Jumat, 09 Januari 2015

Hukum Adat Pisarana

Prolog

“Tagal rumah sabiji saudara deng saudara bakalai, tagal kintal sapanggal saudara deng saudara perkara, tagal dusun sapotong saudara deng saudara baku bunuh. Apa yang orang tatua su barbage itu sudah, jang galojo saudara parampuang punya lai. Tinjauan singkat ini mangkali bisa jadi pelajaran yang bermanfaat par katorang… jang ada lai bakalai, jang ada lai perkara, jang ada lai baku bunuh antara orang basudara cuma tagal rumah, kintal deng dusun”



LELEPELO
Lelepelo terdiri dari dua suku kata yaitu :

Lele artinya Menyimpang
Menunjukkan tempat/posisi dari sesuatu benda. Apabila dikaitkan dengan pemberian, maka harta yang semula adalah milik keluarga asal dari anak perempuan berpindah mengikuti keluarga baru anak perempuan tersebut. Dengan kata lain bahwa harta ini tidak lagi berada pada tempat semula tetapi sudah berpindah/telah menyimpang.

Pelo artinya Lindung
Menunjukkan harta pemberian ini berfungsi sebagai pelindung keluarga anak perempuan dalam mengatasi kehidupan ekonominya juga sebagai pembatas bagi orang yang berhak menikmatinya (keluarga asal). Jadi pengertian lelepelo adalah sebuah pemberian kepada anak perempuan yang “Keluar Menikah”. Istilah harta pemberian kepada anak perempuan yang keluar menikah pada beberapa daerah di pulau Ambon, pulau Lease dan pesisir barat pulau Seram berbeda. Masyarakat negeri Saparua dan pulau Saparua pada umumnya menyebutnya “Lelepelo”, di pulau Haruku menyebutnya “Atiting”, di pesisir barat pulau Seram menyebutnya “Tagalaya”, di pulau Ambon negeri Tulehu menyebutnya “Sininu’’ (tempat minum) negeri Wakasihu menyebutnya “Amilope/Isilope” (kami beri/sudah diberi) negeri-negeri di Jasirah Leitimor dikenal dengan istilah “Ahori” (selimut).
Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda tetapi makna dari pemberian itu adalah pernyataan kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya, karena untuk selanjutnya tidak lagi terhitung sebagai anggota keluarga karena sudah berpindah mengikuti keluarga suaminya.

PROSES LELEPELO
Seperti diketahui dalam masyarakat negeri saparua dikenal dua bentuk pemberian yaitu :

Pengasihan
Adalah suatu bentuk pemberian sebagai tanda jasa kepada seseorang. Pemberian pengasihan adalah bermaksud untuk membalas budi baik seseorang yang telah berjasa kepada keluarga pemberi, tidak ada tujuan tertentu dalam pemberian pengasihan tersebut dan juga tidak bersifat mengikat kehidupan keluarga kedua belah pihak.

Lelepelo
Adalah suatu bentuk pemberian kepada anak perempuan yang melangsungkan perkawinan. Pemberian Lelepelo bermaksud sebagai bekal dalam membangun kehidupan rumah tangga anak perempuan serta bersifat mengikat kehidupan keluarga kedua belah pihak.

Penyerahan Pengasihan biasanya dilakukan secara lisan pada saat-saat terakhir hidup seseorang dan disaksikan oleh pihak keluarga pemberi dan penerima pengasihan. Sedangkan penyerahan Lelepelo dilakukan secara simbolik oleh pihak keluarga perempuan kepada anak perempuan saat keluar menikah. Barang yang dipakai sebagai simbol adalah sedikit tanah disertai daun-daun tanaman umur panjang sebagai lambang pemberian tanah/dusun yang diletakkan di dalam dulang.

LELEPELO NEGERI SAPARUA
Di negeri Saparua pemberian Lelepelo yang sering dijumpai adalah berupa tanah kosong/kintal yang telah dibangun sebuah rumah oleh orang tuanya dan diberi kepada anak perempuan tersebut. Selain itu juga berupa tanah/dusun yang sudah ditanami tanaman umur panjang seperti sagu, kelapa, cengkeh, pala, kenari dan durian berfungsi juga sebagai tempat/lahan bertani keluarga anak perempuan tersebut. Tanah/dusun ini biasanya terletak di luar pemukiman penduduk tetapi masih di dalam petuanan negeri Saparua. Harta/tanah pemberian berupa Pengasihan ataupun Lelepelo berasal dari milik pribadi yaitu tanah perusahaan dan tanah Babalian (tanah hasil pembelian) terkadang sering terjadi penyimpangan dalam pemberian tersebut dimana ada juga pemberian yang berasal dari tanah milik kerabat, tanah dati dan tanah pusaka.

Masalah penyimpangan seperti ini pernah ditemukan pada masyarakat negeri saparua tempo dulu dimana sebidang tanah dari dusun dati milik keluarga Anakotta yang bernama Dusun Tuha diberikan sebagai Pengasihan kepada keluarga William Pietersz atas jasanya menolong keluarga Dominggus Anakotta dalam pembuatan kebun, rumah sampai dengan melayaninya sewaktu sakit. Kemudian ada juga pemberian sebidang tanah yang diambil dari tanah dati bernama Belakang Negeri diberikan kepada seorang anak perempuan keluarga Anakotta yang kawin dengan keluarga Huwae yang kemudian dibangun sebuah rumah di atas tanah Lelepelo tersebut oleh Yacob Huwae dan istrinya.

Hal mana sesuai dengan keputusan Landraat Saparua NO.10/1918 dan Landraat Amboina NO.107/1919 yang menyatakan bahwa setiap anak perempuan yang kawin hilang hak-hak datinya karena beralih makan dati kepada suaminya. Oleh karena itu setiap anak perempuan dari rumatau/mata rumah asli negeri Saparua tempo dulu dibekali Lelepelo dari orang tuanya dengan persyaratan suaminya tersebut harus menetap/berdomisili di negeri Saparua. Akibat dari proses dan Hukum Lelepelo yang dilakukan membuat penduduk negeri Saparua menjadi sangat heterogen, bukan hanya penduduk asli negeri/4 soa tetapi ada juga penduduk pendatang/orang dagang.

Sumber :
Suatu Tinjauan Tentang Lelepelo
Dalam Masyarakat Desa Saparua

Oleh :
Fredrik Lamberth Anakotta, SH
(Fakultas Hukum Universitas Pattimura 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar