Rabu, 10 September 2025

Pertumbuhan yang dipaksakan: Perpajakan Negara di dalam dan di luar [Pulau] Seram, c. 1860-1920


(bagian 1) 

[Maarten Rowald Manse]

A.    Kata Pengantar

Pulau Seram di Maluku atau dalam tradisi lisan dikenal sebagai Nusa Ina [Pulau Ibu] tidak sepenuhnya dikuasai atau dikontrol oleh VOC dalam periode mereka [1605 – 1799]. Hanya di bagian pesisir dari pulau tersebut yang bisa dikuasai atau dikontrol, sedangkan sebagian besar wilayah lainnya, terkhususnya di wilayah-wilayah pegunungan lebih bersifat nominal semata. Situasi ini berlangsung hingga dekade ketiga abad ke-19, ketika Pemerintah Hindia Belanda mencoba menempatkan pejabat mereka di wilayah “pedalaman” Pulau Seram, meskipun tetap berada di pesisir, misalnya di Wahai, di pesisir utara Seram pada tahun 1828.

Barulah setelah tahun 1860an, Pemerintah lebih giat melakukan upaya-upaya dimaksud, dengan berbagai rintangan yang ditemui. Salah satu “program” dalam rangka upaya itu, adalah pemberlakuan pajak kepala. Tema khusus inilah yang menjadi kajian mendasar dari Maarten Rowald Manse dalam naskah thesis PhD-nya, yang berjudul Promise, Pretence and Pragmatism : Governance and Taxation in Colonial Indonesia, 1870-1940, yang dipertahankan di Universitas Leiden, Belanda, pada Juni 2021.

Naskah thesis ini terdiri dari 7 chapter [bab], dimana isi dari bab ke-7 yang berjudul  Coerced Improvement : Taxing within and beyond the state in Seram, c. 1860-1920 [halaman 299 – 330] inilah yang kami terjemahkan dan dimuat di blog ini. Tentunya, kami telah memperoleh izin untuk menerjemahkan bagian naskah thesis ini dari Doktor Maarten Manse sendiri, melalui surat elektronik tertanggal 8 September 2025. Kami mengucapkan terima kasih atas izin dan “kepercayaan” serta kebaikan hatinya agar tulisan berharga ini bisa diterjemahkan dan dibaca oleh banyak orang. Kiranya terjemahan ini tidak mengecewakan hatinya.

Pada terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan, beberapa ilustrasi berupa foto dan peta, selain yang sudah ada dalam naskah aslinya. Perlu diinformasikan bahwa pada bab ke-7 ini, catatan kaki dari sang penulis thesis berjumlah 164 catatan kaki, 2 foto, 2 tabel, dan 1 peta. Kiranya tulisan berharga dan bermutu ini, bisa bermanfaat untuk memahami “historiografi” kesejarahan kita, terkhususnya dinamika yang terjadi di Pulau Seram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

 

B.       Terjemahan

Foto ini, diambil sekitar tahun 1905 saat tur yang dilakukan oleh Mayor F.J.P. Sachse, “gubernur sipil” Seram Bagian Barata pada tahun 1903-1905, dengan sempurna melambangkan kolonialisme Belanda di ruang-ruang “tanpa negara”. Kita melihat empat tetua desa atau kepala nagari Nuniali, Sapalewa, Taniwel dan Rumah Soalb di Seram Barat (lihat peta 7.1), yang ditunjuk sebagai penguasa tidak langsung dalam pemerintahan kolonial Belanda. Mereka menyandang gelar-gelar asing seperti “patih” dan “orangkaya”, mengenakan jas dan topi Eropa, dan dianugerahi tongkat, sebuah tongkat dengan gagang emas atau perak, sedangkan “bangsawan” yang berpangkat lebih tinggi menempati posisi duduk, untuk menekankan perbedaan dalam status baru mereka diperoleh. Pakaian, gelar, dan perlengkapan baru ini konon mengekspresikan bentuk kekuasaan dan otoritas baru. Sebagaimana penguasa tidak langsung Seram yang dibenahi kembali, mereka memang demikian dianggap sebagai ikon perubahan, mewakili pemerintahan yang adil, perpajakan yang adil, dan pemerintahan yang resmi dan sah. Konon, hal-hal tersebut menandai era baru perdamaian (Pax Neerlandica), pembangunan dan perbaikan sosial, dijiwai dengan nada kolonialisme pemerintahan Belanda yang bersifat misionaris dan peradaban yang kuat pada awal tahun 1900-an. Namun para pria di foto ini tampaknya memberikan kesan yang agak terlantar. Hal ini merupakan simbol dari status dan fungsi mereka yang sebenarnya, yang, seperti akan ditunjukkan dalam bab ini, bertentangan dengan agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Di balik gambaran otoritas dan keagungan yang dibuat-buat ini, terdapat kenyataan nyata yang kontras dengan apa yang coba ditegaskan dalam foto tersebut. Realitas yang lebih berupa pemaksaan dibandingkan pemerintahan, kekerasan dibandingkan perdamaian dan ketenangan (rust en orde) dan pemerasan dibandingkan perpajakan.  

Bab ini membahas tentang batas absolut negara kolonial. Bab ini membahas bagaimana penaklukan kolonial di Seram digunakan sebagai proyek penggantian bentuk-bentuk “ritualisme adat” dan “keterbelakangan” dengan pemerintahan yang “beradab” dan bermoral. Namun, proses ini secara struktural terkendala oleh ketahanan masyarakat adat dan ketidakmampuan pemerintah sendiri. Pejabat kolonial secara brutal melakukan intervensi terhadap masyarakat lokal, dan berharap bahwa melalui aturan tidak langsung dan teknik administratif berupa prasasti dan dokumentasi, mereka dapat “mengubah fakta yang mereka catat”1, dengan menggunakan dokumentasi dan pengarsipan sebagai “teknologi aturan yang rumit” untuk mereproduksi masyarakat lokal,  sangat merupakan mesin negara yang menjadi sumbernya2.

Dalam hal ini, perpajakan, sekali lagi, disajikan sebagai bentuk administrasi pemerintahan yang paling kuat dan mendasar yang diperlukan untuk mengubah “subyek primitif' menjadi warga negara yang terkategorikan, rajin, dan mudah diatur”. Pajak dipandang sebagai sebuah alat untuk memperluas batas kolonial dan mendukung gagasan kolonial tentang perbaikan sosial. Namun, perlawanan dan penghindaran yang terus-menerus membuat negara berada pada batas kapasitasnya, dan pengaruh dokumentasi dan administrasi tetap terbatas pada kertas yang menjadi dasar penulisannya. Di Seram, dan daerah-daerah serupa di Indonesia, banyak warga, terutama mereka yang tinggal di daerah pinggiran dan pegunungan, seringkali berhasil tetap berada di luar jangkauan pemerintah kolonial. Mereka menolak untuk diperintah, dipimpin, diperiksa, diatur, diindoktrinasi, dikhotbahkan, didaftarkan, dicentang, diperkirakan, dinilai, dikecam dan diperintah, dan dengan sengaja berusaha melarikan diri dari negara3. Seperti pendapat Scott, penghindaran teknik administratif, pemukiman desa, budaya tertulis, monoteisme, dan pertanian terpusat penting sebagai strategi untuk mencegah intrusi pembentukan negara dan menjaga agar tidak ada pemerintahan di Asia Tenggara; tetap tidak diketahui dan tidak terpetakan berarti tetap tidak dikenai pajak4. Dampaknya adalah adanya paksaan dari para pemimpin yang ditunjuk dan didukung oleh militer Belanda, yang pada kenyataannya merupakan strategi utama yang membuat pemerintahan tidak seimbang, dan sekali lagi menekankan ketidakmampuan pemerintah untuk bertindak berdasarkan peraturannya sendiri. 

Secara geografis, kita kembali tiba di Maluku Tengah, tempat kita memulai studi kasus pertama di Ambon, namun secara sosio-politik perbedaannya sangat besar. Seram menunjukkan keganjilan pemerintahan kolonial sejelas mungkin, dan menggambarkan bagaimana sistem fiskal kolonial Belanda hanya berfungsi di bawah kedok pemerintahan tidak langsung dan sikap angkuh.

 

Seram: ruang tanpa kewarganegaraan

Seram merupakan pulau terbesar di Maluku Tengah (lihat peta 3.1), dan disebut sebagai pulau asal atau induk (Nusa Ina) dalam budaya Maluku. Letaknya yang bergunung-gunung menyediakan medan yang tak kenal ampun bagi para penjelajah, tentara, dan pembangun negara. Mayoritas bagian dalam pulau ini tetap kosong di peta Eropa, dan tidak tersentuh oleh pemerintahan kolonial hingga akhir abad ke-19, berbeda dengan wilayah pesisirnya, pulau-pulau tetangganya, Ambon, serta pulau-pulau Lease dan Banda, yang semuanya pernah mengalami kehancuran, konsekuensi gelap dan mendalam dari monopoli rempah rempah Belanda5. Hanya sisi barat pulau ini, khususnya semenanjung Huamual (Hoamoal), yang pernah terkena pengaruh kolonialisme Eropa dan produksi rempah-rempah, hingga pulau tersebut dihancurkan dan dikosongkan secara kejam pada abad ke-17 perang rempah-rempah abad ini6. Wilayah lain di pulau ini sebagian besar diabaikan hingga paruh kedua abad ke-19, ketika peperangan lokal dan pergolakan sosial dalam interaksi antara berbagai kelompok menarik perhatian Belanda. Seram baru dijajah secara aktif pada masa kejayaan imperialisme Belanda yang agresif pada abad ke-20. Khususnya di bawah pemerintahan Van Heutszc, dorongan ekspansionis yang ambigu dan seringkali saling bertentangan untuk melakukan konsolidasi politik dan pencarian sumber daya kekaisaran semakin diintegrasikan ke dalam agenda aktif imperialis dan peradaban etis, yang menandakan berakhirnya kemerdekaan bagi banyak wilayah yang belum terjajah. wilayah di Indonesia Timur dan penegakan otoritas dan moralitas Belanda, dengan cara militer yang paling keras7. Motivasi kekaisaran di Seram sebagian besar ditandai oleh keprihatinan moral mengenai kembalinya kekerasan dan keinginan untuk “perbaikan sosial”, sementara wilayah tersebut dianggap kurang memiliki kekuatan komersial dan sumber daya dan medan yang sulit menjadikannya tidak menarik secara ekonomi. Dengan menggunakan kekuatan militer, Belanda akan membangun pemerintahan kolonial mereka, membuka jalan untuk memproyeksikan skema idealis imperialisme yang baik hati pada masyarakat Seram dan mengganti apa yang mereka anggap sebagai “primitivisme” dengan “masyarakat beradab” yang mengharuskan dan mereproduksi pembayaran pajak sebagai alat untuk reorganisasi sosial.

 

Selera non-negara: pandangan dan gagasan

Secara historis, terdapat perbedaan penting antara komunitas pesisir (atau nagari) di Seram, yang merupakan rumah bagi komunitas campuran penduduk lokal dan migran yang telah beradaptasi terhadap pengaruh perdagangan luar negeri, politik dan agama, dan suku Alfur atau Alifuru, yaitu penduduk daerah pedalaman yang jauh lebih terpencil, yang bergunung-gunung, sulit ditembus, dan berhutan lebat8. Meskipun masyarakat pesisir telah mengadopsi gaya hidup yang “teratur” berupa pertanian berpindah, pajak, dan monoteisme9, suku Alfur menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Kondisi geografis Seram tidak cocok untuk penanaman padi skala besar, dan kerajaan berbasis sawah pada umumnya di Asia Tenggara, dengan bentuk perpajakan dan pemerintahan yang sesuai, tidak pernah muncul. Sebaliknya, suku Alfur merupakan masyarakat yang heterogen dan kompleks, terdiri dari banyak kelompok etnis (“suku”) yang berbeda dan hidup sebagai petani dan pemburu yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, suku Alfur dapat dikenali sebagai contoh kecil dari kelompok masyarakat pegunungan dan pinggiran yang dalam kosa kata Scott dipahami, “seni tidak diperintah”; strategi yang disengaja untuk menghindari pemukiman tetap dan catatan tertulis serta administrasi untuk mencegah pembangunan negara dan tetap tidak dikenakan pajak serta bebas dari semua beban lainnya10. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pejabat kolonial, suku Alfur adalah “bangsa purba”, tidak “berdiam” di nagari (desa) mereka tetapi “bebas berkeliaran di sekitar […] tanah mereka” sebagai “pengembara ‘semi-nomaden’” yang membuatnya sangat sulit untuk mengatur mereka11. Oleh karena itu, mereka dipandang oleh pejabat kolonial sebagai orang yang tipikal “penduduk asli yang malas” yang “tidak disiplin”, “primitif” dan terbelakang, yang jelas-jelas membutuhkan bimbingan pemerintahan kolonial Belanda untuk memfasilitasi partisipasi mereka dalam perekonomian global. Khususnya keyakinan non-monoteistik dan kebiasaan pengayauan mereka meningkatkan kekhawatiran Belanda mengenai penempatan suku Alfur ke dalam kerajaan mereka, dan dipandang sebagai hambatan utama terhadap upaya kolonial untuk “memperbaiki” gaya hidup suku Alfur dan meyakinkan banyak pejabat bahwa untuk saat ini suku Alfur mereka “tidak rentan dan belum matang untuk pemerintahan modern”12. Hal ini juga membantu tetap menghidupkan perbedaan antara “yang beradab dalam negara dan tidak beradab dalam ruang non-negara” yang penting bagi klaim Belanda atas superioritas sosiokultural dan legitimasi kekuasaan aturan mereka. Hal ini menjelaskan obsesi Belanda dalam membedakan antara penganut monoteis  “pesisir yang telah beradab” dan “animis pegunungan” yang menganut paham monoteis yang bersifat kolonial. Pada akhirnya, hal ini melegitimasi intervensi Belanda untuk “melindungi” orang “pesisir” dari orang “pegunungan”, yang pada akhirnya mendorong penetrasi kolonial yang lebih dalam ke jantung wilayah Seram. Akibatnya, seperti daerah-daerah jajahan sebelumnya, Seram menjadi sasaran klaim fiskal kolonial, dan karenanya diharapkan untuk mendanai proses kolonisasinya sendiri, sebaiknya melalui pajak penghasilan.

Alfur tentu saja mempertahankan konsep dan narasi mereka sendiri tentang identitas dan relasi dengan dunia luar. Menurut G. Benjamin, “Karakter masyarakat suku – khususnya di Asia – dibentuk oleh kedekatan peradaban”; Identitas kesukuan tidak ditentukan oleh kondisi sosial, ras, atau etnis, namun oleh tindakan sosial: tindakan tinggal di wilayah geografis yang terpencil dan tinggal di luar negara13. Menurut Scott, masyarakat pegunungan yang tidak memiliki pemerintahan paling baik dipahami sebagai representasi dari masyarakat yang “reaktif dan tidak memiliki kewarganegaraan yang mempunyai tujuan dan telah beradaptasi dengan dunia negara namun tetap berada di luar kendali mereka”14. Memang benar bahwa suku Alfur berhubungan dengan dunia di sekitar mereka, karena Seram merupakan jalur perdagangan yang sudah lama dilalui sebelum penjajahan Eropa, mulai dari Ternate hingga ke wilayah Selatan Maluku dan dari Papua hingga Sulawesi dan Jawa15. Suku Alfur berpartisipasi dalam kegiatan komersial dan mengikuti gelombang intervensi kolonial yang penuh kekerasan dan monopoli sistem perdagangan masyarakat adat. Namun, berbeda dengan beberapa komunitas migran pesisir, suku Alfur tidak dibatasi oleh pertanian atau segala bentuk kerja paksa dan budidaya, para pejabat kolonial berpendapat bahwa pulau tersebut selalu mempertahankan “alam yang relatif murni”16. Kemerdekaan ini telah membentuk hubungan politik antara kepala daerah dan pemerintah metropolitan sejak saat itu17. Oleh karena itu, cara hidup masyarakat Seram harus dipandang berhasil dalam hal mempertahankan diri sepanjang sejarah. Melihat lebih dekat situasi masyarakat adat di Seram pada pertengahan abad ke-19 (sebelum kolonisasi penuh) membantu kita memahami secara tepat dampak dari proses pembiasaan dan normalisasi negara pada abad ke-20.

 

Kehidupan bahagia dan riang: stereotip kolonial

Banyak hal yang diketahui tentang gaya hidup dan organisasi politik suku Alfur tersedia melalui laporan kolonial dan karya semiantropologi yang ditulis oleh pejabat kolonial. Pengetahuan ini baru diperoleh setelah intervensi militer Belanda dan oleh karena itu sudah sedikit terdistorsi oleh kolonialisme. Suku Alfur digambarkan oleh Belanda sebagai masyarakat yang “bahagia dan riang” yang “tidak memikirkan hari esok”18, “para pemburu”, yang hidup dalam “ketenangan hutan yang dalam” sebagai “orang Bohemia di Maluku”19. Penggambaran Rousseauan tentang kesukuan yang riang – sebuah genre kolonial orientalis yang khas20 – tampaknya bertentangan dengan aspek-aspek yang dianggap lebih “kekerasan”, “anarkis”, “kesukuan” dan “tidak higienis” dari masyarakat. Gaya hidup Alfurs, juga berasal dari sumber yang sama21. Faktanya, keduanya dianggap sebagai gejala “keterbelakangan” atau “primitif” yang umum, yang oleh Belanda dianggap berasal dari berbagai masyarakat pegunungan di Indonesia.

Suku Alfur memelihara perekonomian rezeki berdasarkan perburuan, pengumpulan dan penanaman sagu skala kecil22. Akses terhadap ladang sagu diatur oleh hubungan kekeluargaan, tergantung pada pernikahan, usia dan kedudukan sosial, begitu pula hubungan (properti) di dalam dan di antara masyarakat pedalaman nagari Alfurs. Seperti di Ambon, nagari ini terdiri dari berbagai marga yang relatif mandiri dan menganut kepemimpinan adat seorang pemimpin nagari (kepala nagari), yang biasanya mengaku sebagai keturunan pendiri desa dalam mitos dan bertindak sebagai wakil desa kepada dunia luar dan sebagai penengah dalam masalah hukum adat dan perselisihan antar marga di desa23. Hubungan sosial, kekeluargaan, dan harta benda di dalam dan di antara nagari ditentukan berdasarkan perkawinan, usia, dan agama, serta dipelihara melalui pertukaran hadiah-hadiah seremonial24. Nagari Alfur berinteraksi dalam berbagai bidang politik, struktur semi-etnis. Di Seram Barat, ada dua kelompok “suku” yang secara etnis diakui oleh Belanda: suku Alune (di bagian barat laut Seram Barat) dan kelompok Wemale yang dianggap “lebih primitif” (di bagian tenggara Seram Barat dan Tengah; lihat peta 7.1)25 Mereka masing-masing mendiami daerah aliran sungai Eti, Sapalewa dan Tala, tiga cabang sungai yang mengalir dari gunung Nunusaku, tempat asal muasal seluruh penduduk Maluku, dan terpisah dalam urusan sosial26. Kelompok ini dan kelompok lain di Seram mempunyai hubungan dekat yang ditandai dengan interaksi dan pertukaran dalam aliansi permusuhan dan persahabatan yang berubah-ubah, dan tidak tinggal di wilayah yang dibatasi batasnya secara ketat27. Di Seram Bagian Barat, komunitas adat nagari terdiri dari beberapa luma inai (“rumah besar”) yang terdiri dari unit silsilah tertentu. Seram Tengah dihuni selama abad keenam belas hingga kesembilan belas oleh kelompok imigran dari berbagai latar belakang budaya. Suku-suku ini berkembang menjadi unit-unit yang disebut ipan, dengan klaim sebagai keturunan dari Malaka atau bahkan Semenanjung Arab28. Soa, kelompok marga di Ternate dan Ambon (lihat Bab 4d), tidak ada di Seram sampai pemerintah kolonial mulai melakukan pengelompokan luma inai di bawah kepala soa yang baru diangkat pada abad ke-20 (lihat di bawah)29, yang ditempatkan di bawah pengawasan langsung berbagai kepala keluarga, klan, atau provinsi30

Alternatif negara: kakean dan pela

Pembagian konstitusional lainnya antara nagari didefinisikan melalui pertemuan kelompok leluhur atau asal usul atau kompleks yang disebut Patasiwa dan Patalima. Pengorganisasian masing-masing nagari berkaitan dengan perangkat sosiokultural, mitos asal usul, ritual, agama, dan perbedaan adat lainnya yang serupa namun spesifik31. Pembagian ini berkaitan dengan pengorganisasian nagari menjadi ikatan politik yang lebih besar yang terlibat dalam peperangan terus-menerus, seperti yang dianggap sebagai Patasiwa dan Patalima menjadi musuh ritual satu sama lain, dan mengikuti batas geografis juga. Mayoritas laki-laki Patasiwa bercirikan memakai tato di dada berbentuk salib hitam. Mereka disebut Patasiwa Hitam (black) sedangkan mereka yang tidak mempunyai tato disebut Patasiwa Putih (white)32.

Tato ini menunjukkan keanggotaan dalam apa yang disebut kakean, sebuah “masyarakat” atau “persaudaraan” maskulin di Seram Barat, di mana semua anak laki-laki Patasiwa Hitam diinisiasi dalam ritual terpencil yang diperlukan untuk mencapai kedewasaan. Kakean bertindak sebagai perkumpulan regional yang bertujuan untuk melanjutkan penghormatan terhadap nenek moyang spiritual bersama33. Ritual Kakean bersifat rahasia dan pelanggaran terhadap adat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap adat34. Pengayauan sebagai ritual pembunuhan dikoordinasikan oleh kakean, tunduk pada peraturan khusus dan penting bagi laki-laki untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi35. Meskipun siapa pun yang berasal dari garis keturunan lain dapat diserang, berapa pun usia atau jenis kelaminnya, bentuk-bentuk hubungan darah tertentu akan terlindungi dari serangan. Mekanisme seperti ini mempunyai fungsi perang dan perdamaian yang penting36. Seram Bagian Barat khususnya merupakan masyarakat yang terpecah belah yang terdiri dari berbagai kelompok nagari yang mengelola perekonomian subsisten mereka sendiri dan terlibat dalam aliansi yang berubah-ubah untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan bantuan ekonomi bila diperlukan.

Pela, aliansi nagari yang muncul di Ambon sebelum kolonialisme Belanda (lihat Bab 3e), juga memiliki arti yang sama. Berdasarkan gagasan serupa tentang “persaudaraan sedarah”, mereka juga melintasi batas-batas agama dan mewajibkan nagari yang terlibat untuk saling membantu dalam melindungi satu sama lain37. Meskipun tidak lazim di Seram sendiri, ada bukti bahwa beberapa nagari Seram terlibat dalam ikatan pela dengan nagari di Ambon, mungkin sebagai respons terhadap masuknya penjajah38. Pela sudah ada sebelum kedatangan bangsa Eropa, namun berkembang menjadi jaringan pertahanan dan bantuan hanya pada masa kolonialisme39. Meskipun bukan merupakan kekuatan politik yang koheren dan terintegrasi, hubungan ekonomi timbal balik semacam ini dan aliansi politik dapat dipahami sebagai struktur alternatif terhadap entitas politik yang lebih besar dan tersentralisasi atau negara pemungut pajak. Jaminan politik dan sosial diatur di Seram bukan melalui kontrak sosial perpajakan yang diberlakukan oleh negara, namun melalui aliansi desa dan penggabungan tatanan politik-ritual.

Penting untuk diingat bahwa Seram, seperti yang ditemui oleh Belanda pada akhir abad kesembilan belas, merupakan sisa dari interaksi, pertukaran dan peperangan yang berfluktuasi selama tiga abad di antara komunitas adat yang berubah-ubah di wilayah pedalaman dan pesisir, yang berada di bawah tekanan yang semakin besar dari kehadiran Belanda yang merambah. Meningkatnya fungsi kakean, peperangan, pengayauan dan jaringan pela, koordinasi politik dan meredakan ketegangan merupakan hasil dari interaksi dan membangun ketegangan tersebut. Namun para pejabat kolonial semakin khawatir dengan apa yang mereka anggap sebagai “permusuhan” lokal, perang, dan kampanye pengayauan yang berkelanjutan. Mereka berargumentasi bahwa pemantauan hal-hal tersebut sudah menghabiskan banyak waktu dan uang bagi pemerintah karena menyebabkan ketidakstabilan di wilayah tersebut. Para pejabat semakin sibuk menanggapi urusan yang berkaitan dengan dugaan perilaku kekerasan Alfurs40, yang pada akhirnya memberikan pembenaran atas intervensi militer Belanda.

Namun sebelum tahun 1860-an, kecuali untuk menangkis serangan yang ditargetkan di pantai dan melawan dugaan pembajakan atau perekrutan sesekali untuk ekspedisi hongi, Belanda tidak punya banyak alasan untuk terlibat dengan Alfur. Pada saat itu, Seram secara resmi diperintah sebagai bagian dari “Karesidenan Ambon”, namun kecuali beberapa orang, biasanya posthouders Indo-Eropa (“post-holder”, penjaga atau penjaga pos-pos kecil Belanda yang kadang-kadang dibentengi), diangkat di wilayah pesisir Seram sejak abad ketujuh belas dan seterusnya, untuk menjaga hubungan dengan nagari pesisir, hanya sedikit orang asing yang hadir di pulau itu. Faktanya, hingga akhir tahun 1910-an, Seram masih dipandang sebagai daerah yang kekurangan sumber daya dan peluang ekonomi41. Lalu apa yang berubah selama dan setelah tahun 1860-an?



7.2 Pesisir versus pegunungan

Seperti dalam kasus Aceh, keputusan-keputusan penting mengenai perluasan wilayah “dibuat di Batavia, bukan di Den Haag, dan demi alasan lokal”42. Kolonisasi di Seram sangat berkaitan dengan gagasan superioritas Eropa dan dampak “peradaban” dari pemerintahan kolonial di wilayah tersebut. Karena developmentalisme menjadi narasi yang melegitimasi di sebagian besar wilayah nusantara yang tanahnya subur, tenaga kerja ada dimana-mana, dan sumber daya serta peluang berlimpah seperti di Jawa, Biliton, atau Sumatra Timur, Belanda tidak bisa begitu saja mengabaikan wilayah lain yang peluang ekonominya lebih kecil. Pada dasarnya Belanda harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kerajaannya baik hati dan bertanggung jawab di seluruh pelosok nusantara; Bagian yang kosong di peta tidak lagi diterima, dan beban orang kulit putih berlaku untuk semua orang di nusantara tanpa memandang aset ekonomi mereka. Rasa kewajiban moral ini harus dipertahankan bagaimanapun caranya, terutama karena kolonialisme peradaban tidak menerima penyimpangan atau pengecualian sosial. Dengan kata lain, mereka tidak toleran terhadap masyarakat yang menjalani gaya hidup alternatif di luar negara kolonial, karena hal itu membahayakan mitos kemajuan sosial mereka. Oleh karena itu, bahkan Alfur yang “tidak dapat diatur” pun diharapkan untuk dimasukkan ke dalam negara pajak kecil yang didanai sendiri di bawah “pengawasan yang membangun” tata kelola fiskal Belanda.

 

Rumor perpajakan

Sekitar tahun 1860, perang dimulai di sekitar Teluk Elpaputih di Seram Barat, yang disebabkan oleh dugaan bahwa nagari Tananahu menolak membayar kepada nagari Sahalau persembahan perdamaian atau harta (dalam hal ini berarti “properti” atau hadiah sebagai kompensasi) berupa gong dan piring keramik43 sebagai kompensasi karena diduga telah membocorkan rahasia kakean44. Hal ini langsung menarik perhatian Belanda, yang melihat perang tersebut sebagai konfirmasi atas apa yang mereka anggap sebagai “kebiasaan” suku Alfur yaitu penjarahan rutin, peperangan dan pengayauan. Mereka menganggap motivasi perang ini, yang diklaim sebagai akibat dari perselisihan kakean, adalah sebuah “mitos” yang dihasut oleh seorang kepala suku yang telah digulingkan dan membalas dendam dengan menimbulkan konflik di antara suku Alfur di Seram Barat45. Sachse, “gubernur sipil“ yang disebutkan di atas, percaya bahwa perang tersebut disebabkan oleh perselisihan yang terus-menerus mengenai perbatasan dusun, daerah penangkapan ikan dan perburuan46. Namun mitos dan fakta tidak mudah dipisahkan di Seram. Selain itu, pecahnya kekerasan juga merupakan contoh bagus dari pernyataan di atas, bahwa kehadiran Belanda yang melanggar batas tidak dapat diabaikan dalam ketegangan yang muncul, yang pada tahun 1865 berpuncak pada pemberontakan besar-besaran yang diikuti oleh seluruh nagari Patasiwa. Bukan suatu kebetulan bahwa pemberontakan ini terjadi bersamaan dengan pemberlakuan pajak nagari di Ambon (lihat Bab 4). Menurut Gubernur Maluku, N.A. Th. Arriëns (menjabat 1864-1866), berita tentang hal ini disebarkan melalui jaringan pela, oleh masyarakat dari berbagai nagari yang menyatakan kekhawatirannya bahwa pemerintah kolonial akan segera mengenakan pajak serupa kepada mereka47. Kepala nagari Nunialif menulis surat kepada Asisten Residen di Ambon “bahwa rakyatnya terpengaruh oleh desas-desus bahwa sebuah kantor akan didirikan, pajak akan dipungut, dan sawah akan ditanami” untuk membangun semacam skema penanaman padi paksa48. Menurut Arriëns, hal ini adalah salah satu upaya yang paling gigih dari ketakutan suku Alfur49. Karena penanaman padi secara tradisional memungkinkan raja-raja Asia Tenggara untuk secara berkelanjutan menempatkan banyak orang di suatu wilayah kekuasaan, maka masyarakat negara agraris yang dibentuk oleh penanaman padi monokultur lebih mudah untuk diawasi dan dikenakan pajak50. Oleh karena itu, Alfurs berhak mengaitkan penanaman padi dengan kedatangan negara dan dengan teknik pendaftaran kadaster dan perpajakan yang metodis. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegah hal tersebut. Kepala soa Tanunug menyatakan bahwa rakyatnya

“akan mengungsi ke pegunungan sampai pemerintah berdamai [...] dan menyerang seluruh nagari di Seram jika pemerintah bermaksud mendirikan pemukiman di Nuniali dan Kaibobo […]”51.

 

Arriëns tidak punya pilihan selain menyerah. Meskipun Batavia mengklaim Seram sebagai wilayah kolonial setelah mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan52 – pejabat kementerian di Den Haag bahkan mulai menekankan pentingnya “pemerintahan mandiri” di pulau tersebut – pasukan ini tidak siap untuk mengendalikan apa yang terjadi di pedalaman. Seram tetap menjadi “daerah di mana […] rumor mengenai perpajakan telah memberikan dasar yang cukup untuk pemberontakan”53. Gubernur Arriëns menyarankan untuk melawan “desas-desus” yang terus-menerus ini dengan membiarkan suku Alfur tidak dikenai pajak untuk sementara waktu dan menggunakan “cara selembut mungkin untuk memulihkan pajak.” -menumbuhkan rasa kagum dan hormat terhadap kekuasaan Belanda.”54

 

Lingkaran perang dan perdamaian

Belanda tentu saja tidak akan mengakui bahwa perlawanan Alfur ditujukan pada ancaman pembentukan negara itu sendiri. Sebaliknya, mereka mengaitkan kerusuhan sosial dengan dugaan sifat kekerasan suku Alfur dan interaksi politik antara nagari pesisir dan pegunungan. Arriëns misalnya menuduh masyarakat nagari pesisir menyebarkan kebohongan dan menghasut pegunungan Alfur di Seram Barat. Dan menurut Residen J.G.F. Riedel (menjabat 1880-1883),

“Suku Alfur di pedalaman Seram […] hidup dengan asumsi bahwa penduduk pesisir dapat merampok mereka tanpa hukuman dan sepengetahuan otoritas Eropa. Oleh karena itu, mereka menjalankan keadilan main hakim sendiri dengan berburu kepala. […] Oleh karena itu, perburuan di antara suku Alifuru di Seram terjadi sebagai bentuk balas dendam”55.  

 

“Penduduk pesisir yang licik”, Riedel menegaskan, memonopoli pengetahuan tentang suku Alfur karena belum ada peta wilayah pedalaman dan hanya sedikit orang yang mengetahui hal tersebut, bersedia menjadi kuli dan pemandu karena takut diburu orang. Masyarakat pesisir ini kemudian menyesatkan pemerintah kolonial dan menodai reputasi Alfur dalam upaya mendapatkan dukungan Belanda56. Tidak dapat disangkal, masyarakat pesisir memberikan akses yang lebih besar kepada pemerintah terhadap masyarakat Alfur, dan karenanya, sampai batas tertentu, merupakan ancaman. Riedel menyarankan penunjukan lebih banyak posthouder, yang sebagian besar, menurutnya, adalah sebagian dari keturunan lokal dan oleh karena itu akrab dengan budaya Alfur, yang akan membantu memperoleh pengetahuan dan meningkatkan hubungan dengan Alfur57. Namun penerus Riedel, D. Heijting (menjabat 1883-1891), tidak setuju. Dia menganggap balas dendam hanya pada kesempatan yang jarang terjadi sebagai sumber pemberontakan yang disertai kekerasan. Sebaliknya, ia menganggap perang tersebut merupakan ekspresi dari keserakahan umum dan kerinduan akan kekerasan yang melekat pada “sifat liar” keluarga Alfur. Ia mencari penyebab terjadinya perang sebagai akibat dari tidak membayar harta, yang diakibatkan oleh “pertengkaran awal yang tidak diketahui lagi penyebabnya”, dan rasa frustrasi atas hambatan kolonial dalam menyelenggarakan perayaan kakean58. “Perayaan” ini terkait dengan kampanye pengayauan, yang diadakan sebagai pembalasan atas kegagalan pembayaran harta, yang sering kali dipungut sebagai hadiah kompensasi untuk kampanye pengayauan. Hal ini, menurut Heijting, menyebabkan perkembangan pengayauan dan kegagalan pembayaran harta yang tiada habisnya. Sebuah siklus, ia setuju dengan Riedel, yang hanya dapat diputus dengan menunjuk lebih banyak pejabat Belanda, untuk membujuk para kepala saniri dan nagari agar menerima perdamaian59.

Para pengamat kolonial Belanda biasanya menganggap kakean sebagai mesin perang yang terus-menerus, dan merupakan elemen sentral dalam perang. perlawanan terhadap pemerintahan kolonial60. Sachse menganggapnya sebagai sumber perpaduan agama, sosial-politik dan ritual61. Para pendeta yang cerdik (mauweng), menurutnya, menggunakan ikatan kakean untuk memperluas pengaruh mereka dan melawan Kristenisasi serta perluasan otoritas Belanda62. Ia menggambarkan situasi di Seram sebagai situasi di mana

“pembunuhan dan pembantaian tidak disengaja merupakan urusan sehari-hari […] penduduk pegunungan Alfur melakukan teror di sepanjang pantai dan dari waktu ke waktu menembaki perahu-perahu para posthouders […] Strategi pemerintahan di Seram ada waktu untuk melakukan perdamaian terus-menerus di antara suku-suku […] sementara penduduk pegunungan dipuaskan dengan hadiah.”63

 

Semua ini, tambahnya, terjadi “di bawah asap Ambon […] tanpa konsekuensi apa pun”64. Pada awal abad ke-20 , Belanda “menemukan” bahwa para tetua kakean mempunyai kekuasaan untuk membentuk Saniri Tiga Air (“Dewan Tiga Sungai”; Eti, Tala dan Sapalewa), dewan antar-nagari terpenting di Seram65. Hanya mereka yang diinisiasi ke dalam kakean yang diperbolehkan menghadiri Saniri ini. Awalnya, para pejabat kolonial merangsang penyelenggaraan pertemuan-pertemuan saniri karena pertemuan-pertemuan tersebut jarang terjadi dimana sejumlah kepala suku Alfur berkumpul dan dapat diawasi, namun para pejabat semakin yakin bahwa saniri telah menjadi “kendaraan bagi kakean” yang melaluinya “permusuhan agama berubah menjadi menjadi perselisihan politik” (Sachse, 1922:138)66. Pertemuan saniri dan perayaan kakean sejak saat itu ditentang secara aktif67. Pengayauan secara resmi dilarang oleh pemerintah kolonial pada tahun 1864, namun dibutuhkan waktu hingga abad ke-20 sebelum pemerintah kolonial melarangnya. cukup kuat untuk menegakkan larangan ini68.

Para pejabat Belanda tampaknya telah berusaha untuk memisahkan antara kekuatan duniawi, politik, dan agama, serta spiritual dalam masyarakat yang tidak memiliki batasan yang jelas antara hal-hal tersebut. Pembayaran harta dan pengayauan merupakan instrumen politik perang dan perdamaian, yang dilengkapi dengan dimensi ritual keagamaan penting yang mencerminkan politik antar-nagari69. Hal ini disimbolkan dalam baileo, tempat pertemuan para saniri intra-nagari untuk diskusi politik dan adat. urusan. Di masa lalu, perburuan kepala diperlukan untuk pengudusan ritual tersebut70. Tanpa penerapan ritual yang sesuai, tidak akan ada titik temu bagi pengorganisasian politik. Tanpa melaksanakan ritual yang sesuai, tidak akan ada landasan bersama bagi pengorganisasian politik. Belanda menyadari hal ini dan sering mencoba menerapkan ritual untuk struktur politik mereka di seluruh Indonesia. Namun di Seram, ritual tersebut bertentangan dengan negara kolonial. Jalinan saniri dan kakean menyimbolkan perlunya suku Alfur untuk menjaga persatuan meskipun ada banyak perpecahan di bawah ancaman ekspansi kolonial yang kian besar71. Tidak adanya pembayaran harta dan meningkatnya pengayauan, yang ditandai oleh para pejabat kolonial pada abad kesembilan belas, mungkin merupakan hal yang penting. menyediakan mekanisme untuk menyalurkan ketegangan lokal dan melanjutkan “kekerasan” untuk mencegah negara72. Dengan berpegang pada landasan spiritual-politik masyarakat mereka, seperti yang diberikan oleh kakean, suku Alfur melegitimasi dan menjelaskan apa yang dianggap oleh orang luar seperti orang Belanda sebagai “kekerasan yang tidak masuk akal”. Persembahan kakean dan harta selalu memberikan alasan yang sah untuk terjadinya perang – tidak terkecuali perang Elpaputih – yang bahkan diamati dengan lebih bersemangat dan instrumental, sebagai balasan terhadap intervensi Belanda. Hal ini membantu keluarga Alfur untuk mempertahankan dan melanjutkan fondasi sosial-spiritual-politik masyarakat mereka, dan mencegah masuknya negara, baik dari luar maupun dari dalam73. Oleh karena itu, institusi-institusi sosial yang coba dibatasi oleh Belanda semakin ditaati ketika mereka mulai melakukan intervensi terhadap mereka.

Orang Belanda memahami bagaimana politik dan agama bercampur, namun mereka tidak memahami bagaimana ikatan ini semakin kuat karena kehadiran mereka yang semakin meningkat. Mereka sangat sensitif terhadap apa pun yang, dalam kerangka kesuksesan sosial mereka yang sempit, gagal memenuhi standar ‘modernitas’ mereka, sedangkan kakean justru sebaliknya. Bagi mereka, kakean adalah puncak dari ‘kesukuan’ dan ‘primitif’ orang Maluku, sebuah lembaga yang memusuhi “peradaban dan agama Kristen”, yang menghalangi reformasi kolonial. Mereka semakin bertekad untuk menghapuskannya sepenuhnya74. Paradigma kolonial mengenai kekerasan dan ketidakstabilan masyarakat adat sangat melekat pada keyakinan ini, dan harus dilihat dalam konteks kebutuhan kedaulatan kolonial yang melegitimasi dirinya sendiri untuk menjaga “ketertiban, perdamaian dan ketenangan”. Sekitar tahun 1900, didukung oleh persaingan kolonial yang sengit di Asia Tenggara, Belanda merasa harus memperluas kendali mereka atas wilayah Indonesia untuk menyempurnakan kedaulatan politik mereka di seluruh nusantara dan untuk “membuktikan” hak mereka untuk memerintah, dengan mengambil sikap tegas terhadap kekerasan masyarakat adat dan secara proaktif melindungi kesejahteraan dan keselamatan umum subjek mereka (masa depan). Kegagalan negara untuk mengendalikan kekerasan yang “terlarang” atau yang tidak direstui oleh negara di wilayah yang diproklamirkannya akan mendiskualifikasi legitimasi dan hak yang diproklamirkan sendiri untuk memaksakan norma-norma dan lembaga-lembaganya kepada masyarakat, karena kegagalan penguasa adat dalam melakukan hal tersebut adalah hal yang mendiskualifikasi negara tersebut. Mereka75. Dengan tetap berada di luar negara dan melakukan pengayauan, suku Alfur tidak hanya mendiskualifikasi diri mereka di mata Belanda jika dibandingkan dengan standar peradaban Eropa, namun juga menimbulkan ancaman bagi kelangsungan kerajaan Belanda. Jadi pada akhirnya, kekerasan malah menarik perhatian negara kolonial, bukannya menolaknya.

Intervensi kolonial, jelas Heijting, memerlukan investasi yang jauh lebih besar pada kekuatan administratif dan militer lokal. Untuk mendanai ekspansi tersebut, pajak diperlukan, dan, karena dogma desentralisasi politik fiskal kolonial menyatakan bahwa semua orang harus menanggung biaya proses kolonisasi dan administrasi mereka sendiri, pajak-pajak ini perlu dipungut secara lokal. Namun, seperti yang ditekankan oleh Direktur Kunemanh (Administratur Dalam Negeri) dan E.A. Roversi (Departemen Keuangan, menjabat pada tahun 1887-1893) hanya “orang asing pedalaman” di pesisir Seram yang dianggap “siap” untuk dikenakan pajak dengan “cara modern”, dan tentu saja orang Alfur tidak76. Perang di dalam dan sekitar Teluk Elpaputih terus berlanjut, dan pada tahun 1884 Posthouder Amahai, L.A. van Gentj (menjabat 1882-1902) (lihat peta 7.1) melaporkan bahwa negosiasi telah gagal dan Tanahu kembali diserang oleh “gunung-Alfurs” di Sahulau77. Setelah itu prahu posthouder ditembak dan tiang bendera Belanda diturunkan – sebuah ekspresi “penghinaan” terhadap otoritas kolonial – panglima militer di Bataviak mendesak Gubernur Jenderal Van Reesl untuk mengakhiri 'kerusuhan' antara nagari-nagari gunung dan pesisir di Seram dan Buru sekali dan untuk selamanya dengan mengirimkan pasukan78. Sebaliknya, Van Rees, bukan orang yang suka berperang, memutuskan untuk mentransfer sejumlah uang ke Posthouder untuk menyelesaikan perselisihan kakean, namun keluarga Alfur sengaja tidak menerima pembayaran dari pihak ketiga dan  perang. Lanjutan79. Selama tahun 1880an dan 90an berturut-turut Residen G.J. van der Tuuk (1879-1880), Riedel dan Heijting menulis sejumlah proposal untuk perluasan dan reformasi pemerintahan yang dibiayai oleh pajak, namun tidak ada satupun yang disetujui80. Semuanya sepakat bahwa intervensi diperlukan untuk memastikan, sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Kuneman, “pengurangan pengayauan, sehingga melalui pendidikan dan agama Kristen, peradaban dan pencerahan yang lebih besar akan diperkenalkan di antara suku-suku pegunungan yang liar”81. Namun hal ini memerlukan investasi besar berupa intervensi militer skala penuh pada saat militer sedang sibuk di Aceh, dan batalyon yang ditempatkan di Maluku sibuk menguasai pulau Tanimbar, Kei dan Aru (lihat peta 1.1 dan 3.1 )82. Memperkenalkan pajak, dikhawatirkan Residen G. Sieburgh (menjabat 1908-1910), hanya akan menambah bahan bakar ke dalam api. Ia kemudian mengaitkan kegagalan penerapan pajak di Seram pada tahun 1880-1900 dengan apa yang ia sebut:

“potensi dampak buruk dari penerapan pajak di kalangan masyarakat yang kurang beradab, yang akan memunculkan gagasan bahwa menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemerintah akan berarti harus membayar”83.

 

Mayor A.P. van de Siepkamp, komandan tentara di Seram pada awal tahun 1900-an, mengecam keras kebijakan-kebijakan para pendahulunya, yang ia tafsirkan sebagai, “kompromi dan menjadi kaki tangan rakyat”, yang didorong oleh “mentalitas yang lebih menyukai perdamaian nyata dibandingkan pemerintahan yang kuat”84. Hal ini merupakan penghinaan tajam terhadap kebijakan G.W.W.C. baron van Hoëvell (Residen tahun 1891-1896), yang percaya pada perbaikan masyarakat melalui institusi politik lokal daripada menggulingkan tatanan yang ada menggunakan kekerasan militer. Van Hoëvell telah mengizinkan Saniri untuk diorganisir sekali lagi dalam upaya untuk menguasai politik dalam negeri dan memulihkan hubungan dengan para pemimpin Alfur85. Dia percaya bahwa pertentangan yang dibayangkan antara pantai dan gunung tidak lagi memberikan dasar yang bermanfaat bagi Saniri. melawan kekerasan yang terus berlanjut dan menyarankan peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk memantau nagari pesisir, membatasi pembayaran harta dan menjatuhkan hukuman bagi pengayauan86. Para pengawas yang baru diangkat, yang didanai oleh pajak kepala, kemudian akan membangun dan menjaga perdamaian, ketertiban dan layanan kesehatan untuk meningkatkan hubungan antar nagari dan 'menenangkan' pedalaman. Namun pemerintah pusat, yang ambisinya selalu mengantisipasi kelayakan administratif, menjadi tidak sabar. Sekitar tahun 1900, ketika kemenangan perang di Aceh dan Maluku Selatan diumumkan, pasukan dikumpulkan untuk melakukan ekspedisi besar-besaran ke pedalaman, yang menandai berakhirnya otonomi relatif keluarga Alfur.

==== bersambung ===

 

Catatan Kaki

1.     Scott, Seeing Like a State, 47.

2.    Stoler, Along the Archival Grain, 20, 28.

3.    Scott, Seeing Like a State, 183.

4.    J. Scott, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (New Haven, Yale University Press, 2009), 9, 70, 81-89,183, 229-230.

5.    M.C. Boulan-Smit, “Traditional Territorial Categories and Constituent Institutions in West Seram: The Nili Ela of ’WELE Telu Batai and the Alune Hena of Ma’saman Uwei”, in T. Reuters (ed.), Sharing the Earth, Dividing the Land. Land and Territory in the Austronesian World (Canberra, ANU Press, 2006), 157-177: 158.

6.    See Andaya, The World of Maluku, 55, 83-110; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 25-34, 37-39; Widjojo, The Revolt of Prince Nuku, 19-21; Van Fraassen, Sociografie van de Minangkabause Samenleving, 54-57; Lapian, The Deversified Unity of Maluku-Kie-Raha: Its Historical Development, 184; Alwi, Sejarah Maluku. See also: Van Fraassen, Ternate, I: 38-45.

7.    P.M.H. Groen, “Soldaat en Bestuursman: Het Indische Leger en De Nederlandse Gezagsvestiging op Ceram, een Case Study”, Mededelingen Sectie Militaire Geschiedenis Landmachtstaf 5 (1989): 203-244.

8.    Perlu dicatat bahwa ini bukanlah istilah etnis, melainkan perbedaan geografis-budaya. Sumber-sumber Belanda sering menyebut 'penduduk pegunungan' (bergbewoners) ketika menyebut orang Alfur dari Seram. 'Alfur' sebenarnya digunakan sebagai istilah kolektif untuk masyarakat Indonesia non-monoteis (animisme) di pedalaman pulau-pulau Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Halmahera, dan Seram, tetapi dalam bahasa modern masih digunakan sebagai istilah umum untuk masyarakat kolektif di pedalaman Seram dan beberapa pulau Maluku lainnya. Lihat: Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 29, quoted from; W. Manuhutu, “Pacificatie in Praktijk: De Expansie van het Nederlands Gezag op Ceram. 1900-1942”, in J. van Goor (ed.), Imperialisme in de Marge: De Afronding van Nederlands-Indië (Utrecht: Hes, 1985), 267-315: 268-269.

9.    Sebagian besar penulis ‘kolonial’ membandingkan penduduk pesisir dengan Alifuru, tetapi Duyvendak menekankan bahwa tidak ada perbedaan budaya yang nyata, dan kontras antara pesisir dan hilir di Seram hanya dapat dilihat dari sudut pandang interaksi; penduduk pesisir kemungkinan besar telah bersentuhan dengan pengaruh budaya dari luar. Baru setelah konversi dan campur tangan dari luar, wilayah pedalaman dianggap sebagai wilayah budaya yang sangat berbeda. Lihat: J.P. Duyvendak, Het Kakean-Genootschap van Seran (PhD thesis, Universiteit Leiden, 1926), 10; Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 5-6.

10.   Scott, The Art of not Being Governed; G. Benjamin, “On Being Tribal in the Malay World”, in G. Benjamin and C. Chou (eds.), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2002), 7-76: 17.

11.    G. de Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran: Zeden, Gewoonten en Mythologie van een Oervolk (Zutphen: Thieme, 1927), 125.

12.   ANRI AS GB MGS 4111, herein: MGS 26-1-1891: DirBB to GG, 4-8-1890; ANRI AS GB Besl. 1522, herein Besl. 28-1 1890: RvI 13-11-1889, DirFin to GG, 9-11-1889.

13.   Benjamin, “On Being Tribal”, 9, 10-11, 17.

14.   Scott, The Art of Not Being Governed, 337.

15.   Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 67.

16.   Duyvendak, Het Kakean-Genootschap, 1.

17.   R. Ellen, “On the Contemporary Uses of Colonial History and the Legitimation of Political Status in Archipelagic Southeast Seram”, JSAS 28:1 (1997), 78-102: 83, 85-86.

18.   Sachse, Het Eiland Seran, 86-87. See also Nanlohy, “Bij de Berg Alfoeren van het Eiland Seran”, De Christelijke Onderwijzer 14/20 (1928), 173-174: 270, quoted in M.C. BoulanSmit, We, of the Banyan Tree: Traditions of Origin of the Alune of West Seram (PhD thesis, Australian National University, 1998), 44. See also G.L. Tichelman, “De Onder-Afdeling Amahei (Seran)”, TAG 62 (1925), 653-724: 672.

19.   De Vries, Bij de Berg-Alfoeren, 17, 20.

20.  See for comparison: M. Gray and R. Law, “Images of Africa: The Depiction of Pre-colonial Africa in Creative Literature” (Paper presented at the Images of Africa Conference, University of Stirling, 1990).

21.   Sachse, Het Eiland Seran, 30, 32-35; Vries, Bij de Berg-Alfoeren, 81-82; Tichelman, “De Onder-Afdeling”, 674-675, 703-707. Yang cukup mencolok adalah prosa semi-puitis tentang Alfurs karya De Vries tahun 1927. De Vries menjadi kepala/pemimpin selama sekitar 2,5 tahun di bivak Hunitetu, dan menulis tentang Alfurs dengan percikan ‘kekaguman Rousseau’ tertentu.

22.  Sagu, sebagaimana juga disebutkan dalam bab 4, biasanya digambarkan oleh pejabat kolonial sebagai tanaman yang melimpah dan tidak membutuhkan banyak upaya pemeliharaan. Satu keluarga dapat dengan mudah hidup dari pohon sagu selama setahun dan memanfaatkan hasilnya sesuka hati. Lihat W. Ruinen, “Sagopalmen en hunne Beteekenis voor de Molukken”, IG 43:1-2 (1921), 501-523, 598-622: 52-55.

23.  Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 76-77, 94-95, 98-88, 100-101.

24.  Yang kemudian juga digunakan oleh pejabat kolonial abad ke-20 untuk mengikat sistem ke dalam pajak. See ibid., 94-95, 98-88, 100-101. See also: F.L. Cooley, Altar and Throne in Central Moluccan Societies: A Study of the Relationship Between the Institutions of Religion and the Institutions of Local Government in a Traditional Society Undergoing Rapid Social Change (PhD thesis, Yale University, 1962), 19-27.

25.  Sachse juga menggunakan nama Makahala untuk Alune, see: F.J.P. Sachse, Gegevens uit de Nota Betreffende de Onderafdeeling West-Ceram, ed. F.J.P. Sachse (Batavia: Encyclopaedisch Bureau, 1919), 30-31; Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 37; De Vries, Bij de BergAlfoeren, 9-10; A.E. Jensen, Die Drei Strö me: Zü ge aus dem Geistigen und Religiö sen Leben der Wemale: Einem Primitiv-Volk in den Molukken (Leipzig: Harrassowitz, 1948).

26.  Anggota dari kedua kelompok/klan, misalnya, tidak diperbolehkan menikah. G. Knaap, “The Saniri Tiga Air (Seram). An Account of its ‘Discovery’ and Interpretation Between About 1675 and 1950”, BKI 149:2 (1993), 250-273, 252.

27.  Duyvendak, Het Kakean-Genootschap van Seran, 14, 16-17. Kelompok lainnya disebut: Nusawele, Huaolo, Warama and Manusela.

28.  Mereka membentuk unit-unit politik yang lebih besar yang kadang-kadang (seperti di Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) bergabung menjadi sebuah unit yang beranggotakan empat orang atau Raja Empat. Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 76-77.

29.  Boulan-Smit, We, of the Banyan Tree 56; W. Ruinen, “Ethnografische Gegevens van WestCeram”, Mensch en Maatschappij 5 (1929), 220-232.

30.  See: Van Vollenhoven, Het Adatrecht, 401.

31.   Lihat mitos-mitos asal usul ini: Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 76-84.

32.  Perbedaan ini diduga muncul karena adanya persaingan antara Ternate dan Tidore, dimana Patasiwa menganut Ternate dan Patalima menganut Tidore.. See: Van Hoëvell, Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliasers, 153; Cooley, “Altar and Throne”, 9, 11, 15-16; Duyvendak, Het Kakean-Genootschap van Seran, 76-83.

33.  Boulan-Smit, We, of the Banyan Tree, 46; J.C. van Eerde, “Gegevens Betreffende de Onder-Afdeeling West-Ceram”, TAG 37:4 (1920), 531-535: 553; Ruinen, “Ethnografische Gegevens van West-Ceram”, 220-221. See also C. de Jong, “Kerk, Adat en Theologie. Een Korte Geschiedenis van Amahai, een Christelijke Negorij op Ceram, 1600-1935”, in L. Van Brussee-van der Zee et al. (eds.), Balanceren op de Smalle Weg. Liber Amicorum voor Kees van
Duin, Alle Hoekema en Sjouke Voolstra
(Zoetermeer: 2002), 313-332: 319-320 n338.

34.  Sachse, Het Eiland Seran, 90; F.J.P. Sachse, Seran (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1922), 33,
111.

35.  Para pria diizinkan untuk melukis simbol pada cidako (kain pinggang) mereka, sebuah lingkaran hitam untuk kepala pertama dan lingkaran konsentris di sekitar kepala pertama untuk setiap kepala baru. Namun, kebanyakan pria hanya akan memburu satu, mungkin dua kepala seumur hidup mereka, dan pria yang memburu lebih dari lima kepala akan "dianggap sebagai pahlawan dengan daya tarik legendaris."Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 38. See also Van Hoëvell’s report in: NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-9-1891; De Vries, Bij de Berg-Alfoeren, 58-59, 69.

36.  Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 38-41.

37.  Jaringan pela juga digunakan dalam serangan, ketika satu desa mencoba menyerang desa lain, desa tersebut akan mencoba mencari sekutu dan membangun pela.. Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 29, 38-41.

38.  Menurut pejabat Belanda, ikatan pela ini disalahgunakan oleh nagari di luar Seram untuk memanfaatkan cadangan sagu Seram, sementara suku Alfur, yang merasa 'terhormat' untuk mempertahankan ikatan pela dengan nagari di luar Seram, kemungkinan besar tidak akan pernah mengunjungi pulau lain dan memanfaatkan manfaat ikatan tersebut. Lihat: Van Hoëvell, Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliasers, 157-159; Sachse, Het Eiland Seran, 116-117.

39.  Van Hoëvell, Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliasers, 157-159; Sachse, Het Eiland Seran, 116-117; Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 131-134, 140-145, 162-163.

40.  NA MinKol 1850-1900 4675 Vb. 25-2-1893 n44, herein: DirFin to GG, 6-12-1890. For the same argument, see Sachse, Seran, 144.

41.   Boulan-Smit, We, of the Banyan Tree,43, 63. See also Ruinen, “Sagopalmen”, 501-523; Tichelman, “De Onder Afdeling Amahei”, 690-692, 710; L. Rutten, “Ontwikkelingsmogelijkheden van het Eiland Ceram”, TAG 38 (1920), 43-73: 43-74; Benjamin, “On Being Tribal”, 8.

42.  Anderson, “Language and Power”, 97.

43.  NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-9-1891. Harta ini kemudian digunakan sebagai kompensasi atas kepala yang diburu oleh pemburu kepala kepada 'suku' tempat ia membunuh salah satu anggotanya. Kampanye pemburu kepala bisa jadi merupakan respons terhadap pelanggaran aturan kakean. Lihat: Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 54.

44.  De Jong, “Kerk, Adat en Theologie”, 313-321; Ruinen, “Ethnografische Gegevens van West-Ceram”, 226-227.

45.  ANRI AS GB MGS 4111, herein: MGS 3-6-1885: Res. Ambon to GG, 13-4-1885.

46.  Sachse, Het Eiland Seran, 61.

47.  NA MinKol 1850-1900 2126, Vb. 19-8-1868 n6, herein: GovMol to GG, 29-8-1866.

48.  NA MinKol 1850-1900 1695, Vb. 23-12-1865 n10, herein: GovMol to GG, 12-10-1865.

49.  NA MinKol 1850-1900 2126, Vb. 19-8-1868 n6, herein: GovMol to GG, 29-8-1866.

50.  Dengan kata lain, cara suatu negara untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan kapasitas fiskal adalah dengan memusatkan penduduk yang menanam tanaman yang sama: padi. ​​Lihat Scott, The Art of Not Being Governed, 74-83 and Wolters, History, Culture, and Region, 39-40 about the development of mandala in rice-cultivated lowlands across Southeast-Asia.

51.   NA MinKol 1850-1900 1695, Vb. 23-12-1865 n10, herein: GovMol to GG, 12-10-1865.

52.  P. Hagen, Koloniale Oorlogen in Indonesië : Vijf Eeuwen Verzet tegen Vreemde Overheersing (Amsterdam: Arbeiderspers, 2018), 409.

53.  NA MinKol 1850-1900 2126, Vb. 19-8-1868 n6, herein: Nota A2.

54.  NA MinKol 1850-1900 1695, Vb. 23-12-1865 n10, herein: GovMol to GG, 12-10-1865.

55.  Lihat laporan Rieldel tentang politik Seram, di NA MinKol 1850-1900 4245, Vb. 19-3-1889 n61, herein: Former Res. Ambon to MinKol, 5-3-1889.

56.   Ibid.

57.  Ibid.

58.  NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-2-1890; Manuhutu, “Pacificatie in Praktijk”, 280-282.

59.  NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-2-1890.

60.  G.W.W.C. baron van Hoëvell, “Bijschrift bij de Kaarten van Seran (Vulgo Seran)”, TAG 13 (1896), 508-532: 516, 528-532; Sachse, Het Eiland Seran, 61, 95; Van Eerde, “Gegevens”, 533-535; O.D. Tauern, Patasiwa und Patalima: vom Molukkeneiland Seran und Seinen Bewohnern. Ein Beitrag zur Vö lkerkunde (Leipzig: Voigtländer, 1918), 29-30, 152.

61.   Sachse, Het Eiland Seran, 94-95.

62.  Sachse, Gegevens, 104.

63.  Ibid., 78.

64.  Sachse, Seran, 78. See also De Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran, 4.

65.  Juga dikenal sebagai Saniri Waele Telu. Pentingnya Saniri ini berakar pada fakta bahwa ia dianggap mewakili kelompok leluhur primordial yang berasal dari tempat asal inti semua suku Alfur dan suku Maluku lainnya, yaitu gunung suci Nunusaku. Pertemuan saniri telah tercatat setidaknya sejak tahun 1678. Lihat Knaap, “The Saniri Tiga Air (Seram)”, 251, 260-261.

66.  Sachse, Seran, 138. See also Knaap, “The Saniri Tiga Air (Seram)”, 263-264, 267; Manuhutu, “Pacificatie in Praktijk”, 278-280; Boulan-Smit, We, of the Banyan Tree, 46. Pada tahun 1886, para sanriri dipanggil kembali untuk meredakan ketegangan dan mengatur stabilitas politik. Lihat: Fraassen, Ambon, 568-572.

67.  Setelah tahun 1906, izin khusus harus diberikan oleh pejabat kolonial setempat untuk setiap ritual inisiasi kakean, yang masing-masing membutuhkan sejumlah kepala untuk diburu. Lihat: NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-2-1890.

68.  NA MinKol 1850-1900 1695, Vb. 23-12-1865 n10, herein: GovMol to GG, 23-1-1864.

69.  Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 36-42.

70.  J.S. Aritonang and K.A. Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia (Leiden/Boston: Brill, 2008), 109.

71.   Bartels, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, 40-43, 53-54. Lihat pengaruh mauweng dalam saniri dan penggabungan antara organisasi saniri dan kakean: Duyvendak, Het KakeanGenootschap van Seran, 83-95 (khususnya 87-88 dan 94-95). Apakah Duyvendak benar dalam klaimnya bahwa "kesatuan kakean menjaga saniri tetap utuh", bahwa "Kakean mungkin telah memunculkan ikatan saniri", dan bahwa "siapa pun yang diizinkan masuk ke komunitas kakean, juga telah memperoleh akses ke dewan saniri [...] memperoleh hak-hak sipilnya" (ibid., 94-95), sulit untuk diverifikasi, dan tampaknya sebagian besar pejabat dan penulis kolonial tidak berhasil menemukan apa yang sebenarnya mengikat mereka, tetapi dapat diasumsikan bahwa baik saniri maupun kakean saling beroperasi pada tataran organisasi sosial-budaya yang sama.

72.  Bartels, Guarding the Invisible Mountain, 36-42.

73.   Ibid., 38, 41.

74.  Verslag van het Beheer en den Staat der Oost-Indische Bezittingen 1859, 16; Van Hoëvell, “Bijschrift”, 516. See also Sachse, Het Eiland Seran, 95, cited in: Boulan-Smit, We, of the Banyan Tree, 46. See also Van Eerde, “Gegevens”, 533-535, and Sachse, Gegevens, 103-112.

75.  See M. Koskenniemi, The Gentle Civilizer of Nations: The Rise and Fall of International Law 1870–1960 (Cambridge: Cambridge University Press), 98-178, and G.W. Gong, The Standard of “Civilization” in International Society (Oxford: Clarendon Press, 1984). Namun, kemampuan negara untuk mengendalikan dan membatasi kekerasan akan tetap terbatas dalam praktiknya, karena kekuatan kepolisian dan aparat administrasi peradilannya yang relatif lemah. . See R.B. Cribb, “Misdaad, Geweld en Uitbuiting in Indonesië”, in Bogaerts and Raben (eds.), Van Indië tot Indonesië, 31-48: 35-39; M. Bloembergen, De Geschiedenis van de Politie; Schulte Nordholt, A Genealogy of Violence.

76.  NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: DirBB to GG, 4-8-1890, DirFin to GG, 6-12-1890, GG to MinKol, 23-10-1892 and RvI 26-12-1890.

77.  ANRI AS GB MGS 4111, herein: MGS 5-2-1885: Res. Ambon to GG, 12-12-1884, Res. Ambon to Posthouder Amahei, 24-6-1884, Posthouder Amahei to Res. Ambon, 25-10- 1883 and 15-11-1884, Besl. 14-2-1885: Res. Ambon to GG, 31-12-1884, Posthouder Amahei to Res. Ambon, 17-12-1884.

78.  ANRI AS GB MGS 4111, herein: Besl. 14-2-1885: RvI 6-2-1885, ‘Dep. Oorlog / Legercommandant’ to GG 27-1-1885.

79.  ANRI AS GB MGS 4111, herein: MGS 3-6-1885: RvI 6-5-1885, Res. Ambon to GG, 13-4- 1885, MGS 29-7-1885. See also Fraassen, Ambon, 565-577.

80.  See: NA MinKol 1850-1900 6391, Mailr. 1879 n674, herein: Res. Ambon to GG 5-10-1879; NA MinKol 1850-1900 6393, Mailr. 1880 n146, herein: Res. Ambon to GG, 5-12-1870; NA MinKol 1850-1900 6405, Mailr. 1881 n349, herein: Res. Ambon ‘Verslag over de stand van zaken […]’, 4-10-1880; NA MinKol 1850-1900 4675 Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG 14-2-1890.

81.   ANRI AS GB MGS 4111, herein: MGS 26-1-1-891: DirBB to GG, 4-8-1890.

82.  NA MinKol OV 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: DirBB to GG, 5-1-1892, DirFin to GG, 12-7-1892, RvI 29-7-1892 and GG to MinKol, 23-10-1892; NA MinKol 1850-1900 2787, Vb. 24-5-1875 n54 (geheim), herein: ‘Legercommandant’ to GG, 18-3-1875; NA MinKol 1850- 1900 3447, Vb. 26-9-1881 n20, herein: RvI 10-11-1876; NA MinKol 1850-1900 6389, Mailr. 1879 n440/38, herein: Legercommandant to GG, 4-5-1879; NA MinKol 1850-1900 6447,
Mailr. 1885 n81, herein: Res. Ambon to GG, 31-12-1884.

83.  NA MinKol 1901-1953 OV 651, Vb. 19-6-1909 n31, herein: Res. Ambon to DirFin, 25-1- 1909.

84.  NA MinKol Pol. Verslag Buitengewesten, 377, herein ‘voorstel tot pacificatie Ceram door Civiel Gezaghebber Maj. V.d. Siepkamp.’

85.  NA MinKol 1850-1900 OV 4675, Vb. 25-2-1893 n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-9-1891.

86.  Pada tahun 1888, sembilan orang Alfur di kota pesisir Kairatu dihukum oleh tuan tanah karena melakukan pengayauan. Lihat: NA MinKol 1850-1900 4675, Vb. 25-2-1893n44, herein: Res. Ambon to GG, 14-2-1890.

 

Catatan Tambahan

a.      F.J.P. Sachse menjadi Militer en Civil Gezaghebber [Gubernur Militer dan Sipil] van Afdeeling West-Seram pada Juni 1904 – Maret 1905. Pada saat ia menjabat, ia berpangkat Letnan 1. Ia berpangkat Mayor sejak 9 Maret 1916

b.      Kepala nagari [Pattih] van Nuniali adalah Lekamahoe Sakarone [minimal 1891 – minimal 1910], Kepala Saniri van Sapalewa adalah Lestarie Lesi Sulikapa, Orangkaija van Taniwel  adalah Naohe Latoemakoenita dan Orangkaija Rumah Soal adalah Hoekoem Lessy [sebelum 1904 – minimal 1916[

c.      Van Heutsz yang dimaksud adalah Johannes Bennedictus van Heutsz, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904 – 1909)

d.      Bab 4 pada kalimat ini maksudnya adalah bab ke-4 dari naskah thesis sang penulis sendiri, yang berjudul Labour and Money.

e.      Bab 3 pada kalimat ini maksudnya adalah bab ke-3 dari naskah thesis sang penulis sendiri yang berjudul The Rise and Fall of a Coerced Laboue Economy

f.       Kepala Negeri [Orangkaija] van Nuniali yang dimaksud bernama Pelakahu Lessij-Surikapa (?? – 1866), pada tahun 1866 ia dihukum pembuangan ke Batavia

g.      Kepala soa Tanunu  pada periode tidak diketahui identitasnya

h.      Direktur Kuneman yang dimaksud adalah Hendrik Kuneman, Direktur Departement van Binnenlands Bestuur [semacam Departemen/Kementerian Dalam Negeri] pada periode 1889 - 1892

i.       E.A. Rovers yang dimaksud adalah Elard Albert Rovers [Direktur Departemen Keuangan] pada periode 1887 – 1893

j.       L.A. van Gent atau Librecht Anthonie van Gent, adalah Posthouder Afdeeling van Amahai sejak Maret 1882 – Desember 1902

k.      Panglima militer di Batavia yang dimaksud kemungkinan adalah Karel Lodewijk Pfeiffer, komandan van Het Nederlandsch Indische Leger (1883 – 1887)

l.     Gubernur Jenderal Van Rees yang dimaksud adalah Otto van Rees (1884 – 1888)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar