Rabu, 02 September 2020

Kaum Politisi dan Tukang Sihir Kekuasaan, Strategi Adaptif dan Sinkretisme di Maluku Tengah (bag 2 - selesai)


Oleh
Dieter Bartels

Dieter Bartels saat di Negeri Pelauw (1974)


Bertahannya Sumber-sumber Kekuatan Tradisional

                Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sumber-sumber kekuatan tradisional dalam masyarakat Ambon tetap sangat stabil, meskipun mengadopsi sumber-sumber yang baru. Para leluhur dan para arwah telah bertahan dari “penganiayaan” oleh para biarawan Portugis, “penyiksaan” terhadap orang-orang yang mempercayainya oleh para pendeta Belanda, dan mereka masih bertahan melawan para pemimpin gereja Ambon yang berpikiran reformis. Dalam komunitas Muslim, keberadaan roh-roh jahat selalu lebih mudah diakui, karena mereka “dikenal” dalam kosmologi Islam. Para leluhur dilindungi oleh isolasi kaum Islam Ambon dari arus utama pemikiran Islam pada zaman Belanda, dan hal ini masih terasa meskipun ada pengaruh reformis.
                Koeksistensi para leluhur dan Tuhan, sebagian dapat dijelaskan melalui cara pandang orang Ambon tentang penyebaran kekuatan. Tuhan memiliki sejumlah kekuatan tertentu, tetapi para leluhur, diantara kekuatan lainnya, juga memiliki kendali atas kekuatan. Kekuatan bersifat kumulatif dan penggunaan satu sumber, tidak meniadakan penggunaan yang lainnya. Faktanya, menggunakan kedua sumber kekuatan mungkin akan menjadi lebih efektif.
                Pada masa pra-Eropa, dan hingga pemberontakan terakhir melawan Belanda, pemimpin perang tampaknya sering memiliki kekuatan yang lebih besar daripada radja, dan jabatannya tentu saja lebih tua daripada radja dalam masyarakat tradisional. Dulunya, gelarnya adalah Malessy, namun di masa Portugis, gelar ini diganti menjadi Kapitan, hal ini jelas dalam upaya untuk mendapatkan prestise yang sama, bukan pada kekuatan menakjubkan dari Capitao Portugis yang tampaknya lebih unggul10. Tetapi, saat para pemimpin perang “meningkatkan” posisi mereka dengan menggunakan gelar baru, dan agama baru dari model Portugis mereka, mereka tidak melepaskan kekuatan magis tradisional, yang mereka peroleh dari senjata dan jimat tertentu yang membuat mereka berani dan tidak terkalahkan. Meskipun jabatan Kapitan sebagian besar sudah tidak berfungsi setelah pasifikasi Belanda, orang-orang dengan gelar seperti itu, masih diyakini memiliki kekuatan yang besar, dan penduduk desa sering gentar pada mereka. Jika terjadi perseteruan antar desa yang semakin meningkat di Ambon karena masalah tanah, mereka pergi bersama warga desa ke gereja atau masjid untuk berdoa memohon pertolongan Tuhan. Setelah itu, mereka pergi ke tempat-tempat suci untuk memohon bantuan leluhur. Seringkali, ketika orang Ambon membutuhkan kekuatan di luar kemampuan manusia, mereka meminta bantuan baik dari Tuhan maupun para leluhur.
                Salah satu faktor penting dalam bertahannya kepercayaan pada para leluhur adalah, bahwa mereka mengisi kekosongan antara manusia dan abstraknya Tuhan Islam dan Protestan yang lebih jauh. Pada kaum Islam Ambon, kepercayaan pada leluhur itu mengambil peran yang dimiliki orang-orang suci di tempat lain. Demikian pula, di kalangan Protestan, mereka memiliki  peran seperti para Santo pelindung di Katholik – akan menarik untuk melihat apa yang akan terjadi jika Katholik tetap ada. Faktor lain yang menjelaskan bertahannya kepercayaan pada para leluhur adalah, bahwa mereka adalah nyata bagi para penganutnya. Para leluhur dan arwah bukanlah fiksi dari suatu pikiran, seperti yang sering dipikirkan orang Barat; melainkan orang Ambon, termasuk banyak pejabat agama, dapat melihat, bertemu, dan berkomunikasi dengan mereka. Baru pada saat ini, para pemimpin tinggi gereja dalam upaya mereka untuk mendapatkan status dan prestise yang sama dalam komunitas gereja sedunia, mulai menyangkal kekuatan para leluhur. Beberapa kaum reformias Muslim juga melakukannya, tetapi mungkin teknologilah yang akhirnya akan “mengusir” kepercayaan tersebut.



Penyerapan Kekuatan di Bidang Penyembuhan/Pengobatan

Selama ini saya telah membahas konsep kekuatan di bidang politik. Sekarang saya ingin memberikan gambaran sekilas tentang bidang yang sangat berbeda, yaitu penyembuhan/pengobatan, untuk menunjukan bahwa konsep penyerapan kekuatan tidak terbatas pada satu arena sosial budaya. Tabib tradisional atau dukun, atau biasa disebut Orang Baruba di Ambon11, juga terus menyesuaikan diri dengan realitas baru perubahan lingkungan sosial. Islam dan Kristen membawa cara baru dan kekuatan baru dalam soal penyembuham. Doa untuk orang yang sakit, atau lebih efektif lagi oleh para pejabat keagamaan, adalah alternatif baru dari formula magis tradisional yang digunakan oleh orang yang menyembuhkan. Umat Kristen Ambon juga memanfaatkan apa yang mereka lihat sebagai kualitas magis dari roti dan anggur yang dibagikan saat komuni kudus. Objek itu (roti dan anggur) diyakini memberi orang kekuatan khusus dan dibawa pulang dari gereja untuk diberikan kepada orang sakit, untuk memulihkan kesehatan mereka (Kraemer 1958: 21). Pejabat agama, di sisi lain, melakukan ritual pengusiran setan untuk membersihkan seseorang dari roh jahat.
Dalam masyarakat Muslim, hal tersebut dimiliki radja yang di masa pra-Islam kekuatan spiritualnya dielaborasi saat ia menjadi pemimpin agama di komunitasnya. Dalam masyarakat Kristen, para pendeta yang “mengambil alih” domain dukun. Akan tetapi, dukun, tampaknya tidak melawan kekuatan-kekuatan baru, melainkan menambahkannya ke dalam perbendaharaan pengetahuan mereka. Yesus dan Muhamada digunakan secara familiar bersama para leluhur dan roh tertentu. Orang Ambon melihat Alkitab dan Alquran dalam perspektif  umum,  yaitu sebagai kunci rahasia kekuatan superior orang asing. Buku-buku itu sendiri memiliki kekuatan magis, seperti pusaka mereka sendiri (pusaka leluhur yang suci). Karena itu, dukun menambahkan buku-buku ini ke perlengkapan mereka yang lain, yang digunakan untuk penyembuhan. Ayat-ayat dari Alquran atau Alkitab, digunakan dengan cara yang sama seperti formula magis tradisional, yang menambahkan lebih banyak kekuatan pada kemanjuran penyembuhannya. Para tukang sihir (suanggi) juga menggunakan sumber kekuatan yang sama untuk membuat musuh mereka menjadi sakit.
Dalam ritual penyembuhan yang khas, dukun memulainya dengan doa, memohon pertolongan Tuhan, dan kemudian mengucapkan salah satu ramuan tradisionalnya di atas segelas air yang kemudian diisi dengan kekuatan. Formula yang diberikan kepadanya, baik secara langsung oleh para leluhur yang muncul dalam mimpi, atau diturunkan melalui garis keturunannya. Pasien kemudian meminum air ini pada waktu-waktu tertentu, dan terkadang mengikuti berbagai instruksi lainnya agar kembali sembuh. Dalam kasus lain, tanaman tertentu, terutama jahe, juga digunakan. Ini dioleskan pada pasien setelah prosedur sebelum meminum air. Seorang tabib Kristen mengatakan kepada saya, bahwa dengan “berbicara” di atas air, itu berubah menjadi darah Kristus. Intinya adalah bahwa sang penyembuh menggunakan kekuatan tradisional dan Kristen untuk mencapai/memperoleh hasil yang diinginkannya. 



Pengobatan ala barat, dianggap lama dengan penuh kecurigaan, karena ketakutan bahwa Belanda akan menggunakan cara itu untuk tujuan jahat, menjadi semakin diterima oleh orang Ambon. Dari sudut pandang barat, ini seharusnya menjadi ancaman baru bagi cara pengobatan dari dukun. Ia telah menerima pengobatan ala barat dan memanfaatkan kekuatannya. Beberapa penyembuh memulai diagnosis tradisional mereka sekarang dengan merasakan denyut nadi pasien. Ketika, dalam satu kasus, pasien mudanya yang kebarat-baratan terkejut oleh prosedur ini, sang dukun mengatakan kepadanya bahwa dia melakukannya untuk mengetahui jenis roh apa yang telah memasuki dirinya itu. Beberapa penyembuh juga menggunakan steteskop dan bahkan memberikan suntikan sebagai bagian dari prosedur penyembuhan tradisional mereka.
Penambahan semacam itu digunakan tidak hanya untuk meniru pengobatan ala barat untuk menangkan serangan gencar terhadap profesi dukun, tetapi juga dimasukan secara selektif karena dipercayai menambah kekuatan penyembuh untuk menyembuhkan – seperti halnya pinjaman dari Kristen dan Islam. Faktanya, para penyembuh tidak melihat dokter sebagai pesaing nyata, dan dokter biasanya tidak melihat dukun dalam sudut pandang ini. Sebaliknya, terjadi “perpecahan” dalam ilmu pengobatan; dukun tetap ahli dalam penyakit yang disebabkan oleh para leluhur yang marah, tukang sihir, dan roh jahat; sedangkan dokter menyembuhkan penyakit “alami” yang disebabkan oleh bakteri dan virus.
Orang Baruba terkadang mengirim pasiennya ke dokter, dan terkadang dokter merujuk pasiennya ke dukun. Misalnya, seorang dokter muda Ambon yang sangat baik, seorang Muslim, menceritakan kepada saya tentang seorang anak yang datang kepadanya dengan tumor di mulutnya. Dokter itu berkata, bahwa ia telah merawat banyak kasus seperti ini dengan antibiotik, dan setiap kali bengkaknya hilang dalam beberapa hari. Tapi apa pun yang ia coba pada anak itu, tidak ada yang membantu. Dia akhirnya merujuk pasien ke dukun Kristen terkenal, yang “berbicara” di atas air, dan anak itu sembuh hanya beberapa hari setelah meminum air itu. Dokter hanya mengangkat bahu, mengatakan bahwa semua obatnya tidak ada gunanya, jika penyebab penyakitnya adalah roh.
Beberapa contoh paling jelas dari penggunaan kekuatan secara selektif, kekuatan apa pun, dapat ditemukan dalam perilaku pasien itu sendiri. Meskipun masih ada keraguan di desa-desa, ketakutan akan hal-hal yang tidak diketahui, seringkali membuat penduduk desa lebih memilih dukun daripada dokter, penerimaan terhadap pengobatan barat yang terus meningkat tidak berhenti. Pola yang biasa di antara orang-orang yang memiliki akses ke rumah sakit, dokter atau tenaga medis adalah, pergi ke sana terlebih dahulu, dan jika mereka tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, mereka kembali ke orang baruba untuk meminta pertolongan. Dalam keputusasaan mereka, mereka bersedia mencoba sumber kekuatan apa pun, entah tradisional atau modern. Hasil akhir dari perilaku tersebut adalah, bahwa sumber kekuatan modern perlahan-lahan diintegrasikan ke dalam sistem, meskipun, seperti yang telah kita lihat dalam bidang politik dan agama, sumber-sumber tradisional seringkali tetap efektif. Di bidang pengobatan, dukun akan berguna, asalkan ada suanggi, roh jahat dan para leluhur yang marah, yang harus ditangani. 


Kesimpulan

                Selama bertahun-tahun, orang Ambon menanggapi ancaman yang ditimbulkan oleh sistem budaya asing terhadap mereka. Mereka melakukan ini, bukan dengan mempertanyakan keyakinan dan adat istiadat mereka secara besar-besaran, melainkan dengan mencoba memperluas alam semesta sosio-budaya mereka, agar dapat bertahan kembali di lingkungan yang baru dan perubahan yang baru. Hal ini dicapai, kurang lebih berhasil dengan 2 cara. Di satu sisi, orang Ambon secara selektif menyesuaikan dan menyerap sistem, konsep, dan gagasan baru, yang mereka anggap mengandung kekuatan yang tidak dimiliki oleh sistem mereka sendiri. Selektifitas ini menjelaskan keberadaan banyak elemen yang tampaknya tidak terkait dari budaya berbeda di bidang yang telah kita diskusikan.
                Di sisi lain, kepercayaan tradisional dan adat istiadat yang berpusat pada kekuatan, tidak begitu saja diganti, tetapi tetap dilanjutkan menjadi valid dan ditingkatkan melalui peminjaman baru. Contoh dari proses ini, mungkin ditemui pada pemimpin perang yang menambahkan gelar baru, memanfaatkan kekuatan Tuhan melalui doa, namun masih mengandalkan sihir leluhurnya; pada orang baruba yang bergantung pada Tuhan dan sihir serta menambahkan pengobatan ala barat; dan secara umum, pada semua orang yang melihat tidak ada kontradiksi dalam menempatkan nasib mereka di tangan Tuhan dan para leluhur mereka.  Pandangan bahwa kekuatan bersifat kumulatif, yang dibiaskan dan diintegrasikan kembali untuk memenuhi kebutuhan seseorang, menjelaskan tetap berlangsungnya kepercayaan dan institusi tradisional di bidang-bidang, dimana tekanan paling intensif dari sistem yang bersaing dirasakan. Sebenarnya di bidang inilah, sebagian besar adaptasi terjadi.
                Penyerapan selektif unsur-unsur budaya baru seringkali tampak bagi pengamat luar sebagai serangkaian upaya acak atau upaya putus asa, untuk menopang sistem sosial-budaya tradisional dalam menghadapi dari sistem “modern” yang lebih menguasai. Modernisasi yang selektif dan tampak dangkal, yang tidak terbatas di Ambon, sering ditafsirkan sebagai batu sandungan bagi perubahan dan reformasi sosial. Dengan melihat kecenderungan konservatif ini dalam perspektif sejarah, seperti yang telah saya coba lakukan di sini, tampak bahwa tipe neo-tradisionalisme ini sebenarnya dapat menjadi faktor penting dalam hal memfasilitasi, daripada menghambat perubahan sosial.
                Unsur-unsur yang secara periodik diserap oleh orang Ambon itu, justru karena potensialnya unsur itu, elemen dinamis seperti Islam, Kristen, dan aspek-aspek tertentu dari sekularisme barat. Hal ini menyebabkan dan masih menyebabkan perubahan besar setelah menjadi bagian dari sistem. Begitu kekuatan baru dan yang lebih besar dibangkitkan dan dilepaskan, mereka biasanya cenderung berkembang menjadi bentuk kekuatan yang “dominan”, seperti yang terjadi pada Islam dan Kristen, dan semakin benar dengan sekularisme barat. Akan tetapi, kecenderungan ini tidak berarti bahwa satu sistem menggantikan sistem yang lain seiring berjalannya waktu, melainkan bahwa hasilnya adalah sistem baru yang masih menyerupai sistem induknya, tetapi sangat berbeda dari keduanya.
Kadang-kadang terjadi proses sebaliknya, yaitu tindakan kembali ke sumber-sumber kekuatan tradisional ketika yang baru tidak berfungsi. Kecenderungan ke arah ini dapat ditemukan baik di kalangan Kristen maupun Muslim, yang, setelah runtuhnya sistem kolonial dan Republik Maluku Selatan (RMS), mencari sumber kekuatan baru dan identitas budaya baru dalam adat. Mungkin pencarian ini merupakan tahap yang diperlukan sebelum menghadapi situasi baru yang diketahui. Kadang-kadang “kekambuhan” ini ke dalam pola tradisional bisa sangat literal dan sponta, seperti yang diilustrasikan oleh anekdot berikut. Walaupun mungkin apokrif, anekdot ini sangat diapresiasi oleh orang Ambon Kristen dan Muslim, dan juga menangkap esensi dari gagasan orang Ambon tentang kekuatan, dan dengan demikian tampaknya memberikan kesimpulan yang tepat untuk kajian ini.
                Beberapa waktu lalu, seorang pendeta Protestan Ambon dikirim sebagai penginjil ke sebuah pulau kecil di Maluku Selatan yang saat itu masih “kafir”. Ia mencoba mengkonversi penduduk pulau itu menggunakan semua argumen persuasif yang dia ketahui. Ia menunjukan kekuatan superior dari Tuhan Kristen yang melebihi dewa-dewa mereka, melalui kata-kata. Penduduk pribumi agak kesal, tetapi akhirnya radja mereka berjanji bahwa mereka akan menerima agama Kristen, jika sang pendeta dapat membuktikan kekuatan Tuhannya yang lebih tinggi. Pendeta itu setuju untuk melakukannya. Mereka memutuskan bahwa pendeta dan radja akan memohon kepada Tuhan dan para dewa masing-masing untuk membakar pohon mangga. Jika pendeta berhasil, penduduk pulau akan pindah agama, jika tidak berhasil, atau jika penduduk pribumi berhasil, mereka akan memotong kepala pendeta. Masing-masing memiliki waktu 30 menit untuk menyelesaikan tugas itu. Radja mendapat giliran pertama, tetapi tidak terjadi apa-apa. Saat giliran pendeta tiba, ia memejamkan mata agar bisa berdia secara intensif. Ketika dia membuka matanya setelah 15 menit untuk melihat jam tangannya, tidak ada yang terjadi; dan tidak ada yang terjadi setelah 20 dan 25 menit meskipun kenyataannya doanya menjadi semakin “bersungguh-sungguh”. Dia semakin gugup; keringat membasahi dahinya. Kemudian, hanya beberapa detik sebelum waktunya habis, pohon itu terbakar. Kepalanya selamat dan penduduk pribumi yang terkesan membiarkan diri mereka dibaptis, seperti yang mereka janjikan. Baru setelah dia kembali dengan selamat ke Ambon, barulah ia menceritakan kisah lengkapnya. “Yah, sebenarnya bukan Tuhan yang membakar pohon itu. Ketika waktu hampir habis, saya menjadi ketakutan dan hanya berusaha menggunakan sihir hitam para leluhur”

====== selesai ======



Catatan Kaki

  1. Istilah Kapitan sudah mengakar begitu dalam di masyarakat Ambon, sehingga banyak yang mengaku bahwa itu sebagai istilah pribumi, sedangkan istilah Malessy adalah sebutan untuk wakil Kapitan 
  2. Dari bahasa Indonesia Orang Berobat, yang secara harfiah berarti “orang yang memberi pengobatan”

REFERENCES

  • Abdurachman, P. R. 1973,  Peninggalan-Peninggalan Yang Berciri Portugis de Ambon. In Bunga Rampai Sejarah Maluku (I). P. R. Abdurachman, et. al., eds. Jakarta: Lembaga Penelitian
    Sejarah Maluku.
  • Anderson, Benedict R. O'G. 1972, The Idea of Power in Javanese Culture. In Culture and Politics in Indonesia. Claire Holt, et. Al., ed. Ithaca, New York: Cornell University Press.
    Bartels, Dieter 1976,  Religious Syncretism, Semantic Depletion and Secondary Reinterpretation in
    Ambonese Islam and Christianity. Paper presented at the Annual Meetings of the American Anthropological Association. November.
  • Hoebel, E. A. 1966,  Anthropology. New York: McGraw-Hill.
  • Jacobs, H. 1971, A Treatise on the Moluccas (c. 1544). Rome: Jesuit Historical Institute.
    Kraemer, H. 1958,  From Missionfield to Independent Church. The Hague: Boekencentrum.
  • Rumphius, G. E. 1910, De Ambonsche Historie. The Hague: M. Nijhoff.
  • Schurhammer, G. 1963, Franz Xaver. Vol. 2 (1). Freiburg: Herder.
  • Tichelman, G. L. 1960, Anthropological Aspects. In The South Moluccas. J. C. Bowman, et. al., eds.
    Leyden: A. W. Sythoff.
  • Tutuarima, W. H. 1960, Ecclesiastical Aspects. In The South Moluccas. J. C. Bowman, et. al., eds. Leyden: A. W. Sythoff.
  • Valentijn, F. 1726, Oud en nieuw Oost-Indien. Dordrecht: J. van Braam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar