Senin, 01 Juni 2015

Sebuah Dialektika dan Refleksi Anak Cucu (Intepretasi Pribadi)



SEJARAH KEDATANGAN 4 KAPITAN BESAR NEGERI PISARANA HATUSIRI AMALATU
( Penulis : Aldrijn Anakotta )


PENGANTAR
Rute Perjalanan 4 Kapitan Besar
Sejarah adalah rekonstruksi pikiran atas catatan-catatan masa lalu. Obyektivitas sejarah kerap menjadi polemik dari pihak-pihak yang berkepentingan atas konstruksi tersebut. Sebab itu, sejarah punya banyak versi. Versi satu dengan versi lain saling berseteru menganggap dirinya yang paling obyektif dan terbenar. Masing-masing versi punya data dan fakta-fakta yang sama-sama meyakinkan.1) Demikianlah kalimat pembuka seorang peresensi saat meresensi sebuah buku berjudul Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes yang dikarang oleh Tamim Ansary dan terbit di Amerika pada tahun 2009. Buku ini telah dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia dengan Judul Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta : Penerbit Zaman, 2010).
 
Memang benar yang dikatakan oleh peresensi diatas, sejarah memiliki banyak versi dan juga banyak tafsiran. Hal ini disebabkan karena kepentingan subjektif dari penulis, banyak sedikitnya sumber literatur, cara pandang dan lain-lain. Kepentingan subjektif ini dalam prespektif historiogarfi sejarah disebut solipsisme history. Namun seorang Ioanes Rakhmat tidak mengakui adanya solipsisme history. Hal ini bisa di lihat dalam blognya, saat ia menulis artikel tentang Soekarno yang bersumber dari pertikaian Sutradara Film Soekarno, Hanung Bramantyo dengan Rachmawati Soekarno Putri.2)
Selain itu, dalam artikel tersebut, Ioanes Rakhmat juga menulis  tak ada apa yang dinamakan “sejarah murni”, mere history, sebab setiap sejarah adalah suatu rekonstruksi masa lalu lewat masa kini, masa lalu yang berdialektika dengan masa kini. Tak ada historiografi yang objektif 100 persen, tanpa unsur-unsur interpretatif dari si penulis sejarah yang hidup pada masa kini. Sejarah yang sepenuhnya objektif mustahil didapat. Positivisme historis itu tak ada. Sebaliknya, juga tak ada sejarah yang 100 persen subjektif : di susun dengan sama sekali tidak memperhatikan fakta-fakta objektif di masa lalu, yang harus ditafsir dan dikembangkan, tapi hanya menurut kemauan dan sudut pandang si penulisnya saja yang ngawur sengawur-ngawurnya. Jika ini yang terjadi, kita tentu saja tidak menyebutnya tulisan sejarah atau historiografi, tetapi fiksi atau dongeng.3)
Jika mengikuti alur berpikir Ioanes Rakhmat, timbul pertanyaan kritis lainnya mengapa uraian sejarah adalah suatu interaksi atau dialektika kreatif masa lalu dan kini??? Ioanes dalam artikel itu dengan “cerdas” menjawabnya. Ia menulis sebagai berikut : Pertanyaannya adalah: Mengapa sebuah uraian sejarah adalah suatu interaksi atau dialektika kreatif masa lalu dan masa kini? Jawabnya: karena sejarah tak bisa hadir sendiri dengan objektif dan real pada masa kini, tapi harus lewat seorang perekonstruksi yang hidup di masa kini di dunianya, yang bekerja dengan berpijak pada bukti-bukti sebagai suatu syarat mutlak bagi setiap kegiatan keilmuwan, termasuk kegiatan penulisan sejarah sebagai suatu kegiatan keilmuwan. Juga karena setiap sejarawan, setiap perekonstruksi masa lalu, bukanlah manusia yang tak punya kepentingan dan perjuangannya sendiri. Setiap sejarawan pasti punya agenda-agenda tertentu yang diperjuangkannya pada masa kini lewat sejarah-sejarah yang direkonstruksinya.
Goenawan Moehamad esais terkenal Indonesia, yang “digila-gilai” oleh penulis pernah menulis sepotong kalimat yang indah namun reflektif : Manusia itu tak mudah selesai.4) Maksudnya adalah manusia tak bisa sempurna, selalu berdosa. Karena itu, tak ada kesimpulan yang dibuat oleh manusia itu bersifat final dan tunggal atau paling benar. Semuanya penuh tafsiran. Tafsiran hari ini akan di gantikan dengan tafsiran hari esok, begitu seterusnya dan tak akan mencapai kata akhir. Karena hal itu menjadi “prinsip pribadinya” maka Goenawan bisa dengan “berani” mengutip dan sedikit “merubah” dengan gayanya yang puitis terhadap ayat 1 dari Kitab Yohanes dalam Alkitab.5) Pada mulanya adalah Firman, di rubah menjadi pada mulanya adalah tafsir!6)
Ya semuanya bermula dari tafsir, menjadi tafsir dan berujung pada tafsir. Tak pernah bisa selesai. Hal ini tercermin dalam esainya Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang yang terbit tahun 1969.7) Dalam esai ini, ia bercerita tentang dirinya, semacam “autobiografi” hidupnya dalam kerangka esai. Hidupnya yang berasal dari pedalaman, yang di masa kecilnya terbiasa dengan kebudayaan jawa dan juga biasa membaca hasil pemikiran tokoh-tokoh dunia. Dua kebiasaan yang “aneh” dan saling terbentur, bergulat dan “tumpang tindih” serta “menyegarkan”. Dari kebiasaan membaca literatur “dunia barat” kemudian di pakainya sebagai “mikroskop” saat menganalisa, membedah, menguji, bertanya, membantah, mengakui, mencurigai, was-was,  tentang kebudayaan para leluhurnya, atau sebaliknya kebudayaan Indonesia (Jawa) dalam urat nadinya dipakai untuk “mengkritisi” pemikiran dan kebudayaan “orang bule”.  Jadi saling bertanya dan tak mudah untuk selesai, final dan tunggal.
Mungkin karena “dibesarkan” dalam khasanah bacaan seperti itu, literatur, referensi dari berbagai sisi, berbagai cara pandang, dari yang ekstrim, moderat, sakral hingga “haram” membuat penulis juga menyadari bahwa kita tak bisa selesai. Berpijak dari hal itulah, penulis “mencoba” menulis artikel ini. Dengan menggunakan “kacamata baru” penulis ingin membedah, menguji, menganalisa, bertanya, membantah, mengakui dengan seterusnya, terhadap sejarah kedatangan para leluhur. Leluhur yang dipercaya oleh penulis sebagai generasi awal yang “melahirkan” penulis di masa sekarang. Ini semacam intepretasi, hermeunetika hingga “berujung” pada refleksi atau perenungan kembali terhadap sejarah itu dan pesan etis/moral yang “ingin” diwariskan.
           
SEJARAH KEDATANGAN
Semuanya bermula di tahun 14368), saat 4 Kapitan Besar dari Negeri Souhuku (Lilipori Kalapessy) meninggalkan “pelabuhan” tanjung Pulapa di pantai selatan pulau Seram. Kapitan Riang Titaley bersama istrinya Nyi Sihele/Sahele Simatauw, Kapitan Hintauni/Untaune Anakotta bersama istrinya Kupasila Ririnama, Kapitan Ririnama bersama istrinya bermarga Ruhupessy serta Kapitan Adjelis Simatauw dan istrinya bermarga Anakotta. Mereka berdelapan memutuskan mencari daerah baru, meninggalkan “saudara” mereka yang bermarga Ruhupessy. Menurut penuturan orang tua-tua yang diwariskan secara lisan, mereka meninggalkan tanjung Pulapa menggunakan gosepa menuju sebuah pulau yang nantinya dikenal sebagai pulau Saparua. Tempat pertama “di pulau baru” itu yang mereka singgahi untuk pertama kalinya, sekarang dikenal sebagai tanjung Itawaka. Namun rupanya dalam pandangan mereka, tempat itu “tidak cocok” untuk dijadikan hunian baru. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari tempat yang cocok. Dengan arah memutar atau mengambil arah utara “pulau saparua” mereka mengelilingi pulau itu. Tempat kedua yang mereka singgahi sekarang dikenal sebagai tanjung Ouw. Dengan alasan yang sama juga, mereka tidak menjadikan daerah itu sebagai hunian mereka. perjalanan terus dilanjutkan, hingga sampai di daerah yang dikenal sebagai daerah Waihenahia (petuanan negeri saparua – sekarang). Namun kembali lagi, mereka merasa tidak cocok dengan daerah itu, ditambah dari kejauhan mereka melihat sebuah teluk yang sangat indah serta pantai yang bertabur pasir putih. Akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi, memasuki “teluk saparua”. Menurut penuturan, saat pertama kali mereka melihat “kawasan” itu, mereka “jatuh hati” karena sebuah daerah yang luas, tidak berbatu serta memiliki pantai berpasir putih yang sangat indah. Mungkin dengan “pertimbangan rasional  serta “emosional” mereka “memutuskan untuk menjadikan daerah baru itu sebagai hunian mereka. Daerah hunian yang baru inilah yang sekarang dikenal sebagai Negeri Saparoea atau dalam bahasa tanah disebut negeri PISARANA HATUSIRI AMALATU. Hal ini ditandai dengan hunian mula-mula atau daerah awal tempat mereka tinggal. Daerah awal ini dalam kebudayaan Maluku, khususnya di daerah Ambon-Lease sering disebut Negeri Lama. Negeri Lama Pisarana Hatusiri Amalatu atau Negeri Saparoea adalah Hutan Rila. Lebih jelasnya tentang sejarah kedatangan ke-4 kapitan yang menjadi leluhur negeri Saparoea bisa dilihat pada artikel lain di blog ini. Memang penceritaan sejarah kedatangan ini hanyalah bersifat “umum” yang disengaja oleh penulis. Karena tujuan artikel ini bukanlah menceritakan sejarah kedatangan mereka secara terperinci.

DIALEKTIKA DAN REFLEKSI
Pengertian dialektika dalam kamus Bahasa Indonesia9) adalah cara berpikir sesuai dengan kenyataan yang ada (disuatu daerah/tempat), analisa kritik tentang konsepsi-konsepsi untuk menentukan arti, implikasi dan preposisi. Refleksi adalah praduga, perenungan, pertimbangan atau pemikiran. Kedua hal ini berhubungan erat, mungkin bisa “dikatakan” dialektika adalah “rencana” sedangkan refleksi adalah “pelaksanaan dan evaluasi”.
Dalam kehidupan, kita selalu berdialektika dan pada akhirnya berefleksi. Kita berencana, melakukan kegiatan untuk mewujudkan rencana tersebut dan ujungnya melakukan evaluasi kembali. Proses dialektika selalu ada terhadap sebuah konsep yang nantinya akan melahirkan sebuah “pemaknaan baru”. Pemaknaan baru itu merupakan “hasil” dari apa yang disebut penafsiran ulang atau reintepretasi. Tentunya intepretasi dan reintepretasi terhadap sebuah konteks perlu dilakukan karena dunia semakin berubah dan terus berkembang, tak sama saat konteks itu diciptakan. Berpijak dari hal itu, maka artikel ini dibuat untuk memaknai kembali, berdialektika, intepretasi, reintepretasi serta berefleksi terhadap sejarah kedatangan para leluhur.
Ada hal yang menarik, jika kita belajar tentang sejarah kedatangan para leluhur yang “dianggap” sebagai generasi awal orang Ambon – Lease. Dalam sejarah asal usul setiap negeri yang ada dalam kawasan ini, selalu saja ada “cerita” tentang kedatangan leluhur dari negeri yang menggunakan gosepa sebagai alat transportasi serta melalui lautan. Toehaha, Porto, Haria, Paperu, Booi dan seterusnya bisa dijadikan pembandingnya. Tentunya hal ini selalu dianggap dan diterima sebagai kebenaran mutlak. Terkadang, kita tak berani untuk “menggugatnya” atau memaknai ulang terhadap sejarah kedatangan para leluhur itu. Dalam kebudayaan kuno, biasanya masyarakat selalu menggunakan tamsil, perumpamaan, simbol, lambang, kode untuk menyampaikan sesuatu maksud. Tentunya kita masih ingat, dalam tradisi Kristen, Yesus Kristus atau Nabi Isa selalu menggunakan perumpamaan saat menyampaikan Firman.10) Pertanyaan kritis akan muncul jika kita “meneliti” secara baik-baik soal sejarah kedatangan para leluhur. Mengapa selalu berhubungan dengan lautan? Mengapa selalu menggunakan gosepa? Apa ini bukan sejarah “copi paste”? Apa maknanya? Kenapa cerita kedatangan leluhur hampir semua sama? Apa jangan-jangan ini adalah cerita tuturan yang menggunakan simbol, lambang dan memiliki tujuan dan pesan yang ingin diwariskan? Kita selalu percaya bahwa para leluhur memiliki kekuataan “super”, jika ini benar, kenapa harus melewati lautan? Kenapa tidak mengunakan cara yang lebih gampang? Misalnya dengan “terbang” atau “meloncat” dan masih banyak pertanyaan kritis lainnya.
Banyak dari kita akan menjawab dengan sederhana, ya pasti harus melewati lautan karena antara negeri asal dan negeri hunian baru terpisah oleh lautan dan saat itu belum ada jalan aspal. Mengapa menggunakan gosepa, karena saat itu hanya ada alat transportasi berupa itu, belum ada kapal laut dan jawaban-jawaban “mudah” lainnya. Namun, tidakkah kita berpikir ada yang “sedikit” aneh dengan cerita tuturan itu? Tidakah ada makna lain dari penuturan seperti itu? Jangan-jangan ada pesan moral yang ingin diwariskan, disampaikan dari leluhur kepada generasi berikutnya tentang kehidupan?
Berpikir kritis itulah, penulis ingin berdialektika, melakukan intepretasi, berefleksi terhadap cerita tuturan tentang kedatangan para leluhur negeri Saparoea.

1.         Mungkinkah lautan adalah “lambang/simbol” dari kehidupan yang tak bisa diprediksi? lautan yang bisa tenang tapi juga bisa tiba berubah bergelombang dan menghancurkan, bisa disamakan dengan kehidupan. Kehidupan yang tak bisa diramal karena selalu penuh misteri, ada suka, duka, bahagia, airmata, susah, senang yang datang silih berganti mewarnai kehidupan manusia. Hal menarik, jika kita mencermati salah satu cerita dalam Alkitab, khususnya Injil tentang Yesus menenangkan gelombang.11) Apakah mungkin “konteks besar” cerita ini dijadikan “latar belakang” terhadap hampir semua cerita tuturan sejarah kedatangan para leluhur? Mungkin saja, jika gelombang “dipahami” sebagai kehidupan itu sendiri. Jika seperti ini, apa maknanya? Apa tujuan pesan yang ingin disampaikan? Menurut penulis, para leluhur ingin mewariskan pesan kehidupan. Pesan yang harusnya dilakukan oleh generasi berikutnya, oleh anak cucu mereka. Kehidupan seperti gelombang lautan, maka seharusnya harus dijalani, dilewati dengan kesabaran, ketekunan, pengorbanan, dedikasi, kerja keras, tak gampang menyerah, dan seterusnya. Suka, duka, tertawa, menangis, bahagia, masalah, adalah mozaik hidup seperti lautan yang tak bisa diramal. Dalam cerita tuturan sejarah kedatangan, kita tak mengetahui berapa lamanya waktu yang ditempuh dari negeri asal hingga tiba di pantai negeri Saparua. Apa 1 jam, 2 jam? 1 hari, 2 hari? Atau bahkan 1 minggu? 1 bulan? Apa selama perjalanan itu, tak ada rintangan berupa gelombang? Kehabisan persediaan makanan dan air? dan seterusnya. Bayangkan jika mereka menyerah dan kembali ke negeri asal, mungkin saja “tak ada” negeri Saparoea, jikapun ada karena di temukan/dihuni orang lain, bukan kitalah yang sekarang menjadi anak cucu dari leluhur itu.
Penulis memahami dan menafsirkan bahwa para leluhur “menciptakan” cerita ini meskipun tetap “meyakini” kebenaran cerita ini, atau mungkin saja mereka pernah melakukan perjalanan itu, agar kita bisa belajar bagaimana perjuangan mereka dari negeri asal ke sebuah dunia baru, dunia asing, dunia antah berantah yang akhirnya menjadi “homeland” bagi anak cucu mereka.
Ataukah “kebiasaan” nenek moyang nusantara melayari lautan dalam jalur perdagangan11 menjadi “background” dari terciptanya cerita tuturan ini? Jika ia, tetap saja masih meninggalkan pesan moral atau pesan kehidupan buat generasi selanjutnya. Kebiasaan berlayar bisa jadi simbol tentang usaha menafkahi kebutuhan hidup. Untung rugi, kesulitan, kebangkrutan, kebangkitan kembali, tak menyerah adalah bagian dari kerja, mungkin dari situ pesan ini ingin diwariskan kepada kita.

2       Apa mungkin “gosepa” adalah simbol/lambang dari tubuh kita? Tubuh jasmani maupun rohani kita? Wadah atau tempat yang terdiri dari daging, tulang, air, yang berisikan “jiwa/roh’’? jika itu simbolnya, maka pesannya adalah dalam menjalani hidup (lautan), harus ada keseimbangan antara tubuh jasmani dan rohani, ada keseriusan tapi juga canda. Ada juga keharusan untuk “merawat” tubuh (gosepa) selama melayari/menjalani hidup (lautan). “perawatan” tubuh yang bersifat jasmani maupun rohani mungkin bisa disamakan dengan perawatan gosepa sebelum berlayar, di tengah pelayaran hingga tiba di tempat tujuan.

3      Ada hal menarik dari cerita tuturan sejarah kedatangan leluhur, mereka singgah di beberapa tempat hingga akhirnya mencapai tempat yang mereka inginkan. Apa ini juga sebuah simbol atau lambang dari kehidupan sebenarnya? Jika benar, maka mungkin saja mereka ingin mengajari kita, jangan menjalani hidup yang tidak diinginkan. Jangan menjalani kerja yang bukan keahliannya, jangan menjalani profesi yang tidak kita inginkan atau tidak kita sukai. Jika tetap dipaksakan, kekecewaan yang akan menimpa.
Ataukah saat mereka tiba di beberapa tempat itu, telah ada orang di daerah itu? Jika itu adalah alasannya. Coba pikirkan pesan ini, bukankah itu sikap toleransi? Sikap menghargai “penduduk awal” dimana orang baru tak harus memaksakan diri untuk “bertempur” dan menjadi “penguasa”? Mungkin pesan moralnya adalah, agar kita memiliki sifat toleransi, apresiasi terhadap keberadaan orang lain, menghargai orang lain sebagai pengakuan dari “keberagaman”manusia. Bukankah “warisan genetika” para leluhur itu yang pada akhirnya menjadikan negeri Saparoea sebagai negeri homogen? Negeri yang bertoleransi terhadap keberagaman masyarakat pendatang?

4     Pada ujung cerita tuturan sejarah kedatangan para leluhur, akhirnya mereka “membangun” sebuah negeri baru, negeri awal yang dikenal sebagai “negeri lama”. Apakah ini juga sebuah simbol? Kenapa harus di hutan? Di gunung? Banyak yang berpendapat/menganggap bahwa itu merupakan “strategi militer”. Tempat tinggi dan tersembunyi merupakan benteng terbaik dalam pertempuran. Jika yang jadi wacana adalah pertempuran, alasan itu bisa diterima. Yang jadi pertanyaan adalah apa pada saat itu telah terjadi peperangan? Kalaupun yang menyerang adalah bangsa Eropa, catatan sejarah menunjukan Portugis diperkirakan datang  di tahun 1500an, itupun telah 70an tahun setelah kedatangan para leluhur tiba pertama kalinya di tahun 1436. Ada hal yang ganjil dan bersifat “anakronis” dalam kronologi waktu. Satu-satunya adalah bahwa “pembentukan” negeri baru di daerah pegunungan adalah simbol kudus. Dalam Wastu Citra, YB Mangunwijaya12) mencatat bahwa gunung dalam banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai Tanah Tinggi, tempat yang paling dekat dengan Dunia Atas. Para dewata selalu dibayangkan hidup dalam wilayah puncak-puncak gunung: Olympia (Yunani), Haraberezaiti (Iran), Gerizim (Palestina), dan Meru (India, Jawa, Bali); bahkan sampai membuat gunung buatan seperti bangunan zigurat (Mesopotamia), pagoda (Birma, Thailand), atau stupa (India, Jawa) dan piramida (Mesir).
Di Jawa, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 313), pemujaan asli yang lebih kuno ditujukan kepada gunung-gunung dan dikaitkan pada diri sang raja. “Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, lalu gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung,” tulis Lombard.
“Tema gunung kosmis sebagian diambil-alih karena para wali (penyebar agama Islam, red) juga berusaha menetap (dan dikuburkan) di ketinggian: Di Gunung Giri, Gunung Jati (di dekat Cirebon), Bayat (dekat Klaten),” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 2.14)
Dari uraian analisis sejarah dan catatan sejarah inilah, pemilihan gunung sebagai tempat “negeri lama” bukan berdasarkan alasan pertahanan atau militer, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang bersifat kudus atau pengkultusan terhadap gunung. Gunung dimaknai sebagai poros dunia, dimana para dewata berdiam. Bukankah ini bisa disamakan dengan wilayah bernaungnya sang penguasa dunia yaitu Tuhan. Jika itu maksudnya, maka itu berarti ada ibadah, ada pengucapan syukur, ada doa, kepada Tuhan yang mereka imani dan percaya? Pesan moralnya adalah, saat mencapai kesuksesan hidup, tiba di tempat tujuan, melewati segala masalah, rintangan, halangan, haruslah ada penyembahan, pengucapan syukur, ibadah, doa dan apapun namanya kepada Allah, Tuhan yang kita imani yang telah mengijinkan, melindungi, menjaga dan memberkati kehidupan.  

PENUTUP
Seperti yang tertulis pada judul dalam artikel ini, adalah bersifat pribadi. Bersifat pribadi berarti pemikiran pribadi yang bersifat tafsiran. Berpijak dari pemahaman bahwa manusia tidaklah bisa selesai, maka intepretasi ini tidaklah mutlak atau dianggap sebagai kebenaran tunggal. Tiap pribadi atau orang pastilah memiliki tafsiran atau cara pandang sendiri-sendiri dan adalah lumrah. Tafsiran ini hanyalah “sementara” yang mungkin saja akan di “perbaharui” oleh orang lain atau oleh penulis sendiri. Jika ada yang tak menyetujui dengan tafsiran, itu adalah baik dan diperlukan agar kita bisa sama-sama belajar untuk memahami semuanya.
Mungkin tulisan ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap cerita tuturan itu sendiri atau penyangkalan terhadap sejarah leluhur. Itu berpulang kembali ke masing-masing. Namun yang pasti penulis hanya ingin memberi perspektif baru meski penulis tetap meyakini “kebenaran” sejarah kedatangan leluhur negeri Saparoea Pisarana Hatusiri Amalatu.

Catatan kaki :
1. Seta Basry dalam sebuah blog, diunduh pada tanggal 03 Mei 2015
4. Goenawan Moehamad dalam catatan pinggirnya berjudul Maridjan
5. Yohanes Pasal 1 ayat 1
6. Goenawan Moehamad dalam catatan pinggirnya
7. Goenawan Moehamad : Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang, 1969
8. Tahun 1436 M, adalah tahun yang paling benar yang mencatat kepergian 4 kapitan besar ke Negeri Saparoea (pisarana hatusiri amalatu). Ini juga sekaligus sebagai ralat terhadap berbagai artikel sebelumnya yang mencantumkan kedatangan para leluhur pada tahun 1463 M. Tahun kedatangan yang paling benar ini didapatkan penulis saat “mengunjungi” Negeri Souhuku pada tanggal 20 April 2015, saat persiapan dalam rangka peresmian Baileu Negeri Souhuku ditanggal 28 April 2015. Penulis mengakui ada “kekeliruan” yang dilakukan penulis yang turut mencantumkan tahun 1463 sebagai tahun kedatangan pada beberapa artikel sebelumnya. Namun tanpa bermaksud membela diri, kekeliruan itu bisa “dimaklumi” dengan melihat perbedaan tahunnya, yaitu antara 1436 dan 1463, ya secara sederhana bisa dibilang “tak ada” yang salah karena tahunnya (angka puluhan) yang terbalik, meski kenyataannya keliru dan akibatnya adalah rentang yang cukup panjang selama 27 tahun.  
9. M. Dahlan Al Barry Kamus Modern Bahasa Indonesia, Penerbit Arkola, Jogjakarta 1994
10. Lihat ke-4 injil dalam Alkitab, Injil Matius, Markus, Lukas dan Johanes
11. Idem
12. YB Mangunwijaya, Wastu Citra
13. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid 3
14. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid 2
-         Hendri Isnaeni, Pertanda dari Gunung, artikel historia online, di unggah tanggal 09 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar