(bag 2 –
selesai )
[KEEBET dan FRANZ VON BENDA-BECKMANN]
VII
Jarang sekali kita menemukan indikasi tepat mengenai tanah yang dicakup dalam dokumen tertulis. Harus disadari bahwa mendeskripsikan sebidang tanah di Ambon sangatlah sulit. Tidak ada terasering atau ladang permanen seperti di areal persawahan. Dan batas-batasnya sering kali tidak dibatasi oleh batas-batas alami. Bagaimana Anda menggambarkan sebidang hutan sagu yang merupakan bagian dari hutan sagu yang jauh lebih besar? Dan apa yang Anda lakukan ketika Anda tahu bahwa pohon sagu sedang “bergerak” dan sebuah pohon sagu berjajar yang sama berada pada jarak 30 meter?
Sebutan tersebut umumnya hanya berupa nama hutan atau bagian hutan. Akan tetapi, orang-orang paling tidak berpikir dalam konteks pohon sebanyak mereka berpikir dalam konteks tanah dan mengenal setiap pohon, tetapi perselisihan dapat dengan mudah timbul mengenai nama sebidang hutan dan batas-batasnya. Seringkali ini merupakan masalah negosiasi di desa atau.......pergi ke pengadilan. Di pengadilan, penanganan taktis materi tertulis tiba-tiba mengambil dimensi yang sama sekali berbeda. Mereka yang mengandalkan dokumen dengan nama negara yang disengketakan akan terkejut ketika seorang hakim tidak memberikan nilai pembuktian yang cukup padanya.
Misalnya, penjaga peti kita yakin bahwa ia dapat menyelesaikan perselisihan tentang kebun sagu dengan bantuan dokumen dari tahun 175010/a. Ada beberapa tuntutan hukum tentang hal ini pada tahun 1970an antara berbagai pihak dari Hila dan klan dari desa tetangga Kaitetu. Yang pertama dipimpin oleh seorang anggota klan, tetapi dari cabang yang berbeda, yang juga berselisih dengannya. Dia tidak ikut campur dan pria itu kalah dalam kasusnya. Gugatan kedua diajukan oleh mantan Raja Hila, yang mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah desa. Dia pun tidak mendukung hal itu, karena raja berasal dari klan saingan. Proses itu juga kalah di pihak orang-orang Hila. Sidang terakhir dilakukan oleh klan yang bersahabat dan baru pada saat itulah ia siap mengajukan akta penjualan dari tahun 1750 di mana 4 orang saksi menyatakan bahwa hutan yang dimaksud adalah milik penggugat dari Hila. Sayangnya, ia tidak memperhitungkan bahwa nama hutan saja tidak akan cukup sebagai bukti di pengadilan dan ia kecewa karena tuntutan itu juga ditolak. Hukum acara pengadilan pemerintah tidak dapat dipahami oleh sebagian besar penduduk desa.
Dengan cerita kami tentang Hila, kami menyajikan situasi yang suram kepada pembaca. Tentu saja, pada kenyataannya tidak ada banyak konflik dan pertikaian seperti yang kita bayangkan. Dengan menggabungkan kejadian-kejadian bertahun-tahun menjadi satu cerita, mesti tampak seolah-olah yang ada hanyalah kebencian dan kedengkian, pertengkaran, kelicikan dan kecurangan. Untungnya, hal itu tidak terjadi. Secara umum, orang Indonesia dan juga orang Ambon pada saat ini relatif jarang pergi ke pengadilan, terutama jika dibandingkan dengan orang Eropa Barat atau penduduk desa di bekas jajahan di Afrika11.
VIII
Kami menceritakan kisah-kisah ini dengan tujuan menyelidiki apakah penggunaan dokumen tertulis, dan lebih khusus lagi bentuk hukum Barat seperti surat wasiat, kontrak pembelian dan semua jenis register, sekarang membawa kepastian dan kedamaian yang ingin diberikannya. Pertanyaan yang kami ajukan di awal adalah apakah pengenalan akta dan register tertulis memiliki efek pencegahan yang dikaitkan dengannya. Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita tinjau sekilas hukum Belanda dan hukum adat Ambon secara terpisah, lalu melihat apa yang terjadi jika bentuk campuran tersebut muncul.
Hukum Belanda memiliki sistem aturan hukum yang cukup rumit terkait dengan tanah, yang bersama-sama harus memastikan bahwa tidak terlalu banyak perselisihan yang timbul atas tanah dan bahwa jika perselisihan timbul, perselisihan tersebut mungkin tidak dapat diselesaikan, tetapi masih dapat diakhiri. Unsur terpenting bagi kepastian hukum ini adalah pendaftaran pada kantor pendaftaran tanah dan kantor pendaftaran hak tanggungan. Selanjutnya, persyaratan untuk kontrak tertulis, bahkan dalam bentuk akta notaris. Tapi itu belum semuanya. Selain itu, ada berbagai ketentuan hukum warisan yang mendukung pencatatan rutin, atau setidaknya verifikasi mudah, tentang siapa yang memiliki hak atas sebidang tanah. Hal ini dilakukan, antara lain, melalui kewajiban inventarisasi harta warisan dan persyaratan bahwa Anda harus memberikan bukti ahli waris agar dapat membuang harta warisan. Lebih jauh lagi, hukum waris membatasi ahli waris yang sah sampai tingkat keenam. Catatan sipil biasanya memungkinkan Anda mengetahui siapa mereka.
Seperangkat pengaturan inilah yang menjamin munculnya sedikit sekali perselisihan dan, jika perselisihan memang ada, dapat diputuskan dengan mudah siapa penerima manfaatnya. Kepastian hukum yang kita junjung tinggi, sejauh keberadaannya, didasarkan pada keseluruhan sistem peraturan dan bukan hanya pada keberadaan dokumen tertulis dan pendaftaran.
Selain itu, kepastian hukum seringkali lebih bersifat formal daripada substantif. Artinya, ada banyak sekali kasus di mana perselisihan tidak benar-benar terselesaikan, tetapi hanya dapat diakhiri. Untuk setiap perselisihan - asalkan sejumlah persyaratan terpenuhi - hakim dapat dan harus memberikan keputusan, yang kemudian juga dapat ditegakkan. Kemampuan untuk mengakhiri perselisihan juga merupakan aspek penting dari kepastian hukum dalam sistem hukum kita.
Bagaimana situasi hukum adat saat ini? Apakah ada ketidakpastian besar yang dikaitkan dengannya? Atau apakah hukum adat juga memiliki mekanisme yang mempunyai efek pencegahan atau yang membuat konflik dapat diakhiri? Peran kepala pengadilan untuk “perawatan hukum preventif” telah ditunjukkan12. Namun kami tidak percaya bahwa ini merupakan penjelasan yang cukup atas rendahnya kemauan untuk mengambil tindakan hukum atau berperkara. Sebagaimana kita tidak bisa merasa puas dengan menyebutkan beberapa unsur kepastian hukum dalam hukum Belanda, kita tidak bisa melakukannya di Indonesia. Di samping peran pendukung dari kepala adat, yang sebanding dengan peran notaris, kita juga harus memperhatikan hukum waris dan masalah pembuktian.
Hukum waris orang Ambon hampir seluruhnya bersifat bilateral. Lebih jauh lagi, hukum orang Ambon tidak memaksakan pembatasan apa pun terkait sejauh mana ahli waris yang tidak memiliki surat wasiat masih diakui. Itu dapat berlangsung selamanya. Hal ini selalu menjadi kekejian bagi para administrator Barat, terutama karena hukum adat orang Ambon memberikan banyak kebebasan individu dalam pengelolaan perkebunan. Secara umum, apa pun dapat disepakati dalam negosiasi dan tidak banyak aturan ketat yang berlaku mutlak. Hukum adat orang Ambon sangat fleksibel. Lagi pula, sedikit perhatian diberikan pada ketentuan hukum Islam jika bertentangan dengan pandangan mereka sendiri tentang hukum. Kita telah melihat contoh bagus tentang hal ini dalam wasiat Hasan Suleiman. Hal ini tidak mengubah fakta bahwa ada pembatasan yang membawa serta tingkat kepastian tertentu.
Pertama, hukum waris, dan hukum pertanahan secara umum, mengecualikan orang-orang yang tidak tinggal di desa dari kenikmatan hak nyata atas tanah. Selama penduduk desa berada di luar desa, ia tidak dapat mengklaim hak apa pun atas tanah di desa tersebut. Dia tidak dapat melakukannya lagi sampai dia kembali. Lebih jauh lagi, pelaksanaan hak atas tanah marga atau tanah dati dihubungkan dengan penggunaan aktual atas tanah tersebut. Seseorang dapat menetapkan hak individu terhadap tanah marga, tanah ayah atau tanah desa dengan mengolah sebidang tanah tersebut. Sistem ini menawarkan sedikit peluang untuk kepemilikan lahan berskala besar. Hasan Suleiman rupanya mampu mengelola perkebunan besar yang dikerjakan oleh para budak. Akan tetapi, ini belum menjadi praktik umum. Hak atas tanah sebagian besar masih diperuntukkan bagi penduduk desa, meskipun di sana-sini kebun cengkeh dibuat oleh orang-orang yang tinggal di Ambon. Hal ini belum terjadi dalam skala besar, dan tentu saja tidak oleh para imigran.
Kedua, apa yang kita sebut “kelupaan”, anehnya, memainkan peran penting dalam kepastian hukum. Daya ingat yang luar biasa dan tradisi lisan senantiasa disebutkan sebagai padanan catatan tertulis kita. Dalam melakukan hal itu, khususnya pengacara secara implisit berasumsi bahwa tidak ada perubahan atau kesalahan yang dapat terjadi. Tentu saja itu terjadi. Setelah beberapa generasi, orang tidak lagi tahu persis apa yang terjadi. Selama tidak ada cara untuk memeriksanya, itu tidak terlalu buruk. Prinsip penting hukum adat adalah bahwa dalam suatu kelompok, antara para penggugat yang sah atas, misalnya, harta warisan, pembagian kembali hak-hak untuk menikmati dan memproduksi harus dilakukan secara adil “sesuai dengan situasi dan kondisi” (lih. Holleman 1923:97). Kewenangan mereka yang memiliki pengetahuan yang diperlukan tentang hubungan hukum dan yang harus memutuskan pembagian kembali yang adil adalah satu-satunya kriteria yang dengannya kebenaran dan ketepatan dapat diukur. Hal ini sendiri tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang besar. Namun demikian, kepastian hukum karenanya sangat bergantung pada stabilitas otoritas tersebut. Jumlahnya terus menurun selama beberapa abad terakhir akibat perubahan politik dan ekonomi.
Lebih jauh lagi, sistem kepastian hukum adat akan terganggu jika ada cara lain untuk mengukur kebenaran suatu klaim. Pada prinsipnya, dokumen menawarkan kemungkinan untuk menguji memori dan dengan demikian menjanjikan bentuk kebenaran yang berbeda. Mereka seolah-olah merupakan badan asing dalam suatu sistem kepastian hukum yang didasarkan pada asas-asas lain. Oleh karena itu, mereka tidak memberi keamanan tambahan tetapi malah menimbulkan efek yang tidak stabil. Hal ini berlaku khususnya untuk dokumen yang isinya tidak jelas, tetapi juga untuk dokumen tertulis yang jelas.
Terhadap latar belakang ini tidaklah mengherankan bahwa pendaftaran tanah-tanah dati dan orang-orang yang termasuk dalam dati dalam bentuk register dan silsilah keluarga telah memberikan kontribusi kepada ketidakpastian yang lebih besar daripada kepastian. Kemungkinannya besar, banyak dokumen semacam itu dibuat pada masa ketika kewenangan adat mulai memudar, atau terancam memudar. Akibatnya, tidak pernah dapat dipastikan secara pasti apakah ketidakstabilan tersebut disebabkan semata-mata oleh dokumen-dokumen tersebut atau juga sebagian besar disebabkan oleh otoritas yang ragu-ragu.
Bagaimanapun, pada tahun 1920-an Holleman mencatat bahwa penyusunan register dan silsilah keluarga “berulang kali merusak pengaruh yang menguntungkan” dari mekanisme yang membawa kepastian pada sistem adat (Holleman 1923:98). Dari data yang kami olah dari register pengadilan Ambon pada tahun tujuh puluhan mengenai daerah-daerah di Ambon, terlihat bahwa di sana, dimana tanahnya terdaftar, jumlah sengketa per kapita yang diselesaikan di pengadilan kira-kira dua kali lebih banyak dibandingkan di daerah-daerah dimana tanahnya terdaftar, belum didaftarkan, seperti Hila (F. von Benda-Beckmann 1986b). Pertanyaannya adalah: mengapa demikian?
Holleman (1923:98,99) sudah menunjukkan bahwa pendaftaran mensyaratkan bahwa semua orang yang terdaftar, termasuk mereka yang belum memiliki hak konkret atas tanah melalui kerja mereka sendiri dan yang tinggal di luar desa, ikut terlibat. Pembatasan-pembatasan yang disebutkan di atas mengenai lingkaran penerima manfaat berdasarkan hukum adat tidak dapat dipertahankan melalui pendaftaran. Pada prinsipnya, hanya penduduk desa yang dapat didaftarkan, tetapi ketentuan lain harus ditambahkan untuk memastikan fleksibilitas sistem hukum adat tetap terjaga. Pendaftaran kadaster yang hanya berlaku selama seseorang tinggal di desa tersebut berarti pengurangan lain dalam kejelasan dan kepastian hukum. Keputusan tentang pendistribusian ulang yang sesuai dengan keadaan dan situasi juga menjadi sulit jika memerlukan persetujuan dari non-penduduk desa. Setelah jalur ini ditempuh, tingkat kepastian yang lebih tinggi hanya dapat dicapai dengan mengadopsi semakin banyak elemen hukum Barat. Dan dengan itu, apa yang tersisa dari hukum adat mengambil karakter yang sama sekali berbeda.
Sejauh ini, hal itu belum terjadi. Hal ini luar biasa, karena adat istiadat tersebut tentu saja telah mengalami perubahan yang signifikan di bawah pengaruh perubahan sosial-ekonomi. Selain itu, keterlibatan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat di desa telah meningkat pesat. Banyaknya ketentuan administratif yang mempunyai pengaruh langsung di desa-desa, yang menyebabkan adat kehilangan pengaruhnya. Beberapa orang merasa bahwa kebiasaan tersebut telah diencerkan secara tidak dapat diterima sebagai akibatnya; Yang lain melihatnya sebagai bukti fleksibilitas sistem. Namun, penduduk Ambon di Hila saat ini hampir tidak siap untuk menyerahkan lebih jauh fleksibilitas hak atas tanah mereka untuk sistem pendaftaran. Diragukan apakah hal ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih baik, namun disadari sepenuhnya bahwa hal ini akan melibatkan banyak biaya13.
IX
Oleh karena itu kita harus menyimpulkan bahwa pengenalan atau kehadiran dokumen tertulis secara paradoks mengarah pada fakta bahwa dokumen tersebut memang mencatat hubungan hukum, tetapi ini tidak mengarah pada kepastian hukum yang diharapkan. Namun paradoks ini hanya terjadi apabila seseorang mengharapkan bahwa dengan menerapkan beberapa unsur yang memberikan kontribusi pada kepastian hukum dalam satu sistem hukum, efek yang sama akan secara otomatis terjadi pada sistem hukum lain dengan mekanisme kepastian hukumnya sendiri. Dalam hukum Barat, mekanisme ini terdiri dari kombinasi bukti tertulis, pendaftaran, dan semua jenis aturan pembatasan dalam hukum warisan. Sebaliknya, dalam hukum adat, kepastian hukum terletak, antara lain, pada keterbatasan pemegang hak kepada penduduk desa dan tidak terkendalinya ingatan dalam jangka panjang serta perlunya bernegosiasi dalam kerangka tersebut. Elemen negosiasi ini dengan demikian menjadi karakteristik penting dari hak-hak itu sendiri. Jika ini digantikan dengan sistem hak yang lebih kaku, karakter hak itu sendiri juga berubah (K. von Benda-Beckmann 1982:46,47).
Jika seseorang menyadari bahwa unsur-unsur yang ingin diperkenalkan hanya dapat memiliki efek peningkatan kepastian hukum sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar dan bahwa karakter hak-hak akan berubah sebagai akibatnya, maka paradoks tersebut juga teratasi. Artinya, untuk saat ini kita hanya dapat mengharapkan sedikit kepastian hukum dari pendaftaran kadaster wilayah Hila, apa pun manfaat lain yang mungkin ada. Tidak pula dapat diharapkan bahwa dokumen-dokumen yang ditemukan dalam di rumah Raja akan memberikan sumbangan bagi terciptanya perdamaian, justru sebaliknya. Ada berbagai macam bahan peledak di dalam kotak itu. Paman dari 'bendahara' saat ini menyadari bahayanya dan mengambil langkah yang sangat drastis dengan membakar enam peti lainnya beserta isinya, sehingga tidak menjadi sumber perselisihan di masa mendatang. Kita tidak tahu apakah ini bijaksana dari sudut pandang kepastian hukum. Bagi orang yang tertarik dengan sejarah Hila dan Ambon, ini tentu saja merupakan bencana.
==== selesai ====
Catatan Kaki
10. Brief van 18 april 1824 van Latoe Bangsa en anderen aan Gouverneur-Generaal Baron Van der Capellen
11. Namun, selama masa kolonial orang Ambon dianggap “suka bertengkar”, dan angka-angka dari abad ke-19 tentang jumlah kasus yang dibawa ke politierechter dan Landraad membenarkan gambaran ini (Van der Crab 1862). Akan tetapi, umat Islam tidak begitu mudah tersinggung dibandingkan umat Kristen (Van der Crab 1862:232). Bahkan saat ini, jumlah kasus perdata per kapita di desa-desa Kristen dua kali lebih tinggi dibandingkan di desa-desa Islam (F. von Benda-Beckmann 1986b: 103). Di wilayah Kristen dan Muslim, penggunaan pengadilan pemerintah telah menurun tajam sejak abad terakhir. Untuk analisis perbandingan penggunaan pengadilan di Indonesia dan Afrika, lihat F. von Benda-Beckmann 1985.
12. Istilah ini berasal dari Logemann (1924). Lihat juga “kepatuhan yang didukung” milik Van Vollenhoven (1931).
13. Di Pulau Ambon, banyak desa, termasuk Hila, merupakan rumah bagi para migran Buton. Mereka berada di luar masyarakat adat dan sangat bergantung pada dukungan pemerintah. Akibatnya, mereka mempunyai minat yang lebih besar dibandingkan penduduk desa Ambon terhadap pendaftaran, khususnya oleh pemerintah.
Lampiran
[Kami mencoba untuk menerjemahkan dan mentransliterasi isi dari Wasiat Hasan Suleiman ini, tentunya terjemahan dan transliterasi yang kami lakukan tidaklah “sempurna” atau “tepat” seperti yang dimaksud, namun “berupaya” agar terjemahan dan isi wasiat baik kata per kata, maupun konteksnya “sedekat mungkin” dengan pengertian, maksud dan tujuan dari isi wasiat]
Surat Wasiat Djouw Hassam Solayman dari tahun 1700
Pada hari ini tanggal satu bulan Oktober tahun seribu tujuh ratus [1 Oktober 1700], pada pukul dua belas pagi [siang], saya Ernst Cnipping van Leijdenb, pedagang junior pada layanan Gubernemen [Ambon], juga sebagai sekretaris dari Yang Mulia Willem van Wijngaerdenc, anggota raad extraordinari Hindia, yang juga Gubernur dan Direktur provinsi Ambon, bersama dengan dewan inid, serta juga bersama dengan saksi-saksi yang disebutkan di bawah ini, tiba di rumah dan kediaman Djou Assem Soelaijman, Orangkaija negorij Hila, yang berada di Pantai/Pesisir Hitoe, yang juga anggota Dewan Peradilan des Casteels [Dewan Peradilan Benteng Victoria], yang berlokasi di sebuah bangunan antara jalan Cina dan Pantai, di mana saya menemukannya sakit dan lemah tubuhnya, tetapi pikirannya utuh, ingatan, dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk membuat surat wasiat atau testament, sepenuhnya sah, sebagaimana yang terlihat oleh saya, Sekretaris, dan para saksi; yang, karena mempertimbangkan kepastian kematian, dan ketidakpastian serta kondisinya, menyatakan dirinya telah berpendapat, tentang barang-barang, yang paling tidak ia miliki, untuk mencegah semua pertikaian dan pertengkaran, untuk dibuang [dihapus]; mencabut dan membatalkan semua surat wasiat, ketentuan tambahan, hibah, atas nama kematian, atau warisan lain yang sangat baik, yang pernah diberikan oleh pembuat surat wasiat sebelum ini, dan khususnya surat wasiat tertentu, di hadapan Pedagang di Hila pada saat itu, [yaitu] Yang Mulia : Isaac van Rijee, bertanggal 26 Juli 1683:, dan suatu Codicil atau tambahan tertentu, untuk sekretaris yang pada saat itu [adalah] Philips van Bossingenf, bertanggal 26 Agustus 1683: disahkan sebagai hal yang sama, dan membatalkan semua hal lain yang sejenis, dan dengan ini secara tegas dinyatakan bersifat tidak berlaku lagi; serta membuat perjanjian baru, pewaris menyatakan mewariskan dan memberi kesaksian sebagai berikut. ---
§ Pertama-tama, pewaris mewariskan kepada putrinya [yaitu] Bidoerij, yang menikah dengan orang Moor/Muslim [yang bernama] Soegij di Manipa, sebuah rantai emas bundar, yang beratnya senilai delapan rijksdaalder, sebuah kancing rambut yang bertahtakan tujuh berlian, seorang budak laki-laki bernama Slawaij, dan seorang budak perempuan bernama Thealale, dan lebih jauh lagi, karena alasan bahwa pewaris tidak hanya memberikan beberapa hadiah penting dan bergengsi kepadanya, tetapi juga kepada suaminya Sougij, di samping hutang yang dia bayarkan untuknya, yang berjumlah besar, membuat beberapa hadiah, dia juga mengecualikannya dari klaim lebih lanjut atas harta warisan pewaris, yang mungkin dia buat kapan saja, seperti menyatakan bahwa dia telah memberikannya, dengan yang disebutkan di atas: bagiannya yang sah dalam kelimpahan, dan terlebih bagi orang Ambon anak perempuan tidak akan pernah bisa mengklaim dirinya sebagai orang tua mereka menurut hukum dan adat istiadat negara ini; Namun, pembuat surat wasiat itu menambahkan, sebagai warisan, kepada yang disebutkan di atas: putrinya, seorang gadis budak lainnya: Sawia.
§ Kedua, pewaris mewariskan kepada Mafi, anak pewaris, yang dilahirkan oleh selirnya Malopessij, dan Intje-Taij, anak dari saudara pewaris [yang bernama] Mawia, semua barang milik ayah pewaris Intje-Taij / pada tahun 1674: dalam banjir sampai Hila tenggelam/ rusak beratg; sebagai berikut :
1. rantai emas, dalam bahasa Ambon disebut: Launoessa, bernilai sekitar 30 rijksdaalder: , —
2. rantai emas, yang bernama Lisioelia, yang bernilai sekitar 24 rijksdaalder,-
3. rantai emas buatan Portugis, dan emas dengan paduan yang sangat tinggi, yang dapat dikenakan di leher sepenuhnya dalam gaya Ambon,
4. rantai emas berat 14 hingga 15 rijksdaalder : terbuat dari empat mata rantai yang disolder bersama,-
5. rantai emas:, dengan tautan yang cukup besar, dengan berat sekitar 7 hingga 8 rijksdaalder,-
6. rantai emas : [berbentuk] rantai Siri-Boa senilai 6 rijksdaalder
7. 1 piring emas padang,-
8. 1 ular emash, beratnya senilai 7-8 rijksdaalder,-
9. 1 piring emas padang, yang sudah setengah meleleh karena terbakar, -
10. 1 rantai emas kecil, beratnya senilai 1 rijksdaalder, -
11. 3 keris bergagang emas;-
12. 1 keris dengan/bersarung emas, tanpa gagang/kepala;-
13. 1 baskom pinang berbahan perak, beserta kelengkapannya,dan 3 tatakan perak, dan 1 mangkung perak.-
§ Ketiga si pewaris mewariskan kepada pamannya Heapissia Hoekia seorang budak laki-laki bernama Salamat, dan 1 ular emas, panjang sekitar satu depa, yang disebut: Alawa-Soeal, sebagai kenangan, tanpa menuntut apa-apa lagi.
§ akhirnya dan yang terakhir, pewaris menyatakan bahwa ia telah menunjuk, mengangkat dan mencalonkan sebagai ahli waris tunggal dan universalnya, sebagaimana ia nyatakan dengan ini, mengangkat dan mencalonkan istrinya, bernama Mahoe, menikah menurut hukum Moor, selain putranya yang disebutkan di atas: Mafi , dan saudara laki-lakinya Intje Taij, dan bahwa dalam segala hal yang pewaris, sebagai tambahan terhadap apa yang telah diwariskan di atas, akan hilang setelah meninggal, baik berupa emas, perak, yang dicetak dan tidak dicetak, rumah, pekarangan, tanah, budak, dan budak perempuan, perhiasan, saham dan kredit, tidak ada yang dikecualikan di dunia ini, yang boleh diterima, diambil alih dan dimiliki oleh mereka bertiga secara setara, tanpa pertentangan dari siapa pun, dengan hak institusional penuh; dengan ketentuan bahwa istri pewaris yang disebutkan di atas tetap memegang harta warisan penuh, selama ia tidak kawin lagi, akan tetapi dalam hal itu, dua pertiga dari harta warisan pewaris menjadi tanggungan ahli waris tersebut di atas; dibayarkan secara cuma-cuma dan tanpa kompensasi. —pembuat surat wasiat juga menghendaki dan menginginkan agar ahli warisnya, yaitu saudara laki-laki pembuat surat wasiat, yang bernama Mawia, akan menyediakan makanan, sandang, dan kebutuhan lain yang cukup untuk penghidupan, selama ia hidup; dan dengan itu saudara laki-laki pembuat surat wasiat, yang hadir di sini, merasa sepenuhnya yakin; dan berjanji tidak akan lagi menuntut lebih dari apa yang telah dijanjikan atas harta warisan pewaris; pemeliharaan yang mana, jika istri pembuat surat wasiat menikah lagi, hanya dua orang ahli waris lainnya, seperti sebelumnya, yang akan menjadi pihak yang dikenakan pemeliharaan tersebut; dan semua ini dengan pengecualian D’Ei: pimpinan badan anak yatim piatu, pimpinan lembaga harta warisan, dan pihak-pihak lain serta badan-badan lain, baik di sini maupun di tempat lain, yang ingin mengurus harta warisan pewaris, dalam kapasitas resmi mereka, sebagai penerus D:Dsj : atas kepentingan kuratorialnya, kami ucapkan terima kasih dari lubuk hati, dan seperti dikatakan, sepenuhnya dikecualikan; dengan tidak hanya menunjuk sebagai wali amanat kedua orang ahli waris yang masih di bawah umur, yaitu Mafi dan Intje' taij, istrinya yang disebutkan di atas, Mahoe, dan saudara laki-laki pewarisnya, Mawia, maka terserah kepada mereka untuk menunjuk satu orang atau lebih yang jujur dan dapat dipercaya untuk diangkat sebagai pengurus. atas barang-barang yang diwariskan kepada anak-anak di bawah umur tersebut; tanpa Mawia memiliki suara sedikit pun dalam hal itu; juga menghendaki kepada pewaris agar setelah kematiannya, ibu dari Mafi yang disebutkan di atas, yang bernama Malopessij, dibebaskan, dengan syarat bahwa ia tidak boleh kehilangan haknya sampai ia menyapih putranya, yang bernama Mafi; Sang pewaris juga mewariskan kepada kedua budaknya: Hamsaij dan Ontong, dan seorang budak perempuan [yang bernama] Mani, beserta sepuluh helai kain Ambon, atau oete-oete; Malopessi yang dimaksud juga akan terus tinggal bersama istri pewaris dan para ahli waris dalam hal ini sampai mereka ditunjuk sebagai Bourok oleh istri atau teman-temannya; dan kemudian dipertimbangkan lebih lanjut perintah yang dirancang oleh Pemerintah Tinggi dari India ke Batavia, untuk pembebasan budak dengan mudah, yang isi dan kebutuhannya telah diberitahukan sepenuhnya kepada pembuat surat wasiat, melalui saya, sekretaris.
Pewaris masih menginginkan agar setelah kematiannya, para penerusnya yang terikat juga akan ditempatkan dalam kebebasan penuh, seperti –
Budak laki-laki : Tjinde, Touloumony, Djarin dan Lawala
Budak perempuan : Ka-ida, I-oe, Tene, Mina dan Sale
keempat budak laki-laki yang disebutkan di atas akan dapat melakukan pekerjaan mereka jika desa menyediakan tanah untuk pemeliharaan mereka; tetapi jika tidak, ia akan tetap tinggal di tanah milik pewaris di Hila, dan mendapatkan nafkah dari ahli waris dalam hal ini; begitu pula budak-budak perempuan yang dibebaskan, Ka-ida dan I-oe, akan diberikan nafkah oleh pewaris disebutkan di atas, ahli warisnya, dan diberikan pengaturan yang diperlukan sampai mereka menikah; begitu juga Tene dan Mina akan terus hidup bersama istri pewaris, Mahoe, sampai mereka diminta menikah oleh seseorang; dan mereka tidak akan diizinkan menikah dengan siapa pun, kecuali orang Moor, atau dirampas kebebasannya; dan Sale, sebagai pengasuh anak pewaris, Mafi, tidak boleh dirampas kebebasannya sampai Mafi mencapai usia sepuluh tahun.
selanjutnya semua budak yang dibebaskan yang disebutkan di atas, melalui perintah Yang Mulia tertinggi yang disebutkan di atas: akan dipertimbangkan.—
pewaris juga telah menunjuk Combangl, atau Alij, atau Djoemat, saudara laki-laki dari pewaris tersebut, sebagai ahli warisnya dalam tugas datij, atau tugas layanan kerja: Combang, yang selanjutnya akan mendapat kasih sayang dari ketiga orang tersebut, dengan ketentuan bahwa akan ditambah dengan penggunaan semua tanah miliknya dan milik dia, bersama dengan empat orang hamba sahaya lagi, yang semuanya juga bergantung padanya dan termasuk dalam penggarapan tanah-tanah tersebut di atas, yang tanah-tanah dan hamba sahaya mana menurut pewaris tidak perlu disebutkan namanya dalam hal ini, karena mereka, dengan demikian, terkenal di kalangan saudara-saudaranya, juga di kalangan penduduk desa Hila; tetapi apabila tidak seorang pun dari ketiga orang tersebut di atas bersedia melaksanakannya, dan orang-orang tersebut berkewajiban untuk melaksanakan pemeliharaannya karena adanya hubungan darah, maka tanah-tanah dan budak-budak tersebut akan tetap berada di tangan ahli warisnya yang telah ditetapkan tersebut di atas, yaitu Mafi dan Intje Taij, bersama dengan saudara laki-laki pembuat surat wasiatnya, Mawia, sebagaimana disebutkan di atas, dan yang kemudian bermaksud untuk melaksanakannya.
pembuat surat wasiat telah membuat perjanjian ini atas kemauannya sendiri yang bebas dan tanpa paksaan; menyatakan bahwa itu adalah suatu adat dan hukum di kalangan penganut agama Moor bahwa anak laki-laki yang dilahirkan oleh mereka sendiri dianggap sebagai ahli waris sah dari ayah mereka, dan dalam kasus tersebut, dianggap sebagai anak-anak yang sah, sebagaimana halnya dalam sebuah buku hukum Moor tertentu, menjadi perhatian pembuat surat wasiat: haki-hi; tidak menghendaki agar dalam hal tersebut dibuat pengecualian terhadap warisan yang disebutkan di atas; terlebih lagi karena seluruh warisan itu dinyatakan oleh pembuatnya dapat eksis menurut hukum Moor.
setelah semua ini disusun dan dibacakan kepada pewaris, juga dalam bahasa Melayu, dan setelah diberi pemahaman yang jelas, ia menyatakan bahwa surat wasiat ini adalah dan memuat surat wasiatnya yang terakhir dan utama, dan telah menyetujuinya secara prinsip, guna mencegah segala pertanyaan yang mungkin timbul setelah kematiannya mengenai harta warisannya menurut adat orang Ambon; karena itu menghendaki agar hal yang sama, dalam semua bagiannya, dikejar dan diperhitungkan, entah sebagai surat wasiat, tambahan, hibah atas nama kematian, atau tindakan lain yang paling berkehendak, apa pun namanya, di mana pun itu, agar tidak seorang pun ingin menentangnya, karena pembuat surat wasiat sekali lagi menyatakan bahwa ia tidak merugikan siapa pun; dengan tambahan bahwa si pewaris telah memberikan Bidoerij kepada putrinya, sebagai tambahan atas apa yang telah diwariskan kepadanya dalam perkara ini, yaitu apa yang secara hukum akan menjadi ganti rugi baginya.
yang mengharuskan agar hal ini dapat terlaksana, diperlukan bantuan sepenuhnya dari semua penguasa, hakim, dan jaksa. —
Demikianlah dilakukan, diperhatikan, dan disahkan di Amboina, di Kastil Victoria, pada tahun, bulan, hari, jam dan tempat tersebut; di hadapan Pieter Carelszm dan Barent Kuijselaar, keduanya asisten dalam layanan pemerintah: diminta sebagai saksi di sini, yang telah menandatangani risalah ini, bersama dengan pembuat surat wasiat dan saya, sekretaris.
yang saya tegaskan;-
TTD
Ernst Cnipping
Sekretaris
Catatan Tambahan
a. Ada 2 catatan kaki yang bernomor 10 pada artikel aslinya, kami belum bisa “memverifikasi” apakah ini memang catatan kaki bernomor 10 yang ditulis oleh penulis adalah benar atau itu memang yang dimaksud, ataukah “kekeliruan teknis”, dikarenakan sumber atau dokumen yang disebutkan pada catatan kaki nomor 10 itu tidak kami miliki untuk melihat dan “memahami”. Yang bisa diterima adalah mungkin catatan kaki bernomor 10 itu ada 2, dan itu merupakan hal yang lumrah, karena merujuk pada sumber yang sama.
b. Ernst Cnipping van Leijden adalah Sekretaris Raad van Politie di Gubernemen van Amboina (1696 – 1701), sebelumnya ia menjadi Opperhofden van Buru (1691-1693), kemudian dimutasikan menjadi Opperhoofd van Saparoea (1701 – 1702).
c. Willem van Wijngaerden adalah Gubernur van Amboina (1697 - 1701)
d. Dewan ini, maksudnya adalah Raad van Politie Gouvernement van Amboina.
e. Isaac van Rije atau Izaak van Thije adalah Opperhoofd van Hitu (1680-1684), sebelumnya menjadi Sekretaris Raad van Politie (1675-1680)
f. Philips van Bossingen adalah Sekretaris van Kleine en Huwelijk Zaaken di Gouvernement van Amboina (1683-1684)
g. Jika kita melihat tahun 1674 dimana disebutkan bahwa Intje Tai, yang merupakan ayah dari Hasan Suleiman meninggal dalam banjir besar, mungkin peristiwa ini berkaitan dengan Gempa Bumi Ambon pada Februari 1674 yang diikuti dengan tsunami.
h. Perhiasan yang berbentuk ular, dan terbuat dari emas. Orang Ambon sering menyebut perhiasan seperti ini sebagai Ular Mas/Emas.
i. Kata yang disingkat atau inisial D’E ini, kami belum mengetahui arti atau maksudnya
j. Kata yang disingkat atau inisial D:Ds ini, kami belum mengetahui arti atau maksudnya
k. Bouro : kami belum mengetahui makna dari kata ini...apa mungkin kata ini sama dengan kata buruh??
l. Combang : figur ini yang mungkin menggantikan Hassan Suleiman sebagai Orang Kaija van Hila, yang juga disebut Pattij Combang atau Jusuf Abdul Rachman (1711 - ??), atau mungkin adalah figur yang berbeda???
m. Pieter Carelsz atau Pieter Cadel [menurut sumber Valentijn] adalah Sekretaris Chinese Boedelmeester (1698-1700) dan Sekretaris van Kleine en Huwelijk Zaaken di Gouvernement van Amboina (1700-1704)
BIBLIOGRAFIE
§ Benda-Beckmann,
F. von, 1983, Op zoek naar het kleinere euvel in de jungle van het rechtspluralisme,
Oratie, Wageningen.
—, 1985, 'Some Comparative Generalisations about the Differential Use of State
and Folk Institutions of Dispute Settlement', in: A. N. Allott and G. R.
Woodman (eds.), People's Law and State Law-The Bellagio Papers, pp.
187-205, Dordrecht: Foris.
—, 1986a, Islamic Law and Social Security in an Ambonese Village, paper
presented at the IUAES symposium on Formal and Informal Social Security,
Tutzing, June 1986.
—, 1986b, 'Leegstaande luchtkastelen: Over de pathologie van
grondenrechtshervormingen in ontwikkelingslanden', in: W. Brussaard et al., Recht
in ontwikkeling- Tien agrarisch-rechtelijke opstellen, pp. 91-109,
Deventer: Kluwer.
—, 1987, 'De ijsjes van de rechter: Een verkenning van complexe sociale
zekerheidssystemen', Recht der werkelijkheid 1, pp. 69-82.
§ Benda-Beckmann,
K. von, 1982, 'Traditional Values in a Non-Traditional Context: Adat and State
Courts in West Sumatra', Indonesia Circle 27, pp. 39-50.
—, 1986, Social Security and Small-Scale Enterprises in Islamic Ambon, paper
presented at the IUAES symposium on Formal and Informal Social Security,
Tutzing, June 1986.
—, 1987, 'Overheidskooperaties als partikuliere ondernemingen: Sociale
zekerheid op Islamitisch Ambon', Recht der werkelijkheid 1, pp. 54-68.
§ Crab, P. van der, 1862, De Moluksche eilanden, Batavia: Lange & Co.
§ Fraassen, C. van, 1972, Ambon Report, Leiden: Stichting WSO.
§ Hoevell, G. W. W. C. Baron van, 1875, Ambon en meer bepaaldelijk de Oeliassers, Dordrecht: Blussee en Van Braam.
§ Holleman, F. D., 1923, Het adat-grondenrecht van Ambon en de Oeliasers, Delft: Meinema.
§ Juynboll, Th. W., 1925, Handleiding tot de kennis van de mohammedaansche wet, derde druk, Leiden: Brill.
§ Knaap, G., 1985, Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oost-Indische Compagnieen de bevolking van Ambon 1656-1696, dissertatie, RU Utrecht.
§ Konz, P., 1969, 'Legal Development in Developing Countries', Proceedings of the American Society of International Law 1969, pp. 91-100.
§ Logemann, J. H. A., 1924, 'De betekenis der Indonesische getuigen'. Adatrechtbundel 23. pp. 114-133.
§ Manusama, Z. J., 1977, Hikayat Tanah Hitu, dissertatie, RU Leiden.
§ Merryman, J. H., 1977, 'Comparative Law and Social Change: On the Origins. Style. Decline and Revival of the Law and Development Movement". American Journal of Comparative Law 14, pp. 457-491.
§ Paassen, A. van, 1987, Sociale zekerheid: Recht op bestaan, scriptie, Wageningen.
§ Rumphius,
G. E., 1910, 'De Ambonsche historie", BKI64.
—, 1983, Ambonsche landbeschrijving, suntingan Dr. Z. J. Manusama,
Jakarta: Arsip Nasional.
§ Simpson, S. R., 1976, Land Law and Registration, Cambridge: Cambridge University Press.
§ Vollenhoven,
C. van, 1915, 'De Indische rechtshervorming als grote reorganisatie'. in: Het
Adatrecht van Nederlandsch-Indie, deel III.
—, 1931, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, deel II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar