Jumat, 03 April 2015

Melawan Lupa (Part.3)_Aliansi Toehaha Saparoea

ASAL MULA TERJADINYA HUBUNGAN SALING MEMBANTU NEGERI TOEHAHA (BEINUSA AMALATU) DAN NEGERI SAPAROEA (PISARANA HATUSIRI AMALATU) DALAM PROSES RENOVASI RUMAH ADAT (TUTU BAILEU)
(Catatan dalam versi Negeri Saparoea)




Pengantar
    Artikel ini ditulis sebagai upaya untuk “melestarikan” adat/kebiasaan yang berusia tua. Upaya pelestarian ini dilakukan untuk melawan lupa. Benak manusia sangatlah terbatas, dan selama ini hanyalah “mengandalkan” ingatan dan tradisi oral (tutur). Tak ada yang salah dengan perspektif itu, namun hal itu tidaklah cukup. Perlu ada usaha pendokumentasian. Dalam kontemplasi cara berpikir itulah maka tulisan ini dibuat. Lagipula, selama ini kebiasaan “membantu” yang dilakukan oleh Negeri Toehaha (Beinusa Amalatu), dalam prosesi renovasi Baileu (tutu baileu) Negeri Saparoea (Pisarana Hatusiri Amalatu), terus dipelihara oleh kedua negeri, meskipun generasi sekarang “tidak semua” tahu sejarah asal mulanya. Memang ada beberapa generasi tua yang tahu. Namun seperti yang disebutkan di atas, generasi tua, terus mengandalkan ingatan dan tradisi bertutur. Upaya pendokumentasian dan pengarsipan dalam bentuk tulisan ini, sebagai cara mengantisipasi jika generasi tua tak ada lagi. Jika itu terjadi, maka upaya ini bisa dijadikan “pegangan” dan “referensi” bagi kami generasi sekarang. Tulisan ini juga dibuat sebagai bentuk “apresiasi” dan penghormatan tulus kami, anak-anak negeri Pisarana Hatusiri Amalatu  kepada anak-anak negeri Beinusa Amalatu. Tulisan sejarah ini adalah catatan-catatan serpihan yang dikumpulkan dan “direkonstruksi” ulang. Tulisan ini juga adalah sebuah versi sejarah dari negeri Pisarana Hatusiri Amalatu. Berpijak pada “kode etik” penulisan sejarah yang berimbang, maka diharapkan ada “tanggapan” dan penulisan sejarah dari versi negeri Beinusa Amalatu tentang narasi ini.  Dengan begitu, maka dapat dicapai sebuah sejarah yang berimbang, dan saling melengkapi.

     Selintas tentang Negeri Saparoea, Toehaha dan Sirisori Amalatu
    Negeri Saparoea (Pisarana Hatusiri Amalatu), adalah salah satu negeri dari 17 negeri/desa dan 1 dusun yang ada di Pulau Saparua. Ke-17 negeri/desa dan 1 dusun itu menjadi sebuah kecamatan Saparua yang beribukota di Saparua (petuanan negeri saparoea). Pulau/Kecamatan Saparua ini berbentuk seperti huruf H jika dilihat dari udara dan memiliki 4 jazirah (4 kaki mengikuti kontur huruf H) yaitu Jazirah Haria – Porto – Pia  Kulur, Jazirah Booi – Paperu, Jazirah Hatawano dan Jazirah Tenggara (di zaman Belanda namanya honimoa1).
Ke-4 jazirah itu memiliki negeri-negeri di dalamnya yang bisa diperinci sebagai berikut :

1.    Jazirah Haria – Porto – Pia – Kulur memiliki 3 negeri, dan 1 dusun yaitu : Haria, Porto, Kulur dan Dusun Pia. 
2.     Jazirah Booi – Paperu memiliki 2 negeri yaitu : Booi dan Paperu. 
3.     Jazirah Hatawano memiliki 6 negeri yaitu : Tuhaha, Mahu, Ihamahu, Iha, Nolloth dan Itawaka. 
4.     Jazirah Tenggara memiliki 4 negeri yaitu : Sirisori Serani, Sirisori Islam, Ullath dan Ouw.

    Sedangkan negeri Saparua dan negeri Tiouw terletak di titik tengah/pusat (sentral) dari pulau saparua, yang juga merupakan titik sentral perlintasan antar negeri-negeri tersebut. Pada awalnya kecamatan saparua hanya memiliki 16 desa dan 1 dusun, karena Desa Mahu berupa dusun. Dusun Mahu merupakan bagian wilayah dari Negeri Paperu sedangkan Dusun Pia merupakan bagian wilayah Negeri Sirisori Amalatu. Namun sekarang Dusun Mahu telah dimekarkan dan memiliki pemerintahan administratif sendiri, meski dalam urusan adat masih di bawah Negeri/Desa Paperu. Sedangkan dusun Pia sampai sekarang masih tetap merupakan bagian wilayah Negeri Sirisori Amalatu.
 
Secara geografis Negeri Saparua memiliki batas negeri sebagi berikut :

Sebelah Barat berbatasan dengan Negeri Tiouw 
Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Tuhaha dan Dusun Pia 
Sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Sirisori Amalatu 
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut (teluk saparua) ---- > (lihat peta)

Untuk lebih jelasnya, lihat peta dengan seksama untuk memahami latar belakang munculnya sejarah ini. Perlu melihat peta karena sejarah ini muncul akibat konflik soal perbatasan wilayah.

      Sejarah Asal Mula (versi negeri saparoea)
    Sejarah ini bermula di sekitar tahun 1940an, dari sumber-sumber yang didapatkan, tidak mengetahui pasti tahun berapa kejadian ini terjadi. Namun penentuan tahun 1940an itu, didasarkan pada tahun pemerintahan Raja Saparua Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) yang merupakan “aktor” penting dalam kasus ini. Di tahun itu, Negeri Tuhaha dan Sirisori Amalatu terlibat konflik soal perbatasan (batas wilayah) mereka. Sebenarnya, konflik batas wilayah ini bukan persoalan tentang “tanah negeri” dari kedua negeri, namun lebih kepada tanah pribadi, yang “kebetulan” dihuni oleh keluarga dari kedua negeri, yang “kebetulan” juga berdiam di kedua batas wilayah dua negeri ini. Batas wilayah konflik dimaksud adalah batas wilayah yang dulunya disebut kampung (kampong) THIA, sekarang lebih dikenal sebagai daerah sekitar WANNO. Di Kampung Thia itu berdiam keluarga yang juga adalah masyarakat dari kedua negeri itu. Di sisi sebelah berdiam Keluarga Siahaya” yang adalah warga masyarakat Tuhaha, sedang sisi yang lain berdiam Keluarga Sapulette” dan beberapa keluarga lain yang merupakan warga Sirisori Amalatu. Kedua batas wilayah ini sangat “panas” atau “hot zone” yang sering menimbulkan konflik. Karena menyangkut batas wilayah kedua negeri, konflik ini merembet pada konflik dua negeri yang berlarut-larut. Tak ada yang mau mengalah. Masing-masing mempertahankan klaim masing-masing. Negeri Sirisori Amalatu mengklaim tanah yang didiami keluarga Siahaya adalah milik petuanan (wilayah) mereka. Negeri Tuhaha bersikeras menganggap tanah yang didiami keluarga Siahaya adalah wilayah petuanan mereka. Konflik yang berlarut-larut itu kemudian dibawa ke Pengadilan Saparua (landraad op saparoea) untuk diselesaikan. Gedung Landraad Saparoea di masa itu berlokasi di samping Rumah Dinas Contrelaur Saparua (sekarang rumah camat). Lokasi bekas gedung landraad saparua, sekitar 10 - 20 tahun lalu dijadikan Gedung Gereja GKPI Saparua, namun sekarang telah hancur.
    Dalam proses persidangan konflik batas wilayah itulah, Raja Saparua di masa itu, Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) tampil sebagai aktor penting dalam penyelesaian masalah ini. Raja Saparua dijadikan “saksi kunci” oleh Pemerintah Negeri Tuhaha untuk bersaksi. Negeri Saparua dijadikan saksi kunci, karena kedua negeri tersebut berbatasan langsung dengan Negeri Saparua. Dari kesaksian penting Raja Saparua inilah, masalah ini diselesaikan dimana dalam “amar putusannya” tanah yang didiami oleh keluarga Siahaya benar-benar merupakan wilayah petuanan Negeri Tuhaha.
Atas kesaksian ini dan sebagai tanda hormat serta ucapan terima kasih, Raja Tuhaha, Raja Tanalepy Tua (ayah dari alm Raja Tuhaha Inyo Tanalepy) berjanji dan mengangkat sumpah :

“.....SEBAGAI UCAPAN TERIMA KASIH, MAKA NEGERI TOEHAHA AKAN MEMBANTU PEKERJAAN NEGERI DARI NEGERI SAPAROEA.....”

    Janji/Sumpah ini disampaikan kepada Raja Saparua, Lamberth Alberth Titaley bersama perangkat Negeri Saparua dan perangkat Negeri (saniri) Tuhaha. Perlu dijelaskan pula, di masa itu yang disebut sebagai pekerjaan/kerja negeri hanyalah 3, yaitu pembangunan sekolah, pembangunan gereja dan renovasi rumah adat (baileu). Dikarenakan di zaman itu, di Negeri Saparua telah didirikan sekolah-sekolah oleh pemerintah belanda maka pekerjaan negeri hanya 2 seperti dijelaskan di atas. Maka sejak saat itu hingga sekarang, tepatnya yang terakhir di Oktober tahun 2008, Negeri Beinusa Amalatu (Tuhaha) selalu membantu dalam prosesi renovasi rumah adat (baileu) Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu (Saparua). Selain baileu, Negeri Beinusa Amalatu juga turut membantu dalam pembangunan gereja di Negeri Saparua. Bantuan pembangunan gereja di saparua ini yang nantinya akan  menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Hok Im Thong (Bethlehem) di Negeri Saparua. Di tahun 1985, Gereja Hok Im Thong ini dipermanenkan (dibetonisasi) dan diambil alih oleh pihak jemaat (gereja) sehingga pekerjaan negeri hanyalah cuma pada renovasi rumah adat hingga sekarang. Tentang cara prosesi renovasi dan bentuk bantuan, tak perlu lagi diurai disini. Semuanya bisa dilihat pada artikel tentang prosesi renovasi baileu negeri saparua yang juga ada dalam artikel di blog ini.

      Catatan Tambahan
    Serpihan-serpihan data sejarah asal mula seperti diurai di atas, disampaikan kepada penulis oleh Bpk Jacob Huwae berdasarkan, ingatan pengalaman di tahun 1960 atau 1961. Ingatan pengalaman inilah yang diungkapkan kembali, saat perencanaan renovasi rumah adat (baileu negeri saparua) yang nantinya dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Pengungkapan kembali asal mula sejarah ini dikarenakan pada waktu itu beberapa pemangku adat “telah lupa” tentang “keterlibatan” negeri Beinusa Amalatu dalam prosesi renovasi rumah adat. Hal ini perlu dimaklumi karena generasi tua telah banyak yang meninggal dunia dan rentang “renovasi” baileu yang sangat lama (1985 ----> 2008 = 23 tahun) sehingga generasi yang ada “lupa” tentang hal itu.
    Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa data sejarah asal mula seperti diurai di atas, didasarkan pada ingatan pengalaman beliau, tentang peristiwa “pendirian/pembangunan kembali” rumah adat/baileu negeri saparua di tahun 1960/1961. Apakah kejadian pastinya di tahun 1960 atau 1961 tepatnya beliau tidak bisa lagi memastikan karena rentang waktu yang sangat lama yaitu 54 - 55 tahun yang lalu. Di tahun 1960/1961, Negeri Saparua di masa pemerintahan Raja Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) “memutuskan” membongkar/mengganti total rumah adat yang lama dengan bahan-bahan yang baru sehingga bisa disebut sebagai “pembangunan baru/kembali”. Dalam prosesi pembangunan baileu ini terjadi hal mistis yang berujung pada kematian. Tentang hal mistis dan duka ini, tak perlu diceritakan karena pertimbangan “etis” dan asal musababnya adalah hal “sensitif” untuk disampaikan.
    Di tahun 1960/1961 itu, Bpk Jacob Huwae berusia sekitar 10-11 tahun. tentunya dalam usia anak-anak itu, prosesi pembangunan itu merupakan acara yang “ramai” di masa itu dalam pandangan anak-anak. Lagipula jiwa anak-anak ingin “terlibat” dalam segala hal dalam acara itu. “Terlibat” yang dimaksud adalah baik menonton acara, maupun ikut membantu meski bantuan yang diberikan,  adalah hal remeh temeh (kecil) sebagaimana layaknya anak-anak. Salah satunya adalah turut “membantu” membawa/mengangkat  atap-atap dari rumah raja ke areal pembangunan baileu. Atap-atap yang dibawa dari rumah raja adalah atap-atap sumbangan dari negeri Beinusa Amalatu. Selayaknya anak-anak maka “kerja kecil” ini disampaikan ke ibunya Henderika Anakotta/Huwae dengan “semangat” saat kembali ke rumah. Informasi tentang asal atap-atap yang dibawanya pun disampaikan. Saat itulah sang ibu kemudian menceritakan tentang sejarah asal mula kenapa negeri Beinusa Amalatu bisa membantu negeri Saparua dalam hal renovasi rumah adat. Informasi dari sang ibu ini didengar langsung dari ibunya pula (sang nenek dari Jacob Huwae) yaitu Mitji Matulessy/Anakotta. Sang nenek adalah anak adat negeri Tuhaha dan memiliki hubungan keluarga dengan Raja Tuhaha Raja Tanalepy Tua.    

      Catatan lain
    Ini merupakan catatan-catatan dimana sejak tahun 1940an hingga sekarang di tahun 2015, diketahui “hanya” baru 4x prosesi renovasi rumah adat (baileu) negeri Pisarana Hatusiri Amalatu. Rumah adat (baileu) negeri Pisarana Hatusiri Amalatu diketahui didirikan pada tahun 1514 di masa pemerintahan Raja Melyanus Titaley. Sejak tahun itu (1514) hingga tahun 1940an itu, saat negeri Beinusa Amalatu mulai turut terlibat dalam prosesi renovasi, pastilah ada prosesi-prosesi renovasi rumah adat. Namun berapa kali dan tahun-tahun berapa dilakukan, tak diketahui karena tak ada arsip yang tersedia. Bahkan dari tahun 1940an itu hingga di tahun 1960/1961, tak diingat lagi, apakah dalam rentang itu, pernah ada prosesi renovasi ataukah tidak. Jadi yang masih bisa diketahui oleh generasi yang ada sekarang, “hanyalah” 4x terhitung sejak tahun 1960/1961.

[1]. Prosesi Pembangunan Baileu (renovasi total) di tahun 1960/1961
Raja           : Lambert Alberth Titaley (1938-1968) (alm)
Kapitan      : Dominggus (Ago) Anakotta (alm)
Malessy     : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin   : Ny. Ester Ririnama/Pattiasina (mami Booi) (alm)
Soa Anakotta      : (a)  Josephina Anakotta  (alm)         (b)  Salomina Anakotta
Soa Ririnama      : (a)  Dientje Ririnama                       (b)  Yohana Ririnama
Soa Titaley         : (a)  Sofia Titaley (popy) (alm)         (b)  Nety Titaley
Soa Simatauw    : (a)  Fransina Simatauw (sien) (alm)  (b)  Anna Simatauw

[2]. Prosesi renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap) di tahun 1972
Raja           : Anthoneta Benjamina Anakotta (1969-1996)  (alm)
Kapitan      : Izack (cak) Anakotta (alm)
Malessy     : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin   : Ny. Ester Ririnama/Pattiasina (mami Booi)
Soa Anakotta    : (a)  Lina Anakotta      (b)  Marjorie Anakotta
Soa Ririnama    : (a)  Elsina Ririnama   (b)  Rikha Ririnama
Soa Titaley        : (a)  Mery Titaley       (b)  Heidy Titaley
Soa Simatauw  : (a) Yos Simatauw  (b)  Hanna Simatauw (natje)

[3]. Prosesi Renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap) di tahun 1985
Raja           : Anthoneta Benjamina Anakotta (1969-1996)  (alm)
Kapitan      : Izack (cak) Anakotta (alm)
Malessy     : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin   : Ny. Ester Ririnama / Pattiasina (mami Booi)
Soa Anakotta       : (a) Martha Anakotta              (b) Elna Anakotta
Soa Ririnama       : (a) Elsina Ririnama                (b) Yetty Ririnama
Soa Titaley          : (a) Christina (ince) Titaley    (b) Kosye Titaley
Soa Simatauw      : (a) Sherly Simatauw             (b) Maria Simatauw
Pemangku adat :
Benjamin Anakotta, Henning Anakotta, Elisa “Pai” Anakotta
Pieter Simatauw
Polly Titaley

[4]. Prosesi Renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap dan papan) di tahun 2008 (bulan oktober)
Raja           : Jacob (jopie) Titaley (1997-2008)  (alm)
Kapitan      : Dedy Anakotta
Malessy     : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin   : Ny. Elsina. Ririnama, S.Pd
Soa Anakotta   : (a)  Angel Leony Anakotta    (b) Consepta Anakotta
Soa Ririnama   : (a)  Yetty Ririnama               (b)  Uyan Ririnama
Soa Titaley          : (a)  Diana Titaley               (b)  Feby Titaley
Soa Simatauw  : (a)  Melga Simatauw          (b)  Marlen Simatauw

NB: Ny. Ester Ririnama/Pattiasina disebut mami booi karena suaminya adalah mantan Raja Booi sehingga dalam panggilan sehari-hari dipanggil mami booi.

     Dari catatan sekilas di atas terlihat bahwa ada rentang waktu yang panjang dan “tak bakunya” batasan waktu dari satu prosesi ke prosesi berikutnya. Dari yang “pertama” ke yang “kedua” ada rentang waktu 11 - 12 tahun. Yang “kedua” ke yang “ketiga” ada rentang waktu 13 tahun. Yang “ketiga” ke yang “keempat” ada rentang waktu 23 tahun. Mengingat pengalaman dalam soal rentang waktu yang panjang itu, pastilah tentunya ada masalah-masalah yang dihadapi. Soal “tak terurusnya” rumah adat karena “seolah-olah” dibiarkan terlalu lama, juga soal batasan ingatan manusia sebagai aktor penting dalam prosesi renovasi rumah adat. Dengan rentang waktu yang panjang itu, mengakibatkan ingatan manusia memudar, bahkan lupa terhadap “standar operasional” (SOP) dalam prosesi renovasi, bahkan sejarah yang melingkupinya. Apalagi jika hal ini tak diantisipasi dengan pendokumentasian dan pengarsipan secara baik.
     Berpijak dari hal tersebut, kiranya Saniri Negeri Saparua sebagai representasi kekuasaan tertinggi masyarakat adat, bisa melihat hal ini dan perlu memikirkan lebih lanjut. Perlu dipikirkan tentang batasan waktu prosesi renovasi rumah adat dari prosesi yang terakhir ke prosesi berikutnya. Mungkin batas waktu yang bisa ditetapkan, adalah 5 - 6 tahun dengan melihat kondisi keseluruhan layak tidaknya bangunan rumah adat. Jika ini dilakukan, maka perlu ada penetapan “agenda 5 - 6  tahunan” tentang prosesi renovasi rumah adat yang harus dilakukan setiap 5 - 6 tahun, dan itu harus dilakukan, tidak boleh tidak!. Dengan begitu, maka prosesi renovasi itu akan menjadi “kebiasaan” dan terus dipertahankan serta dilestarikan di dalam masyarakat negeri Pisarana Hatusiri Amalatu.
  
      Penutup
    Manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupannya. Masyarakat komunal yang di dalamnya terdiri dari manusia tak terlepas dari urusan bantu membantu tersebut. Cerita sejarah di atas merupakan bukti dari kehidupan sosial yang saling membantu. Kedua negeri, Pisarana Hatusiri Amalatu dan Beinusa Amalatu telah membantu sejak di tahun 1940an itu. Jika dihitung “Aliansi” ini telah berumur 75 tahun. Suatu waktu yang tua dan panjang. Sejarah tidak hanya narasi tentang, tanggal, bulan dan tahun dalam babakan waktu, tapi juga cerita tentang kehidupan masyarakat di dalamnya. Persekutuan 2 negeri dan 2 budaya yang seharusnya tetap diingat, dipelihara dan dilestarikan sepanjang hidup. Apa yang telah “ditanamkan” dan “diwariskan” oleh para leluhur kita, seharusnya tetap dilanjutkan dan tidak dihilangkan demi alasan apapun juga!. Ada pesan moral dan pemikiran positif dari tradisi “sederhana” ini. Saling membantu, menghargai, hidup bertoleransi, saling menjaga, saling menghormati adalah sikap yang lebih bijak daripada bertikai dan bermusuhan. Nilai-nilai “estetika” ini perlu terus ada sebagai bagian dari kearifan lokal yang memperkaya khazanah kebudayaan nasional.
SEMOGA TRADISI INI TETAP ADA DAN TERUS DILESTARIKAN!

Sumber:

1.    Sketsa peta (kaart der Oeliasers) yang digambar oleh G.W.W.C. Baron van Houvell, Dordrecht 1875
2.      Informasi dari Bpk. Jacob Huwae
3.      Informasi dari Ny. Martha Marlen Anakotta/Hasan
4.      Informasi dari Ny. Elsina. Ririnama, S.Pd
5.      Informasi dari Bpk. Fransiscus Anakotta
6.      Informasi dari Nn. Isolla Titaley, S.Pd. K
7.      Informasi dari Ny. Mega Simatauw/Layan
8.      Informasi dari Ny. Maria (merry) Simatauw
9.      Informasi dari Bpk. Polly Anakotta
10.  Informasi dari Ferdy Lalala/Anakotta
11.  Informasi dari Algiers Anakotta

3 komentar:

  1. Terima Kasih Fikri, sudah berkunjung dan memberikan atensi di blog negeri saparua. Mengenai arsip-arsip sejarah tertulis saparua, seperti yang dijelaskan sangat sulit mendapatkannya karena tidak tersedia. Artikel ini dan lainnya ditulis berdasarkan hasil wawancara langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat tertua kemudian dicocokkan dengan sumber-sumber sekunder untuk menunjang keakuratannya. Jika ingin mendapat penjelasan lebih lanjut terkait arsip, bisa menghubungi pemerintah negeri setempat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya frans Wardy , saya pernah tinggal di tuhaha selama 3 tahun dari th 1982 s/d th 1985 dan waktu itu bapak raja tuhaha adalah bpk Frans Sahusilawane ,kalau tidak salah,
      Saya lupa gan nya putranya yossua ,sammi dan Onci ,apakah ini betul.

      Hapus
  2. Betul om...anak dari alm bpk raja sahusilawane itu alm om sami, om Yos, dan om Onci

    BalasHapus