titik tersebut dapat dicapai dengan lebih efektif. Aru tampaknya menjadi salah satu di Maluku. Lihat juga R. F. Ellen, "Trade, environment and the reproduction of local systems in the Moluccas", in The Ecosystem Concept in Anthropology (AAAS Selected Symposium 92), ed. E. F. Moran (Boulder CO: American Association for the Advancement of Science, 1984), pp. 163-204; R. F. Ellen, "Environmental perturbation, inter-island trade and the re-location of production along the Banda arc; or, why central places remain central", in Human Ecology of Health and Survival in Asia and the South Pacific, ed. T. Suzuki and R. Ohtsuka (Tokyo: University of Tokyo Press, 1987), p. 54.

6.      B. R. O. Anderson, "The idea of power in Javanese culture", in Culture and Politics in Indonesia, ed. C. Holt (Ithaca and London: Cornell University Press, 1972), pp. 22, 28-30.

7.      R. F. Ellen, "Ritual, identity, and the management of interethnic relations on Seram", in Time Past, Time Present, Time Future: Essays in Honour of P. E. de Josselin de Jong, ed. D. S. Moyer and H. J. M. Claessen, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 131 (Dordrecht-Holland, Providence-U.S.A.: Foris, 1988), pp. 117-35

8.      Statistik Tahunan 1982, p. 8.

9.      Gaji kepala desa sekitar 12.500 rupiah per bulan, meskipun tampaknya jumlahnya bervariasi tergantung pada desanya. Saya yakin Raja Kelu menyebutkan angka 15.000.

10.    Mengenai pemberian hak milik oleh kekuatan-kekuatan eksternal di wilayah Maluku selama periode sebelum kedatangan bangsa Eropa, dan selama periode awal kontak dengan bangsa Eropa, lihat, misalnya,P. R. Abdurachman, "New Winds, New Faces, New Forces" (unpublished paper presented at conference on "Southeast Asian responses to European intrusions"; Singapore: British Institute in Southeast Asia, 1981); R. F. Ellen, "Conundrums about Panjandrums: on the use of titles in the relations of political subordination in the Moluccas and along the Papuan coast", Indonesia 41 (1986): 50-51; L. Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), pp. 105, 107, 177, 189.

11.     Ellen, "Conundrums about Panjandrums", p. 54.

12.     Ibid., pp. 51-55.

13.     Ellen, "Environmental Perturbation", p. 42; G. J. Knaap, Kruidnagelen en chistenen: de Verenigde Oost-lndische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696 (Dordrecht-Holland; Providence-U.S.A.: Foris Publications, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125, 1987), pp. 65-70.

14.    Ellen, "Environmental Perturbation", pp. 56-57.

15.     Ellen, "Conundrums about Panjandrums", p. 56; Ellen, "Environmental Perturbation", pp. 46- 47; G. J. Resink, "Independent rulers, realms, and lands in Indonesia, 1850-1910", in Indonesia's History between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: Van Hoeve, 1968).

16.    J. G. F. Riedel, De sluik- en kroesharige raasen tusschen Selebes en Papua (The Hague: Nijhoff, 1886), p. 155.

17.     Anderson, "The Idea of Power", p. 43.

18.    Lihat pembahasan tentang “raja asing” di Andaya, The world of Maluku, p. 65.

19.    C. W. Watson, State and society in Indonesia (University of Kent at Canterbury: Centre for Southeast Asian Studies, Occasional Paper No. 8, 1987), p. 51.

 

Catatan Tambahan

a.      Pada periode ini [1980an – 1990an], belum terbentuk Kabupatan Seram Bagian Timur. Hanya 3 ada kecamatan di wilayah Seram Timur, yaitu Kecamatan Bula, Kecamatan Werinama dan Kecamatan Seram Timur yang merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Tengah di masa itu.

b.      Ratelda = Radio Telekomunikasi Daerah, sarana telekomunikasi yang menggunakan radio untuk berkomunikasi di suatu wilayah tertentu. 

c.      Sejak tahun 1882, onderafdeeling Ceram Laut en Gorom “terbentuk” yang dipimpin oleh seorang posthouder yaitu A.D.C. Pietersz (penjabat – 6 Maret 1882 s/d 1 April 1882). Onderafdeeling Ceram Laut en Gorom termasuk dalam wilayah administratif Afdeeling Banda, yang merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Ambon.

d.      Resident van Banda pada tahun 1824 adalah Pieter Eliza  Camphuijsen [1822 – Maret 1828]

e.      Johan Gerhard Riedel, Resident van Ambon [April 1880 – Agustus 1883]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar