Jumat, 01 Mei 2015

Parigi Negeri Saparoea_Sumber Air "Hidup"

“Barangsiapa haus, baiklah ia datang
 kepada-Ku dan minum!.
Barangsiapa percaya kepada-Ku,
seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci:
dari dalam hatinya
akan mengalir aliran-aliran air hidup”
(Yoh 7:37b – 38)1

 A.  PENDAHULUAN

Parigi Negeri Saparoea
Dalam kehidupan manusia, yang namanya air adalah penting atau kebutuhan paling vital. Segala sesuatu dalam hidup sehari-hari pasti memerlukan air. Mandi, minum dan cuci adalah contoh sederhananya. Begitu pentingnya air, hingga catatan sejarah tiap kebudayaan selalu mencatatnya. Dalam tradisi Yahudi, khususnya kehidupan para bapa patriakh Israel kuno, air juga sering disebutkan2. Begitu juga dengan kebudayaan-kebudayaan dunia lainnya. Sejarah Indonesia atau Nusantara hingga disebut sebagai bangsa maritim, tentunya tidak terlepas dengan air yang dimaksud, meski pengertian air dalam volume yang besar (laut, sungai, danau, kali, dll). Pada skala yang lebih kecil, kebudayaan Maluku tentunya tidaklah berbeda dengan uraian di atas. Air juga memegang peranan penting dalam kehidupan orang-orang Maluku. Tiap negeri-negeri di dalamnya  selalu terlibat dengan air dan pastilah “memiliki” sumber air itu. Sumber air yang dimaksud adalah sumber air untuk hidup khususnya untuk minum. Sumber air ini biasanya dalam bentuk sumur atau orang Maluku menyebutnya sebagai PARIGI. Tiap-tiap negeri tentu memiliki sumur “khusus” dalam negeri tersebut. Biasanya negeri-negeri berstatus adat memiliki sumur “khusus” ini. Sumur “khusus” ini disebut PARIGI NEGERI. Negeri Saparoea juga memiliki parigi/sumur negeri seperti maksud di atas.

Tulisan ini dibuat untuk mengisahkan kembali keberadaan sumur negeri ini. Kisah tentang kehidupan sosial orang-orang Negeri Saparoea, dimana adat, mistis dan kehidupan sehari-hari terus bergulat dan bergumul. Catatan-catatan kecil yang perlu dikisahkan kembali kepada generasi sekarang, meski eksistensi Parigi Negeri tidak lagi menjadi perhatian utama kita dewasa ini. Ya, hal ini mungkin disebabkan karena tiap rumah telah memiliki sumur pribadi, hingga sumur “khusus” ini tak lagi memiliki makna penting. Bertolak dari hal itu, kisah ini perlu ada untuk mengingat kembali, atau sebagai bagian dari usaha pelestarian akan warisan para datuk-datuk, para leluhur, dan orang-orang yang telah “menanamkan” pesan moral dan nilai estetika dalam kehidupan buat generasi sekarang dan yang akan datang.

B.  SELINTAS SEJARAH TENTANG PARIGI NEGERI

Parigi Negeri berlokasi di wilayah dalam Negeri Saparoea yang biasa dikenal dengan nama TIANG BELAKANG. Dulunya wilayah ini disebut SOA BARU3.  Sekarang lebih dikenal dengan nama tiang belakang. Parigi Negeri ini, kira-kira ±100 M dari areal Baileo Negeri Saparoea. Ada yang menarik, kenapa kawasan di sekitar ini disebut SOA BARU dan kemudian menjadi TIANG BELAKANG. Tak ada arsip/dokumen atau catatan untuk menelusuri asal mula dan alasan dari pelabelan/pemakaian nama buat kawasan ini. Namun dari beberapa cerita dan analisis, penulis menduga kawasan ini disebut demikian karena mungkin kawasan ini adalah sebuah “perkampungan” baru. Perkampungan baru yang diciptakan/dibuat belakangan untuk “menampung” atau sebagai tempat hunian bagi para pendatang. Hal ini “terlihat” masuk akal, karena kawasan ini bukanlah hunian orang-orang negeri asli saparoea (4 soa/marga asli) serta keturunan mereka. penggunaan kata SOA juga adalah penamaan yang bersifat “adat” karena Negeri Saparoea adalah negeri adat.

Soa sebagai bagian dari struktur adat dan entitas masyarakat adat yang menjadi dasar dalam pembentukan sebuah negeri/kampung4. Sedangkan penggunaan nama TIANG BELAKANG, tidaklah diketahui secara pasti, kapan nama ini mulai digunakan. Namun seperti SOA BARU, nama TIANG BELAKANG, pasti memiliki alasan filosofisnya. Menurut dugaan penulis, kata ini digunakan berkaitan dengan kata SOA BARU.  Kata tiang belakang mengacu pada arsitektur rumah, dimana tiang-tiang rumah dalam proses pembangunan (orang bikin/kasi badiri rumah) adalah kegiatan terakhir, atau tiang yang didirikan belakangan/kemudian setelah tiang utama atau tiang depan/muka. Penggunaan kata ini dikaitkan dengan konsep Negeri Saparoea sebagai sebuah rumah besar bagi masyarakatnya. Karena kawasan ini diciptakan terakhir/belakangan maka “logis” disebut TIANG BELAKANG atau kawasan/paling belakang. Saat memikirkan hal ini secara mendalam, tak bisa dibantah, penulis merasa kagum pada para leluhur atas kearifan dan kejeniusan mereka. mereka tak menggunakan istilah yang rumit untuk menamai sesuatu. Mereka mungkin “menyukai” menggunakan hal-hal sederhana dan “bahasa hari-hari” untuk melabelkan semua itu. Mungkin dengan istilah sederhana itulah yang digunakan agar bisa dimengerti dan jadi bahasa percakapan kehidupan.
Kawasan Parigi Negeri Saparoea
Sejarah asal mula munculnya Parigi Negeri, tak diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan tak ada arsip/dokumen yang ditinggalkan. Sungguh sangat disayangkan!!!, yang ada hanyalah cerita atau tradisi oral/lisan dari orang tua, itupun banyak yang telah tiada/meninggal. Kapan tepatnya sumur ini dibuat, atas ide/perintah siapa, dan siapa-siapa saja yang mengerjakannya, butuh berapa lama hingga selesai dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tak bisa terjawab dengan pasti. Seperti yang disebutkan di atas, yang ada hanyalah cerita dari orang-orang tua, itupun yang masih hidup sekarang. Yang bisa dilakukan penulis adalah hanya bertanya pada orang-orang itu. Menurut sumber tertua5 (82 thn) yang ditemui oleh penulis, ia mengaku bahwa  ia lahir pada tahun 1933, dan masih mengingat sejak berusia anak-anak (mungkin 6-7 tahun), ia telah “terbiasa” mengambil air (timba air) di sumur ini. Ada juga informan yang lain6 (71 thn), ia mengaku lahir di tahun 1944, ia juga menceritakan hal yang sama. Informan yang lain7 (62 thn), ia mengaku lahir di tahun 1953, ia menceritakan di usia anak-anak, sekitar 6-7 tahun, ia sering melihat tetangga-tetangganya, sering mengambil air di sumur khusus ini. Mereka bertiga dengan yakin mengatakan sesuai apa yang mereka ingat bahwa bentuk sumur/parigi negeri sekarang tidaklah berubah seperti apa yang mereka ingat semasa anak-anak. Perlu ditambahkan, bahwa sumber-sumber yang ditemui penulis adalah orang-orang berusia tua, yang berdiam di kawasan sumur negeri ini serta daerah sekelilingnya sejak mereka lahir/kecil. Dari sumber-sumber ini, dengan pasti bisa dikatakan bahwa di awal tahun 1933, sumur negeri ini telah ada dan bentuknya tak berubah hingga sekarang.

Jika seperti itu, lalu kapan pastinya sumur ini dibuat??? Atau lebih tepatnya digali??? Ada analisis menarik yang patut direnungkan. Analisis ini disampaikan oleh Bpk. Jacob Huwae8, menurut beliau, biasanya apa yang disebut sumur negeri/parigi negeri selalu berhubungan erat dengan masalah-masalah adat di daerah tersebut. Dalam kaitan ini, maksudnya adalah Baileo Negeri sebagai rumah adat/rumah suci dimana hal-hal adat dibicarakan dan tradisi dilakukan selalu memiliki kaitan atau saling mendukung dengan sumur/parigi negeri. Dalam konteks Negeri Saparoea berarti baileo berhubungan erat dengan sumur/parigi negeri. Beliau memberikan contoh, tradisi bayar harta negeri yang biasanya dilakukan, oleh keluarga lelaki kaum pendatang yang menikahi gadis-gadis keturunan orang negeri asli (4 soa/fam), di baileo selalu membawa pulang air yang diberikan oleh negeri. Air yang diberikan oleh negeri ini, selalu dan harus diambil dari sumur/parigi negeri. Dengan contoh ini, beliau menduga bahwa sumur ini mungkin dibuat sama waktu atau beberapa tahun setelah baileo dibangun/didirikan. Yang pasti adalah pembangunan Baileo Negeri Saparoea dibangun pada tahun 1514 pada masa pemerintahan Raja Melyanus Titaley. Jadi mungkin di tahun itu atau beberapa tahun kemudian sumur/parigi negeri ini dibuat atau digali. Hal ini logis apabila alasan darimana air itu diambil dengan kaitannya pada prosesi bayar harta negeri serta tempat (baileo) dimana prosesi itu dilakukan. Selain itu, menurut penulis, jika mengikuti alur berpikir seperti ini, malah bisa dikatakan pembuatan sumur/parigi negeri bisa lebih tua dari pembangunan baileu. Hal ini didasari dengan alasan dan pertimbangan, bahwa air begitulah penting. Sehingga pembuatan sumur/parigi sebagai sarana kebutuhan vital pastilah dilakukan lebih dulu dari pembangunan rumah adat. Hal ini juga bisa dihubungkan dengan “terbentuknya” masyarakat komunal Negeri Saparoea mula-mula. Dengan terbentuknya masyarakat komunal maka pemikiran kebutuhan akan air juga muncul dengan sendirinya. Jika di tahun 1514 atau beberapa tahun sesudahnya, sumur ini dibuat, maka tentunya bentuk sumur sekarang yang telah dibeton, bukan awalnya seperti itu. Mungkin dulunya hanya lubang digali, sehingga mendapatkan sumber air dan kemudian diletakan/diatur batu-batu besar dari dasar sumur membentuk lingkaran ke atas  sampai ke permukaan tanah setinggi kedalaman lubang. Sumur/parigi negeri itu berkedalaman 3 Meter dari dasar sumur ke permukaan tanah. Jika ditambah dengan dinding/cincin sumur, semuanya mencapai 4 Meter. Awalnya jalur menuju kawasan ini berbatu atau hanya berupa tanah kasar, namun di tahun 1991 dibuat jalan setapak di kawasan ini, sehingga jalur jalan menuju lokasi sumur juga akhirnya berupa jalan setapak. Proyek di tahun 1991 ini adalah proyek P3LD dari pemerintah provinsi Maluku. Di awal 2006 dari dana subsidi desa tahun 2005, dibuat rumah/penutup/cungkup untuk melindungi sumur. (lihat gambar)

C.  SUMBER AIR “Hidup”

Penggalan kalimat pembuka pada artikel ini, penulis mengutipnya dari alkitab. Lalu apa makna atau hubungannya ayat-ayat itu dengan sumur/parigi negeri??? Pada ayat-ayat itu ada konsep theologia, dimana Yesus Kristus atau nabi Isa mempersonafikasikan diri-Nya dengan sumber air hidup. Itu berhubungan dengan soal iman atau kepercayaan paling privat umat kristiani kepada pribadi yang Esa atau Maha Kuasa. Penulis hanya “menghubungkan” konsep itu pada kegunaan sumur/parigi negeri terhadap kebutuhan jasmaniah manusia. Dari keterkaitan konsep itu, penulis ingin mengilustrasikan bahwa sumur/parigi negeri adalah sumber vital buat kebutuhan manusia akan air. Dari sumur/parigi negerilah, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan air dalam hidup. Bukankah tubuh kita sebagian besar adalah air??? Airlah yang “menghidupkan” kita???. Seperti yang sebelumnya dijelaskan, bahwa biasanya sumur negeri selalu berhubungan dengan masalah-masalah adat di daerah itu. Begitu juga dengan kegunaan air pada sumur/parigi negeri saparoea. Ada 3 kegunaan/fungsi air yang diambil dari sumur/parigi negeri yaitu :

a)      Dalam Prosesi Bayar Harta Negeri
b)      Dalam Prosesi Melamar Wanita (Masu Minta Bini)
c)      Dalam Proses Wanita Melahirkan

Ø  Prosesi Bayar Harta Negeri
Pada prosesi ini, air yang diambil kemudian diberikan kepada keluarga lelaki kaum pendatang/orang luar yang mengawini gadis-gadis orang negeri asli (4 soa/fam) saat mereka membayar harta di Baileu Negeri Saparoea. Gadis-gadis yang dimaksud adalah gadis-gadis bermarga Anakotta, Ririnama, Titaley dan Simatauw. Ada semacam “prosedur” yang dilakukan oleh orang yang ditugaskan untuk mengambil air di sumur negeri untuk prosesi ini. Saat berjalan menuju lokasi, mengambil air, hingga kembali ke areal baileu, orang ini haruslah membisu alias tak berbicara. Bahkan saat disapa oleh orang lain selama ia melaksanakan tugasnya, ia tak boleh membalas sapaan/teguran orang. ( Baca : http://negerisaparua.blogspot.co.id/2014/01/prosesi-bayar-harta-negeri-pendahuluan.html#more )

Ø  Prosesi Melamar Wanita
Pada prosesi ini, biasanya air “dipesan” atau diminta oleh keluarga wanita yang akan dilamar. Pesanan atau permintaan ini disampaikan kepada raja, kemudian raja memerintahkan orang yang bisanya bertugas mengambil air tersebut dan kemudian memberikan kepada keluarga wanita/yang memintanya. Air inilah yang akan diberikan kepada calon/keluarga mempelai lelaki, saat proses pelamaran itu. Dulunya prosesi permintaan air ini hanya boleh  dilakukan oleh keluarga gadis-gadis negeri saparoea asli, namun berkembang lebih luas juga buat kaum pendatang, meski sekarang sudah mulai hilang.

Ø  Proses Wanita Melahirkan
Pada proses ini, air dari sumur/parigi negeri diambil atau digunakan saat wanita mengalami kesulitan melahirkan. Air yang diambil kemudian diminum atau diusapkan ke perut. Ini dipercaya akan melancarkan/memuluskan proses melahirkan itu.

Selain 3 fungsi/kegunaan di atas, sumur/parigi negeri digunakan oleh masyarakat setempat/kawasan itu untuk kebutuhan air minum. Dulunya sebelum munculnya sumur-sumur pribadi di tiap keluarga. Banyak orang/masyarakat dari beberapa kawasan datang mengambil air di sumur ini. Selain kawasan Tiang Belakang, Soalanda, Kampung Abubu, Kampung Baru, adalah wilayah-wilayah dimana masyarakat dari wilayah itu sering mengambil air minum dari sumur/parigi negeri. Ada juga permintaan kebutuhan air minum dari kaum pendatang seperti kaum China, Bugis, Jawa, Makassar, Arab, yang sebelum masa konflik Maluku di tahun 1999, pernah jadi bagian integral negeri saparoea. Perlu dijelaskan, bahwa selain sumur/parigi negeri, ada juga sumur “tua” lainnya, yang dikenal dengan nama WAIMOELA. Dari kedua sumur inilah kebutuhan air minum kaum-kaum pendatang ini dipasok sesuai “selera” mereka. Maksud selera di sini adalah, kebiasaan mereka dalam hal “merasai/menikmati” ciri khas air yang mereka minum, sehingga terkadang menuju ke arah “kesetiaan dan fanatik”. Jika mereka merasa cocok dengan air yang berasal/diambil dari sumur/parigi negeri, maka air yang dipesan haruslah diambil dari sumur itu, tak boleh di tempat lain, begitu juga dengan orang-orang yang merasa cocok dengan air yang berasal dari sumur waimoela. Hal ini sudah menjadi ciri khas dan tak bisa dipertukarkan atau diganti. Jika ada usaha “menipu” maka mereka bisa mengetahuinya. Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan dan lamanya mereka telah menjadi bagian dari negeri saparoea. Pesanan atau permintaan air minum dari kaum pendatang ini, biasanya dipenuhi oleh para pemikul air (orang pikol air) yang banyak berasal dari orang-orang suku Buton yang dulunya menghuni kawasan SARU dan GUNUNG PANJANG dalam petuanan Negeri Saparoea.

LA PAIDI, LA MAIBU, LA MANI, LA SAIDI, adalah nama-nama yang bisa disebut sebagai pemikul air yang pernah dikenal di masa itu. Sejak konflik kemanusian di tahun 1999 itu, orang-orang suku Buton mengungsi, sehingga tugas-tugas itu “dilanjutkan” oleh penduduk “lokal” . Dulunya 1 pikulan yang berisi air 2 jirigen dihargai Rp.500,00- kemudian meningkat menjadi Rp.1.000,00- hingga menjadi Rp.6.000,00- sekarang. Di masa dulu, biasanya para pemikul air itu biasanya mengambil air dan membawanya ke tempat-tempat pesanan dengan cara memikul sambil berjalan kaki. Jauh maupun dekat tetaplah dihargai sama bukan pada jauh dekatnya tetapi pada harga 1 pikulan, namun generasi sekarang lebih mudah melakukannya karena menggunakan gerobak dorong. Begitulah kehidupan sosial yang terjadi di negeri saparoea di masa itu disaat masih ada kaum-kaum dari suku Bugis, Jawa, Makasar, Arab, Buton. Sebuah “golden age” pada zamannya, kehidupan masyarakat kecil yang bergulat bergumul dalam kerasnya hidup tiap hari.

Parigi Waimoela
Kawasan Parigi Waimoela

D.  PENUTUP

Sumur/parigi negeri sebagai sumber air “hidup” seperti judul artikel, telah diurai pada tulisan ini. Sejarah tentang sumur/parigi negeri bukan hanya tentang pembuatan fisik tapi juga “romansa” kehidupan yang bergelayut di sekelilingnya. Cerita kehidupan sehari-hari dimana sumur/parigi negeri sebagai sumbernya. Sumber yang memberi “hidup” buat masyarakat di Negeri Saparoea. Air yang diminum sebagai kebutuhan tapi juga “menghidupkan” orang lain dalam hal ini kepada kehidupan para pemikul air. Dengan membayar harga air minum yang mereka bawa, juga digunakan untuk kebutuhan hari-hari mereka. Ada simbiosis mutualisme dalam hidup model ini. Mungkin inilah yang dipikirkan oleh para datuk-datuk leluhur yang mempunyai ide dan mengimplementasikan dalam pembuatan sumur “khusus” ini. Pemikiran yang melewati zaman, pemikiran yang tidak bersifat “eksklusif” namun yang membumi dan bersifat “toleransi” serta mendidik.

Meskipun telah banyak sumur-sumur pribadi di tiap rumah, sumur/parigi negeri “haruslah” menjadi perhatian khusus dari pemerintah negeri. Upaya perawatan dan pelestarian perlu terus dilakukan dan menjadi “prioritas”.  Hal ini dilakukan untuk “mempertahankan” ciri khas sebagai sebuah negeri adat yang harus memiliki parigi negeri. Bukan hanya nama yang disebut orang dan akhirnya hilang ditelan waktu tapi upaya fisik, agar nama maupun contohnya bisa ada dan terlihat nyata. Semoga sumur/parigi ini tetap dirawat dan dilestarikan oleh  kita semua.....SEMOGA!!!

Sumber :

1.      Injil Yohanes Pasal 7 : 37b-38
2.      Kejadian 16:7, 18:4, 21:19, 24:1-67, 26 :20-22, 32-33, 29:1-3, Keluaran 7:18, 15:22-27 dst
3.      Percakapan dengan Bpk. Corneles Tomasoa (Om Eles)
4.      R.Z. Leirissa dan J.A. Pattykaihatu : Sejarah sosial di Maluku Tengah
5.      Percakapan dengan Ibu. Henderika Noya (Tante Dika Uyu) tertanggal 08 April 2015 di rumahnya
6.      Percakapan dengan Ibu. Christhina Noya (Tante Inne Noya) tertanggal 08 April 2015 di rumahnya
7.      Percakapan dengan Bpk. Jacob Huwae tertanggal 06 April 2015
8.      Percakapan dengan Bpk. Jacob Huwae tertanggal 06 April 2015 di rumahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar