Minggu, 20 Januari 2019

Tjeritera/Sedjarah Pisarana Hatusiri Amalatu ---- sebuah catatan kritis ----


Oleh: Adryn Anakotta


A.    Pengantar

“Sejarah adalah rekonstruksi pikiran atas catatan-catatan masa lalu. Obyektivitas sejarah kerap menjadi polemik dari pihak-pihak yang berkepentingan atas konstruksi tersebut. Sebab itu, sejarah punya banyak versi. Versi satu dengan versi lain saling berseteru menganggap dirinya yang paling obyektif dan terbenar. Masing-masing versi punya data dan fakta-fakta yang sama-sama meyakinkan1.

Demikianlah kalimat pembuka seorang peresensi saat meresensi sebuah buku berjudul Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes yang dikarang oleh Tamim Ansary dan terbit di Amerika pada tahun 2009. Buku ini telah dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia dengan Judul Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta : Penerbit Zaman, 2010).

Maka tidak terlalu salah, jika historiografi adalah sebuah rekonstruksi, sebuah tafsiran “baru”, sebuah intepretasi dari penulis meski tulisannya menggunakan sumber-sumber tertulis yang bisa diperiksa, dikritisi atau sumber-sumber yang berasal dari tradisi lisan/oral.

Hal itu juga yang terjadi pada dokumen yang didalamnya berisikan narasi dengan judul besar :

“Tjeritera/Sedjarah Pisarana Hatusiri Amalatu”.

Narasi sejarah ini secara umum menceritakan/mendeskripsikan tentang asal usul kedatangan para leluhur ke suatu tempat, yang nantinya menjadi cikal bakal sebuah negeri bernama Saparua serta cerita-cerita lain yang berkaitan dengan keturunan mereka. 

Dokumen yang dipunyai penulis adalah produk “duplikasi” dari duplikasi sebelumnya. Pada awalnya, dokumen ini dimiliki oleh keluarga Simatauw yang bernama Fredrik Simatauw (oom Ef). Dokumen ini dipinjam oleh Fredrik Lamberth Anakotta (kakak penulis) dan diduplikasi (fotocopy) dalam bentuk kopian untuk kepentingan penulisan skripsi pada Fakultas Hukum, program studi Hukum Perdata, Universitas Pattimura tahun 1992.

Arsip/Dokumen “pribadi” milik Fredrik Lamberth Anakotta ini cukup lama disimpan, hingga sekitar September-Oktober 2018, dokumen itu digandakan dan dikirim ke beberapa orang, salah satunya kepada Ferdy Lalala (adik penulis). Sang adik kemudian “mendigitalisasikan” dokumen ini dengan cara di scan lembar per lembar dan hasilnya dikirim melalui email kepada penulis.

Penulis kemudian mendigitalisasikan dan menggabungkan lembar-lembar itu menggunakan aplikasi, sehingga berbentuk file bereksistensi pdf (portable document file) yang jumlahnya 12 halaman folio. 

Pembacaan yang berulang-ulang secara hati-hati, cermat, dan berniat jujur maka munculnya pikiran untuk menulis catatan kritis terhadap narasi sejarah ini. Artikel ini berisikan catatan kritis yang dimaksud. Catatan kritis ini dilakukan dengan pemahaman bahwa sejarah adalah sebuah rekonstruksi pikiran, sebuah tafsiran.

 

B.     Gambaran Umum

Tjeritera/Sedjarah Pisarana Hatusiri yang ditulis/dikutip itu terdiri dari 12 halaman berukuran folio, dan berisikan 7 sub judul. 7 sub judul itu dimulai dari “Hal datang orang-orang ke Pulau Saparua” hingga “Tjeritera Lamber Nitalessy”. Narasi sejarah ini ditulis dengan menggunakan campuran ejaan van Ophuijsen/ejaan lama/ejaan Balai Pustaka2 dan ejaan Soewandi/ejaan Republik3 serta diketik.

Narasi sejarah ini bisa dibagi menjadi 3 tema besar :

1.     Narasi sejarah para leluhur di negeri asal (Souhuku – pada dokumen tertulis Sauku),  kedatangan para leluhur ke pulau Saparua hingga “penataan” sebuah negeri

2.     Kisah Raja Majasang Simatauw

3.     Kisah Lamber Nitalessy 

Tema pertama mengambil sekitar 75% (9 halaman), tema kedua 16,7% (2 halaman) dan tema ketiga 8,3% (1 halaman) dari keseluruhan narasi.

Tema pertama dimulai dari halaman 1-9, tema kedua pada halaman 10-11 dan tema ketiga pada halaman terakhir atau halaman 12.

Tema pertama menceritakan kisah dari para leluhur di tempat asalnya (hal 1-2), “proses” berpindah ke Pulau Saparua (hal 3-4), saat mereka tiba dan “asal mula” munculnya nama Saparua (hal 5-6), “penataan” sebuah negeri, batas-batas negeri hingga penyebutan family Simatauw sebagai kepala pemerintahan (raja?) dari Adjelis Simatauw sampai Radja Majasang Simatauw (hal 7-9).

Tema kedua menceritakan kisah Radja Majasang Simatauw, salah satu kejadian yang terjadi di masa pemerintahannya (legenda durian sandar nona/nyonya) (hal 9-10), kisah tentang “transisi” pemerintahan dari radja Majasang ke pemerintahan sementara oleh Pattij Tiouw hingga pemerintahan yang dipegang oleh family Titaley (hal 10-11).

Tema 3 menceritakan tentang kisah Lamber Nitalessy yang “diangkat” menjadi Radja Saparua.




C.     Catatan Kritis

Pembacaan terhadap seluruh narasi itu secara cermat dan berusaha seobyektif mungkin, meskipun haruslah disadari bahwa sikap objektif itu tidak mungkin tercapai, menimbulkan beberapa catatan kritis. Catatan kritis ini tentunya didukung oleh sumber-sumber untuk mengkaji, membedah serta menganalisa lebih jauh.

Catatan kritis ini akan disusun berdasarkan “kronologis” cerita dimaksud agar tersusun secara sistematis dan bisa dipahami dengan jelas.

 

1.      Latar belakang dokumen

 

a.       Penulis dokumen

Narasi sejarah seperti dimaksud dimulai dengan sepotong kalimat4 :

 

Tjeritera ini diambil di Mesium Djakarta dengan katja pembesar atau Microschop, karena kertasnja sudah rusak

 

Memahami isi kalimat pembuka diatas sangatlah mudah, bahwa cerita yang kita baca saat ini merupakan salinan dari salinan sebelumnya. Salinan sebelumnya yang pernah ditulis dan keberadaannya disimpan di Mesium di Jakarta. Pertanyaan “kritis” yang menjadi implikasi dari kalimat di atas adalah apa nama Mesium yang dimaksud? Bukankah begitu banyak mesium yang berada di Jakarta? Seluruh narasi di atas tidak menjawab pertanyaan ini, sehingga sulit untuk penulis memverifikasi informasi ini. Usaha memverifikasi ini, hanyalah untuk melihat apakah salinan yang kita baca sekarang ini, “asli” sesuai salinan yang disimpan itu, ataukah salinan ini hanyalah merupakan “intepretasi” dari orang yang mengutipnya?. Pertanyaan ini muncul karena, penulis merasa ada nada “kurang objektif” pada salinan ini. Ada nada “mengkultuskan” faam/marga tertentu dibandingkan faam/marga lain. Meskipun, pada halaman 12 tertulis secara eksplisit: “pada salinan yang sama bunyinya” yang berarti dokumen yang kita baca ini adalah “sama” dengan apa yang tertulis pada kertas yang sudah rusak itu.

Penggunaan kalimat “pada salinan yang sama bunyinya” juga menimbulkan pertanyaan kritis lainnya, yaitu tulisan yang tertera di kertas rusak itu adalah tulisan tangan atau tulisan yang telah diketik? Apakah kita harus menerima  bahwa dokumen yang kita baca ini, adalah penyalinan yang “ketat” dari tulisan yang ada di kertas rusak itu? Penyalinan abjad demi abjad, tanda baca demi tanda baca, kalimat demi kalimat tanpa ada kekeliruan? Atau dokumen yang kita baca ini telah “direvisi” atau malah lebih “buruk” lagi adalah hasil “intepretasi” dari orang yang menyalinnya yaitu Josef Buang Marlissa itu?

Jika kita “dipaksa” untuk mempercayai secara membabi buta bahwa semua isinya benar-benar sesuai dengan tulisan yang ada di kertas rusak itu, maka kita juga bisa “terpaksa” meragukannya. Kita semua bukanlah saksi mata pada saat proses penyalinan itu dan tidak ada “arsip” kertas rusak itu untuk kita lihat dan bandingkan.  

 

Pertanyaan kritis berikutnya, siapa penulis salinan sebelumnya yang dikutip itu? Apakah penulis salinan itu adalah orang pribumi? Orang pribumi yang notabene adalah orang negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu) sendiri? ataukah malah orang luar, yang berarti bisa memiliki kemungkinan adalah orang Eropa? Pada tahun berapa tulisan itu dibuat?

Pertanyaan inipun tidak terjawab dengan membaca seluruh narasi pada salinan ini. Jika demikian, maka tidaklah salah jika penulis menggunakan pengandaian dalam hal siapa penulisnya.

Dilihat dari “konteks” salinan ini, yaitu lokasi keberadaaannya, maka penulis hanya menduga, penulisnya kemungkinan adalah orang Eropa. Jika kemungkinan penulisnya adalah orang Belanda, siapa namanya?

 

Berdasarkan sumber-sumber yang dipunyai penulis, orang Belanda yang pertama kali menulis sejarah negeri Saparua adalah Asisten Residen van Saparua, Willem Jan Maurits van Schmid (1806 – 18845/18856) yang memerintah pada 1840 – 18427

Jika orang ini, adalah penulis Belanda yang menulis salinan sebelumnya yang dikutip itu, maka ada perbedaan “mendasar” pada isinya.

Tulisan yang dibuat oleh W.J.M. van Schmid tidak seterperinci bila dibandingkan dengan salinan yang kita baca ini.

Tulisan W.J.M. van Schmid yang dimaksud adalah berupa artikel berjudul Aanteekeningen nopens de zeden , gewoonten en gebruiken , benevens de vooroordeelen en bijgeloovigheden der bevolking van de eilanden Saparoea , Haroekoe , Noessa Laut , en van een gedeelte van de' zuid - kust van Ceram, dan dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlands Indie vijfde jaargang, yang diterbitkan di Batavia pada tahun 18438.

Artikel panjang ini  terbagi menjadi “2 bagian” dan dimuat pada halaman 491-530 (bag 1) dan 583-622 (bag 2).

Secara umum artikel ini berisikan kehidupan “sosial” yaitu berupa kebiasaan para penduduk negeri-negeri yang berada di wilayah Afdeling Saparua. Misalnya saja kebiasaan para nelayan, kebiasaan para ibu saat melahirkan dan lain-lain.

Narasi tentang sejarah negeri Saparua, tidaklah panjang dan mendetail seperti salinan yang kita baca. Sejarah negeri Saparua hanyalah terdiri dari 3 halaman, dan berupa penceritaan tentang sebuah legenda.

Pada artikel bagian kedua inilah (hal 619-621), ia menulis  tulisan pendek yang diberi judul De Draak van Saparoea (Sang Naga Saparua).

Tulisan pendek itu tentang legenda Negeri Saparua, tentang Kapitan Rian Santuwa Titaleij, Njai Sahele Simatauw, Nahuwerij Simatauw, Leluhur Ana Kota, Simatauw dan Ririnama. Juga tentang “negosiasi” penjualan tanah yang akan menjadi lokasi berdirinya Benteng Duurstede.

Selain W.J.M. van Schmid, ada juga penulis lain berkebangsaan Jerman yaitu Adolp Bastian. Orang ini juga menulis tapi lebih pendek dari tulisan W.J.M. van Schmid, hanyalah terdiri dari 1 alinea saja9. Tulisan dimaksud ada dalam bukunya yang berjudul Indonesien oder Die Inseln Des Malayischen Archipel, bag I Lieferung : Die Molukken.

Kedua penulis ini menyebut figur-figur yang sama seperti juga disebutkan oleh narasi sejarah Pisarana. Perbedaaanya hanyalah nama nama saudara laki-laki Nyi Sahele. Schmid dan Bastian menulis namanya adalah Nahuwerij Simatauw, sedangkan salinan sejarah Pisarana menulis Adjelis Simatauw.

Schmid dan Bastian menulis Nyi/Nyai Sahele adalah zuster atau schwester (sister) dari Nahuwerij Simatauw. 

Menurut penulis mungkin kedua nama ini, Nahuwerij Simatauw dan Adjelis Simatauw adalah “identik”.

Jika membandingkan ketiga sumber ini, maka salinan sejarah Pisarana itu bukanlah mentah-mentah “berasal” dari kedua sumber ini, yang berarti pula “berasal” dari sumber lain. Masalahnya sumber “lain” itu tidak bisa diverifikasi oleh penulis untuk melihat, membaca dan membandingkannya.

Hal ini, bukan berarti bahwa penulis menganggap tulisan Schmid dan Bastian adalah paling benar dibandingkan salinan sejarah Pisarana.

Lagipula tulisan Schmid adalah penulisan ulang atas apa yang didengar dari cerita yang telah “hidup” di masyarakat negeri Saparua. Sedangkan, Bastian hanyalah mengutip sebagian dari sumber Schmid saja.

Jadi kesimpulannya, tulisan “asli” yang dikutip oleh Josef Marlissa dengan menggunakan kaca pembesar itu bukan mentah-mentah ditulis oleh W.J.M. van Schmid atau Adolf Bastian, tulisan itu berasal dari orang lain, yang sayangnya tidak bisa diverifikasi oleh penulis.

 

b.       Masalah ejaan

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa narasi sejarah Pisarana yang kita baca itu ditulis/diketik menggunakan campuran ejaan van Ophuijsen/ejaan lama/ejaan Balai Pustaka dan ejaan Soewandi/ejaan Republik. Masalah ejaan pada narasi ini bisa membuka cakrawala berpikir kita untuk memahami dokumen ini lebih jauh.

Dokumen narasi sejarah Pisarana itu dalam bentuk ketikan mesin ketik. Menarik membaca pernyataan dari Josef (Buang) Marlissa pada akhir halaman 12. Ia menulis : “Pada salinan jang sama bunjinja”.

Kalimat ini bisa dimengerti bahwa dokumen ketikan itu isinya “sama bunyinya” dengan tulisan yang ada pada kertas rusak itu. Ini berarti bahwa baik huruf, tanda baca bahkan ejaannya semuanya sama.

Jika kita percaya pernyataan ini, maka kita bisa menganalisis lebih jauh masalah ejaan pada narasi sejarah Pisarana.

 

Ejaan van Ophuijsen/ejaan lama/ejaan Balai Pustaka mulai berlaku secara resmi sejak tahun 1901-17 Maret 194210, sedangkan ejaan Soewandi/Republik mulai berlaku sejak 17 Maret 1942-23 Mei 197211.

Ciri-ciri ejaan van Ophuijsen adalah abjad y ditulis dengan abjad j, abjad u ditulis oe, abjad j ditulis dj, abjad c ditulis tj.

Ciri-ciri ejaan Soewandi adalah abjad oe ditulis u, kata-kata ulang boleh ditandai dengan angka 2 misalnya kata orang-orang ditulis sebagai orang2.

Jika kita memeriksa dengan cermat dokumen sejarah Pisarana, kita dapat melihat kata-kata dalam ejaan yang digunakan adalah campuran dari 2 ejaan ini.

Misalnya kata Tjeritera/Sedjarah, Djakarta, Tjuju, Katja, kertasnja, djauh, mentjari, menutju, djuga, musjawarah, jang, hudjan, supaja, menjiapkan, berlajar, mempunjai, namanja, Njai, hanjut, dan banyak kata-kata lain. Kata-kata yang ditulis dalam bentuk seperti itu adalah bentuk ejaan van Ophuijsen.

Ada juga kata-kata seperti Anjo2, banjak2, kora2, pulau2, melihat2, tjoba2, ketjil2, anak2, anak laki2, bapa2, sungguh2, bini2, pembatja2, bini2nja, saudaranja2 dan lain-lain. Kata-kata yang disebutkan di atas adalah bentuk ejaan Soewandi tapi juga ejaan Ophuijsen atau beberapa kata di atas adalah bentuk campuran 2 ejaan ini, misalnya Anjo2, banjak2, tjoba2, ketjil2, pembatja2 dan lain-lain (campuran Ophuijsen + Soewandi), kata-kata misalnya sungguh2, bapa2, anak2, pulau2, melihat2 (ejaan Soewandi).

 

Dari pemahaman ini, maka kita bisa menduga secara “umum” bahwa tulisan pada narasi dalam dokumen itu ditulis pada abad XX (1901-1972) sesuai periodesasi 2 ejaan.

Jika ejaan pada dokumen itu ditulis secara “ketat” menggunakan ejaan Ophuijsen maka tulisan itu ditulis pada periode 1901-1942, atau jika kita mau bertoleransi, tulisan itu dibuat sebelum tahun 1900, yaitu tahun 1800an (abad 19). Namun, faktanya tidak seperti itu.

Sang “penulis asli” tulisan jika menggunakan setiap kata pada seluruh narasi sejarah itu dengan ejaan van Ophuijsen, maka kita bisa berkesimpulan periode penulisannya adalah pada tahun 1901-1942 atau tahun 1800an.

Orang yang menulis dengan ejaan van Ophuijsen adalah orang yang terbiasa, mengerti aturan-aturan ejaaan dan “hidup” dalam periode itu atau “hidup” sebelum ejaan itu diberlakukan secara resmi.

Tapi, faktanya adalah dokumen itu berisikan campuran ejaan, ejaan van Ophuijsen dan ejaan Soewandi. Itu berarti “sang penulis” adalah orang yang terbiasa, paham dengan 2 ejaan ini atau “hidup” dalam  periode 2 ejaan ini.

Hal ini sulit dibantah, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah tulisan “asli” itu dibuat pada periode 1901-1972 atau 1800an-1972.

Kesimpulan ini, juga akan mengakibatkan kesimpulan lain, yaitu bahwa tulisan asli yang ada di kertas rusak itu, adalah tulisan yang dibuat oleh orang lokal yang bisa saja adalah anak negeri Saparua sendiri.

Agak meragukan kalau tulisan asli ini ditulis/dibuat oleh orang Eropa, misalnya orang Belanda.

Jika ditulis oleh orang lokal, maka kecurigaan lain akan timbul, bahwa tulisan asli di kertas rusak itu bukan tulisan “asli” yang ditulis pada periode kedatangan para leluhur tapi hanyalah “reproduksi” dari tradisi lisan yang telah lama “hidup” ditengah masyarakat kedalam bentuk tulisan.

Jika demikian adanya, maka tulisan asli itu juga memuat hal yang subjektif, bertendensi, memuat kepentingan-kepentingan dan “mengkultuskan” suatu family saja daripada family lainnya.

 

2.      Kronologis Sejarah Pisarana

 

Secara umum, penulisan sejarah Pisarana itu berdasarkan kronologis, yang jika mau disamakan dengan salah satu alur dalam penulisan cerita fiksi yaitu menggunakan alur maju. Kronologis sejarah itu bermula dari narasi tentang para leluhur di negeri asal mereka, proses kedatangan mereka ke pulau Saparua, penataan suatu negeri, pemerintahan raja yang memerintah negeri.

Meskipun ditulis secara kronologis, narasi ini jarang menulis tentang waktu (era, abad, tahun) kejadian sebuah peristiwa dengan eksplisit. Misalnya saja tentang kehidupan para leluhur di negeri asal, keberangkatan para leluhur, kedatangan para leluhur di pulau Saparua, pemerintahan “radja” Adjelis Simatauw, pemerintahan “radja” Majasang Simatauw, proses transisi pemerintahan hingga penunjukan Lamber Nitalessy menjadi radja negeri Saparua. Semua poin ini tidak ditulis waktunya, kapan itu terjadi, pada abad keberapa, tahun berapa.

Waktu yang tidak ditulis secara eksplisit ini membuat kita hanya bisa menduga-duga dan berusaha “menganalisa” kapan sebuah peristiwa itu terjadi, dengan catatan jika ada “konteks” latar belakang atau cerita disekeliling dari cerita utama yang bisa membantu. Misalnya dalam kasus penunjukkan Lamber Nitalessy, periode transisi pemerintahan setelah kematian “radja” Majasang Simatauw.

Pada beberapa bagian juga ditulis tahun secara eksplisit, misalnya tentang kedatangan bangsa Eropa ke Pulau terkhususnya negeri Saparua, pembagian/penataan wilayah kepada (keturunan?) dari para leluhur itu, serta kematian “radja” Majasang Simatauw.

 

Poin-poin yang waktunya tidak ditulis secara eksplisit, sejujurnya penulis tidak bisa memberikan catatan kritis, terkecuali dalam kasus pemerintahan Majasang Simatauw, proses transisi pemerintahan dan penunjukan Lamber Nitalessy.

 

Sedangkan poin-poin yang waktunya ditulis dengan eksplisit dan terbaca di dokumen, penulis akan memberikan catatan kritis.



a.       Periode kedatangan bangsa Belanda (Portugis) 

Pada subjudul “kedatangan orang Belanda jang pertama kali ke Saparoea (Bangsa Potugis)” di halaman 8, tertulis pada tepi kiri dari kertas secara eksplisit sebuah tahun yaitu 1533.

Ini berarti kedatangan orang Belanda/Portugis ke Saparua itu terjadi pada tahun 1533.

Subjudul diatas sedikit bermasalah dan juga benar pada sisi lainnya. Jika merujuk pada tahun 1533, maka bukan kedatangan orang Belanda yang dimaksud melainkan orang Portugis,padahal pada isi narasi itu, tidak ada satu kata Portugis pun yang tertulis, meskipun pada subjudul itu dalam tanda kurung tertulis Bangsa Portugis.

Subjudul itu juga benar, karena isi dari narasi subjudul itu semuanya tentang kisah orang Belanda yang datang dan bertemu dengan Kapitan Riang (salah satu leluhur) yang berujung pada pembelian tempat hunian Kapitan Riang.

Jika kita tidak dibekali dengan pemahaman yang baik tentang kronologis sejarah resmi, maka kita terjebak dengan narasi yang “kacau” ini. Kita akan menganggap dan percaya bahwa orang Belanda datang itu pada tahun 1533.

Implikasi dari catatan kritis ini akan berhubungan dengan dugaan penentuan waktu atau periode kedatangan para leluhur ke pulau Saparua.

 

Untuk memahami kronologisnya, maka kita perlu mengetahui latar belakang sejarah tentang kedatangan bangsa Eropa, terkhususnya Portugis ke “nusantara”.

Setelah Malaka ditaklukkan oleh Alfonso de Albuquerque pada tanggal 1 Juli 151112, Ia kemudian. Beberapa bulan kemudian, 3 Armada dikirim ke wilayah Banda. 2 Armada (kapal) kembali ke Malaka dalam bulan November 1512 tanpa mencapai Ternate13. 1 Armada yang dikomandani oleh Fransisco Serao terdampar di pulau Nusa Penyu. Sumber Portugis menyebut pulau ini sebagai baixos de Lucupino/ Lucepinho14. Di tempat ini, armada ini dibajak dan dibawa ke Nusa Telo dan akhirnya di bawa ke Hitu15. Kedatangan “orang asing” ini terdengar oleh Sultan Ternate, Sultan Bayanullah (1500-1522), segera mengirimkan juanga (perahu tempur) untuk menjemput dan membawanya ke Ternate16. Sumber Portugis menyebut nama Sultan ini sebagai Abu Lais atau Boleif17.

Dimulai dari periode ini, hingga 20an tahun selanjutnya, bangsa Portugis lebih banyak “berdiam” di wilayah Utara (Maluku Utara sekarang). Beberapa tahun setelah tahun 1512 itu (terdamparnya Fransisco Serao), orang Portugis menjadikan Hitu sebagai tempat pengisian air dan tempat menunggu musim yang baik untuk kembali ke Malaka18. Awalnya hubungan Portugis dengan Hitu berjalan baik, dan awal tahun 1520, mereka membangun sebuah “benteng” kecil disitu. Beberapa tahun kemudian mereka “bergerak” masuk menuju “kota” Ambon, dan menempati wilayah yang bernama Hukunalo (sekarang bernama Rumah Tiga)19. Melalui eskalasi “politik” yang didalamnya melibatkan unsur-unsur seperti Patasiwa – Patalima dan konflik dengan kekuataan Islam Ambon, Portugis secara perlahan-lahan mulai menanamkan kukunya di dalam kota Ambon. Pada periode ini, para misionaris Katholik Portugis mulai berdatangan ke pulau Ambon dan melakukan tugas agama, meskipun frekuensinya jarang, namun mereka telah memiliki “markas besarnya” di kota Ambon.

 

Pada 14 Februari 154620, sang Misionaris terkenal Fransiscus Xaverius tiba di Ambon. Ia bekerja di Ambon dalam periode Februari-Juni 154621.

Sejak itulah, selalu dikirim para misionaris dari kaum Jesuits. Menurut sebuah sumber, dalam rentang periode 1546-1577 telah dilakukan pengiriman para Misionaris sebanyak 36 kali 22 

Pekerjaan menyebarkan injil yang dilakukan oleh para misionaris ini, hambatan, deskripsi wilayah-wilayah baru tempat mereka bekerja dan hasil pekerjaan mereka, disampaikan lewat surat kepada markas besar mereka di Goa India.

Seperti yang disebut diatas, Fransiscus Xaverius bekerja di wilayah Ambon dan sekitarnya pada periode Februari-Juni 1546, serta periode Januari-April 154723. Pada periode pertama ini, ia berkunjung ke beberapa negeri di Pulau Ambon, begitu juga di Seram (Negeri Tamilou24), di Pulau Nusalaut dan Pulau Saparua. Di Pulau Saparua, ia disebut berkunjung ke negeri Ullath25.

 

Jadi dari latar belakang kesejarahan ini, kita bisa “menyetujui” apa yang ditulis pada dokumen narasi sejarah Pisarana itu, meskipun pada sumber-sumber Portugis tidak menyebutkan secara eksplisit tahun mereka datang ke pulau/negeri Saparua. Jika orang Portugis yang dimaksud dalam dokumen sejarah Pisarana adalah para misionaris, maka tahun 1533 itu “keliru” karena yang tepat adalah tahun 1546, meskipun Xaverius tidak berkunjung/datang ke negeri Saparua, tetapi lebih tepatnya ke negeri Ullath.

Penulis bisa “menerima” tahun 1533 itu, dengan mempertimbangkan bahwa pada periode “1512-1546”, mungkin saja ada orang-orang Portugis yang datang ke pulau Saparua, meski sekali lagi informasi itu tidak disebutkan dalam  sumber-sumber Portugis secara eksplisit.

 

b.       Periode kedatangan Orang Belanda

Persentuhan orang Belanda dengan orang-orang Lease, terkhususnya Pulau Saparua bermula setelah takluknya benteng Portugis di kota Ambon pada tanggal 23 Februari 160526.  Kontak pertama dengan para penguasa Pulau Saparua yang langsung ditandai dengan suatu hubungan kontrak dimulai pada tanggal 16 Mei 161727. Dari Saparua, “wakili” oleh penguasa dari Iha-Mau (Iha Islam dan Mau atau Mahu yang beragama Kristen) serta Soresorij (Siri Sori)28. Pada kontak di tanggal ini hadir juga penguasa dari Seram yaitu dari dari Pantai Selatan Seram, antara lain Cameryen (Kamarian), Chijcolaly (Tihulale), Loemekay (Rumakay), Latoo (Latu), Hooloy (Hualoi), Macrica (Makariki), Amahee (Amahai) dan Saoucou (Souhuku)29

Kontrak pertama ini kemudian dilanjutkan atau diperbaharui lagi pada tanggal 7 Juni 162130. Kali ini semua penguasa (orang kaija, patih, radja) pulau Saparua31  hadir dan menandatangani kontrak ini.

 

Para Penguasa Pulau Saparua yang melakukan kontrak dengan orang Belanda (VOC) dan menandatangani kontrak itu dilakukan di benteng Victoria, benteng Portugis yang telah ditaklukkan pada 23 Februari 1605 itu. Jadi bukan orang Belanda (VOC) yang datang, tetapi para penguasalah yang berkunjung ke benteng Victoria.

Haruslah secara jujur dikatakan bahwa sumber-sumber VOC awal ini tidak menyebutkan tentang nama negeri Saparua yang kita pahami sekarang secara eksplisit. Sejak tahun 1605-1670, tidak ada sumber-sumber VOC yang menulis nama negeri Saparua, hingga barulah pada tahun 167132, negeri Saparua disebutkan/ditulis secara eksplisit pada dokumen, itupun pada dokumen-dokumen gereja yaitu laporan kunjungan DS Jacobus Montanus tertanggal 11 September 1671.

 

Jadi kita tidak tahu dengan pasti/persis kapan orang Belanda (VOC) bersentuhan pertama kali dengan orang-orang negeri Saparua.

Pada narasi sejarah Pisarana itu ditulis bahwa mereka (orang Belanda) datang dan bertemu dengan Kapitan Riang di atas batu (tempat hunian Kapitan Riang) dan berakhir pada proses jual beli tempat hunian itu.

Hingga sekarang, dengan jujur penulis mengakui bahwa penulis belum menemukan arsip-arsip VOC yang menceritakan hal ini.

Namun, ada sumber lain yang isinya menyinggung hal ini, yaitu sumber dari W.J.M. van Schmid, seorang Asisten Residen Saparua (1840-1842).


Pada sumber itu, van Schmid menulis demikian33 : 

Toen ter tijd bestond er nog geen fort te Saparoea, maar wel te Siwij Sowj, hetwelk echter door den Admiraal Arnoldus de Vlaming werd afgebroken, omdat aldaar gene geode ankerplaats voor de schepen der Compagnie was. Hij beproefde een nieuw fort te Paperoe te bouwen, doch aldaar werd op de eene plaats geen en op de andere brak of zout water aan getroffen.

Gemelde Admiraal verzocht daarna Rian Santuwa Titaley om aan hem den grond aftestaan, hetwelk hij deed, en waarvoor hij ten geschenke kreeg 9 stukken wit linen, 9 stukken rood linen, 9 vaten rijst en 9 schotels

 

Terjemahan “bebas” dari tulisan van Schmid itu adalah :

 

Admiraal Arnoldus de Vlaming ingin membangun benteng baru di Saparua yang akan menggantikan benteng di Siri Sori (benteng Hollandia), sebagai tempat berlabuh armada VOC. Ia telah menemukan sebuah lokasi yaitu di negeri Paperu, namun disitu tidak ada sumber air yang dibutuhkan (untuk memenuhi kebutuhan akan sebuah benteng). Ia kemudian bertemu dengan Rian Santuwa Titaley dan (melakukan pembicaraan) serta mengajukan rencana pembelian lokasi itu yang harganya di “konversi” dalam bentuk barang yaitu 9 potong kain putih, 9 potong kain merah, 9 (barel) beras dan 9 buah piring.

 

Jika kita membaca narasi ini dengan sekilas, kita akan dengan gampang menyebut bahwa periode Arnold de Vlaming van Oudshoorn “seusia” dengan Rian Santuwa Titaley, yang juga berarti “seusia” dengan  saudara-saudaranya juga (seperti tertulis secara eksplisit pada dokumen sejarah Pisarana).

Admiraal Arnold de Vlaming yang dimaksud pada  sumber van Schmid adalah Arnold de Vlaming van Oudshoorn, seorang Gubernur VOC Ambon yang berkuasa 2 kali, yaitu 4 September 1647-21 Agustus 165034  dan 29 Februari 1654-23 Mei 165635.

Hal ini berarti bisa dikatakan bahwa peristiwa bertemunya Arnold de Vlaming van Oudshoorn dengan Rian Santuwa Titaley itu, terjadi mungkin diantara 2 periode ini.

Kesimpulan ini sangat benar, jika kita hanya membaca narasi ini saja, namun pada sisi lain akan menimbulkan implikasi “gawat” terhadap periode hidup Rian Santuwa Titaley, Adjelis Simatauw serta saudara-saudara yang lain serta permasalahan pada periode kedatangan para leluhur di Pulau Saparua.

Maka dengan gampang, kita bisa menyebut bahwa para leluhur datang ke pulau Saparua pada tahun 1600, dengan asumsi para leluhur telah berada selama 40-50an tahun sebelum peristiwa diatas.

Jika begini, bagaimana dengan tahun 1533 itu? Bagaimana lagi dengan tahun 1436 yang dianggap sebagai tahun kedatangan para leluhur?

Dari tahun 1533 hingga 1640-1650an itu berjarak 100 tahun lebih, apakah mungkin Rian Santuwa berusia 100 tahun lebih? Begitu juga dengan tahun 1436, yang berarti berjarak 200 tahun lebih hingga peristiwa itu. Apakah mungkin Rian Santuwa berusia 200 tahun lebih?

Ini sesuatu yang tidak logis dan sulit diterima.

Maka “sebaiknya” narasi sejarah Pisarana dan sumber van Schmid dibaca dengan perspektif lain. Tidak dibaca dengan “ketat” berdasarkan kronologis resmi, namun haruslah dibaca/dianggap bahwa narasi itu adalah tulisan ulang atas cerita yang sebenarnya telah lama “hidup” dalam masyarakat negeri Saparua.

Itu lebih kepada tradisi oral/lisan yang tentunya “terbatas” dari historiografi. Hal ini bisa diterima dan dipahami bahwa orang yang bercerita seringkali melakukan kesalahan identifikasi dan sering “menghubungkan” sebuah peristiwa dengan figur sejarah yang keliru periode hidupnya.  

 

--- bersambung --- 


Catatan Kaki:

1.        Seta Basry dalam sebuah blog, di akses pertama kali pada tanggal 03 Mei 2015 dan kedua kali pada tanggal ……

2.        https://id.wikipedia.org/wiki/Ejaan_Van_Ophuijsen

§  Ridiawan, Arif. Makalah Bahasa Indonesia Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia Mulai Ejaan Ophusyen Hingga Eyd, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  SULTAN THAHA SAIFUDIN, JAMBI, 2012 (dimuat pada https://ridiawan.blogspot.com/2012/02/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia.html

§  http://catatanpringadi.com/sejarah-ejaan-bahasa-indonesia/

3.        https://id.wikipedia.org/wiki/Ejaan_Republik

§  Ridiawan, Arif. Makalah Bahasa Indonesia Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia Mulai Ejaan Ophusyen Hingga Eyd, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  SULTAN THAHA SAIFUDIN, JAMBI, 2012 (dimuat pada https://ridiawan.blogspot.com/2012/02/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia.html

§  http://catatanpringadi.com/sejarah-ejaan-bahasa-indonesia/

4.        Marlissa, Buang (Josef). Tjeritera/Sedjarah Pisarana Hatusiri Amalatu, hal 1, Ambon, Juli 1972 (arsip pribadi)

5.        Familieberichten (dimuat pada Mandblaad de Nederlands Leeuw 2 jaargang, 1884, no 7 Hal 59)

Ø  https://www.openarch.nl/show.php?archive=hga&identifier=4D0E8436-0931-4D2B-96FA-DBFAA8C495A3&lang=nl&six=2

Ø  Haags Gemeentearchief, BS Overlijden Burgerlijke Stand Overlijden 1884, 's-Gravenhage, aktenummer 1171

6.        Fraasen, Chr. Fr, Bronen Betreffende Midden Molukken 1796 – 1902, Register Naam  Schmid, Willem Jan Maurits van

7.        Almanak van Nederlands Indie voor het jaar 1841, Batavia, 1841, hal 54

Ø  Almanak van Nederlands Indie voor het jaar 1842, Batavia, 1842, hal 54

8.        Tijdschrift voor Nederlands Indie vijfde jaargang, Landsdrukerij Batavia,1843 (hal 491-530 dan 583-622)

9.        Bastian, Adolf. Indonesien oder Die Inseln Des Malayischen Archipel, bag I Lieferung : Die Molukken, Harrwitz und Gossman, Berlin, 1884, hal 155

10.     Catatan Kaki no 1

11.     Catatan kaki no 2

12.     Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura / Review of Culture, International Edition, série 111, 39, 2011, pp. 104

§  Guedes, Pedro, Becoming Other, 2nd SEAARC Symposium, National University of Singapore, 5-7 January,

2017, preprint

13.     Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura / Review of Culture, International Edition, série 111, 39, 2011, pp. 105

14.     Idem (hal 105-106)

15.     Idem (hal 106)

16.     Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Hal 7

17.     Idem (hal 40)

18.     Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 33)

19.     Argensola, Bartholemew Leonardo, The Discovery and Conquest of The Molucco and Philipine Island,  hal 30 –

20.     Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 15

§  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 34)

21.     Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 36)

22.     Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 18

23.     Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 19

24.     Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 37)

25.     Tiele, Pieter Antonie, De Europeers in den Malaischen Archipel, deerde deel (1541 – 1555), 1880, hal 329

§  Visser, B.J.J. Onder Portugeesch-Spaansche vlag : de Katholieke missie van Indonesie (1511-1605),Amsterdam, 1925, hal 45-47

§  Wessels, C. De Geschiedenis der RK Missie in Amboina (1546 – 1605), Nijmegen Utrecht, 1926, hal 14 - 15

26.     J. Keuning, ‘Ambonese, Portuguese and Dutchmen: the history of Ambon to the end of

the seventeenth century,’ in Meilink-Roelofsz, Opstall, and Schutte (eds.),  Dutch authors on

Asian history(Leiden: KITLV, 1988), 368.

§  De scheepstogt onder bevel van den Admiraal Stevenvan der Hagen. December, 1603. (dimuat oleh J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van Het Nederlands Gezag In Oost-Indie (1595 – 1610), vol 3, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Fredrik Muller, 1865, Hal 36)

§  Uittreksels uit нет dagboek gehouden door Hendrik Jansz.Craen, aan boord van неt schip gelderland, gezeildop den 18 december 1603 шt texel, in ebne vlootvan 12 schepen, onder bevel van den Admiraal Steven van der Hagen en den viceadmiraal Cornelis Bastiaensz. (dimuat oleh J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van Het Nederlands Gezag In Oost-Indie (15951610), vol 3, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Fredrik Muller, 1865, Hal 185-186)

27.     Corpus Diplomaticum Neerlando - Indicum versameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het oosten gesloten, van privilegebrieven aan hen veerlend, enz (1596-1650) (vol 1), Mr. J.E. Heeres, s’Gravenhage Martinus Nijhof, 1907. Kontak awal ini dimuat pada bagian LV , hal 130-132

28.     Idem

29.     Idem

30.     J.E. Heeres ,Corpus Diplomaticum Neerlando - Indicum versameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het oosten gesloten, van privilegebrieven aan hen veerlend, enz (1596-1650) (vol 1), s’Gravenhage Martinus Nijhof, 1907. Kontak awal ini dimuat pada bagian LXXI, hal 170 - 172

31.     Idem

(Pada catatan kaki, J.E. Heeres menjelaskan tentang para penguasa pulau saparua yang hadir, ia mengutip deskripsi Valentijn. Valentijin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan para princapalien (penguasa), yang hadir adalah dari Radjas van Oelath (4 negeri), van Toehaha, van Paperoe, hoofden van Haria, van Tiow, van Boi, van Sirisori, van Ihamahoe (Iha dan Maoe, 8 negeri). Maksud dalam kurung adalah jumlah negeri-negeri (petuanan) yang masuk dalam “yuridiksi” wilayah kekuasaan Negeri itu dimasa itu).

 

Catatan tambahan :

Penulis belum menemukan data, sumber maupun referensi untuk menjelaskan daerah2 yang dimaksud oleh Valentyn yang masuk dalam kekuasaan negeri Ullath, sedangkan untuk Iha-Mahoe, 8 “negeri” yang dimaksud adalah Iha, Matalete, Hatala, Mahu, Hatulesi, Soulima, Pia/Hukom, Ohoe (Koelor) atau menurut Arnold de Vlaming van Oudshoorn : Iha, Mahu, Nolloth, Kulor, Pia, Sirisori, Matalete dan Hatala.

 

Lihat sumber :

v  https://magdapattiiha.com/2015/05/05/ihamahu-een-kleine-geschiedenis/

v  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724, bag 1 (hal 86)

v  Memorie van Overgave Arnold de Vlaming van Oudshoorn tanggal 24 Mei 1656 (dimuat oleh Gerrit. J. Knaap dalam Memorien van Overgave van Gouverneurs van Ambon in den zeventiende en achtiende eeuw, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987, Hal 198)

 

32.     Rapport betreffende een visitatie van kerken en scholen op Ceram, Haruku, Saparua en Nusa laut door ds. Jacobus Montanus. Ambon, 11 September 1671 NA, VOC 1286 I, fol. 525-533. Afschrift (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel eerste band, HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 349-356)

33.     Tijdschrift voor Nederlands Indie vijfde jaargang, Landsdrukerij Batavia,1843 (hal 619-620)

34.     Rumphuijs, Georgius Everhardus, De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft. "s-Gravenhage, Martinus Nijhoff (eerste deel), caput 26, hal 262

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724

§  Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 84-85)

§  Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 528

§  Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel (bijlagen halaman 30) HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015

35.     Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724

§  Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 84-85)

§  Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 529-530

§  Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel (bijlagen halaman 30) HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015

§  Knaap, Gerrit.J. Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achtiende eeuw, ‘S Gravanhage, Martinus Nijhoff, 1987 (hal XVI-XVII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar