Jumat, 21 Agustus 2020

Kaum Arab di Hindia Belanda dan Istana Oranye


Oleh Niko.J.G Kaptein

Lukisan Penobatan Wilhelmina sebagai Ratu Belanda (1898) oleh Nicolaas van der Waay


  1. Kata Pengantar
Kesetian atau sikap loyal masyarakat kepada Pemerintah yang sah, merupakan hal yang esensial dalam kehidupan suatu negara. Meskipun perspektif loyal itu, bisa dimaknai dari berbagai sisi. Dalam konteks Indonesia di masa-masa perjuangan meraih kemerdekaan, sikap loyal suatu kelompok kepada pemerintah Hindia Belanda (Belanda) di masa itu, dianggap sebagai sikap pengkhianat. Namun, jika kita mau “berimbang” dan “adil”, sikap loyal yang ditunjukan oleh sebagian kelompok itu, juga tidak selalu salah. Maksudnya, bahwa secara umum, sikap tersebut adalah manifestasi masyarakat yang taat pada pemerintah yang sah.
Artikel yang ditulis oleh Niko.J.G Kaptein, seorang Profesor kajian Islam Asia Tenggara dari Universitas Leiden, Belanda ini bisa dijadikan pembanding dan membuka wawasan kita terhadap sikap loyal tersebut. Artikel ini aslinya berjudul The Arabs in the Netherlands East Indies and the House of Orange, yang dimuat oleh Robert M Kerr dan Thomas Milo (editor) dalam buku berjudul Writings and writing from another world and another era: Investigations in Islamic text and script in honour of Dr Januarius Justus Witkamp, Cambridge, Archetype, 2010, pada halaman 213 – 227. 

Prof. Niko.J.G.Kaptein

Pada artikel ini, Kaptein menyajikan dan membahas makna kesetiaan itu, khususnya dari kaum Arab di Hindia Belanda, yang ditunjukan kepada keluarga Kerajaan Belanda, sebagai simbol dari pemerintah Hindia Belanda. Melalui 2 dokumen yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, ia mengkaji hal tersebut. Kaum Arab disebutkan membuat poster, puisi dan doa (dalam bahasa Arab) untuk memberi penghormatan kepada Ratu Belanda (Wilhelmina) dalam rangka perayaan 25 tahun , sang Ratu naik tahta.
Artikel sepanjang 15 halaman ini terdiri dari 21 catatan kaki, 1 halaman berisi poster dan 2 halaman berisikan doa (dalam bahasa Arab). Artikel ini kami terjemahkan dan ditampilkan di blog ini, minimal bisa dibaca dan membuka wawasan kita untuk memahami suatu dinamika kehidupan masyarakat di masa penjajahan. Meski pada artikel aslinya, catatan kakinya berjumlah 21 buah, namun pada terjemahan ini, kami hanya memuat 20 buah catatan kaki, karena 1 buah catatan kaki berupa ucapan terima kasih dari penulis (Niko.J.G. Kaptein) kepada beberapa orang yang turut “membantu” dalam menyelesaikan artikel yang ditulisnya. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa gambar ilustrasi, dan catatan tambahan untuk memperjelas dan menambahkan informasi yang dimaksud agar bisa diketahui dalam konteks yang lebih luas.
Akhir kata, selamat membaca... selamat menikmati kajian-kajian bermutu... semoga wawasan kesejarahan kita terus berkembang dan menjadi manusia yang bersejarah...


  1. Terjemahan : oleh Kutu Busu

Pendahuluan

            Dalam buku yang diterbitkan tahun 2006, Geert Oostindie telah membahas hubungan antara keluarga Kerajaan Belanda dengan daerah jajahan yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda, baik di Hindia Timur maupun Hindia Barata. Ia menunjukan secara meyakinkan, bagaimana Istana Kerajaan digunakan di daerah jajahan sebagai simbol persatuan Kerajaan Belanda, dalam rangka menumbuhkan loyalitas masyarakat jajahan terhadap pemerintahan Belanda. Salah satu cara agar simbolisme itu tetap ada dan terus memperkuatnya, adalah melalui perayaan yang berfokus pada monarki Belanda. Misalnya, penobatan Ratu Wilhelminab pada tahun 1898c, dirayakan di sepanjang wilayah-wilayah jajahan dengan kemegahan dan suasana yang luar biasa; Pernikahan Wilhelmina dengan Pangeran Hendrik pada tahun 1901d menjadi sumber kegembiraan publik/masyarakat luas; kelahiran Putri Mahkota, Juliana, pada tahun 1908e, dan seterusnya1

Ratu Wilhelmina

                Di Hindia Belanda, tidak hanya penduduk asli Belanda (totok) yang berpartisipasi dalam perayaan ini, tetapi serangkali juga para bangsawan lokal, serta rakyat jelata. Dalam bukunya, Oostindie bertanya-tanya seberapa dalam mengakarnya tanda-tanda kasih sayang yang implisit dan seringkali eksplisit kepada monarki Belanda selama perayaan ini. Sejauh menyangkut totok, keturunan Eurasian dari laki-laki Belanda dan wanita lokal, serta tentara pribumi Kristen dari Maluku dan Minahasa, kasih sayang mereka kepada kerajaan adalah murni, tetapi posisi penduduk pribumi kurang jelas. Bangsawan lokal memang berpartisipasi dalam perayaan tersebut, tetapi terutama untuk menekankan kesetiaan mereka kepada monarki Belanda di negeri Belanda yang jauh, untuk mendapatkan lebih banyak ruang gerak untuk diri mereka sendiri, berhadapan langsung dengan administratur kolonial lokal di wilayah mereka sendiri. Apa posisi penduduk pribumi dalam hal ini, masih belum banyak dieksplorasi, tetapi dalam bukunya itu, Oostindie dengan hati-hati menyatakan bahwa, kesetiaan penduduk kepada kerajaan tidak sungguh-sungguh, dan dalam banyak kasus, mungkin telah dipaksakan kepada mereka2.
                Seperti penduduk pribumi, komunitas Arab di Hindia Belanda juga ikut serta dalam perayaan ini, dan dalam esai kali ini, saya (penulis) akan mengkaji 2 dokumen yang bersumber dari kalangan minoritas yaitu kaum Arab ini. Kedua dokumen tersebut berkaitan dengan peringatan 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina, yang berlangsung pada tahun 1923. Selanjutnya, saya akan menggunakan teks tersebut sebagai titik awal pembahasan tentang kesetiaan komunitas Arab terhadap monarki Belanda.

Perayaan 40 tahun Wilhelmina naik tahta di Magelang (1938)


Dua Teks Pujian untuk Ratu Wilhelmina

                Dokumen pertama yang ingin saya bahas di sini adalah, poster indah yang dibuat untuk memperingati 25 tahun naiknya Wilhelmina di tahta Kerajaan Belanda. Dokumen aslinya disimpan di perpustakaan Universitas Leyden, dibawah pengawasan resmi, dalam koleksi-koleksi Oriental (dunia timur), dan disimpan dengan rapi dalam kotak besar dengan dokumen-dokumen lain, yang disimpan untuk diteliti selanjutnya (Plano F 53 no 48).
                Seperti yang ditunjukan, dokumen yang ditulis dengan pensil ini, berasal dari Koleksi-koleksi Schrieke, yang harus diidentifikasi pada bekas Direktur Kantor Urusan Masyarakat Pribumi (Native Affairs),
Prof. B.J.O. Schrieke (1890 – 1945). Orang ini tertarik dengan “sastra abu-abu” dan juga telah mengumpulkan bahan-bahan langka lainnya, yang pada saat dikumpulkan, mungkin tampak agak sepele, namun di masa sekarang sangatlah penting dan bernilai, karena bahan-bahan tersebut sering memberikan informasi unik tentang bagaimana bahan-bahan tersebut “bekerja” pada masa-masa itu. Schrieke memiliki kepakaran yang luas dalam hal –hal mengenai Indonesia, dan di antara minatnya adalah komunitas Arab di Hindia Belanda3. Dokumen yang dimaksud memiliki ukuran poster kecil yaitu 43 x 34 cm ini diproduksi oleh “Steendrukkerij S Jahja di Tanah Abang, Weltevreden”, yang akan saya informasikan lebih jauh dalam tulisan ini. Pada poster itu, tercantum harganya 15 sen (ƒ o,15). Poster ini adalah litograf yang menampilkan hasil karya yang mengesankan, karena dengan terampil membuat/mengkombinasikan sejumlah warna : tidak hanya 3 warna bendera Belanda – merah, putih dan biru – yang digunakan, tetapi juga warna Istana Kerajaan, yaitu oranye, serta warna coklat, hijau dan hitam. Di separuh bagian atas poster, digambarkan figur Ratu Wilhelmina yang cukup bagus, sedangkan di separuh bagian bawah poster berisi puisi melayu untuk menghormati Ratu. Poster yang ditampilkan dalam artikel ini, ukurannya telah diperkecil seperti terlihat pada ilustrasi 1. 


                Puisi pada poster itu disebut syair, yang terdiri dari 10 baris yang seperti dalam semua bentuk puisi jenis ini, dibagi menjadi 2 bagian yang sama dan berima aa aa bb bb. Puisi itu “berbentuk” akrostik (akrostikon), dan huruf-huruf pertama dari 10 baris pertama, ketika dibaca dari atas ke bawah : D W P L H H L Y M A, sedangkan huruf-huruf pertama dari 10 baris kedua berbunyi : W Y L H A L M Y N A. Secara keseluruhan, huruf-huruf ini membentuk kata-kata : dua puluh lima, Wilhelmina “Twenty [Years] Wilhelmina”. Sungguh luar biasa, seorang penyair hebat bekerja untuk puisi ini!  Seperti yang dikatakan, puisi berbahasa Melayu dalam aksara Arab disebut Jawi, dan dalam transliterasi terbaca sebagai berikut. Saya telah meletakan 2 bagian dari setiap baris di samping satu sama lain, seperti bentuk aslinya, untuk menunjukan bentuk akrostik (akrostikon)

Dua puluh tahun telah bersuda                                    Waris dan subur kerajaan Hulanda
Wahai dawlatku seri baginda                                        Yang dipertuan sepenuhnya dada

Peliharkanlah hai tuhanku                                              Lama dan selamat iah memangku
Warisannya kerajaan dengan berlaku                          Hakim yang adil menurut buku

Lanjutkan tuhanku iah punya umur                             Alirkan afiyat badan sekujur
Hindia Nederland biarlah subur                                    Lagi tahta kerajaan bertambah makmur

Lantaran penggawa yang bersetia                                Manis dan pahit ada sedia
Yang berbuat baik dapat bahagia                                 Yaqin yang jahat dapat bahaya

Marilah rakyat tua dan muda                                        Narimakan selamat bagi baginda
Alamat penutup apa yang ada                                       Iduplah kekal kerajaan Belanda                    


Dokumen kedua yang saya diskusikan di sini, juga disimpan di perpustakaan Universitas Leyden (Plano F 53 no 52). Ukurannya sama dengan ukuran poster yang disebutkan di atas. Dokumen tersebut adalah doa (du’a) dalam bahasa Arab, untuk peristiwa yang sama dengan teks sebelumnya, dan juga diterbitkan oleh Sayyid Yahya ibn Uthsman di Tanah Abang, seperti yang disebutkan di akhir teks. Dokumen ini juga berasal dari Koleksi Schrieke. Dokumen yang ditampilkan di artikel ini, ukurannya telah diperkecil seperti nampak pada ilustrasi 2. 



                Yang perlu diperhatikan adalah ucapan pengantar bahasa Melayu pada dokumen tersebut. Pada pengantar itu, umat Islam diingatkan akan fakta bahwa Tuhan telah menganugerahkan kepada mereka perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda, dan bahwa Tuhan telah melakukan semua ini “melalui administrasi pemerintahan Ratu Belanda”. Untuk menghargai semua itu, kaum Muslim harus berdoa kepada Tuhan dengan du’a yang dicetak dalam dokumen, dan hal ini dianjurkan menurut Hukum Islam (yang diharuskan oleh shariah). Catatan pengantar diakhiri dengan pernyataan bahwa doa ini harus dibacakan di masjid-masjid setelah ibadah Jumaat tanggal 31 Agustus 1923. Selanjutnya, doa Arab ini diterbitkan, dan setelah itu disisipkan ungkapan Melayu yang menyatakan bahwa tersebut “berdasarkan ide almarhum Sayyid Uthsman”. Akhirnya, dokumen tersebut menyajikan terjemahan bahasa Melayu dari doa Arab itu.
                Setelah mempelajari isi dari doa ini, saya menemukan bahwa itu identik dengan apa yang dilakukan oleh ulama terkenal Islam dan penasehat pemerintah, Sayyid Uthsman (1822 – 1914)4/f, yang dibuat pada tahun 1898, ketika Wilhelmina naik tahta. Hanya pada 1 tempat ada perbedaan : dimana Sayyid Uthsman pada tahun 1898, menulis kata “ ratu baru”, sedangkan pada tahun 1923, kata itu diganti dengan kata “ratu yang berbudi luhur”. Pada tahun 1898, doa ini menimbulkan banyak perdebatan, yang akhirnya menyebabkan Sayyid Uthman mengeluarkan fatwa, dimana ia menyatakan dianjurkan untuk mengucapkan doa ini5. Versi doa tahun 1898, telah saya terjemahkan dan terbitkan sebelumnya, tetapi demi kepentingan artikel ini, saya memasukan terjemahan itu lagi di sini, dengan perbedaan yang disebutkan. Bunyinya sebagai berikut :

Ya Allah, Yang Maha Baik, Sang penolong kaum lemah, O Raja di bumi dan di Surga. Engkau mengetahui apa yang terlihat dan yang tersembunyi bagi kami. Ya Tuhan, demikian juga Engkau baik kepada kami dalam wilayah kerajaan ini, dimana tidak ada yang menentang kami [dalam mempraktikan] agama kami, dalam sholat kami, sedekah kami, puasa kami, cara hidup kami, dan pernikahan menurut agama kami. Engkau sendiri telah memberikan kebaikan kepada kami, memberikan keamanan bagi jiwa kami, kerabat kami, dan harta benda kami, dan Engkau telah memudahkan kami untuk memperoleh sarana penghidupan kami. Engkau sendirilah yang memberikan kami perantara dan alasan berkah, karena Engkau telah memerintahkan agar pemerintah Belanda menjaga negara tetap aman dan adil, dengan memperhatikan cara agama kami, seperti pelantikan para hakim kami, pemeliharaan nafkah hidup mereka, memperbaiki masjid kami, dan tidak bertentangan dengan urusan agama kami. Engkau mengetahui apa yang terbaik bagi kami. Karena itu, kami memohon kepada-Mu, ya Allah, limpahkan berkat perbuatan baik dari-Mu terhadap kami. Ya Tuhan, demikian Engkau telah memerintahkan dan Engkau telah memberikan berkat-berkat ini melalui pemerintahan ini. Kami mohon kepada-Mu, Ya Allah, hadiah atas kebaikan yang baru saja disebutkan. Semoga Engkau memberikan kesejahteraan kepada Ratu yang berbudi luhur dan terhormat, dan semoga Engkau memberinya umur panjang, diberkahi dengan kesehatan tubuh, dan [semoga Engkau mengabulkan] kesejahteraan wilayah kekuasaannya, dan hal-hal yang tersembunyi di bumi dari tambang dan perkebunan. Semoga Engkau membuat pemerintahannya mulia bagi mereka yang berada di bawah perlindungan dalam keadilan yang sempurna dan [semoga Engkau memberinya] keindahan yang ditandai sebagai salah satu dari kekasih-Mu, O sang penuntun kami, sehingga bintang kerajaannya akan bersinar terang di antara orang-orang, dan berikan wilayah kekuasaannya kemakmuran dalam kelimpahan dan jauhkan kegagalannya, dan [membuat makmur] siapapun yang berada di bawah perlindungan dengan kebaikan segala sesuatu dan kelestarian berkat ini untuk kesejahteraan kita selamanya. Amin.


Sayyid Uthsman (1 Desember 1822 - 18 Januari 1914), Ulama,Mufti dan Penasehat untuk Urusan Kaum Arab


Asal Usul Dokumen

                Kedua dokumen tersebut diterbitkan oleh Yahya ibn Uthsman, yang merupakan anak dari Sayyid Uthsman yang disebutkan di atas. Sayyid Uthman juga mengelola percetakn untuk menyebarkan tulisannya tentang semua jenis masalah Islam. Usaha penerbitan ini cukup sukses dan penjualan hasil dari penerbitan ini pasti cukup menggiurkan. Sepeninggal Sayyid Uthsman, terjadi pertengkaran dalam keluarga, yang juga mempengaruhi bisnis percetakan/penerbitan. Peristiwa ini disebutkan dalam sebuah surat berbahasa Arab bertanggal, Batavia, 25 Agustus 1917, yang dikirim oleh salah satu putra Sayyid Uthsman, yang bernama Sayyid Hasan kepada C. Snouck Hurgronye. Surat tersebut menyebutkan bahwa setelah kematian Sayyid Uthsman, tidak ada seorangpun yang membimbing keluarga tersebut dari berpisahnya putra tertua, Alwi. Lagi pula, menurut surat itu, dia (Alwi) tidak berurusan dengan kepentingan keluarga, dan bertindak sesuai keinginan pribadinya, tanpa berkonsultasi dengan putra-putra lainnya. Selanjutnya, Hasan bersama adik bungsunya, Hamid dan seorang adik perempuan yang tidak disebutkan namanya6, pindah ke Kampung Melayu Besar, Meester Cornelis, membawa serta alat-alat percetakan dan tempat tinta. Hal pertama yang dilakukan Hasan adalah mencetak ulang sejumlah buku ayahnya, dan mendirikan usaha penerbitan Bintang Bercahaya. Meskipun minim pengalaman dan keahlian (”saya bukan lulusan madrasah, saya juga tidak berkesempatan untuk meminta bantuan ayah atau orang lain untuk diajar”), Hasan mampu menjaga agar usahanya itu berjalan meski dalam kesulitan7.
                Meskip persoalannya tidak sepenuhnya jelas dari surat itu, namun tampaknya persoalan kelanjutan bisnis percetakan ini semakin pelik, karena kakak yang lain, Sayyid Abd Allah, juga terlibat dalam bisnis percetakan satu dekade setelah kematian Sayyid Uthsman, seperti yang terlihat dalam sejumlah publikasi yang masih ada dan menyandang namanya. Terlebih lagi, seorang saudara lelaki lainnya juga aktif di bidang yang sama, yaitu Sayyid Yahya, yang pada tahun 1916 menerbitkan katalog tulisan almarhum ayahnya di bawah Penerbit N.V. Handel – My Said Oesman  yang berlokasi di Petamburan, Weltevreden. Dalam kata pengantar berbahasa Melayu pada katalog ini, disebutkan bahwa “Direktur” (Diriktur dalam bahasa Melayu) penerbit ini adalah Sayyid Yahya8.
                Dengan demikian, segera setelah wafatnya Sayyid Uthsman, tidak kurang dari 4 orang putranya yang aktif di bidang percetakan, yaitu Alwi, Hasan, Abd Allah dan Yahya. Dari ke-4 putra ini, tampaknya Yahya adalah yang paling serius dan paling sukses dari semuanya, dalam melanjutkan bisnis ayah mereka yang terkenal, dan dialah yang pada tahun 1923, menerbitkan dokumen-dokumen yang disebutkan di atas dengan sangat terampil – terutama yang pertama – dan artistik. Tidak banyak lagi yang saya (penulis) ketahui tentang Sayyid Yahya, selain dia disebut-sebut sebagai penyalin naskah Arab yang telah selesai di Batvia pada akhir Syawal 1316 (= Maret 1899)9. Mengingat fakta bahwa Sayyid Yahya melanjutkan pekerjaan ayahnya, kita dapat berasumsi bahwa dia juga bersimpati dengan ide ayahnya, dan bahwa dia juga termasuk kelompok pemikiran tradisionalis yang telah disebarkan oleh Sayyid Uthsman sepanjang hidupnya.


Signifikansi Dokumen-dokumen

                Kedua dokumen yang disajikan disini, mengungkapkan sendiri bahwa isinya menunjukan loyalitas penuh terhadap Kerajaan Belanda, dan dalam pengantar kajian ini, saya ingin membahas masalah apa sebenarnya arti kesetiaan ini.
                Pertama-tama, kita harus bertanya-tanya untuk siapa teks-teks ini dimaksudkan. Seperti yang telah kita lihat, puisi itu dalam bahasa Melayu, dan dari sini dapat disimpulkan bahwa puisi itu tidak dimaksudkan untuk pembaca orang Eropa, suatu kelompok yang dimana seluruh genre sastra royalis dari versinya berbahasa Belanda10. Terlebih lagi, penggunaan aksara Arab yang sejak awal abad ke-20 semakin tidak digunakan lagi, bahkan semakin meyakinkan bahwa pembaca yang dituju hanyalah kepada orang-orang yang mengetahui aksara Arab. Memahami pengamatan ini, kita mungkin bertanya-tanya apakah puisi ini dimaksudkan untuk lingkungan sekitar Sayyid Yahya, yaitu komunitas Arab di Hindia Belanda. Sejauh menyangkut du’a tersebut, terbukti dari catatan pengantar, bahwa yang dimaksudkan untuk penduduk beragama Muslim.
                Hampir tidak ada yang diketahui oleh saya, tentang bagaimana kedua teks itu diterima. Satu-satunya hal yang saya ketahui adalah bahwa doa untuk Wilhelmina ini menimbulkan banyak protes. Di kalangan yang berorientasi nasionalis terdengar reaksi negatif kepada para panghulu. Para pejabat agama ini, telah diperintahkan oleh para bupati untuk menyelenggarakan Hari Peringatan Ratu dan mengucapkan doa ini di masjid-masjid, dan perintah ini dianggap berasal dari Residen-residen dan akhirnya langsung dari Gubernur Jenderal. Dan karena alasan inilah, para panghulu dituduh menggunakan Islam “bukan untuk menghormati Nabi Muhamad, tetapi untuk ratu yang kafir11. Nyatanya, Sayyid Yahya telah mengantisipasi protes tersebut, karena sebagaimana telah kita lihat di atas, dalam pengantar doanya,ia mencantumkan ucapan bahwa du’a itu dianjurkan menurut Hukum Islam. Informasi lebih lanjut kurang diketahui dan juga tidak diketahui seberapa luas teks ini tersebar. Secara keseluruhan, tidak mungkin menggunakan teks-teks ini, untuk menetaplan sejauh mana kesetiaan yang diungkapkan di dalamnya, merupaan hal umum di antara penduduk pribumi. Yang kita ketahui, dokumen-dokumen ini berasal dari kalangan minoritas, yaitu kaum Arab di Hindia Belanda, dan yang paling pasti, paling tidak Sayyid Hasan sendiri, sangat tulus dalam kesetiaannya kepada Ratu. Oleh karena itu, dalam sisa tulisan ini, saya ingin membahas sikap mereka terhadap Kerajaan Belanda.
 
Ratu Wilhelmina

Kaum Arab dan Istana Oranye

                Orang-orang Arab di Hindia Belanda, merupakan bagian dari diaspora emigran dari wilayah Hadramaut di Yaman Selatan, dan keturunan mereka yang telah menetap di sekitar wilayah Samudera Hindia sejak paruh kedua abad ke-18 dan seterusnya. Pada tahun 1920, komunitas Arab terdiri dari sekitar 45.000 orang, setelah komunitas orang Cina yang jauh lebih besar, membentuk kelompok terbesar kedua dalam kategori administrasi hukum yang disebut “Orang Timur Asing”. Temasuk dalam kategori ini, orang Arab tunduk pada rezim wijk en passenstelsel (sistim lingkungan dan izin masuk) yang menyiratkan bahwa, mereka perlu membuat permintaan izin dari pihak berwenang ketika mereka ingin bepergian ke luar tempat mereka tinggal, dan bahwa mereka diwajibkan untuk tinggal di kawasan kota yang ditunjuk/ditempatkan secara khusus. Komunitas itu sendiri terbagi menjadi 3 kategori sosial yang berbeda, yaitu di posisi puncak adalah para sayyid, bangsawan beragama yang berasal dari keluarga Nabi Muhammad, di bagian tengah disebut syaikh/syech dan gabili, serta dibagian paling bawah yaitu orang-orang biasa yang disebut kaum masakin (“orang miskin”) dan dua’fa (“orang lemah”). Ciri lain dari komunitas Arab yang penting untuk diperhatikan dalam kerangka esai ini, adalah bahwa mereka memiliki rasa keterikatan yang mendalam dengan tanah air mereka di Hadramaut, yang terwujud, misalnya dalam pertukaran permanen antar pengunjung dari tanah air (Hadramaut) dan berbagai daerah diaspora, dan, kedua, untuk waktu yang lama pengiriman anak laki-laki dari diaspora ke tanah air mereka untuk pendidikan12.
                Orientasi internasional ini memicu ketidakpercayaan di kalangan pemerintah, dalam arti ada ketakutan bahwa orang-orang Arab dengan kontak internasional, mereka mungkin menjadi sumber –sumber bagi para simpatisan anti pemerintah di dalam koloni. Orientasi internasional ini mendapat dimensi politik yang jelas sejak tahun 1870-an, ketika Sultan Turki di Istambul mulai menyebarkan ideologi Pan-Islamisme yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia dibawah naungannya, dan ideologi ini pun menyebar ke Hindia Belanda. Penguasa kolonial menganggap ideologi ini sebagai potensi bahaya, karena menolak penjajahan atas umat Islam di dunia. Namun, telah ditunjukan bahwa ketakutan pihak kolonial ini dibesar-besarkan, dan bahwa simpati kaum Arab di Hindia Belanda untuk ideologi Pan-Islamisme terutama merupakan ekspresi ketidakpuasan mereka terhadap aturan diskriminatif Belanda, mengenai sistim wijk dan passenstelsel, tetapi bahwa Pan-Islamisme tidak pernah berakar di Hindia Belanda sebagai ideologi politik. Terlebih lagi, pada tahun 1923, Pan-Islamisme telah kehilangan banyak daya tariknya di Hindia Belanda dan sistem wijk dan passenstelsel sejak itu telah dihapuskan13.
Pusat kosmopolitan lain yang menjadi orientasi umat Muslim sejak dekade pertama abad ke-20 dan seterusnya adalah Cairo. Di kota ini, ide-ide baru atas dasar-dasar Islam dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Rasid Rida, dan seruan mereka untuk kembali ke sumber-sumber asli Islam, yaitu Alquran dan Hadits, menimbulkan gelombang guncangan di seluruh dunia Muslim, termasuk di Hindia Belanda. Salah satu pelopor dalam menyebarkan gagasan modernis yang berbasis di Mesir di Hindia ini adalah Muhammad ibn Hasim, yang pernah terlibat konflik berat tentang hal ini dengan kakeknya, Sayyid Uthsman, yang menganut cara berpikir tradisionalis berdasarkan mazhab Syafei. Sejak tahun 1914, Ibn Hasim menerbitkan jurnal al-Bashir, dan karena hal ini, dia diawasi oleh otoritas Belanda, karena dia dicurigai bersimpati pada ide-ide Pan-Islamisme. Namun, pada tahun 1925, Penasehat Masalah-masalah/Urusan Kaum Pribumig, D.A. Rinkes, melaporkan bahwa tidak ada yang salah dengan jurnal tersebut14. Menariknya, Ibn Hasim ini juga menulis puisi untuk perayaan 25 tahun Ratu naik tahta. Puisi ini ditulis dalam bahasa Arab dan diterbitkan, bersama dengan terjemahan bahasa Belanda oleh B (= B.Th. Brondgeest15), dalam volume Perayaan  pada saat Hari peringatan itu16. Kesetiaannya tidak hilang untuk berhasrat saat menulis dalam bagian pentingnya :

                Dia (sc. Ratu Wilhelmina) telah menyebarkan galeri keselamatan
                di seluruh pulau
                Sehingga kesejahteraan rakyat menjadi berkembang
                Dan di bawah dukungannya, sebuah perisai keadilan diciptakan
                Oleh orang-orang tulus yang membawa peradaban ini17

Jadi, kita melihat bahwa orientasi Ibn Hasim terhadap Cairo, tidak menghalangi dua untuk mengungkapkan kesetiaannya kepada Ratu. Saya pikir, ini bisa dimengerti karena orientasi terhadap Cairo ini terutama bersifat religius. Kepatuhannya kepada ide-ide modernis ini, terutama menginspirasi dia untuk mempromosikan reformasi pendidikan, tetapi tidak mempengaruhi kesetiaan politiknya terhadap negara tempat tinggalnya18. Contoh ini menunjukan bahwa kesetiaan kepada Ratu, tidak hanya ditunjukan di kalangan tradisionalisnya Sayyid Yahya, tetapi ternyata melampui batas orientasi tradisionalis dan modernis dalam pemikiran Islam.
Sekarang saya telah menunjukan bahwa orientasi internasional tidak menghentikan loyalitas politik kaum Arab terhadap negara tempat tinggalnya, saya ingin menunjukan faktor yang lebih positif yang mungkin menjelaskan kesetiaan ini. Dalam kedua dokumen yang dipelajari ini (dan termasuk puisi Ibn Hasim), banyak tekanan ditempatkan pada keamanan hukum yang dinikmati oleh orang Arab di Hindia Belanda. Ini sendiri luar biasa, karena sebelum penghapusan sistem wijk en passenstelsel, orang Aran memiliki cukup alasan untuk mengeluh tentang cara mereka diperlakukan. Namun demikian, secara umum orang Arab cukup puasi dengan cara pengelolaan wilayah koloni. Saya pikir ini harus dipahami dengan latar belakang situasi di tanah air Hadramaut, yang terkenal kurangnya pemerintah pusat dan cara administrasi yang sewenang-wenang. Meski banyak orang Arab di Hindia Belanda yang tidak lahir di Hadramaut, ternyata rasa keterikatan mereka dengan wilayah ini masih begitu dalam, sehingga mereka masih terbebani oleh ketiadaan pemerintahan yang adil di sana. Ide ini, misalnya, diungkapkan dalam sebuah artikel kecil pada tahun 1923 tentang kaum Arab di Hindia, yang ditulis oleh Sayyid Ismail ibn Abd Allah al-Attas, seorang anggota Volksraad : bertentangan dengan Hadramaut, di Hindia Belanda ada hukum keamanan dan kebebasan beragama, dan untuk alasan ini, Baginda Ratu seharusnya dihormati19.


Kesimpulan

Saat kita kembali ke pendahuluan esai ini, dan mencoba mengomentari kesetiaan terhadap keluarga kerajaan yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen ini, kita dapat mengatakan sebagai berikut ini. Jelas, bahwa orang-orang Arab di Hindia Belanda memiliki banyak kesetiaan, tetapi yang paling penting bagi mereka adalah keadaan bahwa Pemerintahan Belanda, seperti yang dilambangkan oleh Ratu, menawarkan keamanan hukum kepada mereka, yang tidak ada di Hadramaut, kampung halaman mereka. Terlebih lagi, keterikatan lain pada pusat-pusat kosmopolitan di dunia Muslim pada saat itu, lebih bersifat religius dan tidak menghalangi kesetiaan dasar terhadap negara tempat tinggal, sebagaiman yang disimbolkan oleh Kerajaan Belanda, yaitu Hindia Belanda. Untuk alasan ini, saya ingin menyimpulkan bahwa ekspresi kesetiaan dalam dokumen yang disajikan di sini nampak asli. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hal ini, tetapi mungkin saja kesetiaan terhadap kerajaan Belanda ini, tidak hanya di kalangan Sayyid Yahya, tetapi juga di antara mayoritas komunitas Arab pada umumnya. Untuk hal itu, pengamat kontemporer terkenal, Achmad Djajadiningrat, berkomentar dalam memori tahun 1936 : ”Tidak ada kelompok orang asing di Hindia yang sangat menghormati pemerintahan yang sudah mapan, selain orang Arab20

====== selesai ======

Catatan Kaki :

  1. Gert Oostindie, De parels en de kroon. Het koninghuis en de kolonien (Leyden-Amsterdam, 2006). Untuk perayaannya, lihat halaman 72 – 87
  2. Ibid, halaman 82 – 101
  3. Tentang figur ini, lihat M.van Blankenstein, Bertram Johannes Otto Schrieke (Zantvoort, 18 Sept 1890 – London, 12 Sept 1945), dimuat pada Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde te Leiden (1947 – 1949) (Leyden, 1950), halaman 141 – 153
  4. A. Azra, A Hadhrami religous scholar in Indonesia : Sayyid Uthman dimuat oleh U Freitag dan W.G. Clarence Smith (editor) dalam Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750an – 1960 (Leyden, 1977), halaman 249 – 263
  5. Protes terhadap du’a ini umumnya berasal dari kaum Arab yang berorientasi Pan-Islamisme, lihat Niko.J.G. Kaptein, The Sayyid and the Queen: Sayyid Uthman on Queen Wilhelmina’s inauguration on the throne of the Netherlands in 1898, dimuat pada Journal of Islamic Studies, volume 9 (1998), halaman 165-167. Untuk terjemahannya pada halaman 160-161, sedangkan untuk berbahasa Arab pada halaman 177.
  6. Bahasa Arabnya terbaca....... yang bisa berarti seorang saudara perempuan dari beberapa orang. Wanita tidaklah terlalu “penting” dalam komunitas Arab
  7. Leyden University Library Cod Or 8952. Pada kepala surat/dokumen terbaca : “Sajid Hasan b. Oesman b.Jahja, Toko Bintang Bertjahaja, Kampong Melajoe Besar, Meester Cornelis, Batavia”
  8. Sayyid Yahya ibn Uthman, Daftar dari Nama-nama dan harga kitab-kitab dan jadwal-jadwal karangannya al-marhum Sayyid Uthman ibn Abd Allah ibn Aqil ibn Yahya (Weltevreden :N.V. Handel – My. Said Oesman, 1916), halaman 2
  9. Abd Allah ibn Umar ibn Yahya, Fatawa, Leyden University Library Cod. Or 7212, halaman 540
  10. Gert Oostindie, De parels en de kroon. Het koninghuis en de kolonien (Leyden-Amsterdam, 2006). Halaman 49 ff
  11. Muhammad Hisyam, Caught between three fires : The Javanese Pangulu under the Dutch colonial administration, 1882 – 1942 (PhD Thesis, Leyden University, 2001), halaman 99-100. Kutipan asli ini berasal dari jurnal Medan Moeslimin, 13 : 9 (1 Juli 1923)
  12. Huub de Jonge, Dutch colonial policy pertaining to Hadhrami migrants dimuat oleh U Freitag dan W.G. Clarence Smith (editor) dalam Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750an – 1960 (Leyden, 1977), halaman 94 – 111. Dalam tahun-tahun terakhir ini, orientasi untuk “kembali” ke Hadramaut diungkapkan lewat kebangkitan kaum Arab di Indonesia masa kini, yang terwujud, misalnya lewat jurnal baru mereka, Alkisah
  13. Huub de Jonge, Dutch colonial policy......, halaman 102-105
  14. S.L. van der Wal, De Opkomst van de nationalistische beweging in Netherlands-Indie : een bronnenpublikatie (Groningen, 1967), halaman 384 – 385
  15. Ia adalah seorang Belanda yang pakar Arab, yang bekerja di Balai Pustaka, dan juga penyusun Kamus Arab-Melayu
  16. L.F. van Gent, W.A. Penard dan D.A. Rinkes (editor), Gedenboek voor Nederlandsche-Indie ter Gelegenheid van het Regeeringsjubileum van H.M. van de Koningin, 1898 – 1923 (Batavia-Leyden, 1923)
  17. S. Mohammad bin Hasjim, Arabisch Huldegedicht dimuat dalam L.F. van Gent dkk, Gedenboek voor Nederlandsche-Indie....., plat 3. Saya (penulis) sedikit menyederhanakan terjemahannya
  18. Pada publikasi selanjutnya, saya (penulis) membahas tentang Ibn Hasim dan hubungannya dengan kaum reformis Mesir serta polemik dengan kakeknya sendiri dengan lebih mendetail
  19. S. Ismail bin Abdoelah Alatas, De Arabieren dimuat dalam L.F. van Gent dkk, Gedenboek voor Nederlandsche-Indie.......hal 50. Pada tahun 1918, ia menulis doa untuk memuji Ratu untuk merayakan peringatan 20 tahun Ratu naik tahta. Doa ini dibaca pada 2 masjid di Pasuruan dan Malang. Di antara lainnya, di dalam doa itu, ia memohon kepada Allah untuk melindungi negara dari “perang yang sedang terjadi, yang menyakitkan”, lihat Leyden Cod. Or 7935 A
  20. A. Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, (Batavia, 1936), halaman 276

Catatan Tambahan :
  1. Wilayah kekuasaan (Belanda) di wilayah Asia diwakili oleh VOC disebut Hindia Timur pada masa VOC (1602 – 1799) dan sejak 1799 – 1942, wilayah ini disebut Hindia Belanda (Netherlands-Indies) serta bermarkas di Batavia/Jakarta. Sedangkan untuk wilayah barat (Amerika) diwakili oleh WIC (West Indische Compagnie) yang bermarkas di Brazil (Suriname)
  2. Ratu Wilhelmina memiliki nama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Marie. Ia Lahir pada tanggal 31 Agustus 1880 dan meninggal pada 28 November 1962. Ia adalah anak satu-satunya dari Raja Belanda, Willem III dan istri keduanya, Putri/Ratu Emma.
  3. Sebenarnya Wilhelmina otomatis menjadi Ratu Kerajaan Belanda saat ayahnya, Willem III meninggal pada 23 November 1890, namun saat itu ia masih berusia 10 tahun, sehingga ibunya, Ratu Emma memerintah atas nama putrinya (Wali) hingga ia berusia 18 tahun, sehingga pada tanggal 6 September tahun 1898, Wilhelmina dinobatkan sebagai Ratu Kerajaan Belanda. Wilhelmina menjadi satu-satunya pewaris tahta kerajaan Belanda, karena 3 putra dari pernikahan ayahnya dengan istri pertama (Ratu Sophie), semuanya meninggal dalam usia muda, serta ayah mereka masih menjadi Raja kerajaan Belanda dan belum meninggal.
§  Pangeran Willem meninggal 1879
§  Pangeran Maurits meninggal 1850
§  Pangeran Alexander meninggal 1884

  1. Ratu Wilhelmina menikah dengan Hertog Hendrik van Mecklenburg-Schwern pada tanggal 7 Februari 1901
  2. Putri Mahkota/Ratu Juliana memiliki nama lengkap Juliana Louise Marie Wilhelmina lahir pada tanggal 30 April 1909 dan meninggal pada 20 Maret 2004 (mungkin pada artikel ini, ada kekeliruan teknis yang menyebut Juliana lahir tahun 1908).
  3. Sayyid Uthman/ Oesman menjadi Penasehat Kehormatan Pemerintah untuk Urusan Kaum Arab sejak 3 Mei 1891 
  4. Pemerintah Belanda mendirikan Lembaga/Kantor Urusan Kaum Pribumi (Officieren voor Inlandsche zaken) atau Office of Native Affairs sejak tahun 1889 di Batavia. Lembaga ini berfungsi sejak 1889 – 1942. Lembaga ini dipimpin oleh seorang advis atau penasehat. Orang pertama yang memimpin lembaga ini adalah K.F. Holle sejak 27 Desember 1871 (meskipun secara institusi, lembaga ini belum dibentuk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar