Rabu, 09 September 2015

Road To Seram 2015



Perjalanan menaklukkan “Negeri di Awan”
(Oleh : Aldrijn Anakotta)

A.    Pengantar Cerita

Banyak orang suka menulis catatan harian kehidupan mereka. Beberapa tahun lalu, saat dunia maya belum “menggelinjang” dan jadi bagian “penting”, diary adalah salah satu tempat mencurahkan isi hati seseorang secara “pribadi”. Kertas-kertas berwarna dan wangi jadi sarana untuk menulis kehidupan, tentang perasaan jatuh cinta, kegalauan, kegembiraan dan semua hal. Ketika dunia berubah, diary seperti barang “kuno” meski ada beberapa orang yang masih “setia” mempergunakannya. Sekarang orang lebih suka “mencurahkan” akitivitas kehidupan mereka tiap hari di dunia maya, seperti Facebook, Twitter, Path, Line, Instagram dan lain sebagainya.
Catatan kehidupan manusia itu bisa berupa catatan tiap hari, atau bisa juga catatan tentang perjalanan mereka ke suatu tempat, yang mereka anggap penting dan  perlu dicatat, ditulis, direkam agar selalu diingat. Banyak artikel atau banyak buku yang bersumber dari catatan perjalanan ini.
Artikel ini berisi kisah perjalanan pribadi ke sebuah negeri asing, negeri baru. Namanya kisah pribadi berarti tak lepas dari sisi subjektif  penulis, namun itulah yang ditemui dan dirasakan. Tentunya tiap orang mendapatkan pengalaman yang tak sama meski sama-sama melakukan perjalanan itu, atau melewati jalan yang sama.
Kiranya artikel ini “berguna” bagi orang lain yang belum pernah mencapai, mendatangi negeri asing ini atau mungkin sebagai bacaan ringan penambah informasi dan pemahaman.  
B.    Puisi Kehidupan

Semuanya dimulai pada tanggal 08 Juli 2015, saat negeri yang asing, negeri “baru” dan negeri yang di peta pun sulit ditemukan serta kemudian ditetapkan menjadi awal buat penjelajahan mencari hidup. Ini adalah puisi kehidupan yang baru. Puisi tentang hidup yang tak mudah. Saat harus berpisah dengan keluarga, saudara, teman-teman, kenalan. Itulah puisi kehidupan yang harus dibuat dan dimaknai. Persiapan perjalanan dan penjelahan itu diawali dengan ibadah pengucapan syukur selaku orang yang percaya Tuhan, menyerahkan seluruh hidup, takdir dan selembar nyawa di sebuah negeri “antah berantah” di negeri orang. Dengan berbekal tekad ingin mencari pengalaman baru, berusaha mandiri dan dewasa, perjalanan itu dimulai Kamis, 23 Juli 2015 dari negeri tercinta, negeri putus pusa, negeri pisarana hatusiri amalatu, saparoea tercinta. Deburan ombak yang lembut seakan mengantar kepergianku, menit menit berlalu saat perlahan-lahan pantai pulau saparua mulai mengecil. Ada air mata yang mulai pecah, namun hati tetap beku dan mengeras. Pulau saparua mulai menghilang dari tatapan mata, entah kapan akan kembali melihatnya.
Seminggu di kota Masohi, untuk mengurus segala sesuatu, akhirnya waktu itu menagih janji, menuntut untuk ditepati. Kebaikan tuan rumah, sepasang suami istri yang sebenarnya adalah tetangga namun sudah dianggap sebagai saudara, Jhonly Sahetapy dan Esty Soukotta/Sahetapy, tak akan dilupakan. Jasa baik mereka begitu dalam dan luar biasa, benar kata orang tua, utang materi bisa dibayar, namun utang budi, dibawa sampai ajal menjemput. Jumat, 31 Juli 2015 penjelajahan pun dimulai tepat jam 12.30 WIT. Menggunakan 2 sepeda motor bersama saudara dekat Johan Titaley (ony) yang kebaikannya tak diragukan serta anaknya Mario Titaley, kami berpacu meninggalkan kota Masohi di hari itu. Entah kenapa cuaca di hari itu seperti “bersahabat”, panas terik menyengat menyiram tubuh, padahal beberapa hari sebelumnya, selalu turun hujan. Perlahan-lahan kota Masohi mulai tertinggal, desa Haruru, Waepo markas besar Yonif 731 Kabaresi yang selalu disebut sebagai “hantu seram”  dan Makariki tampak didepan mata dan kemudian terlewati tanpa kata-kata.  Sepeda motor terus berlari hingga tiba di pertigaan Waipia. Butuh 20-30 menit untuk sampai di daerah itu dari kota Masohi. Kami berhenti sejenak, seperti “mengambil nafas” untuk berlari jarak jauh. Tepat jam 13.10 WIT, kami bertiga mulai memacu kendaraan, tak sampai 5 menit, kendaraan mulai pelan dan menanjak serta berkelok, beberapa ruas jalan terlihat rusak dan sedang diperbaiki. Dalam perjalanan, sambil melihat kanan kiri, terhampar hutan yang luas, pohon-pohon besar dan sekali-sekali terlihat jurang yang lumayan dalam. Pegunungan di belakang kami mulai terlihat sejajar dengan pandangan mata. Itu semacam “tanda” bahwa kami terus menanjak. Jalan terus berkelok seperti ular yang sangat panjang, melingkar dan terus berputar, akhirnya kembali lagi, begitu terus menerus. Beberapa kali kami berpapasan dengan mobil dan  sepeda motor dari tujuan kami. Begitu “aneh” dan “unik” jalan seperti ini. Kadang menanjak yang cukup jauh, kemudian menurun terus menerus, seperti “rollcoaster” dan menanjak lagi dalam “track” yang melingkar. 1 jam perjalanan, kami bertiga berhenti karena mesin sepeda motor milik Mario mulai panas dan perlu “didinginkan”. Waktu istirahat kami gunakan untuk merokok, buang air kecil di pinggir jalan. Udara dingin mulai menusuk kulit, tanpa terasa 2 batang rokok “lenyap” di waktu istirahat itu. Sinyal komunikasi (HP) mulai hilang, dari “5 garis” menjadi 4, 3, 2, 1 dan akhirnya “lenyap” entah kemana. Kami kembali melanjutkan perjalanan, tak ada yang berubah dengan “kontur” jalan yang dilalui. Masih sama dengan sebelumnya, masih menanjak, menurun, berputar, berkelok, melingkar dan entah apa lagi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Benar-benar sangat menantang. Di sisi kanan dan kiri, terbentang hutan yang luas, pohon-pohon besar yang kokoh seperti raksasa dan jurang-jurang yang dalam. Seperti sang maut yang siap memangsa jika tak hati-hati. Sebuah pengalaman yang tak pernah dialami sebelumnya. Didepan kami mulai terlihat sebuah puncak gunung yang tinggi…. menanti untuk ditaklukan dan berwajah misterius diselimuti kabut tipis... Sebuah pemandangan yang sangat indah karena “diselingi” jurang. Kami berhenti beberapa kali saat mendapati tempat yang indah untuk berfoto. Di latar belakangi gunung itu kami berfoto sebagai kenang-kenangan. Puncak itu yang banyak dikenali sebagai puncak SS. Setelah melewatinya baru saya “mengerti” kenapa jalur pegunungan itu bisa disebut seperti itu. Selesai mengabdikan kenangan itu, kami melanjutkan lagi perjalanan. Tak sampai 20 menitan, kami mulai memasuki “perkampungan kecil”. Ya itu semacam tempat  peristirahatan. Tempat “bertemunya”  para pelintas yang saling berlawanan. Ada beberapa rumah makan di sekitar jalan yang pemiliknya ada orang-orang dari suku bangsa Jawa. Menurut cerita teman, mereka ini adalah transmigran asal korban lumpur LAPINDO di Sidoarjo Jawa Timur. Rupanya itu tempat beristirahat, melepas lelah dan mengisi perut guna melanjutkan perjalanan lagi. Kami berhenti di rumah makan yang paling terakhir, sinyal hp tak ada, meski sekali-sekali muncul itupun hanya “1 garis”, hilang lagi, muncul lagi seperti tersengal-sengal mencari nafas. Tepat jam 15.00 WIT, kami tiba di tempat itu, pas di bawah kaki pegunungan misterius itu. Terlihat beberapa orang yang sedang makan, ada yang beristirahat, beberapa mobil truk barang terparkir di samping jalan seperti juga ikut beristirahat. Kami bertiga makan dengan lahap, karena benar-benar sangat lapar. Selesai makan, kami mengaso sebentar di tempat istirahat di depan rumah makan itu, sambil mengisi bahan bakar. Tanpa sadar, mata ini menatap sesuatu yang sangat unik dan menggetarkan kalbu. Mungkin itu sesuatu yang simple, yang sederhana. Di tiang rumah itu tergantung gelas air mineral kosong yang dipaku. Mata ini terus menatap dan pikiran terus bertanya-tanya, apa ini? Apa ini permainan atau apa sebenarnya? Melihat kebingungan yang muncul di mata, teman menjelaskan kalau itu berfungsi untuk menaruh/meletakan HP. Apa-apaan ini??? Untuk apa menaruh HP di gelas air mineral yang tergantung? Ya Tuhan rupanya di “tempat unik” itu sinyal HP muncul lagi. Saya mencoba mengujinya… Dan benar… sinyal komunikasi muncul seperti tiba-tiba tersembul dari ruang hampa. Beberapa sms dari teman-teman mulai mengalir masuk. Untuk membalasnya, saya mengangkat HP mencoba membalas, tapi wuuuttttt… sinyal HP hilang lagi tak berbekas… Apa-apaan lagi ini??? Akhirnya saya mengerti sepenuhnya… jangankan bergeser jauh, bergeser sedikit saja… sinyal tak ada layaknya hantu. Air mata mulai basah dimata… bayangkan 70 Tahun kita merdeka, tapi masih ada daerah seperti ini. Tayangan-tayangan TV tentang daerah perbatasan yang sering saya nonton, tentang tak adanya jaringan komunikasi selama ini seperti teori saja, sekarang saya mengalaminya. Saya “mempraktekannya” sendiri. Inilah wajah Indonesia!  Namun di tengah keterbatasan seperti itu selalu muncul ide kreatif. Ya ide kreatif seperti tadi meski hanya berupa gantungan gelas air mineral. Benar dikata orang, manusia akan terus menciptakan ide-ide kreatif saat dihimpit kesulitan, keterbatasan dan kekurangan.
Selesai makan dan beristirahat, tepat jam 15.30 WIT kami kembali lagi memulai perjalanan. Tepat di depan wajah, pegunungan besar seperti tersenyum misterius, kami menengadah menatapnya. Di sekelilingnya melingkar berlarik-larik kabut menambah misterius. Itulah pegunungan yang banyak orang menyebutnya puncak SS. Kami mulai menanjak, berkelok seperti huruf “S”, kemudian menurun dalam gerak melingkar, menanjak lagi, menurun lagi, terus menerus seperti itu. Berputar dan melingkar-lingkar. Akhirnya saya mengerti kenapa daerah misterius ini disebut puncak SS. 2 huruf kembar yang mengilustrasikan track melingkar  yang tak putus-putus seperti saling sambung menyambung. Di tengah perjalanan saya terus mencari kata yang tepat untuk menamai kawasan ini. Secara pribadi saya lebih suka menamainya silinder berputar yang sangat sexy!!! Ya… seperti silinder yang sedang berputar-putar, sebuah déjà vu...jalan yang telah dilalui, seperti muncul lagi di depan, begitu terus menerus. Bahkan kami pernah mencoba dengan melihat speedometer, arah menurun sepanjang 3,8 KM tanpa menanjak, seperti dari udara “menembus” bumi, masuk ke tanah layaknya!!!
Tanpa terasa, kacamata penghalang debu yang saya pakai mulai “berembun”. Itu tanda daerah yang kami lalui berkabut. Seumur-umur belum pernah saya alami pengalaman unik seperti ini. Sang pengendara bercerita untung saat kami melalui daerah itu, sedang musim kemarau hingga kabutnya tak terlalu banyak, jika musim hujan, lebih “gawat“ lagi karena kabut makin banyak dan tebal hingga jarak pandang ke jalan tak bisa jauh atau makin pendek. Cukup jauh jalan berkabut yang kami lalui. Sepanjang jalan, pikiran terus mengembara, mencari-cari kata yang tepat atau mungkin agak sedikit puitis untuk menggambarkan setiap negeri yang kami lewati. Tanpa sadar, akhirnya pikiran menemukan kata-kata itu. Ya inilah NEGERI DI AWAN!!!
Penamaan ini mungkin agak berlebihan, tapi secara pribadi, saya menyukainya, dan ada penjelasan kenapa saya menamakan seperti demikian.
Penamaan seperti ini memiliki 2 alasan :

1.        Alasan Filosofis
Negeri-negeri yang saya lewati adalah negeri-negeri “asing” negeri “antah berantah” negeri yang belum pernah saya datangi sebelumnya, negeri yang tak pernah terpikirkan akan saya datangi. Meski kenyataanya, negeri-negeri tersebut berada dalam Kabupaten Maluku Tengah. Tepatnya di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi dan Seram Utara Timur Seti. Ya seperti negeri di awan, negeri yang asing, negeri yang hanya dalam khayalan semata. Negeri yang “jauh” layaknya seperti di awan
2.       Alasan “geografis”
Letak negeri-negeri tersebut seperti diawan, diselimuti kabut dan terlihat seperti dekat dengan awan karena harus menanjak pegunungan. Pegunungan tinggi yang hampir “berdekatan” dengan awan sehingga negeri-negeri di sekelilingnya seperti di awan saja.

Karena “keeksotisan” pemandangan itulah, yang membuat saya memutuskan untuk menulis pengalaman perjalanan ini. Di sepanjang jalan, benak terus “mengedit” kata-kata puitis sebagai kerangka untuk menulis kisah perjalanan ini.
Akhirnya kami “mengakhiri” penaklukan puncak SS atau silinder berputar itu. Bayangkan untuk menaklukannya, kami memerlukan 1,5 jam dengan kecepatan rata-rata 40-60 Km perjam. Di kaki puncak SS itu, mulai terlihat kampung atau negeri-negeri di bawahnya. Sebuah pemandangan yang sangat indah di senja hari. Sepeda motor terus berlari, melewati negeri-negeri yang berjejer di pinggir jalan. Ada hal yang unik dan sedikit “aneh” dalam sistim rotasi  bumi. Tanpa sengaja terlihat, matahari senja di depan kami, sepeda motor yang terus berlari seakan mengejar matahari yang mulai bergerak tenggelam, tak lama kemudian sepeda motor seperti melewati matahari senja sehingga terlihat di belakang kami, bagaimana mungkin ini bisa terjadi??? Pikiran saya makin bingung, saya tak mampu menjelaskan ‘fenomena” seperti ini. Inilah kejaiban dan kebesaran Tuhan. Sang pengendara berbisik: “nanti sedikit lagi, bulan akan muncul dan akan “bergerak berpindah-pindah” di kiri kanan kita, lihat dan nikmati!!” saya tak percaya apa yang dikatakan sang pengendara, yang teman baik saya, tapi tak sabar untuk menanti “kejutan” apa lagi yang terlihat.

Tepat pukul 18.00 WIT, kami memasuki kota Wahai. Kami terus berpacu, karena perjalanan menuju tujuan masih jauh. 15-20 menit kemudian, sang rembulan mulai muncul, seperti terbit dari horizon langit, bulan purnama yang bertengger di ranting-ranting pohon di kejauhan pandangan mata. Kami seakan mengejarnya, “tiba-tiba” bulan itu “bergerak” dan “bergeser” ke sebelah kiri, 20 menit berikutnya, “bergeser” ke kanan. Sepeda motor terus berpacu, karena gelap mulai menyelimuti jalan yang dilalui. Terkadang bulan di atas kepala, lalu bergerak seakan “mengikuti” kami dari belakang, bergerak ke samping kiri, ke samping kanan. Sangat aneh dan membuat saya tak percaya. Mungkin bagi yang belum pernah mengalaminya, menganggap ini hal mustahil, tapi itulah yang terjadi dan saya alami. Benar-benar sangat memukau dan menandakan betapa mahakuasanya Tuhan. Negeri Pasahari, negeri Siatele telah kami lewati, dan tepat pukul 20.00 WIT, kami memasuki kota Kobisonta. Inilah adalah ibukota kecamatan Seram Utara Timur Seti, sebuah kecamatan baru hasil pemekaran. Berarti perjalanan yang kami lakukan “memakan” waktu 7 jam perjalanan.
Di kota ini, saya menghubungi seorang teman bernama TRI MEI NINGSIH, yang kebetulan mendapat penugasan di tempat yang sama. Lapar makin menggigit perut dan atas kebaikannya, kami akan mengisi “bahan bakar” di rumah makan miliknya. Dari kejauhan, dia sedang menunggu di depan rumah makannya. Ada rona gembira, dan sukacita saat bertemu dengannya, saling bersalaman dan saling bercerita panjang lebar ditemani nasi panas, ikan bakar dan teh panas. Mungkin hampir sejam lamanya, kami bertiga menghabiskan waktu di tempat itu. Sang teman JOHAN TITALEY, sang pengendara itu “memberi kode” agar perbincangan dihentikan karena perjalanan masih jauh. Ya ampun, dari tadi saya mengira sudah dekat tempat tujuan, rupanya masih jauh. Akhirnya kami berangkat lagi dengan tujuan, ke rumah pimpinan saya untuk melapor diri. Mungkin agak aneh, urusan dinas tapi melapornya pada malam hari, namun rupanya karena “koneksi” sang teman itulah, hal itu bisa terjadi. Dia orang lama di negeri itu, hingga jaringan kenalannya cukup banyak termasuk pimpinan saya. Hal itu “mempermudah” urusan kedinasan itu. Sekitar 15-20 menitan perjalanan, kami memasuki sebuah kawasan yang cukup jauh, sekitar 3,8 KM dari arah jalan utama/besar. Jalan di kawasan itu belum beraspal tapi hanya berupa “siraman” batu kerikil dan pasir yang “dipadatkan” tiap hari dengan siraman air dari mobil tanki air yang mondar mandir di daerah itu. Demikian penjelasan teman saya saat kami melewati jalan di kawasan itu dan sering kali “merasakan gelombang” karena terdapat banyak lobang-lobang. Tak berapa kemudian mata ini melihat gapura bertuliskan selamat datang di negeri/desa administratif Seti Tihuana. Yes, inilah tempat penugasan saya yang baru!!!. Kawasan ini adalah salah satu dari sekian banyak lokasi pemukiman para transmigran asal pulau Jawa di kecamatan ini. Di kiri kanan jalan terlihat, lampu di teras rumah penduduk yang masih jarang. Tak lama berselang, kami memasuki sebuah rumah. Di sinilah berdiam pimpinan saya. Dengan ramah tamahnya, mereka menerima kami dan berkenalan. Disuguhi kopi, saya melapor diri dan berbincang bincang. Hampir sejam lamanya, kami berbincang-bincang, karena tak enak hati sudah larut malam kami mohon pamit dan untungnya karena kebaikan hati pimpinanlah yang bisa “mengijinkan” saya, agar tak buru-buru berdinas tapi nanti hari Senin, tanggal 3 Agustus baru berdinas. Kami pamit dan berangkat lagi menuju lokasi rumah teman yang menurutnya bernama Tanah Merah. Entah karena sial atau semacam “perkenalan” untuk orang baru, di jalan keluar menuju jalan utama, kami bertemu dengan ular yang sedang menyeberang. Ya Tuhan… seekor ular yang lumayan besar, yang pernah saya lihat, sebesar paha anak usia 7 tahun dan panjangnya ± 1,5-2 M. saya bergidik melihatnya karena ukuran dan warnanya yang “cantik” diterpa sinar rembulan. Kami menghindarinya dan terus melaju hingga sampai di jalan utama. Di jalan utama, laju sepeda motor dipelankan agar kami bisa menikmati pemandangan yang ada. Di sepanjang jalan kami bercerita, dan mata ini memandang kiri kanan. Di sepanjang jalan itu terhampar persawahan padi. Entah berapa luasnya. Mungkin sekitar seribuan hektar luasnya dalam perkiraan saya sejauh mata memandang. Sinar bulan turut “membantu” melihat padi yang mulai tumbuh. Sang teman bercerita, bahwa  1 KK mendapat lahan seluas 2 Hektar secara gratis, jadi bayangkan dalam satu unit/kompleks/kawasan hunian itu ditempati sekitar 100 KK saja berarti kawasan itu seluas 200 hektar. Kalau di kecamatan Seram Utara Timur Seti ada 6 kawasan berarti luas persawahan bisa mencapai 1200 hektar. Hitungan itu hanya bersifat kasar dan berandai-andai.

Selain persawahan padi, ada juga perkebunan, pisang, coklat yang lumayan luas. Lebih dari 30 menitan kami terus menyusuri jalan utama itu, dan akhirnya kami singgah di sebuah rumah di pinggir jalan, terdengar suara tawa dari dalam rumah, rupanya ada banyak orang di dalamnya. Saat masuk, saya melihat 7 orang dewasa, 6 laki-laki dan 1 perempuan. Sambil berjabat tangan, sang teman kemudian memeluk seorang lelaki paruh baya mungkin akhir 40an dan memperkenalkannya pada saya. Akhirnya saya tahu ia adalah tuan rumah dan bernama Bpk.Kalam. Sang teman juga tak  lupa “menitip” saya pada mereka yang hadir di malam itu. Rupanya malam itu, ada keberuntungan lain yang saya peroleh. Salah satu tamu yang hadir adalah pimpinan tertinggi pada dinas saya di tempat penugasan. Ia adalah kepala UPTD atau Unit Pelaksana Teknis Dinas yang juga kenalan dekat teman saya. Semuanya terasa dipermudah dengan cara seperti ini, cara “koneksi” dan luasnya pertemanan yang di miliki oleh teman saya. Sang nyonya rumah membawakan kami kopi dan sisa kue lebaran untuk dicicipi sambil berbincang-bincang. Salah satu perbincangan yang menarik dan bikin meriah suasana adalah soal pemilihan kepala desa. Rupanya sang tuan rumah adalah sang kepala desa terpilih. Mungkin sekitar 2-3 minggu sebelumnya di desa/negeri administratif Tanah Merah itu dilakukan pemilihan kepala desa secara demokratis. Ternyata dari pembicaraan yang hangat itu, kebiasaan “suasana” pemilihan kepala desa di pulau Jawa di “pindahkan” ke daerah ini. Hal yang pernah saya tonton di televisi, kini saya dengar langsung. Segala intrik, strategi, bahkan kampanye hitam hingga ada taruhan dari yang “kecil” hingga “besar” seperti sawah diantara masyarakat tentang siapa yang akan menjadi kepala desa. Gaya supel dan suka bercanda sang kepala desa menambah suasana di malam itu kian “menjadi-jadi”. Tanpa terasa, waktu menunjukan pukul 01.30 WIT, karena cukup lelah, kami pamit dan menuju ke rumah teman. Jarak yang kami tempuh kira-kira 400-500 M. Dari jalan utama, kami masuk lagi kearah hutan. Kira-kira 150an M, kami tiba di sebuah rumah sederhana, rumah papan, yang belum ada jaringan listriknya. Aneh… 150an meter dari situ adalah jalan utama/besar yang diterangi listrik, tapi saya maklumi inilah Indonesia yang saya cintai. Inilah wajah Indonesia dimana saya dilahirkan. Berbekal lampu pelita, kami berbincang-bincang diselingi bunyi binatang malam hari. Tanpa terasa menjelang pagi, waktu telah menunjukan pukul 02.30 WIT… Kami memutuskan tidur, membaringkan tubuh fana ini, tubuh sementara ini. Ada airmata menggenangi pipi, mata terpejam dan sepasang sayap doa dalam sunyi beterbangan ke atas langit…mengucap syukur pada yang punya alam, atas segala perlindungan, penjagaan, pengalaman, hal-hal unik yang ditemui dan dirasakan dalam perjalanan  serta segalanya termasuk penyerahan hidup dan takdir di sebuah negeri asing… mimpi mulai menyapa… kesadaran mulai hilang… dan nafas mulai perlahan-lahan berjalan lambat... ada harapan, impian, perjuangan, belajar mandiri, dewasa  dan masa depan di rumah baru, di negeri baru,… NEGERI DI AWAN  

selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar