Jumat, 13 Maret 2015

Melawan Lupa (Part.2)_Dobolaar/Dobeliir/Doboliir



Tradisi malam konci taong di Jemaat GPM Saparua – Tiouw yang mulai hilang 
(Sebuah rekonstruksi atas ingatan untuk melawan lupa)

Oleh: Aldryn Anakotta


Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan.
Menyanyilah bagi Tuhan hai segenap bumi” 1
 
Paduan Suling Doboliir Jemaat GPM Saparoea-Tiouw

A.  PENGANTAR

Orang Maluku sejak masa lalu hingga sekarang selalu dikenal memiliki suara yang indah atau kemampuan musikal yang diakui. Dari bakat/talenta itulah, Maluku disebut sebagai gudang penyanyi. Banyak contoh untuk membuktikan itu, bahkan beberapa penyanyi kelas dunia pun berdarah Maluku. Tielman Brothers, Daniel Sahuleka, Jhony Manuhutu (vocalis grup Masada), Kim Sasabone (Vocalis Grup Vengaboys), Monique Kleman (Vocalis Grup Musik Lois Lane), Tan Man (Rapper), dan beberapa yang lain2. Dari pentas musik Indonesia, ada Alm. Broery Pesulima/Marantika, Grace Simon, Bob Tutupoly, Melky dan anaknya Melly Goeslaw, Glenn Fredly, Ello Tahitu, dan masih banyak lagi3. Musik sebagai salah satu hasil kebudayaan telah meresap, mengambil bagian, bergerak bersama dan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Musik juga digunakan dalam konteks agama sebagai salah satu bagian ungkapan kesaksian iman umat beragama, terhadap Tuhan yang adalah “penguasa tertinggi”. Islam dan Kristen juga melakukan hal itu. Dalam tradisi Kristen selain mazmur atau puisi, musik juga dipakai dalam ritual ibadah sejak jaman para Bapa patriakh dalam Alkitab4. Itu tentunya dalam skop yang lebih luas, dalam skop lokal, di Maluku yang perbandingan agama Islam dan Kristen berimbang, juga melakukan hal demikian. Tradisi bermusik dalam kehidupan gereja sudah berlangsung lama. Seperti dijelaskan di awal, musik merupakan salah satu bagian dari ungkapan kesaksian iman umat Kristen kepada Tuhan. Teolog Kristen Karl Barth5, mengatakan “umat Kristen adalah umat yang bernyanyi”. Liturgi ibadah yang dikenal oleh gereja berisikan banyak pujian berupa lagu sebagai bagian dari liturgi ibadah. Dalam liturgi ibadah, yang berisikan lagu-lagu pujian itulah, banyak “lahir” tradisi baru atau kontekstualisasi budaya dalam kehidupan bergereja. Salah satunya yang terjadi di jemaat GPM Saparua-Tiouw, yang adalah salah satu jemaat di lingkup Klasis Pulau-Pulau Lease. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi tiop/tiup dobelir/dobolir.
B.  SEPOTONG KENANGAN YANG MASIH TERSISA

Kenangan adalah sebuah proses mengingat dalam sejarah kehidupan. Kehidupan yang telah dilewati sering jadi bahan perenungan dan pemikiran pada saat-saat tertentu. Begitulah manusia dalam sejarah pergulatan hidup. Dalam kebudayaan dan tradisi orang Negeri Saparua, salah satu moment perenungan itu adalah saat tanggal 31 Desember setiap tahun. Tanggal 31 Desember setiap tahun adalah tanggal terakhir dari tahun itu. Itu juga sebuah tapal batas terakhir dari perjalanan panjang kehidupan selama 365 hari dalam tahun itu. Tanggal itu dalam khasanah bahasa dan kebudayaan orang negeri Saparua biasanya disebut Konci taong. Ada makna “terdalam” dalam penggunaan kata konci taong, yaitu tahun yang dikunci, akhir dari tahun itu, mengunci atau menutup tahun itu seperti sebuah kunci untuk menutup atau mengunci pintu atau menggembok gerbang. Tanggal terakhir, hari terakhir untuk mengakhiri tahun dimaksud. Orang Kristen di Negeri Saparua atau di negeri lain pada tanggal itu melakukan ibadah “terakhir” pada hari itu. Sebagai ucapan syukur karena telah melewati hari-hari yang panjang, atas segala kebaikan, kebahagiaan, kesenangan, tawa, canda bahkan kedukaan yang dialami dalam hidup. Ibadah itu dikenal sebagai ibadah/gereja konci taong. Seperti yang dijelaskan di atas, dalam liturgi ibadah gereja, ada bagian puji-pujian yang berupa nyanyian. Dalam tradisi ibadah/gereja konci taong itulah ada sebuah tradisi “tua” yang disebut Tiop Dobelir/dobolir. Tradisi ini hanya ada di Negeri Saparua, tepatnya di Jemaat GPM Saparua-Tiouw, tidak ada di Jemaat lain, meskipun jemaat-jemaat di Pulau Saparua yang merupakan tetangga dekat. Semua warga Jemaat GPM dari kedua negeri Saparua-Tiouw yang pernah mengalami, mendengar tradisi ini, pastilah tahu. Bahkan jika yang telah lama merantau dan kebetulan mudik, ingin merayakan Hari Natal dan Tahun Baru, pastilah “salah satu” alasan mereka beribadah di malam tanggal 31 Desember adalah ingin mendengar tradisi tiop/tiup dobelir/dobolir ini.

Pastilah ada sesuatu yang “aneh” dengan tradisi ini hingga banyak yang ingin mengenang kembali, hanya untuk mendengar, merenungi akan tradisi ini. Tradisi ini hanyalah berupa musik instrumental yang dibawakan oleh paduan suling bambu yang diperdengarkan dalam ibadah itu. Musik instrumental ini hanya dibawakan sekitar 5-7 menit saja. Dan “mistisnya” musik instrumental tersebut diperdengarkan menjelang akhir ibadah, yaitu sebelum terima/menerima berkat dalam liturgi ibadah. Bayangkanlah, sebuah musik instrumental yang bernada “ratapan” dibawakan diiringi dentangan lonceng gereja yang mendayu-dayu, bisa membuat merinding/bulu kuduk berdiri. Saat musik instrumental itu diperdengarkan, jemaat terpaku dalam keheningan. Tak ada yang berbicara, diam, dan merenung sambil mendengarkan musik instrumental itu. Bunyi dentangan lonceng gereja yang ditarik juga menambah aroma “mistis” dalam gereja. Bunyi dentangan lonceng gereja seperti mengikuti irama musik instrumental yang mendayu-mendayu dan seperti “ratapan kesedihan”. Lonceng gereja  berada di toreng (menara lonceng), dan lonceng diikat menggunakan tali untuk menariknya, sehingga timbul bunyi lonceng. Lonceng gereja biasanya terdiri dari 2 bagian, bagian lonceng yang besar dan “anak” lonceng. Umumnya, saat dibunyikan, “anak lonceng” memukul bagian besar lonceng, namun pada saat musik instrumental itu dibawakan dan juga panggilan ibadah pada tiap minggu, cara membunyikan lonceng secara  “terbalik” yaitu bagian besar lonceng lah yang memukul “anak lonceng”. Anak lonceng hanya “diam” sedang bagian besar itu yang bergerak untuk memukul anak lonceng. Sehingga bunyi yang dihasilkan seperti berbalas-balasan karena kedua sisi kiri dan kanan bagian besar itu mengenai anak lonceng. Dalam tradisi oral atau pengucapan orang negeri saparua cara membunyikan lonceng gereja seperti itu biasa disebut “meme pukul ana” atau mama/ibu pukul anak6, maksudnya bagian besar lonceng memukul bagian kecil lonceng yaitu anak lonceng. Lonceng yang terdiri dari 2 bagian itu seperti sebuah kesatuan, dalam pemahaman orang Negeri Saparua, itu seperti seorang ibu/mama dan anaknya. Saat musik instrumental ini dibawakan akan diiringi oleh dentangan lonceng gereja sebanyak 40 kali, dan “ditutup” dengan dentangan lonceng sebanyak 3 kali.  Ada “filsafat” terdalam dalam istilah itu, mengapa digunakan kata mama/ibu yang notabene adalah seorang perempuan/wanita, bukan digunakan kata bapak/laki-laki. Ada penghormatan, apresiasi dan sikap “mengkultuskan” perempuan dalam kebudayaan orang Maluku. Ibu/Mama/perempuanlah yang mengandung, melahirkan, mengasuh, menyayangi kita dalam seluruh kehidupan. Ibu memukul anak adalah sikap mendidik, memperingati, mengingatkan akan kesalahan anak yang telah dilakukan. Sering dalam suasana musik instrumental itu dibawakan ada yang mengalami “trance/ekstase”. Ada yang menangis, ada yang sedih, dalam khasanah orang Maluku biasa dibilang manangis tahek-hek atau menangis tersedu-sedu. Saat masih kecil, penulis sedikit "heran" kenapa hanya dengan mendengar musik instrumental yang agak “aneh” ini bisa membuat orang menangis? Ada apa dengan musik ini? Namun saat beranjak dewasa dan mulai memahami makna terdalam dari musik instrumental ini, penulis bisa memahami dan mengerti kenapa itu bisa terjadi. Musik instrumental ini hanyalah terdiri dari 2 bagian, bagian pertama adalah suara suling diperdengarkan secara serempak/bersama-sama, itu hanya sekitar 3-5 menit, dan diakhiri dengan bunyi suling yang diperdengarkan secara tunggal/solo sekitar 2-3 menit, sedangkan suara bunyi suling yang lain bertindak seperti “backing vocal”. Suara suling yang dibawakan secara solo itu ditiup sangat mendayu-dayu seperti orang menangis tertahan, bahkan pemindahan dari satu not ke not lainnya, sangat lama dan seperti “berputar-putar”.

Menurut penuturan Bpk. Benny Lewerissa7, not yang dibunyikan itu harus ditahan panjang sehingga menimbulkan efek yang diinginkan. Cara membunyikan /meniup suling yang dibawakan secara tunggal itu membutuhkan nafas yang panjang dari peniup suling. Tak bisa sembarang orang melakukan itu, jika tak mampu bernafas panjang, maka bunyi yang dihasilkan seperti patah-patah dan bukan seperti satu kesatuan. Banyak orang yang telah belajar cara meniup bagian itu dan mempraktekkannya, namun bunyi dan efek yang dihasilkan tak sama. Orang Negeri Saparua hanya “mengakui dan mengenal” Keluarga Lokopessy yang cocok dan pas meniup bagian itu8. Seperti talenta yang “diwariskan” secara genetika, keluarga itulah yang sampai sekarang dikenal dan diketahui mewarisi cara meniup suling pada bagian kedua dari musik instrumental itu yang paling indah dan baik dari segi musikal. Namun sayangnya, tradisi musik instrumental itu 4-5 tahun belakangan ini, sudah tak diperdengarkan lagi9. Ada sesuatu yang hilang dari ibadah konci taong. Sangat hambar dan seperti tak memiliki makna apa-apa. Menurut penuturan beberapa orang yang ditemui, ada pertengkaran dan perbedaan pemahaman dari pejabat-pejabat gereja dengan anggota paduan suling10. Ditambah lagi pemahaman baru, bahwa paduan suling itu simbol “kekunoan” dengan munculnya alat musik yang lebih modern seperti paduan terompet, orgen dan keyboard. Paduan suling seperti tersingkir dari bagian tata ibadah dan tak diperlukan lagi. Dari kondisi dan alasan itulah, tulisan ini dibuat untuk mengingat, mengenang, menceritakan kembali sebuah narasi besar tentang tradisi dan kebudayaan yang pernah ada, yang berusia tua. Narasi tentang tradisi tiop dobelir/dobolir yang sangat panjang, berusia tua lebih dari yang kita bayangkan, melibatkan banyak generasi dalam paduan suling yang melakukannya dan jadi “prestise dan privilege11” buat orang negeri Saparua-Tiouw serta telah menjadi kebiasaan yang terus ada di tiap tahun.
Prestise dan privilege yang dimaksud adalah pada sekitar tahun 1925an, paduan suling Negeri Saparua-Tiouw dalam sebuah pertandingan paduan suling di kota Ambon memenangkan gelar paling tinggi “eir prize” dari Pemerintah Belanda12
Generasi awal/pertama, yang meniop/meniup tradisi musik instrumentalia ini adalah : 
 Alm. Nicholas Pietersz, Alm. Hendrek Pietersz (om endek-ponakan), Alm. Fredrik Lokopessy (pede bubor), Alm. Bernadus Latupeirissa (opa nadus), Alm. Petrus Matulessy (otus gafur), Alm. Frederik Anakotta (odek), Alm. Willem Halauwet (opa beng), Salmon Latuihamallo (opa among), dan lain-lain.
Generasi kedua adalah: 
 Johanis Lokopessy (om ais-anak pede bubor), Kelly Latuihamallo, Anyong Latuihamallo, Evert……, dan lain-lain.
Generasi ketiga adalah:
Simon Lokopessy (om mong/monci), Benny Lewerissa, Simon Souhoka, Pieter Maelissa, Wellem Pietersz,  Alm. Dominggus Noya (om uyu), dan lain-lain.

C.  SEJARAH YANG “gelap”

Istilah “gelap” yang digunakan penulis tidak bermakna sesuatu yang berhubungan dengan kejahatan atau sesuatu yang bersifat tidak baik. Gelap yang dimaksud adalah bahwa sejarah lengkap dari tradisi ini tak diketahui dengan pasti. Dari penelusuran penulis tentang sejarah ini selalu “buntu” dan menimbulkan banyak tafsiran dan dugaan yang bersifat “moderat atau nakal” tentang asal usul tradisi ini. Gelap dan samar-samar karena tak ada arsip yang ditinggalkan, hanya berupa tradisi lisan/oral yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pihak gereja yang seharusnya memiliki “hak dan tanggung jawab” terhadap tradisi ini pun tak memiliki arsip.
Sungguh disayangkan! Dari berbagai penulusuran dan sumber-sumber yang ditemui, potongan-potongan informasi yang didapatkan, penulis berusaha merekonstruksi ulang sejarah tradisi tiop dobelir yang sangat panjang ini, sejarah panjang yang diperkirakan hampir 1 abad lamanya. Sejarah ini bermula dari seorang tokoh Negeri Saparua yang memiliki jiwa seni dan musikalitas yang tinggi pada jamannya, yaitu Alm. Nicholas Pietersz. Beliau adalah seorang pemimpin paduan suling, pencipta lagu, yang mempunyai bakat musik, dan berhubungan dengan dunia luar/memiliki link/jaringan pergaulan yang sangat luas pada jaman itu13.

Ada 2 sumber informasi yang penulis dapatkan :

1). Suatu waktu yang tidak diketahui secara pasti, Nicholas Pietersz membawa “sebuah musik/irama instrumental” yang “baru” pada anggota paduan suling yang sedang berlatih atau berkumpul/nongkrong/kumpul-kumpul. Di tempat itu, beliau memperdengarkan “musik instrumental” itu sambil meminta para anggota untuk secara seksama mendengarnya. Setelah selesai, beliau menunjuk seorang anggotanya yang bernama Alm. Bpk Fredrik Lokopessy (Pede bubor), untuk mengulanginya. Entah aneh atau memiliki pendengaran fotografis dan bakat musik yang tinggi, Fredrik Lokopessy, memainkan musik itu dengan sangat indah bahkan dengan variasi-variasi atau improvisasi yang mencengangkan dalam satu kali mendengar saja. Orang Negeri Saparua menggunakan istilah biking babunga  terhadap cara seperti itu yang “sedikit keluar” dari sistim baku yang telah ditetapkan dalam aturan musik. Sejak saat itu, atas “penunjukan” dari beliau, maka cara meniup/memainkan musik instrumental ini dilakukan oleh Fredrik Lokopessy14.

2). Pada suatu waktu yang tak diketahui secara pasti, ada seseorang yang tak diketahui namanya, tanpa sengaja mendengar musik/irama, yang sedang dimainkan oleh beberapa orang Belanda di sebuah rumah, karena tertarik dengan irama lagu tersebut, ia berniat mendengarnya dan merekamnya. Perlu dicatat bahwa pada jaman itu, belum ada alat perekam seperti sekarang, maka dengan kondisi seperti itulah, dia memutuskan untuk  “mencuri dengar” dengan cara bersembunyi dalam selokan/got disamping rumah itu dan “merekamnya” lewat pendengaran. Dia bersembunyi dan mendengarnya secara diam-diam karena takut orang-orang Belanda mengetahui dan menangkapnya. Kemudian setelah selesai “merekamnya” orang itu membawa “salinannya”  kepada anggota paduan suling untuk diperdengarkan, dicoba dan dilatih15.

Menurut mereka dugaan lagu ini adalah lagu “duka” atau seperti lagu iringan pemakaman jenazah dari kaum bangsawan/raja/ratu. Dugaan itu bersumber dari pemahaman mereka, bahwa jika didengar musik instrumental ini seperti “ratapan/kesedihan” bukan musik gembira atau musik yang digunakan dalam pesta-pesta. Kedua informasi ini mungkin  memiliki “kaitan/hubungannya”, meski kebenarannya tidak diketahui secara pasti mana yang paling tepat karena para pelaku sejarahnya (generasi awal/pertama) telah lama meninggal dunia tanpa mewariskan sejarah ini dalam bentuk catatan/arsip.  Penamaan istilah Dobelir/dobolir terhadap musik instrumental ini pun tak diketahui dan menimbulkan banyak dugaan dan tafsiran. Kenapa diberikan nama itu dan maknanya apa dari kata dobelir/dobolir itu. Darimana kata itu berasal pun tak diketahui secara pasti. Menurut Bpk. Benny Lewerissa dan Bpk. Simon Lokopessy (om mon/om monci)16, “lagu” ini tak memiliki judul/tak diketahui judulnya, hanyalah partitur/klad berupa not-not dalam bentuk not balok saja, tak mempunyai lirik/teks atau kata-kata di dalamnya. Bahkan sumber darimana lagu ini berasal juga tak diketahui. Maksudnya apa lagu/irama itu berasal dari nyanyian-nyanyian gereja seperti Mazmoer dan Tahlil? Atau mungkin juga berasal dari irama “kapata”/bahasa tanah?  Dengan yakin mereka membantah bahwa lagu itu adalah lagu/irama yang bersumber dari nyanyian Mazmoer dan Tahlil bahkan Doea Sahabat Lama. Alasan mereka jika lagu ini bersumber dari nyanyian gereja seperti Mazmoer, Tahlil atau Doea Sahabat Lama, pastilah mereka mengetahuinya, selain itu irama/musik ini harus mempunyai judul dan kata-katanya seperti layaknya nyanyian gereja, meskipun mungkin saja irama/musik tersebut telah diubah/dikurangi/ditambahkan atau diberikan versi baru sekalipun oleh orang yang pertama kali memperkenalkannya. Alasan dan argumentasi mereka bisa diterima! Selain itu keyakinan mereka ditunjang oleh fakta bahwa mereka adalah generasi ketiga yang adalah bagian dari paduan suling yang selama generasi demi generasi merupakan satu-satunya pengiring dalam ibadah gereja jauh sebelum munculnya paduan terompet, pemain piano atau keyboardis yang baru dikenal sekarang. Sehingga dengan yakin bisa dikatakan mereka fasih atau selalu mengingat nyanyian-nyanyian gereja seperti Mazmoer, Tahlil dan Doea Sahabat Lama.

Kapan tradisi tiop dobelir ini dibawakan/diperdengarkan untuk pertama kali dalam sebuah ibadah ataupun ibadah konci taong pun tak diketahui. Ada yang menduga meski dengan ragu-ragu, bahwa tradisi ini mungkin pertama kali diperdengarkan pada tahun 1935 bersamaan dengan berdirinya gereja Zebaoth di Negeri Saparua17. Dari penelusuran penulis yang menemui beberapa orang totua, ada yang mengatakan bahwa sejak tahun 194218, tradisi ini telah lama ada berdasarkan cerita dari orang tua mereka. Informan “tertua” yang ditemui penulis adalah berusia 82 tahun19, dia mengatakan bahwa dia lahir pada tahun 1933, dan masih mengingat dengan baik dari cerita ayahnya bahwa tradisi tiop dobelir/dobolir ini sudah lama ada dan telah jadi kebiasan tiap akhir tahun dalam ibadah. Berdasarkan perbincangan  dengan Nicholas Pietersz20, sang cucu yang “mengikuti” nama dari sang kakek (pikol nama) bahwa berdasarkan sebuah akta tanah milik keluarganya, yang bertarikh tahun 1914, bahwa Nicholas Pietersz (sang kakek) berusia 21 tahun. Dari akta ini, sang cucu “memperkirakan” bahwa sang kakek “kemungkinan” lahir pada tahun 1893. Ada informasi juga bahwa menurut sang ayah (Paulus Pietersz), anak dari Nicholas Pietersz (sang kakek), yang diceritakan pada Nicholas Pietersz (cucu), sang kakek mulai bergabung/menjadi pemimpin paduan suling, berusia sekitar 16-20 tahun. jadi menurutnya, kemungkinan “tradisi dobeliir/doboliir” ini “ditemukan dan diperdengarkan” pada tahun 1915-1920an. Dari informasi-informasi ini, penulis menduga tradisi ini mulai diperdengarkan sekitar tahun 1920 awal atau paling terlambat sekitar 1925an. Penentuan penanggalan ini pun menimbulkan resiko karena merupakan“keberanian” penulis dan juga tak memiliki bukti yang benar-benar ada dan masih tertinggal. Namun tak ada cara lain lagi, selain harus “menduga/menentukan” kira-kira dalam rentang tahun seperti itu, tradisi ini dimulai.

Sejak saat itulah tradisi ini terus menerus diperdengarkan tiap tahun pada ibadah kunci tahun/konci taong. Jika diambil secara “kasar” bahwa pada tahun 1920 ini dimulai, berarti telah 95 tahun tradisi ini hidup dan jadi bagian dalam kehidupan orang-orang negeri Saparua-Tiouw, khususnya kepada umat Kristiani di dua negeri ini. Bahkan jika tahun 1930 jadi batas terakhir dari dimulainya tradisi ini, tetaplah tradisi ini telah berusia tua (85 tahun). Sungguh, sebuah tradisi yang tua dan sangat panjang! Penulis berkali-kali meneteskan airmata, saat merangkai kata menulis artikel yang bersejarah seperti ini. Bayangkanlah, sebuah tradisi ini seperti manusia, seorang manusia yang telah berusia 85-95 tahun. Tentunya jika itu manusia, pastilah telah menghasilkan cucu bahkan cicit dari keturunannya. Sebuah usia yang sangat panjang, seperti layaknya manusia yang telah makan asam garam kehidupan dengan seluruh suka duka kehidupannya, penuh petualangan, pengalaman bahkan cerita-cerita rahasia yang disembunyikan dan disimpan dalam kehidupannya hingga ia meninggal. Begitu juga dengan tradisi ini, tradisi yang dimulai oleh generasi awal di awal abad 20, mewariskan kepada generasi berikutnya, bertahan, bertarung, bergumul dalam seluruh aspek kehidupan bergereja yang turun naik seperti gelombang hingga saat ini di dekade pertama awal abad 21. Tradisi ini telah melewati dan terus bertahan dalam berbagai pengalaman sejarah, kehidupan penjajahan Belanda, Jepang, Indonesia Merdeka, Pemberontakan RMS, Demokrasi terpimpin Soekarno, Peristiwa PKI 1965, Orde Baru, dan masa reformasi hingga ditahun 2015 ini.
Tradisi yang diwariskan oleh orang totua kepada generasi berikutnya, tradisi yang berasal dan merupakan kristalisasi perjuangan, pergumulan, pengalaman kehidupan mereka pada jamannya. Begitu hebat bukan?  
Sungguh disayangkan jika kemudian tradisi ini “dihilangkan” oleh pihak gereja! Generasi sekaranglah yang harus menentukan apakah tradisi harus dipertahankan? atau dihilangkan? Istilah dobelir/dobolir juga menimbulkan berbagai tafsiran/dugaan kenapa musik instrumental ini dinamai seperti itu.

Berikut ini tafsiran-dugaan yang penulis dengar dari beberapa orang yang ditemui dan tafsiran penulis sendiri:

a. Dobeliir/dobolir berarti “mengulang kembali” “mengingat lagi” “merenungkan kembali”21. Doboliir/dobeliir berasal dari kata dobel atau dobol yang berarti ganda/rangkap/berulang. Maksud dari tafsiran/dugaan ini adalah “perenungan/pengingatan ulang/kembali” yang dilakukan oleh umat Kristiani pada saat ibadah di akhir tahun. Perenungan terhadap apa yang telah terjadi dalam kehidupan manusia selama 365 hari dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember.

b.   Dobeliir/doboliir berarti lagu/irama yang diulang-ulang22. Maksudnya adalah musik instrumental ini hanyalah berupa beberapa bait yang diulang/ulang atau dimainkan/ditiup berulang-ulang.

c.   Doboliir/dobeliir berarti “satu tiupan menghasilkan dua suara/bunyi”23. Maksudnya adalah saat suling ditiupkan dalam musik instrumental ini seperti menghasilkan 2 suara/ 2 bunyi yang merdu. Dari 2 bunyi ini, diartikan sebagai bunyi yang dobel/dobol/berganda. Jika didengar secara teliti, memang benar seperti ada 2 bunyi atau 2 suara yang dihasilkan. “Kelebihan” cara meniup seperti ini tak ditemui di negeri lain pada jaman itu.

d.   Dobeliir/doboliir berarti “nyanyian/lagu/kidung/pujian yang berulang”24.
Kata ini berasal dari kata dobel/dobol dan kata lied dalam bahasa Belanda. Liir mungkin dari potongan lied atau liedgreen yang berarti nyanyian/lagu/kidung.

e.   Dobeliir/doboliir berasal dari kata Dobblaar25 yang dalam bahasa Belanda berarti “bertaruh/berjudi”.
 Tentunya sangat “ganjil/aneh” kata yang berkaitan dengan hal tidak baik tetapi digunakan dalam liturgi gereja.

f.   Dobeliir/doboliir “mungkin” berasal dari istilah musik yaitu Double bar26.
Kata double bar menurut kamus musik berarti garis birama rangkap. Mungkin kata ini dikaitkan dengan bentuk musik instrumental yang terdiri dari 2 bagian itu? ataukah partitur/klaad musik itu ditulis dalam garis birama rangkap yang hanya berupa not-not balok? Sayangnya, partitur/klad itu tak ada lagi, telah hilang hingga tak bisa dibuktikan lagi penafsiran seperti ini. Kebiasan orang Maluku adalah pemendekan/pemotongan kata dalam pengucapan/lafal. Mungkin kata double bar atau dobel bar ini lama kelamaan berubah menjadi dobelir/dobolir. Double bar -à double aar -à doublear --à doubleir --à doubliir atau mungkin dari dobel bar -à dobel aar -à dobelaar -à dobeleer -à dobeliir.

g.   Dobeliir/doboliir “mungkin” berasal dari 2 kata, dobel dan eer atau dobel dan leer27.
Kata dobel dan eer, dobel berarti ganda/rangkap/ulang dan kata eer berarti kehormatan/kemegahan/kebesaran. Sedangkan kata dobel dan leer, dobel berarti ganda/rangkap/ulang, dan kata leer berarti teori, ajaran, wejangan, nasehat. Jika kata ini berasal dari kata dobel dan eer berarti mungkin maksudnya adalah kehormatan/kemegahan/kebesaran yang terus menerus/tetap lestari (rangkap/dobel/ulang-ulang??).  Sedangkan jika kata ini berasal dari dobel dan leer berarti mungkin maksudnya teori/ajaran/wejangan/nasehat yang di ulang-ulang. Dalam konteks ini ajaran/teori/wejangan/nasehat itu dalam bentuk irama musik instrumental yang berfungsi sebagai media penyampaian wejangan/nasehat dan ajaran itu.

Haruslah dipahami tafsiran dan dugaan di atas bukan arti dobeliir/doboliir yang sebenarnya untuk menggambarkan arti kata kenapa kata ini digunakan/dipakai/disematkan pada istilah dobeliir/doboliir yang pertama kali digunakan oleh generasi awal. Kita tak mengetahui secara pasti arti dari istilah ini, kenapa digunakan kata ini dan awal mula mengapa harus menggunakan istilah itu. Namun semua dugaan/tafsiran di atas hanya untuk menggambarkan/memberi arti dan bisa diterima. Dugaan dan penafsiran mana yang paling benar serta paling “mendekati” sejarah sebenarnya, semuanya berpulang kepada masing-masing orang. Pendapat pribadi penulis, semua tafsiran dan dugaan di atas, semuanya saling berkaitan/berhubungan/saling mengisi/memberikan makna atas sejarah tradisi ini yang “gelap” dan “samar-samar”. Itu semua memberikan khazanah pemahaman yang lebih luas, yang lebih lebar dalam memahami, mengerti betapa hebatnya tradisi yang berusia panjang ini. Betapa “hebatnya/cerdas/jenius” tradisi ini dinamakan seperti itu.

D.     TINJAUAN KRITIS ATAS SEBUAH SEJARAH YANG “gelap”

Bagian ini perlu ditulis dan diurai karena sejarah asal mula tradisi yang tak diketahui secara pasti. Begitu juga tentang penamaan istilah dobeliir/doboliir yang dipakai/digunakan oleh generasi awal. Bagaimana sejarahnya? Kenapa harus dinamakan seperti itu? Dari mana “sumber” irama/musik instrumental ini berasal? Kapan pertama kali diperdengarkan? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang menimbulkan rasa penasaran. Sejarah tradisi ini seperti “unsolved mistery” yang “bersembunyi” dalam tumpukan debu jaman yang berusia panjang.
Ada kekecewaan dari beberapa orang28, menurut mereka, betapa menyesal dan kecewanya mereka saat ini karena mereka tak pernah bertanya darimana musik instrumental ini berasal? Bagaimana sejarah lengkap dan paling benar?. Mereka hanya bergabung dengan paduan suling dan mengikuti tradisi ini, tetapi lupa menanyakan pada saat generasi awal masih ada/hidup bahkan berlatih suling dengan mereka. Dari berbagai “masalah” dan kondisi itulah, perlu dilakukan tinjauan kritis atas berbagai informasi/tafsiran/dugaan yang didapatkan. Tinjauan kritis ini berupa, catatan kritis, analisa, membedah, membandingkan bahkan menguji berbagai informasi/tafsiran/dugaan tadi apakah bisa “diterima” dalam metode penulisan sejarah yang baku? Atau sejarah tradisi ini hanyalah “mitologi”?
Tinjauan kritis ini mempergunakan sumber-sumber sekunder yang biasa/umum ditemui dan digunakan dalam sistim penulisan skripsi/disertasi. Sumber sekunder dimaksud adalah berbagai literatur/referensi baik itu buku sejarah, ensiklopedia, kamus, bahkan pencarian di dunia maya/internet lewat mesin pencari google, berbagai blog, wikepedia, serta pengetahuan penulis. Sumber-sumber itu digunakan untuk menilai, menganalisa, membedah, membandingkan dan menguji semua itu.

Agar tinjauan ini lebih terstruktur dan bisa dipahami secara sistematis, penulis membaginya kedalam 2 bagian yaitu :

1).   Tinjauan kritis tentang asal mula/sejarah lahirnya tradisi ini

2).   Tinjauan kritis tentang asal mula penamaan tradisi ini

a). Kedua informasi tentang asal mula/sejarah lahirnya tradisi ini adalah tradisi lisan/oral. Tradisi lisan/oral ini menambah khazanah selain tentunya tradisi tulis/tulisan baik berupa dokumen/arsip/catatan/surat2 dan lain lain dalam penulisan sejarah. Tradisi lisan/oral bisa disebut sebagai sejarah sampingan29 untuk membedakannya dari sejarah utama. Bisa juga disebut sebagai petite histoire atau sejarah kecil 30. Sejarah sampingan atau sejarah kecil dalam konteks tradisi ini adalah sejarah/narasi tentang kehidupan sehari-hari dari orang biasa di sebuah negeri yang jauh yaitu Negeri Saparua. Dari perspektif itulah, kedua informasi atau cerita itu bisa “diterima”. Kedua cerita itu saling berhubungan, saling berkaitan, saling mengisi, bahkan mungkin saling melengkapi tentang sejarah awal tradisi ini. Apakah mungkin orang tak dikenal itu adalah Nicholas Pietersz? ataukah ada “orang lain” yang mencuri dengar kemudian memberikannya pada Nicholas Pietersz yang kemudian membawanya dan memperdengarkannya kepada anggota paduan suling? Semuanya tak diketahui pasti, namun kedua cerita ini seperti “jembatan” yang saling menghubungkan jika kedua cerita ini dijadikan sebagai “sejarah” asal mula lahirnya tradisi tua ini. Lalu, kalau begitu darimana “sumber” musik/lagu instrumental ini berasal? Darimana musik ini berasal? Apakah benar-benar diciptakan oleh Nicholas Pietersz? atau musik instrumental ini berasal dari orang lain? Apakah hasil dari “mencuri dengar”? ataukah musik ini berasal dari link-link pergaulan yang luas yang dimiliki oleh Nicholas Pietersz? Semuanya tak pasti dan diketahui namun memiliki segala kemungkinan. Lagu ini bukanlah berasal dari nyanyian gereja seperti mazmoer, tahlil, dua sahabat lama, seperti penjelasan dan keyakinan Bpk. Benny Lewerissa dan Bpk. Simon Lokopessy yang diurai diatas. Dr Th.Van den End dan Dr J. Weitjins, S.J.  menulis  mula-mula nyanyian gereja tetap dari Mazmur gubahan Werndly. Disamping itu terdapat kumpulan beberapa mazmur dan tahlil gubahan Le Bruijn dan sebuah kumpulan mazmur dan tahlil yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1860. R. Bosset, pendeta bantu di Saparua 1854-1872 yang juga berkhotbah dalam bahasa melayu rendah, menggubah sebuah bundel nyanyian rohani dalam bahasa melayu rendah itu. Bundel itu mungkin sekali dipakai di Saparua atau boleh jadi di jemaat lain. Tetapi pada tahun 1908 terbitlah mazmur dan tahlil gubahan C.Ch. J. Schroeder yang menjabat direktur STOVIL dari tahun 1892 – 1907. Mazmur dan tahlil karangan Schroeder itu menjadi buku nyanyian yang umum dipakai di Maluku dan seluruh GPI. Disamping itu ada Dua sahabat lama, bundel nyanyian kebangunan karangan Schoeder dan Izaac Tupamahu31. Selain itu, “pesan tobat” yang dikeluarkan oleh Sinode GPM tahun 1960 yang dicetuskan oleh Pdt. Th. P. Pattiasina menelurkan beberapa hal. Dalam hal tata ibadah, misalnya Mazmoer dan tahlil karangan Schroeder -Tupamahu diganti oleh Mazmur dan Nyanyian Rohani karangan I.S. Kijne32 

Dilihat dari deskripsi sejarah nyanyian-nyanyian gereja di atas, maka penjelasan bahwa sumber musik instrumental ini bukan berasal dari nyanyian gereja mendapat pengesahannya. Alasannya jika berasal dari nyanyian2 gereja seperti diungkap di atas, maka sumber dari musik instrumental itu akan diketahui oleh anggota paduan suling maupun oleh pihak gereja karena telah menjadi nyanyian umum dalam ibadah di masa itu. Selain itu andaikata, Nicholas Pietersz “mengubah/memodifikasi” lagu ini dari sumber nyanyian gereja di atas dan tak diketahui oleh generasi awal, karena mereka belum menjadi bagian dari paduan suling pengiring dalam ibadah, maka pastilah akan diketahui “jejak” oleh generasi berikutnya dan pihak gereja berdasarkan urutan kronologis nyanyian-nyanyian gereja di atas. Namun semua sumber yang ditemui penulis dengan yakin menyatakan bahwa musik instrumental ini bukan berasal dari nyanyian gereja. Jika bukan dari nyanyian-nyanyian gereja, lalu darimana? Satu-satunya kemungkinan adalah berasal dari “luar”? ataukah Nicholas Pietersz mendapat “salinan” lagu ini dari teman-teman sesama pencipta lagu di daerah lain yang merupakan link pergaulannya? ataukah dengan bakat musikalitas yang tinggi beliau “menggubah/mengintepretasi ulang” lagu “dunia/sekuler” dan dijadikan sebagai bagian dari liturgi sebuah ibadah? Semuanya serba mungkin.
Menurut pemikiran/tafsiran Bpk. Jacob Huwae33, bentuk /model musik instrumental ini adalah musik internasional. Maksudnya pada zaman itu, model/genre musik seperti itu sangat “top/umum” di kawasan Eropa. Pemikiran ini berasal dari beliau yang pernah beberapa kali menonton/mendengar beberapa nyanyian/musik dari Negara-negara luar negeri di kawasan Eropa yang mirip dengan model/genre/bentuk seperti ini di TV dan radio. Bergerak dalam alur pemikiran ini, penulis “melacak” ulang, genre-genre musik yang berkembang pada masa itu. Dari pelacakan itu, ada beberapa informasi yang menarik. Salah satunya adalah artikel yang ditulis oleh  Ester Gunawan Nasrani34 yang berjudul  “Penelusuran dan perkembangan musik gereja dalam hubungannya dengan perkembangan gereja”.  Dalam artikel ini, dijelaskan soal sejarah munculnya musik dan pembagian genre musik dalam istilah zaman, khususnya musik gereja. Dimulai dengan musik abad permulaan (th 100 – 900), abad pertengahan (th 900 – 1500), zaman Renaissance (th 1450 – 1700), zaman Barok (th 1600 – 1750), zaman Klasik (th 1750 – 1820), zaman Romantik (th 1820 – 1900), zaman modern (th 1900 – 1970), dan zaman kontemporer (th 1970 – sekarang).  Disitu juga setiap zaman musik itu dijelaskan secara terperinci. Dari pembagian zaman musik yang ditulis dalam artikel ini, penulis mencoba “menduga-duga”, bahwa zaman yang paling dekat dengan “sejarah tradisi dobeliiir” adalah zaman Musik Romantik. Zaman musik romantik dan zaman klasik saling mempengaruhi dan berkesinambungan, meskipun berbeda dalam beberapa hal. Musik-musik zaman romantik yang menjadi ciri khas adalah musik-musik yang diciptakan oleh Ludwig von Beethoven, Frans Peter Schubert, Francois Fredrik Chopin, Johanis Brahms, dan Robert Alexander Schuman.  Sedang zaman musik klasik yang mempengaruhi zaman musik romantik, penuh dengan musik-musik yang diciptakan oleh Wolfgang Amadeus Mozart dan Frans Joseph Haydn. Mungkinkah musik-musik seperti ini yang dimaksud dalam penafsiran Bpk Jacob Huwae diatas? Jika berangkat dari asumsi ini, apakah mungkin “Nicholas Pietersz”? “mendapat inspirasi” atau bahkan mengambil secara mentah-mentah musik-musik model begini? Entahlah, meskipun tak memiliki bukti kuat, tapi semua bisa saja mengingat begitu “mendunianya” zaman-zaman musik diatas dibandingkan pada “sejarah” muculnya tradisi ini. Jika begitu, apakah musik instrumental dobeliir/doboliir merupakan hasil “asimilasi” atau bahkan “copy paste” dari musik ciptaan komponis besar diatas? Sekali lagi, tak ada kepastian, namun memiliki kemungkinan mengingat besar pengaruhnya dalam musik gereja maupun musik sekuler di masa itu.   Mungkin dari link pergaulan yang luas itu, Nicholas Pietersz “mendapat” musik/lagu/irama ini. Perlu dipahami, zaman itu, tidak banyak orang  yang memiliki radio apalagi TV, sehingga banyak orang yang tak mengetahui apa saja yang terjadi di luar negeri apalagi oleh daerah terpencil seperti Negeri Saparua yang jauh dari pusat Negara di Jakarta. Kita masih ingat pelajaran sejarah bahwa kabar tentang Kemerdekaan Negara Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, beberapa bulan kemudian baru didengar/diterima oleh daerah-daerah di kawasan timur/terpencil karena begitu sulitnya komunikasi dan hanya mengandalkan kurir atau penyampai berita36. Itu yang terjadi pada tahun 1945, bagaimana jika terjadi pada tahun 1920an?

Dari pemaparan kondisi sosial di zaman itu, maka mungkin saja Nicholas Pietersz adalah berasal dari keluarga yang di atas rata-rata kemampuan ekonominya, sehingga hal-hal seperti itu bisa diterima dengan cepat dibandingkan dengan kebanyakan orang. Perlu diingatkan lagi, bahwa Nicholas Pietersz memiliki kemampuan musikalitas yang tinggi, sehingga beliau bisa “melakukan” apa saja yang berkaitan dengan kegiatan bermusik dimaksud. Dari mendengar radio dan menghafal model/bentuk/genre/ragam musik yang sedang top/umum di kawasan Eropa itulah, mungkin saja Nicholas Pietersz “memperkenalkan” musik instrumental ini kepada para anggota paduan suling. Sesuatu yang awalnya “biasa/umum” dijadikan “baru” karena kebanyakan orang tak mengetahui kondisi di luar daerah, berbeda dengan yang dialami oleh Nicholas Pietersz, sehingga wajar jika mereka menganggap ini sesuatu yang baru, atau kemungkinan kedua adalah kaitan daya musikalitas yang tinggi ini dengan asal musik yang berasal dari cara “mencuri dengar” itu. Penjelasan seperti mendapatkan “penghubungnya” darimana lagu/musik ini berasal. Apakah lagu/musik ini adalah lagu duka? Lagu pengiring pemakaman jenazah kaum bangsawan/raja/ratu kerajaan Belanda seperti dugaan generasi awal?
Dalam sebuah blog yang mengurai tentang sejarah perkembangan musik, blogger di blog tersebut, menjelaskan bahwa pada zaman musik klasik,dahulu musik pada zaman ini di Eropa,sering dipergunakan untuk keperluan lagu di gereja dan lagu untuk pengiringan Raja35. Mungkin maksud lagu untuk pengiringan Raja adalah, lagu untuk pelantikan, pernikahan maupun pemakaman36. Kita tentunya masih ingat saat pernikahan Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William pada April 2011, atau saat upacara pemakaman jenazah ibunya, Lady Diana Spencer di Gereja Anglikan, Westminster Abbey pada Agustus 1996, dimana musik-musik klasik/romantic diperdengarkan. Mungkin lagu-lagu seperti ini yang dimaksud oleh blogger tersebut tentang lagu untuk keperluan pengiringan Raja.
Wikipedia dan beberapa blog37 menceritakan bahwa Raja William/Willem III meninggal dunia pada tanggal 23 November 1890, meninggalkan istri keduanya Ratu Emma dan putri satu-satunya yang hidup, calon Ratu putri Willhelmina. Karena putri Wilhelmina masih berusia 10 tahun, maka kerajaan belanda dipegang oleh ibunya Ratu Ema sebagai walinya hingga Wilhelmina berusia 18 tahun. Ibu Suri Ratu Emma meninggal pada tahun 1934, sedangkan Ratu Willhelmina meninggal pada tahun 1962. Dari pemaparan sejarah tentang keluarga kerajaan Belanda itu, jika dijadikan acuan sumber dari musik instrumental ini berasal, maka kemungkinan dari segi waktu yang “berdekatan” adalah meninggalnya Raja Willem III pada tahun 1890. Dari segi waktu “mungkin saja” ini adalah lagu duka/lagu pengiring pemakaman Raja Willem III. Rentang waktu sekitar 30 tahun dari meninggalnya Willem III hingga dugaan munculnya tradisi musik instrumental ini dimainkan di tahun 1920an, masih bisa diterima/dipertimbangkan. Rentang waktu sepanjang itu masih bisa “diizinkan” mengingat kondisi sosial dijaman itu yang sangat sulit berhubungan lewat komunikasi. Namun teori/dugaan itu mengalami “kendala” karena lewat pencarian di Youtube tak ditemukan link-link yang menampilkan lagu pengiring pemakaman keluarga kerajaan baik itu Belanda maupun Inggris. Sehingga tak bisa dibandingkan dengan contoh lagu duka dimaksud. Jika demikian, apakah berarti dugaan generasi awal bahwa ini  merupakan lagu duka dengan otomatis gugur? Belum tentu juga!
Perlu dijelaskan juga, bahwa pengenalan militerisme di Ambon, baru mulai pada tahun 1840. Melalui Keputusan Kerajaan Belanda pada tanggal 12 Juni 1840, terbentuklah satu formasi kesatuan Ambon yang terdiri dari 763 personel38. Pasukan KNIL di bentuk Belanda pada tahun 1830, tetapi selama beberapa puluh tahun, anggota-anggota dari kalangan pemuda Ambon-Uliaser sangat sedikit39. Dalam rentang di antara tahun 1840-1880, terjadi “fluktuasi” perekrutan anggota militer setiap tahun40. Menyikapi hal itu, di tahun 1885 Residen J.G.F. Riedel memberikan analisa serta anjuran untuk meningkatkan hasil kegiatan perekrutan dimaksud41. Dengan mengikuti anjuran itu, maka berbagai cara dilakukan salah satunya lewat mitos yang diciptakan untuk mengikat hubungan “fanatik” anggota KNIL dengan Kerajaan Belanda.
Ratu Willhelmina pada usia 10 tahun

R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu42, menulis bahwa di awal 1880 hingga awal 1920 munculnya sebuah mitos tentang “door de euwen trouw” yang diartikan sebagai “setia sampai akhir/mati/setia sepanjang abad”. Mitos tentang kesetiaan terhadap kerajaan Belanda khususnya kepada keluarga Kerajaan, yaitu Raja dan Ratu. Mitos ini diciptakan oleh para pembesar ketentaraan Belanda (KNIL) kepada anggotanya yang jauh di tanah jajahan maupun orang pribumi yang menjadi tentara KNIL (teken soldadu). Dari mitos ini maka munculnya panggilan atau sebutan “nene mina” yang merujuk kepada pengkultusan dan pengakuan kesetiaan terhadap Ratu Wilhelmina yang baru saja dilantik menjadi Ratu Kerajaan pada tahun 1898. Mitos ini diciptakan sehingga tentara kerajaan yang berasal dari Belanda dan tinggal jauh di tanah jajahan maupun orang pribumi yang menjadi anggota/pasukan KNIL berperang bukan demi orang Belanda tetapi demi Ratu Wilhelmina. Dari pemaparan ini, bisa disimpulkan bahwa semua hal bisa diciptakan/dilakukan oleh pihak Kerajaan termasuk menciptakan mitos demi menancapkan kuku kekuasannya di negeri-negeri jajahannya. Mungkin saja media yang dilakukan adalah melalui lagu. Kita tahu lagu adalah bahasa universal, alat “pariwara/iklan” bahkan propaganda yang efektif dalam penyampaian pesan. Dengan menggunakan logika seperti itu, lagu duka/lagu pemakaman keluarga bangsawan yang awalnya bersifat “eksklusif” dijadikan sesuatu yang umum yang bisa didengar oleh rakyat biasa di Belanda. Dari sini, mungkin juga lagu ini dijadikan semacam “memento” dan disebarkan/dikirim kepada kaum pembesar kerajaan Belanda di negeri jajahan. Lagu yang “diciptakan” untuk menaikan moral anggota tentara KNIL sebagai pelaksana lapangan bahwa mereka terus diingatkan bahwa beberapa waktu berselang Raja mereka telah meninggal dan seorang Ratu yang baru telah diangkat menjadi Ratu mereka. Selain itu, mungkin juga lagu ini semacam usaha untuk “mengembangkan” pemahaman bahwa Ratu tetap sama dengan Raja, meskipun selama ini, mereka telah terbiasa dengan pemahaman bahwa, keluarga kerajaan selalu diperintah oleh Raja dari garis laki-laki. Bergerak dalam alur berpikir seperti ini, masuk akal maka lagu duka/lagu pemakaman keluarga bangsawan tadi menjadi kebiasan dan selalu didengarkan bahkan dimainkan oleh orang-orang negeri belanda di tanah jajahan khususnya di daerah Saparua yang masa itu merupakan pusat keresidenan Pulau Saparua. Lagi pula, lagu duka/lagu pemakaman itu ditujukan kepada Raja Willem III yang notabene adalah ayahnya sendiri, sehingga dengan kekuasaan absolut, Ratu Willhelmina bisa melakukan hal itu demi tujuan-tujuan yang diinginkan. Mungkinkah dugaan generasi awal terhadap musik/irama yang dihasilkan dari mencuri dengar itu adalah lagu duka/lagu pemakaman kaum bangsawan? Mungkin saja berdasarkan pemahaman atas deskripsi sejarah di atas!
Dari “rekonstruksi” ini bisa dikira-kira atau diduga bahwa tradisi tiop dobelir ini adalah bersumber dari lagu duka/lagu pemakaman kaum bangsawan yang awalnya dimainkan oleh orang-orang Belanda, yang tanpa sengaja didengar, menarik perhatian seseorang (Nicholas Pietersz?) yang kemudian memutuskan “mencuri dengar/merekamnya” dan “salinannya” dibawa dan diperdengarkan kepada anggota paduan suling. Atau bisa juga tradisi ini bersumber dari genre/bentuk/model/ragam musik yang “top/umum” di kawasan Eropa zaman itu, didengarkan oleh Nicholas Pietersz, di “copy paste” kemudian dibawa dan diperkenalkan kepada anggota paduan suling dan dianggap sesuatu yang baru di telinga para anggota paduan suling. Dengan rekonstruksi seperti ini, maka uraian [C.1] dan [C.2] serta pemikiran Bpk. Jacob Huwae, bisa kait mengkait/berhubungan dan bisa dianggap/diduga bahwa tradisi tiop dobelir/dobolir ini bermula/berasal.
Pertanyaan kritis selanjutnya, jika sumber musik instrumental ini adalah sesuatu yang umum, bisa didengarkan oleh para pencipta lagu di zaman itu, kenapa tradisi ini hanya ada di Negeri Saparua-Tiouw?
Jawabannya sederhana saja, kelebihan dan daya musikalitas yang tinggi dari Nicholas Pietersz itulah yang jadi pembedanya. Kita tahu, hal-hal demikian tidaklah aneh bagi orang yang berjiwa seni tinggi, mereka seringkali mampu “menangkap” sesuatu yang biasa/aneh/ganjil untuk dijadikan bernilai seni/masterpiece!

b). Tinjauan Kritis bagian ini menyoal tentang istilah dobeliir/doboliir pada musik/lagu instrumental dimaksud. Penggunaan /pemakaian/penyematan nama/istilah dobeliir/doboliir pada musik/lagu instrumental ini agak “aneh” dan menerbitkan rasa penasaran. Sesuai dengan penjelasan Bpk Benny Lewerissa dan Bpk Simon Lokopessy, lagu/musik instrumental ini tidak berjudul, tidak memiliki syair/teks/kata hanya berupa klad/partitur yang berupa not balok. Dari sini kita bisa yakin, jika lagu/musik instrumental ini memiliki judul, syair maka dipastikan tidak akan diberi nama/digunakan/dipakai/disematkan istilah dobeliir/doboliir. Kalau begitu, kenapa, mengapa, untuk apa dan makna serta tujuannya untuk apa digunakan istilah ini? Pada uraian [C.a] hingga [C.g] telah dijelaskan berbagai tafsiran dan dugaan tentang pengertian istilah ini. Penulis akan meninjau kritis satu demi satu agar bisa merekonstruksi dan menghasilkan “kesimpulan” sementara yang bisa dijadikan acuan.
b.C.a.  Penafsiran ini bersifat “filosofis” dan mungkin dikembangkan belakangan oleh generasi berikutnya setelah tradisi ini telah mendapat “tempat” dan jadi kebiasaan. Tradisi ini awalnya “asing” di telinga kaum awam umat Kristiani bahkan pihak gereja, lagi pula tradisi ini bersumber dari “luar” sesuai analisis sumber darimana tradisi ini berasal.  Karena itu agak “janggal” jika pengertian filosofis lahir sejak awal oleh penciptanya maupun oleh anggota paduan suling. Jika dipikir secara kritis pengertian “filosofis” ini tak memiliki “kaitan” dengan sumber darimana tradisi ini bermula. Meskipun bisa saja, pengertian filosofis ini bisa dijadikan alasan/bahan argumentasi Nicholas Pietersz dan anggota paduan suling ketika memperkenalkan tradisi “asing” ini kepada pihak gereja agar diterima/dimasukan/dilibatkan/digunakan dalam liturgi. Wajar dan masuk akal jika saat diperkenalkan pihak gereja membutuhkan alasan/argumentasi yang bisa diterima, maka wajar juga jika pengertian filosofis ini dibuat agar bisa dipahami oleh pihak gereja. Namun, pengertian filosofis ini bukan “asli” atau pengertian awal saat tradisi ini untuk pertama kali diperkenalkan oleh Nicholas Pietersz kepada anggota paduan suling.
b.C.b, C.c, C.d, C.f.  Penafsiran ini  bersifat “teknis” atau bersifat pengertian yang berhubungan dengan istilah2 dalam musik.  Pengertian “teknis” ini bisa juga disebut sebagai pengertian awal tradisi ini. Alasannya, sebuah bentuk/model/musik instrumental tanpa judul, tanpa teks ini dinamai dengan menggunakan istilah teknis dalam musik. Hal ini bisa dipercaya karena sang “penciptanya” adalah seorang pencipta lagu, sehingga istilah2 teknis dalam musik bukan hal asing baginya. Lagipula mungkin saja penamaan dengan menggunakan istilah teknis itu merupakan upaya  “menutupi” atau “samaran” terhadap “plagiat” atau “pencurian hak cipta” darimana bentuk/lagu/musik instrumental ini bersumber.
b. C.g.  Penafsiran ini juga bersifat “filosofis” yang bersumber dari terjemahan bebas penulis setelah membaca kamus untuk melihat kata-kata yang”berdekatan”. Penafsiran ini pun bisa dikaitkan dengan pemaparan soal mitos “door de euwen trouw” di atas. Wejangan/nasehat/ajaran yang disampaikan lewat media lagu. Namun, penafsiran ini bukan “asli” atau berasal dari pemikiran pencipta atau anggota suling sejak awal. Meskipun mitos door de euwen trouw bisa jadi sesuatu yang umum dan menjadi alam pemikiran dimasa itu. Mungkin saja pengertian filosofis yang bersumber dari mitos even de troow yang awalnya adalah kesetiaan terhadap Ratu Belanda “ ditransformasi/dimodifikasi” menjadi kesetiaan terhadap Tuhan. Penafsiran filosofis seperti ini juga bisa menjadi bahan argumentasi saat diperkenalkan kepada pihak gereja sehingga bisa diterima.
b. C.e.  Penafsiran “bebas dan agak nakal” dari penulis yang bersumber dari pembacaan kamus dan pemikiran lebih jauh. Dobeliir/doboliir mungkin berasal dari kata dobblaar yang berarti berjudi/bertaruh. Apa hubungannya? Bagaimana mungkin pengertian yang tidak baik ini bisa dimasukkan kedalam liturgi ibadah?  Seseorang tak dikenal (Nicholas Pietersz?) yang berjudi/bertaruh/mempertaruhkan dalam hal ini nyawa/keselamatan untuk mendapatkan lagu ini. Mungkin saja tradisi ini dinamai karena pengalaman menegangkan ini. Sebagai nama pengingat/perenungan darimana sumber lagu/musik instrumental ini berasal. Bayangkan jika usaha yang berisiko itu diketahui oleh orang belanda? Mungkin saja dikenai hukuman atau nyawa bisa melayang! Mungkin dari pengalaman/petualangan inilah, tradisi ini dinamai seperti itu pada awalnya. Perlu dipahami juga, dilihat dari fam atau marganya, Pietersz adalah marga dari golongan “mestizo/burger”43  yang mendiami kawasan burger di Negeri Saparua yaitu kawasan Soalanda dalam keresidenan saparua, jadi kata-kata belanda adalah hal-hal umum dalam percakapan sehari-hari. L.Z. Leirissa dan J. A. Pattikayhatu menjelaskan bahwa dalam sensus tahun 1930, diperkirakan  50% dari penduduk Indonesia di masa itu yang melek huruf ada di Maluku. Dari pemaparan itu, bisa disimpulkan bahwa orang burger/meztizo adalah bagian dari orang melek huruf tadi sehingga, bahasa belanda pun wajar jika dikuasai oleh golongan ini. Dan wajar pula Nicholas Pietersz menguasai tata bahasa/minimal kata-kata dalam bahasa Belanda. Dengan penguasan bahasa belanda, kemampuan musikalitas yang tinggi, seorang Nicholas Pietersz bisa menamai tradisi baru ini dengan istilah baru. Penamaan ini juga bisa dimaksudkan sebagai samaran/menutupi darimana sumber lagu ini berasal.

Kesimpulan:
Dari pemaparan di atas, ditinjau secara kritis dengan menggunakan sumber-sumber sekunder, bisa “dipastikan” bahwa pengertian “asli” dari dobelir/doboliir adalah berjudi/bertaruh atau penggunaan istilah-istilah dalam musik kepada musik instrumental ini. Ini adalah pengertian awal.
Bisa saja istilah dobeliir/doboliir berasal dari kata dobblaar, dobel bar, dobel lindgren. Dari pengertian awal yang tidak bersifat “filosofis dan beretika Kristen” ini kemudian berkembang pengertian filosofis dan bisa diterima sampai sekarang.
Dugaan/tafsiran dari semua pengertian ini bisa diterima, baik itu bersifat “sekuler”, hal teknis sampai filosofis sekalipun, serta layak direnungkan oleh generasi sekarang dan paling tidak menjadi khazanah luas dalam pemahaman untuk memahami sejarah tradisi tua ini lebih jauh.
Pertanyaan berikutnya : apakah kita perlu menelusuri  serta “menetapkan”lebih jauh tentang sejarah dobeliir/doboliir secara meyakinkan?
Mungkin jawabannya adalah, biarkan waktu dan usaha dari generasi selanjutnya yang akan menelusuri, mencari jawaban serta menyampaikan sejarahnya yang paling benar. Mungkin juga sejarah yang “gelap/samar-samar dan kabur” ini menjadi aura mistis yang lain dari tradisi tua ini. Mungkin di balik sesuatu yang samar-samar itu menunggu waktu, untuk muncul dalam pengenalan yang lebih baik.

E.  SAVE TRADISI

Saat menulis artikel ini, menelusuri berbagai sumber, menemui orang totua, membaca ulang berbagai referensi/literatur yang ada, merangkai, menjahit kata demi kata demi terciptanya tulisan ini, penulis selalu meneteskan airmata. Sebagai bagian dari anak negeri, bagian dari jemaat GPM Saparua-Tiouw, yang putus pusa, besar, dibentuk oleh alam Negeri Saparua, diberi makan dan minum oleh sumber alam yang berlimpah ruah, diwariskan dengan berbagai tradisi, ada kecintaan mendalam yang mendasari penulisan sejarah tua ini. Pahamilah bahwa, tradisi ini lahir/dibentuk dalam alam penjajahan. Tradisi tua yang lahir dari pergumulan, pergulatan, pengalaman, petualangan dari manusia-manusia hebat pada zamannya. Pahami juga tradisi ini adalah sebuah hasil budaya, pernyataan hidup manusia yang mempunyai tendensi universal45. Dari batang bambu/buluh, dibuat alat instrument musik. Betapa hebatnya sebuah kreasi manusia. Harus dipahami juga, zaman  itu gereja dalam hal ini adalah GPM adalah gereja negara46 , “kekuasan”gereja yang saling tumpang tindih dengan pemerintah, batas wilayah gereja bertindih dengan batas administratif pemerintahan, saat-saat seperti itulah tradisi ini lahir. Beriring bersama, bergumul bersama, bergulat dan berjuang bersama hingga gereja menjadi gereja mandiri47 , gereja yang lepas dari pemerintah, gereja yang bisa mengatur dirinya sendiri di tahun 1935 atas perjuangan Pdt T.J. van Oostroem Soede dan Pdt van Herwerden. Terus berjuang, terus mengiringi dan jadi bagian integral dalam kehidupan gerejawi dan juga masyarakat.

Kumpulan batang-batang bambu yang dijadikan satu dalam paduan suling pernah menjadi bagian penting dalam liturgi ibadah, jadi kebudayaan yang “trend’ pada jamannya. Namun sekarang, seperti tersingkir, tergeser oleh piano, keyboard, yang lebih canggih. Kemajuan teknologi tak bisa ditolak, namun kearifan dan kebudayaan tak perlu disingkirkan! Ingatlah!  dari batang-batang bambu itu, ia jadi saksi sejarah ketika gereja bergumul, bergulat, berjuang hingga mencapai “kemerdekaannya”. Ia turut menjadi “orang tua saksi” “bapa ani” “mama ani”  saat gereja “dibaptis” menjadi pribadi dewasa dan mandiri. Haruskah “bapa ani” “mama ani” ini disingkirkan, ditinggalkan, dihilangkan atas nama sebuah “kekunoan”? ada kearifan, ada filosofis yang dalam jika kita mau memahaminya lebih jauh. Saat kita melupakan/meninggalkan/menghilangkan tradisi tua, kita seperti melupakan “kasih sayang/pengasuhan/jasa” orang tua yang tak bisa dibalas sampai mati!
Mungkin perlu dipikirkan ulang oleh pihak gereja dan pihak pemerintah negeri, bahwa kecintaan terhadap kebudayaan bukan diartikan pemujaan/pengkultusan buta, atau narsisme kebudayaan. Ada hal-hal yang perlu dipertahankan! Dari sini, jika itu dilakukan, penulis membayangkan suatu saat di tiap kompleks, unit, sektor, terdengar alunan fals dan merdu dari tiupan suling yang bergemuruh, saling bersaing, saling berkompetisi, sehingga tercipta “industri” yang saling mengisi dengan instrument modern. Tak ada kompetisi yang “unfair” semuanya saling mendukung dan mendapat tempat dalam sebuah sejarah. Semoga!
Let,s save our tradition!

 
Referensi:
1)      Mazmur 96 : 1
2)      Wikipedia : Orang –orang terkenal asal Maluku
-     Blog Hurnala Tulehu : Daftar Tokoh Asal Maluku, diunduh pada tanggal 04 desember 2014
3)      Wikipedia : Orang-orang terkenal asal Maluku
-     Blog Hurnala Tulehu : Daftar Tokoh Asal Maluku, diunduh pada tanggal 04 desember 2014
4)      Exodus /Kitab Keluaran 15:1-18
5)      J.D. Engel : Liturgika : Pemahaman dan penghayatan ibadah dalam liturgi  (Salatiga : Tisara grafika, 2007 hlm. 38)
6)      Perbincangan dengan Tuagama Fredrik Loupatty (tua pelo) yang adalah tuagama paling senior di Jemaat GPM Saparua Tiouw, tanggal 15, 26 januari 2015
7)     Perbincangan dengan Bpk. Benny Lewerissa, yang merupakan generasi ke-3 yang meniup musik instrumental ini (tiop dobelir), tanggal 22 januari 2015
8)      Penuturan warga negeri saparua yang ditemui
9)      Pengamatan penulis dan pengakuan beberapa warga jemaat
10)  Mereka tak ingin namanya disebutkan, namun informasinya sangat valid karena penulis melakukan “croscek” pada beberapa pihak
11)  Cerita yang disampaikan oleh Bpk Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 januari 2015
12)  Perbincangan dengan Bpk. Corneles Tomasoa tertanggal 29 januari 2015.
13)  Perbincangan dengan Bpk. Benny Lewerissa, Bpk. Simon Lokopessy, Ibu. Ende Siahainenia, Bpk. Fredrik Loupatty, Bpk. Corneles Tomasoa, Bpk. Jacob Huwae, Ibu. Pelly Anakotta, Bpk. Jance Latupeirissa, dan beberapa orang totua dalam negeri
14)  Perbincangan dengan Bpk. Simon Lokopessy yang adalah anak dari Fredrik Lokopessy tanggal 24 januari 2015
15)  Cerita sang ibu, Alm Josephina Anakotta kepada penulis sekitar 8-9 tahun lalu. Alm adalah anak dari Fredrik Anakotta yang merupakan generasi awal/pertama yang meniup tradisi tiop dobelir ini. Cerita ini didengar dari  ayahnya  yang juga  kakek dari penulis.
16)  Perbincangan dengan mereka pada tanggal 22 dan 24 januari 2015
17)  Dugaan Bpk. Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 januari 2015
18)  Informasi dari Ibu. Tine Noya yang lahir pada tahun 1942
19)  Informasi dari Bpk. Corneles Tomasoa yang lahir pada tahun 1933
20)  Perbincangan dengan Nicholas Pietersz (cucu) tanggal 14-15 februari 2015
21)  Penuturan Bpk. Benny Lewerissa
22)  Penuturan Bpk. Simon Lokopessy
23)  Tafsiran Bpk. Jacob Huwae
24)  Tafsiran Bpk. Corneles Tomasoa
25)  Tafsiran bebas/nakal dari penulis berdasarkan Kamus Bahasa Belanda
26)  Tafsiran bebas penulis berdasarkan kamus musik karangan M. Soeharto, PT Gramedia Widiasarana Jakarta, 1992 di bagian abjad D, hlm. 31
27)  Tafsiran dari penulis berdasarkan Kamus Bahasa Belanda karangan A.L.N. Kramer Sr, terbitan G.B. Van Goor Zonen,s Uitgeversmaatschappij N.V. Denhaag tahun 1959
28)  Penuturan dari Bpk. Benny Lewerissa, Bpk. Simon Lokopessy tanggal 22 dan 24 januari 2015
29)  Toenggoel Siagian. M.S. M.Ed, Direktur Penerbit Pustaka Harapan dalam kata pengantar penerbit yang menerbitkan buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764 – 1962” karangan Dr. Th. Stevens, 2004 (edisi terjemahan)
30)  Ucapan dari sejarahwan terkenal Indonesia, Prof Dr. Taufik Abdulah yang dikutip oleh Rosihan Anwar dalam bagian sekapur sirih/kata pengantar pada bukunya: Sejarah kecil – petite histoire Indonesia, PT Kompas Media Nusantara, 2004, hal ix
31)  Dr. Th van den End dan Dr. J.Weitjins, S.J  : Ragi Carita 2,  sejarah gereja di Indonesia 1860an – sekarang, PT BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 71
32)  – ibid hlm. 79
33)  Pemikiran dan tafsiran bebas dari Bpk Jacob Huwae yang disampaikan pada tanggal 27 januari 2015
34)   Ester Gunawan Nasrani : Penelusuran Perkembangan Dan Peranan Musik Gereja Dalam Hubungannya Dengan Perkembangan Gereja, yang di muat ulang pada majalah digital WWW.Praise. Com, diunduh pada tanggal 15 februari 2015
35)  Sebuah blog yang memuat tulisan tentang sejarah perkembangan musik dunia, diunduh pada tanggal 15 februari 2015
36)  Tafsiran Penulis berdasarkan tulisan ini serta pengetahuan penulis
37)  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hlm. 320 (edisi terjemahan)
-         Drs. Jhon. A. Pattikayhatu : Sejarah Revolusi Kemerdekaan di daerah Maluku, 1991 hal 29
38)   Artikel yang ditulis oleh seorang blogger yang “tak diketahui namanya” dalam sebuah blog, diunduh pada tanggal 12 februari 2015
39)  R.Z. Leirissa dan J. A. Pattikayhatu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, hlm. 68-69
40)  Ibid – hlm. 70 - 73
41)  Ibid – hlm. 73-74
42)  Wikipedia : sejarah kerajaan belanda dan silsilah para raja/ratu kerajaan belanda, di unduh pada tanggal 22 januari 2015
-       http://kadalsuharni.blog.com/ diunduh tanggal 22 januari 2015
-      Fajar Muhamad Nugraha : Stamboom/silsilah raja dan ratu belanda diunduh pada tanggal 22 januari 2015
-    1909 - 1936 Het leven van onze Kroonprinses in Beeld atau dalam bahasa Indonesia Kehidupan dari Puteri Mahkota kita dalam Gambar 1909-1936. Sebuah buku yang berisikan foto-foto Ratu Juliana pada saat kecil hingga 27 tahun. buku ini diterbitkan pada tahun 1936 untuk memperingati pertunangan Ratu Juliana dengan Pangeran Bernhard pada tanggal 8 September 1936, diunduh pada tanggal 22 Januari 2015
43)  R.Z. Leirissa dan J. A. Pattikayhatu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, hal 75
44)  Ibid hal 52-56
45)  Kutipan Wiratmo Soekito dalam buku yang di “karang” oleh D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail : Prahara Budaya, Mizan 1995, hal 157
46)  Dr. Th van den End dan Dr. J.Weitjins, S.J  : Ragi Carita 2,  sejarah gereja di Indonesia 1860an – sekarang, PT BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 62
47)  Ibid hal 74-75
-         Dr. G.P.H. Locher : Tata Gereja Gereja Protestan di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 92-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar