(bag 1)
Adrijn Anakotta
(bag 2-selesai)
[Manuel Lobato]
[Jacky Doumenjou]
Terjemahan (Inggris) : Cathy Gaboreau
[Jennifer L. Gaynor]
A. Kata Pengantar
Perang Besar Ambon atau Groot Ambonsche Oorlogen dalam literatur VOC yang terjadi pada paruh kedua abad ke-17, menjadi pentas bagi banyak figur dan kelompok untuk terlibat. Mungkin dalam pemahaman kita yang terbatas, perang mengenaskan itu hanya melibatkan orang Maluku dan kaum kolonialis, yaitu Belanda. Pada faktanya, tidaklah demikian. Faktanya, orang-orang Ambon juga “meminta” bantuan dari pihak lain, yaitu orang-orang Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan untuk turut terlibat dan membantu perjuangan mereka melawan Belanda.
[Chr.G.F. de Jong]
A. Pengantar
Artikel berjudul Bijbel en Staatvorming : Bijbelverspreiding in de Molukken aan het begin der negentiende eeuw yang ditulis oleh Chr. G.F. de Jong ini, tentang kegiatan penggalangan dana yang dilakukan oleh Gubernemen Maluku dalam rangka membantu Het Medewerkend Bijbelgenootschap van Ambon atau Lembaga Alkitab di Ambon untuk memproduksi atau mencetak Alkitab dan mendistribusikan Alkitab ke wilayah Gubernemen tersebut. Kegiatan penggalangan dana berupa pengumpulan sumbangan uang dari figur-figur penting/terkemuka itu dilakukan sejak tahun 1824-1835.
Selain tentunya memberikan analisis tentang latar belakang, tujuan penggalangan dana, total uang yang dikumpulkan setiap tahun dan gambaran fluktuatif penerimaan, serta kesimpulan akhir dari usaha itu, ada hal unik lainnya, seperti yang disampaikan oleh de Jong. Ia menyebut dari daftar penyumbang sejak tahun 1824 – 1835, ada 2 daftar yang unik yaitu daftar penyumbang dari tahun 1830 dan 1835. Pada daftar penyumbang di kedua tahun ini, terdaftar secara eksplisit nama-nama Regent negeri Kristen di Gubernemen Ambon beserta tandatangan mereka, yang berasal dari wilayah Ambon, Lease, dan Hila-Larike.
Hal ini tentunya menarik bagi kita untuk melihat dan mengetahui siapa saja nama para regent tersebut, atau secara lebih khusus siapa nama “raja” negeri kita masing-masing, terlebih-lebih bahwa figur-figur “kaum elit” itu berasal dari periode yang belum lama setelah Perang Pattimura (1817).
Oleh
[Martine Julia van Itersum]
A. Kata Pengantar
Penaklukan kepulauan Banda yang disertai dengan penghancuran populasi Banda oleh Jan Pieterszoon Coen atau VOC pada tahun 1621, jika dipandang dari perspektif kaum lokal atau pribumi, mungkin hanyalah tindakan arogansi dan kekejaman luar biasa dari kaum kolonialis. Namun jika dilihat lebih luas dan mendalam, ada faktor “internasional” yang turut memainkan perannya dalam tindakan kekejaman itu. Persaingan dua kekaisaran hebat di awal abad 17 yaitu Inggris dan Belanda, adalah pemicunya, dan masyarakat Banda menjadi korbannya.
[Hendrik E. Niemeijer]
![]() |
Sultan Ternate, Mohammed Iskandar Djahib dan Ratu |
Vivat Oranje ! dan Penampilan Publik
Penghargaan yang ditunjukan kepada Penguasa Maluku tertanam dalam budaya lokal yang menetapkan bahwa status harus diwujudkan dalam tanda-tanda penghormatan, sebuah gagasan yang dipahami dengan baik pada abad ke-18 di Republik. Mengingat situasi ini, tidak mengherankan jika Ternate secara teratur menjadi panggung pesta pora khas Belanda, untuk menandai acara-acara seperti peringatan di House of Orange. Meskipun pada akhir periode kedua tanpa Stadholder (1702-1747), Ternate tidak lebih dari sebuah sudut terpencil, perayaan-perayaan Oranye muncul di kalender dengan cukup cepat. Ulang tahun William IV dirayakan di taman kompeni sejak tahun 1749. Catatan harian (dagregister) dari benteng oranye Maluku menggambarkan bagaimana proses dimulai dengan Gubernur menerima ucapan selamat dari mereka yang berstatus tinggi. Ketika ini telah selesai, semua orang duduk di meja sesuai dengan pangkat dan status mereka, dan sebuah cangkir dibagikan “dengan pengalaman yang luar biasa”. Hidangan lezat dinikmati dan setelah selesai, untuk melancarkan pencernaan, ada tarian kecil diiringi musik menyenangkan yang dimainkan oleh orkestra para budak yang terdiri dari terompet, oboe, bas dan biola.
[Hendrik E. Niemeijer]
A. Kata Pengantar
Kesultanan atau Kerajaan Ternate
merupakan salah satu kerajaan utama dan terbesar di Maluku, selain kerajaan
Tidore. Kebijakan politik, sosial, ekonomi kesultanan itu, turut mempengaruhi
dinamika yang terjadi di wilayah-wilayah “vasal” atau periferi, yang salah
satunya adalah Ambon-Lease. Kebijakan tersebut terbentuk akibat kontak dan
relasi kerajaan tersebut dengan kekuatan Eropa yang muncul pada abad ke-16 dan
ke-17, yaitu Portugis dan akhirnya Belanda.
Relasi tersebut, khususnya relasi
VOC dan Ternate pada abad ke-18 itulah yang dikaji oleh Hendrik E. Niemeijer lewat artikel sepanjang 27 halaman ini. Artikel ini aslinya
berbahasa Belanda dengan judul De geveinsde vrede. Eer, protocol en
diplomatie in de machtsverhouding tussen de Verenigde Oost-Indische Compagnie
en Ternate omstreeks 1750. Artikel ini bersama 15 artikel lainnya dari
beberapa sejarahwan, misalnya Jurian van Goor, Femme Gaastra, George Winius,
Hugo s’Jacob, Kees Zandvliet, Remco Raben, Leonard Blusse, Gerrit Knaap,
Leonard Andaya, Willem Remmelink, Merle Ricklefs, Alicia Schrikker dan
lain-lain, dimuat dalam buku berjudul De Verenigde Oost-Indische Compagnie
tussen Oorlog en Diplomatie [The United East India Company between War and
Diplomacy] yang dieditori oleh Gerrit J Knaap dan Ger Teitler dan diterbitkan
tahun 2002, oleh KITLV, Leiden. Artikel Neijmeijer ini berada pada halaman 309-335.
![]() |
Beberapa potret Sultan Ternate |
Siegfried Huigen
[University Wroclaw, Afrika Selatan]
Oleh
Stephanie Glickman
[University of Vermont & Northwestern University]
Oleh:
Theodore. W. Pietsch
[University of Washington]
Oleh:
Theodore. W. Pietsch
[University of Washington]
Oleh:
Theodore. W. Pietsch
[University of Washington]
Oleh:
Charles H. Lamoureux
[Universitas Hawai Manoa]