Minggu, 30 Agustus 2020

Kaum Politisi dan Tukang Sihir : Kekuasaan, Strategi Adaptif dan Sinkretisme di Maluku Tengah (bag 1)


Oleh
Dieter Bartels



  1. Kata Pengantar
Membaca artikel yang ditulis oleh antropolog Jerman, Profesor Dieter Bartels ini, membuat kita mengetahui dan bisa jadi mengerti dan memahami tentang konsep “kuno” orang Maluku, khususnya orang Ambon tentang pemanfaatan dan penyerapan elemen-elemen budaya asing kedalam sistem sosial budaya orang Ambon, yang kita lihat dan nampak di masa kini. Bartels secara memukau menyajikan kerangka dasar agar kita memahami, misalnya, mengapa orang-orang Ambon begitu “terpesona” bahkan “fanatis” pada orang Barat, terkhususnya Belanda. Secara eksplisit dan implisit, Bartels mengatakan bahwa relasi intim orang Ambon dengan orang Barat (Belanda) bukan karena orang Ambon ingin seperti orang Belanda atau karena orang Ambon adalah “golden boys”nya Belanda. Namun akar relasi ini tertanam sangat jauh dan kuno pada masa prasejarah yaitu konsep kuno tentang makna kesaktian dan penggunaannya. Orang Ambon saat berhadapan dengan elemen-elemen asing atau sistem sosial budaya yang lebih unggul dari mereka, tidak “kagum” dan takluk bahkan menggantikan sistem sosial budaya mereka yang kuno dengan yang baru. Orang Ambon melihat keunggulan sistem budaya baru itu sebagai bentuk ketidakseimbangan dalam akses pada sumber kekuatan. Di mata orang Ambon, bukan keunggulan sistem baru yang menyebabkan mereka lebih hebat, melainkan fakta bahwa orang asing itu memiliki akses ke sumber-sumber kekuatan yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang Ambon. Dengan memanfaatkan dan menyerap unsur-unsur asing itu, orang Ambon yakin akan memiliki kunci atau akses ke sumber kekuatan unggul itu, agar posisi keseimbangan bisa tercapai/dikembalikan bahkan mengalahkan mereka. 

Dieter Bartels

Artikel yang menarik dan memukau ini ditulis oleh antropolog Dieter Bartels saat ia melakukan kerja lapangan di Maluku Tengah pada tahun 1974-1975, dan dipublikasikan dengan judul Politicians and Magicians : Power, Adaptive Strategies and Syncretism in the Central Moluccas dan dipresentasikan  pada Conference on Indonesian Studies yang berlangsung pada 29 Juli – 1 Agustus 1976 di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat.  Artikel ini dimuat oleh Gloria Davis (Editor) dalam bukunya What is Modern Indonesian Culture, halaman 282-299, yang diterbitkan tahun 1979. Artikel sepanjang 12 halaman ini terdiri dari 12 catatan kaki, 11 halaman kajian dan 1 halaman sumber referensi yang digunakan, serta tidak ada gambar ilustrasi.
Kami menerjemahkan artikel ini, karena merasa kajiannya menarik dan “logis”, meskipun pasti ada yang tidak setuju dengan premis-premis dasar dari penulisnya. Pada artikel hasil terjemahan ini, catatan kaki sebanyak 12 itu, kami “potong” hingga menjadi 11, karena 1 catatan kaki berisi ucapan terima kasih dari penulis. Kami juga membagi artikel ini menjadi 2 bagian dan menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan memberikan catatan tambahan jika dirasa perlu.
Akhir kata, selamat membaca... selamat menikmati, semoga pemahaman kesejarahan kita semakin berkembang dan meluas.


  1. Terjemahan : Kutu Busu
Sebagai bagian dari kepulauan rempah-rempah yang pernah menjadi dongeng, Maluku Tengah menjadi terkenal bukan karena rempah-rempahnya, tetapi karena lokasinya yang sentral di antara daerah-daerah itu, dan terutama pulau Ambon, tempat yang ideal untuk pemindahan barang. Cengkih telah dikenal di Roma kuno, dan gelombang demi gelombang pedagang dan petualang asing, Melayu, Cina, Arab, India, Spanyol, Portugis, dan akhirnya Belanda, datang ke pantai-pantai Maluku untuk mencari rempah-rempah.
Dengan demikian, sepanjang sejarah mereka yang penting dan panjang, orang Ambon tidak hanya dihadapkan pada orang asing, tetapi juga dihadapkan pada atau “tunduk” pada sistem sosiokultur mereka yang berbeda dan seringkali lebih maju. Orang Ambon masih menjadi pemburu/pemotong kepala, ketika agama Hindu pertama kali diperkenalkan dari kerajaan Jawa, yaitu Madjapahit. Islam mulai penaklukannya pada akhir abad ke-15, dan kamudian dilawan oleh Katholik yang dibawa oleh Portugis pada tahun 15111. Setelah kedatangan Belanda pada tahun 1605, Protestan diperkenalkan. Transformasi masyarakat Ambon terus berlanjut, ketika masyarakat menyesuaikan diri dengan kebijakan kolonial Belanda, dan kepentingan ekonomi di Hindia Belanda. Akhirnya, lahirlah bangsa Indonesia yang “baru” pada tahun 1950a kembali memaksa orang Ambon untuk mempertimbangkan kembali tempat dimana masyarakat mereka dibentuk.
Akibat pola kontak sejarah ini, kompleksitas sosio-budaya orang Ambon menyerupai sebuah bangunan, yang didirikan berabad-abad lalu, yang fondasinya masih terlihat jelas, tetapi telah ditambahkan ruangan-ruangan, cerita-cerita dan gaya-gaya yang baru. Atapnya telah diganti, dindingnya ditambal, namun strukturnya tetap mempertahankan karakternya yang khas dan unik. Dan saat berdiri di sana, merenungkan semua keajaiban, kita dapat mendeteksi bahwa para pekerja yang masih sibuk menambah dan memperbaharui. Serupa dengan itu, sistim sosial-budaya orang Ambon terdiri dari berbagai unsur adat dan unsur pinjaman yang membingungkan – warisan dari banyak zaman sejarah. Selain itu, proses “modernisasi” (di sini didefenisikan sebagai adaptasi terhadap lingkungan sosial yang berubah), masih terus berubah dan elemen-elemen baru terus dipinjam dan dimasukan kedalam masyarakat Ambon. 


Integrasi selektif beberapa elemen asing dan penolakan elemen lain yang jelas terkait, sering membingungkan dan membuat frustrasi para pengamat asing yang peduli dengan modernisasi dan perkembangan. Yang sangat membingungkan adalah saat-saat ide atau institusi baru diserap dengan relatif mudah, sementara gagasan kontradiktif yang sudah ada sebelumnya, tetap dipertahankan. Satu kesalahan umum yang dibuat oleh orang-orang asing (Barat) adalah, memikirkan bahwa apa yang secara logis terkait dalam sistim mereka, seharusnya secara logis berhubungan dengan sistem lain. Namun, sangat jelas bahwa relasi seperti itu jelas tidak diperlukan oleh pihak peminjam (orang Ambon), atau dalam banyak kasus, tidak menarik bagi mereka. Pihak peminjam tidak menilai manfaat institusi-institusi Barat menurut terminologi Barat, tetapi mereka menafsirkannya dengan cara yang masuk akal bagi mereka, dalam kaitannya dengan budaya mereka sendiri.
Mari kita ambil contoh yang sangat sederhana, yaitu grafik statistik yang sangat besar yang banyak ditemui di kantor Kepala Desa orang-orang Ambon. Dalam terminologi Barat, grafik seringkali tidak terlalu penting, tetapi bukan itu intinya. Para Kepala Desa mengadopsi hal itu, bukan karena kepentingan demografi, tetapi karena hal itu mewakili aspek penting dari kekuasaannya sebagai perwakilan sah dari Pemerintah Indonesia. Bagan dinding, mesin ketik, Surat Pengangkatan, dan atribut kekuasaan modern lainnya melengkapi indikator-indikator tradisional, seperti memiliki pesona magis tertentu, “tahta” khusus di dalam gereja, atau ruang “khusus” di masjid. Dari sudut pandang para pemimpin, atribut ini melengkapi satu sama lain, meskipun tampaknya tidak sesuai bagi kami (orang Barat).
Hal itu adalah hubungan antara kekuasaan dan penyerapan unsur-unsur budaya baru, yang terutama saya (penulis) perhatikan di sini. Dalam konteks masyarakat Ambon, bidang-bidang sosial, politik, agama, dan magis, yang secara khusus beriringan dengan kepercayaan, adat istiadat, atau institusi yang berasal dari sistem dan zaman yang berbeda, justru merupakan bidang-bidang yang sangat sarat dengan kekuasaan, materi atau supernatural. Hal demikian merupakan hipotesis saya, bahwa ada relasi yang erat antara konsepsi kekuasaan oleh orang Ambon dan keinginan orang Ambon untuk mengadopsi unsur budaya baru dan mempertahankan yang telah lama, bahkan yang bertentangan sekalipun. Saya mengemukakan bahwa, ketika pendatang baru yang tidak dapat mereka hadapi dalam kaitannya dengan pengetahuan tradisional tentang dunia yang dihadapi orang Ambon, mereka tidak secara langsung membandingkan “kelebihan” sistem sosial budaya mereka dengan sistem orang asing; mereka juga tidak menganggap bahwa sistem baru itu, mungkin membatalkan sistem mereka sendiri. Sebaliknya, mereka menafsirkan keunggulan tantangan yang tampak dalam pengertian ketidakseimbangan ke dalam akses kekuasaan. Di mata orang Ambon, bukan keunggulan sistem baru yang menyebabkan dominasi mereka, melainkan fakta bahwa orang asing memiliki akses ke sumber kekuasaan yang sebelumnya tidak diketahui. Meskipun mungkin ada banyak alasan untuk menerima elemen budaya baru, pertanyaan tentang kekuasaan adalah salah satu yang paling krusial, dimana elemen-eleman baru diserap dan biasanya “disinkretisasi” kedalam sistem, dan elemen-elemen tradisional tetap dipelihara2.

Konsep Kekuasaan dalam Masyarakat Ambon

                Bagi masyarakat Ambon, kekuasaan merupakan kekuatan internal yang merupakan sesuatu yang intrinsik bagi seseorang atau objek. Ini adalah sejenis kekuatan magis, yang pada dasarnya tidak terjelaskan, tidak berbentuk, dan tak berwujud; namun ia “konkret”, dalam arti ia adalah entitas di alam semesta3. Secara tradisional, kekuasaan terkandung dalam semua aspek alam, organik dan anorganik. Manusia, nenek moyang, roh, hewan, dan tumbuhan, semuanya memiliki kekuatan tertentu, seperti halnya batu, mata air, angin, dan benda-benda langit. Kekuasaan juga dapat hadir dalam benda-benda buatan manusia, seperti senjata, jimat, dan benda pusaka, serta dapat terwujud dalam kata-kata yang diucapkan, dan dalam strata sosial. Jumlah kekuatan impersonal yang terkandung dalam benda atau makhluk (meskipun dari jenis atau kelas yang sama) itu bervariasi, dan mengungkapkan dirinya melalui kemujizatannya. Kecakapan fisik dan keberanian seseorang, atau efektifnya pedang atau tombak, bukan hanya tanda-tanda eksternal, tetapi juga ukuran kekuatan dari kekuatan dari dalam ini. 


Manusia berada dalam posisi untuk mengontrol atau memanipulasi kekuatan lain, termasuk milik orang lain. Memang, di masa pengayauan (potong kepala), ia harus melakukannya untuk memastikan kelangsungan hidupnya sendiri. Secara berkala, ia harus memanfaatkan kekuatan seseorang untuk memperbaharui miliknya sendiri, dan untuk menjamin kesejahteraan dan kesuburan kelompok dan hasil panennya. Untuk meningkatkan kekuatan hidupnya sendiri, ia harus keluar dan mengambilnya dari orang lain. Pemburu kepala (pemotong kepala) harus membunuh agar bisa hidup, pekerjaan yang berbahaya tapi sangat penting.
Dengan cara yang sama, kekuatan lain harus ditangani, dan dapat dimanfaatkan, dimanipulasi dan dikendalikan untuk tujuan manusia. Penanganan senjata dengan tepat akan membawa kemenangan dalam pertempuran dan kesuksesan dalam berburu. Kepemilikan terhadap suatu batu tertentu menjamin kekebalan. Para leluhur, pembuat hukum manusia, dapat dikendalikan dengan mematuhi aturan hidup mereka, dan “menenangkan” mereka, jika hukum mereka tidak ditaati/dilanggar. Para leluhur juga dapat digunakan untuk mengimbangi kekuatan lain, misalnya, mereka dapat secara aktif membantu dalam perang atau mereka dapat melindungi negeri/desa dari roh-roh jahat. Selain itu, kekuatan roh yang membawa penyakit dan kematian, dapat diselidiki jika seseorang mengetahui formula sihir yang benar, dan dengan mengetahui rahasia pengendalian roh, seseorang dapat mengarahkan kekuatannya untuk membawa/mengirim penyakit kepada pihak musuh. Kekuasaan, dalam pengertian ini adalah amoral; itu bisa ia gunakan secara positif atau negatif, tergantung pada niat seseorang. Para roh dan penyihir menyalahgunakannya; para leluhur dan para penyembuh biasanya menanganinya dengan cara yang baik, meski terkadang hal sebaliknya bisa terjadi. Moralitas tidak berada dalam kekuasaan tetapi di dalam pelakunya atau para penggunanya. Yang lain menilai orang seperti itu dalam kerangka kode etik tradisional atau diadopsi, yang dianggap dapat diterapkan dalam konteks tertentu.
Tidak semua orang dapat mengontrol kekuatan tradisional atau memiliki keberanian untuk melakukannya, karena kebanyakan dianggap berbahaya. Akuisisi banyak kekuatan tunduk pada aturan tertentu dan terkadang diperuntukan bagi orang-orang dalam posisi sosial tertentu. Namun, ketika itu datang untuk dimanfaatkan kekuatan baru, yang sebelumnya tidak dikenal, aturan-aturan itu ditangguhkan, atau lebih tepatnya, minimal pada awalnya, tidak ada aturan yang mengatur akuisisi hal itu. Dengan demikian, kekuatan yang baru bisa dicapai oleh siapa saja, terlepas dari posisi sebelumnya dalam masyarakat dan ini dapat berdampak besar pada struktur sosial.
Elemen penting untuk mendapatkan akses ke segala jenis kekuatan, entah tradisional atau baru, adalah menemukan “kunci” yang tepat untuk memanipulasi dan mengontrolnya. Kunci, kata Melayu untuk kata Key, sebenarnya digunakan pada saat ini, untuk menggambarkan kata-kata atau objek yang dibutuhkan untuk membuka pengetahuan esoterik secara umum, atau membua jalan menuju kekuatan rahasia tertentu dari seseorang atau sesuatu yang lain. Tetapi tidak hanya cukup untuk mendapatkan kuncinya. Seseorang juga harus menggunakannya secara persis dengan cara yang ditentukan. Dalam pengendalian sumber-sumber kekuatan tradisional, pengulangan yang tepat dari formula yang diberikan, atau pengulangan yang tepat dari ritual yang ditentukan, memastikan keberhasilan, sementara perubahan kecil secara mendetail dapat membahayakan pelaksanaannya. Di awal upaya mereka untuk menangani kekuatan baru, oleh karena itu, orang Ambon berasumsi dengan anologi, bahwa mereka dapat memperoleh hasil yang sama seperti orang asing, dengan meniru perilaku mereka secara tepat/persis.
Jadi, orang-orang Ambon beradaptasi, dan sering secara sadar mencari elemen-elemen dari sistem yang “mengganggu” tersebut, yang mereka anggap sebagai kunci menuju kekuatan baru atau kekuatan-kekuatan di wilayah yang dirasakan kurang, atau dimana peningkatan kekuatan dianggap menguntungkan. Pada periode-periode sebelumnya, kurangnya kekuatan dirasakan di berbagai bidang sosial. Itu juga mempengaruhi individu, seluruh kelompok, atau keduanya. Namun, biasanya orang Ambon berusaha untuk mempertahankan, meningkatkan, atau menggabungkan kembali kewibawaan pribadi dan sosial mereka; mempertahankan status dan prestise pribadi mereka; dan meningkatkan identitas sosial mereka dengan cara mendapatkan akses ke beberapa sumber kekuatan baru. Namun, apapun motivasinya, hasilnya tetap sama, yaitu unsur-unsur baru dimasukan ke dalam sistem masyarakat Ambon pada titik-titik tertentu dalam sejarah mereka.


Akumulasi Kekuatan Politis

                Mari kita lanjutkan pembahasan yang tidak terlalu abstrak, dengan melihat beberapa contoh konkrit yang diambil dari sejarah politik Ambon, yang menggambarkan pemanfaatan dan penyerapan kekuatan baru. Meskipun sejarah agama Hindu di Maluku Tengah masih belum terlalu jelas, tradisi lisan dan bukti arkeologi orang Ambon menujukan bahwa para pangeran Jawa dari Madjapahit dan Tuban berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil di Maluku, sebelum abad ke-16. Secara umum, pengaruh agama Hindu terhadap kehidupan masyarakat Ambon, tampaknya sangat minim, dan pengayauan (potong kepala/perburuan kepala) tetap menjadi pusat kehidupan mereka. Gagasan dan institusi politik Hindu-Jawa tertentu diterima secara luas, dan meskipun dimodifikasi, tetap menjadi bagian dari budaya Ambon saat ini. Posisi Kepala Desa diperkenalkan pada era ini, atau setidaknya meningkat pesat, dengan proses pengadopsian gelar-gelar Hindu, seperti Radja, atau Patih untuk Kepala Desa/Pemimpin Negeri. Konsep tentang sakti/kesaktian, yaitu kepercayaan bahwa radja atau king “diselimuti” dengan kesaktian khusus secara turun temurun, itu diadopsi. Bagi orang Ambon, konsep ini merupakan penjabaran dari keyakinan mereka sendiri, bahwa pemimpin perang, atau pejabat/pemimpin lainnya memiliki kekuatan magis tertentu. Satu-satunya perbedaan adalah sumber kekuatan baru ini, diyakini berasal langsung dari arca agama Hindu, lingga4, atau dewa yang diwakilinya. Dewa-dewa ini dan representasi mereka, kemudian menjadi “korban” atau “tergantikan” oleh para “dewa” tertinggi dari Islam dan Kristen, namun konsep sakti tetap bertahan sampai sekarang, dan terutama penting di negeri-negeri/desa Muslim, dimana radja memiliki otoritas politik dan agama.
Sejarah Islam di Maluku juga masih harus ditulis. Karena ketidakpastian yang menyelimuti kedatangan Islam, maka hal itu hanya dapat berspekulasi bahwa Islam dijadikan atau dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan baru  oleh kerajaan-kerajaan orang Ambon, ketika konflik muncul di antara mereka. Hal ini mungkin terjadi pada satu titik dalam kaitannya dengan perebutan supremasi antara kerajaan-kerajaan Maluku Utara yang paling kuat, yaitu Ternate dan Tidore, karena kedua kerajaan ini tampaknya telah menguasai loyalitas sebagian dari penduduk Ambon. Apapun alasan penerimaan Islam, Allah yang telah menganugerahkan kekayaan yang begitu besar kepada para pemeluknya, pasti merupakan sumber kekuatan yang luar biasa bagi orang Ambon. Sumber ini dibuat lebih menarik karena persyaratan-persyaratannya langsung dan mudah dipahami untuk dimanfaatkan. Radja juga dapat meningkatkan kekuatan pribadinya, melalui pengadopsian Islam karena tidak membedakan antara kekuatan politik dan spiritual. Melalui Islam, radja menjadi penghubung langsung dan perantara antara Allah dan rakyatnya, memungkinkan ia untuk secara penuh dan eksklusif mengendalikan sumber kekuatan yang paling kuat ini. selain itu, dalam beberapa kasus, tampaknya bahwa masyarakat Ambon tidak hanya menerima gagasan baru, tetapi juga mengadopsi para pembawa/pendukungnya. Para imigran Islam kadang-kadang diangkat sebagai kepala desa, mungkin karena mereka memiliki pengetahuan terbesar tentang kekuatan baru5.
Portugis, yang pada awalnya tidak berhasil dalam usaha awal untuk mengubah kaum Muslim menjadi Katholik, juga pada awalnya tidak beruntung lagi di antara kaum pagan. 16 tahun setelah kedatangan mereka, mereka berhasil mengalahkan armada besar kapal-kapal Jawa, Banda, dan Makasar, meninggalkan kerajaan Islam Hitu menuju ke Ternate; dan pada saat itu beberapa negeri/desa “kafir” meminta untuk dibaptis. Dalam beberapa dekade, sebagian besar negeri/desa non-Islam, di luar pedalaman Seram, juga mengikuti (Schurhammer 1963: 663-665).
                Beberapa alasan untuk konversi agama baru yang tiba-tiba ini, tampak cukup jelas. Orang-orang Muslim rupanya membuat para penganut pagan (kafir) dalam pelarian, dan kaum pagan melihat bahwa Portugis sebagai sekutu yang kuat, sehingga mereka bisa melawan musuh-musuh mereka. Dari sudut pandang pragmatis, persahabatan dengan Portugis berarti memiliki akses ke sumber kekuatan fisik. Portugis, meskipun jumlahnya sedikit, memiliki dan mungkin dapat memasok senjata yang lebih unggul daripada tombak dan parang mereka sendiri. Senjata semacam ini sangat dibutuhkan, karena kaum Muslim telah memiliki beberapa senapan dan meriam 6. Persenjataan yang unggul adalah salah satu elemen budaya, yang jarang menemui hambatan ketika disebarkan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tidak terkecuali juga pada masyarakat Ambon.
                Namun, akses ke kekuatan fisik tampaknya hampir tidak menjadi alasan yang cukup untuk menerima Katholik, dan Portugis tidak dalam posisi untuk memaksakan agama mereka kepada orang Ambon. Tampaknya, orang-orang Ambon “pagan” menerima agama Kristen, setelah pertempuran laut yang besar karena hasilnya menunjukan kekuatan “Dewa” Kristen yang lebih tinggi. Bagaimana mungkin orang Portugis, yang jumlah sedikit sekali, melawan musuh yang memiliki senjata yang sama, bisa begitu tak terkalahkan?. Jelas, mereka (Portugis) memiliki kekuatan “magis” pelindung hebat yang mereka miliki. Penduduk pribumi bahkan dapat menyaksikan pemindahan kekuatan ini dalam bentuk roti dan anggur suci yang diberikan kepada orang asing oleh para pendeta mereka. Para pendeta ini mengklaim bahwa mereka memakan daging dan darah Tuhan mereka, untuk memberi mereka kekuatan, sebuah konsep yang tidak asing atau telah dikenal oleh para pemotong kepala, yang kadang-kadang meminum darah atau otak dari musuh-musuh mereka yang terbunuh karena alasan yang sama. 


Dengan demikian, melalui baptisan, orang Ambon berharap untuk memanfaatkan sumber kekuatan yang unggul ini, dan mendapatkan kembali keseimbangan kekuatan dengan kaum Muslim. Kekristenan menawarkan sumber kekuatan alternatif dalam upaya mereka untuk melawan aneksasi politik. Para radja, biasanya adalah orang pertama yang pindah agama, juga dapat meminjam sebagian kekuatan Portugis melalui baptisan, dan dengan demikian meningkatkan status dan kewibawaan pribadi mereka. Ayah baptis mereka, seringkali pejabat tinggi Portugis, tidak hanya menganugerahkan nama kehormatan “Dom” kepada mereka, tetapi juga memberi mereka dengan nama depan agama Kristen dan juga nama keluarga mereka sendiri. Rakyat jelata hanya menerima nama depan agama Kristen. Ketika Sinapatti, Radja Nusaniwe dibaptis, ia mengambil/menggunakan nama Dom Thomas de Soysa7. Demikian pula gelar lain seperti capitao, pemimpin perang, diadopsi untuk gelar pejabat adat lainnya.
                Setelah Portugis mapan di wilayah itu, pemerintahan mereka menjadi penindas baik kepada kaum Muslim maupun Kristen. Tetapi meskipun ada upaya oleh kedua kelompok itu untuk melepaskan diri dari Portugis, agama Katholik tetap tertanam kuat. Beberapa negeri/desa Kristen masuk Islam sebagai masalah strategi politik, tetapi cepat atau lambat dikembali secara paksa. Pemaksaan juga mengakibatkan konversi beberapa negeri/desa Muslim menjadi Kristen. Secara umum, bahkan di bawah tekanan besar dari kedua belah pada berbagai waktu, negeri-negeri dengan teguh berpegang pada agama mereka yang mereka adopsi pertama kali.
Kedatangan kapal Belanda pertama di Maluku Tengah memberikan harapan baru bagi masyarakat Ambon. Belanda tidak hanya disambut tetapi sebenarnya secara aktif dirayu untuk datang dan menetap8. Setelah Belanda mengusir Portugis pada tahun 1605, transisi dari Katholik ke Protestan Calvinis Belanda berjalan dengan mulus. Bentuk ibadahanya diubah, tetapi banyak kebiasaan Katholik (misalnya, berpakaian hitam ke gereja) masih tetap dilakukan. Situasi politik segera kembali ke kondisi yang berlaku di zaman Portugis.
Awalnya, orang Ambon memperkirakan bahwa Belanda memiliki kekuatan bahkan lebih tinggi/unggul dari Portugis, dan orang Ambon melihat mereka sebagai kunci untuk mendapatkan kembali kemerdekaannya sendiri. Orang Ambon benar dalam perkiraan pertama tetapi sayangnya salah dalam estimasi (perkiraan) yang kedua. Tidak lama setelah Belanda memapankan diri, mereka mencoba memberlakukan monopoli rempah-rempah yang terkenal itu. Tindakan ini sangat dibenci, tidak hanya oleh kaum Muslim yang menguasai sebagian besar wilayah produksi cengkih, tetapi juga oleh orang-orang Kristen yang dipaksa untuk memasok kapal perang dan prajurit untuk berperang melawan negeri/desa manapun yang melawan Belanda. Selama apa yang disebut sebagai Perang Ambon antara tahun 1622 dan 1656, penduduk Maluku Tengah musnah, dan ratusan ribu pohon cengkih dihancurkan. Kaum Muslim dan Kristen sering berperang secara berdampingan, tetapi Belanda biasanya mampu, seperti Portugis sebelumnya, untuk memainkan satu kelompok melawan kelompok lainnya. Selama periode ini, tidak ada kekuatan spiritual baru yang dapat digali, [pesona] agama Kristen menurun, dan kekuatan tradisional yang kuno dihidupkan kembali.
150 tahun berikutnya ditandai dengan penindasan dan eksploitasi. Semua perlawanan orang Ambon sia-sia. Setelah peralihan Inggris, pemberontakan terakhir berskala besar yang melibatkan baik Kristen mupun Muslim pecah tetapi dengan cepat dihancurkan. Segera, perubahan bertahap tetapi sangat menentukan terjadi dalam relasi-relasi  Belanda dan Orang Ambon. Belanda, dalam upaya memperluas operasinya di bagian barat Indonesia, membutuhkan aparat administratif dan militer yang semakin banyak. Wilayah utama perekrutan personel itu adalah wilayah Kristen, khususnya Maluku Tengah, karena di mata Belanda, orang Kristen lebih bisa dipercaya daripada orang lain.
Untuk mempersiapkan administrator dan serdadu tingkat rendah, semakin banyak sekolah dibuka untuk mendidik anak-anak Kristen. Penggunaan bahasa lokal dilarang. Pengajaran dilakukan dalam bahasa Melayu dan kemudian juga dalam bahasa Belanda. Sejak “nama besar” cengkih telah lama memudar, dan daerah itu miskin secara ekonomi, orang-orang Ambon Kristen mengambil kesempatan mereka. Mereka ingin, tidak hanya meningkatkan diri secara ekonomi, tetapi juga mendapatkan kembali takdir, rasa harga diri dan rasa hormat oleh orang lain.
Agama kristen dan pendidikan barat menjadi kunci kekuatan baru yang ditawarkan Belanda. Upaya Belanda untuk menghidupkan kembali Kekristenan dengan mudah diterima, dan segera orang Kristen berbicara tentang diri mereka sendiri, seperti memiliki pangkat Serani (pangkat Kristen) yang mirip dengan pangkat atau status orang Eropa dan di atas orang lain (Kraemer 1958: 14). Orang Ambon juga menyebut agama mereka sebagai Agama Ambon dan mereka “membentengi” hal itu dari orang-orang Kristen lainnya yang berpotensi mengancam posisi istimewa mereka dalam sistem kolonial Belanda. Upaya pengecualian yang paling menonjol ditujukan terhadap orang Kristen Cina, yang terkadang, menolak akses ke gereja utama di Ambon dengan alasan bahwa mereka bukan orang Ambon (Kraemer 1958: 20).
Demikian pula, pendidikan Barat segera diadopsi bukan karena tiba-tiba haus akan pengetahuan, tetapi untuk mendapatkan status. Banyaknya sekolah di Kota Ambon tidak cukup untuk “memenuhi amukan dashyat untuk belajar bahasa Belanda”.  Pengangguran di antara lulusan dari sekolah-sekolah ini sangat tinggi, dan sebagian besar kembali ke negeri/desa mereka sebagai “pemalas” karena mereka telah memperolah status yang melarang mereka bekerja dengan tangan atau membanting tulang. Dari sini, menjadi jelas bahwa bukan hanya mobilitas ekonomi yang mendorong kemajuan masyarakat Ambon; pertimbangan ekonomi hanyalah salah satu aspek dari pencarian status dan prestise. Akibatnya, orang Kristen Ambon berjuang untuk mendapatkan kekuatan yang sama seperti yang dimiliki Belanda. akhirnya, mereka menganggap diri mereka sebagai “Orang Belanda Hitam” dan wilayah mereka sebagai “provinsi ke-12 Belanda”. Orang Ambon melihat Belanda sebagai sumber dari segala kekuatan duniawi dan spiritual. Sebagai bukti bagi yang satu ini, bisa dikutip tentang inisiatif penolakan umat Kristen Ambon untuk menerima administrasi sakramen oleh pendeta lokal/pribumi. Transfer sakramen dari tangan putih disamakan dengan transfer “kekuatan putih”, dan ketika sakramen dipegang/dilakukan oleh tangan hitam, diyakini bahwa mereka telah kehilangan banyak efektivitasnya (Tutuarima 1960: 155). 


Sebelum periode ini, Kepala Desa adalah yang paling berperan dalam proses adaptasi elemen-elemen/unsur baru, tetapi dengan kebutuhan khusus kekuasaan pemerintah kolonial, menjadi terbuka untuk semua orang,  dan tampaknya setiap orang Kristen berebut untuk itu. Hal ini mengakibatkan hilangnya status radja yang cukup besar. Jika hipotesis tentang relasi antara akses kekuatan dan penerimaan unsur-unsur budaya baru dipertahankan, maka diharapkan masyarakat Muslim Ambon meniru saudara-saudaranya yang Kristen, akan berusaha meningkatkan posisinya dengan menuntut akses ke pendidikan barat. Radja Muslim sebenarnya berhasil mencapai tujuan ini, sementara pada saat yang sama mencegah kemajuan serupa di antara rakyatnya.
Radja Muslim, tokoh penting di negeri/desanya sebagai pemimpin spriritual dan sekuler komunitasnya, juga merupakan penghubung utama dengan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, Belanda menetapkan bahwa anak-anak Radja yang beragama Islam ini boleh bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, tetapi rakyat jelata tidak bisa. Radja segera menyadari keuntungan dari kebijakan cerdik ini. status baru mereka dinaikan ke tingkat yang sama dengan orang Kristen, sebanyak yang mereka bisa harapkan; dan pada saat yang sama akses eksklusif mereka ke pendidikan barat semakin meningkatkan kekuatan dan status mereka di negeri mereka sendiri. Karena alasan ini, mereka memiliki kepentingan mempertahankan status quo, dan secara aktif atau pasif mencegah aspirasi apapun dari rakyatnya agar tidak mendapatkan akses ke pendidikan barat. Mereka tidak membagi kunci kekuatan mereka9.
Situasi saat ini di Ambon sangat kompleks. Umat Kristen Ambon, yang pernah berada di puncak hierarki pribumi di seluruh Indonesia, telah mengubah diri mereka sendiri ke dalam ceruk sosio-ekologis yang sangat sempit. Karena kerjasam mereka dengan Belanda, orang Ambon paling “terpuruk” setelah kemerdekaan Indonesia. Dengan berbasis di wilayah Maluku Tengah, orang Ambon kehilangan kekhasan mereka, dan saat ini, mereka sedang berjuang untuk menjadi yang terdepan dari umat Islam. Sama seperti Kekristenan yang mengembangkan ambisi mereka di masa Belanda, Islam menjalankan peran yang sama untuk saudara Muslim mereka di hari ini. Kedua kelompok memandang pendidikan, yang sekarang tersedia untuk semua orang sebagai kunci bagi kemajuan pribadi dan sosial.
Saat ini perebuatan kekuatan politik dan pengakuan sosial melibatkan tidak hanya orang Ambon Kristen dan Muslim, tetapi juga kelompok etnis dari Maluku bagian selatan dan utara. Strategi bervariasi; beberapa orang telah berpaling ke dalam dan mencari kekuatan dalam budaya tradisional, yang lain melihat ke negara baru yaitu Indonesia, beberapa bahkan mencoba untuk memanfaatkan langsung sumber-sumber kekuatan di luar cakrawala Indonesia. Mengesampingkan pergulatan internal, sebagian besar orang Ambon setuju bahwa masyarakatnya harus bertahan hidup di dunia modern. “Pengembangan” dan “peningkatan penilaian” telah menjadi semboyan baru. Secara signifikan, istilah bahasa Inggris “up-grading” yang tiba di Ambon melalui Jawa dengan jelas menunjukan, bahwa orang Ambon masih memandang perbedaan antara sistem sosial budaya mereka sendiri dan sistem masyarakat yang lebih maju, secara kuantitatif daripada kualitatif. Saya mencoba untuk menunjukan bahwa hal ini benar selama sejarah orang Ambon, dan saya sampaikan bahwa di bidang politik, ini berarti penyerapan unsur-unsur budaya asing, yang diyakin dapat memulihkan/mengembalikan keseimbangan kekuatan.

====== bersambung ======


Catatan Kaki

  1. Pada abad ke-16, Portugis mengkonversi semua desa yang menolak Islam kecuali di pedalaman Seram. Daerah ini tidak menarik bagi Portugis maupun Belanda dan hanya ditaklukkan sesaat sebelum Perang Dunia
  2. Saya telah membahas proses sinkretisme antara elemen budaya baru dan lama di makalah lain (Bartels 1976).
  3. Pembaca akan melihat kesamaan tertentu antara konsepsi Ambon tentang kekuatan dan ide-ide kekuataan di bagian lain Indonesia, misalnya, yang diuraikan secara rinci untuk Jawa oleh Anderson (1972: 7-8 dan seterusnya). Perlu dicatat bahwa di Maluku Tengah, di persimpangan antara Indonesia dan Melanesia, gagasan tentang kekuataan tidak pernah sedetail di Jawa dan bahwa konsep orang Ambon mungkin lebih dekat hubungannya dengan konsep Melanesia tentang Mana. (Untuk ringkasan mana yang sangat ringkas, lihat Hoebel 1966: 468-469.)
  4. Patung-patung ini rupanya disembah sampai abad ketujuh belas (lihat Rumphius 1910 (2): 991 dan Valentijn 1726 (3): 4-5). Tichelman melaporkan penemuan patung Siwa emas di Amahai, Seram (1960: 177)
  5. Beberapa kepala desa Muslim menelusuri keturunan mereka ke tempat-tempat seperti Baghdad, Mesir, Pasei (Sumatra), Malaka, dll. Karena klaim tersebut tampaknya tidak menguntungkan secara politis, klaim keturunan langsung dari Nabi akan diterima, dan karena tempat-tempat itu tidak terlalu suci bagi Islam, diragukan bahwa mereka tidak benar. Tidak jelas apakah para imigran Muslim awal ini selalu secara sukarela diangkat sebagai raja atau tidak, tetapi perkawinan silang mungkin memainkan peran penting.
  6.  Galvao dalam bukunya A Treatise on the Moluccans (c.1544) melaporkan bahwa di Maluku Utara senjata-senjata seperti itu digunakan disamping senapan tradisional. senapan -senapan "modern" ini diimpor dari Malaka, Jawa dan Banda yang diperdagangankan melalui rute Ambon (Jacobs 1971: 165)
  7. De Soysa berasal dari nama Portugis de Souza. Nama-nama Portugis ini tidak pernah “digantikan” dan banyak marga raja di semenanjung Leitimor di Ambon masih menggunakan nama-nama Ambon dari para ayah baptis nenek moyang mereka, misalnya, de Quelyu (Portugis: de Coelho), Loppies, Lopis, (Lopez), Gaspers (Gasparis ), dll. Namun, tidak semua nama Portugis diberikan pada mereka, beberapa akibat perkawinan silang (Abdurachman 1973: 139).
  8. Rumphius (1910 (1): 22) melaporkan bahwa utusan Ambon dikirim ke Jawa untuk meminta Belanda kembali ke Ambon tidak lama setelah mereka pertama kali muncul di perairan Maluku.
  9. Sebagian karena alasan yang sama bahwa banyak raja Muslim berpihak pada orang Kristen dalam upaya mendirikan RMS pada tahun 1950. Hilangnya kekuasaan, ketakutan akan "tenggelam di laut Muslim", dan ancaman pembantaian oleh pasukan Jawa yang membalas dendam atas dukungan Kristen kepada Belanda, adalah beberapa alasan utama deklarasi kemerdekaan Maluku Selatan (RMS)

Catatan Tambahan
a. Dieter Bartels menulis tentang kelahiran Negara Indonesia baru pada tahun 1950, dalam pemahamannya tentang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia yang dilakukan oleh Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar