Kamis, 13 Agustus 2020

Jung-jung di Mare Clausum : Relasi Cina – Maluku dalam Perang Rempah-rempah, 1607 – 1622 (bag 1)


Oleh :
Guanmian (Victor) Xu



  1. Kata Pengantar

Artikel ini mungkin bisa “dianggap” sebagai kelanjutan dari 2 kajian yang dilakukan oleh Roderich Ptak, yang juga pernah disajikan di blog ini. Meskipun merupakan kelanjutan, artikel ini ditulis oleh Guanmian (Victor) Xu, yang memperoleh gelar Master of arts di Universitas Leiden Belanda.
Pada artikel ini, Guanmian Xu mengkaji tentang relasi Cina-Maluku pada awal abad ke-17, ketika Belanda (VOC) mulai memonopoli jalur-jalur perdagangan, yang lebih dikenal dengan kebijakan Mare Clausum, Laut(an) Tertutup. Ia menyebutkan bahwa meski VOC menjalankan kebijakan Mare Clausum, namun “uniknya” para pedagang Cina masih tetap “berkeliaran” di lautan tertutup itu.
Kelebihan dari artikel ini, mungkin adalah Guanmian Xu menambahkan aspek lain yang jarang disentuh oleh penulis lain, yaitu aspek budaya Cina yaitu aspek sastra dalam konteks penggunaan aromatik eksotis yaitu cengkih dalam kehidupan para sastrawan.
Artikel ini aslinya berjudul Junks to Mare Clausum : Conections China-Maluku in Spice Wars, 1607 – 1622, yang dimuat pada Jurnal Itinerario, volume 44, spesial isu 1 (Violence, Migration,and Gender in the Portuguese and Spanish-speaking World), April 2020, hal 196-225. Artikel sepanjang 30 halaman ini terdiri dari 21 halaman kajian, 5 halaman untuk bibliografi, 4 halaman untuk catatan kaki yang sebanyak 145 catatan kaki, 4 buah peta dan 1 gambar.
Kami menerjemahkan artikel ini dalam 2 bagian agar lebih “ringkas” dan bisa diikuti. Jika dirasa perlu untuk memasukan catatan tambahan, maka kami akan menambahkannya. Akhir kata selamat membaca....selamat “memungut” informasi tentang masa lalu kita, sehingga semakin luas perspektif kesejarahan kita dalam memahami masa lalu yang membentuk kita di masa kini.

 
Guanmian (Victor) Xu

  1. Terjemahan : Kutu Busu

Jauh lebih kusut secara global daripada yang umumnya dipikirkan oleh banyak sejarahwan dunia, yang disebut Perang Rempah-rempah bukan hanya kisah tentang ekspansi Eropa dan interaksi Asia Tenggara, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan Cina di bagian utara. Dari penangkapan jung-jung Cina yang melayani orang-orang Spanyol di Ternate oleh Cornelis Matelif pada tahun 1607, hingga penyelesaian naskah pertama dari ringkasan tentang kemenyan (Xiangsheng) oleh Zhou Jiazhou di Jiangnan pada tahun 1618, dan kemudian usulan kebijakan monopoli yang aneh oleh Jan Pieterszoon Coen kepada Heeren XVII (Tuan-tuan 17) di Republik Belanda pada tahun 1622, peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak berhubungan ini, sebenarnya merupakan fragmen dari sejarah global cengkih yang tak terkatakan, yang tidak mengarah ke bagian barat, ke Samudra Hindia, Timur Tengah, dan Eropa, tetapi terhubung ke bagian utara dengan dunia Asia Timur melalui rute Manila.


Pendahuluan

                Pada awal sejarah modern, perairan yang mengelilingi beberapa pulau kecil di bagian timur kepulauan Indonesia adalah ajang kontes global. Sebagai satu-satunya tempat dimana cengkih, buah pala dan bunga pala diproduksi, pulau-pulau ini tidak hanya menarik para pedagang dari seluruh Asia, tetapi juga pedagang dari Eropa dari setengah dunia jauhnya. Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, semuanya melengkapi armada untuk (semi -) mengelilingi dunia melalui rute yang berbda untuk mendekati pulau-pulau ini untuk memperoleh rempah-rempah, dan untuk mencegah yang lain memperolehnya. Persaingan mereka berangsung-angsur meningkat, dan akhirnya menyebabkan serangkaian perang kolonial pada awal abad ke-17, ketika VOC berusaha untuk sepenuhnya memonopoli seluruh perdagangan rempah-rempah. Akhirnya, dengan menghilangkan semua pesaing Eropa dan lokal, VOC dapat mendeklarasikan hegemoni pada tahun 1660an, dan sejak saat itu dengan waspada menciptakan perairan ini tertutup bagi pedagang asing sampai akhir abad berikutnya1.
                Sejarah global rempah-rempah ini menarik bagi persaingan Eropa, tetapi hubungan Asia tidak kalah menariknya. Perdagangan Asia pada rempah-rempah Maluku, telah ada jauh sebelum kedatangan kekuatan-kekuatan Eropa, dan bertahan serta terus berkembang selama periode kolonial2. Artikel ini, bukan yang pertama mempermasalahkan sejarah global rempah-rempah Eropasentris. Dimulai dengan J.C. van Leur dan B. Schrieke, generasi-generasi para sarjana yang telah mengabdikan diri mereka untuk mengkaji relasi Asia3. Dengan meneliti berbagai laporan tentang aktivitas-aktivitas “penyelundupan” di kearsipan kolonial Eropa, para peneliti telah menjelaskan bagaimana kekuatan kolonial Eropa, seperti Portugis dan Belanda dikendalikan oleh sumber daya mereka, sehingga pedagang Asia berhasil menemukan banyak cara untuk menghindari pengawasan mereka4.
                Namun demikian, hubungan Asia dengan kepulauan rempah-rempah tetap sulit dipahami karena kelangkaan relatif sumber-sumber Asia. Akibatnya, hanya wilayah-wilayah dalam pengaruh Eropa di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang telah dipelajari dengan relatif baik5. Tentang perdagangan rempah-rempah dengan Asia Timur, sebuah wilayah yang diluar lingkup ekspansi Eropa modern awal, jauh lebih sedikit yang diketahui, meskipun beberapa sarjana dengan latar belakang dalam studi Cina, telah melakukan beberapa pekerjaan rintisan. Mereka menunjukan bahwa sumber-sumber Cina menyampaikan adanya rute utara untuk cengkih yang membentang dari Maluku sampai ke Asia Timur6. Namun, survei sistematis mereka sebagian besar berakhir dengan kedatangan Portugis pada awal abad ke-167. Pertemuan berikutnya antara jaringan Cina dan ekspansi Eropa sebagian besar masih belum dieksplorasi.
Sebuah analisis mendalam dari pertemuan itu, akan memerlukan pemeriksaan silang dari sumber-sumber Eropa dan Cina. Dengan demikian, pertama-tama kita harus memperhatikan sifat dari sumber-sumber Cina yang berbeda secara fundamental dari sumber-sumber di arsip kolonial Eropa. Perbedaan itu memerlukan pendekatan yang berbeda. Berbekal sejarah ekonomi standar, catatan perdagangan Cina yang sangat sedikit ditulis oleh para penulis, yang kebetulan memiliki minat sekilas pada daerah-daerah terpencil di luar negeri, jauh lebih tidak informatif daripada arsip-arsip yang dilestarikan secara kelembagaan oleh perusahaan-perusahaan dagang luar negeri Eropa. Dengan mengeksplorasi potensi sumber-sumber Cina, artikel ini akan memperkenalkan perspektif budaya yang membawa sumber-sumber baru, seperti tulisan-tulisan tentang budaya kemenyan Cina yang istimewa, kedalam lingkup sejarah rempah-rempah global.
Menggabungkan historiografi yang dibahasa sejauh ini, 3 jenis sumber akan diperiksa dalam penelitian ini : sumber-sumber Eropa tentang aktivitas Cina di Maluku; sumber-sumber Cina tentang perdagangan maritim Cina dengan Maluku; dan sumber-sumber Cina tentang konsumsi rempah-rempah Maluku di Cina. Dengan menyandingkan sumber-sumber ini, penelitian ini bertujuan untuk menyatukan fragmen-fragmen globalisasi ini, dan merekonstruksi koneksi Cina-Maluku selama perang rempah-rempah dari 3 aspek : Cina di Maluku, perdagangan antara Maluku dan Cina, serta rempah-rempah Maluku di Cina.
Untuk tujuan meneliti dengan cermat aspek-aspek ini dalam ruang artikel (bukan buku), penelitian ini memilih untuk fokus pada periode kritis dalam perang rempah-rempah yaitu tahun 1607 – 1622. Pada awal periode itu, Belanda dan Spanyol bertempur secara tidak meyakinkan melawan satu sama lain, dan menduduki berbagai bagian dari pulau-pulau penghasil cengkih di Maluku. Pada akhir periode ini, VOC dibawah kepemimpinan otoriter Jan Pieterszoon Coen, tampaknya telah unggul dan mulai menegakan kebijakan monopolistik yang bertujuan untuk menciptakan mare clausum (laut tertutup) dengan mengecualikan semua pesaingnya8. Tetapi, seperti yang akan ditunjukan, aktivitas Cina di wilayah ini, tidak hanya ditoleransi sebagian oleh Spanyol dan Belanda, tetapi sebenarnya menjadi elemen yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan kekuatan Eropa di wilayah ini9.
Terhadap latar belakang ini, pertanyaan dapat diajukan yaitu sejauh mana hubungan Cina dengan Maluku, memainkan peran dalam sejarah perang rempah-rempah khususnya, dan sejarah rempah-rempah global secara umum, dan mengapa. Artikel ini disusun dalam 5 bagian. Bagian ini dimulai dengan diskusi tentang konsumsi rempah-rempah Maluku yang paling penting, yaitu cengkih di Cina. Kemudian, menunjukan rute dari Cina ke Maluku. Setelah itu, bagian ketiga akan menguraikan bagaimana Cina mengkooptasi konfrontasi Belanda – Iberia di Maluku, dan mencapai mobilitas yang mengejutkan dengan berdagang dengan mereka berdua. Dua bagian terakhir berfokus pada sumber-sumber Belanda dengan menunjukan bagaimana kapal-kapal Cina yang datang dan pergi di Wilayah Maluku secara terus menerus, membangkitkan riak-riak yang jauh jangkauannya dalam sistem kolonial Belanda, dan memicu serangkaian perubahan dalam kebijakan monopoli Belanda.


Aroma dari Selatan : Cengkih dalam Budaya bau-bauan Cina

Sejarah rempah-rempah di Cina masih merupakan bidang yang sebagian besar belum dijelajahi. Masalah klasik adalah bahwa bahkan mengidentifikasi istilah Cina yang tepat untuk “rempah-rempah” dalam konteks historis adalah tugas yang menakutkan. Françoise Sabban mengemukakan bahwa dalam rezim makanan, istilah “rempah-rempah”, paling baik diterjemahkan sebagai liaowu , yang berarti  jenis bumbu tertentu termasuk daun bawang, jahe, cuka, lada, ketumbar, kulit jeruk, dan sebagainya10. Tetapi enumerasi (penyebutan satu per satu) itu, masih jauh dari lengkap, karena sejumlah besar aromatik eksotis, termasuk cengkih dan buah pala, di luar kategori itu11. Pemisahan ini, menurut pendapat saya (penulis), disebabkan oleh fakta bahwa dalam budaya material Cina, sebagian besar besar rempah-rempah eksotis tidak dikonsumsi untuk dimakan, melainkan untuk bau-bauan.
Periode kekaisaran/dinasti Song/Sung (960 – 1279 M) menyaksikan zaman keemasan aromatik eksotis ini dalam budaya bau-bauan Cina. Aroma ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bergaya sastra. Gaya baru penulisan dari periode dinasti Song, yaitu ringkan tentang kemenyan, membutkikan betapa halus dan meresapnya ruang tidur, tinggal dan membaca dari para pegawai bersarjana kontemporer yang harum oleh aromatik, baik yang dibakar dalam pembakaran dupa atau dibawa dalam bentuk kemasan12. Pada periode yang sama, aromatik ini juga menjadi bagian penting dari pengobatan Cina. Negara-kekaisaran Song, karena kepedulian ideologis dan fiskalnya sendiri,  secara aktif mengorganisasikan pengumpulan dan publikasi formula medis13. Melalui formula-formula ini secara umum dan formula farmasi kekaisaran (jufang ) secara khusus, konsumsi aromatik eksotis sebagai obat dipromosikan oleh rezim kekaisaran14.
Cengkih adalah bagian penting dari cerita itu. Bersama dengan aloeswood (gaharu), cendana, kemenyan, dan kapur barus Kalimantan, cengkih adalah salah satu aromatik eksotis yang paling sering disebutkan dalam kemenyan kontemporer dan formula medis15. Popularitas barang-barang tersebut adalah hasil dari penggunaan jangka panjang eksotika kedalam budaya material Cina sejak milenium pertama16. Dalam proses itu, cengkih memperoleh reputasi unik sebagai penyegar nafas yang paling manjur, dan sebuah anekdot terkenal mengatakan bahwa, beberapa pejabat tinggi diminta untuk meletakan cengkih di dalam mulut mereka, ketika berbicara dengan Kaisar selama masa dinasti/kekaisarn Han (25 – 220 M)17. Menjelang periode dinasti Song, lebih banyak fungsi medis dan praktis telah diakui manfaatnya yang ditujukan untuk cengkih. Di material medica dinasti Song yang disusun secara resmi, sudah ada deskripsi panjang untuk cengkih. Sifat medis yang paling penting adalah sinopsis cengkih sebagai “pedas dan hangat, tidak beracun, untuk menghangatkan limpa dan perut, untuk menyembuhkan kembung usus mendadak, berbagai jenis pembengkakan angin, dan rongga gigi”. Pada akhirnya, secara khusus ditekankan bahwa cengkih dapat “melepaskan berbagai jenis wewangian”.18

 
Gambar cengkih bahkan telah ada dalam ilustrasi nasional medikal survei dari abad ke-1119. Dalam survei itu, pegawai-pegawai lokal di komisi Canton menggambar suatu tanaman dari simalacrum cengkih, yang disebut cengkih Canton, untuk Biro Revisi Teks Medis dari Dinasti Song Utara. Biro itu mengadopsi gambar itu dan menerbitkannya dalam materia medica bergambar (Bencao tujing 草圖 ), yang pada gilirannya membentuk pemahaman visual orang Cina tentang cengkih selama berabad-abad kemudian (gambar 1). Fenomena ini perlu penelitian lebih lanjut, karena cengkih bukan satu-satunya kasus dimana pemerintah daerah Canton memvisualkan sesuatu yang mewakili simulacra dari eksotika dan mengklaim asal usul palsu benda-benda itu di Canton20.
Dinasti Mongol mewarisi kebijakan medis dari dinasti Song dan menyebarkan secara luas farmasi kekaisaran di tingkat lokal22.  Secara bersamaan, Formula farmasi kekaisaran, dimana aromatik berlimpah, tetap sangat populer, sehingga seorang dokter kontemporer yang terkenal, Zhu Zhenheng 朱震亨 (1281 – 1358) mengomel bahwa itu “ telah menjadi mode”23. Periode ini, seperti yang telah ditunjukan oleh Ptak, adalah sebenarnya periode yang tinggi dalam hubungan Cina-Maluku, karena sumber-sumber Cina secara eksplisit menunjukan beberapa pedagang dari Cina melakukan perjalanan tahunan ke Maluku untuk cengkih24.
Penurunan, seperti yang diamati Ptak, dialami pada periode awal dan pertengahan dinasti Ming (sekitar 1370an – 1550an)25. Cakupan dan penyebab penurunan itu perlu penelitian lebih lanjut. Di sini, saya (penulis) hanya dapat menunjukan sejumlah tautan potensial. Secara umum, kekaisaran Ming kurang berminat untuk mempromosikan sistem farmasi kekaisaran daripada dinasti Song Mongol sebelumnya26. Banyak farmasi kekaisaran diabaikan dan menjadi tidak terpakai lagi27. Pada saat yang sama, sekolah Zhu Zhenheng, yang paling blak-blakan mengkritik formula farmasi kekaisaran yang kaya aromatik, dan yang secara eksplisit mengkritik penggunaan cengkih yang berlebih, menjadi sangat terkenal di lingkungan istana dan di antara para sastrawan yang serupa28. Pengaruh tersebut kemungkinan membatasi konsumsi medis aromatik eksotis. Selain itu, armada-armada di awal kekaisaran Ming juga mengabaikan rute Maluku, dan untuk seluruh periode ini, hubungan langsung antara Cina dan Maluku terputus29. Dilaporkan oleh Portugis sekitar tahun 1540an, yang mengutip informan lokal, bahwa orang-orang Cina, yang “adalah orang pertama yang membeli cengkih secara grosir di pulau-pulau” telah menghentikan perdagangan itu untuk periode yang sudah lama sekali30.
                Di sisi lain, keinginan kaum sastrawan untuk membakar dupa dan membawa kemenyan dalam bentuk kemasan, untuk kesenangan dan untuk perbedaan sosial tidak berkurang. Seperti disebutkan di atas, sejak periode Song, dupa telah menjadi bagian integral dari budaya sastra Cina dan pengetahuan tentang konsumsi kemenyan telah dicatat dalam sejumlah ringkasan tentang kemanyan. Pada periode Ming awal, dari ringkasan ini, banyak formula telah dikutip dan disalin oleh beberapa ensklopedia untuk penggunaan sehari-hari (riyong leishu
日用 ). Selama periode ini, ensiklopedia ini beredar di antara para sastrawan dan berfungsi sebagai buku pedoman praktis untuk rumah tangga yang layak, dimana kemenyan (termasuk cengkih) menjadi kebutuhan sehari-hari31.
Dari abad ke-16, ensiklopedia untuk penggunaan sehari-hari mulai dipublikasikan secara masif dan komersial, dengan daya tarik bukan hanya pada kaum elit sastra, tetapi juga para para pedagang bahkan rakyat jelata32. Contoh yang baik adalah Risalah tentang Hal-hal yang Tidak berguna (長物 Changwu Zhi) atau The Treatise on Superflous Thing, yang disusun oleh Wen Zhenheng pada tahun 1621, dan diterbitkan tidak lama kemudian. Risalah itu bertujuan untuk menyebarkan cara yang elegan untuk mengumpulkan dan mengkonsumsi barang-barang di dunia, dimana batas yang membedakan selera sastrawan dan pedagang sudah menjadi kabur. Dalam bagian tentang kemenyan, disebutkan bahwa hanya keluarga terkemuka dari Marquess dari Gongshun  恭順 , yang dapat menghasilkan kue kemenyan hitam dan kuning terbaik dalam bentuk koin tembaga, sementara gaya mewah lainnya yang dijual di toko-toko kemenyan “ tidak sesuai ruang sastrawan yang tenang, tetapi untuk kamar-kamar wanita”33. Pada tahun 1991, berdasarkan buku ini, Craig Lunas menerbitkan penelitiannya yang luar biasa tentang budaya material Cina34.
Mata pencaharian kelas hiburan yang berpendidikan ini, didukung oleh ledakan ekonomi di akhir kekaisaran Ming35. Contoh yang baik adalah kehidupan dan publikasi seorang ahli kemenyan, Zhou Jiazhou  周家 (1582 – 1659 atau setelahnya). Zhou Jiazhou dilahirkan di dekat pusat komersial yang ramai di sepanjang sungai Yangtze bawah, Yangzhou36. Tidak jauh dari Yangzhou adalah Nanjing, tempat ia menetap untuk waktu yang lama37. Sebagai ibukota bagian selatan kekaisaran Ming, Nanjing menjadi tuan rumah publikasi industri yang terkenal, yang melaluinya banyak ensiklopedia dan ringkasan dicetak untuk tujuan komersial38. Kota ini juga memiliki banyak persedian eksotika dari perdagangan luar negeri; lukisan pemandangan kota Nanjing dari masa akhir kekaisaran Ming yang menunjukan toko-toko yang menawarkan “berbagai barang lengkap dari lautan timur dan barat”39.
Dalam lingkungan komersial dan budaya seperti itu, Zhou Jiazhou diterima dengan baik oleh kalangan sastrawan, bukan karena memegang posisi resmi, tetapi karena keahlian dan kemahirannya dalam konsumsi kemenyan dan pembingkaian lukisan40. Pada tahun 1643, Zhou Jiazhou menerbitkan The Record of Incenses (Xiangsheng ) setelah berpuluh-puluh tahun mengumpulkan, menyortir, menyusun, dan merevisi (manuskrip pertama selesai pada tahun 1618)41. Buku ini adalah ringkasan tentang kemenyan yang paling komphrensif yang diterbitkan di Cina pra-modern. Dalam 28 babnya, penyebutan cengkih (termasuk ranting dan kulit cengkih) tidak kurang dari 295 kali. Meskipun muncul dimana-mana di seluruh buku, cengkih paling terkonsentrasi di bab 18 dan 19. Bab 18 berjudul “ Kemenyan hasil sintesis dengan aroma bunga” (ninghe huaxiang ), yang berarti ramuan kemenyan dengan wewangian buatan yang menyerupai aroma bunga. Ada 70 formula dalam bab ini. 44 formula memiliki bahan cengkih, ranting cengkih atau kulit cengkih sebagai unsur-unsurnya. Bab 19 terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama berjudul “kemenyan untuk pakaian wangi” (xunpei zhi xiang ). Dalam bentuk ramuan atau balsem, mereka dapat ditempatkan dalam kemasan, dalam bantal, atau bahkan kipas, atau dibakar dalam pembakaran kemenyan, untuk mengharumkan pakaian dan tempat tidur. Cengkih (termasuk ranting dan kulit pohon) muncul dalam 27 dari total 44 formula. Bagian kedua, “kemenyan untuk pewangi tubuh (tufu zhi xiang ), terdiri dari aromatik campuran yang dapat langsung diterapkan ke berbagai bagian tubuh, seperti rambut, mulut, wajah dan tangan, atau ditambahkan dalam air mandi. Campuran aromatik dalam bentuk bubuk, balsem atau kapsul/pil. Cengkih (termasuk kulit cengkih) kembali memainkan peran penting, karena 9 dari 16 formula dalam bagian ini, memasukan cengkih sebagai bahan-bahannya.
Dalam kebanyakan kasus, setiap formula diatur dengan tepat. Misalnya, menciptakan aroma buatan bunga plum membutuhkan 1 tael spikenard (gansong 甘松), 1 tael basil (lingling xiang 零陵香), ½ tael cendana (tanxiang 檀香), ½ tael adas (huixiang ), 100 buah cengkih (dingxiang 丁香), dan sejumlah kecil kapur barus Kalimantan (longnao ). Bahan-bahan ini harus ditumbuk halus menjadi bubuk halus (sejumlah kecil kapur barus Kalimantan, harus ditumbuk secara terpisah), dan kemudian dicampur dengan madu dan dibentuk menjadi kapsul/pil. Kapsul ini dapat dibakar dalam pembakaran kemenyan, baik dalam kondisi kering atau basah.42


Sepanjang Rute Laut Timur : Jung-jung Cina ke Maluku

                Membaca resep-resep yang diformulasikan dengan cermat, dimana bahan-bahan eksotis berlimpah, muncul pertanyaan secara alami: darimana bahan-bahan ini berasal?. Pada akhir periode dinasti Ming, pelabuhan utama yang menghubungkan Cina dengan wilayah luar negeri, terletak di provinsi pantai tenggara Fujian. Pada tahun 1560an, setelah beberapa dekade peperangan yang tidak meyakinkan melawan penyelundupan pedagang swasta, kekaisaran Ming akhirnya mengakui dan mengesahkan perdagangan swasta/individual luar negeri. Sebuah distrik baru, Haicheng 海澄, didirikan di teluk Amoy (Xiamen). Primadona dari distrik ini adalah Yuegang 月港 (Moon Harbour), dijadikan pelabuhan utama untuk perdagangan swasta luar negeri dengan Asia Tenggara43. Pada saat Zhou Jiazhou menyelesaikan draft pertama buku tentang kemenyan di tahun 1618, Yuegang telah melewati masa jayanya. Lebih dari 100 jung yang setiap tahun berlayar ke Asia Tenggara dengan izin resmi, berhadapan dengan persaingan sengit dari pedagang ilegal dari tempat-tempat lain44.
                Cengkih dan ranting cengkih terdaftar dalam tarif khusus Yuegang. Menurut peraturan tahun 1589, tarif cengkih adalah 0,18 tael perak per 100 kati, dan untuk ranting cengkih adalah 0,02 tael per 100 kati45. Angka ini moderat, jika dibandingkan dengan komoditas penting lainnya, seperti lada (0,25 tael per 100 kati), cendana (0,5 tael per 100 kati untuk bentuk yang baik, 0,25 tael per 100 kati untuk bentuk yang tidak bagus), dan gaharu (1,6 tael per 100 kati)46. Setelah pengurangan pajak universal pada tahun 1615, tarif cengkih diturunkan menjadi 0,155 tael per 100 kati, dan lada dikurangi menjadi 0,215 tael47. Tarif pajak umumnya didasarkan pada nilai pasar48. Ini menunjukan bahwa cengkih relatif terjangkau di antara berbagai barang eksotis yang diimpor dari Asia Tenggara.
                Cengkih tersedia di berbagai lokasi Asia Tenggara. Mengikuti rute laut barat, yang membentang di sepanjang pantai barat Laut Cina Selatan, para pedagang Cina dapat menemukan cengkih di Banten, Aceh dan Champa49. Tidak ada pelabuhan yang benar-benar menghasilkan cengkih secara lokal; tempat-tempat itu berfungsi sebagai tempat penyaluran barang dalam jaringan perdagangan Asia, dimana komoditas dan orang-orang dari tempat yang berbeda, bertemu. Dari akhir abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-16, perdagangan pemindahan muatan/barang semacam ini adalah saluran utama cengkih ke Cina50.
Namun, sejak tahun 1570an dan seterusnya, Cina muncul kembali di Maluku. Selama kunjungan singkat Drake ke Ternate (3-9 November 1579), seorang Cina, yang menyatakan dirinya sebagai anggota keluarga kerajaan/kekaisaran Ming, muncul dan menceritakan kisah yang luar biasa tentang bagaimana ia telah dibuang dari Cina 3 tahun sebelumnya, membawa serta misi khusus untuk untuk mengumpulkan pengetahuan yang layak untuk Kaisar Ming (jika tidak, maka kepulangannya tidak akan diizinkan)51. 5 tahun kemudian, pada tahun 1584, Spanyol melaporkan bahwa “Ternate hanya memiliki 2.000 prajurit tetapi ada 1000 pedagang Jawa, Cina dan Aceh”52. Pada tahun 1589, ketika Gubernur provinsi Fujian mengusulkan sistem izin kapal untuk mengizinkan 88 jung dari Yuegang untuk berdagang dengan Asia Tenggara setiap tahun, kuota ditetapkan di rute Laut Timur, khususnya, untuk Maluku53.
Bukti paling ilustratif dari munculnya rute timur adalah dari peta laut yang terkenal, yaitu Selden Map (Peta Selden)54. Peta ini anonim dan tidak bertanggal. Satu-satunya hal yang kami yakini adalah bahwa penulis Mare Clausum, Jhon Selden, memperoleh peta dari seorang komandan Inggris, karena ini dicatat dalam kodisil (ketentuan tambahan) Selden, yang bertanggal 11 Juni 165355.  Sejak ditemukan kembali pada tahun 2008, peta tersebut telah menimbulkan banyak perdebatan tentang asal usulnya56. Sekarang, secara umum diterima bahwa peta tersebut diperbaharui setelah tahun 1607, ketika Belanda dan Spanyol “membagi” Ternate serta sebelum tahun 1624, ketika Belanda mulai menguasai barat daya Taiwan, karena yang sebelumnya terwakili di peta, sedangkan yang sesudahnya tidak. 


Pada peta ini, kepulauan rempah-rempah terdistorsi letaknya di sudut kanan lebih ke bawah (gambar 2). Dengan memperbesar pulau-pulau ini, kita mungkin menemukan bahwa peta ini penuh dengan kesalahan: Ternate terpisah dari sisa kepulauan Indonesia dan berada di ujung rute laut yang membentang dari utara; Timor terletak di sebelah timur Ambon dan ditempatkan di pulau Jawa; Makasar dan Ambon terletak di satu pulau besar yang sama; dan pulau Banda sangat besar.
Namun, jika digulirkan sepenuhnya, peta ini ternyata menjadi peta laut yang canggih untuk navigator Cina kontemporer: di bagian atas adalah kompas mawar, yang disertai dengan legenda; di bagian laut dilintasi rute berlayar, yang ditunjukan dengan arah kompas pada titik balik. Di antara itu, ada 2 rute yang menghubungkan kepulauan rempah-rempah ke Cina (gambar 3). Rute barat dimulai dengan Banda dan Ambon, yang dari situ membenatang ke barat di sepanjang pantai utara Laut Banda dan Laut Jawa. Setelah mencapai kepulauan Riau, berbelok ke arah utara dan timur laut. Setelah itu, menyusuri pantai Champa dan kemudian berbelok ke timur laut menuju pantai tenggara pulau Hainan. Setelah melewati Hainan, jalur itu meluas dan membentang di sepanjang pantai Cina hingga mencapai pelabuhan (kemungkinan Yuegang) antara Quanzhou dan Zhangzhou. Rute timur dimulai dengan Ternate, dari situ kapal menuju Cina, berlayar menuju barat laut sampai melewati Manila, dan kemudian mengambil jalur utara-barat laut. Rute ini pada akhirnya akan bertemu dengan rute barat di Yuegang. 

Bagian genting di rute timur ke Maluku adalah dari Manila ke Ternate. Bagian ini sangat sulit dipahami, karena berada di luar lingkup konvensional perdagangan Galleon, yang berfokus hampir secara eksklusif pada hubungan Cina dengan “Dunia Baru” melalui Manila sambil mengabaikan peran yang dimainkan oleh seluruh Kepulauan Filipina. Peta Selden menawarkan beberapa wawasan tentang aktivitas Cina di wilayah yang diabaikan ini pada awal abad ke-17. Ini menunjukan bahwa pembuat peta tahu, ada sistem sub-perdagangan setelah melewati selat antara Mindoro dan Palawan (gambar 4). Selat ini ditandai sebagai “Gerbang sepuluh ribu kulit kura-kura” (Jiawanmen ). Melewati gerbang ini, ada rute yang membentang ke Maguindanao (Majunjiaolao 馬軍 ) dan Ternate/Gamalama (Wanlaogao 老高)57. Selain itu, 3 lokasi pelabuhan dagang lainnya – Oton (Futang 福堂), Cebu (Shuwu ), dan Sulu (Sulu 蘇祿) – juga diindikasikan, tetapi tidak ada jalan pelayaran yang pasti, dan posisi Sulu juga tampak salah. Namun, pembuat peta memperhatikan Ternate dengan tidak hanya menunjukan lokasi dan rute pelayarannya, tetapi juga menunjukan kehadiran Belanda dan Spnyol di pulau ini. 

Namun, peta Selden sendiri saja tidak dapat memandu kapal-kapal Cina dari Manila ke Ternate, karena tidak seperti tempat lain di peta, rute berlayar di bagian ini, tidak dilengkapi dengan arah kompas. Untuk mencapai Maluku di sepanjang rute timur, seorang nakhoda kapal barang Cina memerlukan “penunjuk jalan”, seperti yang disimpan di perpustakaan yang sama dengan Peta Selden, yaitu perpustakaan Bodleian di Oxford dengan judul Zhinan zhengfa (指南 正法, Seni sejati untuk petunjuk ke Selatan). Bagian utama dari naskah ini, kemungkinan besar dikompilasi sekitar 1660an-1680an, karena mengacu pada rezim Zheng di Taiwan (1661-1683) pada beberapa tempat58.
“Penunjuk jalan” ini berisi panduan berlayar ke Maguindanao dan Ternate. Ini dimulai dengan Mamburao (Wenwulou 文武 ) dari pulau Mindoro (bagian selatan di luar teluk Manila). Setelah melewati beberapa gunung di sepanjang pantai barat Mindoro, sebuah jung harus berlayar menuju qianxun ( , 1350) selama 8 geng (, jam-an) yaitu 19,2 jam59. Kemudian akan mencapai ujung selatan pulau Panay, yang disebut Gunung Hanjiangqi ( 岐山). Setelah itu, menuju ke arah renbin ( , 165°) selama 9 geng (21,6 jam), dan kemudian berbelok ke arah dansi ( , 150°) selama 6 geng (14,4 jam). Di situ, akan mencapai pantai barat laut pulau Mindanao. Menyusuri pantai ini, dimana tempat yang “ada banyak perampok asing”, jung tiba di Zamboanga. Melewati Zamboanga, Maguindanao terletak di sebelah atas dari teluk60.
Kemudian jung terus berlayar di jalan menuju ke Ternate.Dari tempat yang disebut Xiangyi kecil ( , Sangihe kecil?), yang kemungkinan besar ada di teluk Maguindanao, jung itu berlayar menuju arah xunsi ( , 142,5°) selama 13 geng (31,2 jam) sehingga terlihat pemandangan Gunung Jizai ( ), yang merupakan gunung besar dengan 5 puncak, yang lebih tinggi di timur dan yang lebih rendah di barat. Gunung ini pasti Gunung Kioto di Mindanao tenggara. Meluas ke [selatan] dari Gunung Kioto terdapat serangkaian pulau, berjumlah sekitar 7 atau 8. Di antara pulau-pulau tersebut, ada Gunung Guiyu ( ), Xiangyi besar ( 61, Sangihe besar), dan Siau (Shaowu ). Dari sana, jung dapat mencapai Ternate/Maluku (gambar 5)62.
Zhainan zhengfa bukan satu-satunya “penunjuk jalan” Cina yang memiliki arah pelayaran ke Maluku. Dipublikasikan sebagai buku geografi pada tahun 1618, Dongxiyang kao (東西 , sebuah studi tentang samudera timur dan barat) juga mengumpulkan informasi beragam dari para “penunjuk jalan” kontemporer. Catatan yang sangat ringkas, terlalu fragmentaris untuk merekonstruksi rute pelayaran yang tepat, tetapi masih menawarkan beberapa detail menarik tentang cara mencapai Ternate melalui kepulauan Sangihe63. Ini menunjukan bahwa di sepanjang jalan dari Maguindanao, sebuah jung akan mencapai tempat yang disebut Pelabuhan Qianzizhi ( ). Pelabuhan ini sebelumnya adalah milik Maluku (Miluoju 米洛 ), tetapi sekarang dikuasai oleh Spanyol64. Dengan merujuk kembali ke catatan dalam Zhinan zhengfa, kita tahu bahwa pelabuhan Qianzizhi pastilah Kendahe, karena Zhinan zhengfa mencatat bahwa Qianzaizhi ( ) berada di kepulauan Sangihe besar65. Tidak jauh dari Sangihe besar, penulis Dongxiyang kao juga mengetahui tentang penguasan Belanda yang baru saja di Siau66. Ia mencatat “pelabuhan air tawar Siau ditempati oleh orang barbar berambut merah”67. Setelah menyampaikan catatan ini, ia menunjukan “ada 4 gunung/pulau besar di sekitar daerah ini. Setelah melewati ini, [anda] akan memasuki [dunia] Maluku”68.

===== bersambung =====


Catatan Kaki
  1. Andaya, The World of Maluku; Milton, Nathaniel’s Nutmeg; Villiers, “Manila and Maluku”; Knaap, Kruidnagelen en christenen; Brook, Mr. Selden’s Map of China; Widjojo, The Revolt of Prince
    Nuku; Brixius, “A Pepper Acquiring Nutmeg”; Ly-Tio-Fane, Mauritius and the Spice Trade.
  2. Andaya, “Local Trade Networks in Maluku”; Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands”; Ptak, “China and the Trade in Cloves”; Pearson, Spices in the Indian Ocean World; Prange, “Measuring by the Bushel”; Bulbeck et al., Southeast Asian Exports, 17–59.
  3. Van Leur, Indonesian Trade and Society; Schrieke, Indonesian Sociological Studies.
  4. Andaya, “Local Trade Networks in Maluku”; De Silva, “The Portuguese and the Trade in Cloves”; Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence; Prange, “Measuring by the Bushel.”
  5. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence; Prakash, “Restrictive Trading Regimes”; Van Leur, Indonesian Trade and Society; Pearson, “Spain and Spanish Trade in Southeast Asia.”
  6. Okamoto, Chūsei Morukka Shotō no kōryō [The spices of the Maluku Islands] (Thanks to Yu Mengxing from Kyoto University for finding and scanning this book); Yamada, Tōa kōryō shi
    kenkyū [A study of the history of perfumery and spices], 318–35; Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands”; Ptak, “China and the Trade in Cloves”; Lobato, “Os chineses nas ilhas
    Molucas”; Zhou, “Niujin daxue cang mingmo wanlaogao minshang hanghaitu yanjiu” [A study of Fujian merchants’ Maluku map].
  7. The only exceptional case is the article by Lobato, which has attempted to examine the Chinese activities in Maluku well into the seventeenth century, but it has yet to incorporate contemporary Chinese and Dutch sources: Lobato, “Os chineses nas ilhas Molucas”.
  8. For the relation between the Dutch expansion in Southeast Asia and the legal debate over mare liberum and mare clausum in early seventeenth-century Europe, see Ittersum, Profit and Principle;
    Ittersum, “Debating Natural Law in the Banda Islands”; Borschberg, Hugo Grotius; Brook, Mr. Selden’s Map of China, 19–44; Batchelor, London: The Selden Map and the Making of a Global City, 104–51.
  9. This point will be nuanced in sections 3, 4, and 5 in this article. This argument is also inspired by the critical Spanish sources and comments generously offered by Ryan Crewe.
  10. Sabban, “Court Cuisine,” 177–81.
  11. Ibid.
  12. Liu, Songdai xiangpu zhi yanjiu [A study of the compendia of incenses during the Song period]; Yang, Xiangshi [Knowing incense]; Yang, “L’encens.”
  13. Hinrichs, The Medical Transforming of Governance; Goldschmidt, The Evolution of Chinese Medicine; Goldschmidt, “Commercializing Medicine.”
  14. Fan, Beisong jiaozheng yishuju xintan [A new exploration on the Medical Books Revision Bureau], 239–58; Xia, “Songdai xiangyao ye jingji yanjiu” [A study of the aromatic economy]; Fan, Zhongguo yixue shilue [A sketch history of Chinese medicine], 167–9.
  15. A preliminary survey of their occurrences in these recipes was made by Hartwell, see: Hartwell, “Foreign Trade,” 475–80. Hartwell translated longnao 龍腦 as Barus camphor, instead of Borneo camphor. There has also been some specific research on the history of individual aromatics; to name just a few: Jung, “The Cultural Biography of Agarwood”; So, “Scented Trails”; Cheng, “Putchock of India and Radix China”; Leung and Chen, “The Itinerary.”
  16. Schafer, The Golden Peaches of Samarkand.
  17. Ibid., 171–2; Ptak, “China and the Trade in Cloves,” 4.
  18. 丁香味辛溫,無毒,主溫脾胃,止霍 亂擁脹,風毒諸腫,齒疳,能發諸 Chongxiu zhenghe jingshi zhenglei beiyong bencao [Newly revised materia medica of the Zhenghe period], juan 12,
    “Guangdong dingxiang” (Canton cloves).
  19. Goldschmidt, The Evolution of Chinese Medicine, 112–5; Fan, Beisong jiaozheng yishuju xintan [A new exploration on the Medical Books Revision Bureau], 120– 43.
  20. The author is working on another paper on the visual representation of these exotica in that survey.
  21. Chongxiu zhenghe jingshi zhenglei beiyong bencao [Newly revised materia medica of the Zhenghe period], juan 12, “Guangdong dingxiang” (Canton cloves). The original image in Illustrated Materia Medica (1058–1062 CE) is no longer existent. This figure is from a 13th-century reproduction.
  22. Leung, “Song-Yuan-Ming di difang yiliao ziyuan chutan” [A preliminary study]; Shinno, The Politics of Chinese Medicine under Mongol Rule, 82–5.
  23. Leung, “Medical Learning from the Song to the Ming,” 377–8.
  24. Ptak, “China and the Trade in Cloves,” 8–9; Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands,” 29–33.
  25. Ptak, “China and the Trade in Cloves,” 9– 12; Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands,” 33–47.
  26. Leung, “Song-Yuan-Ming di difang yiliao ziyuan chutan” [A preliminary study].
  27. Ibid.
  28. Zhu admonished that well-off people should not be amused by cloves’ pleasant scent, while ignoring the long-term harm of their pungent and warm nature. Jufang fahui [Elaborations on the Pharmacy’s Formulary], 952. For the history of the school of Zhu, see Zhang Xueqian,
    “Cong Zhu Zhenheng dao Danxi Xuepai: Yuan Ming ruyi he yixue xuepai de shehuishi kaocha” [From Zhu Zhenheng to the Danxi School].
  29. Ptak, “China and the Trade in Cloves,” 9– 12; Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands,” 33–47.
  30. Galvão, A Treatise on the Moluccas, 81.
  31. For the development of compendia and encyclopaedias in the Ming period, see Elman, “Collecting and Classifying.” For a general survey of the place of incense in Ming literati’s household, see: Laurent, “Le parfum dans les maisons élégantes sous la dynastie Ming.”
  32. Elman, “Collecting and Classifying”; Chia, “Of Three Mountain Street”; Chia, Printing for Profit; McDermott, A Social History of the Chinese Book.
  33. Changwu Zhi [Treatise on Superfluous Things], 12.4a.
  34. Clunas, Superfluous Things.
  35. Timothy, The Confusion of Pleasure, passim.
  36. Finnane, Speaking of Yangzhou, passim; Qin, “Zhou Jiangzuo shiji” [On the life and achievements of Zhou Jiazhou], 65–6.
  37. Qin, “Zhou Jiangzuo shiji” [On the life and achievements of Zhou Jiazhou], 65–6.
  38. Chia, “Of Three Mountain Street,” passim.
  39. Clunas, Empire of Great Brightness, 89– 90. The painting is titled Nandu fanhui jingwu tu 南都繁會景物圖 [Thriving scene of southern capital] and is preserved in National Museum of China, Beijing.
  40. Qin, “Zhou Jiangzuo shiji” [On the life and achievements of Zhou Jiazhou], passim.
  41. Ibid., 68–69.
  42. Xiangsheng, 18.1b.
  43. Dongxiyang kao, 7.1b-2a.
  44. Ibid., 7.2b–3a; Cheng, War, Trade and Piracy in the China Seas, 17–32.
  45. Dongxiyang kao, 7.14a–b.
  46. Ibid., 7.13a.
  47. Ibid., 7.15a, 7.16a.
  48. Ibid., 7.13a.
  49. Ibid., 2.8b, 3.6a, 4.10a
  50. Ptak, “The Northern Trade Route to the Spice Islands.”
  51. Fletcher, The World Encompassed by Sir Francis Drake, 146–7. Many thanks to Tristan Mostert for informing me of this source. It deserves more research indeed.
  52. Andaya, The World of Maluku, 136.
  53. Jinghetang ji, 7.10a.
  54. Bodleian Library, University of Oxford, MS Selden Supra 105.
  55. Nie, The Selden Map of China, 19–20; Selden, Mare Clausum, seu De Dominio Maris.
  56. To name but a few: Batchelor, London: The Selden Map and the Making of a Global City; Brook, Mr. Selden’s Map of China; Kogou et al., “The Origins of the Selden Map of China”; Nie, The
    Selden Map of China; Zhou, “Niujin daxue cang mingmo wanlaogao minshang hanghaitu yanjiu” [A study of Fujian merchants’ Maluku map]; Chen, “Mr. Selden’s Map youguan Riben de miaohui” [The origin of Japanese shape in Mr. Selden’s map]. Many thanks to Prof. Chen Tsung-Jen for his advice on the latest literature on the Selden Map.
  57. According to Brook, Gamalama is the name of the volcanic mountain of Ternate. The Chinese pronounced it as “manlao”/ “wanlao” by dropping the first syllable and adding “gao” at the
    end in order to indicate this is a tall mountain. Brook, Mr. Selden’s Map of China, 125.
  58. The date of this manuscript is debated; see Xiang, Liang zhong haidao zhenjing [Two rutters], 3–5; Zhang, “Guanyu liang zhong haidao zhenjing de zhuzuoniandai” [On the date of the compilation
    of two rutters], 187–93.
  59. Each geng is equal to 2.4 hours, and ten geng is equal to one day (24 hours).
  60. Zhinan zhengfa, fol. 31b.
  61. The original text on the manuscript is 天相逸, but it could be a typo.
  62. Zhinan zhengfa, fol. 32a.
  63. Thanks to Alicia Schrikker for inspiring me to take the Sangihe Islands into consideration.
  64. Dongxiyang kao, 9.11b.
  65. Zhinan zhengfa, fol. 32a.
  66. Siau and Oton fell to the Dutch in their expedition launched from Maluku in September 1614, which originally targeted Manila and was led by the governor of Maluku, Laurens Reael. Colenbrander, Coen 1: 126. Dongxiyang kao was published in 1618. How timely Zhang Xie was updated with the situation in Maluku!
  67. Dongxiyang kao, 9.12a.
  68. Ibid. In the seventeenth century, both the Spanish and the Dutch conceived that the control of the Sangihe-Talaud Archipelago was a key to their success in Maluku; see Lopez, Conversion and Colonialism, 136–8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar