Kamis, 16 April 2015

Melawan Lupa (Part.4)_Senja Kala Sluis/Slois

Badgelegenheid/zwemmen op Saparoea
Tempat Pemandian Orang-orang Belanda di Negeri Saparua
(Oleh : Aldrijn Anakotta)


A.      PENDAHULUAN
Mengutip kata-kata Sejarahwan J.J. Rizal dalam artikelnya di Koran Tempo, 11 Desember 2011 yang dimuat ulang (reposting) pada blog komunitas bambu dengan judul “Senja Kala Tuinstad Menteng” : Kalau ada yang bilang “a city without old building is like people without remembrance,” berani sumpah, itulah Jakarta! Ya seperti itulah juga  riwayat bangunan-bangunan tua di Saparua di masa sekarang! Sebuah kota bekas pusat Keresidenan Saparoea, yang dulunya banyak terdapat peninggalan bangunan-bangunan tua, tempat-tempat “sejarah” yang merupakan peninggalan dan saksi bisu penjajahan, semakin lama semakin hilang!!!.  
Benteng Duurstede, Landraad (pengadilan) Saparua, SD Negeri 1 Saparua, SD Negeri 2 Saparua, SD Kristen Tiouw, Beesturstaad Contrelaur (Kantor Kontrolir/Camat), Inggris Cementary (Kubur Inggris), Begraafplats op Saparua (Pekuburan Saparua),  dan beberapa yang lainnya adalah bukti peninggalan dan saksi sejarah yang ada di negeri ini.
Tergugah dengan tulisan sejarahwan J.J. Rizal di atas, serta “desakan’” dan usulan dari adik tercinta, Ferdy. Lalala/Anakotta, artikel ini ditulis. Artikel ini ditulis dengan tujuan sebagai pengingat akan kenangan kita semua. Kenangan bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang telah hilang karena ketakpedulian. Kenangan akan sesuatu yang pernah ada, pernah hidup bersama kita dan kenangan akan situs sejarah. Juga sebagai “peringatan” kepada para pembesar di negeri ini untuk “menghargai” sejarah bangsa ini. Kedepan kiranya “tuan-tuan pembesar” bisa melestarikan semua itu, hingga generasi berikutnya bisa tahu dan belajar sejarah kehidupan.

Tulisan ini menceritakan tentang sebuah tempat pemandian di paruh pertama abad 20. Tempat pemandian orang-orang Belanda (pembesar-pembesar + nonie nonie) di Negeri Saparua. Tempat pemandian itu dikenal dengan nama SLUIS. Secara etimologi, SLUIS berasal dari bahasa Belanda yang berarti PINTU AIR. Tradisi pengucapan orang-orang Melayu Saparua, lama-kelamaan diucapkan sebagai SLOIS. Daerah di kawasan ini, biasanya diketahui dan dikenal orang pada beberapa puluh tahun lalu sebagai daerah slois. Bahkan hingga sekarangpun, jika ada orang yang tinggal di kawasan itu, dan ditanya alamatnya, pasti akan dijawab alamatnya adalah di SLOIS.
Tepatnya SLUIS/SLOIS terletak di dalam petuanan negeri Saparua, di belakang Gereja Advent Hari Ketujuh di Negeri Saparua atau di belakang bekas Kantor Agama Kecamatan Saparua yang telah hancur semasa konflik kemanusian di tahun 1999. Atau bisa dibilang kawasan ini di belakang rumah Keluarga Bpk. Simon Noya. Kadang-kadang SLUIS/SLOIS juga disebut sebagai BAK PECAH/BAK PICA.


B.       SEJARAH YANG PANJANG
Semuanya bermula di tahun 1592, saat Jan Huygen  van Lincshoten  seorang Belanda (dari haarlem), yang telah menghabiskan 4 tahun di Portugis dan 5 tahun di Goa (India), sebagai Sekretaris Archibisop kembali pulang ke Belanda, dengan setumpuk pengetahuan berharga tentang perdagangan dan pelayaran ke Samudera Hindia.  Tahun 1595, ia menerbitkan buku yang berjudul Reysgescrift van de navigatein der Portugaloysers in Orienten. Setahun kemudian tahun 1596 bukunya yang lain terbit dengan judul Itinerario near oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timur/Hindia Portugis). Dalam buku ini berisi rincian-rincian pelayaran orang-orang Portugis ke Asia 1 abad sebelumnya yang sengaja dirahasiakan kepada dunia luar.
Berdasarkan kedua buku ini, serta bantuan Plancius dan Mercantor, ahli pembuat peta, serta ahli navigasi laut, yaitu Lucas Janz Waghenaer. di tanggal 2 April 1595, Cornelis de Houtman bersama  Pieter de Keyzer memimpin 4 armada menuju Nusantara. Berbekal 4 buah kapal dengan 249 awak kapal dan 64 pucuk meriam mereka berlayar. Pelayaran mereka dibiayai oleh sebuah sindikat yang terkenal dengan nama Compagnie van verre. Ditangal 23 Juni 1596, armada itu berlabuh di Pelabuhan Banten, pelabuhan lada yang terbesar di Jawa Barat. Di kawasan itu mereka segera terlibat konflik dengan orang-orang Pribumi. De Houtman kemudian meninggalkan Banten dan berlayar menuju ke timur menyusuri pantai utara Jawa. Akhirnya di bulan agustus 1597, sisa-sisa ekspedisi yang hanya 3 kapal dan 89 awak kapal  itu kembali ke Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Pada tahun 1598, tidak kurang dari 5 ekspedisi, jumlah seluruhnya 22 kapal meninggalkan Belanda menuju Hindia Timur. 13 Kapal melewati Tanjung Pengharapan, 9 kapal melewati Selat Magelen. Armada besar ini dipimpin oleh Jacob van Neck, Van Warwick, dan Van Heemskerck. Van Neck tiba di Banten setelah 6 bulan berlayar. Van Warwick dan Van Hemskerck kemudian menuju ke Ambon, dan singgah di Pulau Banda. Van Warwick terus menuju ke Ternate dan kembali pulang ke negerinya ditahun 1600. Saat kembali keuntungan mereka 400%. Terjadi persaingan diantara perusahaan-perusahan ekspedisi Belanda dimasa itu untuk berkuasa. Persaingan itu menyebabkan naiknya harga rempah-rempah dan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Menyikapi hal itu, ditahun 1598 atas prakarsa 2 tokoh Belanda, Pangeran Maurice van Nassau dan Johan van Olden Barnevelt, parlemen Belanda (statuen general) mengajukan usul agar perseroan / ekspedisi yang saling bersaing itu, sebaiknya bergabung kedalam satu badan. Butuh 4 tahun kemudian baru usul itu diwujudkan. Tahun 1601, berangkat lagi 14 ekspedisi yang berbeda melakukan pelayaran. Di tahun 1600, Inggris mendirikan EIC (the East Indian Compagnie) atau Maskapai Hindia Timur atas dasar oktroi yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth I. Belajar dari Inggris dan setelah melewati perdebatan panas selama 4 tahun di Parlemen, atas dasar Octroi dari UU Kerajaan Belanda tertanggal 20 Maret 1602, berdirilah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC semula bernama de Generale Nederlandsche Geortrovide Oost Indische Compagnie. Kepentingan yang saling bersaing dalam VOC itu diwakili oleh sistim majelis (kaamer) untuk 6 wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui dan  semuanya berjumlah 17 orang dan disebut Heeren XVII (tuan-tuan tujuh belas).

Beberapa tahun kemudian, tepatnya di 23 Februari 1605, Belanda dibawah pimpinan Steven van der Haghen merebut benteng Portugis di Ambon, dan mengganti namanya dengan “Victoria”. Tahun 1610, VOC menciptakan jabatan Gubernur Jenderal. Pieter Both adalah orang pertama yang menduduki jabatan itu dan bermarkas besar di kota Ambon. Gubernur Jenderal adalah utusan langsung Raja/Ratu Belanda di wilayah jajahan. Di bawah Gubernur Jenderal, ada jabatan Gubernur setingkat provinsi, di bawah gubernur ada jabatan Residen setingkat kabupaten/kotamadya. Residen dibantu oleh asistent residen. Dan asistent resident dibantu oleh pengawas yang bergelar Contrelaur / kontrolir. Setelah 9 tahun sejak Pieter Both atau 3 Gubernur Jenderal, di tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterson Coen, memindahkan markas besarnya ke Batavia. Beberapa puluh tahun kemudian, Belanda menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah Nusantara. 71 tahun kemudian sejak Belanda merebut benteng Portugis di kota Ambon, tepatnya 1676, Belanda mendirikan sebuah benteng di atas batu karang/muka kota milik dati marga Titaley. Entah karena penjualan/kompensasi lain, di atas batu karang ini, didirikan sebuah benteng yang bernama Duurstede. Benteng ini didirikan oleh Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudst Hoorn  kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Nicholaas Paul Schagen pada tahun 1690 untuk memperkuat monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Lease pada masa itu. Benteng ini dinamai oleh Nicholas Paul Schagen mengikuti nama kota kelahirannya yang artinya “kota mahal”. Di benteng inilah, Residen van Saparoea berdiam dan berkantor. Salah satunya yang terkenal adalah Residen Johanes Rudolf van den Berg bersama sang istri Johana Christhina Umbgrove di tahun 1817 semasa perang Patimura. Di zaman itu Saparoea dikenal dengan julukan "Saparoea is het neusje van de zalm" (Saparua adalah hidung ikan zalem). Hidung ikan zalem adalah bagian yang paling enak. Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling basah, paling enak untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain-lain tindakan yang tidak halal. Karena alasan itulah mengapa penunjukan Van den Berg menjadi Residen Saparoea didasarkan atas usulan Gubernur Jenderal Johanes Sieberg (1801-1805) yang adalah pamannya (oom mertua) dari keluarga istrinya yang merupakan keluarga besar Umbgrove dan Alting. Perlu ditambahkan juga, Willem Arnold. Alting, yang menjadi Gubernur Jenderal VOC di tahun 1870-1897 adalah kakek (opa) istrinya dari pihak ibu. Jadi Willem Arnold Alting adalah kakek mertua dari Residen Johanes Rudolf van den Berg. Perlu dijelaskan lebih terinci mengenai hubungan keluarga yang berbau nepotisme ini. Willem Arnold Alting mempunyai 10 anak, 5 orang bertahan hingga dewasa dan semuanya adalah wanita. Salah satu anaknya adalah Pieternella Gerhardina Alting yang kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan Gubernur jenderal Johanes Sieberg. Sedangkan anaknya yang lain atau saudari perempuan Pieternella Gerhardina adalah Constantia Cornelia Alting. Constantia Cornelia Alting nantinya menikah dengan Johan Lubbert Umbgrove. Dari perkawinan ini, lahirlah Johana Christina Umbgrove yang nantinya menikah dengan Residen Saparoea Johanes Rudolph Van Den Bergh. Jadi bisa dikatakan Residen Van den Berg memiliki paman mertua dan kakek mertua yang adalah bekas Gubernur jenderal VOC di Batavia.

Sejak 1690 hingga beberapa tahun kemudian, Belanda menjadi satu-satunya penguasa. Di bulan oktober 1740, tanggal 9 oktober, atas konspirasi Gubernur Jenderal Adrian van Valckenier (1737-1741) terjadi pembantaian besar-besar dan pengusiran orang Tionghoa di Batavia. Sejarahwan M.C. Ricklefs menduga, karena peristiwa ini, orang-orang Tionghoa mulai menyebar ke daerah timur nusantara. Beberapa tahun kemudian di tahun 1780-1784, terjadi pergolakan politik di Eropa Barat. Inggris turun ke arena pergolakan dan terjadi perang Inggris IV. Selama tahun –tahun ini VOC di Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. Pada bulan Desember 1794-Januari 1795, Perancis di bawah pimpinan Jenderal Pichegru menyerbu Belanda  dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis, yang dinamai Republik Batavia di bawah perlindungan Perancis. Raja Belanda Willem V melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan “transisi” di negeri Orang. Willem V bersembunyi di kota kecil Kew dekat London. Di kota inilah, Willem V mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan “Warkat Kew” yang isinya menyerahkan semua daerah jajahannya di Afrika dan Asia ke tangan Inggris agar tak jatuh ke tangan Perancis. Berbekal dokumen itu, Inggris menduduki Padang dan Malaka di tahun 1795 dan Ambon di tahun 1796. 17 Februari 1796 terjadi pergantian kekuasaan di kota Ambon dari Belanda ke Inggris. Laksamana Pieter Tarnier yang akhirnya menjadi Gubernur Inggris di kota Ambon menggantikan gubernur Amboina, Alexander Cornabe asal Belanda. Tanggal 1 januari 1800, secara resmi VOC dibubarkan karena bangkrut. Selama 6 tahun itu, Inggris berkuasa di Indonesia termasuk di Saparua. Ditahun 1802, terjadi perjanjian antara Inggris dan Belanda untuk mengembalikan semua daerah jajahan Belanda yang dikenal dengan nama perjanjian amiens. Maret 1803, Maluku kembali ke kekuasan Belanda. Di tahun itu juga mereka kembali berperang, dan Belanda meminta bantuan Perancis  yang sejak 1795 telah berada di kekuasan Perancis untuk melawan Inggris. Perancis menang dalam perang eropa itu dan Napoleon Bonaparte naik tahta. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semaikin besar, Napoleon menunjuk adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa Belanda di tahun 1806. Di tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman William Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal. Perlu ditambahkan soal Daendels ini, ia adalah orang Belanda yang awalnya adalah seorang pengacara di kota Hattum. Karena sokongan yang besar kepada Perancis, Maka Napoleon menghadiahinya gelar Marshal/Marsekal. Ia tiba di Jawa pada tanggal 1 Januari 1808 setelah melewati perjalanan yang panjang melalui Lisbon dan Maroko. Daendels mengambil kekuasaan  dari tangan Gubernur Jenderal A.H. Wiesel (1805-1816) tanggal 15 Januari 1808. Karena kekejamannya selama 3 tahun pemerintahannya itu, orang-orang di Jawa menyebutnya “Mas Galak”. Sebutan ini merupakan “plesetan” atau “cemoohan” terhadap gelar marshal/marsekalnya. Dia juga dijuluki “Mas Guntur”. Di masa itu, di Ambon yang menjadi Gubernur Amboina  adalah orang yang bernama Cransen. Cransen kemudian digantikan oleh Gubernur Ternate bernama Wieling. Karena bunuh diri di benteng Victoria, Wieling kemudian digantikan oleh Gubernur Heukevlugt. Mei 1811, Daendels di gantikan oleh Jan Willem Janssens. Sebelumnya pada agustus 1810, Dewan Pengawas India Timur Inggris mengeluarkan perintah kepada Lord Minto, Gubernur Jenderal Hindia yang bermarkas di Calcuta India agar “musuh” harus didepak dari Jawa. Atas perintah tersebut, tanggal 4 agustus 1811, 60 kapal Inggris menyerang Batavia, dan akhirnya Gubernur Janssens menandatangani Perjanjian Tuntang (Kapitulasi Tuntang di tanggal 17 Desember 1811. Dengan kapitulasi ini, kembali lagi Indonesia dijajah oleh Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur Jawa yang memerintah di Batavia dari tahun 1811-1816. Catatan : di masa Inggris, tidak ada jabatan Gubernur Jenderal. Penunjukan Raffles karena sejak tahun 1810, Lord Minto telah tertarik dengan pengetahuan luas Raffles tentang nusantara. Melalui temannya Dr. Jhon Leyden yang juga teman Lord Minto, Raffles diperkenalkan.

Di bulan-bulan itu juga Gubernur Amboina Heukevlugt menyerahkan kekuasaan ke Inggris. Mungkin di masa-masa inilah Thomas Matulessy, masuk dinas ketentaraan Inggris dan mencapai pangkat Sersan Mayor saat Inggris mengakhiri kekuasaannya di tahun 1816. 2 tahun sebelumnya muncul konvensi/perjanjian London tahun 1814 tanggal 13 Agustus, dimana Inggris berjanji akan mengembalikan nusantara ke Belanda. Tahun 1815 tanggal 18 Juni terjadi perang Waterloo yang mengakibatkan Napoleon Bonaparte kalah dan dibuang ke pulau Elba. Kekalahan Napoleon ini berakibat juga pada Nusantara. Belanda kembali menjadi bangsa merdeka, dan berdasarkan pada konvensi London itulah, Belanda meminta realisasi dari Inggris. Agustus 1816, Raffles ditarik pulang oleh Lord Moire  yang telah menggantikan Lord Minto. Jabatan Raffles ini diganti oleh John Fendall. Tanggal 19 Agustus terjadi peralihan kekuasaan. Inggris diwakili oleh John Fendall sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Cornelis Theodorus Elout, Baron. G.A.G.Ph. van der Capellen dan A.A. Buyskes. Setelah peralihan ini, Eloy dan Buyskes kembali pulang,sedangkan Van der Capellen menjadi Gubernur Jenderal di Batavia (1816-1826). Di Maluku khususnya di Ambon, perundingan pelaksanaan konvensi/traktat London, menghasilkan persetujuan di tanggal 14 Maret 1817. Baru tanggal 18 Maret 1817, armada Belanda berupa 5 Kapal yaitu Kapal perang Maria Reygersbergen, dipimpin komandan Overste J. Groot ; Kapal Nassau dengan komandan Sloterdijk ; Kapal Lversten dengan komandan Kapten Laut PM. Dietz dan beberapa buah kapal pengangkut Swallow, Salambone dan Malabar tiba di Pantai Honipopu dekat Benteng Victoria. Peralihan kekuasaan itu, baru ditandatangani oleh komisaris Engelhard dan van Middlekoop tanggal 24 Maret 1817 di hadapan Martin yang merupakan Gubernur Inggris di Amboina. Sebelumnya tanggal 20 Maret telah di lantik Burfhgraaff sebagai residen di Hila dan keesokan harinya sebagai residen Larike. Pada hari itu juga Johanes.Rudolf. van den Berg dilantik sebagai residen Saparua. Tanggal 25 Maret berlangsung upacara serah terima yang dilakukan di Batu Gajah, tempat Residen Inggris berkantor (sekarang menjadi Mako Kodam XVI Pattimura). Di hari itu juga dilantik Van Middlekoop sebagai Gubernur Amboina dan Uijtenbroek dilantik sebagai residen Haruku. Beberapa hari kemudian, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai residen Ternate. Di akhir bulan Maret itu Van den Berg tiba di Saparua dengan Kapal perang untuk acara serah terima dengan wakil Inggris di Benteng Duurstede. Di Saparua, Residen Van den Berg dikenal dengan sebutan Tuan “Fetor”. Dan Philip Latumahina adalah bekas juru tulisnya yang kemudian digantikan oleh Scriba Ornek. Di masa pemerintahan Residen van den Berg yang baru seumur jagung inilah, terjadi Perang Pattimura. Di masa perang Pattimura ini, yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Baron. G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah dari tahun 1816-1826. Setelah itu yang menggantikannya adalah Gubernur Jenderal Du Bus Gisignies yang memerintah di tahun 1826-1829. Di tahun 1829 Johanes van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak akan disebut cultuurstelsel (sistim penanaman/sistim tanam paksa). Januari 1830, van den Bosch tiba di Batavia dan menjadi Gubernur Jenderal yang baru (1830-1833). Di masa inilah, berlaku sistim tanam paksa yang “legendaries” dalam sejarah Indonesia. Sistim ini diusulkan karena kerajaan Belanda mengalami defisit keuangan. Di nusantara, Belanda harus membiayai penumpasan akibat perang diponegoro dan paderi, sedang di eropa, belanda terlibat dalam perang Napoleon Bonaparte. Selama hampir 70 tahun, Indonesia benar-benar mengalami penderitaan karena sistim tanam paksa ini.

Adalah Baron van Hoevel, yang dulunya Presiden Batavia Society of arts and science serta pendiri surat kabarTijdchrift van Nederlandsch Indie yang menentang/memprotes sistim ini. Dia juga adalah anggota tweede kamer dari tahun 1849-1862. Di tahun 1860 Edward Douwes Dekker dengan nama samaran “Multatuli” menulis novel Max Havelaar yang juga menentang sistim tanam paksa ini. Ada juga Isaac Fransen van der Putte yang menjadi Menteri urusan koloni (1863-1866) dalam kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Thoerbecke dari partai liberal. Meski diprotes, sistim ini terus dilaksanakan.
Di tahun 1880, Dr Abraham Kuyper yang nantinya di tahun 1901 menjadi Perdana Menteri telah menerbitkan selebaran dengan judul Ons Program. Dimana ia mendesak bahwa pemerintah Belanda harus menjalankan politik tanggung jawab moral bagi kemakmuran orang-orang pribumi (Indonesia).
Tahun 1899, C.Th. van Deventer, seorang ahli hukum pernah tinggal di Indonesia selama 17 tahun (1880-1897) menerbitkan artikel yang berjudul “een eereschuld” (suatu hutang kehormatan) di dalam majalah berkala Belanda de Gids. Ia menyatakan bahwa Negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia didalam kebijakan kolonial. Pada tahun 1901, Ratu Belanda Willhelmina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Indonesia/Jawa. 17 September 1901, Ratu menyampaikan pidato tahunan kerajaan (troon rede) dihadapan parlemen. Dalam pidato itu, ia memperkenalkan Politik Etis atau mencanangkan Nederlandsch zedelijke roeping (panggilan etis Belanda) dan dengan demikian politik Etis/Etik secara resmi disahkan. Pelaksanaan politik ini, didukung oleh situasi politik di negeri Belanda yang ditandai oleh berkuasanya tokoh-tokoh Kristen. Di tahun itu, koalisi partai Kristen Belanda dan kelompok kanan melibas Partai Liberal yang telah berkuasa 50 tahun. Dr. Abraham Kuyper jadi Perdana Menteri. Di tahun berikutnya, A.W.F. Idenburg jadi Menteri Urusan Daerah jajahan, kemudian ditahun 1909-1916 jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia . Mereka -mereka inilah, yang membuat pelaksanaan politik etis jadi mudah dilakukan. Di tahun-tahun itu juga mulai dilaksanakan politik etis itu di Indonesia. Ada 3 prinsip dalam politik etik/etis tersebut yaitu : Educatie, Emigratie dan Irrigatie atau (Pendidikan, Perpindahan penduduk dan Pengairan).


C.       PEMBUATAN SLUIS/SLOIS
Pelaksanaan politik etis terkhusus bagian pengairan atau irigasi, di Negeri Saparua tidak diketahui secara lengkap. Hal ini disebabkan karena tak ada dokumen, arsip atau catatan-catatan yang ditinggalkan di daerah ini. Mungkin juga telah hilang, sengaja dihilangkan atau diselamatkan oleh orang-orang Belanda saat pergantian kekuasaan kepada Jepang. Mungkin arsip-arsip itu masih ada di negeri Belanda dan jadi arsip-arsip kerajaan. Yang ada hanyalah potongan-potongan cerita, tempat yang masih diketahui dan dikenang. Salah satunya tentang SLUIS/SLOIS ini.
Berhubung karena keterbatasan data yang ada, maka agak sulit menyajikan pemaparan yang mendetail tentang hal ini. Yang hanya bisa, adalah merangkai potongan-potongan cerita tadi, serta dukungan berbagai literatur yang mungkin bisa berkaitan dengan pokok bahasan ini.
Dari penelusuran dan pengumpulan serta pembacaan berbagai literatur sekunder bisa dijadikan gambaran awal atau “prakata” untuk masuk ke bahasan ini. Bahan-bahan sekunder itu adalah laporan proses pelaksanaan kegiatan irigasi/pengairan di Bandung, Surabaya,  serta daerah daerah lain. Memang proses kegiatan di tempat itu, tentulah tidak sama persis dengan yang terjadi di Maluku. namun seperti dijelaskan sebelumnya, itu bisa jadi “kata pengantar” untuk masuk ke masalah ini.

Seperti yang digambarkan di Kota Bandung, terkhususnya di kawasan cibadak serta bandung kota :

Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding) dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk. Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921”.
“Seperti sudah diketahui, Bandung ditetapkan sebagai Kotapraja pada tahun 1906 lewat keputusan dari Gubernur Jendral J. B. van Heutz. Sejak itu Bandung menjadi daerah otonomi yang berhak mengatur dan mengelola diri sendiri. Pembangunan jalan-jalan raya, jembatan, saluran air limbah, sumur-sumur, jaringan air bersih, sampai permakaman dilakukan dengan cepat melalui tahapan-tahapan yang terencana dengan baik. Termasuk di sini pembukaan dan pemeliharaan kuburan baru bagi warga Eropa (Kebon Jahe) dan Pribumi (Tamansari) di dalam kota dan kuburan baru bagi warga Tionghoa di luar kota (Cikadut)”

Di bawah ini gambaran yang terjadi di Kota Surabaya :

Tahun 1903 lahir undang-undang desentralisasi (Decentralisatie Wet 1903), yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan kota secara otonom (gemeente) di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun setelah lahir undang-undang itu Kota Surabaya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri.  Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903 atau Decentralisatie Wet 1903, maka pada tanggal 1 April 1906 disahkan pemerintahan Kota Surabaya yang otonom yang bernama Gemeente Surabaya. Berdirinya Gemeente Surabaya disahkan melalui Staatsblad No. 149 Tahun 1906. Dalam staatsblad tersebut dijelaskan bahwa dengan berdirinya Gemeente Surabaya maka Surabaya ditetapkan sebagai kota otonom atau kota mandiri yang berkewajiban mengelola dan mendanai sendiri kota tersebut. Lebih lanjut diterangkan bahwa pemerintah pusat akan menyisihkan dana sebesar F 284.300 sebagai modal awal yang akan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan Gemeente Surabaya. Sebagai konsekuensi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengelola Kota Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya. Beberapa kewajiban tersebut antara lain :

1.     Perawatan, pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan umum, papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got, pemandian umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar.
2.    Penyiraman jalan raya, pengambilan sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di jalan-jalan kecil dan di lapangan.
3.         Penerangan jalan
4.         Pemadam kebakaran
5.        Pembuatan makam

Pada periode 1916 ini mulai dilakukan penataan organisasi gemeente, dengan melengkapi lembaga tersebut dengan beberapa dinas yang bersifat operasional. Pada periode ini Gemeente Surabaya dilengkapi dengan empat dinas, yaitu :

1.      Bagian Urusan Umum (Gemeente Secretarie)
2.      Bagian Pekerjaan Umum (Gemeente Werken), yang meliputi pula Dinas Pemadam Kebakaran (Brandweer)
3.      Bagian Perusahaan-perusahaan (Gemeente Bedrijven), antara lain: perusahaan air minum, pemotongan hewan (abattoir), dan pasar.
             4.      Bagian Urusan Kesehatan Umum.

Struktur Organisasi Gemeente Surabaya tahun 1930

Bagian
Sub-bagian
Kelompok I
1.         Sekretariat Gemeente (Gemeente-Secretarie)




1.         Urusan Umum (Algemeen Zaken)
2.       Pajak dan Penduduk (Belasting en Bevolking )
3.       Bagian Keuangan (Afdeling Financien)
4.       Dinas Pengawasan  (Controledienst)
5.       Pelayan (Bedienden)
6.       Kontrol Keuangan (Financieele Controle)


1.         Kantor Pemungut Pajak (Ontvangerskantoor)
2.       Pusat Administrasi Perusahaan Kota (Centrale Bedrijfsadministratie)
3.       Kantor Pembelian dan Gudang (Inkoopkantoor en Magazijn)


Kelompok II
Pekerjaan Umum (Publieke Werken)
1.         Pekerjaan Gemeente (Gemeentewerken)
2.       Pengawan Rumah dan Bangunan (Bouw- en Woningtoezicht)
3.       Pendataan Bangunan (Woningstelling)
4.       Pemadam Kebakaran (Brandweer)
Kelompok III
Perusahaan-perusahaan (Bedrijven)
1.         Administrasi Umum (Algemeen Beheer)
2.       Perusahaan Tanah dan Rumah (Grond- en Woningbedrijf)
3.       Pemerintahan Desa (Dessabestuur)
4.       Perusahaan Air Minum (Waterleiding)
5.       Tempat Kerja (Werkplaats)
6.       Dinas Kesehatan Hewan (Veterinair-Hygienische Dienst)
7.        Rumah Pemotongan Hewan (Slachthuis)
8.       Dinas Kebersihan, Penyiraman, dan Pertamanan (Reinigings-Besproeing- en Plantsoen Dienst)
9.       Urusan Makam (Begraafplaatsen)
10.     Perusahaan Pasar (Pasarbedrijf)
Dinas Khusus
Urusan Sosial (Sociale Aangelegenheden)
Statistiek dan Urusan Kemiskinan (Statistiek en Armenzorg
Dinas Lain
1.         Pendidikan (Onderwijs)

1.         Dinas Kesehatan (Gezondheiddienst)
2.       Pemeriksa Taksi (Taxikeuring)
3.       Biro Tenaga Kerja (Arbeidbureau)
4.       Urusan Musik (Muziek)




Sumber: Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 46-69


Dari beberapa gambaran di atas (perhatikan kata-kata yang digaris bawahi), kita bisa mengetahui apa yang terjadi di awal-awal abad XX. Mungkin apa yang terjadi di kota-kota itu, terjadi pelaksanaan irigasi mungkin lebih diprioritaskan pada pembangunan saluran air, pembuangan limbah (riol), tempat pemandian dan lain-lain.
Dari beberapa cerita yang dikumpulkan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Di tahun 1920an, orang-orang Belanda (Residen/contrelaur?) di negeri Saparua mengetahui ada sebuah sumber air (mata air), di dati negeri Saparua. Sumber air ini adalah mata air yang keluar dari bebatuan. Mata air ini tepatnya terletak di tengah-tengah antara dusun tuha (dati Anakotta) dan dusun milik dati Simatauw.
Di tahun 1930an, mungkin tahun 1933, seorang Insinyur Belanda yang bernama Van Naar mengeksplorasinya. Ia menggali mata air tersebut untuk mengecek debit air. Ternyata debit air dari mata air tersebut sangat banyak atau melimpah. Karena aliran airnya sangat deras, ia menutupnya, dan menggali di tempat lain yang hanya beberapa meter dari mata air pertama. Di tempat yang baru inilah, van Naar kemudian memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air ke dalam Kota Saparua. Di tempat itu juga dibangun semacam dam untuk menutup atau menaungi sumber air itu. Kawasan sumber air itu, kemudian dikenal hingga sekarang sebagai Water Leiding, atau dalam pengucapan orang Negeri Saparua disebut Waterledeng. Dalam bahasa Belanda, water leiding diartikan sebagai saluran air. Pipa-pipa yang dipasang itu mengalirkan air ke beberapa bangunan publik, di antaranya Rumah Sakit (Ziekenhuis) Saparua, Rumah Sakit Kusta Saparua (Leproseri), Beesturstaad Contrelaur (Rumah dinas camat), Benteng Duurstede, dan pemukiman penduduk. Jarak dari kawasan ini ke dalam kota sekitar 2 Km. Hingga sekarang masih ada bekas-bekas pipa yang dipasang itu meski sudah berkarat dimakan zaman. Namun pekerjaan pemasangan pipa-pipa  ini tak bisa rampung seluruhnya, karena di tahun 1942 terjadi peralihan kekuasan dari Belanda ke Jepang. Menurut cerita, saat Jepang menduduki Negeri Saparua, mereka membom kawasan waterleiding ini. Selain membom, mereka juga menutup dam yang telah dibangun oleh van Naar dengan cara memasukan batu-batu besar kedalam dam tersebut. Mungkin maksudnya adalah mereka memutuskan pasokan air ke dalam kota. Penghancuran itu sering dilakukan oleh pihak jepang jika kita melihat sejarah pendudukan jepang di berbagai kota di tahun 1942. Selama pendudukan Jepang, kawasan ini tak terurus, hingga di masa Orde Baru, Departemen Pekerjaan Umum, mengeksplorasi kembali kawasan ini. PU melakukan apa yang telah dilakukan oleh van Naar. Melanjutkan pekerjaaan tersebut. Hal ini bisa dilihat karena ada pipa-pipa yang saling tumpang tindih serta berhimpitan dengan pipa-pipa yang sebelumnya dipasang oleh van Naar.
Kembali ke pekerjaan van Naar, dam yang dibangun itu memiliki beberapa lubang untuk mengalirkan air. Aliran air ini mengalir membentuk sungai kecil atau anak sungai. Anak sungai ini mengalir hingga ke dalam kota dan berakhir di laut. Aliran anak sungai ini melewati beberapa dati milik orang negeri dan juga beberapa dusun masyarakat. Kira-kira 1 Km dari kawasan waterleiding ini, dibuat semacam kanal setinggi leher orang dewasa. Kanal ini dibuat dengan memiliki 4 pintu air, yang mengalirkan air mengalir melewati tempat-tempat yang biasanya dilewati hingga sampai ke laut. Kanal dengan 4 pintu air ini dinamakan SLUIS/SLOIS.

Menurut cerita juga, kanal ini biasanya digunakan oleh orang-orang belanda khususnya para pembesar dan nonie-nonie belanda untuk mandi. Tak diketahui pasti pembesar yang mana, tapi mungkin contrelaur atau residen saparua dan para pegawainya serta noni-noni belanda. Biasanya saat mereka mau mandi/berenang/berendam, ke-4 pintu air itu ditutup dengan papan. Ini dimaksudkan agar, air di kanal itu naik/meluap dan menyerupai seperti kolam renang. Saat itulah baru pembesar-pembesar itu mandi. Jarak dari Benteng Duurstede dan Rumah Dinas Contrelaur ke kawasan Slois ini berjarak kira-kira 1 Km atau 700-800 M dengan arah sedikit menanjak.  Tidak diketahui secara pasti kapan mereka melakukan kegiatan itu. Namun diperkirakan acara mandi itu pada sore hari. Atau bisa juga pagi atau siang sesuai keinginan para pembesar itu. Acara “rekreasi” ini kemudian berhenti total saat Jepang menduduki Negeri Saparua di tahun 1942. Jadi mungkin acara ini hanya berlangsung selama 9 tahun saja, atau mungkin lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan, karena awal pembuatan kawasan waterleiding di tahun 1933, itu hanya berdasarkan tuturan-tuturan orang yang masih diingat. Menurut penulis mungkin saja acara mandi ini dilakukan lebih awal dari tahun tersebut. Sejak tahun 1942 itu, kawasan mandi ini tak terurus lagi. Jika kita belajar sejarah tentang pendudukan Jepang, banyak bangunan warisan Belanda yang dihancurkan meski banyak juga yang tetap dibiarkan. Contohnya Patung J.P. Coen bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, dan pendiri kota Batavia itu didirikan di tahun 1869 dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Mijer (1866-1872) bertepatan dengan 250 tahun berdirinya Batavia. Patung ini digusur dan dihancurkan oleh Jepang pada tanggal 7 Maret 1943, setelah berdiri selama 74 tahun. Yang sederhana adalah soal nama-nama bangunan dalam bahasa belanda diganti dengan bahasa jepang.
Mungkin dengan pola pikir seperti inilah, kanal kawasan slois ini tak terurus hingga lama kelamaan hancur. Dengan berakhirnya kekuasan belanda di tahun 1942 itu, sebuah budaya “feodalisme” dalam acara mandi itu berakhir dan tinggal kenangan.
Tentunya kita perlu bertanya lebih jauh siapa arsitek yang membangun kawasan waterleiding dan kanal SLUIS itu? Siapa van Naar ini sesungguhnya? Sayangnya, tak ada dokumen yang memberitahu kita lebih jauh. Namun ada sumber sekunder yang bisa jadi gambaran tentang orang-orang seperti van Naar ini. Berikut ini ada informasi, yang penulis dapatkan :

D. W. Hinse J. Hz adalah seorang arsitek yang mendapatkan tugas untuk menjadi pimpinan pembangunan gedung Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta) di Semarang. Seluruh rancang-bangun gedung ini memang dibuat di Amsterdam, Belanda, sementara untuk pembangunannya perusahaan rancang-bangun ini hanya mengirimkan para pengawas dan pemimpin pembangunan saja. Gedung yang selesai dibangun tahun 1907 ini sampai sekarang masih berdiri utuh di pusat kota Semarang dan terkenal dengan julukan Lawang Sewu

Ya mungkin arstitek van Naar ini berasal dari gambaran seperti di atas. Mungkin juga karena pelaksanaan politik etis ini, banyak arsitek Belanda yang didatangkan langsung dari Belanda atau memang yang sudah lebih dulu menetap di Indonesia (blijfers).


D.       SENJA KALA SLUIS/SLOIS
Sebuah era feodalisme yang pernah “berjaya” di zamannya berakhir dengan tragis. Sebuah budaya para pembesar-pembesar Belanda itu berhenti dan tinggal kenangan. Kita perlu “berterima kasih” kepada van Naar, yang telah ikut melakukan “cetak biru” sejarah di Kota Saparua. Kanal SLUIS/SLOIS ini telah hancur dan sekarang telah timbun untuk dijadikan rumah muhabeth kampung baru. Yang ada hanyalah tinggal nama dan kenangan tentang budaya mandi serta daerah di sekitar kawasan yang diberi nama SLUIS/SLOIS. Semoga pengalaman ini menjadikan peringatan pada para pembesar di negeri ini untuk memperhatikan, memelihara serta melestarikan situs-situs saksi sejarah yang ada.
Situs-situs penting itu pernah ada dan menjadi jejak sejarah yang panjang di Kota Saparua. Situs-situs itu juga jadi cermin dan karya peradaban manusia. Meski berbau feodalisme dan warisan penjajah, namun sebagai bangsa yang besar, sebaiknya kita tetap memelihara dan menjaganya. Kita perlu “belajar” dari banyak kota di Eropa, yang tetap memelihara bangunan-bangunan tua dan kuno, meski tetap berdampingan dengan bangunan-bangunan baru produk kapitalisme dewasa ini.  Mungkin SLUIS/SLOIS hanyalah retakan atau kepingan kecil. Namun seperti kata-kata sastra dari surga: Bukankah saat kita setia pada perkara-perkara kecil, maka kita juga akan setia pada perkara-perkara besar?
SEMOGA KITA SELALU MENCINTAI WARISAN KOTA YANG PENUH SEJARAH PANJANG INI... SEMOGA!

Sumber:
1.   Perbincangan dengan Bpk Corneles Tomasoa, Bpk Jacob Huwae, Ibu Pelly Anakotta, serta beberapa orang tua di Negeri Saparua
2.      M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
3.      D.G. Hall, Sejarah Asia Tenggara
4.      Van den End, Ragi Carita I dan II
5.      Dr. J. Aritonang, Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia
6.      A.L.N. Kramer Sr, Kamus  Belanda – Indonesia
9.      Beberapa blog lain yang menulis tentang soal irigasi di awal abad XX
10.  Beberapa blog lain yang menulis tentang sejarah kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang di Indonesia
11.  Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar