Sabtu, 02 Januari 2016

Kenangan Masa Kecil_Part 2


PERMAINAN ANAK-ANAK DI NEGERI SAPARUA
Penulis : Aldryn Anakotta


1.        Maeng benteng (bentengan)
maeng benteng  adalah “pengembangan” dari permainan enggo lari, namun ada sedikit perbedaan dalam cara permainan dan aturannya. Jika enggo lari tidak “mengenal markas” maka maeng benteng harus menggunakan “markas”. Markas inilah yang disebut benteng sebagai tempat pertahanan.
Permainan ini dilakukan oleh banyak orang dan dimainkan oleh sekurang-kurangnya 2 kelompok dalam 1x permainan, atau lebih banyak kelompok, tentunya dengan kesepakatan di antara para pemain.
Pemilihan anggota kelompok biasanya dilakukan dengan cara hompimpa/gambret atau gambreng. Awalnya 2 orang yang “ditunjuk/dianggap” sebagai pemimpin menggambreng, untuk mencari “pihak lawan dan kawan”. Kemudian diikuti oleh pemain selanjutnya yang dibagi menurut hasil gambreng/gambret mereka.
Setelah terbentuk 2 kelompok yang anggotanya sama banyak, mereka “membuat” benteng. Benteng ini ditandai oleh 1 buah batu. Masing-masing kelompok akan berdiri dengan sebelah kaki menginjak “benteng”. Jarak antar 1 benteng ke benteng yang lain kira-kira 10 meter-an (tergantung kesepakatan para pemain).
Saat permainan dimulai, biasanya “pemimpin/raja” tetap tinggal di benteng, meski bisa juga “menyerang” dengan perhitungan “strategi” yang matang. Hal ini dilakukan karena jika pihak lawan bisa menangkap “raja” maka secara otomatis, permainan berakhir, dan permainan diulang dengan kemenangan/poin bagi pihak yang bisa menangkap raja.
via : mainantradisional.wordpress.com

Karena itu, saat dimulai, para “bidak” atau anak buah mulai melancarkan serangan ke benteng lawan. Mereka berusaha merebut benteng lawan dengan cara menginjak benteng (batu) lawan dengan ketentuan, tidak boleh tertangkap oleh pihak lawan. Jadi para pemain harus dibekali dengan kelincahan serta kemampuan lari yang mumpuni. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari sergapan lawan, dan berlari sekuat mungkin agar tidak tertangkap. Ada aturan dalam permainan ini yang bisa disebut dengan “isi darah baru”.  Maksudnya adalah saat pemain menyerang dan telah “lama bertualang” ia harus kembali ke markasnya untuk “cas baterei” dengan cara menginjak bentengnya. Jika ia tak melakukan ini, meski ia selincah apapun, pastilah tertangkap dan akan mati  karena “kehabisan batereinya”. Namun jika ia nyaris tertangkap, dan mampu kembali ke bentengnya dan “mengisi batereinya” ia dianggap memiliki “darah baru” atau “pemain baru” dan berhak menangkap pemain lawan yang  telah lama “meninggalkan” bentengnya. Jadi semacam adu strategi, dan kepintaran untuk “memanfaatkan” aturan ini.
Pemain yang tertangkap disebut mati, dan dibawa sebagai sandera di benteng lawan. Namun ia bisa “dihidupkan/diselamatkan” oleh teman-temannya yang “masih hidup”.
“pasukan pembebasan sandera” akan diluncurkan oleh raja, berulang-ulang dengan mengikuti aturan “isi darah baru” yang dijelaskan di atas. Seorang sandera akan selamat/hidup, jika anggota/temannya, mampu memegang tangannya, dan langsung menghindar sebelum ditangkap lagi oleh pihak penyandera. Jika ini terjadi, ia akan “bebas” atau hidup dan “bertugas” lagi sebagaimana biasanya. Namun jika ia sudah diselamatkan, namun dengan secepat kilat, tertangkap lagi, maka ia tetap dianggap mati atau tetap sebagai sandera. Seorang sandera yang telah bebas, akan kembali ke markasnya, menginjak bentengnya, “mencharge” dan kembali menyerang. Begitu terus menerus dilakukan oleh kedua belah pihak dengan aturan-aturan yang dijelaskan diatas.
Pihak pemenang ditentukan, jika salah satu anggota dari kelompok itu menangkap raja dari kelompok lain atau mampu merebut benteng lawan dengan cara menginjak benteng itu tanpa tertangkap.

 2.       Maeng tali/hadang (galasin/gobak sodor)
maeng tali  adalah permainan yang dimainkan oleh 2 tim/kelompok dengan 3-5 pemain . Seperti dalam permainan maeng benteng, anggota tim ditentukan oleh cara gambret/gambreng. Pihak yang kalah akan bertugas “menjaga”.
Permainan ini dilakukan pada area yang berbentuk persegi empat/persegi panjang. Dalam area itu di buat “kamar-kamar” yang dibentuk oleh garis vertical maupun horizontal.
Sang raja dari pihak yang kalah/penjaga akan menjaga area di sepanjang “garis vertikal utama” dan bebas menjaga garis horisontal di garis “start”. Sedangkan anak buahnya akan menjaga disepanjang garis horizontal pada kamar masing-masing. Pihak yang kalah atau penjaga akan berusaha agar pihak lawan tak boleh memasuki/melewati “kamar-kamar” tersebut hingga ke “dapur” dan kembali ke garis start/finish dengan “aman”. Jika ini terjadi, maka pihak lawan akan menang, dan permainan diulang lagi dengan posisi tim yang kalah tetap sebagai penjaga. Jika tim lawan tertangkap, maka pihak penjaga akan berganti posisi, pihak lawan akan menjadi pihak yang bertugas menjaga. Begitu seterusnya.
via : www.selasar.com
via : galamedia.news.com
3.       Gici-gici (engklek)
maeng gici-gici, sebenarnya permainan ini “milik” anak-anak wanita namun bisa juga dimainkan oleh anak laki-laki. Permainan ini dimainkan oleh 2 orang atau lebih. Permainan ini dilakukan di halaman (kintal). Area permainan ini berupa “gambar rumah-rumahan/orang-orangan”. Sebelum bermain, anak-anak mengambar area permainan, berupa kotak-kotak berjumlah 6 kotak yang tersusun secara vertical, pada kotak kedua dari atas, di samping kiri kanan, di buat 1 kotak yang jika diperhatikan seperti “telinga”, dan kotak pertama itu disebut “kepala”, atau bisa di buat bentuk lain seperti garis setengah lingkaran (sesuai kesenangan para pemain).
Setelah area permainan dibuat para pemain  akan “memilih/mencari’ gacu. Gacu  ini berupa batu, pecahan tegel atau benda-benda keras lainnya  yang tipis,  dan berbentuk “lingkaran”.
Penentuan siapa pemain yang memulai permainan ditentukan dengan cara mengambret/menggambreng  atau bisa juga dengan cara para pemain melempar gacunya ke sebuah garis horizontal, gacu pemain yang paling dekat dengan garis itulah yang menjadi pemain pertama diikuti pemain berikutnya menurut urutan paling dekat sampai paling jauh.
Pemain pertama akan “melempar/membuang” gacunya ke kotak pertama di arah paling bawah (daerah kaki), jika gacunya “jatuh” dalam kotak tanpa mengenai garis-garis yang membentuknya, ia akan melanjutkan permainan. Jika gacunya mengenai, ia akan berhenti, tak melanjutkan dan dilanjutkan oleh pemain kedua. Namun hal ini jarang terjadi karena posisi kotak pertama berdekatan dengan garis “start” pemain, sehingga kejadian dimana gacu pemain mengenai garis terasa “mustahil” terjadi.
Pemain akan bergerak dengan cara melompat “melewati” kotak pertama yang “berisikan’ gacunya dengan sebelah kaki, sedangkan sebelah kaki terangkat tak menyentuh tanah, gerakan inilah yang disebut gici-gici, sehingga permainan ini dinamai maeng gici-gici.
Pemain akan terus bergerak menuju kotak-kotak selanjutnya, dan memutar ke kiri melewati bagian “telinga” kiri, melewati “kepala” dan memutar ke kanan melewati bagian “telinga” kanan, dan kembali ke arah bagian “kaki”, dengan tetap melompat menggunakan 1 kaki. Saat sampai di depan kotak yang berisikan gacunya, ia akan sedikit “menunduk” mengambil gacunya dengan posisi 1 kaki sebagai “penyangga”, menggenggamnya dan “meloncati” melewati kotak itu ke arah garis “start”.
Ia akan melanjutkan permainan dengan melempar gacunya ke kotak kedua/selanjutnya/berikutnya dan akan melompati ke dalam kotak itu, meloncati melewati kotak yang berisikan gacunya, dan terus ke kotak selanjutnya dengan aturan yang dijelaskan tadi. Begitu seterusnya, hingga ia digantikan oleh pemain kedua atau berikutnya jika gacunya mengenai garis atau kakinya menginjak garis.
Saat gacunya telah berada di bagian “kepala” ia akan bermain mengambil gacunya dan kembali ke arah kaki, jika “selamat”, ia akan melempar gacunya melewati kepala atau tinggi lemparan yang disepakati dan “menangkapnya” dengan punggung tangan dengan ketentuan gacunya tak boleh jatuh. Jika gacunya jatuh, ia akan diganti oleh pemain kedua/selanjutnya. Jika gacunya tak jatuh, ia akan terus bermain, melompati kotak-kotak itu dengan kaki sebelah di tambah “hukuman ganda” berupa matanya tertutup sambil tangan yang diletakan gacu pada punggung tangan digoyang kekiri dan kekanan, sambil tetap melompat, sambil melompat, ia akan berteriak…ya……ya…. Maksud teriakan ini adalah “konfirmasi” dari pemain lawan jika lompatannya tidak menyalahi aturan dalam permainan. Jika ia aman sampai pada bagian “kepala”, dan meloncati melewatinya, sambil tetap membelakangi area permainan, ia akan melempar gacunya melewati kepala kearah belakang, jika gacunya jatuh dan “masuk” kedalam sebuah kotak, tanpa mengenai garis, kotak tersebut menjadi “miliknya”. Sebagai bukti kepemilikannya, ia akan “menandatangani” kotak itu. Tanda tangan itu berupa apa saja, bisa bergambar garis, coretan atau apa saja yang dianggap sebagai “ciri khasnya”. Proses “penandatanganan” dalam permainan inilah yang disebut biking rumah. Saat pemain mendapatkan “rumahnya”, ia tak melanjutkan permainan, tapi pemain kedua yang mendapat giliran bermain dengan ketentuan, ia tak boleh menginjak “rumah” milik orang lain. Bagi pemain yang mendapat giliran bermain dan telah memiliki ‘rumah” juga harus mengikuti aturan “tambahan”. Jika rumahnya  terletak pada kotak dibagian kaki, atau kepala, saat meloncat ke kotak itu, ia diizinkan untuk “mendarat” dengan kedua kaki. Jika rumahnya di bagian “telinga” saat meloncat, ia harus “menepuk” kaki sebelah yang “bebas” dua kali di bagian “telinga” itu. Gerakan ini yang disebut topo kaki.  
Pemenang permainan, ditentukan oleh banyaknya ‘rumah” yang dimiliki oleh pemain

via : kfk.kompas.com

via : flickr.com
4.      Rumah kacil
maeng rumah kacil, adalah permainan yang menyenangkan dan sedikit “dewasa” dalam perpektif anak-anak. Permainan ini adalah permainan rumah-rumahan dalam bentuk “mini”, maksudnya adalah “membentuk”keluarga layaknya seperti kejadian sebenarnya. Ada yang menjadi “ayah”, “ibu” dan “anak-anak”.  Permainan dimulai dengan “kesepakatan” untuk bermain. Anak yang agak besar menjadi “ayah/papa”, dan “ibu”. Sedangkan anak-anak yang agak kecil menjadi “anak-anak” dalam keluarga kecil itu.
Setelah itu, keluarga itu mulai membuat rumah sebagai tempat tinggal mereka. ayah dan anak laki2 akan mencari alat-alat, bahan dan sarana untuk membangun rumah. Beberapa potongan kayu (suang), penutup rumah (atap) yang tak terpakai lagi, karung bekas (sebagai dinding), dan lain-lain. Sedangkan ibu dan anak-anak perempuan mulai mencari penggorengan (tacu), bahan makanan (ubi kayu, keladi, sayur-sayuran), membuat tempat memasak makanan (tungku).
Saat rumah dibangun dan selesai, “kaum perempuan” mulai melakukan tugasnya. Umumnya bahan makanan yang disiapkan adalah makanan “bohong-bohongan”, nasi diganti oleh pasir, sayuran diganti oleh daun-daunan, “piringnya” berasal dari daun pisang. Tapi terkadang makanan yang disiapkan, adalah makanan yang bisa dimakan.
Permainan ini tidak “mengenal” musim seperti jenis permainan lainnya. Permainan ini dimainkan mengikuti kemauan anak-anak. 

5.       Baku pica kalapa
permainan ini adalah permainan yang menggunakan buah kelapa sebagai alat permainan. Permainan ini juga mengenal waktu atau “musimnya”. Saat musimnya, anak-anak mulai mencari buah kelapa. Ada yang memanjat pohon kelapa, ada yang membeli dari penjual kelapa. Karena itulah permaianan ini “lebih banyak” dimainkan oleh anak-anak remaja. Setingkat SMP dan SMA, meski juga ada anak-anak SD, hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan buah kelapa, dengan cara yang “sulit” tadi.
Buah kelapa yang telah didapatkan kemudian di kupas, hingga “telanjang”. Jika sudah seperti ini, tinggal anak-anak mencari lawan. Jika telah mendapat lawan dan disepakati bermain, mereka akan bermain. Cara bermain permainan ini, sangat sederhana tak memiliki banyak aturan. Prinsip permainan ini adalah menguji kekuatan, kemampuan kulit kelapa. Area permainan ini bisa dimainkan dimana saja tapi lebih “baik” dimainkan di halaman kosong (kintal ). Kedua pemain yang telah siap, berdiri di tempat masing-masing, jarak antar kedua pemain 5-7 M. kedua pemain akan memegang/menggenggam buah kelapa dengan telapak tangan, saat aba-aba di mulai, secara bersamaan kedua pemain menggelindingkan “senjata” di atas bidang permainan (tanah), dan bertabrakan.
Pemenang ditentukan oleh hasil yang didapatkan dari tertumbuknya kedua buah kelapa. Jika buah kelapa salah satu pemain, retak atau pecah/terbelah, maka ia dianggap kalah, dan buah kelapanya menjadi milik sang pemenang. Jika belum ada buah kelapa yang retak/pecah/terbelah, maka diulang beberapa kali hingga mendapatkan “hasilnya”.
Permainan sering membawa “keuntungan” karena kelapa yang menjadi “hasil pertandingan” sering dibawa pulang dan digunakan oleh orang tua buat keperluan memasak sayuran atau membuat minyak goreng (minya kalapa)

6.      Rai manggustang (tebak buah manggis)
rai manggustang juga merupakan permainan yang sederhana. Bisa dikatakan permainan ini hanya tentang ketepatan/keakuratan dalam menebak jumlah daging (biji) buah manggustang atau buah manggis.
Pada musim buah manggis, anak-anak mengambilnya, selain buat makan juga dipakai untuk bermain permainan ini. Pada bagian bawah dari kulit manggis, ada semacam “kode” tentang banyaknya isi daging (biji) buah manggis. Kode ini berupa “ bunga teratai” dengan “helai-helai daun” yang memiliki jumlah tertentu. Untuk bermain, anak-anak “menghapus” kode itu, dengan cara di gosok. Bagian itu di gosok pada lantai yang kasar, agar kode itu menghilang. Jika telah hilang, maka buah manggis itu bisa di pergunakan.
Cara bermainnya sangat mudah, para pemain diminta menebak dalam satu kali kesempatan untuk menebak. Jika tebakannya benar, maka buah manggis itu menjadi miliknya. Seperti begitulah permainan rai manggustang atau tebak buah manggis
 
via : kaskus.co.id
7.       Lompat karet
maeng lompat karet  adalah permainan milik anak perempuan, meski sering juga dimainkan oleh anak laki-laki dan merupakan “pengembangan” dari maeng karet.
Gelang-gelang karet dirangkai (palateng) panjang dan umumnya hanya terdiri dari 1 buah karet yang dirangkai hingga panjang yang diinginkan, meski juga ada rangkap 2.
Permainan ini dilakukan oleh 2 kelompok atau bermain secara individu dan memiliki aturan yang sama.
Gelang-gelang karet yang panjang itu di pegang oleh 2 orang pemain yang direntangkan, dan pemain yang berhak bermain adalah pemain saat penentuan  pemain dinyatakan sebagai pemain pertama.
Pemain akan melompat dengan tinggi gelang karet yang dipegang tadi pada tinggi tertentu. Tinggi gelang karet dimulai dengan ukuran setinggi lutut, kemudian naik ke bagian pertemuan paha dan pinggang (kalir/kelir), kemudian pinggang, dada, telinga, atas kepala, dan selanjutnya menggunakan jingkal jari diatas kepala. Pada ukuran lutut, kelir, pemain yang melompat dilarang anggota badannya mengenai karet, jika itu yang terjadi, maka posisinya diganti oleh pemain kedua dan seterusnya. Pada ukuran tinggi gelang karet di bagian dada, pemain diizinkan untuk mengenai karet saat melompat, meski kadang-kadang dilarang juga (tergantung kesepakatan pemain), ada juga aturan potong, maksudnya adalah pemain menggunakan bantuan tangannya untuk “memotong” dan menurunkan tingginya gelang karet agar bisa dilewati saat melompat.
Jika permainan dilakukan secara tim, kesalahan yang dilakukan oleh anak buah, raja atau pemimpin tim itu wajib mengganti atau membayar kesalahan anak buahnya.
via : frenscorsmapat.wordpress.com

Penutup
Itulah sebagian permainan yang dialami oleh penulis, saat masa kanak-kanak hingga remaja, antara tahun 80an hingga awal 90an. Karena artikel ini adalah pengalaman masa kanak-kanak penulis, maka tentunya ada beberapa permainan yang dilupakan oleh penulis. Atau bisa juga dalam penceritaan tentang suatu permainan, ada beberapa bagian yang tak diceritakan, hal ini mungkin disebabkan karena cara pandang penulis dalam memahami permainan itu. Menimbang ketidaksempurnaan itulah, diharapkan kiranya ada orang lain, khususnya anak-anak negeri saparua, bisa menulis pengalaman mereka. menulis tentang permainan anak-anak dari perspektif mereka. jika itu dilakukan, tentunya semakin melengkapi uraian lebih mendalam tentang jenis-jenis permainan anak-anak negeri saparua dimasa itu, maupun masa belakangan atau berikutnya.
Dikesempatan ini, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada adik tersayang Ferdy Lalala, kakanda Polly Anakotta, Rolly Titaley, Jhonly Sahetapy, Herly Sahetapy, Fence Latupeirissa, Enest Simatauw, Kotje Novaria Waelauruw, atas data dan ingatan mereka tentang permainan-permainan yang dituliskan di atas.
Semoga artikel ini bisa mengulang kembali kenangan masa kecil kita. Semoga itu menjadi kisah yang tak terlupakan.

Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar