Minggu, 20 September 2020

Masyarakat Kakehan di Seram dan Upacara Pemujaan di Papua [Nuigini] (bag 1)

 

Oleh

Arthur Bernard Deacona

 

 

Rumah Kakihan di Huku Anakotta

 

  1. Kata Pengantar

Antropolog A.C. Haddon dalam tulisan obituarinya untuk mengenang wafatnya A.B. Deacon, yang dimuat pada jurnal Nature edisi 23 April 1927 pada halaman 609, menyebut bahwa saat masih kuliah, Deacon menulis suatu paper (kajian) yang mengesankan. Kajian yang mengesankan itu berjudul The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults. Paper ini dimuat pada jurnal Folklore,volume 36, no 4 (1925), halaman 332 – 361. Menurut Haddon pula, dalam kajian tersebut Deacon menghubungkan Kakihan dengan masyarakat/perkumpulan rahasia Melanesia, dan berhipotesis bahwa budaya Kakihan adalah budaya yang diperkenalkan oleh imigran Melanesia.

Menurut Gerrit J Knaap dalam artikelnya The Saniri 3 Air (Seram); An Account of its discovery and interpretation between about 1675 and 1950, pada halaman 267 – 268 menyebut bahwa gagasan Deacon bukanlah yang pertama, namun dimulai oleh kajian O.D. Tauern dalam kajiannya tahun 1918, yang berarti 7 tahun sebelum Deacon menulis kajian itu. Pendapat Deacon sendiri tidak disetujui oleh J.Ph.Duyvendak dalam bukunya Het Kakean-genootschap van Seran yang terbit tahun 1926 (halaman 112 – 120).

Kita boleh-boleh saja setuju pada pendapat Tauern dan Deacon mengenai “asal usul” Kakihan, atau mungkin lebih setuju pada pendapat Duyvendak. Namun, minimal kita perlu membaca secara lengkap kajian Deacon itu, sehingga memahami kerangka argumentasinya. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka kami menerjemahkan artikel sepanjang 30 halaman  yang terdiri dari 68 catatan kaki, 1 gambar ilustrasi, yang telah “berusia” hampir 1 abad (95 tahun) ini. Pada artikel terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian dan menambahkan beberapa gambar ilustrasi serta catatan tambahan atas beberapa informasi atau kata-kata yang “asing” bagi pembaca.

Akhir kata, selamat membaca, selamat memahami, semoga pengetahuan kesejarahan kita semakin bertambah.

A.B. Deacon (1903 - 1927)


  1. Terjemahan : Kutu Busu

                Kajian berikut ini adalah hasil upaya untuk menghubungkan masyarakat “misterius” Melanesia dengan upacara-upacara pemujaan dari penduduk yang berbahasa Melanesia di wilayah Papua [Nuigini] (dulunya wilayah Kaiser Wilhelmslandb).

Rivers telah menunjukan dengan rujukan pada Tamate dari Bank Islandc, bahwa “perayaan-perayaan yang paling pasti di dalam masyarakat tersebut yang kami ketahui adalah upacara” dan bahwa “ada alasan untuk percaya bahwa ciri paling khas dari upacara tersebut adalah representasi berkepanjangan suatu kematian sebagai suatu ritus persiapan untuk memasuki suatu masyarakat”. Selain itu, “ representasi kematian tampaknya merupakan fitur ritual Tamate yang paling mendasar yang diperlihatkan sebagai penjelasan bagi rasa ingin tahu kaum imigran untuk mengkonfirmasi khayalan tentang orang-orang pribumi”; dengan demikian “ di sini, kita memiliki ciri ritual yang tidak dapat dijelaskan seperti munculnya de novo melalui interaksi antara gagasan orang pribumi dan praktik kaum imigran, tetapi yang pasti didasarkan pada kepercayaan yang dibawa oleh kaum imigran”1

                Pernyataan ini berlaku mutatis mutandisd  untuk tipe pemujaan Balum di Papua [Nuigini], dimana representasi yang sangat dramatis dari kematian dan kebangkitan orang baru, adalah ciri utama dari ritual pemujaan, dan tampaknya terbukti bahwa kita berurusan pada 2 wilayah berbeda dengan aspek masalah yang sama. Asosiasi pemujaan Balum dengan orang-orang yang berbahasa Melanesia, penggunaan topeng (pada Tami Islande) sebagai simbol “hantu”, meminum kavaf  pada acara-acara seremonial oleh orang-orang tua, dan penggunaannya oleh orang-orang yang belum dikenal, menunjukan setidaknya bahwa pemujaan Balum dibawa ke Papua [Nuigini] oleh migrasi budaya yang terkait erat dengan hal itu, yang turut bertanggungjawab pada pengenalan Tamate dan Matambala (Florida) ke Melanesia, dan pandangan ini, saya usulkan untuk diadopsi sebagai hipotesis kerja untuk dikonformasi atau dibantah oleh bukti-bukti lanjutan. 


                Bagaimana pun, saya bisa menunjukan sekilas bahwa ada elemen-elemen tertentu dalam  masyarakat-masyarakat rahasia Melanesia yang tidak direproduksi, sejauh yang kami ketahui, terkait dengan institusi-instuti di Papua [Nuigini]. Dari elemen-elemen yang paling penting ini adalah pemujaan matahari, dan mungkin juga bulan. Pada rumah-rumah sakral atau vunudha di Matambala Florida, tersimpan gambar-gambar matahari dan bulan2, sementara di Guadalcanarg, matahari, bulan, ular, dan api suci adalah “totem” bagi klan Kindapalei3, dan persembahan yang dilakukan untuk matahari dalam hubungannya dengan bulan sebagai bagian dari perayaan keagamaan masyarakat4, menunjukan adanya pemujaan-pemujaan yang menurut pendapat Rivers, ditempat lain telah menjadi bagian dari ritual rahasia masyarakat “misterius”. Kemungkinan hubungan dengan masyarakat rahasia adalah batu hiasan yang ditemukan di Melanesia. Rivers menunjukan penyebaran batu hiasan seperti demikian, seharusnya jika dibuat oleh orang-orang yang familiar dengan masyarakat “misterius”4. Di New Hebrides, altar dan meja batu memiliki fungsi dalam hubungannya dengan orang mati. Tengkorak orang mati ditempatkan di atas meja batu di Ambrym, dan pada altar batu di Vao dihubungkan dengan pemujaan leluhur4.

                Kumpulan pemujaan matahari dan pahatan batu hiasan dengan masyarakat rahasia di Melanesia, dikonfirmasi dengan adanya elemen-elemen ini di institusi terkait (Areoi) di Polinesia4. Hal tersebut dapatlah dicatat bahwa di Polinesia, juga terdapat kepercayaan bahwa anggota dari Areoi dan kepala suku setelah meninggal dunia, menuju surga di langit, suatu dunia setelah kematian yang terbuka bagi teman-teman mereka melalui mediasi para pendeta, sementara orang biasa menuju ke Po, suatu tanah asing5.

                Di Caledonia Baru, menurut Glaumont, ada sebuah pemujaan matahari, dimana makam para leluhur diziarahi dan api yang menyala-nyala di puncak gunung. Ritual dilakukan saat matahari terbit dan terbenam. Ada juga kepercayaan pada makhluk mirip ular yang menghuni gua, dan tampaknya ada tanda-tanda lain dari pemujaan ular, meskipun Glaumont mengatakan bahwa tidak ada ular di pulau itu6. Dr Gadow menyampaikan pada saya (penulis) bahwa “ di sana tidak ada ular sakral di Caledonia Baru, tetapi hanya Typhlops kecil berbentuk cacing buta milik keluarga rendahan yang sangat tua”.

                Saya menyarankan sebagai penjelasan bahwa pemujaan matahari, bulan, ular dan api suci diperkenalkan ke Caledonia Baru, seperti Guadalcanar dan mungkin Florida, oleh kaum imigran yang terkait erat dengan mereka yang juga memperkenalkan kumpulan masyarakat misterius dengan pemujaan matahari ke Melanesia. Perbedaan yang sangat mencolok antara pemujaan tipe Balum di Papua [Nuigini] dan masyarakat rahasia seperti Matambala, Tamate, dan Areoi, tampaknya tidak sesuai dengan pandangan bahwa mereka semua memiliki asal yang sama.  Namun demikian, bukti menunjukan bahwa semua pemujaan rahasia ini diperkenalkan oleh migrasi “orang-kava”. Oleh karena itu, kita tiba di jalan buntu, kecuali, jika dapat ditunjukan bahwa di sana, di daerah-daerah dimana migrasi ke Papua [Nuigini] dan Melanesia mungkin telah terjadi, suatu masyarakat rahasia Melanesia yang ada, dalam kombinasi yang erat, ciri-ciri karakteristik pemujaan Papua [Nuigini] di satu sisi dan masayarakat rahasia Melanesia dan Polinesia di sisi lain. Mengingat masyarakat seperti itu, dimungkinkan untuk memperolehnya melalui “degenerasi” instititusi-institusi Melanesia dan Papua [Nuigini].

                Saya menyarankan pada halaman-halaman berikut untuk mempertimbangkan bukti yang kita miliki bagi keberadaan suatu masyarakat rahasia yang memenuhi persyaratan ini.

                Upacara pemujaan tipe Balum di wilayah Papua [Nuigini] berhubungan dengan penggunaan “terompet” sakral mereka dalam ritual. Menurut Dr Haddon, “ Kami dapat dengan yakin menganggap (terompet) sakral sebagai pengaruh langsung Melanesia, meskipun pergeseran budaya yang membawa mereka ke Papua [Nuigini] sana sekali berbeda dari salah satu dari 2 migrasi utama ke semenanjung tenggara”7

 


                Ada satu wilayah di Indonesia, dimana penggunaan “terompet” sakral dikaitkan dengan upacara pemujaan, dimana “monster pemakan” tipe Balum memainkan peran penting. Daerah ini dihuni oleh penduduk “Melanesia” di Seram. Upacara pemujaan dari pusat-pusat Melanesia ini adalah sebuah masyarakat rahasia yang dikenal sebagai KAKIHAN/KAKEHAN, dan sekarang saya akan memberikan penjelasan tentang Masyarakat Kakihan untuk menunjukan :

1.   bahwa Kakihan adalah masyarakat misterius, yang terkait dengan pemujaan matahari, dunia di langit yang dikunjungi setelah kematian, dan mungkin berkaitan dengan pemujaan batu; serta

2.   kakihan bisa dianggap sebagai prototipe dari upacara pemujaan orang-orang berbahasa Melanesia di wilayah Papua [Nuigini], dan mungkin karena itu, juga dari upacara-upacara pemujaan di Tugere, atau Marind dan Gogodarain di barat daya Papua Nuigini7*

Penduduk Seram8 dapat dibagi menjadi penduduk pesisir dan penduduk pedalaman. Penduduk pesisir sebagian besar terdiri dari para pemukim yang membawa budaya Melayu dari bagian barat, dan tidak menjadi perhatian kami dalam kajian ini. Bagian pedalaman/pegunungan di huni oleh Alifuru8*.

Alifuru di bagian timur nampaknya merupakan penduduk asli Seram, dan dikatakan menunjukan kemiripan yang mencolok dengan suku Sakaih. Di Seram Tengah, populasi Alifuru mulai menunjukan jejak percampuran dengan unsur-unsur Melanesia, yang menjadi semakin jelas  di bagian barat. Akhirnya, di sungai Taala, di bagian barat daya Seram, merupakan populasi yang hampir murni Melanesia9, menghadirkan kontras paling tajam dalam karakter fisik dan mental dengan penduduk di bagian timur. Melanesia bagian barat ini memiliki budaya yang relatif tinggi, dan mampu lebih berhasil bertahan dari masuknya budaya Melayu pesisir daripada Alifuru yang relatif di bagian timur. Secara tradisional, orang Melanesia adalah kaum imigran dari bagian selatan; mereka tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan Alifuru di Seram bagian barat, yaitu bahwa umat manusia berasal (muncul) dari pohon suci Nunusaku; merekalah yang memperkenalkan Masyarakat Kakihan.

Penduduk di wilayah bagian barat Seram (tidak termasuk penduduk pesisir) terbagi dalam 2 kelompok besar – Patalima di timur dan Patasiwa di barat10. Pembagian ini jelas telah berlangsung lama, karena sebelumnya telah meluas ke kepulauan Banda dan Ambon11. Tidaklah diketahui tentang arti atau asal usulnya12. Lima (5) dan sembilan (9) dianggap sebagai angka suci, dan sangat menonjol dalam upacara-upacara kedua kelompok ini. Hal ini sering dikaitkan sebagai pasangan yang berlawanan; jadi jika yang satu berkaitan dengan kaki kanan, maka yang lain dikaitkan dengan kaki kiri, satu dengan emas, yang lain dengan perak13. “Semang” pada kedua kelompok mengandung perbedaan dalam konstruksi, dan kano-kano (sampan/perahu) dikatakan lebih jauh dapat dibedakan oleh warna layarnya yang berbeda14. Pengayauan (potong kepala) terutama dikaitkan dengan Patasiwa15.

Patasiwa dapat lagi dibagi menjadi :

1)      Patasiwa Putih

2)    Patasiwa hitam, disebut demikian karena mereka memiliki tato di dada mereka sebagai tanda Masyarakat Kakihan. Patasiwa Hitam adalah pemburu/pemotong kepala paling terkenal di Seram.

Menurut Tauern, baik Patasiwa hitam maupun Patasiwa putih merupakan anggota masyarakat Kakihan, tetapi Martin mengatakan bahwa hanya Patasiwa hitam yang menjadi anggota16, dan ini nampaknya diperkuat dengan tidak adanya tato di Patasiwa putih. Bagaimanapun juga terbukti dari pernyataan Tauern pada kesempatan lain17, bahwa kakihan pada dasarnya adalah sebuah institusi dari Patasiwa hitam, meskipun Patasiwa putih juga dapat diterima. 


Patasiwa Hitam secara politis dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sungai Taala, sungai Etti, dan sungai Sapalewa. Karena penduduk lembah Taala merupakan murni orang Melanesia, nampaknya unsur-unsur penduduk ini seluruhnya termasuk dalam Patasiwa Hitam, suatu anggapan yang dikonfirmasi oleh anggapan Kakihan berasal dari Melanesia, dan oleh fakta bahwa bentuk Patasiwa hitam sejauh ini merupalan proporsi yang lebih besar, jika tidak semua, merupakan anggota masyarakat ini.

Tauern merasa yakin bahwa kakihan “muncul dari” perkumpulan laki-laki Melanesia18, yang kemudian memperoleh signifikansi politik karena konflik dengan Belanda. Dia menunjukan ini dalam hubungan dengan kelompok Melanesia yang paling asli, Nuetetu, yang menyediakan sebagian besar anggota kakihan. Bahwa institusi ini pada dasarnya asing bagi Alifuru non Melanesia, didukung oleh cara pembangunan rumah kakihan : tidak seperti rumah Alifuru, yang dibangun di atas tiang, rumah ini dibangun di atas tanah19.

Agama orang-orang Patasiwa hitam hanya diketahui secara tidak sempurna, karena misterinya tidak diungkapkan oleh para pendeta (mauwen). Namun, sudah pasti bahwa hal itu berbeda secara radikal dari kelompok-kelompok tetangga Alifurunya, yang percaya pada roh alam dan jin. Lapisan tertua dari kepercayaan yang bertahan di kakihan, berpusat terutama pada “ Dewa Agung” atau Nitu-Elake, dan terkait dengan nitu atau “Dewa Kematian”20. Kita akan melihat lebih lanjut bahwa “ Dewa Kematian” ini adalah monster pemakan dalam upacara yang berhubungan dengan upacara tipe Balum dari Finschhafen dan juga Tambus di kepulauan Karesau di Papua Nuigini.

Perbedaan antara Patasiwa hitam dan Alifuru yang tersisa terlihat sangat jelas dalam berbagai kepercayaan yang dianut, terkait dengan nasib nitu atau arwah orang mati. Menurut Moss, Seram dan kepulauan Watubela di bagian selatan memberikan salah satu contoh paling jelas di Indonesia, tentang dunia setelah kematian untuk level khusus, - pejuang, bangsawan dan pendeta. Fakta bahwa perburuan (potong) kepala telah mencapai perkembangan tertinggi di Patasiwa hitam, suatu kelompok yang terkait dengan para pendeta Kakihan, menunjukan bahwa dunia setelah kematian ini dalam beberapa hal, mungkin berhubungan secara khusus dengan Kakihan, dan bukti menunjukan bahwa anggapan ini benar. Riedel mengatakan bahwa jiwa-jiwa para Patasiwa yang dibedakan oleh tato (yaitu Patasiwa hitam), pergi ke rumah Kakihan untuk beberapa waktu, dimana mereka tinggal untuk beberapa waktu sebagai nitu, arwah orang mati, tetapi akhirnya menuju ke dunia setelah mati di langit21. Semua jiwa lainnya, jiwa “orang biasa” pergi ke pegunungan saat kematian, dan bukan ke rumah Kakihan atau ke langit. Karena itu, tampaknya para pendeta, bangsawan, dan pejuang yang menuju ke alam baka di langit adalah Patisiwa hitam, anggota kakihan, sedangkan “orang-orang biasa” yang menuju ke pegunungan adalah Patalima (dan Patasiwa putih?). Dalam hubungan ini, dapat dicatat bahwa di Seram, para kepala suku dan kaum bangsawan, yang merupakan level tertinggi dari 3 golongan (kaum terkemuka, kaum menengah, dan budak) dimana populasinya dibagi, yang dikenal sebagai Kakihai, dan Kakih itu adalah kata yang digunakan untuk mendeskripsikan penusukan kulit saat membuat tato, suatu praktik yang hanya dilakukan oleh anggota masyarakat kakihan22.

Moss mengatakan bahwa “alam baka buat para pejuang dan pendeta, yang berhubungan dengan bulan dan bintang, seperti yang ditemukan di Seram dan Watubela, mungkin disebabkan oleh beberapa suku bangsa imigran, terutama karena ada perbedaan dalam ritus”23. Dalam pandangan ini, saya setuju sepenuhnya. Hanya perlu ditambahkan, menurut saya, bahwa suku bangsa imigran inilah yang bertanggung jawab atas pengenalan Kakihan.

Sebelum melanjutkan ke penjelasan yang lebih rinci tentang masyarakat ini, saya mungkin dapat merujuk secara singkat pada pemujaan batu, yang terkait dengan rumah manusia atau baileo di Seram Barat, sebagai salah satu ciri kultus ini nampaknya menyoroti aspek-aspek tertentu dari Kakihan.

Baileo telah meluas  di seluruh Seram Barat, dan juga umum bagi Patasiwa dan Patalima. Di “depan” setiap baileo, berdiri (atau sebelumnya telah berdiri) sebuah batu persegi penyembahan, “Opferstein” atau batu pomali (pomali = suci/sakral/keramat atau tabu), kira-kira 3 kaki lebarnya, terletak sekitar 13 inci di atas tanah, di atas 4 batu penyangga24. Di sekeliling batu keramat ini tertanam tanaman Puring (crotonsi) membentuk tutupan persegi panjang. Menurut tradisi, puring (croton) ini adalah pelengkap penting dari batu pomali, meskipun sekarang ini telah menghilang. Di atas batu keramat itu, setelah ekspedisi perburuan kepala/pengayauan yang berhasil, ditempatkan tengkorak, jika tidak maka mungkin batu itu tidak akan didekati. Sesajen dibuat untuk arwah para leluhur (nitu), yang dipanggil oleh suara “terompet” dari kerang Triton (tahunia – mungkin maksud penulis adalah Tahuri), sebelumnya batu keramat dikelilingi oleh lingkaran batu di hutan dan rupanya juga untuk batu pomali, ini menunjukan hubungan dengan pemujaan leluhur atau pemujaan orang mati25. Martin mengatakan bahwa penyembahan masih di lakukan di Saparua (sebuah pulau lepas pantai selatan Seram) di atas batu keramat di hutan, di tempat-tempat dimana desa-desa pada suatu waktu pernah ada di situ, sebelum pulau itu dihancurkan oleh Admiral de Vlamming van Oudsthoorn pada tahun 1655. Batu-batu keramat ini, seperti batu pomali di baileo, dikelilingi oleh tutupan persegi panjang croton, dan menurut saya, tidak diragukan lagi bahwa batu tersebut mewakili batu pomali desa yang dihancurkan pada tahun 1655. Minimal, batu tersebut merupakan signifikansi bahwa penyembahan dilakukan, terutama di Nolot, dimana negeri/desa asli Iha telah ada sebelum periode ini26


Secara umum dinyatakan oleh penduduk asli/pribumi bahwa batu pomali yang menghadap ke laut adalah merujuk pada Patasiwa (yang, tentu saja, termasuk imigran Melanesia), sedangkan menghadap ke pedalaman/pegunungan adalah merujuk pada Patalimaj, namun Martin menemukan bahwa dalam praktiknya tidak demikian. Setelah bertanya tanpa hasil, ia akhirnya mengetahui bahwa batu pomali itu benar-benar berorientasi pada arah terbitnya matahari, sebuah pernyataan yang menurutnya secara umum benar tentang baileo-baileo tersebut, dimana ia memiliki kesempatan untuk mengamatinya. Martin menyatakan bahwa di sini, kita mungkin memiliki keberlangsungan tentang pemujaan matahari27. Saya tidak melihat alasan, mengapa kita tidak menerima hipotesis ini untuk sementara waktu, menyimpan kesimpulan akhir sampai lebih banyak bukti tersedia. Saya dapat menunjukan dalam hubungan ini, bahwa, menurut van Doren28, “penduduk Seram pada waktu tertentu menyembah atau mempersembahkan doa kepada matahari, bulan, dan bintang, dan ada alasan untuk percaya bahwa Kakihan itu sendiri, terkait dengan pemujaan terhadap benda-benda langit tersebut”.

Jika Martin benar dalam mengandaikan batu keramat di rumah manusia adalah ekspresi pemujaan matahari, itu menjadi bukti bahwa, kalau ada 2 pemujaan matahari yang sepenuhnya independen, pemujaan batu di Seram pasti karena imigran yang terkait dengan mereka yang memperkenalkan pemujaan matahari, bulan, dan bintang dan bertanggung jawab untuk pemujaan matahari, yang tampaknya merupakan elemen penting dalam Kakihan.

Kakihan, seperti yang akan kita lihat nanti, pada dasarnya adalah “masyarakat misterius” Melanesia. Kesimpulan ini, oleh karena itu, sesuai persis dengan yang disimpulkan oleh Rivers sehubungan dengan masyarakat rahasia, pemujaan matahri, dan pahatan batu di Melanesia. Mengingat fakta ini, menjadi penting bahwa banyak fitur pemujaan batu di Seram, direproduksi dalam pemujaan yang sesuai di New Hebrides. Di Malekula Selatan, Speiser melihat sebuah meja untuk persembahan yang menunjukan kemiripan yang mencolok dengan sebuah dolmen29, dan Layard memberitahu saya bahwa 1 dolmen dari pemujaan batu di Malekula Selatan dikelilingi oleh crotons, suatu tumbuhan yang sangat penting dalam simbolisme pemujaan Melanesia30, karena itu sangat menonjol dalam S Malekulan Nimengis, dan varietas yang dikenal dari itu membentuk tingkatan dari berbagai masyarakat Tamate31. Altar batu di New Hebrides memiliki fungsi yang pasti dalam hubungannya dengan kematian. Di Ambrym, tengkorak orang mati diletakan di atas meja batu; di Vao, sebuah pulau kecil di timur laut Malekula, Speiser melihat altar batu di dalam gubuk yang didedikasikan untuk pemujaan leluhur32. Altar dan meja ditemukan pada upacara yang berpusat di depan rumah manusia, suatu fitur yang direproduksi oleh batu pomali di baileo. Di Aoba, lingkaran batu kuburan, mungkin kuburan para pemimpin, ditutupi oleh puring (crotons)33, dan babi dikorbankan di altar batu34, sementara menurut Bastian, pada pemujaan agama “gunung alifuru” di Seram, seekor babi dikorbankan setiap 6 bulan di atas batu tegak, yang di atasnya dipasang atap35. Harus diakui, tidak ada bukti hubungan langsung antara meja batu dan altar di New Hebrides dengan pemujaan matahari, tetapi representasi matahari dan bulan pada monumen batu di tempat lain di pulau-pulau ini membuat hubungan seperti itu, mungkin terjadi.

Sekarang saya akan melanjutkan untuk mempertimbangkan masyarakat Kakihan itu sendiri.

Masyarakat Kakihan36 harus dimasuki oleh semua laki-laki dewasa dari Patasiwa hitam. Segala sesuatu yang berhubungan dengannya, dijaga dengan sangat rahasia dan pengungkapan rahasianya akan dihukum mati. Setiap negeri/desa memiliki rumah kakihan, terletak di semak-semak, dan dipenuhi dengan antu (nitu) atau roh para leluhur37.  Untuk masuk ke rumah ini, ada 2 pintu masuk : satu dari belakang, yang hanya dapat digunakan oleh para peserta inisiasi, dan 1 lagi di depan, yang akan dilwati oleh para peserta inisiasi. Lantai di dalam rumah berpotongan lancip di sekeliling pintu depan, sehingga “merosot” sekitar 1 kaki dari permukaan tanah. Di depan rumah berdiri sekat atau partisi, dimana dilukis berbagai gambar : matahari, bulan, bintang, ular, burung, “dan lainnya”, demikian kata van Schmidt38. Menurut Martin, gambar-gambar itu dilukis bukan pada sekat, tetapi pada papan segitiga yang disisipkan di bawah atap pelana di ujung depan rumah. Martin menyebutkan desain itu, “ tampaknya simbolisasi bunga”, bintang, burung, manusia, semua figur berwarna putih dengan latar belakang hitam, dan menyatakan bahwa gambar tersebut sesuai dengan banyak penghormatan kepada mereka yang bertato di dada anggota kakihan39. Dalam koleksi desain tato milik Tauern, kita temukan sebagai berikut :

 

 

Berdasarkan pengamatan van Schmidt dan Martin, saya menyarankan, masuk akal untuk menganggap tato-tato ini adalah simbolisasi dari matahari, dan mungkin juga dari bintang-bintang dan bulan.

Rumah Kakihan dibangun dengan 9 tiang tegak (Patasiwa) yang melingkar. Dari semua ini, bagian tengah ujung atap pelana depan sangat sakral (tiang pomali). Ketika rumah Kakihan baru akan didirikan, para pendeta menari 9 kali mengelilingi pohon tempat pembuatan tiang keramat itu, meniup tahuri mereka sambil menari. Di pesisir Makahala, hal ini biasanya ditandai dengan membungkus tiang dengan kain dan membawanya ke laut diiringi nyanyian kakihan, kemudian dikembalikan ke tempat yang dipilih untuk pembangunan rumah baru. Arti dari upacara ini, tampaknya tidak diketahui.

Rumah kakihan adalah kediaman Nitu-Elake, “arwah tertinggi” dan nitu, arwah orang mati, yang akan menuju ke langit dunia setelah mati. Nitu – Elake adalah pemimpin nitu atau arwah dari klan – atau pemimpin kelompk (“eersten stamvader”). Jadi, nitu tampaknya adalah anak cucunya atau keturunannya.

Penggambaran matahari, bulan, dan bintang-bintang di rumah Kakihan, saya menyarankan, untuk dihubungkan dengan penyembahan matahari, bulan, dan bintang di Seram, yang dicatat oleh van Doren, dan kepercayaan akan langit setelah mati, dimana nitu akan pergi dari kakihan. Perlu dicatat bahwa pemujaan terhadap arwah para leluhur, secara tidak langsung dikaitkan dengan matahari, karena persembahan diberikan kepada nitu di atas batu suci, yang nampaknya terkait dengan pemujaan matahari. Selain itu, desain tato di dada anggota Kakihan ternyata dalam banyak kasus, merupakan representasi/simbolisasi matahari dan bintang (dan bulan?), sesuai dengan desain pada rumah Kakihan. Hal ini tampaknya menunjukan bahwa tidak hanya orang mati, tetapi juga anggota Kakihan yang masih hidup secara khusus terkait dengan matahari.

Menurut Perry40, pemujaan matahari dan dunia alam baka di Indonesia, dimiliki oleh sekelompok imigran pemuja/penyembah batu, yang mendirikan garis-garis utama dan kelas atas serta melembagakan warisan kependetaan, yang menjalankan sekte yang berhubungan makhluk di langit dan dengan arwah leluhur. Para imigran pemuja batu ini, yang keturunannya mengklaim diri mereka sebagai “anak-anak matahari”, menyebakan para pejuang dibedakan dari komunitas lainnya, dan pengayauan dianggap sebagai modifikasi dari praktik penyembahan/pengorbanan manusia. Perry menganggap Patasiwa di Seram sebagai “sebuah organisasi yang keberadaannya, secara langsung atau tidak langsung, karena para imigran pemuja/penyembah batu”41. Adalah di luar jangkauan kajian ini untuk mempertimbangkan asal mula sistem agama dan sosial yang terkandung dalam kultus Kakihan dari Patasiwa hitam. Saya dapat menunjukan, bagaimanapun, bahwa sistem ini menghadirkan asosiasi elemen budaya yang merupakan karakteristik dari “peradaban archaic”, dan hal tersebut mungkin, karena kita memiliki sistem kebangsawanan dan kependetaan Kakihan, yang merupakan contoh paling jelas di Indonesia saat ini, dari apa yang disebut sebagai “anak-anak matahari”. Bahwa identifikasi ini bukannya tidak penting bagi teori difusi budaya tertentu yang dikemukan oleh Elliot Smith dan Perry, saya kiri, akan menjadi jelas dalam proses penelitian lebih lanjut.

Sejauh ini, saya menganggap masyarakat Kakihan terutama dalam aspek eksternal. Ini adalah “masyarakat misterius”, dengan pemujaan rahasia terhadap arwah orang mati yang berpusat di rumah para arwah di semak-semak, pemujaan yang lebih terbuka pada para arwah ini dipraktikkan sehubungan dengan batu suci. Seperti batu atau altar suci ini, ia menghadirkan fitur-fitur yang harus ditafsirkan sebagai ekspresi pemujaan matahari, dan mungkin juga bulan, bintang, dan ular. Anggota masyarakat setelah kematian pergi ke rumah para arwah dan kemudian ke langit, suatu alam setelah kematian yang diperuntukan khusus bagi para bangsawan, pendeta dan pejuang. Upacara paling jelas yang kita ketahui dalam kultus rahasia ini, adalah upacara inisiasi, dimana, seperti yang akan kita lihat nanti, merepresentasikan kematian dan kebangkitan adalah ciri yang paling menonjol. Masyarakat ini diperkenalkan ke Seram oleh kaum imigran Melanesia.

Dengan demikian, ia hadir dalam kombinasi elemen-elemen yang muncul secara tunggal sebagai ciri khas dalam masyarakat rahasia Melanesia, yang berbeda seperti Tamate, Matambala, dan Polinesia Areoi, dan tidak sulit untuk melihat bagaimana migrasi ke Melanesia dari orang-orang yang mempraktikan pemujaan seperti Kakihan, bisa memunculkan institusi sejenis Tamate dan Matambala.

Akan tetapi, hal penting yang utama dari masyarakat Kakihan terletak pada fakta bahwa ia juga dapat dianggap sebagai prototipe dari kultus inisiasi dai wilayah Amanat Papua [Nuigini] yang terkait dengan penggunaan “terompet” suci/sakral. Untuk membuktikan hal ini, saya akan menjelaskan secara singkat :

      I.     Kultus Inisiasi Kakihan

    II.     Kultus Inisiasi dari Karesau Island, di kelompok Schouten dari muara sungai Sepik di Papua [Nuigini] dan

  III.     Kultus Balum di daerah Finschhafen di Papua [Nuigini].

 

Mauweng Alifuru (1927)

I. Inisiasi ke dalam masyarakat Kakihan berlangsung setiap tahun, atau terkadang 2 tahun sekali. Tauern menyebutkan usia calon peserta berusia 18 tahun, sedangkan Martin menyebut 7 hingga 8 tahun42 : mungkin usia-usia tersebut adalah usia rentang, seperti dalam banyak kasus inisiasi “pubertas/kedewasaan”. Sebelum inisiasi, para calon peserta mandi setiap hari, dan diurapi dengan kurkemak. Pada hari yang dipilih untuk inisiasi, mereka dikumpulkan di baileo negeri/desa atau di baileo anakota dari pendeta tinggi, dan dari situ mereka ditutupi mata menuju ke rumah Kakihan, masing-masing anak-anak laki-laki dipegang tangannya oleh 2 orang laki-laki, yang bertindak sebagai sponsor atau wali dan menjaganya selama periode inisiasi. Ketika semua telah berkumpul di depan rumah, “pendeta tinggi” memanggil nitu dengan lantang. Tiba-tiba keributan yang mengerikan terdengar dari dalam rumah. Hal ini dibuat oleh para lelaki dengan pipa dari bambu, namun diyakini oleh para wanita dilakukan oleh nitu. Menurut Frobenius, anak laki-laki tersebut kemudian didorong melalui sebuah lubang di dalam rumah yang dibuat dengan bentuk seperti tenggorokan buaya yang menganga atau paruh burung kasuari, dan konon mereka telah ditelan oleh Nitu-Elake43. Tak lama kemudian, tombak bernoda darah ditunjukan kepada para wanita, dan mereka diberitahu bahwa Nitu-Elake telah membunuh anak-anak laki-laki tersebut. Bastian mengatakan bahwa tombak dipercik darah dari babi kurban yang ditempatkan di sepanjang jalan dari rumah rahasia Kakihan ke desa/negeri44; para pria dikirim ke sana untuk memberitahu para wanita bahwa Nitu-Elake telah membunuh anak-anak mereka, dimana ibu dan saudara perempuan para anak-anak itu mulai menangis dan meratap45.

Sedangkan di rumah Kakihan, para calon peserta inisiasi disebut Asuniaja (anjing kecil) dari Nitu-Elake. Mereka harus tetap sepanjang waktu dalam posisi jongkok untuk mengormati jiwa para leluhur46. Para pendeta kemudian berbicara kepada mereka melalui pipa bambu47 untuk mewakili suara Nitu-Elake, memperingatkan mereka untuk menunjukan kepatuhan tanpa syarat kepada anggota yang diinisiasi dan meyakinkan mereka akan kebutuhan untuk tetap menjaga kerahasiaan kultus tersebut. Para kandidat tetap di rumah Kakihan selama 9 hari, mengisi waktu mereka dengan memainkan “terompet”48 yang tersimpan di sana. Setiap hari, mereka dimandikan dan kepala serta tubuh mereka diurapi dengan minyak dan kurkema.
                Pada hari ke-4, para pria pergi ke desa dan memberitahu para wanita bahwa sebagai tanggapan atas permohonan dari pendeta tinggi, Nitu-Elake telah menghidupkan kembali para calon peserta inisiasi. Para wanita kemudian berhenti meratap, dan menyiapkan makanan untuk para peserta inisiasi yang terlahir kembali. Sebelum meninggalkan rumah Kakihan, setiap anak laki-laki menerima dari pendeta, sebuah tongkat yang ujungnya dihiasi bulu burung kasuari. Tongkat-tongkat ini seharusnya diberikan oleh Nitu-Elake, pada saat ia menghidupkan mereka kembali, dan itu berfungsi sebagai tanda bahwa mereka telah berada di dunia roh. Setelah upacara selesai, tongkat tersebut ditempatkan di baileo, menyentuhnya atau memindahkannya dari situ adalah tabu.

Sekembalinya ke desa, para anak lelaki tersebut tetap dalam keadaan “bodoh” sepanjang hari, dan dalam segala hal menunjukan diri mereka tidak terbiasa dengan kehidupan mereka sebelumnya. Ini dilakukan untuk melambangkan kelahiran mereka kembali dari Nitu-Elake.

Sebelum melanjutkan ke penjelasan tentang kultus inisiasi di Papua [Nuigini], saya akan merangkum secara singkat ciri-ciri utama Kakihan. Ciri-ciri tersebut adalah :

1)        Pengucilan dan pelarangan para perempuan dari kultus (Namun, perlu dicatat bahwa keyakinan esensial yang mendasari ritual tersebut dipegang, bukan oleh para peserta inisiasi, tetapi oleh para perempuan dan anak-anak yang belum diinisiasi)

2)       “Roh tertinggi” atau Nitu-Elake, yang tinggal di sebuah rumah khusus di semak-semak, yang pada saat inisiasi membunuh atau memakan para peserta inisiasi, memulihkan mereka kemudian sebagai peserta inisiasi yang terlahir kembali, “anjing kecil” milik Nitu-Elake. Nitu-Elake dianggap sebagai arwah dari para leluhur asli (“eersten stamvader”) dari kelompok yang mempraktikkan pemujaan tersebut. Oleh karena itu, jenis kelamin arwah leluhur ini mungkin bergantung pada garis yang dilacak melalui keturunannya. Nitu-Elake tampaknya dalam beberapa kasus dianggap sebagai Kasuari atau Buaya

3)       Nitu, menurut van Schmidt, ini adalah arwah/roh dari leluhur paling awal, yang tidak mati, tetapi menghilang dari bumi. Akan tetapi, hal tersebut menjadi bukti bahwa banyak nitu di rumah Kakihan adalah arwah orang mati, yang menunggu keberangkatan mereka ke alam baka.

4)      Hubungan perkumpulan itu dengan matahari, bulan, bintang, dan ular, serta dengan alam baka untuk para pendeta, bangsawan dan pejuang.

5)       Penggunaan pipa bambu untuk mewakili suara “roh tertinggi”, dan permainan “terompet” suci oleh para peserta inisiasi di rumah Kakihan

6)      Penutupan mata para calon peserta inisiasi sebagai melambangkan kematian mereka : mandi, mengurapi dengan minyak, dan lain-lain

7)       Penggunaan tongkat suci yang dihiasi bulu burung kasuari48*

 

===== bersambung ====

Catatan Kaki

  1. W. H. R. Rivers, The History of Melanesian Society, vol. II. pp. 215-216.
  2. R. H. Codrington, The Melanesians, p. 94.
  3. Rivers, op. cit., vol. I. p. 243.
  4. Rivers, op. cit., vol. II.p. 429
  5. Moerenhout, Voyages aux Ulesdu grand Ocean, Paris (1837), vol. I. pp- 432-5.
  6. Revue d'Ethnographie,vol. VIII. (1889), pp. 115 et seq. [This belief may be connected with Tangarod, and thus be Polynesian.-S. H. R.] Notes thus initialled are by Dr. S. H. Ray
  7. A. C. Haddon, " Migrations of Culture in British New Guinea,.' Huxley Memorial Lecture, The Journal of the Royal Anthr. Inst. (1920), vol. XL. p. 20.

7*    [There is no sign of Melanesian language in Tugere or Gogodara.- S. H. R.]

  1. For the following account I am indebted to Tauern, Patasiwa und Patalima, Leipzig (1918), caps ii. and vi.; Bastian, Indonesien, B. i., die Molukken, pp. 142 et seq.; Martin, Reisen in den Molukken, Leiden (1894), PP. 5, 75 et seq.; van Schmidt, "Het kakihanisch verbond op het eiland Ceram," Tijdschrift voor Neerlands Indie, jaarg v., Deel ii., Batavia (1843) ; van Doren, Fragmenten uit de reizen in den Indischen Archipel, Amsterdam, 1854. For a complete bibliography, see Martin, op. cit., p. 390.

8*    [The term Alfuru means "bushmen."-S. H. R.]

  1. Tauern, op. cit., p. 29. It is unfortunate that Tauern does not state explicitly in what sense the term " Melanesian " is used.
  2. To Pata =half ; lima =five ; siwa =nine.
  3. In Ambon in the seventeenth century the divisions were called Oelilima and Oelisiwa (Bastian, op. cit., p. 159).
  4. Tauern, op. cit., p. 31.
  5. Bastian, op. cit., p. 142.
  6. Tauern, op. cit., pp. 42-3, Abb. 6, also Tafel iii.; the Patasiwa canoe has a Moluccan and the Patalima a Halmaheiran attachment; Martin, op. cit., p. 76.
  7. Bastian, op. cit., p. 148; Tauern, op. cit., p. i40.
  8. Martin, op. cit., p. 66.
  9. Tauern, op. cit., p. 144
  10. Tauern, op. cit. p. 152.
  11. Ibid., p. 152.
  12. Ibid., p. 137
  13. Riedel, de Sluik- en Kroesharige Rassen tusschen Selebes en Papua, p. 144. For Patasiwa telu waini, see p. 90.
  14. Ibid., pp. 101, 109.
  15. R. Moss, Life after Death in Oceania (1925), p. 86.
  16. Martin, op. cit., p. 76; Bastian, op. cit., p. 144 ; Tauern, op. cit., p. 142.
  17. Riedel, op. cit., pp. 106-7.
  18. Martin, op. cit., p. 51.
  19. Ibid., p. 77.
  20. van Doren, op. cit., p. 170
  21. F. Speiser, Sildsee, Urwald, Kannibalen, opp. p. 208.
  22. F. Speiser, op. cit., pl. 60.
  23. W. H. R. Rivers, op. cit., vol. I. p. 93
  24. Cf. also F. Speiser, op. cit., p. 239.
  25. F. Speiser, op. cit., opp. p. 145 ; cf. p. 100.
  26. Ibid., p. 242.
  27. Bastian, op. cit., p. 150.
  28. Cf. Ludeking, " Schets van de Residentie Amboina," Bijdragen tot de Taal-Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, 3e volgreeke, Deel III., 's Gravenhage (1868).
  29. Bastian, op. cit., p. 146.
  30. van Schmidt, loc. cit., p. 30.
  31. Martin, op. cit., p. 78.
  32. W. J. Perry, The Megalithic Culture of Indonesia (1918), p. 181.
  33. W. J. Perry, op. cit., pp. 115, 143.
  34. Tauern, op. cit., p. 148 ; Martin, op. cit., p. 154
  35. L. Frobenius, The Childhood of Man, p. 217.
  36. Bastian, op. cit., p. 146.
  37. Tauern, op. cit., p. 149.
  38. Bastian, op. cit., p. 146
  39. Figured in van Schmidt, loc. cit., p. 29.
  40. See also Tauern, p. 151, XIII.

 48* A suggestion concerning the significance of the Kakihan cult from a comparative point of view is   given in Who was Hiram Abiff ? by J. S. M. Ward (1925, pp. 196 et seq)

 

Catatan Tambahan

  1. Arthur Bernard Deacon adalah antropolog sosial Inggris kelahiran Nikolayev, Rusia Selatan, pada 21 Januari 1903. Ayahnya bernama Arthur Deacon. A.B. Deacon meninggal pada tanggal 12 Maret 1927 di Malekula, New Hebrides.
  2. Wilayah Kaiser Wilhelmsland terletak di bagian utara negara Papua Nuigini
  3. Wilayah kepulauan Banks (Banks Island) terletak di wilayah barat laut negara canada
  4. Arti dari kata Mutatis Mutandis adalah perubahan penting yang telah dilakukan
  5. Wilayah kepulauan Tami (Tami Island) terletak di bagian paling timur negara papua nuigini
  6. Tanaman Kava adalah memiliki nama latin Piper methysticum leaves. Nama “kava” berasal dari bahasa Tonga yang berarti “pahit”. Tanaman ini dikonsumsi untuk efek penenang di seluruh kebudayaan samudera pasifik polinesia, termasuk hawai, vanuatu, melanesia dan beberapa bagian mikronesia.
  7. Wilayah Guadalcanar terletak di barat daya samudera pasifik, dan merpakan wilayah dari negara kepulauan soloman
  8. Suku Sakai berdiam di pulau sumatera, di provinsi riau
  9. Croton adalah suatu tanaman semak-semak yang dalam bahasa Indonesia disebut Puring/puding. Salah satu genus dalam tanaman Croton ini, lebih familiar dikenal di Ambon – Lease sebagai tanaman Gadihu dan memiliki nama latin codiaeum variegatum
  10. Pernyataan yang sama juga diungkap oleh A. Van Ekris, W.J. Perry. Namun pendapat berbeda ditulis oleh Andrew Huwae (2012) dan Hatib Abdul Kadir (2012)

§  A. Van Ekris Lets over het Ceramsche Kakian Verbond (dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land.....deel 16, Lange & Co, Batavia, 1867, hal 290 – 315), khususnya hal 291.

§  W.J. Perry, The Megalithic Culture of Indonesian, Longman, Green & Co, London, 1918, hal 46

§  Andrew Huwae, Baileu : Kajian tentang Bentuk Manifestasi Fisik dari Masyarakat Adat di Kecamatan Pulau Saparua (dimuat pada jurnal Kapata Arkeologi, volume 8, nomor 1/Juli 2012, halaman 35-42), khusus halaman 37-38

§  Hatib Abdul Kadir, Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwalima Orang “Ambon” pasca konflik (dimuat pada jurnal Lakon, volume 1, nomor 1, Mei 2012, hal 61-75), khususnya halaman 69

       k. Kurkema/Kurkama adalam semacam jamu yang dibuat dari tanaman curcuma atau lebih dikenal dengan  nama Kunyit (kuning).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar