Minggu, 01 Maret 2015

Pelatu dan Latuwaelaiti



SIAPA KAUM BANGSAWAN/RAJA SEBENARNYA???
( Tinjauan “historis” terhadap klaim Matarumah Parentah
di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu )

“...Ketika Samuel melihat Saul,
maka berfirmanlah Tuhan kepadanya :
Inilah orang yang Kusebutkan kepadamu itu;
orang ini akan memegang
tampuk pemerintahan atas umat-Ku...” 1)

Leparissa Manupalo - Anakotta


A.         PENDAHULUAN
Pada mulanya adalah 4 orang “kapitan” dari Negeri Souhuku (Lilipori Kalapessy) di pesisir selatan pulau Seram, menurut cerita orang totua, tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi dan “dipercaya” hingga sekarang, mereka berempat “merantau” mencari tanah baru sebagai huniannya. Dengan menggunakan “gosepa”, mereka berlayar menuju pulau baru yang pada akhirnya sekarang disebut sebagai pulau Saparua. Ke-4 “kapitan” itu adalah Kapitan Adjelis Simatauw yang beristrikan seorang wanita bermarga Anakotta, Kapitan Riang Titaley yang beristrikan wanita bermarga Simatauw, Kapitan Untaune/Hintaune Anakotta yang beristrikan wanita bernama Kupasila Ririnama, dan Kapitan bermarga Ririnama yang beristrikan wanita bermarga Ruhupessy. Melalui perjalanan panjang, setelah beberapa kali singgah di tempat yang “kurang cocok” menurut pandangan mereka, akhirnya mereka berlabuh di sebuah pantai. Di pantai itulah yang sekarang disebut pantai muka kota, tempat Benteng Duurstede berdiri dengan kokoh. Menurut perhitungan dan data-data yang ada pada negeri asal mereka yaitu Souhuku, kedatangan mereka tercatat pada tahun 1463. Cerita “sejarah” lengkap ini bisa dilihat/dibaca dengan lebih rinci pada blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu).2)  Dari merekalah, kemudian beranak pinak, menurunkan generasi demi generasi, menerima berbagai kaum “pendatang”, berasimilasi, kawin mawin dan akhirnya “membentuk” sebuah “negeri”. Negeri itulah yang sekarang disebut Negeri Saparua atau Pisarana Hatusiri Amalatu. 

Dalam perspektif sejarah modern, masyarakat komunal seperti itu, akan dipimpin oleh seorang pemimpin. Pemimpin masyarakat bisa bergelar raja, sultan, patih, orang kaya, kepala desa dan berbagai gelar lainnya.3) Negeri-negeri atau desa yang ada di Maluku, terkhusus yang berada dalam lingkup Kabupaten Maluku Tengah, sesuai Peraturan Daerah No 1 tahun 2006, dipimpin oleh seorang Raja/Patih/Orang Kaya bagi desa adat, dan Kepala Desa bagi desa administratif.4) Upaya pengembalian status desa adat ini merupakan implementasi dari penjabaran Peraturan Daerah Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 tentang "Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku".5) Peraturan Daerah Provinsi Maluku tersebut, merupakan komitmen melaksanakan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Desa.6) Semua Undang-Undang dan Peraturan Daerah tersebut berhulu pada  UUD 1945 hasil amendemen ke-4 pasal 18 b ayat 2.7) Negeri Saparua sebagai salah satu desa yang termasuk dalam lingkup Kabupaten Maluku Tengah dan merupakan desa adat, tentunya turut menjalankan Peraturan Daerah dimaksud.

R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu, menjelaskan: Kecuali beberapa negeri seperti Soya dan Hitu di Pulau Ambon, Saparua di Pulau Saparua dan lain-lain, semua pejabat negeri menggunakan gelar “orang kaya” segera setelah diangkat.8) Dari penjelasan tersebut, maka dipastikan jauh sebelum munculnya Peraturan Daerah tersebut, Negeri Saparua dipimpin oleh seorang dengan bergelar Raja. Ada hal yang menarik, pada saat pemberlakuan Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, dimana semua desa/negeri adat “dilebur/dihilangkan” dan menjadi desa, kepala pemerintahannya disebut sebagai kepala desa, namun dalam kebiasaan sehari-hari, kepala desa disebut/dipanggil/disapa sebagai Bapa Raja atau Ibu Raja, meskipun secara adminstratif disebut Kepala Desa. Hal itu juga terjadi di Negeri Saparua, pada jaman Kepala Desa Ny. A.B. Anakotta yang memerintah dari tahun 1969-1996, beliau disebut/dipanggil/disapa Ibu Raja dalam pergaulan sosial kemasyarakatan, meskipun secara administratif seharusnya adalah Kepala Desa. Hal ini mungkin disebabkan bahwa masyarakat Negeri Saparua telah terbiasa dengan panggilan Raja sejak dulu.

Dengan pemberlakuan Peraturan Daerah No 1 tahun 2006 tadi, maka desa/negeri yang bersifat adat dipimpin oleh seorang yang bergelar Raja/Patih/Orang Kaya. Sebagai payung hukum yang mengatur proses penentuan, pencalonan hingga pelantikan dan tugas-tugas pemerintahan yang diemban oleh Kepala Pemerintahan, dalam implementasinya selalu menemui masalah yaitu salah satunya adalah “Penentuan mata rumah parentah” atau siapa sebenarnya yang paling berhak dicalonkan sebagai Raja di negeri tersebut. Masalah penentuan calon yang dimaksud bukan dalam perspektif kapasitas, kemampuan, wawasan, kepimpinan, dan berbagai unsur yang bisa diuji/diukur secara ilmiah. Namun lebih pada sebuah “kebiasaan” “aturan” “norma” yang bersifat “adat” yang berlaku di desa/negeri tersebut. Maksudnya adalah, bahwa penentuan calon Raja/Patih/Orang Kaya “harus” berasal dari garis keturunan Raja/Kaum Bangsawan. Hal ini selalu menimbulkan “perdebatan” maupun “tafsiran” yang kadang-kadang berujung pada pertikaian dan kompetisi yang tak sehat. Banyak contoh yang bisa ditunjukkan untuk menguatkan pemahaman dimaksud dan menjadi bukti keras yang tak bisa dibantah. Terkadang masalah tersebut menjadi berlarut-larut dalam proses pemilihan Raja definitif. Di tiap negeri/desa, selalu muncul “kebiasaan, aturan, norma” dimaksud, misalnya Negeri Paperu, yang harus menjadi Raja adalah yang bermarga Luhukay, Tiouw, yang harus menjadi Patih adalah bermarga Pattiwael, Porto, haruslah bermarga Nanlohy, Soya, haruslah bermarga Rehatta, Siri Sori Serani, haruslah bermarga Kesaulija/Kesaulya, Tuhaha haruslah bermarga Sasabonne dan Tanalepy, dan masih banyak lagi. Begitu juga yang terjadi di Negeri Saparua, “kebiasaan, norma dan aturan” yang berlaku adalah calon Raja “haruslah” dari orang-orang yang bermarga Titaley. Itupun “ditambah lagi” dengan “identitas” yang selalu debatebel atau menimbulkan perdebatan yaitu pemakaian istilah “garis lurus”.

Sejak pemberlakuan Perda No 1 tahun 2006 tersebut, sekurang-kurangnya 10 tahun belakangan, muncul klaim-klaim dari marga lain yang “membantah, menyangga, memprotes” kebiasaan, norma atau aturan yang telah ada. Ini terkhusus terjadi di Negeri Saparua, dalam 10 tahun ini, muncul suara-suara yang mengklaim bahwa dari pihak/kaum/marganyalah yang paling berhak menjadi calon Raja. Di Negeri Saparua, muncul klaim dari marga Simatauw yang menganggap merekalah yang paling “berhak” menjadi Raja bukan marga Titaley. Klaim itu berdasarkan pemahaman, pengetahuan, penafsiran terhadap berbagai “data sejarah” yang dimiliki. Beruntung bahwa klaim seperti ini masih dalam batas “wacana” sehingga masih terhindar dari pertikaian atau mungkin bisa jadi mengarah pada hal yang tak diinginkan. Dari kontemplasi masalah-masalah itulah, tulisan ini dibuat. Tulisan ini mencoba “mendudukan” ujung pangkal terhadap penafsiran, pemahaman, pengetahuan dan pembacaan ulang yang menjadi sebab musabab timbulnya saling klaim itu. Tulisan ini berusaha “seobyektif” mungkin tak berpihak, meskipun hal obyektif itu tak bisa dicapai karena tak akan sempurna. Upaya rekonstruksi selalu menimbulkan bias, penafsiran selalu tak bisa tunggal. Pemahaman dan pembacaan ulang selalu tak bisa seragam. Itu hal manusiawi dan wajar serta perlu dalam alam demokrasi demi kemajuan sebuah negeri. Berangkat dari konteks itu, tulisan ini bermaksud sebagai “solusi” “jalan kompromistis” yang bisa diterima dan perlu dipikirkan kedepan.

B.         SEJARAH ( Simpang siur ? )
Kutipan di atas, adalah bersumber dari Perjanjian Lama, yang merupakan “landasan hukum” pengangkatan Raja Bangsa Israel. Itu yang nantinya berkembang dan disebut sebagai sistim pemerintahan teokrasi dalam konteks hukum tata negara. Biasanya dalam pemerintahan sistim ini, pemerintahan dipegang oleh orang atau kaum agamawan yang memerintah atas nama “Tuhan”. Mereka memahami bahwa mereka adalah wakil Tuhan yang memerintah atas nama-Nya.9) Dewasa ini sebagai contohnya adalah Negara Vatikan dan Negara Tibet. Dari pengertian ini, sistim teokrasi itu mengalami perubahan hingga muncul sistim monarkhi yang dipahami atau ditetapkan berdasarkan keturunan atau warisan. Sebutan kepala pemerintahan bagi sistim ini adalah Raja/Ratu, Sultan, Kaisar dan lainnya.10) Dalam sistim ini, kepala pemerintahan yang berdasarkan keturunan itu menganggap mereka adalah penjelmaan “Tuhan” atau keturunan yang diberikan hak untuk berkuasa atau memerintah. Contohnya di Jepang, Kaisar menganggap ia adalah keturunan Dewa Matahari yang merupakan simbol “Tuhan” dalam agama Shinto, Firaun di masa Mesir Kuno, dan banyak contoh lain. Pada sistim ini dikenal “teori kedaulatan Tuhan” atau Gods souvereiniteit yang menyatakan atau menganggap kekuasan pemerintahan diberikan oleh Tuhan. Contohnya Kerajaan Belanda, Raja atau Ratu resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan bij de gratie Gods, atau di Negara Ethiopia, Raja dinamakan singa penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia11. Di Negara Indonesia, ada juga seperti ini, misalnya Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono, Kesultanan Solo, dengan gelar Pakubuwono dll.

Lantas bagaimana dengan “sistim pemerintahan” di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu??? Apakah juga mengikuti sistim teokrasi di atas??? Darimana dan sejarahnya seperti apa hingga muncul “kebiasaan, norma dan aturan” bahwa mata rumah/soa/marga Titaley yang “harus” menjadi Raja??? Harus diakui, bahwa tak ada catatan tertulis, arsip, dokumen yang tertinggal, yang menceritakan kepada kita bagaimana asal usulnya. Bagaimana sejarahnya, bagaimana deskripsi dan alasan kenapa mata rumah tertentu yang harus jadi “Raja”. Yang ada hanyalah tradisi lisan/oral yang diturunkan dari generasi ke generasi dan akhirnya “dipercaya dan diakui”. Dalam konteks sejarah, tradisi seperti ini bisa dikategorikan sebagai “mitos” dan legenda” dan bukan sebagai laporan sejarah faktual. Mitos adalah cerita yang disusun oleh orang-orang pada zaman dulu sebagai usaha untuk menjelaskan kehidupan atau asal mula sebuah peristiwa sebagaimana yang mereka ketahui. Legenda adalah cerita yang didasarkan pada ingatan-ingatan manusia tentang para leluhur dan kejadian-kejadian yang menyangkut diri mereka. Cerita-cerita seperti ini tersimpan lama dalam ingatan maupun dalam tradisi lisan dan terus menerus diceritakan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya. Seringkali cerita itu barulah ditulis ratusan tahun kemudian sesudah peristiwa yang dilaporkan/diceritakan itu telah terjadi.12)

Menurut cerita orang totua (legenda/mitos), asal mula penunjukan mata rumah Titaley untuk menjadi Raja bermula dari kedatangan Bangsa Penjajah, yaitu (Portugis atau Belanda?). Pada saat bangsa penjajah itu datang dan mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat Negeri Saparua, mereka melakukan kontak dengan orang-orang negeri asli (anak-anak adat). Berhubung bahwa orang-orang negeri asli tinggal di “hutan”/negeri lama (Rila?), dan mereka telah memantau kedatangan bangsa penjajah memasuki wilayah perairan/lautan dan menimbulkan ketakutan karena perbedaan fisik dan anatomi, maka upaya kontak itu pada awalnya mengalami kegagalan. Dengan beberapa kali usaha dari bangsa penjajah, maka orang-orang pribumi/asli Negeri Saparua yang tinggal di hutan, atas kesepakatan dan pertimbangan, mereka mengutus seorang yang bermarga Titaley untuk menemui pembesar-pembesar bangsa penjajah. Tak disangka, orang yang diutus itulah kemudian diangkat dan dianugerahi oleh bangsa penjajah sebagai Raja bagi masyarakat negeri Pisarana Hatusiri Amalatu. Menurut cerita pula, sebagai tanda penunjukan atau pengangkatan sebagai Raja, bangsa penjajah itu memberikan mahkota, tongkat, panji-panji kebesaran sebagai simbol Raja. Sejak saat itulah, keturunan/generasi orang yang bermarga Titaley itu “dipercaya dan diakui” sebagai keturunan Raja/Kaum Bangsawan di Negeri Saparua.13)

Seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan, bahwa selain mata rumah Titaley, ada juga mata rumah Simatauw yang mengklaim merekalah yang berhak menjadi Raja/Kaum Bangsawan. Dasar klaim mereka adalah mereka “yakin dan percaya” bahwa “pemimpin” dari ke-4 kapitan yang pertama kali datang ke Negeri Saparua adalah, kapitan Adjelis Simatauw. Dengan pemahaman dan kepercayaan itu, maka mereka yakin bahwa kapitan Adjelis Simatauw adalah Raja pertama. Dan kemudian diturunkan ke beberapa generasi berikutnya salah satunya bernama (raja?) Mayasang. Selain itu, klaim mereka “diperkuat” dengan bekas kuburan/pusara dari Raja/Kapitan? Adjelis di Negeri Lama (hutan Rila) serta Mayasang di samping Baileu Negeri Saparua, tepatnya di pekarangan rumah Keluarga Herman sekarang.14)  Kedua “mitos” ini kemudian dijadikan dasar untuk saling mengklaim siapa sebenarnya yang paling berhak menduduki jabatan Raja. Atau tepatnya dalam kebudayaan Maluku, siapa sebenarnya Mata Rumah Parentah???.

Terjadi sejarah “simpang siur” karena seperti yang dijelaskan bahwa kedua cerita adalah mitos atau legenda. Tak ada bukti, arsip atau dokumen, catatan yang menjelaskan kepada kita bagaimana asal mulanya. Lalu dari kedua cerita di atas, mana yang harus dipercaya??? Mana yang lebih kredibel??? Apakah cerita versi dari yang bermarga Titaley atau yang bermarga Simatauw??? Sangat sulit menjawabnya karena alasannya sangat sederhana, tak ada petunjuk awal untuk “memutuskan” atau “menetapkan”. Yang bisa dilakukan adalah dekonstruksi dan rekonstruksi ulang terhadap mitos tersebut dengan menggunakan sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber sekunder yang dimaksud adalah seluruh literatur yang sebenarnya tak memiliki kaitan “langsung” atau “mendukung” dengan kedua mitologi itu, namun setidaknya memberikan penjelasan atau pemaparan mengenai “realita sosial” yang bisa dihubungkan dengan perkiraan masa seperti yang dilaporkan atau diceritakan dalam mitos/legenda itu. Sumber sekunder itu juga dipakai untuk “menganalisis, membedah dan menguji kedua mitos tersebut. Dari sini mungkin kita bisa “menentukan” tujuan yang ingin dicapai meski hanya berupa hipotesis yang bisa dibantah atau ditanggapi lebih jauh. Andaikan tak mencapai tujuannya, mungkin ini bisa digunakan sebagai bahan pemikiran dan perenungan buat kedepannya.

C.    TINJAUAN ( Historis )
R.Z. Leirissa dan J. A. Pattikayhatu15), Ziwar Efendi16), Ivan Titawanno17), dan beberapa blog yang dicari serta dibaca, menjelaskan bahwa sistim kekerabatan di Maluku Tengah, yang paling mendasar adalah “keluarga batih” atau “keluarga inti” yang berdasar hubungan genealogis (darah). Dari beberapa gabungan keluarga batih ini, dibentuk sebuah kelompok yang disebut sebagai lumatau/mataluma/matarumah atau dalam bahasa asing biasa dikenal dengan istilah clan. Kelompok-kelompok ini sesungguhnya adalah patriclan atau kelompok kekerabatan yang menganggap dirinya satu keturunan/seketurunan. Beberapa lumatau ini kemudian membentuk soa.  Dari pemaparan ini, maka di Negeri Saparua, bisa dijelaskan bahwa marga Anakotta sekarang berasal dari lumatau/mataluma/matarumah Leparissa yang kemudian menjadi Soa Manupalo. Marga Simatauw, berasal dari matarumah Soulessy kemudian menjadi Soa Latuwaelaiti, Marga Titaley berasal dari matarumah Latu kemudian menjadi Soa Pelatu, dan marga Ririnama berasal dari matarumah Souhala yang menjadi Soa Namasina.18)

Penjelasan singkat di atas kiranya bisa dijadikan sebagai diskripsi umum untuk memulai analisa di bagian ini. Hal itu perlu dilakukan agar kita bisa memahami semua “hubungan” yang akan diurai selanjutnya. Bagian ini akan menganalisa, membedah serta menguji kedua cerita “mitos atau legenda” tentang klaim kedua matarumah ini. Untuk lebih terstruktur dan sistimatis, akan dijelaskan masing-masing agar bisa dipahami dengan baik.

c.1. Klaim Matarumah Simatauw
Marga Simatauw adalah salah satu dari ke-4 marga/faam yang diakui/dipercaya oleh masyarakat Negeri Saparua sebagai orang negeri asli (orang pribumi?). Dalam sistim adat, marga Simatauw menjadi Soa Simatauw atau soa LATUWAELAITI  yang matarumah/mataluma adalah SOULESSY. Perlu dijelaskan pengertian kedua kata ini agar kita bisa mengerti.

SOU (beritahu), LESSY (banyak) --> SOULESSY yang artinya banyak memberitahu. Soa LATUWAELAITI --> LATU (raja), WAE (air), LAI (datang) dan ITI (teriak). LATUWAELAITI yang artinya raja air datang memberitahu. Sesuai dengan perannya sebagai kewang negeri (pengawas hutan dan lautan) sekaligus juga sebagai marinyo (pemberitahu).19)

Klaim soa ini seperti dijelaskan pada bagian (B), bermula dari pemahaman dan keyakinan mereka bahwa “pemimpin” dari ke-4 kapitan yang merantau hingga tiba di pantai muka kota Negeri Saparua adalah Kapitan Adjelis. Karena mereka menganggap Kapitan Adjelis sebagai pemimpin, maka saat tiba dan menghuni maka, Kapitan tersebut diangkat sebagai Raja. Kita perlu menganalisa, membedah, menguji serta berpikir kritis terhadap pemahaman cerita yang bersifat “mitos dan legenda” ini.

a.   Ada pemahaman dan kepercayaan bahwa, istilah pemimpin yang dimaksud bukan dalam pengertian seperti yang kita kenal. Atau dalam arti pemimpin/pemenang yang lahir dari sebuah kompetisi, pertarungan atau peperangan di antara ke-3 kapitan lainnya. Sehingga bisa dianggap “bos” terhadap yang lain. Kapitan Adjelis dianggap/ditunjuk sebagai “pemimpin” atas kesepakatan dan pertimbangan bersama. Ya mungkin bisa dikategorikan sebagai “musyawarah mufakat” dalam pengertian sekarang. Pertimbangan itu karena dari ke-4 kapitan, Kapitan Adjelis yang berusia paling tua.20 Pemahaman seperti ini bisa masuk akal dengan asumsi bahwa orang yang berusia tua adalah seorang yang punya banyak pengalaman, sehingga pengalaman tersebut bisa digunakan saat dibutuhkan. Apalagi saat mereka memutuskan “merantau” dan mencari wilayah/daerah hunian baru yang sangat asing buat mereka. Bisa juga ada pemahaman bahwa “rambut putih selalu bijak” maksudnya bahwa orang yang lebih tua adalah yang lebih bijak atau lebih mengetahui segalanya. Dari asumsi seperti ini maka logis jika kapitan adjelis dianggap/ditunjuk sebagai pemimpin yang mengepalai “armada” itu. Atau apakah “cerita” ini “disusun” oleh generasi berikutnya untuk “menghilangkan/menutupi/menyingkirkan” cerita sebenarnya (undercover/behind story)  bahwa sebenarnya Kapitan Adjelis adalah pemimpin yang lahir dari kompetisi, pertarungan, persaingan bahkan peperangan dantara mereka??? Walahualam!!! Namun jika seperti ini, agak kurang “logis” karena ternyata ke-4 kapitan itu tiba dengan “selamat” di tempat yang dituju. Perlu juga dipahami dalam cerita “mitologi” seperti ini, para kapitan adalah para petarung yang memiliki “kekuatan super” sehingga jika terjadi pertarungan atau peperangan atau saling menguji kekuatan dan kemampuan demi sebuah jabatan “pemimpin” dalam perjalanan mereka, maka tentunya nyawalah yang jadi taruhannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, maka “tak mungkin” ke-4 kapitan itu bisa lengkap tiba di tempat yang dituju. Keyakinan orang-orang Negeri Souhuku, bahwa hanya ke-4 kapitan yang keluar dari negeri mereka mendapat legitimasi dengan kepercayaan orang Negeri Saparua yang “mengakui dan percaya” bahwa orang negeri asli adalah keturunan dari ke-4 kapitan ini. Legitimasi dari 2 sumber ini bisa jadi “hipotesis” bahwa Kapitan Adjelis yang dianggap sebagai “pemimpin” memang bukan lahir dari pertarungan/peperangan tapi memang atas kesepakatan bersama sesuai penjelasan sebelumnya!!!.

b.   Jika ke-4 kapitan itu adalah yang mula-mula mendiami Negeri Saparua, bagaimana “bisa” Kapitan Adjelis menjadi “Raja” yang hanya memerintah 7 orang??? Ke-3 kapitan lain bersama istri dan istrinya sendiri??? Agak terasa “janggal” jika pemahaman ini “dipaksakan”. Lagipula dalam cerita selanjutnya mengenai kehidupan mereka berempat bersama istri-istrinya, mereka “berpisah” dan mencari tempat berbeda untuk tinggal. Ini dibuktikan dengan kepercayaan bahwa bagian-bagian terpisah di dalam negeri saparua adalah milik mereka, meskipun berbatasan sekalipun. Dan buktinya masih ada hingga saat ini. Kapitan Riang Titaley menempati kawasan Batu Kota dan sekitarnya (Areal benteng Duurstede dan sekitarnya sekarang), Kapitan Adjelis Simatauw menempati Hutan Sapa Rua Lesi (saparua mula-mula), Kapitan Untaune/Hintaune Anakotta menempati Hutan Waimaerua dan Morillo, serta Kapitan Ririnama menempati Hutan Launa dan Rila.21) Ke-4 tempat ini berbeda dan berada dalam petuanan Negeri Saparua/Pisarana Hatusiri Amalatu. Jika seperti ini maka bisa dikatakan ke-4 kapitan itu adalah kepala keluarga bagi keluarga dan keturunan mereka sendiri, bukan pemimpin atas lainnya. Mungkin bisa disebut mereka adalah kepala puak bagi puak mereka, atau pemimpin clan masing-masing. Maka “dipastikan” Kapitan Adjelis adalah pemimpin clan atau kepala puak bagi puaknya bukan “raja” dalam pengertian kita sekarang. Lalu bagaimana dengan bukti adanya pusara yang dipercaya sebagai kuburan Kapitan Adjelis di Negeri Lama (hutan Rila)???. Apakah ini bukan bukti bahwa klaim mereka mengandung kebenaran???. Bukti bahwa di tempat awal Negeri Saparua ini bermula, ada kuburan yang bisa jadi penanda bahwa Kapitan Adjelis adalah “Raja” atau “orang yang dihormati” sehingga perlu dimakamkan di “tempat khusus” itu???. Pemikiran ini juga layak dipertimbangkan namun mengalami sedikit “masalah” karena kita tak mengetahui keberadaan makam ke-3 kapitan yang lain. Andaikata makam ke-3 kapitan yang lain bukan di tempat khusus itu, bukan berarti bahwa Kapitan Adjelis adalah “Raja” sehingga mendapat perlakuan khusus. Mungkin ke-3 kapitan yang lain lebih merasa “senang” jika mereka dimakamkan di tempat hunian mereka masing-masing. Jika makam ke-3 kapitan itu berada di kawasan Negeri Lama (hutan Rila), itu juga membuktikan bahwa memang itu bukan tempat khusus buat areal pemakaman kaum Raja. Hal ini lebih “cocok” dianggap sebagai penghormatan terhadap Kapitan Adjelis yang jadi “pemimpin” sehingga wajar jika dimakamkan di tempat asal mula negeri saparua (ingat penjelasan (a) pada bagian ini). Mungkinkah ini seperti mengikuti apa yang dilakukan oleh Abraham dan istrinya Sarah yang dimakamkan di Gua Makhpela.22) Lewat penjelasan ini, mungkin kapitan-kapitan itu bisa “dianggap” sebagai “bapa-bapa patriakh” orang negeri saparua. Atau bisa disebut Kapitan Adjelis dan ketiga kapitan lain adalah “para bapa leluhur negeri saparua” dalam istilah studi sejarah Israel, jika istilah ini ingin digunakan.23)

c.     Lalu bagaimana dengan “Raja” Mayasang seperti klaim mata rumah Simatauw???. Kembali lagi, tak ada bukti apapun yang tertinggal yang bisa dijadikan panduan atau referensi. Yang ada hanya cerita “mitos” atau “legenda” tadi. Jika ini dianggap sebagai fakta, maka mari kita berandai-andai dan sekaligus menganalisanya secara jernih. Kita tak mengetahui apakah “Raja” Mayasang ini adalah anaknya Kapitan Adjelis atau cucunya atau cicitnya atau generasi keberapa dari Kapitan Adjelis. Jika adalah anaknya, maka tak mungkin, karena kehidupan sosial yang dijelaskan tadi yang hanya baru 8 orang, andaikan saja Kapitan lain masing-masing memiliki 10 anak dalam rentang ini, dan ditambah oleh kaum pendatang sekalipun, masih tetap tak bisa “diterima”. Bisa dikatakan “kacau” “anakronik” dari segi kronologis dan reproduksi manusia yang kita pahami. Dalam studi sejarah sejarah Israel, orang-orang Israel menghitung 1 generasi berusia 40 tahun dalam ukuran moderat, bahkan yang sedikit “ekstrim” 1 generasi berusia 25 tahun.24) Kita mencoba menggunakan perhitungan ini maka kita bisa berandai-andai seperti ini : “Raja” Mayasang mulai memerintah saat ia berusia 25 tahun jika ia adalah anaknya Kapitan Adjelis, maka kira-kira pada tahun 1488, ia memerintah. Tahun ini didapatkan dari tahun kedatangan ke-4 kapitan tadi pada tahun 1463 ditambah 25 tahun kemudian dengan asumsi pada tahun 1463 itu juga, Kapitan Adjelis “harus” sudah memiliki anak/keturunan. Andaikata, ke-4 kapitan masing memiliki 10 anak termasuk “raja” Mayasang sekalipun dan ditambah kaum pendatang yang menjadi bagian dari masyarakat Negeri Saparua, berarti “raja” mayasang memerintah hanya 48 orang termasuk dirinya ditambah kaum pendatang. Apakah “jumlah” ini “cukup” dijadikan “syarat” sebuah masyarakat???. Jika “pengandaian” ini “dipaksakan” diterima, maka tak mungkin karena pengandaian di atas hanya berasumsi pada pengandaian juga, pengandaian jika masing-masing kapitan memiliki 10 orang anak ditambah bergabungnya kaum pendatang dalam rentang itu. Bagaimana jika kurang dari 10 anak dan belum ada pendatang yang jadi bagian masyarakat???. Berarti semakin sedikit orang yang dipimpin dan semakin “janggal” sebagai sebuah syarat masyarakat. Mungkin bisa dibantah dengan analogi bahwa ini sebagai suku kecil, namun analogi ini kembali berhadapan dengan sistim clan/keluarga batih yang dipahami dalam sistim sosial di kepulauan lease/uliaser (Saparua, Haruku dan Nusalaut).25) 
   
Pengandaian di atas menggunakan perhitungan generasi yang berusia 25 tahun, bagaimana dengan 40 tahun??? kita berandai-andai lagi : Raja Mayasang mulai memerintah pada usia 40 tahun, berarti ia berkuasa pada tahun 1503. Pengandaian ini juga mengalami sedikit “kendala” karena pada tahun 1514 sesuai papan informasi yang berada di Baileu Negeri Saparua menyatakan, yang berkuasa adalah “Raja” Melyanus Titaley. Meski ada rentang 11 tahun sebelum “peralihan” kekuasaan dari “Raja” Mayasang ke “Raja” Melyanus, harus dicatat bahwa dalam “11 tahun” itu, Raja Mayasang masih memerintah. Kita tak mengetahui bagaimana proses peralihannya??? dan kapan tepatnya terjadi pergantian kekuasaan ini???.

Semua pengandaian di atas, adalah jika “Raja” Mayasang adalah anaknya Kapitan Adjelis, padahal kita tak mengetahui dengan pasti, apa anaknya, apa cucunya atau cicitnya atau generasi ke berapa???.  Jika cucunya, cicitnya bahkan generasi selanjutnya, maka seluruh klaim mata rumah ini akan “runtuh” saat berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis di atas serta informasi tentang “Raja” Melayanus Titaley di tahun 1514 tadi. Informasi Raja Melyanus Titaley ini bisa “dijadikan” parameter sebagai penguji klaim-klaim tersebut meski parameter itupun harus dianalisa/diuji pula, dengan menguji silang menggunakan klaim klaim ini. Analisa itu akan diurai pada bagian tinjauan historis terhadap klaim mata rumah Titaley. Bagaimana pula dengan bukti bekas makam “Raja” Mayasang yang berada di samping Baileu Negeri Saparua, tepatnya di pekarangan/kintal rumah keluarga Herman sekarang??? Apakah ini bukan bukti bahwa areal pemakaman yang dekat dengan rumah adat (rumah suci) bukan indikasi tempat dimakamkan seorang pembesar dalam hal ini seorang “Raja”??? Ya jika itu alasannya, maka pemikiran ini bisa diterima. Namun ada pertanyaan yang “mengganjal” apakah mungkin areal pemakaman seorang “raja” bisa “seenaknya” sekarang dijadikan sumur yang buktinya ada hingga sekarang???.26)

Tentu tak mungkin, sesuatu tempat khusus bagi orang yang dihormati atau situs penting seperti itu dijadikan hal lain. Kalau alasannya ketidakpedulian dan memang banyak contoh yang bisa dijadikan alasan, tetap saja terasa mengganjal karena tak ada sesuatu bentuk “protes” atau kritik terhadap hal ini dari keturunan “Raja” Mayasang. Yang mungkin lebih masuk akal adalah mungkin memang di situ adalah areal pemakaman, namun “Raja” Mayasang bukanlah seorang “Raja” dalam pengertian yang dipahami. Mungkin saja ia cuma “masyarakat biasa”???  Meskipun ia adalah keturunan dari Kapitan Adjelis.

d.   Ada hal yang menarik bahwa kedua marga ini, Titaley dan Simatauw “menggunakan” nama soa yang ada kata LATU. Yang satu adalah Pelatu, yang satunya lagi adalah Latuwaelaiti. Mungkinkah “klaim” marga Simatauw berasal dari penggunaan nama Soa ini???. Jika dilihat secara sepintas dan berpikir kritis, mungkin saja, namun memang harus diakui, bahwa tak ada arsip/dokumen/catatan yang tertinggal yang bisa dijadikan sebagai pegangan untuk membenarkan klaim seperti ini.  Dalam sistim adat di Negeri Saparua, Marga Simatauw, sering bertindak sebagai Mauweng/Pendeta Adat atau Imam. Apa mungkin karena berasal dari “kaum rohaniwan” maka klaim ini muncul berdasarkan pada  sistim “Pemerintahan Teokrasi” di Negeri Saparua???. Menurut penjelasan sebelumnya, memang pada awalnya sistim pemerintahan yang ada berlandaskan pada sistim teokrasi. Mungkin saja karena bertindak sebagai “kaum rohaniwan” maka klaim ini bisa dibenarkan. Namun sering kali diulang, semuanya hanyalah klaim tanpa bukti yang dibilang valid.

c.2. Klaim Matarumah Titaley
Marga Titaley adalah salah satu dari ke-4 marga/faam yang diakui/dipercaya oleh masyarakat Negeri Saparua sebagai orang negeri asli (orang pribumi?). Dalam sistim adat, marga Titaley menjadi Soa Titaley atau soa PELATU  yang matarumah/mataluma adalah LATU. Perlu dijelaskan pengertian kedua kata ini agar kita bisa mengerti.

LATU (raja), Soa PELATU --> PEI (perintah), LATU (raja) --> PELATU yang artinya diperintahkan/diangkat menjadi Raja. Secara turun-temurun Titaley menjadi Matarumah Perintah/Raja di Negeri Saparua.27)

Klaim matarumah ini seperti dijelaskan pada bagian B di atas, tak perlu diulang lagi, namun kita perlu menganalisa, membedah serta menguji dengan sumber-sumber sekunder yang ada apakah klaim itu bisa dipertahankan atau harusnya bagaimana???.

a.   Pertanyaan kritisnya adalah siapakah nama orang yang bermarga Titaley “yang diutus” oleh ke-3 marga lain??? Pada tahun berapa??? Pihak Belanda atau Pihak Portugis yang “mengangkat/menetapkan” orang yang bermarga Titaley ini menjadi “Raja” seperti klaim di atas??? Harus diterima oleh semua pihak, bahwa tak ada bukti berupa dokumen, arsip, catatan yang ditinggalkan sebagai data valid. Jika pun ada, atau telah “hilang” tak ada keterangan apapun untuk diverifikasi kebenarannya. Dari itu maka semua pertanyaan kritis di atas selamanya tak bisa dijawab.

b.   Jika klaim ini “dipertahankan” maka pertanyaannya adalah Pihak Belanda atau Pihak Portugis yang “mengangkat/menetapkan”??? dan pada tahun berapa itu terjadi???. Jika Pemerintah Belanda, maka tak mungkin!!!. Mari kita lihat data-data sejarahnya sebagai sumber sekunder untuk menganalisa lebih jauh. Belanda menghancurkan  kekuasaan Portugis di Maluku pada tahun 1605, tepatnya tanggal 23 Februari, direbut oleh satu kekuatan eskader dibawah pimpinan Steven van der Hagen.28)  Pasukan ini merebut Benteng Portugis di kota Ambon, kemudian mengubah namanya menjadi “Victoria” yang sekarang kita kenal. Awalnya Benteng ini  dibangun oleh Portugis di bawah pemerintahan Gubernur Gazapar de Mello29), batu pertama dari benteng tersebut diletakan oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada, artinya sampai di sini Bunda Maria dibangun.30)  Pemberian nama tersebut berkaitan dengan Hari Kenaikan “Anunciada”31) yang bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut.  Sejak saat itu benteng tersebut menjadi pusat administrasi pemerintahan untuk wilayah Maluku guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh Maluku. Sejak itu pun Maluku berada di bawah cengkeraman Belanda untuk menguasai komoditi rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956).32) Memang sebelum menghancurkan kekuatan Portugis, Belanda telah melakukan ekspedisi ke Wilayah Maluku sekitar tahun  1599-1600 di bawah pimpinan Jacob Van neck dan Wybrant Warwick. Laporan ekspedisi mereka berisikan catatan kunjungan mereka ke perkampungan Muslim di Banda kemudian diterbitkan pada tahun 1601.33) Barulah beberapat tahun kemudian, Belanda bisa merebut kekuasaan dari tangan Portugis seperti dijelaskan diatas.  Pada tahun 1610 diciptakanlah  Jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani lebih tegas urusan-urusan Penjajah Belanda (VOC) di Asia, selama masa jabatan 3 orang Gubernur Jenderal yang pertama (1610-1619) kota Ambon menjadi pusat Gubernur Jenderal Belanda tersebut.34) Dari pemaparan singkat sejarah di atas, berarti dalam rentang 9 tahun,VOC mulai menanamkan kuku kekuasaannya di wilayah Maluku, khususnya di daerah Ambon dan Uliaser/Lease. Hal ini dibuktikan dengan plakat informasi yang berada di Benteng Duurstede. Pada plakat informasi tersebut, tertulis Benteng Duurstede dibangun oleh Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn  pada tahun 1676, kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Nicholaas Schagen pada tahun 1690.35) 

Kita melakukan pengandaian dalam menganalisa lebih jauh kasus ini. Andaikata “penetapan/pengangkatan” “Raja” oleh Pihak Belanda pada tahun 1610-1619 tersebut, bagaimana dengan informasi yang terdapat pada papan informasi tentang pembangunan Rumah Baileu Negeri Saparua??? Pada papan informasi itu, yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku, dikatakan bahwa pembangunan baileu dilakukan pada tahun 1514  oleh Raja Melyanus Titaley. Berarti ada “jurang jarak” hampir 1 abad, yang mempertentangkan klaim mata rumah, dengan sumber-sumber sejarah itu. Bagaimana bisa seorang Raja yang telah ada “diangkat/ditetapkan” lagi oleh Pemerintah Belanda??? Yang paling mungkin adalah hanya “memperkuat” saja keberadaan dan kekuasaan Raja tersebut oleh Pemerintah Belanda, bukan mengangkat/menetapkan seperti klaim mata rumah ini. Apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Maluku melakukan “kesalahan” penulisan tahun tersebut??? Jika melakukan kesalahan, darimana sumber yang mereka pakai??? Hal ini terus di “perparah” oleh silsilah Raja dari matarumah Titaley yang agak “kacau”. Disebut “kacau” karena dokumen yang ada bukanlah daftar silsilah Raja-raja secara kronologis yang berisikan lebih detil tahun-tahun mereka memerintah. Yang ada adalah silsilah keluarga besar Titaley, dimana dalam silsilah tersebut, hanya dilabeli orang ini yang menjadi Raja, orang itu yang menjadi Raja dan seterusnya tanpa tahun memerintah. Karena dokumen yang ada hanya seperti itu, sangat sulit menentukan kapan tepatnya mereka memerintah dan seterusnya. Kembali lagi kepada Raja Melyanus Titaley yang memerintah di tahun 1514 itu, memang dalam silsilah Keluarga Titaley itu, ada 2 nama yang menyandang nama tersebut. Melianus Jacob Titaley (ayah) dan Jacob Izaach Melianus Titaley (anak) adalah 2 nama yang dimaksud. Entah yang mana yang dimaksud oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Maluku itu. Nama yang pertama adalah ayah sedangkan nama kedua adalah anaknya. Jika yang dimaksud adalah ayah, akan “bermasalah” dari kronologis waktu dengan menggunakan ukuran 1 generasi 25 tahun atau bahkan 40 tahun.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan silsilah Keluarga tersebut, Melianus Jacob ini “ditempatkan” sebagai “Raja“ ketiga atau bisa jadi keempat. Dikatakan seperti ini, karena saudara sepupunya yang bernama Melkianus Titaley juga tercatat sebagai “Raja”. Mereka berdua memerintah tanpa tahun yang mendetil, sehingga kita tak tahu, siapa yang memerintah lebih dulu dari siapa. Mungkin lebih jelasnya kita menggunakan cara, jika Melianus Jacob jadi raja ketiga, maka Melkianus adalah Raja keempat, begitu juga sebaliknya. Kita gunakan saja jika Melianus Jacob adalah “raja ketiga”. Dari silsilah keluarga yang ada, diketahui bahwa sampai sekarang (2015), hanya baru 14 “raja” yang memerintah. Andaikan 1 raja memerintah selama 25 tahun, maka 25 x 14 = 350 tahun, berarti Raja pertama memerintah pada tahun 1665. Jika kita menggunakan angka 25 tahun maka tak “sinkron” dengan penjelasan Dinas kebudayaan dan pariwisata tadi. Jika 1 raja memerintah 40 tahun, maka 40x14 = 560 tahun, berarti Raja pertama memerintah pada tahun 1455, jika menggunakan angka 40 tahun, malah lebih “kacau” lagi, karena Raja pertama memerintah di saat 4 kapitan belum datang, padahal 1463 baru dicatat sebagai tahun kedatangan 4 kapitan yang jadi cikal bakal negeri Saparua ini. Perhitungan di atas dilakukan dengan menggunakan angka-angka rata-rata tersebut karena tak ada silsilah yang detil seperti yang dijelaskan sebelumnya,lagipula diketahui, bahwa raja ketiga belas dan ke-14 hanya memerintah tak sampai 10 tahun. Tepatnya keduanya hanya memerintah selama 8 tahun. Apa mungkin ada “melianus-melianus” lain yang menjadi “raja” sebelumnya yang tak dicatat dalam silsilah keluarga Titaley itu??? Mungkin saja… tapi kembali tak ada data, yang ada hanya data silsilah keluarga tersebut. Lalu darimana sumber yang digunakan oleh Dinas Pariwisata itu??? Entah darimana!!!.

Jika informasi ini “dipaksakan” sebagai tanda dimulainya Raja Melyanus Titaley di tahun 1514 itu, maka akan “sedikit bertabrakan” dengan klaim mata rumah Simatauw pada penjelasan (c.1) dengan seluruh permasalahannya, serta tak tersedianya informasi jelas bagaimana model peralihan kekuasaan terjadi, jika klaim matarumah Simatauw dianggap paling benar!!! Padahal, klaim mata rumah itupun juga lemah. Dari pemaparan ini, bisa dikatakan bahwa klaim matarumah ini yang “katanya” diangkat/ditetapkan oleh Pemerintah dengan sendirinya “gugur” di hadapan fakta-fakta sejarah yang ada. Yang lebih tepatnya, bisa dikatakan, Pemerintah Belanda “hanya” memperkuat legitimasi Raja yang sudah ada, bukan membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Bukan mengangkat seseorang biasa menjadi luar biasa. Bukan menetapkan orang biasa menjadi Raja!!!.

Asumsi ini diperkuat dengan catatan sejarah yang ada, meskipun hanyalah bersumber dari data-data sekunder. Van den End menulis, “setelah merebut kota Malaka, orang-orang Portugis menuju ke Maluku. Di sana, mereka disambut baik oleh Sultan Ternate”36), “dan persaingan antara Raja/Sultan Ternate dengan Raja-Raja Maluku lainnya sama seperti persaingan antara Portugis dan Spanyol. Portugis membantu Ternate, sedang Spanyol menjadi sekutu Sultan Jailolo”37).
Aritonang menulis : Sultan Ternate Abu Lais/Bayan Sirullah pada tahun 1512 mengundang Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate38), “pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523-1535), terjadilah baptisan pertama di Ternate”39)
Ricklefs mencatat “Pada tahun 1535, orang Portugis di Ternate menurunkan RajaTabarija dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa (India)”40), “Ternate menjadi sebuah Negara berkembang yang gigih menganut Islam dan anti Portugis dibawah pemerintahan Sultan Baab Ullah (1570-1583) dan putranya, Sultan Said”41)
Hall juga mencatat “ Sultan-sultan Ternate dan Tidore memberi sejumlah besar muatan cengkeh dan masing-masing mengijinkan pendirian sebuah kantor dagang di pulaunya kepada Portugis”42)
Jadi, penggunaan istilah “raja atau sultan” sudah dikenal jauh sebelum Belanda menginjak kakinya di bumi Maluku. Bahkan saat Portugis dan Spanyol datangpun, sudah ada Raja atau Sultan seperti penjelasan di atas (perhatikan kata-kata bergaris bawah/underline). Memang benar, bahwa itu yang terjadi di Ternate dan Tidore bahkan Jailolo yang merupakan kerajaan berwilayah besar. Bagaimana dengan wilayah-wilayah kecil yang jauh, seperti gugusan uliaser/lease yang di dalamnya ada Negeri Saparua??? Apakah pemimpin negeri/wilayah kecil itu disebut Raja juga seperti Ternate dan Tidore atau Jailolo???.
Ricklefs menulis : “akan tetapi di dalam perjalanan ke Goa, Sultan Tabarija wafat di Malaka pada tahun 1545, sebelum meninggal, ia menyerahkan Pulau Ambon kepada orang Portugis yaitu Jordao de Freitas yang adalah ayah baptisnya”43), “di tahun 1512 armada portugis di bawah pimpinan Fransisco Serao terdampar di Hitu (ambon sebelah utara/jazirah leihitu), di sana dia menunjukan ketrampilan berperang, sehingga ia disukai oleh penguasa setempat44)
Hall juga mencatat “Dalam tahun 1600, Steven van der Hagen menandatangani perjanjian penting pertama dengan seorang Raja Pribumi. Dengan Raja Ambon itulah, Belanda diizinkan mendirikan “kastel van vere” dan mendapatkan hak mengambil seluruh cengkeh yang dihasilkan di daerah itu”45)
Dari penjelasan Ricklefs dan Hall dapat diketahui bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Ternate sampai ke Pulau Ambon. Jika seperti itu, maka istilah Raja/Sultan adalah hal yang umum diketahui dan telah berlaku lama sebelum Portugis datang di wilayah kekuasaan Ternate. Mungkin saja penguasa-penguasa wilayah kecil ini tidak menggunakan istilah raja secara eksplisit, namun menggunakan gelar-gelar lain yang sederajat seperti latu, patih, orang kaya.
Jadi intinya adalah klaim yang mengatakan proses pengangkatan atau penetapan  matarumah ini menjadi Raja oleh Pemerintah Belanda adalah : tak bisa diterima!!!.

c.     Jika bukan dari Pemerintah Belanda, lalu apakah dari Pemerintah Portugis??? Kita lihat lagi data-data sejarah sekunder untuk menguji klaim ini. Portugis pertama kali tiba di Maluku tepatnya di Kepulauan Banda pada tahun 1512, di bawah armada pimpinan Fransisco Serrao.46)  Awalnya mereka berencana ke Ternate dan Tidore, namun singgah di Banda, setelah mendapatkan hasil rempah yang mereka inginkan, mereka kembali pulang dan terdampar di Hitu (ambon sebelah utara). Di tahun yang sama mereka menginjakan kakinya juga di Ternate, atas persetujuan Sultan Ternate, mereka diizinkan mendirikan Pos dagang di Ternate47), di tahun 1522 akhirnya mereka bisa mendirikan Benteng disana yang dinamakan Sao Paulo.48)  Di tahun 1516, mereka sudah bisa menguasai jazirah Leihitu (ambon utara)49), setelah sebelumnya pertama kali mendarat di Ambon pada tahun 1513.50) Baru pada tahun 1575-lah mereka bisa membangun sebuah benteng di kota ambon yang biasa disebut kota laha, menurut Rumphius, Rijali dan Valentijn.51) Di tahun 1571 terjadi perang Alaka, sebuah perang antara Hatuhaha dan Portugis52), tahun 1590 terjadi pembabtisan pertama di Negeri Hulaliu terhadap Patih Pikai Laisina yang kemudian menjadi “raja” Hulaliu pertama.53)
 
Dari catatan-catatan sejarah ini, kita tak mengetahui secara pasti kapan Portugis untuk pertama kalinya singgah di Negeri Saparua. Kita hanya bisa menduga-duga, mungkin di antara tahun 1520-1590, mereka menginjakkan kaki dan berinteraksi dengan masyarakat Negeri Saparua. Dugaan tahun ini diambil dengan perhitungan jarak Pulau Ambon, saat Portugis mulai berkuasa di Ambon dengan gugusan Uliaser/Lease yang dekat serta perbandingannya dengan catatan sejarah yang disampaikan di atas.

Berdasarkan catatan-catatan sejarah itu, kita menguji klaim matarumah ini secara jernih tanpa prasangka. Jika di antara tahun 1520-1590, untuk pertama kalinya portugis mendarat di Negeri Saparua, berinteraksi dan akhirnya “menetapkan/mengangkat” orang bermarga Titaley sebagai “Raja”, bagaimana dengan informasi soal Raja Melyanus yang memerintah di tahun 1514 itu??? Andaikan pula secara “ekstrim” kita memajukan lagi hingga tahun 1514, setelah di tahun 1513, portugis pertama kali tiba di ambon, tetaplah “bermasalah” karena di tahun itu, telah ada raja Melyanus itu. Lagi pula dalam ulasan panjang lebar di bagian (c) di atas, kronologis raja Melyanus ini “bermasalah” dengan seluruh aspeknya dan menimbulkan anakronik. Satu-satunya yang bisa diterima dan “logis” dari kronologis sejarah adalah Portugis tidak “mengangkat/menetapkan” sebuah jabatan raja. Seperti Belanda, Portugis mungkin hanya memperkuat legitamasi jabatan raja yang telah ada dan sudah menjadi hal umum.
Jadi kesimpulannya adalah : klaim mata rumah Titaley yang mengatakan bahwa jabatan Raja adalah karena diberikan oleh Penjajah (Portugis atau Belanda) : tak bisa diterima!!!.

d.   Ada yang “unik” dengan klaim seperti ini. Klaim ini hampir sebagian besar ditemui di negeri-negeri lease saat proses pencalonan Raja di masing-masing negeri. Yang menjadi pertanyaan kritisnya apakah terjadi pola “copy paste” atau pola “pengulangan” dari cerita ini hingga sebagian besar digunakan??? Menurut seorang teman54), pola ini bisa terjadi mungkin dikarenakan pada zaman itu sudah ada semacam “aliansi” di antara para pemuka-pemuka negeri-negeri tetangga, sehingga kejadian yang mungkin pernah terjadi di sebuah negeri kemudian dijadikan “referensi dan panduan” yang akan dilakukan oleh negeri-negeri dalam aliansi tersebut jika mengalami hal yang sama. Namun menurut penulis, mungkin kejadian semacam ini pernah terjadi, namun cerita kejadian itu diambil, diadaptasi dan disusun ulang dengan dengan alasan dan tujuan yang disesuaikan dengan sistim adat di masing-masing negeri.

Hipotesis atas 2 klaim Matarumah
Berdasarkan hasil analisa, membedah serta menguji kedua klaim ini dengan menggunakan sumber-sumber sekunder, maka penulis mengajukan hipotesis yang kompromistis :

1.     Terhadap klaim matarumah Simatauw yang lemah dan tak memiliki bukti valid, satu-satunya solusi yang bisa diambil, jika klaim ini masih terus “dipaksakan” dan harus “diakomodir” adalah kita harus menggeser mundur tahun kedatangan 4 kapitan besar itu di Negeri Saparua. Jika ini tak dilakukan, maka akan tetap mengalami masalah terus menerus saat berhadapan dengan pertanyaan-pertanyan kritis di atas.

2.    Jika solusinya adalah tahun yang harus dimundurkan, maka kita harus memundurkan tahun kedatangan yang dicatat pada tahun 1463 menjadi paling kurang 100-150 tahun lebih awal. Maksudnya adalah 100-150 sebelum tahun 1463 yang kira-kira antara 1363 hingga 1313. Hal ini diperlukan agar kita bisa “menempatkan” Raja Mayasang dalam generasi berapapun. Mengingat rentang waktu yang panjang itu, dan berdasarkan pada sistim reproduksi manusia serta perhitungan 1 generasi (25 dan 40 tahun) itu bisa dicapai. Dengan begitu, kembali lagi kita bisa “menaruh” Raja Mayasang pada raja yang ke berapa dan sisa waktu kemudian terjadi peralihan kekuasan kepada marga Titaley. Jika ini dilakukan maka klaim matarumah Titaley juga bisa kuat dalam hal bukan karena legitamasi dari penjajah, namun lebih kepada pola pergantian dan pewarisan serta peralihan yang lebih bersifat “adat”. Apakah ini bisa dilakukan??? Bisa saja, dengan cara kita melakukan pengujian yang berbasis ilmiah. Salah satunya dengan penyelidikan arkeologi serta pengujian karbon terhadap situs-situs sejarah dimaksud. Kita “harus” berani melakukan itu, sehingga hasilnya bisa dijadikan untuk merekonstruksi sejarah negeri ini.

3.    Terhadap klaim matarumah Titaley, cerita yang disampaikan adalah “legenda dan mitos”. Cerita ini kemungkinan besar disusun oleh generasi berikutnya dengan 2 versi alasan dan tujuan :

a.   Cerita ini disusun/dibuat oleh “pihak-pihak” yang merasa “kalah” yang menganggap merekalah yang seharusnya berhak memperoleh jabatan itu, namun karena “ketidak beruntungan” dan “ketakutan” tak berdasar akhirnya pihak lain yang mendapatkan anugerah. Cerita ini juga kemungkinan disusun untuk memberikan pesan moral kepada generasi berikutnya bahwa kehidupan seharusnya dijalani dengan keberanian untuk mengambil resiko. Ketakutan tak akan menghasilkan apa-apa, namun keberanian akan menghasilkan pengalaman yang bisa dijadikan bekal untuk menjalani hidup selanjutnya.

b.   Cerita ini mungkin disusun oleh “pihak pemenang” dengan tujuan untuk mendapat legitimasi lebih kuat lagi. Sebuah pengakuan dari penjajah dianggap lebih “eksklusif” pada zaman itu, sehingga pengakuan seperti ini “diperlukan” untuk “menghadapi gugatan” pihak-pihak lain.

D.         PENYAJIAN DATA ( Di antara 2 klaim )
Meskipun kedua klaim ini “lemah” saat berhadapan dengan sumber-sumber sekunder serta semua pertanyaan kritisnya, namun ada data-data serta bukti yang perlu disajikan. Penyajian data ini dilakukan untuk melihat sejauh mana bukti-bukti itu “berbicara” dan bisa jadi “bukti permulaan” untuk “menetapkan” siapa yang lebih berhak menjadi “Raja”.

1. Dari Mata Rumah Simatauw
1.1.          Sebuah buku yang dikarang oleh Buang Josef Maelissa di tahun 1922. Dari buku ini klaim ini bermula, karena dalam buku ada penjelasan tentang Adjelis dan Mayasang. Diketahui juga, bahwa ternyata buang Josef Maelissa adalah “anak piara” dari keluarga Simatauw, sehingga tentunya isi buku itu mengandung bias dan penuh dengan “conflict interest”.
1.2.        Pengakuan sepihak tentang Adjelis dan Mayasang tanpa didukung oleh silsilah keluarga yang bisa ditemui. maksudnya tak ada silsilah keluarga yang tertinggal yang bisa diverifikasi.
1.3.        Tak ada silsilah raja yang berisikan hubungan antara Adjelis, Mayasang dan generasi berikutnya.

2.  Dari Mata Rumah Titaley
2.1.    Silsilah keluarga besar Titaley. Silsilah ini berisikan nama-nama generasi yang menjadi raja tanpa informasi detil tahun memerintah (lihat gambar).
2.2.  Lembaran yang memuat Bendera-bendera atau panji-panji negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Biasanya lembaran ini hanya diberikan kepada keluarga “yang diakui” sebagai keturunan raja. (penulis mendapatkan lembaran ini juga dari matarumah Kesaulija yang dipercaya sebagai matarumah parentah di Negeri Sirisori Serani). Dalam lembaran yang berbahasa belanda tersebut dituliskan dan diterjemahkan kira-kira sebagai berikut : “berbagai bendera-bendera yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan dan negeri di Hindia Timur/Nusantara sejak tahun 1600-1942, dan biasanya ditemui pada kantor-kantor pemerintah.” Dalam lembaran itu, selain Negeri Saparoea, ada Negeri Toehaha, Paperoe, Iha, Porto, Haria, Siri sori Sarane, Siri sori Salam, Koelor, Nolloth, Wassoe, Oma, Ouw, Haroekoe, Karioe,Oedjir, Key Doelah, Gebe, Celebes, Ternate, Tidore, dan lain-lain. Lembaran bendera-bendera ini dibuat oleh Dirk Ruhl atas perintah Kaisar Belanda Oranye van Nassau dan direproduksi ulang di Bandoeng tahun 1948.

2.3. Susunan Raja-raja Negeri Saparua berdasarkan silsilah Keluarga besar Titaley dan beberapa sumber lainnya (penulis menyusun ulang)


1.   ............ Titaley (sebagian huruf telah terhapus, sehingga sulit menentukan namanya)
2.  Pieter Uoen Titaley
3.  Melianus Jacob Titaley (4?)
4. Melkianus Titaley (3?)
5.  Jacob Izaac Melianus Titaley (6?)
6. Paulus Titaley (5?)
7.  Opa Buang Titaley
8.  Lamberth Titaley/Nitalessy
9. Johan Roberth Titaley
10. Matheos Alveros Kesaulija (Assistant Besstur di Kantor Contrelaur Saparua) 1925-1938
11.    Lamberth Alberth Titaley 1938-1968
12.   Anthoneta Benjamina Anakotta 1969-1996
13.   E.W. Hengszt 1996-1997 (penjabat)
14.  Jacob Titaley 1997-2006
15.   Lamberth Leonard Titaley 2008-2013
16.  Jacob Rikumahu 2013-2014 (Kaur Pemerintahan yang merangkap)
17.   Hanoch Ririhena 2014-hingga sekarang (penjabat)

3. Kesimpulan
Dari penyajian data-data di atas, maka mau tidak mau, kita harus menerima bahwa marga Titaley dalam penyajian bukti “lebih kuat” dibanding marga Simatauw. Meskipun secara klaim sangat lemah seperti telah diulas, namun bukti-bukti yang masih tersisa tetap bisa dianggap sebagai bukti yang cukup. Jika terus berdebat, maka tak akan bisa menemui kata sepakat karena tak ada bukti yang resmi. Yang ada hanya bukti-bukti seperti ini. Berangkat dari itu, maka “aturan, norma, kebiasaan” yang telah berlangsung lama lebih baik tetap diikuti meskipun banyak kelemahannya.  Bukankah norma yang tak tertulis yang telah hidup lama juga merupakan norma yang diakui masyarakat???. Dari perspektif inilah, maka kita harus berlapang dada menerima dan mengakui bahwa matarumah Titaley berhak untuk itu. Matarumah Titaley telah mendapat legitimasi lewat bukti-bukti ini dan menjadi kebiasaan dan norma yang berlaku. Mungkin sebaiknya kita menghargai dan menghormati hal itu. 

E.          RENUNGAN ( Buat anak-anak negeri )
Saat menulis artikel ini, penulis terus menerus memikirkan kebesaran, keberanian, perjuangan, serta perjalanan 4 kapitan besar itu hingga mencapai negeri yang indah ini. Lebih dari 5 abad telah berlalu, lebih dari 500 tahun saat pertama kali kaki kapitan-kapitan besar itu menyentuh pasir putih di bibir pantai muka kota Negeri Saparua. Lebih dari 500 tahun, saat mereka mencium tanah di pantai itu, menyembah dan mengucap syukur kepada penguasa tertinggi di langit sana. Telah banyak waktu berlalu saat untuk pertama kalinya mereka berdelapan memandang sebuah negeri asing yang dipenuhi batang-batang bintanggor dan kanjoli dan burung-burung. Ada keresahan, kecemasan, kegelisahan  bahkan mungkin ketakutan yang menggigit dalam hati namun sebuah resiko keberanian telah diambil.

Sebuah keberanian ketika “memutuskan” diri dari negeri asal yang nyaman dan memasuki sebuah negeri yang “antah berantah”. 5 abad lebih telah pergi jauh, saat mereka hidup sendiri, bergumul, bergulat, berjuang dalam kehidupan sehari-hari yang keras. Kehidupan yang keras, kesedihan, kekecewaan, kebahagiaan terus ada dalam helaan nafas mereka. Ada kekaguman yang penulis rasakan, saat para bapa leluhur kita itu memutuskan untuk menerima orang lain. Belajar hidup bertoleransi dengan kaum pendatang. Belajar menghargai hidup yang beragam. Mungkin mereka telah berpikir jauh melampaui zamannya, mereka ingin mewarisi sebuah negeri  yang bukan negeri homogen. Mungkin saat mulai membentuk negeri ini, para kapitan itu ingin mewariskan sebuah negeri kepada anak cucunya, sebuah negeri yang tak tunggal. Sebuah negeri yang dipenuhi banyak orang dari berbagai latar belakang perbedaan. Ada sebuah dialektika yang berkembang dalam kehidupan mereka, bahwa sangat bernilai ketika negeri ini sebaiknya dihuni, digulati, dibangun lewat cara pandang yang tak seragam.

Dan sejarah 5 abad lebih itu telah memberikan buktinya buat kita semua. Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu adalah negeri heterogen, negeri yang dihuni oleh banyak golongan, ada kaum tionghoa, jawa, bugis, buton, makassar, tenggara, sumatera, arab, pulau haruku, dan negeri-negeri tetangga di pulau saparua, serta banyak lagi yang pernah jadi bagian dari negeri ini. Mungkin juga bukan sebuah kebetulan, saat para kapitan itu akhirnya memilih sebuah negeri di “pusat” pulau saparua. Negeri yang berada ditengah-tengah dan dikelilingi oleh negeri-negeri lain. Negeri yang pernah dijuluki sebagai kota pelajar pada zamannya. Mungkin seperti itulah sebuah negeri yang ingin diberikan kepada anak cucu mereka.  Negeri yang “diizinkan” oleh mereka untuk didatangi, dihuni oleh orang lain namun tetap memberikan “penghargaan dan penghormatan” kepada anak cucu mereka. 5 abad lebih telah beranjak dari mereka. 500 tahun lebih mereka telah menghasilkan puluhan generasi hingga saat ini. Tugas anak cuculah yang harus tetap menjaga, membangun negeri warisan ini. Meski masih terseok-seok, namun hidup dan perjuangan tetap harus berjalan. Saniri Negeri, sebuah representasi masyarakat adat, perlu memikirkan semua ini. Salah satunya adalah persoalan yang diurai dalam tulisan ini. Saniri Negeri harus dan sangat urgensi untuk menetapkan sebuah matarumah parentah yang nantinya tak akan menimbulkan berbagai perdebatan. Hal ini bertujuan dengan ketetapan seperti itu, semua pihak bisa menghormati dan menghargai serta menjadi hukum tertinggi untuk dijalani selama negeri ini tetap ada.

F.          PENUTUP
Tulisan ini dibuat bukan untuk memecah belah. Tulisan ini juga tak memiliki kepentingan apa-apa. Tulisan ini dibuat sebagai rasa cinta yang mendalam buat negeri ini. Tulisan ini dibuat sebagai cara belajar kita berbeda pemahaman namun tetap saling menghargai. Berpikir kritis, berbeda pendapat, tafsir, cara pandang adalah hal penting dalam kehidupan. Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tak sempurna dan mengandung berbagai macam intepretasi. Dalam kerangka itu, penulis berlapang dada, menerima jika ada tulisan “antitesa” menanggapi artikel ini. Dari situ kita bisa mendapatkan perpektif baru yang terus tumbuh dan berkembang dalam bingkai yang jernih dan bermanfaat.
Semoga para bapa leluhur kita, 4 kapitan besar itu tetap bangga memiliki anak cucu yang mencintai negeri ini dalam suka dan duka…semoga!!!.

Referensi:
1.        I Samuel 9:17
2.      Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
3.      R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 13
4.     Peraturan Daerah Tkt II Kabupaten Maluku Tengah No 1 Tahun 2006 Tentang Negeri
5.      Drs. J. Patty : Sistim Pemerintahan adat di Maluku (sebuah makalah) yang disampaikan di hadapan para Latupati se-Maluku pada hari senin tanggal 29 Oktober 2007
6.     Ibid
7.      UUD 1945 Hasil Amandemen IV pasal 18 b ayat 2
8.      R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 13
9.     B.N. Marbun, SH : Kamus Politik Pustaka Sinar Harapan, 2003 bag abjad T hal 528
-         H. Sihombing dan K. Dwiyana : Buku Pintar Pengetahuan Umum, Pustaka Delaprtasa, 2000 hal 218
-        M.D.J. Al-Barry dan Sofyan Hadi AT : Kamus Ilmiah Kontemporer, Pustaka Setia, 2000 hal 301
10. Puji Astuti dkk : Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Universitas terbuka, 2003
11. Darmanto dkk : Sistim Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Penerbit Universitas terbuka, 2007
12. David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 8-9 (edisi terjemahan)
13. Penjelasan Bpk Jacob Huwae, beberapa tua-tua adat dan beberapa orang bermarga Titaley
-         Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
14.  Penjelasan Bpk Jacob Huwae, beberapa tua-tua adat dan beberapa orang bermarga Simatauw
-         Sebuah buku yang dikarang oleh Buang Josef Maelissa di tahun 1922
15.  R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 11
16.  Efendi Ziwar : Hukum Adat Ambon Lease, PT Pradya Paramita,1987
17.  Tulisan Ivan Titawanno : Sejarah adat di Maluku yang diposting kembali oleh Alvin Talabessy Deswert di blognya
18.  Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-         Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
19.  ibid
20.  Cerita yang disampaikan oleh tua-tua adat negeri Souhuku yang datang pada pelantikan Raja Negeri Saparua pada November  2008 . Cerita ini terus “dipelihara” dan diturunkan dari generasi ke generasi dan dipercaya oleh mereka
-        Cerita yang sama disampaikan saat Masyarakat Negeri Saparua menghadiri pelantikan Raja Negeri Soahuku pada Juni 2011
21.  Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-         Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
22.  Kejadian pasal 25: 9-10
23.  David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 30 (edisi terjemahan)
24.  David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 64 (edisi terjemahan)
25.  Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
-         Efendi Ziwar : Hukum Adat Ambon Lease, PT Pradya Paramita,1987
-         R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 13
26.  Analisa Bpk Jacob Huwae
27.  Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-         Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
28.  Artikel tentang sejarah Maluku yang ditulis oleh seorang blogger, diunduh pada tanggal 12 Februari 2015
-         M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal 40 – 41  (edisi terjemahan)
-         Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 65
-         D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 253 (edisi terjemahan)
31.  http://tutuwawang.blogspot.co.uk- yang ditulis oleh blogger bernama Hendrik Urlolo
32.  Artikel tentang sejarah Maluku yang ditulis oleh seorang blogger, diunduh pada tanggal 12 Februari 2015
33.  Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 53
-         D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 249 -253 (edisi terjemahan)
34.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  41  (edisi terjemahan)
35.  Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-         http://bagaswisnupratama7.blogspot.co.uk
36.  Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 36
37.  Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 41
38.  Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 25
39.  Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 26
40.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  35  (edisi terjemahan)
41.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  36  (edisi terjemahan)
42.  D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212 (edisi terjemahan)
43.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  36  (edisi terjemahan)
44.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  35  (edisi terjemahan)
45.  D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 251 (edisi terjemahan)
46.  M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  35 (edisi terjemahan)
-         D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212 (edisi terjemahan)
-         Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 24
48.  Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 30
-         Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 26
49.  Sebuah blog yang menulis tentang : Sejarah terbentuknya Negeri Hulaliu di Pulau Haruku
50.  http://amadeaeninete.blogspot : anthropologi kebudayaan Maluku
-         http://tutuwawang.blogspot.co.uk- yang di ditulis oleh blogger bernama Hendrik Urlolo
52.  Gusmon Sahureka saat menyalin buku berjudul  Sejarah Perang Allaka yang ditulis oleh Bpk Max Aipassa, Bpk Hermanus Louhenapessy, Bpk Frans Pattipeiluhu, Bpk Josias Sahusilawane, Bpk Sammy Siahaya dan mempostingnya di sebuah blog
53.  Sebuah blog yang menulis tentang : Injil masuk di Hulaliu
54.  Perbincangan dengan E.P. Aipassa, S.Pd yang juga merupakan anak adat negeri Beinusa Amalatu/ Tuhaha tanggal 02 Februari 2015


2 komentar:

  1. Kritis paskali e.. baca jua tegang lai. Hehe.
    Iya sih Portugis seng mungkin angka raja.. kebiasaan angka nih biasa sih Belanda. Tapi kalau lia periode abad 16 untuk Negeri Saparua kan Belanda balom muncul.. Portugis su ada. Cuma Portugis su ada lai memang su ada kekuasaan disitu seperti halnya di negeri lain di Maluku. Maluku Utara dengan Gelar Sultan jua itu belakangan setelah sultan ke berapa tuh yang memeluk Islam baru start pake gelar Sultan. Sebelum Islam masuk di Maluku Utara, sebutan "raja" bagi pemimpin mereka adalah 'Kolano'. Nanti pada masa Zainal Abidin baru gelar kolano diganti menjadi Sultan (Zainal Abidin merupakan penguasa Ternate pertama yang memakai gelar Sultan). Jadi "kemungkinan" Negeri Saparua dipimpin oleh seorang 'Latu' yang nanti gelar ini "bergeser" menjadi sebutan "raja" pas penjajah datang.

    Jadi kesimpulannya menurut beta klaim mata rumah Titaley yang mengatakan bahwa jabatan Raja adalah karena diberikan oleh Penjajah (Portugis atau Belanda) memang tak bisa diterima. Kalau sekedar kas dukungan tambahan pasti boleh dan biasa Portugis memang bagitu tuh.. dia kasih keris lah helm/capacete lah, tombak lah dll.

    BalasHapus
  2. Mantap Bos....Senang Bisa Mengetahui Banyak Hal Tentang Negri Saparua...Beta Titaley Bos dari Abubu Nusalaut, Namun Sering pulang ke Saparua kota tinggal di rumah Keluarga Herman ( Theis Herman )...Mungkin Bos Bisa paparkan sejarah mengenai Beta pung marga?karna Katong Titaley ada di Saparua, ouw, hulaliu deng Nusalaut...namun Beta sandiri yakin kalo berasal dari moyang yg sama yg kaluar dari seram bos...namun akan sangat menguatkan kalo bos bisa menyajikan sejarah sesuai dengan bos pung cara memaparkan ini, akang bagus karna ada banyak bukti dan sumber yang kuat deng jelas...mohon bantuannya bos biar Beta sebagai keturunan Titaley jua bisa tau identitas bos๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™Hormate Kapitan๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    BalasHapus