Sabtu, 08 Februari 2025

Kekaisaran yang Baik? Instrumentasi Penghapusan Perbudakan di Maluku, 1817-1879

(bag 1)

[Philip Post]

 

A.      Kata Pengantar

Perbudakan diketahui telah lama dilakukan oleh umat manusia dalam seluruh sejarah kehidupan. Aktivitas perbudakan jauh dipraktekkan sebelum datangnya bangsa Eropa ke wilayah Asia, terhususnya kepulauan Nusantara. Kedatangan bangsa Eropa kemudian mengintensifkan perilaku “kuno” ini. Begitu juga yang terjadi di wilayah Maluku, hingga praktik perbudakan ini kemudian dilarang pada tahun 1860. Meski secara resmi telah dilarang pada tahun 1860, faktanya praktek tidak manusiawi itu tidak serta merta hilang seketika. Kegiatan perbudakan dan perdagangan budak masih tetap berlangsung dan ada “negosiasi” dan “tarik ulur” kaum elit, khususnya Sultan Ternate dan Sultan Tidore untuk benar-benar menghapus praktek perbudakan. Para Sultan itu tersebut meminta kompensasi finansial dari pemerintah, dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda, dengan alasan bahwa aspek ekonomi mereka akan “runtuh” jika perbudakan dilarang tanpa mendapatkan apa-apa.

Pada sisi lain, pemerintah yang mengintensifkan proyek penghapusan budak tersebut, ternyata memanfaatkan hal itu untuk kepentingan pribadi. Hal ini menjadi tema besar dari artikel yang ditulis oleh Philip Post, seorang kandidat PhD di Universitas Leiden, dengan judul A Benign Empire:The Instumentalisation of Abolitionism in Molucas, 1817 – 1879, yang dimuat pada Jurnal BMGN-Low Countries Historical Review, volume 139, bagian 3, tahun 2024, halaman 118-140. Seperti disebutkan sebelumnya, melalui tulisan sepanjang 23 halaman, dengan 72 catatan kakia, serta 3 gambar (1 foto, 2 lukisan) ini, Philip Post mengkaji tentang penghapusan perbudakan atau Abolisi perbudakan, dimana kegiatan itu di”instrumentilisasi” demi kepentingan pribadi para pejabat pemerintah sendiri.  

Kami menerjemahkan tulisan ini, membaginya menjadi 2 bagian, dengan menyertakan sedikit ilustrasi di luar ilustrasi yang sudah ada pada naskah asli artikel, menambahkan sedikit catatan tambahan, untuk dibaca sebagai bagian dari pengetahuan, pemahaman, dan pengembangan wawasan kesejarahan kita dalam “membaca” masa lalu leluhur kita, meskipun seperti yang dikatakan penulisnya sendiri, bahwa “suara” dari para budak itu, sebagian besar tidak tercatat dalam arsip-arsip kolonial. Akhir kata, semoga tulisan ini bisa bermanfaat.

 

B.      Terjemahan

Artikel ini menganalisis bagaimana pejabat kolonial Belanda abad ke-19 di Maluku berulang kali menggunakan retorika abolisionis untuk meningkatkan legitimasi Negara kolonial. Pertama-tama, artikel ini menunjukkan bagaimana para pejabat ini menggunakan larangan perdagangan budak pada tahun 1814 untuk menampilkan diri mereka sebagai penganut filosofi kolonial yang tercerahkan. Hal ini memungkinkan mereka untuk menjauhkan Negara kolonial yang baru didirikan dari warisan Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang telah memerintah Maluku dengan kejam sejak pertengahan abad ke-17 hingga akhir abad ke-18. Bagian kedua dari artikel ini menunjukkan bagaimana pejabat Belanda menggunakan penghapusan perbudakan di Hindia Belanda pada tahun 1860 untuk menggambarkan diri mereka dalam cahaya yang menguntungkan dan untuk meningkatkan klaim teritorial mereka di Papua, wilayah yang telah tunduk pada otoritas Sultan Tidore selama berabad-abad.

Pendahuluan dan Historiografi

Pada tanggal 28 September 1879, Residen Ternate asal Belanda, Owen Maurits de Munnick (1841-1915)b, menyampaikan pidato yang menyatakan berakhirnya perbudakan di Ternate dan Tidore. Di Kesultanan semi-independen ini, yang terletak di Maluku Utara, hampir dua dekade setelah perbudakan dihapuskan di Hindia Belanda pada tahun 1860, lebih dari 4.000 orang masih diperbudak1. Lagipula, ketika praktik perbudakan telah berakhir pada tahun 1860, pengecualian telah diberikan untuk wilayah-wilayah nusantara, seperti Kesultanan Ternate dan Tidore, yang tidak berada di bawah kendali langsung Belanda dan yang diperintah oleh penguasa lokal. Kesultanan-kesultanan ini telah tunduk pada kekuasaan Belanda sejak pertengahan abad ke-17, ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) telah menetapkan monopoli rempah-rempahnya, tetapi telah mempertahankan sebagian besar kedaulatan internalnya. Para sultan khawatir ekonomi mereka akan runtuh tanpa perbudakan dan hanya setuju untuk menghapus perbudakan jika mereka menerima kompensasi finansial dari pemerintah Belanda. Dalam dua dekade berikutnya, negosiasi dilakukan antara Belanda dan para sultan, yang berakhir pada akhir tahun 1870-an dan menghasilkan penghapusan perbudakan di Ternate dan Tidore pada tahun 1879. 

Untuk mengumumkan secara resmi bahwa perbudakan telah berakhir, pejabat Belanda di Maluku mengatur serangkaian pidato dan perayaan. Mereka menggunakan ini untuk menggambarkan pemerintah kolonial Belanda dalam cahaya yang positif. Di hadapan seluruh elit masyarakat Tidore dan Ternate, De Munnick menekankan dalam pidato-pidato ini bahwa “tentu saja bukan pertama kalinya kita berkumpul di kedaton [istana Sultan, lihat Gambar 1] untuk pertemuan khidmat seperti ini, (...) tetapi belum pernah sebelumnya untuk tujuan yang begitu mulia, karena kita datang untuk menggantikan penindasan dan ketidakadilan dengan kebebasan dan hak, dan menyatakan semua budak Kesultanan Ternate bebas”2. Ia menambahkan bahwa pembebasan para budak ini berkat kerja keras “pemerintah kita yang terhormat, yang sekali lagi menunjukkan bahwa mereka tidak segan-segan melakukan pengorbanan finansial yang besar ketika hal ini diperlukan untuk penerapan prinsip-prinsip luhurnya”3. Secara total, 4.449 budak dibebaskan, dan untuk itu pemerintah membayar sejumlah total 65.600 gulden sebagai kompensasi kepada para Sultan4.

Dalam pidato-pidatonya, Residen Belanda menggunakan penghapusan perbudakan untuk meyakinkan rakyat Ternate dan Tidore tentang niat baik pemerintah kolonial. Ini bukan pertama atau kali satu-satunya abolisionisme digunakan secara strategis oleh Belanda. Seperti yang dikemukakan dalam artikel ini, pejabat kolonial Belanda di Maluku pada abad ke-19 berulang kali memanfaatkan abolisionisme untuk keuntungan mereka. Untuk menegaskan hal ini, analisis difokuskan pada akhir perdagangan budak sekitar tahun 1814 dan akhir perbudakan itu sendiri setelah tahun 1860. Bagian pertama artikel ini membahas bagaimana Godert van der Capellen (1778-1848), Gubernur Jenderal antara tahun 1816 dan 1826, menggunakan larangan perdagangan budak pada tahun 1814 untuk menampilkan Belanda sebagai pengikut filsafat kolonial yang tercerahkan. Hal ini memungkinkannya untuk menjauhkan Negara kolonial dari warisan VOC, yang telah memerintah Maluku dengan kekerasan selama 2 abad sebelumnya. Bagian kedua menganalisis bagaimana pejabat Belanda menggunakan penghapusan perbudakan pada tahun 1860-an dan 1870-an untuk menunjukkan diri mereka dalam cahaya yang baik sambil secara bersamaan meningkatkan klaim teritorial mereka di Papua, wilayah yang telah tunduk pada otoritas Sultan Tidore selama berabad-abad. Sepanjang artikel ini, akan ditunjukkan bahwa retorika Belanda tentang pentingnya abolisionisme berbenturan dengan kenyataan penggunaan berbagai bentuk kerja paksa oleh pemerintah kolonial.

Dalam beberapa tahun terakhir, para akademisi semakin menyoroti pentingnya perbudakan di Asia dan peran perusahaan dagang Eropa di dalamnya5. Jika penelitian tentang perdagangan budak Atlantik menjadi pusat perhatian untuk waktu yang lama, semakin banyak penelitian telah merekonstruksi peran utama Belanda dalam jaringan perdagangan budak di Samudra Hindia. Para akademisi seperti Ulbe Bosma, Matthias van Rossum, Alicia Schrikker, dan Nira Wickramasinghe, antara lain, telah meneliti berbagai cara di mana VOC dan Negara kolonial Belanda terlibat dalam perdagangan budak Asia6. Lebih jauh, para sejarawan intelektual telah berfokus pada bagaimana praktik seperti perbudakan dapat hidup berdampingan dengan persepsi diri Belanda sebagai negara yang liberal, toleran, dan adil. Dalam forum bmgn tahun 2017, René Koekkoek, Arthur Weststeijn, dan Anne-Isabelle Richards menekankan perlunya mempelajari dasar-dasar intelektual kekaisaran Belanda dan membahas berbagai wacana yang dianut orang Belanda tentang kekaisaran mereka. Mereka menekankan bahwa berbagai wacana dibangun di seluruh kekaisaran oleh berbagai aktor kolonial, seperti pejabat, pedagang, tentara, dan misionaris. Dengan demikian, berbagai representasi kekaisaran Belanda muncul di berbagai pemukiman kolonial di seluruh Hindia Timur dan Barat, dengan kontras penting antara koloni dan kota metropolitan7. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah intelektual ini penting untuk memahami berbagai visi kekaisaran Belanda yang beredar di wilayah kolonial. Seperti yang ditunjukkan dalam pengantar edisi khusus ini, meskipun “[r]eferensi pada tradisi historis tentang kebebasan yang diperoleh atau diperoleh kembali merupakan bagian berharga dari budaya Belanda”, perhatian yang jauh lebih sedikit diberikan pada koeksistensi kebebasan tersebut dengan kenyataan pahit kerja paksa dan perbudakan8.

Rekonstruksi cara pejabat Belanda di Maluku menginstrumentalisasikan abolisionisme yang terhubung dengan kedua agenda penelitian ini. Artikel ini menunjukkan bahwa visi yang dimiliki pejabat kolonial di Maluku tentang diri mereka sendiri dan sistem kolonial Belanda menjadi sangat jelas dalam keterlibatan mereka dengan perbudakan. Dengan mengemukakan hal ini, artikel ini menindaklanjuti pengamatan yang dilakukan oleh Seymour Drescher pada tahun 1995. Ia mencatat keterkejutannya tentang bagaimana “luar biasa, bahkan setelah Inggris tampaknya telah menunjukkan potensi hegemonik penghapusan perbudakan, penghapusan perdagangan budak lintas Atlantik oleh Belanda pada tahun 1814 tidak digunakan untuk menciptakan keuntungan ideologis domestik bagi Wangsa Oranye yang dipulihkan”9. Artikel ini berpendapat bahwa pejabat di Maluku melakukan hal itu: menggunakan penghentian perdagangan budak dan perbudakan untuk menciptakan keuntungan ideologis bagi diri mereka sendiri. Dengan menunjukkan hal ini untuk kasus Belanda, penelitian ini terhubung dengan penelitian sebelumnya yang, sejalan dengan pernyataan Drescher, mengungkap cara-cara yang digunakan pemerintah kolonial Inggris untuk menginstrumentalisasi penghapusan perbudakan guna memajukan agenda internasionalnya10

Analisis ini didasarkan pada sejumlah besar dokumen arsip. Bagian pertama, yang membahas tentang penghapusan perdagangan budak, berpusat pada kontras antara catatan Gubernur Jenderal Van der Capellen yang dipublikasikan tentang upaya Belanda untuk menghentikan perdagangan manusia yang diperbudak dengan surat-surat yang tidak dipublikasikan yang ditulis oleh istrinya, Jacqueline Baroness van der Capellen, née Jacoba Elisabeth Baroness Van Tuyll van Serooskerkenc, kepada salah satu temannya di Jawa, yang menunjukkan bahwa pejabat Belanda terus terlibat dalam jual beli manusia11. Bagian kedua, yang didedikasikan untuk penghapusan perbudakan, didasarkan pada catatan arsip Arsip Nasional Indonesia yang menggambarkan bagaimana pejabat kolonial di Maluku Utara memanfaatkan penghapusan perbudakan untuk mendorong agenda Negara kolonial. Dengan demikian, artikel ini didasarkan pada catatan yang ditulis oleh elit kolonial Belanda; sayangnya, suara-suara orang yang diperbudak sebagian besar tidak ada dalam arsip-arsip yang dibuat oleh Negara kolonial, juga tidak ada laporan langsung tentang bagaimana elit-elit Maluku bereaksi terhadap penghapusan perbudakan.

Artikel ini dilanjutkan dengan sketsa tentang peran perbudakan di Maluku. Kemudian, artikel ini menyelidiki posisi pejabat-pejabat Belanda yang sangat menentang perdagangan budak dan menunjukkan bahwa dalam praktiknya, pejabat-pejabat kunci terus membeli dan menjual orang-orang yang diperbudak. Dan terakhir, artikel ini menganalisis pemanfaatan sudut pandang abolisionis oleh pejabat-pejabat kolonial untuk memperluas klaim teritorial Belanda atas Papua dengan mengorbankan Sultan Tidore.

VOC dan Perbudakan

Segera setelah VOC tiba di Asia pada awal abad ke-17, Perusahaan mengandalkan tenaga kerja budak untuk banyak kegiatan utamanya, dan sejak awal, terlibat dalam pembelian, eksploitasi, dan perdagangan orang-orang yang diperbudak12. Perbudakan sudah umum di wilayah Samudra Hindia sebelum kedatangan perusahaan dagang Eropa, tetapi kehadiran mereka mengintensifkan lembaga ini dan menyebabkan peningkatan besar dalam jumlah orang yang diperdagangkan. Seiring berjalannya waktu, perbudakan menjadi begitu meluas di banyak pemukiman Belanda di Asia sehingga Markus Vink menyebutnya sebagai “masyarakat budak sejati, dimana budak memainkan peran penting dalam kemewahan dan kapasitas produktif”13. Di banyak kota kolonial, orang-orang yang diperbudak merupakan setengah dari populasi, melakukan pekerjaan berat yang sangat penting bagi infrastruktur kolonial. Kebutuhan terus-menerus akan kerja paksa berarti bahwa ribuan orang harus dibawa ke kantong-kantong kolonial Belanda setiap tahun. Menurut perkiraan terkini, sekitar 660.000 hingga 1.135.000 orang diangkut ke wilayah jajahan VOC di Asia pada abad ke-17 dan ke-1814. Hingga paruh kedua abad ke-17, banyak budak berasal dari anak benua India, tetapi sejak tahun 1660-an dan seterusnya, mayoritas budak berasal dari Asia Tenggara, dengan banyak orang dijual di Makassar dan Bali15. Banyak dari orang-orang ini telah diperbudak baik karena tidak mampu membayar utang yang timbul atau karena ditangkap dalam peperangan16. 

Lembaga perbudakan juga tersebar luas di Maluku, yang dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah karena banyaknya rempah-rempah berkualitas tinggi, seperti cengkeh, pala, dan fuli, yang dapat ditemukan di sana. Awalnya dikuasai oleh pedagang Melayu, Timur Tengah, dan Venesia, perdagangan rempah-rempah semakin didominasi oleh pedagang Portugis dan Belanda17. Posisi militer Belanda yang dominan terhadap pesaing mereka dari Eropa dan Asia tercermin dalam cara mereka mengatur perdagangan rempah-rempah. Untuk mengendalikan pasokan perdagangan rempah-rempah, VOC telah berperang dengan keras untuk membangun monopoli, yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya18. Perusahaan tidak hanya menentukan jumlah pohon rempah-rempah yang dapat ditanam, tetapi juga membeli rempah-rempah yang dibudidayakan dengan harga tetap dan rendah, sehingga memungkinkannya memperoleh keuntungan besar. Lebih jauh, VOC memutuskan bahwa budidaya rempah-rempah akan difokuskan pada beberapa pulau: fuli dan pala di Banda, dan cengkeh di Ambon dan beberapa pulau tetangga. Untuk lebih melindungi monopoli, tidak ada pohon rempah yang diizinkan di Maluku Utara, tempat pohon cengkeh awalnya ditemukan. Para sultan yang paling berkuasa di sana, yaitu di Ternate dan Tidore, telah sepakat untuk tidak ikut serta dalam perdagangan rempah-rempah dengan syarat mereka akan menerima kompensasi tahunan sebagai imbalannya dan Belanda tidak akan mencampuri urusan dalam negeri mereka19.

Pekerjaan di perkebunan rempah-rempah bergantung pada pekerja paksa dan budak. Ribuan dari mereka bekerja di perkebunan pala di Banda, tempat penduduk asli disingkirkan secara kejam dalam serangkaian aksi militer yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen, yang kemudian pulau itu dihuni kembali oleh orang-orang yang diperbudak dari bagian lain nusantara. Demikian pula di Ambon, orang-orang yang diperbudak melakukan tugas-tugas penting, sebagian bekerja di perkebunan cengkeh, tetapi lebih banyak lagi yang melakukan kerja paksa yang sangat penting bagi banyak sektor lain, seperti manufaktur, pengiriman, pemeliharaan benteng kolonial, ekstraksi sumber daya alam, dan pertanian. Selain itu, banyak anggota elit kolonial menganggap orang-orang yang diperbudak sebagai simbol status. Karena banyaknya fungsi dan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang diperbudak, banyak sejarawan menyimpulkan bahwa “perbudakan merasuki masyarakat di setiap tingkatan”20. Meskipun tidak ada pohon rempah-rempah yang diizinkan di Ternate dan Tidore, banyak orang yang diperbudak dapat ditemukan di Maluku Utara, di mana para Sultan juga menahan ribuan orang yang diperbudak di wilayah mereka.

Meskipun kekuasaan Belanda di Maluku tidak mengalami tantangan mendasar sepanjang abad ke-18, kekuasaan tersebut menerima dua pukulan besar pada pergantian abad ke-19 ketika Inggris berhasil mengusir Belanda dua kali: pertama pada tahun 1796-1803 di Ambon dan pada tahun 1801-1803 di Ternate, dan sekali lagi pada tahun 1810-1817 di kedua wilayah tersebut. Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks perang revolusioner dan Napoleon ketika, setelah Prancis menduduki Republik Belanda pada tahun 1795, Inggris percaya bahwa sangat penting untuk memperoleh koloni Belanda-Prancis di Hindia Timur dan dengan demikian memberikan pukulan terhadap kekuatan Prancis di Asia21. Perjanjian Amiens, yang ditandatangani pada tahun 1802, menetapkan perdamaian antara Inggris dan Prancis, setelah itu Maluku dikembalikan ke Persemakmuran Batavia pada tahun 1803. Ketika otoritas Belanda dipulihkan di Hindia, bukan lagi VOC yang menjalankan kekuasaan, tetapi pemerintah Belanda, yang telah mengambil alih kepemilikan VOC ketika berada di ambang kebangkrutan. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1810, Inggris kembali menyerang Hindia Belanda, mengawali Interregnum Inggris kedua di Kepulauan Rempah-rempah, tetapi kali ini juga mengambil alih Jawa pada tahun 1811. Namun, dominasi Inggris hanya bertahan beberapa tahun. Setelah runtuhnya kekuasaan Napoleon dan pemulihan pemerintahan Belanda, negosiasi dimulai untuk mengembalikan wilayah jajahan Belanda, yang berdampak penting bagi perdagangan budak di Asia.

Gubernur yang tercerahkan?

Negosiasi ini menghasilkan Konvensi London tahun 1814, yang mengembalikan kekaisaran kolonial Belanda, meskipun dalam bentuk terbatas. Beberapa permukiman, seperti Ceylon dan Tanjung Harapan, tetap berada di tangan Inggris, tetapi Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda. Namun, Inggris hanya setuju untuk mengembalikan permukiman ini dengan syarat pemerintah Belanda menghentikan perdagangan budak. Hal ini segera disetujui, karena itu Gert Oostindie berpendapat bahwa “penghapusan perdagangan budak tahun 1814 merupakan pemaksaan oleh Inggris dan bukan hasil dari perdebatan nasional”22. Meskipun ada beberapa radikal Patriot, seperti Pieter Vreeded, yang telah memperjuangkan penghapusan pada tahun 1780-an dan 1790-an, hanya ada sedikit dukungan untuk tujuan tersebut23

Di Maluku, berakhirnya perdagangan budak dan janji akan filosofi pemerintahan baru diumumkan selama kunjungan Gubernur Jenderal Van der Capellen (lihat Gambar 2) pada tahun 182424. Dalam serangkaian pertemuan dengan para penguasa lokal Maluku, ia menyatakan bahwa tujuan kunjungannya adalah untuk memberi tahu rakyatnya tentang dimulainya era baru. Sementara kebijakan korup VOC menyebabkan pembubarannya pada tahun 1799, Negara kolonial yang baru dibentuk itu disajikan sebagai negara yang didasarkan pada gagasan yang tercerahkan tentang pemerintahan yang baik dan perhatian yang tulus terhadap rakyat kolonialnya. Generasi baru pejabat yang tercerahkan akan memerintah dengan cara yang sama sekali berbeda dari para administrator VOC. Dalam kata-kata Van der Capellen, rakyat Ambon seharusnya “menganggap para pejabat yang memerintah kalian sebagai pelindung dan dermawan kalian, dan menyambut para pejabat yang Kami kirim sebagai utusan yang damai, yang atas nama Kami menyatakan kemakmuran masa depan kalian”25. Alih-alih pedagang yang korup, rakyat di Maluku mulai sekarang akan diperintah oleh pejabat profesional, yang tanggung jawabnya diuraikan dalam instruksi terperinci. Ini akan memastikan bahwa penduduk Maluku diperlakukan dengan adil dan jujur ​​oleh atasan mereka, dan bahwa mereka ditawari perlindungan kebapakan yang mana “seluruh wilayah Raja kita dapat melakukan klaim”26.

Dalam upaya-upaya untuk melindungi orang-orang Maluku, perhatian diberikan pada perlakuan yang tepat terhadap orang-orang yang diperbudak. Van der Capellen menekankan betapa beruntungnya perdagangan budak dihapuskan. Ia mencatat bahwa “di Sulawesi, perdagangan utama adalah budak, yang untungnya telah dihapuskan selama tahun-tahun pemerintahan Inggris”27. Ia menekankan pentingnya penghapusan perbudakan dan keuntungan dari tenaga kerja bebas. Karena keyakinan tersebut, ia memperoleh posisi “pelindung” Javaasch Weldadig Genootschap (Masyarakat Kebajikan Jawa), yang bertujuan untuk memerangi penyakit perdagangan budak. Sikap publiknya terhadap perbudakan khususnya diungkapkan dalam interaksinya dengan para penguasa setempat. Selama kunjungannya ke Makassar pada bulan Juli 1824, ia beberapa kali berurusan dengan Arong Lompo, saudara Ratu Bone, Salima Radjiatuddine, yang dengannya ia harus memperbarui persekutuan antara pemerintah Belanda dan Kesultanan Bone. Ratu ingin menyenangkan Van der Capellen dengan mengirimkan seorang gadis budak sebagai hadiah. Ia langsung menolaknya “dengan alasan bahwa semua perdagangan budak oleh pemerintah Belanda dilarang”, tetapi menambahkan bahwa “hadiah lainnya, sekecil apa pun, akan menyenangkan saya”28. Melalui ungkapan-ungkapan seperti itu, ia menampilkan dirinya sendiri, dan Negara kolonial Belanda sebagai perpanjangan, sebagai lawan dari perdagangan manusia budak. 

Salima Radjiatudin, Ratu Bone ke-25 (1823-1835)

Citra VOC yang korup dan Negara yang tercerahkan kemudian diperkuat oleh Johannes Olivier (1789-1858), yang menemani Gubernur Jenderal dalam perjalanannya ke seluruh Maluku dan mengomentarinya dalam sebuah buku yang banyak dibaca. Olivier menyatakan bahwa “satu-satunya tujuan” kunjungan mereka adalah untuk memperbaiki situasi penduduk Maluku setempat dan memastikan partisipasi mereka dalam “kemajuan umum pencerahan dan peradaban”29. Dalam catatannya, ia berulang kali menekankan “niat negarawan yang benar-benar tercerahkan ini”30. Salinan pidato tersebut segera didistribusikan ke seluruh Maluku, tetapi juga dicetak di Staatsblad (surat kabar pemerintah Belanda). Jurnal Van der Capellen kemudian diterbitkan di Tijdschrift voor Nederlandsch Indië pada tahun 1855, di mana jurnal tersebut disunting oleh Wolter Robert van Hoëvell. Dalam sambutan pembukaannya, editor menggambarkan Van der Capellen sebagai “seorang negarawan tercerahkan, yang berhasil memadukan cintanya kepada umat manusia dengan kesadarannya akan tugas-tugasnya yang lebih tinggi”31. Citra Van der Capellen sebagai seorang reformis tercerahkan yang sepenuhnya menyingkirkan masa lalu, dengan demikian menjangkau khalayak luas di Belanda.

Retorika Van der Capellen tentang filsafat kolonial baru juga telah diadopsi oleh beberapa sejarawan Belanda abad ke-20. Banyak cendekiawan telah menekankan betapa berbedanya para pejabat tercerahkan dari para administrator VOC yang tidak bermoral. Pada tahun 1930, F.W. Stapel menulis bahwa “publikasi Maluku [oleh Van der Capellen] akan tetap bernilai sebagai publikasi resmi pemerintah pertama yang memperlihatkan semangat baru”32. Poin serupa telah disampaikan oleh Cees Fasseur, yang sering merujuk pada “Van der Capellen yang tercerahkan dan manusiawi” dan berpendapat pada tahun 1990 bahwa baru pada abad ke-19 muncul perhatian terhadap kesejahteraan rakyat kolonial33. Wim van den Doel mencatat dalam monografnya tahun 1994 tentang sejarah birokrasi kolonial Belanda di Jawa dan Madura bahwa selama abad ke-19, “segala macam gagasan yang tercerahkan akan mengilhami para penguasa kolonial untuk berjuang demi pemerintahan yang lebih modern, birokratis, dan adil”34 dan menyebut Van der Capellen sebagai contoh utama seorang reformis yang tercerahkan35.

=== bersambung ==

 

 

Catatan Kaki

1.       Dirk Vlasblom, Papoea (Mets & Schilt 2004), halaman 64.

2.      Owen Maurits de Munnick, Mijn Ambtelijk Verleden (J.H. de Bussy 1912), halaman 111. Teks aslinya: “het is zeker niet de eerste maal dat in deze kedaton een plechtige bijeenkomst gelijk deze plaatst vindt (…) maar toch nooit met zoo’n edel doel als nu, daar wij zijn gekomen om vrijheid en recht in de plaats te doen treden van verdrukking en onrecht, alle slaven van het sultanaat Ternate vrij te verklaren”.

3.      Ibid., halaman 111. Teks aslinya : “voornamelijk te danken aan onze hooggeachte Regeering, die nu wederom toont voor geen groote geldelijke offers terug te deinsen wanneer de toepassing harer edele beginselen ze eischt”.

4.      Ibid.

5.      Lihat Reggie Baay, Daar werd wat gruwelijks verricht. Slavernij in Nederlands-Indië (Arbeiderspers 2015) untuk ikhtisar.

6.      Matthias van Rossum telah banyak menerbitkan tentang perbudakan di Asia. Pengantar yang mudah dipahami untuk penelitiannya adalah Matthias van Rossum, Kleurrijke tragiek. De geschiedenis van slavernij in Azië onder de voc (Verloren 2015). Lihat juga Pascal Konings, Maartje Hids, Sam J. Miske, Matthias van Rossum, Merve Tosun and Hannah de Korte, ‘Exploring Slave Trade in Asia. First Steps towards an International Database’, tseg – The Low Countries Journal of Social and Economic History 20:1 (2023), halaman 153-172. doi: https://doi.org/10.52024/tseg.13647. Kajian penting lainnya adalah Ulbe Bosma, The Making of a Periphery: How Island Southeast Asia Became a Mass Exporter of Labour (Columbia University Press 2015) and Alicia Schrikker and Nira Wickramasinghe (eds.), Being a Slave. Histories and Legacies of European Slavery in the Indian Ocean (Leiden University Press 2020).

7.      René Koekkoek, Anne-Isabelle Richard and Arthur Weststeijn, ‘Visions of Dutch Empire: Towards a Long-Term Global Perspective’, bmgn – Low Countries Historical Review 132:2 (2017) 79-96. doi: https://doi.org/10.18352/bmgn-lchr.10342.

8.      Lihat pengantar edisi khusus ini oleh Karwan Fatah-Black and Lauren Lauret, ‘Repentance and Reappraisal: Historicising the Defenders of Slavery in the Netherlands’, bmgn – lchr 139:3 (2024). doi: https://doi.org/10.51769/bmgn-lchr.12843.

9.      Seymour Drescher, ‘The Long Goodbye. Dutch Capitalism and Antislavery in Comparative Perspective’, in: Gert Oostindie (ed.), Fifty Years Later. Antislavery, Capitalism and Modernity in the Dutch Orbit (kitlv Press 1995), halaman 35.

10.    Lihat Suzanne Miers, ‘Slavery and the slave trade as international issues 1890-1939’, Slavery & Abolition 19:2 (1998), halaman 17-37. doi: https://doi. org/10.1080/01440399808575237.

11.     Surat-surat Jacqueline dapat ditemukan di the National Archives of the Netherlands in The Hague (dalam artikel ini sumber ini disebut/ditulis :na), Van Hogendorp Archives 2.21.008.69, 154 F-J. Catatan suaminya dapat ditemukan Godert van der Capellen, ‘Het Journaal van den baron Van der Capellen op zijne reis door de Molukko’s’, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 17:2 (1855), halaman 281-315 and Godert van der Capellen, ‘Het Journaal van den baron Van der Capellen op zijne reis door de Molukko’s. Tweede gedeelte’, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 17:2 (1855), halaman 357-396.

12.     Baay, Daar werd wat gruwelijks verricht, halaman 31.

13.     Markus Vink, ‘The World’s Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century’, Journal of World History 14:2 (2003), halaman  131-177, 148.

14.    Pepijn Brandon, Guno Jones, Nancy Jouwe and Matthias van Rossum, ‘Inleiding. Amsterdam en de slavernij in Oost en West’, in: Ibid. (eds.), De Slavernij in Oost en West. Het Amsterdam Onderzoek (Spectrum 2020), halaman 18.

15.     Baay, Daar werd wat gruwelijks verricht, halaman 43.

16.    Maarten Prak and Jan Luiten van Zanden, Pioneers of Capitalism. The Netherlands 1000-1800 (Princeton University Press 2022), halaman 136.

17.     David Abulafia, The Boundless Sea. A Human History of the Oceans (Penguin 2019), halaman  153, 567, 688.

18.    Gerrit Knaap, Kruidnagelen en christenen (kitlv Press 2004).

19.    Chris F. van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië, deel 1 (Dissertation Leiden University 1987), halaman 48-57.

20.    Kerry Ward, ‘Slavery in Southeast Asia, 1420- 1804’, in: David Eltis and Stanley L. Engerman (eds.) The Cambridge World History of Slavery, Volume 3 ad 1420-ad 1804 (Cambridge University Press 2011), halaman 163-185, 181.

21.     Alexander Mikaberidze, The Napoleonic Wars: A Global History (Oxford University Press 2015), halaman 62.

22.    Oostindie, 50 Years Later,halaman 4.

23.    Susan Legêne, De bagage van Blomhoff en Van Breugel (Koninklijk Instituut voor de Tropen 1998), halaman 98. Lihat Dirk Alkemade's article in this special issue: Dirk Alkemade, 'Why was Slavery not Abolished in 1798? Humanity and Human Rights in the Batavian Revolution', bmgn – lchr 139:3 (2024). doi: https://doi.org/10.51769/bmgn-lchr.12807.

24.    Johannes Olivier, Reizen in den Molukschen archipel naar Makassar, Enz., vol. I (G.J.A. Beijerinck 1834), halaman 1.

25.    Ibid., halaman 174. Teks asli: “beschouwt dan de ambtenaren, die over u gesteld zijn, als uwe beschermers en weldoeners; ontvangt de ambtenaren die Wij tot u zenden als vredeboden, die in Onzen naam uw toekomstige welvaart komen verkondigen”.

26.    Van der Capellen, ‘Het Journaal van den baron Van der Capellen op zijne reis door de Molukko’s’, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 17:2 (1855), halaman 283. Teks asli: “de bevolking van dezen archipel (…) de vaderlijke bescherming te doen deelachtig worden, op welke alle de onderdanen van onzen Koning aanspraak hebben”.

27.    Van der Capellen, ‘Het Journaal van den baron Van der Capellen op zijne reis door de Molukko’s. Tweede gedeelte’, Tijdschrift voor NederlandschIndië 17:2 (1855), halaman 378. Teks asli: “Voorheen was de voornaamste handel op Celebes die met slaven, welke gelukkig reeds door het Engelsch tusschenbestuur is afgeschaft”.

28.    Ibid., halaman 368. Teks asli: “op grond dat alle slavenhandel door het Nederlandsch Gouvernement verboden was, terwijl elk ander geschenk van de koningin, hoe gering ook, mij welgevallig zou zijn”.

29.    Olivier, Reizen in den Molukschen archipel, I, halaman 1. Teks asli: “het doel van dezen togt geen ander was dan de verbetering van het lot van eenige millioenen natuurgenoten (…) in den algemeenen voortgang der verlichting en beschaving”

30.    Ibid., halaman 168. Teks asli: “de bedoeling van dien waarlijk verlichten Staatsman”.

31.     Van der Capellen, ‘Het Journaal’, halaman 281. Teks asli: “was een verlicht staatsman, die menschenliefde met het besef van zijne hooge verpligtingen wist te vereenigen”.

32.    F.W. Stapel, ‘Een en ander over de Molukken-publicatie van 1824’, Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 86:1 (1930), halaman 178-187.

33.    Cees Fasseur, ‘Rulers and Ruled: Some Remarks on Dutch Colonial Ideology’, Journal of the Japan-Netherlands Institute 2:1 (1990), halaman 11-12.

34.    Wim van den Doel, De stille macht: Het Europese binnenlands bestuur op Java en Madoera, 1808-1942 (Bert Bakker 1994), halaman 35.

35.    Ibid., halaman 49.

 

Catatan Tambahan

a.      Pada terjemahan ini, kami hanya menampilkan 71 catatan kaki, dimana catatan kaki nomor 1 pada naskah aslinya tidak kami sertakan dengan pertimbangan “teknis” semata.

b.      Owen Maurits de Munnick, lahir pada tanggal 9 Mei 1841 di Batavia dan meninggal dunia pada 21 Oktober 1915 di s’Gravenhage, Belanda. Putra dari Leonardus Wilhelmus Hendrikus de Munnick dan Mechelina Cornelia van Hoek, menikah pada tanggal 11 November 1869 di s’Gravenhage dengan Henrietta Antoinetta Hoogeveen (1850-1920). Owen Maurits de Munnick menjadi Resident van Ternate pada periode 30 Maret 1879 – April 1881, menggantikan Resident sebelumnya, Philip Frans Laging Tobias (3 Oktober 1876 – 30 Maret 1879), dan de Munnick digantikan oleh Jonkher Theodoor Gustaaf Victor Boreel (April 1881 – Januari 1883). Sebelum bertugas di Ternate, de Munnick menjadi Assisten-Resident van Madura (Juli 1876 – Maret 1879) dan setelah selesai bertugas di Ternate, ia menjadi Resident van Menado (Mei 1883 – November 1884), Resident van Madura (Nov 1884 – Maret 1886), Resident van Batavia (Maret 1886 – Juni 1894).

c.      Jacqueline Baroness van der Capellen, née Jacoba Elisabeth Baroness Van Tuyll van Serooskerken, lahir pada 18 Maret 1781 di Utrecht, Belanda dan meninggal pada 20 November 1866 di s’Gravenhage. Putri dari Willem René baron van Tuyll van Serooskerken dan Johanna Catharina Fagel. Menikah dengan Mr Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Cappelen pada 20 April 1803 di Utrecht.

d.      Pieter Vreede, lahir pada 8 Oktober 1750 di Leiden dan meninggal dunia pada 21 September 1837.

e.      Salima Radjiatuddin, adalah saudara perempuan dari Mohamad Ismail Muhtadjuddin Radja Bone ke-24 (1812-1823), Salima Radjiatuddin menjadi Ratu Bone ke-25 (1823-1835)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar