Sabtu, 07 Februari 2015

Melawan Lupa (part.1)_Muhabeth di Negeri Saparua



Sejarah singkat tentang kearifan manusia
 di tengah gempuran modernitas

 Oleh : Aldrijn Anakotta

Beta bangga pung kaka par ale!
         
Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta,
karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia, hendaknya
orang yang hidup memperhatikannya” 1)
 
A.     Pengantar
  Sepenggal kalimat indah di atas, dalam tradisi Kristen dikenal sebagai tulisan Raja Salomo, Raja Israel III yang dikumpulkan dalam kitab Pengkhotbah yang merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini berisikan beragam “filsafat” tentang kehidupan manusia. Dalam satu bagian ada yang menceritakan tentang kesia-siaan manusia yaitu segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk mati atau meninggal dunia 2). Kematian merupakan hal yang tak bisa dihindari. Setiap kebudayaan dan agama berbeda dalam memahami konteks ini 3). Dari pemahaman yang beragam itulah, muncul prosesi dan tata cara pemakaman serta perlakuan terhadap jenazah yang berbeda, di setiap kebudayaan4). Di Mesir kuno ada prosesi pembalseman yang nantinya akan jadi mumi dan itu hanya khusus dilakukan pada kaum Raja/Kaisar (kalangan bangsawan) 5). Dalam injil sinoptik, prosesi pemakaman Yesus Kristus atau Nabi Isa. as, juga dibalsam dengan aneka rempah-rempah, dibalut dengan kain dan dimasukan kedalam gua, bukan dimasukan kedalam tanah 6). Ada juga yang dikremasi atau ada juga yang dibiarkan begitu saja/ diletakan di ruangan terbuka hingga membusuk dan dibiarkan dimakan oleh burung pemakan bangkai, ini dalam pemahaman agama Zoroaster di Persia kuno serta beragam cara lainnya7). Di Provinsi Maluku, terkhususnya di lingkup Ambon Lease yang telah dipengaruhi oleh agama Kristen dan Islam serta penjajah bangsa barat, prosesi itu tidak lagi dilakukan tetapi digunakan dengan cara dimasukan kedalam sepetak tanah yang digali atau dikenal dengan istilah ditanam/dikubur.
B.     Kedukaan dan kearifan manusia
  Kematian tentunya menimbulkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan. Bukan saja bagi keluarga inti, tapi juga bagi orang yang mengenal, kerabat dan tetangga atau kaum birman. Manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tak bisa hidup sendiri, manusia juga dilahirkan dengan bawaan untuk saling menolong. Bentuk saling menolong ini juga terlihat dalam kematian yang menimbulkan duka tadi. Ada yang membantu membuat hidangan, memandikan jenazah, menggali lubang kubur, membuat peti jenazah, mendirikan tempat bernaung bagi pelayat (sabua) dll. Bantuan seperti itu bisa meringankan keluarga yang sedang berduka. Ini bentuk empati dan solidaritas sosial sebagai pola kearifan manusia. Pada awalnya, bantuan kemanusiaan ini tidaklah teroganisir dalam sebuah lembaga atau kumpulan atau perhimpunan. Namun lama kelamaan, manusia yang berpikir akan memikirkan cara-cara yang lebih efisien, efektif dalam menangani hal tersebut. Dari pemikiran inilah maka munculah berbagai perkumpulan/perhimpunan atau persekutuan yang lebih terorganisir untuk  menjalankan tugas kemanusiaan ini. Dalam kebudayaan Maluku, perkumpulan ini biasa dikenal dengan nama “peramponang atau muhabeth”.

C.      Tinjauan sejarah
   Munculnya lembaga/perkumpulan/persekutuan semacam ini sangat sulit dilacak sejarahnya, karena arsip yang tersedia tidak mencukupi. Namun dalam berbagai kebudayaan dunia ada bentuk-bentuk lembaga seperti ini. Dalam kebudayaan China, perkumpulan rumah duka sudah dikenal sejak zaman dinasti para kaisar China kuno 8). Di negara Belanda, juga ada. Mungkin kebiasaan Negara Belanda inilah yang kemudian diadopsi oleh Indonesia sebagai negara bekas jajahannya. Maluku sebagai bagian Indonesia tentu juga mewarisi kebiasaan itu. Namun sekali lagi, sejarah munculnya perkumpulan rumah duka seperti ini tidak diketahui persis kapan waktunya. Begitu juga yang dialami di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu atau desa Saparua. Pengertian Muhabeth atau peramponang bisa dilacak ke dalam bahasa Arab. Dalam sebuah blog miliknya yang bernama kuti kata, Elifas Tomix Maspaitella, menjelaskan bahwa dengan bantuannya temannya, Sumanto al Qurtuby yang juga anggota Jaringan Islam Liberal (JIL), memaparkan bahwa mengenai Muhabet, ada istilah dalam bahasa Arab yang diperkirakan sebagai etimologinya. Istilah tersebut ialah ‘muhiba’ [kata benda, noun] yang berarti = kunjungan. Kata sifatnya [adjective] ialah ‘hibat’, dan keduanya bersumber dari akar kata ‘hub’ yang berarti = cinta, kepedulian, atau orang-orang yang mendermakan sesuatu untuk orang yang dia cintai. Di situ dapat dikatakan bahwa Muhabet ialah suatu perhimpunan yang terdiri dari anggota masyarakat atas dasar kepedulian sosial, cinta kasih dan bertujuan untuk membantu anggota masyarakat lain yang perlu dibantu, atau yang berada dalam kesusahan/dukacita.

   Dahulu ada pula istilah lokal lain mengenai Muhabet yaitu "PARAMPONANG". Penelusuran leksilkal terhadapnya patut dilakukan. Di duga istilah itu adalah bentuk polisemi dalam Melayu Ambon tentang kata ‘perhimpunan’ dari kosa kata Bahasa Indonesia. Banding saja kebiasaan membahasa orang Ambon yang sering diakhiri akhiran ‘ang’ –misalnya:perempuan = parampuang. Penjelasannya mengenai akar kata dari bahasa Arab itu menarik dan dapat diterima sebab bahasa Melayu Ambon bertumbuh ketika bahasa Arab telah menjadi sebuah bahasa yang dikenal orang-orang Ambon di zaman Belanda. Malah beberapa teks Alkitab ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan beredar sampai ke pelosok termasuk di Saparua. Istilah-istilah serapan dari bahasa Arab, Portugis dan Belanda menjadi kosakata Melayu Ambon yang terus digunakan sampai saat ini. 9)

D.     Muhabeth di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu
   Sampai tulisan ini dibuat, di negeri Pisarana Hatusiri Amalatu (Desa Saparua), terdapat 6 muhabeth atau peramponang baik yang masih beraktivitas maupun yang sudah tak beraktivitas lagi, yaitu;

1.Muhabeth / Peramponang
2. Muhabeth  Memantoemoeri /Memantumuri
3. Muhabeth Hercules
4. Muhabeth Ora et Labora
5. Muhabeth Kampung Jati/Jate (Momuntumuri)
6. Muhabeth Kampung Baru

d.1. Muhabeth /Peramponang 10)
   Dari segi usia, muhabeth ini yang tertua/paling lama, di tahun 2015 ini, muhabeth ini akan berusia 104 tahun. Didirikan pada tanggal 10 Agustus 1911. Jika dilihat dari tanggal berdirinya, perkumpulan rumah duka ini didirikan atau dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Belum diketahui siapa yang mempunyai ide untuk membentuk muhabeth ini. Mungkin orang-orang Belanda atau juga masyarakat lokal yang memiliki hubungan kerja dengan pihak belanda atau bisa juga orang lokal yang mengadopsi kebiasaan orang-orang belanda. Muhabeth ini memiliki rumah duka semacam sekretariat atau markas besar (rumah peramponang) yang berlokasi di kompleks tiang belakang negeri saparua, di belakang rumah keluarga Tehubijuluw. Karena muhabeth ini yang tertua maka anggotanya kebanyakan adalah berasal dari anggota-anggota awal/pertama yang kemudian “menurunkan/mewarisi” kepada generasi berikutnya dalam keluarga setelah mereka meninggal. Salah satu contohnya adalah penulis sendiri yang sekarang menjadi anggotanya, melanjutkan keanggotaannya dari pihak orang tua (papa dan mama), yang sebelumnya mewarisi keanggotaannya dari orang tua mereka atau sang kakek dan nenek dari penulis. Ada juga anggota baru yang merasa tertarik dan bergabung menjadi anggota muhabeth ini. Tentunya dalam sebuah perkumpulan atau lembaga, pastilah memiliki aturan atau AD/ART organisasi.

   Muhabeth ini juga memiliki aturan-aturan. Salah satunya adalah sistim pangku  atau memangku anggota. Sistim ini diterapkan kepada anggota yang telah menjanda atau tidak lagi memiliki sanak keluarga dekat. Anggota muhabet yang termasuk dalam kategori ini dibiayai oleh muhabeth, sehingga iuran keanggotaan tidak diberlakukan kepada mereka, atau bisa dibilang segala sesuatu yang berhubungan dengan tanggungan mereka sebagai anggota adalah gratis/tidak membayar. Sistim ini akan hilang atau berhenti saat mereka meninggal dunia. Pembiayaan operasional muhabeth ini dihasilkan dari iuran anggota dan uang jenazah. Iuran tiap bulan adalah Rp.2.500,- sedang uang jenazah adalah Rp.2.000,-. Maksud uang jenazah ini adalah jika setiap anggota muhabeth yang meninggal, maka anggota muhabeth yang lain berkewajiban membayar uang jenazah sebagai tanggungan. Dari dana operasional ini, pihak muhabeth memberikan uang duka kepada keluarga yang berduka dan operasional saat anggota muhabeth meninggal. Muhabeth ini memiliki 3 seksi atau biasa di kenal dengan istilah troep . kata ini adalah bahasa belanda yang berarti pasukan, kelompok atau regu atau pasukan zeni dalam ketentaraan. Ke-3 seksi atau regu itu adalah, troep gali kubur/kolang, troep bikin peti, dan troep pikul peti atau memikul peti jenazah dari rumah anggota yang meninggal ke area pekuburan.

  Cara/kebiasaan umum yang dilakukan oleh muhabeth2 bisa digambarkan sebagai berikut, saat anggota muhabeth meninggal, pihak muhabeth biasanya membunyikan/pukul tifa sebagai pengumuman kepada masyarakat dan anggota muhabeth lainnya jika anggota muhabeth telah meninggal dunia, kemudian kepala troep bikin peti dan kepala troep gali kubur mendatangi keluarga untuk berkonsultasi tentang tugas dan tanggung jawab muhabeth, kepala troep bikin peti biasanya membawa ukuran atau alat untuk mengukur yang terbuat dari kulit gaba-gaba. Alat ini bertujuan untuk mengukur panjang dan besarnya jenazah yang nantinya jadi ukuran untuk membuat peti jenazah. Sedang kepala troep gali kubur menanyakan lokasi atau tempat yang diinginkan oleh keluarga agar jenazah anggota muhabeth akan dimakamkan. Biasanya salah satu keluarga yang diutus untuk bersama kepala troep ke TPU untuk menunjukan lokasinya atau atas keinginan keluarga, lokasinya bisa di halaman milik keluarga atau kintal keluarga.  Selanjutnya masing-masing troep menjalankan prosedur kerja yang telah ditetapkan atau yang telah menjadi kebiasaan umum. Troeps bikin peti kemudian membuat peti jenazah dari papan yang berjumlah 7 buah/lembar atau biasa disebut 7 urat, dengan bermodalkan ukuran panjang, lebar dan besar jenazah, mereka membuat peti jenazah, bentuk peti adalah persegi panjang, pembuatan peti jenazah ini ada 2 bagian yang dibuat, yaitu badan peti dan penutup peti, saat telah selesai, peti jenazah yang terdiri dari 2 bagian  itu kemudian dibalut dengan kain hitam dari luar (hanya buat anggota yang adalah warga jemaat GPM), jika anggotanya adalah warga jemaat Gereja Kharismatik, maka digunakan kain putih sedangkan bagian badan peti, alas/dasar peti bagian dalam ditutupi oleh kain putih, sebelum ditutupi kain putih, pihak muhabeth meminta dari keluarga untuk memberikan beberapa buah bantal, yang isinya dikeluarkan untuk di taburkan sebagai bantalan tempat jenazah dibaringkan. Isi bantal yang dimaksudkan adalah bantal yang berisikan bunga tumbuhan kapuk/randu yang telah mengering, bukan bantal spons yang dikenal sekarang. Setelah ditaburkan di dasar peti, kemudian ditutupi dengan kain putih. Bagian badan peti dan penutup peti yang telah dibalut dengan kain hitam, kemudian dibuat hiasan dan nama dari sang jenazah,  hiasan di badan peti dan penutup bisa berupa corak bunga, salib atau model-model lainnya tergantung kreativitas dari orang yang bertugas melakukan itu.

   Proses membuat hiasan ini disebut kas bajalang/ kas bajang banang peti. Proses ini sangat susah dan membutuhkan ketelitian, tak sembarang orang bisa melakukannya, kecuali yang telah terbiasa, umumnya skil atau kemampuan ini diwariskan oleh orang tuanya atau kepada anggota yang mau belajar. Dikatakan sulit karena ada aturan atau “norma” bahwa benang yang ditarik mengikuti pola yang diinginkan, tidak boleh berakhir atau “putus” di bagian tengah pola yang dibuat. Jika benang itu habis atau berakhir, tak boleh disambung di bagian tengah pola tadi, namun harus diakhiri pada bagian peti atau penutup peti yang telah ditancapkan paku, entah di bagian mana saja. Namun tak bisa disambung di bagian tengah dari 2 paku yang telah ditancapkan di badan atau penutup peti yang merupakan jalannya atau arah benang itu ditarik. Hal ini sangat menyulitkan karena orang yang melakukannya harus memikirkan dan mempertimbangkan panjang benang dan hubungannya dengan pola yang ingin dibuat. Awalnya orang yang melakukannya menancapkan paku pompa 11), membentuk maal atau bentuk dasar hiasan yang ingin dibuat, kemudian benang ditarik mengikuti arah atau jalur dari bentuk itu. Setelah semuanya selesai, peti jenazah dibawa ke rumah keluarga yang berduka, dan jenazah dimasukan kedalam peti itu dan menunggu waktu yang telah ditetapkan oleh pihak keluarga kapan dimakamkan. Selain itu saat jenazah belum dimakamkan, biasanya pada malam hari diadakan ibadah penghiburan yang dipimpin oleh majelis gereja yang bertugas di sektor/daerah tempat keluarga itu berdiam. Ibadah penghiburan ini dihadiri oleh kerabat, kenalan, tetangga dan anggota muhabeth. Tujuannya untuk menghibur, menguatkan serta empati dan solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang berduka. Acara ini disebut matawana atau bagadang/bergadang, di saparua kegiatan matawana di rumah duka ini disebut male male.  Dalam kegiatan matawana/male-male ini, biasanya setelah ibadah penghiburan, kaum laki-laki menghabiskan waktu dengan bermain kartu, minum sopi, atau bercerita dengan tema bebas atau dudu batukel  sambil mencicipi penganan dan minuman yang disediakan oleh tuan rumah. Biasanya kegiatan matawana dilakukan sampai pagi atau matahari terbit atau dalam kebudayaan Maluku dikenal dengan sebutan amper siang atau matahari pica, biasanya jam 06.00 pagi. Jika jenazah belum juga dikuburkan karena pertimbangan dari pihak keluarga, maka kegiatan matawana itu terus dilakukan. 

   Pemakaman biasanya dilakukan oleh pada sore hari, namun kadangkala juga pagi atau siang, atas permintaan keluarga dengan mempertimbangkan kondisi jenazah yang meninggal dunia akibat penyakit, sehingga tak bisa membiarkan jenazah lebih lama. Istilah atau pengucapan atas kondisi ini dikenal dengan nama seng bisa tahang mayat/bangke. Sebelum prosesi ibadah pemakaman, biasanya dilakukan penyerahan jenazah dari pihak muhabeth kepada keluarga, atas nama muhabeth dan anggotanya, ketua muhabeth menyampaikan beberapa pata kata yang di dalamnya menyampaikan, apa yang telah dibuat/dilakukan oleh pihak muhabeth sebagai bentuk dan tanggung jawabnya terhadap anggota, kemudian dilanjutkan dengan  ibadah pemakaman yang dilakukan oleh pendeta di jemaat setempat. Setelah selesai ibadah, kemudian peti jenazah ditutup, dipaku dengan paku berukuran 7 cm, di paku pada 2 tempat, di bagian penutup di kepala peti dan di bagian kaki peti jenazah, biasanya yang memaku penutup peti adalah kepala troep gali kubur/kolang atau anggota muhabeth yang biasa melakukan hal itu. Ada “aturan” dalam memaku penutup peti, proses memaku tidak sama dengan cara memaku misalnya memaku kayu dalam pembangunan rumah, yang biasanya seperti memaku dengan ketukan drum pada alat musik atau terkadang seperti ketukan berbalas, tetapi harus dengan cara memaku 1 x ketukan disertai jeda antara 1-2 detik untuk mengetuk yang kedua kali, hingga paku tertancap habis. Dalam istilah orang saparua, paku peti zeng boleh balas.

  Setelah itu, peti diangkat dan diletakan di tempat usungan, tugas ini dilakukan oleh troep pikul peti. Tempat usungan itu dikenal dengan nama baar, kata ini diambil dari bahasa belanda yang berarti usungan atau alat mengusung jenazah. Mirip seperti keranda dalam tradisi muslim namun tidak memiliki penutup, awalnya terbuat dari kayu, namun sekarang mulai diganti dengan besi. Tugas pikul/mengusung peti jenazah ini juga bisa dilakukan oleh keluarga, tentunya atas permintaan keluarga sebelumnya. Dulu, saat peti diusung oleh troep pikul peti biasanya diiringi oleh paduan suling dan tamboor atau paduan terompet yang berjalan di depan, kemudian dilanjutkan dengan Pendeta bersama majelis bertugas serta keluarga, kemudian pasukan pengusung peti dan diakhiri oleh pelayat yang mengikuti dari belakang. Namun karena dewasa ini, paduan suling/terompet sudah tak beraktivitas lagi, maka iringan peti jenazah dibawa ke area pemakaman tanpa iringan musik. Dulu proses ini lumayan lama karena, perjalanannya mengikuti lagu/irama yang diperdengarkan oleh paduan suling/terompet tadi. Sesampainya di tempat yang akan dimakamkan, tugas ini diambil alih oleh troep gali kubur/kolang. Tugas ini berakhir sampai tertutupnya liang kuburan. 

   Perlu dijelaskan juga, pemukulan tifa yang dilakukan sebagai pengumuman kematian anggota muhabeth dilakukan oleh anggota muhabeth yang bertugas, dan pemukulannya memiliki makna, karena tiap muhabeth memiliki aturan pemukulan yang berbeda-beda dengan muhabeth lainnya. Di muhabeth ini, terdapat 2 bagian pukulan tifa, pada bagian pertama, pukulan berlangsung agak cepat, kemudian dilanjutkan dengan bagian kedua yaitu pukulan balasan atau dibalas dengan pukulan yang berjeda antara 5-10 detik. Muhabeth ini dikenal dengan 4 kali pukulan balasan pada bagian kedua. Dengan cara seperti ini, masyarakat atau anggota muhabeth bisa tahu/telah mengerti orang yang meninggal ini apa adalah anggota muhabethnya atau anggota muhabeth lainnya. Pemandian jenazah juga dilakukan oleh anggota muhabeth yang bertugas atau memiliki skil memandikan jenazah, jika jenazah wanita maka yang memandikannya adalah wanita, begitupun sebaliknya, namun sekarang ini sudah agak jarang dilakukan. Hal ini karena keluarga ingin memandikan jenazah, dan juga karena cara yang efisien sekarang dengan menggunakan alkohol dan kapas sehingga mudah dilakukan.

Profil singkat Muhabeth/Peramponang
Nama           : Muhabeth/Peramponang
Lokasi          : Kompleks tiang belakang-Negeri Saparua
Ketua           : Bpk. Hengky Ayal
Sekretaris     : Bpk. Josef Latumaerissa
Bendahara    : Ibu. Talakua (istri alm Bpk Wellem Talakua)
Logo         : Gambar gergaji & martil/martelu yang bersilangan (baru dibuat pada akhir 1990an, awalnya tidak ada)
Jumlah anggota  : 120-an KK
Mantan Ketua  : Alm. Bpk Fredrik Talakua (Ayah), Bpk. Jhon Talakua (cucu), Alm. Bpk. Frans Lewerissa, Alm. Frans Mailuhu, Alm. Dominggus Souissa (om ikus), yang masih diketahui.

Orang-orang negeri saparua jaman dulu yang pernah tercatat menjadi anggota muhabeth ini, Fredrik Anakotta (odek), Batsyeba Anakotta (ba), Dominggus Pattinasarany (onggo), Anthoneta Pattinasarany (antho onggo), Fredrik Tehubijuluw (pede), Inyo Lewerissa, Bpk Ayal (ayah dari bpk Hengky Ayal), Bantji Lewerissa, Frans Mailuhu, Dominggus Souissa dll.

d.2. Muhabeth Memantumuri /Momentomuri/Memontomuri12)
  Sejarah muhabeth ini, tidak diketahui karena telah lama tak beroperasi lagi ditambah tidak ada data yang ditinggalkan, hanya berupa ingatan2 dari bekas anggota muhabeth ini yang mulai lupa karena waktu. Kapan berdiri dan kapan berhenti operasi muhabeth ini tak diketahui secara pasti. Arti kata memantumuri yang digunakan oleh muhabeth ini berarti “Ingat akan mati“. Harus dibedakan bahwa muhabeth ini berbeda dengan muhabeth yang diuraikan pada bagian d.5 meskipun kedua muhabeth itu bernama “sama”. Bahkan pengertian kata memantumuri yang dijelaskan pada d.5 tidak bisa dipakai sebagai acuan untuk menjelaskan pengertian atau arti kata memantumuri yang dipakai oleh muhabeth ini. Hal ini disebabkan karena data-data yang tersedia tidak ada, para pelaku sejarah dari muhabeth ini pun telah meninggal dunia. Alasan lain karena pendiri dan anggota muhabeth ini berbeda dengan muhabeth memantumuri yang diurai pada d.5. Informasi yang diterima, sebelum tahun 1985 pun, sudah lama muhabeth ini sudah tak beraktivitas lagi 13). Menurut perkiraan penulis, mungkin di akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980, muhabeth ini berhenti beroperasi (beraktivitas secara terbatas).

  Hal ini bisa dimungkinkan karena di tahun 1983-1984, penulis pernah bersekolah (TK) di bekas rumah peramponang muhabeth ini yang telah dijadikan TK. Saat gedung TK tempat penulis pernah bersekolah itu runtuh di tahun 1992, rumah peramponang dipindahkan ke rumah Alm.Bpk. Dantji Limaheluw yang saat itu menjadi ketua. Rumah itu berlokasi di depan gedung Film di Negeri Saparua. Menurut penuturan beberapa orang dan seingat penulis, bahwa memang saat itu baar atau tempat usungan jenazah muhabeth ini ditempatkan di depan rumah keluarga Alm. Bpk. Dantji Limaheluw.  Di akhir tahun 90-an dan awal2 2000-an, beberapa bekas anggota berniat menghidupkan lagi muhabeth ini, namun entah kenapa tak berlangsung lama, kemudian tak beraktitas lagi hingga sekarang. Lokasinya bertempat di bekas TK, di kompleks tiang belakang, di samping rumah keluarga Bpk. Dominggus Latuihamallo/Ibu Itha Latuihamallo. Rumah peramponang muhabeth ini pun telah hancur/runtuh dan masih ada bekasnya hingga sekarang. Banyak dari anggota muhabeth ini kemudian bergabung dan menjadi anggota baru pada muhabeth/peramponang di bagian d.1.  Muhabeth ini dikenal dengan pukulan tifa yang berbalas 3 x. 

Profil singkat muhabeth Memantumuri
Nama             : Muhabeth Memantumuri
Lokasi            : Kompleks tiang belakang-Negeri Saparua
Mantan Ketua : alm. Bpk. Dominggus Noya (om uyu noya), Alm Dantji Limaheluw (pernah tercatat)
Anggota yang pernah tercatat, Ibu Christhina Noya (mama ine), Alm. Bpk Pieter Maelissa (om piet), Keluarga Hogendorf, Alm. Bpk Paulus Titaley (om polly), Alm. Bpk Elly Patty, Bpk Yacobis Latupeirissa, Alm. Bpk Yacobis Mailuhu.

d.3. Muhabeth Hercules 14)
  Muhabeth ini didirikan pada tanggal 26 Agustus 1933 dan yang memprakarsainya adalah Alm. Bpk. Petrus Sahetapy (om petu)15. Nama muhabeth ini pun tak diketahui siapa yang memiliki ide memberikan nama ini dan kenapa dinamakan seperti nama dewa mitologi Yunani yaitu Hercules. Namun menurut penuturan Bpk Jacob Huwae (Jopie)16, berdasarkan cerita dari Alm Abraham Polhaupessy (om bang), bahwa nama Hercules dipilih karena pada jaman itu, nama itu adalah nama “top” yang dikenal dan diketahui dan disukai, selain nama-nama jagoan seperti James Bond dalam film James Bond. Menurut Bpk Corneles Tomasoa17, nama Hercules dipilih mengikuti nama klub bola Hercules yang masa itu sangat “top” di negeri saparua dan alasan lain karena penamaan itu sebagai tanda/lambang sesuatu yang ”kuat” seperti dewa mitologi yunani tersebut. Berlokasi di samping pintu masuk daerah pekuburan negeri saparua, depan gereja advent hari ke-7 negeri saparua. Awalnya, rumah peramponang ini berlokasi di jalan RS Saparua, namun pada tahun 1975, dipindahkan ke lokasi sekarang Menurut informasi yang didapatkan, pengurus muhabeth ini tak aktif lagi, namun masih beroperasi secara terbatas, karena anggotanya sedikit dan mulai berkurang. Muhabeth ini dikenal dengan pukulan balasan tifa sebanyak 5 x. Anggota yang tercatat, bpk Simon Noya, keluarga de Haas, keluarga Halauwet, keluarga Hendriks, Semy Matulessy, keluarga Batis Anakotta, Ony Latuihamallo, Edy Latuihamallo, Onisius Sopaheluwakan, Ibu Obe Limaheluw, Ibu Itje Titaley, keluarga Abraham Polhaupessy (om bang) dan beberapa keluarga lainnya di sekitar lokasi rumah peramponang muhabeth ini.

Profil singkat Muhabeth Hercules
Nama               : Muhabeth Hercules
Lokasi              : Depan Gereja Advent hari ke-7 Saparua (TPU Negeri Saparua)
Ketua               : Bpk. Dirk. Halauwet
Mantan ketua  : Art Pietersz, Semy Matulessy (mol), Benny Noya (opa dari Bpk Simon Noya), Marthin Hendriks, Corneles Tomasoa, Corneles de Haas, Corneles simon de Haas, Charles de Haas.

d.4. Muhabeth “Fraude/Freide/Frede /vrede/Ora et Labora 18)
  Muhabeth ini merupakan “reinkarnasi” dari muhabeth awal yang bernama “fraude” atau dilafalkan oleh orang saparua sebagai frede atau freide.19) menurut Bpk Benny Lewerissa, kata Frede yang digunakan tidak diketahui artinya20) Menurutnya kata ini adalah bahasa Belanda. Penulis mencari kata ini untuk mengetahui artinya dan menemukan informasi bahwa kata yang mungkin mirip atau “berdekatan dengan pelafalan/pengucapan adalah kata “fraude”.  Kata ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti “kegelapan” mungkin maksudnya “kegelapan” yang dihubungkan/dikaitkan dengan kematian/kedukaan sebagai “kegelapan” dalam hidup manusia21). Ada informasi juga bahwa nama “frede” adalah nama pendirinya yaitu Alm. Bpk. Fredrik Simatauw yang disingkat atau diucapkan/dilafalkan oleh orang-orang, namun tak ada dokumentasi yang bisa membuktikan hal itu, meskipun bisa saja ada kemungkinan itu bisa terjadi22. Ada juga informasi bahwa nama muhabeth ini adalah “vrede” yang dalam bahasa belanda artinya “damai”23.  Sejarah Muhabeth “Fraude/Freide/frede/vrede” ini tak diketahui dengan pasti kapan berdirinya, dan didirikan atas inisiatif Alm. Bpk. Fredrik Simatauw (opa ef, om ef). Bersama Alm. Bpk. George Siahainenia (co kak), Matheos Tomasoa, Corneles Pattiselanno, George Pattiasina, mereka mendirikan muhabeth ini.  Mantan-mantan ketua dari muhabeth ini pun tak diingat lagi karena telah lupa. Menurut penuturan Ibu Ende Siahainenia/Loupatty24 yang juga anak dari Alm Bpk George Siahainenia, pada usia 6 tahun, ibu ende telah membantu ayahnya untuk membersihkan rumah peramponang/muhabeth ini. Ibu ende sekarang berusia 59 tahun, jadi pada tahun 1955, muhabeth ini telah ada dan eksis. Logo muhabeth ini ada, namun tak diingat lagi apa gambarnya, seingat beliau, logo ini menghilang bersama dengan runtuhnya rumah muhabeth peramponang dan tak diselamatkan. Menurut dugaan penulis, Muhabeth ini “mungkin” berusia “sama” atau berselisih beberapa tahun dengan Muhabeth Memantumuri dan Hercules yang diurai pada bagian d.2 dan d.3. Kapan muhabeth ini tak beraktivitas lagi juga tak diketahui.  
   
  Sekitar awal 80-an atas inisiatif dari Bpk. Ka Pattiselanno, yang ingin “membangkitkan” muhabeth ini kembali, namun entah kenapa, tak berlangsung lama dan akhirnya “mati suri”25).  Selama tahun2 itu, muhabeth ini tak beraktivitas sehingga pelayanannya hanya bersifat “suka duka” tanpa terorganisir dalam suatu lembaga dan dipimpin oleh Alm. Cande Lokopessy. Jika ada yang meninggal di daerah itu, maka semua tetangga yang lain hanya membantu dengan suka rela. Pada awal tahun 2000-an, atas inisiatif beberapa orang maka didirikan kembali secara “definitive” muhabeth lama dengan nama yang baru yaitu Ora et Labora. Beberapa orang di antaranya, Bpk Adolf Pattiasina (om olop), Bpk Johanis Layan (om anes), Bpk Agusthinus Loupatty (Abu), Bpk Simon Lokopessy (monci mong) dll. Rumah peramponang muhabeth ini berlokasi di kompleks pohon kelapa, Sektor Makedonia Jemaat GPM Saparua-Tiouw, Desa Saparua, di belakang rumah keluarga bpk Johanis Layan/Ibu Agusthina Anakotta, yang juga adalah bekas lokasi rumah  peramponang “fraude” . Anggotanya kebanyakan merupakan masyarakat di kompleks pohon kelapa. Memiliki iuran anggota perbulan Rp.2.500,- Uang pangkal bagi anggota baru adalah Rp.30.000,-. Muhabeth ini memiliki 4 troep, troep gali kubur/kolang, bikin peti, pikul peti dan bikin sabua. Kelebihan dari muhabeth ini adalah usaha “regenerasi” pekerjaan yang dianggap berhasil. Ini terlihat dari pengerjaan membuat peti jenazah, tarik banang peti dilakukan oleh anggota yang berusia muda, sekitar awal 20-an dan awal 30-an. Muhabeth ini dikenal dengan pukulan tifa berbalas 1 kali, namun setelah diganti dengan nama ora et labora kemudian diganti menjadi berbalas 6 x.

Profil singkat Muhabeth Ora et Labora
Nama       : Muhabet Ora et Labora
Ketua       : Bpk. Adolf Pattiasina
Lokasi      : Kompleks pohon kelapa-Negeri Saparua (belakang rumah keluarga Layan/Anakotta)
Jumlah anggota : 80-90 KK

d.5. Muhabeth Memontomuri /Kampung Jati/Jate 26)
Muhabet ini merupakan muhabeth yang dari segi usia, sudah termasuk lama karena didirikan pada tahun 1978 oleh beberapa orang yaitu Alm. Bpk Markus Siwabessy, Bpk. Jacob Toumahuw. Menurut penjelasan nama memontumuri yang dipakai oleh muhabeth ini berarti “Sekali kelak kita akan mati/meninggal dunia”. Muhabeth ini didirikan untuk menampung aspirasi serta kebutuhan masyarakat pendatang di negeri Saparua khususnya pendatang dari negeri Ullath/orang asal negeri ullath yang sudah lama menjadi warga negeri Saparua. Pada awalnya, beberapa anggota KK saja yang menjadi anggota muhabeth ini, namun seiring waktu semakin bertambah karena semakin banyak kaum pendatang ini beranak cucu pinak atau pendatang dari negeri Ullath yang berdiam dan menjadi masyarakat negeri Saparua. Kebanyakan anggota muhabeth ini berdiam di satu lokasi saja yaitu di kompleks kampong jati/jate negeri Saparua atau di Sektor Bethesda Jemaat GPM Saparua-Tiouw. 
Alasan mereka mendirikan muhabeth tersendiri, karena awalnya mereka tak bergabung/menjadi anggota muhabeth lainnya, ditambah lagi kaum pendatang dari negeri Ullath ini semakin banyak (beranak cucu pinak), sehingga diperlukan muhabeth untuk menampung segala kebutuhan kaum pendatang ini khususnya dalam hal kematian. Rumah peramponang lama muhabeth ini berlokasi di kompleks kampong jati, tepatnya di kintal keluarga Takarbessy/Muskita, namun tidak layak lagi, sekarang rumah peramponang yang baru sedang dibangun yang berlokasi dekat Pastori II Jemaat GPM SAPTI di sektor Bethesda. Muhabeth ini tidak menggunakan pemukulan tifa sebagai pemberitahuan namun menggunakan dentangan bunyi lonceng gereja sebagai tanda/kode. Jika ada anggota baru yang ingin menjadi anggota muhabeth, dikenakan uang pangkal sebesar Rp.200.000,-. Muhabeth ini hanya memiliki 2 troep yaitu Troep bikin peti dan gali kubur/kolang. Awalnya muhabeth ini hanya beranggotakan kaum pendatang dari negeri Ullath yang berlokasi di Kampung jati, namun sekarang, telah menampung anggota dari kaum pendatang negeri Ullath yang berdiam di kompleks abubu, di sekitar Benteng Duurstede Saparua

Profil singkat Muhabeth Kampung Jati/Jate
Nama               : Muhabeth “ Memontumuri” /Kampung Jati /Jate
Lokasi              : Kompleks Kampung Jati-Negeri Saparua
Tanggal berdiri  : 1978
Ketua               : Bpl. Johanis Aipassa (Bpk. Ais Aipassa)
Sekretaris         : Bpk. Zeth Sapulette
Bendahara        : Bpk. Zefnath Manukiley
Iuran                 : Rp.3.000,-/bulan, uang jenazah Rp.5.000,-
Jumlah anggota  : 48 KK
Mantan Ketua   : Alm. Bpk. Markus Siwabesy, Bpk. Jacob Toumahuw

d.6. Muhabeth Kampung Baru27)
  Muhabeth ini adalah muhabeth yang paling muda, karena baru berusia 1 tahun, didirikan pada tanggal 01 Desember 2013, oleh beberapa orang di antaranya Bpk Corneles Tomasoa dan Samy Palijama. Pendirian muhabeth ini mirip seperti pendirian muhabeth kampung jati, namun bukan untuk kaum pendatang, tetapi karena alasan jarak yang jauh dari muhabeth2 lainnya. Anggota ini awalnya adalah anggota muhabeth/peramponang yang diuraikan pada bagian d.1 berjumlah 6 orang dan 16 orang dari muhabeth Hercules yang diuraikan pada d.3 Setelah muhabeth ini didirikan, mereka menarik diri dan menjadi anggota muhabeth ini. Semua anggota muhabeth ini, berdiam di satu lokasi yaitu kompleks kampung baru, sektor Zaitun, Jemaat GPM Saparua-Tiouw di negeri Saparua. Rumah peramponang sementara dibangun dan berlokasi di daerah slois. Iuran perbulan anggota muhabeth ini Rp.5.000,- uang jenazah Rp.5.000,- dan uang pangkal Rp.50.000,- . Muhabeth ini memilki 4 troep seperti muhabeth Ora et Labora.


Profil singkat Muhabeth Kampung Baru
Nama               : Muhabeth Kampung Baru
Lokasi              : Kompleks Kampung Baru-Negeri Saparua (slois)
Ketua               : Bpk. Semy Palijama
Wakil               : Bpk. Corneles. Tomasoa (om eles)
Sekretaris         : Ibu. Netty Lewerissa
Bendahara        : Ibu Non. Pasanea/Lesilolo
Jumlah anggota : 85 KK
Iuran                : Rp.5.000,-/bulan, uang jenazah : Rp.5.000,-

E.     Save Tradisi
  Penulisan artikel ini, adalah sebuah cara melestarikan tradisi dan kearifan yang ditinggalkan oleh orang totua kepada generasi berikutnya. Di saat dunia telah begitu maju, saat komunikasi begitu cepat, saat kita telah “menciptakan dunia semu” dengan media sosial seperti facebook, Twiiter, BBM, Path, line, whatsup dll, masih ada tradisi “sederhana” yang tetap dipelihara dan dilakukan. Saat kita mungkin mulai terbiasa dengan mengucapkan turut berduka cita lewat medsos, masih ada tradisi “ berempati” secara fisik dan nyata. Tradisi yang ditinggalkan adalah tradisi tentang bersosialisasi, percakapan dan pergulatan antara manusia face to face  bukan lewat mesin dan jaringan dunia maya. Sebuah kearifan yang tetap dipelihara meski kearifan itu terus “bertempur” dan terengah-engah menghadapi modernitas.
  Modernitas tak bisa dibatasi, namun alangkah bijaknya, ada usaha untuk melawan lupa. Kita harus tetap berkembang sesuai jaman, namun kiranya tradisi “lama” tak perlu ditinggalkan atas alasan “kekunoan”. Ada banyak “filsafat” hidup yang bisa digali, direnungi dari hal-hal sederhana itu. Seharusnya pihak gereja bisa melihat hal ini. Pihak Pemerintah Negeri bisa berimprovisasi untuk merangkul “muhabeth-muhabeth”. Persekutuan-persekutuan semacam ini, adalah modal sosial, seperti “LSM” yang bisa menjadi partner dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Seharusnya ada subsidi dari pihak gereja maupun pemerintah kepada muhabeth, hingga dalam operasional dan administrasinya dapat dimodernkan, namun tak meninggalkan warisan yang telah diciptakan dari pergumulan hidup para orang totua pada jamannya.
  Artikel ini ditulis juga untuk “menyelamatkan” dan “mengingatkan” betapa pentingnya sebuah “sejarah” kehidupan diarsipkan. Tradisi lisan memang harus tetap ada, tetapi budaya dan kebiasaan untuk mengarsipkan/mendokumentasikan juga penting. Pikiran manusia adalah terbatas, tak selamanya kita terus menggantungkan “sejarah” kehidupan dari mulut ke mulut. Ini perlu dipikirkan... Let's Save Our Tradition!!! 

F.  Catatan Tambahan
1.   Begitu pentingnya lembaga Muhabeth ini sehingga kata “muhabeth” mengalami perluasan makna atau memiliki makna ganda (polisemi). Kata ‘muhabeth” sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Ambon-Lease terkhusus negeri Saparua, sebagai bentuk “ejekan/cemoohan/nada kekesalan” terhadap sifat atau sikap orang lain yang memperlakukan barang/harta/milik orang lain sebagai milik pribadinya atau milik orang banyak/milik umum (warmus, patawaru). Penggunaan kata muhabeth mungkin bisa disamakan dengan kata siwalima/sewalima yang berarti milik orang banyak/milik umum. Mungkin pembaca masih ingat kalimat di bawah ini :
Kamong kira beta pung barang ini barang muhabeth ka???
Kalian pikir harta/sesuatu milikku adalah milik banyak orang/milik umum???

2.      Istilah “Memantumuri/mementumuri/momuntumuri” agak sedikit “aneh” dan menimbulkan rasa penasaran, karena itu penulis berusaha “melacak/mencari/menelusuri” kata ini. Rasa penasaran itu, karena dari sebagian referensi/buku-buku yang dibaca tak ditemukan kata ini. Penulis mencari di Kamus Bahasa Belanda, Bahasa Arab, bahasa asli/tanah negeri Ambon lease dan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah sosial di Maluku Tengah, namun tak menemukan akar dari kata ini. Tanpa sengaja, penulis menemukan kata ini dalam Kamus bahasa Indonesia dan sebuah buku berjudul Sejarah singkat Liturgi Barat karangan Theodore Klauser yang terbit tahun 199128. Tapi bukan kata memantumuri secara lengkap. Kata yang “mirip/berdekatan” adalah kata memento dan memori. Arti dari kata memento menurut kamus bahasa indonesia adalah peringatan /kenangan /doa memori/doa untuk mengingat/mengenang. Sedangkan kata memori berarti ingatan/kenangan. Sedangkan penjelasan dalam buku sejarah liturgi barat, kata memento berarti doa untuk orang yang hidup dan yang mati. Memento merupakan bagian liturgi dari gereja perdana di jaman para Paus mulai mengarang doa-doa pujian di abad ke-4 Masehi. Mungkin kata “memantumuri/mementomuri/momuntumuri” adalah penggabungan dari kata memento dan memori. Kebiasaan orang Ambon lease adalah tradisi penggabungan/pemendekan beberapa kata untuk menjadi satu.

Bandingkan kata Ose ----  os ---- se (kamu/anda)
Kita orang ---- kitorang/katorang ----katong (kami/kita)
Kamu orang ----kamorang ---- kamong (kalian)

Jadi mungkin kata mementumuri/memantumuri adalah hasil dari proses itu dan jadi kebiasaan yang akhirnya terus dilestarikan dan dilafalkan. Jadi mungkin arti kata memantumuri adalah upaya/usaha dan doa untuk mengingat/mengenang kembali manusia/orang yang telah meninggal. Dan Muhabeth/peramponang adalah wadah untuk mengenang/mengingat kembali akan semua kenangan itu. Pengertian ini bisa dikaitkan / dihubungkan dengan penjelasan pada bagian d.5 yang mengartikannya sebagai sekali kelak kita akan mati, dan juga bagian d.4 yang mengartikannya sebagai ingat akan mati.  Ketiga pengertian ini saling berhubungan dan “masuk akal” atau bisa diterima.
       
Sumber Referensi;

            1). Pengkhotbah 7:2
            2). Pengkhotbah 3:2
 3). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
 4). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
 5). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
 6). Yohanes 19: 39-40
 7). Wikipedia : Orang Mati dalam pemahaman agama Zoroaster
 8). Wikipedia
 9). Blog Kuti Kata : Muhabeth dan Makburet di unduh tanggal 19 Januari 2015 
10). Hasil wawancara dengan beberapa anggota tua/lama tanggal 20 Jan 2015
11). Sejenis paku zink namun berukuran kecil/mini
12). Wawancara dengan Ibu Ine Noya (bekas  anggota) tanggal 19 Januari 2015
13). Informasi berupa ingatan dari Ibu Pelly Anakotta
14). Beberapa sumber yang didapatkan dari anggota dan orang-orang tua yang mengetahui  keberadaan muhabeth ini
15). Perbincangan dengan Bpk. Corneles Tomasoa (om eles) yang juga mantan ketua sekaligus anak dari sang pendiri muhabeth ini, tanggal 29 Januari 2015
16).Perbincangan dengan Bpk. Jacob Huwae tertanggal 27 Januari 2015
17). Perbincangan dengan Bpk. Corneles Tomasoa (om eles) yang juga mantan ketua sekaligus anak dari sang pendiri muhabeth ini, tanggal 29 Januari 2015
18). Beberapa sumber yang didapatkan dari anggota dan orang-orang tua yang mengetahui  keberadaan muhabeth ini
19). Penafsiran penulis / terjemahan bebas
20). Beberapa informasi yang didapatkan dari Bpk Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 Jan 2015
21). Penafsiran penulis / terjemahan bebas
22). Perbincangan dengan Bpk. Jacob Huwae tertanggal 27 Januari 2015
23). Perbincangan dengan Bpk. Corneles Tomasoa (om eles) tanggal 29 Januari 2015
24). Perbincangan dengan Ibu Ende Siahainenia/Loupatty tertanggal 26 Januari 2015
25). Informasi yang didapatkan dari Bpk Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 Jan 2015
26). Hasil wawancara dengan Bpk Toumahuw (pendiri) tanggal 21 Januari 2015
27). Perbincangan dengan Bpk Corneles Tomasoa yang adalah pendiri sekaligus wakil ketua tanggal 29 Januari 2015
28). Theodore Klauser : Sejarah singkat liturgi Barat, Penerbit Kanasius (terjemahan) terbit tahun 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar