[Manuel Lobato]
A. Kata Pengantar
Tulisan atau artikel yang coba kami terjemahkan ini ditulis oleh Manuel Lobato dengan judul The Mardicas of Ternate and the creoles of Portuguese origin in the Philippines: An interdisciplinary look at the relations between identity and language, yang dimuat dalam buku yang dieditori oleh Paulo Jorge de Sousa Pinto dan Miguel Rodrigues Lourenco, dengan judul The Islands Beyond the Empire: Portuguese Essays on Early Modern Philippine History (16th-18th centuries), yang diterbitkan di Manila, tahun 2023a. Artikel dari Lobato ini ditempatkan pada bagian/bab IV, pada halaman 381-391b. Selain tulisan dari Manuel Lobato, ada juga artikel dari misalnya Miguel Rodrigues Lourencoc, Rui Manuel Loureirod, Paulo Jorge de Sousa Pintoe, Graciete Nogueira Batalhaf, dan lain-lain. Manuel Lobato juga menyumbang satu tulisan lainnyag di buku ini.
Tulisan sepanjang 11 halaman ini, tidak memiliki catatan kaki dan gambar ilustrasi, meski demikian berdasarkan judulnya bisa diketahui bahwa sang penulis membahas tentang komunitas mardika asal “Ternate atau Maluku” yang berada di Philipina. Wilayah komunitas tersebut menggunakan nama “Ternate”, yang juga merupakan nama wilayah di Maluku. Bagaimana asal usulnya, dan bagaimana perkembangannya, itulah yang menjadi pokok bahasan dari Manuel Lobato.
Kami menerjemahkan artikel ini, menambahkan sedikit catatan tambahan dan gambar ilustrasi pada hasil terjemahan ini. Semoga artikel ini bisa bermanfaat, untuk memahami sejarah panjang kehidupan itu sendiri.
B. Terjemahan
1. Pendahuluan
Pada tahun 1960, Graciete Nogueira Batalha, dalam sebuah artikel yang masih menjadi rujukan utama pada tema penelitian ini, menyoroti kesamaan antara kreol asal Portugis dan Spanyol di Asia. Pendekatannya, meskipun difokuskan pada kreol Macau dan kepulauan Filipina, tidak mengecualikan kelompok lain yang dituturkan di tempat-tempat dengan pengaruh budaya Portugis yang kuat, yaitu di wilayah bekas Estado da Índia. Pengamatannya tentang masalah ini didorong oleh karya Keith Whinnom, yang diterbitkan beberapa tahun sebelumnya. Penulis ini, meskipun secara ketat berfokus pada aspek linguistik, baik leksikal maupun gramatikal, menganggap asal-usul Portugis pada beberapa varian kreol yang dituturkan di wilayah Manila dan tempat-tempat lain di kepulauan Filipina, juga menawarkan penjelasan historis dan konsisten pertama untuk fakta itu.
Menurut Graciete Batalha, Keith Whinnom mencatat pengaruh Portugis “dalam bentuk-bentuk seperti agora, ele, na dan mengakuinya sebagai sesuatu yang pasti untuk bentuk-bentuk majemuk ta, va, de, yang digunakan dalam sistem verbal dialek-dialek tersebut”. Akan tetapi, penulis Portugis tersebut menyimpulkan bahwa “itu mungkin kebetulan-kebetulan kosakata, lebih dari kebetulan-kebetulan tata bahasa, yang secara pasti menunjukkan adanya pengaruh Portugis” (Batalha, 1960: 296 dan 303).
Whinnom menganggap pengaruh tersebut terjadi pada suatu proses yang berkembang dalam dua fase yang berbeda. Tahap paling akhir terjadi di kepulauan Filipina sejak sepertiga terakhir abad ke-17, setelah beberapa orang Kristen dari Ternate – pulau yang secara politis dan simbolis paling penting di kepulauan Maluku, yang juga dikenal sebagai Maluco (Maluku) atau Kepulauan Rempah-Rempah – dipindahkan ke wilayah Manila. Di sana, mereka mendirikan desa baru dengan nama yang sama, Ternate, alasan mengapa varian kreol yang digunakan di sana kemudian dikenal sebagai ternateño. Namun, dalam proses ini, harus diakui bahwa ada fase sebelumnya yang dimulai pada akhir abad ke-16, yang ditandai oleh pengaruh kuat Spanyol terhadap bahasa kreol asal Portugis-Asia yang digunakan oleh orang-orang ini, ketika mereka masih tinggal di Kepulauan Maluku. Pada saat itu, orang-orang Spanyol yang datang dari Filipina secara militer menggantikan pemerintahan Portugis, berjuang melawan Sultan Ternate dan, kemudian, sekutunya Belanda, untuk menguasai pulau-pulau yang strategis secara ekonomi tersebut (Lobato, 2011b).
Penelitian ini hanya bermaksud untuk mengkorelasikan data historis yang tersedia dengan informasi yang dikumpulkan dalam beberapa dekade terakhir melalui kerja lapangan yang dilakukan oleh para antropolog di Filipina dan di Maluku, yang bertujuan untuk menetapkan identitas sebelumnya dari apa yang disebut orang-orang “Ternatan” di Manila dengan cara yang cukup rinci. Dengan demikian, tulisan ini juga bermaksud untuk memberikan kontribusi bagi pengetahuan yang lebih baik tentang asal-usul dan komposisi masyarakat Portugis-Asia yang telah punah – dan juga kurang diteliti – di Maluku Utara, dengan tujuan untuk mengisi kekosongan yang tidak ada di wilayah tetangga lainnya, seperti kepulauan Ambon (Maluku Tengah), di mana kelompok masyarakat seperti itu masih ada, setelah tetap dominan secara politik hingga awal era pasca-kolonial (Lobato, 2011a).
2. Ternate dalam konteks kepulauan Maluku
Meskipun studi terbaik tentang kreol berbasis Spanyol yang berasal dari Portugis tetaplah studi yang dilakukan oleh M. I. Riego de Dios (1976), proses pembentukannya harus dilihat dalam kerangka hubungan antara wilayah yang berada di bawah pengaruh kedua kekaisaran Iberia di Asia, kepulauan Maluku Utara, dan kepulauan Filipina, selama satu setengah abad, dari tahun 1512 hingga 1663, sebuah proses yang terdiri dari empat tahap berurutan.
Yang pertama menyangkut persaingan Portugis-Spanyol untuk kepemilikan kepulauan Maluku. Persaingan ini dimulai pada tahun 1518, saat ekspedisi di bawah pimpinan Magellan akan segera dipersiapkan, yang memicu tanggapan Portugis saat mereka membangun benteng di pulau Ternate, dan berlangsung hingga pemukiman Spanyol akhirnya ditemukan di Manila, pada awal tahun 1570-an. Selama setengah abad ini, beberapa ekspedisi Spanyol berulang kali dikirim dari Spanyol dan Spanyol Baru ke Kepulauan Rempah, bahkan setelah kerajaan Portugis membayar, pada tahun 1529, sejumlah besar uang untuk klaim Spanyol atas Kepulauan Maluku. Ekspedisi semacam itu, yang berlangsung pada tahun 1521h, 1527i, 1544j dan 1565, secara luas mengakui kepulauan Filipina, yang awalnya dikenal sebagai kepulauan São Lázaro.
Periode singkat kedua berlalu dari tahun 1571 hingga 1582, periode ketidakpastian dalam hubungan antara kekaisaran Iberia di Asia. Namun, periode itu ditandai oleh dua fakta penting yang mendahului dan sangat mengkondisikan hasil di Asia dari penggabungan kerajaan Iberia. Fakta utama pertama adalah pendirian orang-orang Spanyol di Manila yang telah disebutkan sebelumnya, yang diuntungkan oleh dekrit Ming, pada tahun 1567, yang membuka kembali pelabuhan-pelabuhan Fujian untuk pelayaran dan perdagangan dengan Nanyang, atau “Samudra Selatan”, yaitu, seluruh wilayah Asia Tenggara. Hubungan intensif terjalin antara pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok dan beberapa pos perdagangan luar negeri yang dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang Tiongkok, seperti Manila, yang menjadi salah satu pusat diaspora Tiongkok tersibuk di Nanyang pada saat itu, kota pelabuhan Tiongkok-Spanyol di negara Tagalog yang memegang posisi eksklusif dalam lalu lintas antar benua yang menghubungkan Meksiko dan Tiongkok. Manila melampaui Macau dan Malaka dengan menyalurkan sebagian perdagangan rempah-rempah Indonesia, termasuk lada dari Sunda dan cengkeh dari Maluku yang ditujukan ke pasar Tiongkok dan Amerika. Sejak saat itu, setelah penyatuan kerajaan Iberia, yang membuka periode baru, yang ketiga yang disebutkan di atas, orang-orang Spanyol berusaha keras untuk menggantikan Portugis dalam mengekspor cengkeh dari Maluku, membuat rencana untuk meneruskannya ke Eropa.
Tujuan itu tampaknya cukup masuk akal, terutama setelah Sultan Ternate, Baab Ullah Datu Syah (memerintah 1570-1583), mengusir Portugis dari pulaunya, pada tahun 1575, fakta kedua yang menentukan yang juga disebutkan di atas yang terjadi tepat sebelum penyatuan kerajaan Iberia. Ini adalah tanggapan penduduk setempat terhadap pembunuhan Sultan Hairun (memerintah 1535-1545 dan 1547-1570), yang telah menjadi perancang hegemoni Ternate atas Kepulauan Melayu Timur, wilayah yang luas yang membentang dari Filipina hingga Timor dan dari Sulawesi hingga dunia Papua Barat. Kerusakan dari kekalahan militer yang dilakukan oleh Sultan Baab Ullah Datu Syah (memerintah 1570-1583), putra dan penerus Hairun, sebagian diperbaiki oleh penjajah Portugis yang mendirikan pemukiman baru di pulau-pulau tetangga Tidore dan Ambon, namun dengan mengorbankan hilangnya prestise dan pengaruh politik mereka di seluruh wilayah, karena mereka berada dalam situasi yang cukup sulit karena mereka mampu memulihkan benteng mereka di Ternate.
Tahap ketiga dalam hubungan Iberia di Asia dimulai dengan penggabungan kerajaan Portugis dan Spanyol di bawah Raja Filipe II, pada tahun 1581-82. Itu adalah era kemitraan intensif dan dukungan militer timbal balik bagi Portugis yang didirikan di Tidore dan armada Spanyol yang datang dari Manila hampir setiap tahun. Pengiriman dan arus perdagangan meningkat pesat selama tahap ini, alasan untuk menandainya sebagai periode "kondominium Portugis-Spanyol" atas Maluku. Sejak 1582 hingga 1605, beberapa ekspedisi Iberia yang dikoordinasikan dengan hati-hati oleh otoritas Spanyol di Manila mencoba, tetapi tidak berhasil, untuk memulihkan benteng Portugis di Ternate.
Pada tahap selanjutnya, yang keempat dari perlawanan Spanyol terhadap kendali Belanda, hubungan antara Filipina dan Maluku semakin intensif ketika garnisun dan personel administrasi Spanyol secara permanen didirikan di Ternate dan Tidore. Dimulai pada tahun 1606, setelah perebutan benteng Ternate dari Sultan Said Berkat (memerintah 1583-1606), hal ini merupakan periode pemindahan kekuasaan kolonial yang sesungguhnya dari Portugis ke Spanyol. Hingga tahun 1663, Maluku Utara merupakan perpanjangan dari Filipina Spanyol, setidaknya dari sudut pandang pejabat Spanyol. Hal ini dicapai dengan beberapa cara, yaitu dengan mendirikan benteng militer utama di Pulau Ternate, yang dikenal sebagai Ciudad de Nuestra Señora del Rosario, dan mendirikan unit-unit tentara Pampanga dan Meksiko, yang misinya adalah untuk melawan koalisi lokal pasukan Kesultanan dan militer Belanda. VOC memapankan diri di beberapa pulau, yaitu di Ternate, Makian, dan Bacan. Pulau Ambon, tempat Belanda mengusir Portugis pada tahun 1605, berfungsi sebagai markas maritim VOC di Asia hingga Batavia ditemukan pada tahun 1619.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa situasi politik dan militer di pulau-pulau ini menjadi sangat rumit, terutama setelah gubernur Filipina, Don Pedro de Acuña, yang memimpin ekspedisi yang dipersiapkan di Spanyol, Meksiko, dan Peru, berhasil merebut kembali benteng Portugis lama di Ternate pada tahun 1606, sebuah kompleks militer yang pada saat itu menjadi tempat tinggal bergengsi bagi para sultan setempat. Pada tahun berikutnya, meskipun Spanyol menduduki kota istana Ternate, yang berganti nama menjadi Ciudad de Nuestra Señora del Rosario, serta tempat-tempat lain di pulau yang sama, Belanda mulai memberikan bantuan militer kepada Sultan yang baru, Mudafar (memerintah 1606-27), membantunya untuk memulihkan kendali atas wilayah kekuasaannya secara luas. Wilayah-wilayah ini meliputi sebagian besar wilayah Maluku Utara dan kepulauan Ambon. Mereka juga membantunya membangun tempat tinggal baru di Toluku – tempat di tepi pantai yang sebelumnya dimiliki dan dibentengi oleh orang Spanyol. Pada saat yang sama, Belanda mendirikan Fort Orange, dekat dengan ibu kota kesultanan yang baru dan di tempat yang sama di mana para sultan sebelumnya memiliki apa yang disebut benteng Malayu (Lobato, 2009: 34).
![]() |
Sultan Baabullah, ca. 1579 |
Ternate, negara bagian pertama di kepulauan Melayu Timur yang memeluk Islam, adalah kesultanan keempat yang muncul di Asia Tenggara, sekitar tahun 1465 (Lobato, 2007: 221), tepat setelah Samudera-Pasai (1295) dan Aru (abad ke-14), keduanya di Sumatra, dan Malaka (sekitar tahun 1414). Meskipun pergeseran agama ini terjadi terlalu dini dan terlalu jauh dari pasisir Jawa, rute perdagangan utama tempat penyebaran Islamisasi kepulauan Melayu, Ternate memperoleh prestise yang sangat besar karena Islam dan dengan menjamu Portugis selama setengah abad, meskipun kesultanan itu tidak mencapai hegemoni yang tidak perlu dipertanyakan lagi atas seluruh wilayah tersebut. Terletak di daerah antara wilayah Melayu-Polinesia dan Papua, kepulauan Maluku secara budaya konsisten dan sangat bersatu, meskipun mereka juga menunjukkan keragaman etnis dan bahasa yang besar, di samping fragmentasi politik yang efektif di berbagai wilayah yang mempertahankan akar budaya mereka sendiri dalam mitos-mitos dasar.
Menurut tradisi setempat, Maluku secara politis terbagi dalam lima kerajaan, salah satunya, Loloda, entah bagaimana telah menghilang, mewakili momentum primordial surgawi yang secara simbolis dan definitif hilang (Andaya, 1993: 51-52). Empat kerajaan yang tersisa – Ternate, yang utama, Tidore, Jeilolo dan Bacan – sesuai dengan pulau-pulau utama, terlepas dari dimensi sebenarnya, karena Ternate dan Tidore, dua pulau terpenting, hanyalah pegunungan vulkanik, yang jauh lebih kecil daripada Jeilolo atau Bacan. Hingga pertengahan abad ke-16, mereka juga merupakan satu-satunya pulau tempat cengkih dipanen. Kegiatan ekonomi ini menentukan keberuntungan mereka yang unik, dengan menempatkan mereka dalam hubungan dekat dengan ekonomi dunia sejak abad ke-14, dengan menarik perhatian pedagang Cina, Jawa, India dan Melayu, yang biasa mengunjungi daerah tersebut, dan juga menjadi daya tarik bagi kekuatan Eropa.
3. Orang-orang Ternate pertama yang dideportasi ke Manila
Pada saat Spanyol menduduki Ternate, tahun 1606, Sultan Said Berkat (memerintah 1583-1606) dan putranya, putra mahkota dan penerus yang ditunjuk, kaicil Sulampi Gariolano, menyerah kepada Gubernur Acuña, melalui mediasi seorang mestizo Portugis-Maluku, Paulo de Lima. Acuña memenjarakan mereka dan mengirim mereka ke Manila bersama sejumlah tokoh berpangkat tinggi, sebagian besar anggota keluarga kerajaan, yang merupakan pejabat tinggi dan menjalankan fungsi ritual pada hierarki politik-agama kesultanan (Argensola, 1993: 330-53). bersama mereka ikut serta sejumlah kerabat, istri, dan pembantu, yang jumlahnya tiga puluh orang, sebagaimana dinyatakan dalam surat yang ditujukan oleh Sultan sendiri kepada Raja Spanyol (Colín-Pastells II, 1904: 54-55; Jacobs III, 1984: 5*-6*), kelompok pertama orang Ternate yang dideportasi secara politik di Manila.
Selama bertahun-tahun, isu pengiriman Sultan Said Berkat kembali ke Ternate dari pengasingannya di Manila terus mengemuka. Pada tahun 1611, Gubernur Don Juan de Silva (1609-1616) membawanya kembali ke Maluku dengan harapan bahwa ia akan menyingkirkan Ternate dari kesetiaannya kepada Belanda dengan menempatkan Kesultanan itu sekali lagi di bawah kepatuhan Spanyol. Karena manuver di belakang layar ini tidak berhasil, Silva mengembalikannya ke kandang emasnya di Manila. Sebagai sandera orang-orang Spanyol, Sultan Said yang lama tidak dapat merebut kembali tahta dan diakui sebagai raja yang sah oleh rakyatnya, yang sementara itu telah memilih putranya yang lain, Sultan Mudafar atau Muzzafar (memerintah 1606-27). Tidak berhasil, Said terus berjanji untuk memenuhi tuntutan Spanyol sebagai imbalan atas kebebasannya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Jesuit Francisco Ribeiro pergi ke Manila, kembali ke Ternate bersama dengan Pangeran Don Pedro, sepupu Sultan Said, yang ditunjuk oleh Gubernur Filipina, Don Juan Niño de Tavora (1626-1632), untuk mencapai kesepakatan dengan penguasa Ternate mengenai syarat-syarat pemulangan sultan lama. Negosiator Ternate ini sebenarnya bernama cachil Hamja atau Hamzah (Amuxak), yang konon telah berpindah agama menjadi Katolik selama pengasingannya di Manila, dengan menggunakan nama Don Pedro de Acuñal, bekas gubernur dan pendampingnya. Selama proses negosiasi, pada tahun 1627, kedua sultan Said dan Mudafar meninggalm. Dalam keadaan tersebut, pangeran Don Pedro berhasil membebaskan diri dari ketaatan Spanyol dan meninggalkan iman Katolik, sehingga berhasil terpilih sebagai Sultan yang baru, Hamja (memerintah 1627-1648).
Meskipun telah menolak Katolik, perilakunya dalam hal keagamaan tetap cukup ambigu, menurut beberapa kesaksian Belanda, karena ia dikenal karena telah memohon kepada orang-orang kudus Katolik di ranjang kematiannya (Jacobs, 1984: 470n). Namun, pada hari-hari awal pemerintahannya, untuk menegaskan dirinya secara politik dan memudarkan citra negatif sebagai pengkhianat Islam, ia memulai kampanye militer berdarah terhadap orang-orang Kristen di Moro, daerah yang cukup subur di utara pulau Jeilolo. Wilayah ini telah dievangelisasi oleh Fransiskus Xaverius, yang telah mendirikan misi Jesuit di sana hampir seabad sebelumnya, pada tahun 1546. Pada tahun 1629, Sultan Hamja mendeportasi lebih dari 700 prajurit dari enam desa Kristen utama di Moro, termasuk Galela, ke Ternate, memaksa mereka untuk menerima Islam, sebuah subjek yang dibahas lebih lanjut.
4. Ternate, di Cavite
Para pejabat istana yang mengawal Sultan Said dalam pengasingan bukanlah satu-satunya kelompok dari Ternate yang mengungsi ke Manila. Memang, kota Nuestra Señora del Rosario milik Spanyol, di Ternate, merupakan pusat yang agak multi etnis, di mana orang dapat menemukan, selain orang Spanyol dan kreol Spanyol-Amerika, juga orang Portugis-Asia dan tentara Filipina asal Pampanga dan Zamboanga, pedagang dan pengrajin Cina, dll. Ada juga komunitas Kristen asli, yang dipimpin oleh beberapa casados (literal. "pria yang sudah menikah") atau mestizo Portugis yang berpengaruh dan mardicas yang telah bertobat, istilah yang berarti "orang merdeka", termasuk kerabat dan budak rumah tangga mereka. Seperti biasa dalam masyarakat Portugis-Asia, hampir setiap orang terlibat dalam kegiatan perdagangan dan peperangan, alasan mengapa orang Spanyol, sejak penyatuan kerajaan Iberia, merekrut mereka sebagai penerjemah dan tentara. Mungkin, tanpa meninggalkan praktik leluhur mereka, mereka akan menderita pengaruh Kastilia yang kuat selama setengah abad di bawah kekuasaan Spanyol, hingga tahun 1663, ketika Spanyol meninggalkan Maluku.
Alasan utama keputusan Spanyol untuk meninggalkan kepulauan Maluku adalah ancaman serius dari Tiongkok yang mengancam Manila. Pada tahun 1662, bajak laut dan panglima perang terkenal Guoxingye (Koxinga), gelar yang berarti "Pangeran Yanping", setelah mengusir Belanda dari Taiwan, mengirim biarawan Dominika Italia Vittorio Ricci ke Manila sebagai utusan, dengan membawa ultimatum. Tak lama kemudian, pemberontakan ribuan pemukim Tiongkok pecah di Manila, yang penindasannya mengakibatkan pembantaian besar dalam sejarah kota tersebut. Gubernur Manrique de Lara (1653-1663), untuk menjamin pertahanan kota, memanggil kembali ke Manila setiap garnisun yang ditempatkan di Maluku dan di beberapa tempat di Mindanao (Ollé, 2004: 97).
Ketika meninggalkan Ternate, Gubernur Spanyol terakhir di Maluku, Don Francisco de Atienza (1659-60 dan 1663), atas permintaan para pendeta setempat, khususnya Jesuit Diogo de Esquível, mengirim ke Manila sekitar 200 mardicas, yang dianggap sebagai subjek Kristen yang setia dari Mahkota Spanyol, bersama dengan keluarga mereka. Mereka diyakini sebagai putra spiritual para Jesuit dan khususnya Fransiskus Xaverius, yang mereka sembah, dan mereka lebih memilih pengasingan sukarela daripada ditinggalkan untuk dianiaya dan dibunuh.
Namun, sistem pertahanan itu tidak diaktifkan sama sekali. Guoxingye meninggal dan ancaman Tiongkok tidak pernah terwujud. Gubernur Manrique de Lara menugaskan sebuah tempat di Cavite, di tepi selatan teluk Manila, untuk menempatkan para mardicas Ternate. Tempat itu tampaknya awalnya adalah Ermita. Pada akhir abad ke-17, tujuh keluarga (atau empat belas, menurut tradisi lisan yang berbeda) pindah ke lokasi lain, kemudian mengganti nama Ternate sebagai kenangan akan kampung halaman mereka. Keturunan mereka terus menganggap diri mereka sebagai mardicas, sebuah istilah yang memperoleh makna tambahan yaitu “mereka yang mengenal laut” atau, singkatnya, “orang laut”. Mereka diberi tugas untuk mendukung pelayaran di beberapa bagian Teluk Manila dan mengendalikan akses ke sana. Suku Ternateño, sebagaimana mereka dikenal saat ini, juga menyebut desa mereka Galala, sebuah istilah untuk spesies botani, yang disebut Pohon Karang (Erythrina variegara atau Erythrina indica) (Rafael 1978: 348-50).
5. Kristen Morotia [Morotai]
Saat ini sulit untuk menilai apakah nama Galala yang dipilih oleh orang Ternateños untuk menamai desa mereka Ternate hanya merujuk pada sebuah pohon atau menyiratkan asal usul imigran lain yang lebih terpencil, yang berasal dari wilayah Galela, di Morotia, sebuah semenanjung subur di bagian utara pulau Halmahera, dekat Ternate, di Maluku. Menurut mitos yang dikumpulkan di Morotia pada awal abad ke-20, Galela berasal dari kata gam, “desa”, dan lilla (Portugis: lela), bunga Achillea millefolium L. (Inggris: Common Yarrow atau Milfoil), tanaman dengan berbagai manfaat obat. Mitos tersebut juga mencatat bahwa nama desa – yang lokasinya berubah beberapa kali selama berabad-abad terakhir dan, pada kesempatan tertentu, merujuk pada dua desa yang berbeda dan seluruh wilayah di sekitarnya – dipilih karena merupakan bunga kesayangan Raja Bacan (Risakotta, 2005: 27 – 34o). Penduduk setempat digambarkan sebagai “Melayu”, yaitu, secara etnis Austronesia, meskipun, tidak seperti kebanyakan tetangga mereka, mereka berbicara dalam bahasa Papua (Belwood, 1985: 75-76).
Pada pertengahan abad ke-16, penduduk Galela dipandang sebagai komunitas animisme, yang juga terdiri dari anggota Kristen dan Muslim. Bahkan, pada saat itu, di antara enam desa utama di Halmahera utara, hanya Galela yang menolak pemaksaan upeti Sultan Ternate, dengan mengandalkan dukungan Portugis. Sebagai imbalan atas bantuan mereka, mereka menerima untuk pindah agama ke agama Katolik, sebuah proses yang berpuncak dengan kerasulan Fransiskus Xaverius yang telah disebutkan di atas di wilayah itu, pada tahun 1546. Pemberontakan pertama di Morotia terhadap Sultan Ternate terjadi beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1534, dan ditumpas secara brutal, berakhir dengan pertumpahan darah yang akan mendorong banyak orang untuk pergi. Pada tahun 1543, intervensi militer Portugis untuk mendukung komunitas Kristen di Moro melipatgandakan jumlah orang yang pindah agama (Lobato, 2007: 213), tetapi tidak terjadi di Galela, di mana sebuah faksi di antara penduduk desa, di bawah tekanan sengaji Gamkonorah dan Sultan Ternate, akhirnya masuk Islam, sehingga menimbulkan perpecahan di dalam komunitas tersebut. Pada tahun 1562, Henrique de Sá, komandan benteng Portugis di Ternate, melakukan kampanye militer di Morotia yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang Kristen dari orang-orang Muslim di Galela dan mencegah mereka dari kemurtadan karena kurangnya dukungan Eropa yang efektif (Sousa, 1978: 418). Tak lama kemudian, para sengaji Galela, yang sebelumnya seorang Muslim, berpindah agama ke agama Katolik, menyampaikan pidato pada kesempatan itu, yang dicatat oleh Jesuit Manuel Gomes:
“Di tempat-tempat Moro ini juga ada sebuah tempat yang disebut Galelas; karena tempat itu setengah Kristen setengah Moor, karena perang dan orang-orang Kristen dipermalukan dan dizalimi oleh orang-orang Moor, mereka mundur [meninggalkan agama Katolik]. Dan karena ingin agar orang-orang dari armada kami membebaskan mereka, seorang Moor bernama Teolica [Tiulisa], kepala suku di tempat itu, yang kepadanya mereka semua patuh karena dia sangat ditakuti oleh mereka semua, (...) Moor ini datang (...), memberi tahu mereka bahwa dia menemukan hukum orang-orang Kristen itu benar, yang demi keselamatan jiwa mereka, mereka harus menerimanya, bahwa semua orang yang ingin mengikutinya harus mengesampingkannya, yang mereka semua lakukan. Dan berkhotbah kepada mereka, mengatakan bahwa tidak seorang pun memaksa mereka untuk menjadi orang Kristen, (...) dan bahwa mereka semua harus melihat terlebih dahulu apa yang mereka lakukan, karena jika di kemudian hari ada satu orang saja yang karena takut mati atau kehilangan harta benda, berbalik arah, dia akan memenggal kepala mereka.” (Jacobs I, 1974: 396).
Koalisi terbalik ini, yang menukar Islam dengan iman Kristen, menyiratkan pemberontakan terhadap sengaji Gamkonorah, yang merupakan penguasa tertinggi di seluruh wilayah tersebut. Pada tahun 1607, ketika pasukan Spanyol menghancurkan daerah itu dan meratakan Galela selama kampanye penganiayaan terhadap para pengikut Sultan Ternate yang kalah, tidak ada lagi orang Kristen di sana. Namun, pada tahun 1629, selama penyerbuan di Morotia, Sultan Hamja menangkap lebih dari 700 orang Kristen, membawa mereka ke Ternate sebagai budak hadiah yang suka berperang. Fakta ini tercatat dalam tradisi lisan yang dikumpulkan oleh para antropolog di Galela (Platenkamp, 1993: 72-73). Tiga dekade kemudian, pada tahun 1656, penduduk kedua desa yang terletak di tepi Danau Galela kembali menganut praktik animisme (Fraassen, 1983: 116-17).
6. Mardicas sebagai kelompok sosial
Seperti yang telah disebutkan di atas, penduduk Ternate, di teluk Manila, menganggap diri mereka sebagai mardika. Pada saat itu, “orang-orang merdeka” ini dapat ditemukan di setiap pemukiman Portugis di Maluku, khususnya di Ambon, dimana mereka menjadi cukup terkenal dan bahkan memperoleh visibilitas, tidak hanya melalui gambar-gambar yang beredar di Eropa, tetapi juga karena Belanda mempekerjakan mereka hingga akhir abad ke-18 sebagai perantara antara penjajah dan penduduk asli, di kepulauan Maluku dan Banda, tetapi juga di Batavia dan tempat-tempat lain, di mana mereka bertindak sebagai penerjemah, agen diplomatik dan perdagangan, tentara dan pelaut.
Historiografi berasumsi bahwa asal-usul mardika Ambon, atau orang-orang merdeka, berakar pada bekas “budak” sultan Ternate, yang dibebaskan oleh para pendeta Jesuit dan diubah menjadi penganut agama Kristen. Akan tetapi, konsep “budak” itu sendiri, yang dimaksudkan untuk menerjemahkan istilah lokal alifuru dan ngofangare ke dalam bahasa-bahasa barat, mengungkapkan realitas yang agak berbeda. Penafsiran yang umum berlaku terlalu harfiah dalam mengartikan asal usul lapisan atas masyarakat Portugis-Ambon. “Budak-budak Sultan” diterapkan pada beberapa komunitas pembayar upeti yang tersebar di seluruh wilayah yang luas, dari Filipina Selatan hingga Timor, yang dipaksa untuk menyatakan kesetiaan mereka dan membayarnya dalam bentuk barang, terkadang juga dalam bentuk jasa. Sangat mungkin bahwa selama setengah abad konflik Kristen-Muslim, yang melibatkan hampir seluruh kepulauan Ambon dan berlangsung hingga penaklukan Belanda atas kota Ambon, beberapa kelompok yang berasal dari komunitas yang dipaksa menerima otoritas sultan, terutama anggota elit prajurit, datang untuk berlindung di antara orang Portugis di benteng Ambon dan, sangat tepat, menukar status “budak” dengan mardika atau “orang merdeka”.
Kendati terdapat kesenjangan, hal serupa mungkin telah terjadi di Ternate, terutama sejak Portugis secara terbuka memutuskan hubungan dengan kesultanan tersebut, pada tahun 1570. Iman Katolik menawarkan sarana emansipasi bagi sejumlah besar “budak” dan budak belian lainnya – yang secara umum diberi label alifuru dan ngofangare – yang biasanya mempraktikkan pernikahan monogami, tidak seperti kaum elit Muslim di Ternate, Tidore, dan Jeilolo.
7. Bahasa Ternateño dan
Bahasa Spanyol Kreol Filipina (PCS)
Apa pun asal usul mardika ini sebelum mereka menetap di antara orang Portugis dan, setelah tahun 1606, di antara orang Spanyol di Ciudad de Nuestra Señora del Rosario di Ternate, mereka secara langsung terkait dengan fakta linguistik utama di Filipina, yang disebut PCS atau "Bahasa Spanyol Kreol Filipina". Bahasa ini biasanya dan dengan cara yang tidak menguntungkan dan penuh prasangka, diberi label Chabacano, yang variannya yang diucapkan di Ternate adalah yang tertua di antara keempat bahasa yang masih digunakan dan merupakan sumber dari semuanya, kecuali yang diucapkan di Cottabatto. Untungnya, hubungan semacam itu dapat ditemukan. Hubungan pertama masih terjadi selama abad ke-17, mengenai penggunaan orang-orang ternateño di galangan kapal Cavite, tempat varian lokal Chabacano dikembangkan. Kemudian, setelah beberapa dari mereka telah bergabung sebagai tentara di Zamboanga, varian baru muncul di sana sepanjang abad ke-18, meskipun asal usul terakhir ini tidak sepenuhnya ditetapkan tanpa keraguan yang wajar. Oleh karena itu, orang Ternateño merupakan asal mula setiap kreol yang digunakan di Filipina, termasuk varian Ermitaño, yang secara definitif hilang setelah Jepang menduduki dan membubarkan penduduk di lingkungan lama Manila ini. Satu-satunya pengecualian adalah kreol Cottabatto yang telah disebutkan sebelumnya, di mana, di bawah pengaruh para misionaris, varian yang digunakan di antara para elit Hispanik lahir. Referensi tertua tentang kreol Ternate berasal dari akhir abad ke-17 dan mencakup istilah-istilah Melayu dan Portugis, yang tidak ditemukan dalam bahasa Kastilia dan Tagalog.
Karena PCS merupakan kreol asal Spanyol yang paling banyak digunakan, yang melibatkan lebih dari setengah juta penutur, beberapa di antaranya menggunakan PCS sebagai bahasa ibu mereka, beberapa ahli bahasa menarik perhatian pada fakta bahwa unsur Portugis, yang terdapat dalam tiga varian yang paling banyak digunakan, merupakan asal mula fenomena tersebut, melalui suatu proses yang masih dimulai di Maluku. Menurut pendapat saya, kreol Ternate pasti telah mengalami pengaruh Kastilia yang kuat sejak tahap paling awal, yang jejaknya dapat ditemukan saat ini, termasuk di toponimi Pulau Ternate. Misalnya, ada sebuah laguna yang disebut Laguna – istilah Spanyol untuk danau – di pinggiran benteng tua St. Peter dan St. Paul, yang reruntuhannya sekarang dikenal sebagai Kota Jangi.
Pada tahun 1978, ahli bahasa Amerika Carol Molony memperkirakan bahwa 8.000 penutur bahasa Ternateño sebagai bahasa pertama tinggal di kota Ternate, di Cavite. Mereka adalah nelayan dwibahasa yang berbicara bahasa Tagalog sebagai bahasa kedua, bahasa dasar untuk bahasa Filipina, bahasa nasional Filipina. Sebagai pendapatan tambahan, mereka menanam padi dan tebu, memiliki peternakan ikan, serta tunjangan dari kerabat yang tinggal di Manila dan di AS (Molony 1978: 249).
Kesimpulan
Kami telah berupaya untuk menetapkan hubungan sebab akibat antara, di satu sisi, kelompok orang Kristen asli yang pindah dari Ciudad de Nuestra Señora del Rosario, di pulau Ternate, Maluku Utara, ke teluk Manila dan, di sisi lain, komunitas Kristen pertama yang muncul di kepulauan Maluku. Meskipun tidak ada bukti bahwa orang Kristen Portugis-Asia di Ternate, di Maluku, berasal dari wilayah Morotia, di Halmahera utara, satu-satunya daerah tempat terjadinya perpindahan agama besar-besaran ke Katolik di Maluku utara, ada dugaan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Sejumlah keadaan menunjukkan demikian.
Mengingat dimensi pulau Ternate yang kecil dan kontrol ketat yang dilakukan oleh sultan setempat terhadap rakyatnya, hanya sedikit kasus perpindahan agama ke Katolik terjadi di sana. Dengan demikian, orang Kristen setempat tidak mungkin berasal dari Ternate, sebaliknya mereka lebih suka berasal dari pulau-pulau tetangga. Perlu juga ditambahkan bahwa nama Galala, yang juga dikaitkan dengan Ternate, di Cavite, yang didirikan oleh para imigran dari Ternate, di kepulauan Maluku yang terpencil, menunjukkan bahwa mereka pada awalnya adalah galelas atau orang-orang dari wilayah Galela, di Morotia, tempat sebagian besar orang Kristen berada di Maluku. Terakhir, perlu disebutkan fakta bahwa orang-orang dari Morotia, khususnya dari Galela, telah menjadi sasaran deportasi yang diperintahkan oleh Sultan Ternate dan relokasi yang direncanakan oleh penguasa Spanyol.
=== selesai ===
Catatan Tambahan
a. Buku ini berisi 4 bab/bagian, dimana setiap bab memiliki “tema/judul” sendiri dan tiap bab/bagian terdiri dari beberapa artikel. Bab I (2 artikel), Bab II (6 artikel), Bab III (5 artikel) dan Bab IV (5 artikel)
b. Artikel Manuel Lobato ada pada bab IV dengan “sub” judul The Philippines and Cultural Transfers Across Empires, dan merupakan artikel ke-4 pada bab itu.
c. Miguel Rodrigues Lourenco, From St. Lazarus to the Philippines: representations of an archipelago in 16th century Iberian nautical cartography (di bab I, hal 19 – 55), The border between the Inquisitions of Goa and Mexico during the 16th and 17th centuries (di bab II, hal 157 – 181).
d. Rui Manuel Loureiro, Macao and Manila in the context of Iberian-Dutch rivalry in the South China Sea (di bab II, hal 101-110), Traveling experiences vs. intertextuality: the description of the Philippines in Gemelli Careri’s Giro del Mondo (1699-1700) [di bab II, hal 183 – 213], Early European sinology – Between Macao and Manila at the end of the 16th century (di bab IV, hal 343-360)
e. Paulo Jorge de Sousa Pinto, Manila, Macao and Chinese networks in South China Sea: adaptive strategies of cooperation and survival (16th-17th centuries) [di bab II, hal 111-126], Enemy At The Gates – Macao, Manila and the “Pinhal episode” (end of the 16th century) [di bab III, hal 305-331]
f. Graciete Nogueira Batalha, Coincidences with Macao’s dialect in Spanish dialects of the Philippine Islands (di bab IV, hal 335-342)
g. Manuel Lobato, The Philippines and the Portuguese Estado da Índia in the time of the Habsburgs: tension, convergence and accommodation between the Iberian empires in Southeast Asia (di bab II, hal 127-156)
h. Ekspedisi tahun tahun 1521 oleh Sebastian Del Cano
i. Ekspedisi tahun 1527 oleh Gª Jofre de Loaysa
j. Ekspedisi tahun 1544 oleh López de Villalobos
k. Sultan Hamzah dalam sumber-sumber kontemporer Spanyol disebut Amuxa
l. Hamzah dibaptis pada tahun 1607, putra dari Kaicil Tulo, saudara laki-laki dari Sultan Baabullah, dan sekaligus paman dari Sultan Saidi Berkat.
m. Sultan Mudafar meninggal pada 16 Juni 1627, sedangkan Sultan Saidi Berkat juga meninggal pada tahun 1627.
n. Huberts Jacob mengutip 2 sumber yaitu Francois Valentijn dan P.A. Tiele dalam sumber-sumber mereka, dimana Valentijn menulis : “kita tidak tahu apakah ia meninggal sebagai seorang Muslim atau seorang Kristen, dan karena itu para pendeta tidak pernah berdoa untuknya”, sedangkan Tiele menulis : “Ia meninggal, sebagaimana dikatakan oleh beberapa Muslim, dengan menyebut banyak santo kepausan”.
o. Rissakota mengutip tradisi lisan lokal ini dari sumber tulisan G.J.J. de Jong, De Oost-kust van Noord Halmahera, dimuat dalam Tijdschrift van Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e. Ser.Del.XXVI. Alf.5: 749-772, khusus hala 753.
References
§ Andaya, Leonard Y. 1993. The World of Maluku. Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.
§ Argensola, Bartolomé L. 1992. Conquista de las Islas Malucas. 3rd. ed. Madrid: Miraguano-Polifemo.
§ Batalha, Graciete Nogueira. 1960. “Coincidências com o dialecto de Macau em dialectos espanhóis das Ilhas Filipinas”. Boletim de Filologia 19: 295-303.
§ Bellwood, Peter. 1985. The Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sidney: Academic Press.
§ Colín, Francisco and Pastells, Pablo. 1904. Labor evangélica (..,). Parte primera sacada de los manuscritos del padre Pedro Chirino. Nueva ed. (...) por Pablo Pastells, S.J. Vol. II, Barcelona.
§ Fraassen,
Ch.F., 1980. “Types of Socio-Political Structure in North-Halmaheran History”.
In E. K. M.
Masinambow (ed.). Halmahera dan Raja Ampat: Konsep dan strategi penelitian.
Jakarta: 110-113 (also in Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia VIII, 1
(Jun.) 1978-79: 87-121).
§ Jacobs, Hubert, S.J. (ed.). 1974-84. Documenta Malucensia (1542-1682). 3 vols. Rome, Instituto Historico Societatis Iesu.
§ Lobato, Manuel. 2007. “‘En este cabo de mundo’. A missionação nas Molucas no século XVI e a ‘fronteira’ do Islão”. Povos e Culturas 11: 211-230.
§ Idem (2009), Fortificações portuguesas e espanholas na Indonésia Oriental. Lisbon: Prefácio.
§ Idem (2011a), “Lusofonia desaparecida e identidade no arquipélago malaio-indonésio. Génese e marginalização das comunidades de origem portuguesa: o caso de Amboino”. In A. M. Correia and I. C. Sousa (eds.). Lusofonia. Encruzilhadas Culturais. Macao: Saint Joseph Academic Press. 48-68.
§ Idem (2011b), “As especiarias indonésias na economia mundo e a génese do primeiro conflito entre potências europeias à escala mundial”. In As Ilhas e a Europa, a Europa das Ilhas, col. Debates 5. Digital ed. Funchal: CEHA. 124-133.
§ Molony, Carol H. 1978. “Mardika Etymology: A Clue to Language Survival”. In S. Udin and Dian Rakyat (eds.). Spectum, Essays presented to Sutan Takdir Alisjahbana. Jakarta: 247-259.
§ Ollé, Manel. 2004. “Chineses, holandeses y castelhanos em Taiwan (1624-1684)”. Revista de Cultura 11: 82-99.
§ Platenkamp, J. D. M. 1993. “Tobelo, Moro, Ternate. The Cosmological Valorization of Historical Events”. Cakalele 4: 61-89.
§ Rafael, Vicente L. 1978. “From Mardicas to Filipinos; Ternate, Cavite, in Philippine History”. Philippine Studies 26: 343-362.
§ Riego de Dios, Maria Isabelita, R.V.M. 1976. A Composite Dictionary of Philippine Creole Spanish (PCS), Ph.D. dissertation.
§ Ateneo de Manila [republ. in Studies in Philippine Linguistics 7. 2 (1989)].
§ Risakotta, Farsijana Adeney. 2005. Politics, Ritual and Identity in Indonesia. A Moluccan History of Religion and Social Conflict\ Ph.D. Thesis, University Radboud de Nijmegen.
§ Sousa, Francisco de, S. J. 1978. Oriente Conquistado a Jesus Christo pelos padres da Companhia de Jesus da Provincia de Goa. M. Lopes de Almeida (ed.). Porto: Lello & Irmão.
§ Whinnom, Keith. 1956. Spanish contact vernaculars in the Philipine Islands. Hong Kong University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar