Senin, 17 Agustus 2020

Jung-jung di Mare Clausum : Relasi Cina – Maluku dalam Perang Rempah-rempah, 1607 – 1622 (bag 2 - selesai)


Oleh :
Guanmian Xu



Dua Naga di satu kolam : Perdagangan di Maluku

                Pada awal abad ke-17, memasuki Dunia Maluku berarti memasuki pusat perang rempah-rempah yang melibatkan seluruh dunia modern awal. Pertanyaannya adalah, bagaimana jung-jung para pedagang Cina itu merasakan persaingan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan Eropa, dan sejauh mana mereka bisa bertahan hidup dan mendapatkan keuntungan dari pembatasan global yang diperangi itu.
                Kesaksian tentang keterlibatan Cina dalam perang rempah-rempah, tersedia di kearsipan nasional di Den Haag. Pembenaran keterlibatan ini dilakukan oleh Jacques L’Hermite atas penangkapan sebuah jung Cina di sekitar Ternate pada tahun 160769. L’Hermite bekerja sebagai sekretaris dalam Ekspedisi Asianya Cornelis Matelief dari tahun 1605 hingga 1608. Pada awal Mei 1607, armada mereka berlayar ke Maluku secara berurutan untuk melawan agresi Spanyol. Ketika 2 kekuatan yang berperang, berselisih di Ternate, beberapa pemberontak dari kamp Spanyol menyeberang ke Matelief dan memberitahunya bahwa jung Cina yang melayani Spanyol akan segera pergi. Untuk memutus pasokan musuh, Matelief segera mengirim satu skuadron untuk menangkap jung70.
                Jung itu ditangkap dan dibawa ke Matelief pada 4 Juni 1607, dan krunya diinterogasi71. Ternyata nakhoda membawa kontrak dengan orang-orang Spanyol, yang ditandatangani di Manila72. Kontrak tersebut menetapkan bahwa jung Cina, yang disebut pelo, harus memasok barang-barang garnisun Spanyol di Ternate dengan makanan dan kain serta “75 pengrajin Tiongkok dengan segala macam keahlian.......jika dia (kapten) gagal membawa orang-orang ini ke sana, itu akan didenda sebesar [kosong tidak diisi]; dan kalau-kalau dia masih bisa membawa [kosong tidak diisi] orang, denda akan dikurangi di Ternate oleh otoritas Spanyol di sana”73.
                Misi yang dilakukan oleh jung Cina ini adalah bagian dari rencana Spanyol yang lebih besar untuk mendapatkan kendali atas Maluku74. Sejak akhir abad ke-16, rencana-rencana itu sudah dekat, karena Portugis telah diusir dari Ternate oleh Sultan Baabullah (memerintah tahun 1570 – 1583) pada tahun 157575, dan Monarki Portugis – Spanyol didirikan pada tahun 1580. Dengan tujuan merebut kembali benteng-benteng Portugis di Maluku, rangkaian ekspedisi diluncurkan dari Manila pada tahun 1580an dan 1590an76. Semua gagal dan salah satu dari mereka bahkan berakhir dengan kematian Gubernur Spanyol di Filipinaa, terbunuh oleh pelaut Cina wajib militer yang memberontak dalam perjalanan dari Manila ke Maluku pada tahun 159377. Setelah pengiriman armada terbesar yang pernah terlihat di Maluku, Spanyol akhirnya menaklukan seluruh wilayah Maluku pada tahun 160678. Ironisnya, kemenangan yang luar biasa ini, tampaknya malah akan menjadi beban besar bagi kekaisaran Spanyol. Setelah penaklukan, diputuskan oleh keputusan kerajaan (cedula real), bahwa Maluku akan diduduki oleh pasukan Spanyol, sementara perdagangan cengkih akan dipertahankan untuk Portugis, karena kelangsungan hidup Portugis bergantung pada perdagangan itu79. Akibatnya, setiap tahun lebih dari 230.000 peso ( 1 peso menunjukan satu “delapan real”, disebut dibawah “real”) dikuras dari Manila untuk biaya garnisun di Maluku saja80, sementara hampir tidak ada cengkih yang dikirim kembali ke Manila sebagai keuntungan81.
                Perang yang melelahkan di sudut terpencil kekaisaran Spanyol menawarkan pasar yang agak menguntungkan bagi Cina. Sudah puluhan tahun di Manila, ribuan pedagang, pengrajin, dan buruh Cina tinggal di Parian, dan mendukung semua aspek kehidupan kolonial orang Spanyol82. Tidaklah mengherankan bahwa orang Spanyol meminta orang Cina mengirim bahan-bahan makanan dan pakaian serta 75 pengrajin ke Ternate83, bertujuan untuk memperluas kolaborasi mereka dari Manila ke Maluku.
                Kontrak dengan Manila juga mengamankan perdagangan Cina di wilayah Maluku yang dikuasai Spanyol. Dalam jung Cina yang ditangkap, Belanda menemukan sekitar 500 kuintal cengkih84  yang dibeli orang Cina dengan 6 real per kuintal dan telah membayar 1/3 sebagai pajak, 366 real tunai, 41 7/8 mark perak (sama dengan 376 7/8 real), dan 500 potong wambuis (sejenis baju besi dari kain)85. Jung itu berencana untuk membawa mereka pertama ke Manila, dan kemudian kembali ke Zhangzhou, dimana Yuegang berada86. Karena itu, walaupun kontrak dengan Manila hanya mengatur jumlah uang yang bisa mereka terima setelah melakukan kewajiban kontrak, para pedagang Cina sebenarnya menggunakan sebagian dari pendapatan itu untuk membeli cengkih di Ternate. Perdagangan itu juga tidak dilarang oleh garnisun Spanyol di sana, selama mereka membayar 1/3 pabean. 

Pertemuan Heeren XVII di markas VOC, Den Haag

Setelah menangkap jung, Matelief sekarang dalam kesulitan. Meskipun jung orang Cina melayani kepentingan musuh utama Spanyol, Cina sendiri tidak berperang dengan Belanda. Cina sebenarnya dibayangkan sebagai pasar yang menguntungkan bagi VOC (Belanda), dan telah ditunjuk sebagai perhentian berikutnya untuk armada Matelief. Untuk menjaga hubungan dengan komunitas perdagangan Cina, Matelief memutuskan untuk membawa semua kru Cina dari jung yang ditangkap  itu ke Cina. Setibanya di Cina, mereka dibebaskan. Kapten jung Cina itu, bahkan dipercayakan dengan sejumlah kecil uang untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan dengan orang-orang Cina di Canton. Dia dijanjikan bahwa, begitu otoritas Cina setuju untuk berdagang dengan Belanda, semua kerugiannya di Ternate akan sepenuhnya dikompensasi.
Peristiwa ini menyiagakan komunitas perdagangan Cina kembali di Yuegang, dan tercermin dalam narasi Cina tentang perang rempah-rempah. Zhang Xie, penulis Dongxiyang kao, yang diterbitkan pada tahun 1618, berusaha memahami Perang Rempah-rempah melalui caranya sendiri :
Cengkih : di sepanjang rute laut timur, hanya tempat ini87, yang menghasilkan [cengkih]. Orang-orang barbar88 menggunakan cengkih untuk mengusir roh jahat. Dikatakan bahwa jika mereka menempatkan lebih banyak cengkih di negara mereka sendiri, negara mereka akan memliki kekuatan vital kerajaan (wangqi ). Oleh karena itu, kedua kaum barbarian89 ini harus bersaing satu sama lain90.

Tanpa mengetahui penggunaan cengkih yang tepat di Eropa, Zhang Xie sebagai seorang sastrawan Cina, tetap terhibur oleh upaya luar biasa Belanda dan Spanyol untuk mendapatkan cengkih yang diproduksi di pulau-pulau kecil ini. Penjelasan terbaik yang bisa ia tawarkan, adalah bahwa orang-orang barbar itu telah menjadikan pemujaan yang berlebihan terhadap cengkih, sebagai kunci untuk mendapatkan kekuatan kerajaan yang vital. Catatan luar biasa ini, kemungkinan diterima dengan baik di kalangan pembaca Cina, seperti yang sepenuhnya dikutip dalam Records of Incenses oleh Zhou Jiazhou, diterbitkan 25 tahun kemudian pada tahun 164391.
Zhang Xie, juga menyadari keterlibatan Cina dalam perang rempah-rempah. Mungkin diinformasikan oleh seseorang seperti nakhoda Cina yang ditangkap oleh Matelief, ia menceritakan bahaya berdagang dengan pihak-pihak yang berperang di Maluku :

Pada masa sebelumnya, jika sebuah kapal Cina membawa barang-barang untuk Belanda tetapi dicegat oleh Spanyol, orang Spanyol pasti akan marah dan berkata “kapal itu tidak datang untuk kita tetapi untuk membantu Belanda”. Mereka akan menjarah muatan dan membunuh orang. Pedagang Cina harus merahasiakannya dan tidak membiarkan orang Spanyol melihatnya. [Demikian pula], jika Belanda mendapati kapal Cina membawa barang-barang untuk Spanyol, mereka juga akan geram. Situasi ini telah sedikit menurun setelah perselisihan mereka ditengahi. Namun, seperti 2 naga dalam 1 kolam, cukup sulit untuk melakukan bisnis di sana92.

Oleh karena itu, keseimbangan antara Belanda dan Spanyol sangat penting bagi perdagangan Cina di Ternate. Untuk berdagang dengan kedua belah pihak, modus vivendi harus dicapai, tetapi bagaimana hal itu dicapai?.  Zhang Xie menulis anekdot yang menarik, yang mengklaim bahwa seorang Cina telah menjadi perantara perjanjian gencatan senjata antara Belanda dan Spanyol :

[Belanda dan Spanyol] sejak itu saling menyerang [di Ternate] setiap tahun dengan eskalasi naik turun di kedua pihak. Seorang Cina, yang tinggal di sana, cerdas dan fasih berbicara. Dia melobi kedua negara itu [ dan memperoleh persetujuan mereka] untuk membagi pulau dengan lereng gunung Gamalama sebagai batas. Wilayah di utara gunung itu, merupakan milik Belanda, dan wilayah di selatan gunung itu, milik Spanyol. [setelah itu] kedua pihak menghentikan perang dan menguasai pulau ini93

Meskipun kredibilitas catatan ini diragukan, yang penting di sini adalah catatan itu mengungkapkan beberapa orang Cina tidak hanya berdagang di Maluku, tetapi sebenarnya juga tinggal di sana, dan memainkan beberapa fungsi mediasi antara kekuatan-kekuatan yang berperang94. Pada sumber-sumber Eropa, kita juga dapat menemukan bahwa kedua belah pihak, Belanda dan kaum Iberian mengklaim bahwa ada orang Cina yang tinggal di Maluku dan melayani musuh mereka. Sebagaimana dibahas pada awal bagian ini, jung Cina yang ditangkap oleh Matelief pada awalnya disewa oleh Spanyol untuk mengimpor 75 pengrajin Cina untuk melayani garnisun Spanyol95. Sebuah laporan Portugis yang ditulis di Malaka pada tahun 1619, menunjukan ada sekitar 200 sangley, yang merujuk pada para pedagang Cina yang datang di sepanjang rute Manila, tinggal dengan pasukan Belanda di Ternate96. Meskipun melayani kekuatan Eropa yang berbeda, orang-orang Cina ini adalah bagian yang sama dari jaringan Cina yang membentang dari Yuegang ke Maluku melalui Manila. Juga melalui jaringan ini, pengetahuan mereka tentang Spice Wars ditransmisikan kembali ke Cina. Zhang Xie menuliskannya di Dongxiyang kao miliknya dengan cara yang mudah dicerna bagi para sastrawan Cina, yang selanjutnya menyebarkannya dalam literatur mereka sendiri, seperti Record of Incenses. 

Jan Pieterszoon Coen (8 Jan 1587 - 21 Sept 1629)


Reaksi Belanda dan Penciptaan [kebijakan] Laut Tertutup

Namun, modus vivendi ini tidak dibandingkan. Ini agak menjadi sasaran utama kritik oleh pejabat muda yang ambisius, yang bekerja di VOC, yaitu Jan Pieterszoon Coen. Pada 10 November 1614, Coen menulis surat kepada Heeren XVII untuk mengaduh bahwa sebuah kapal Cina telah merusak kepentingan mendasar kompeni (VOC) di kepulauan rempah-rempah :

Telah tiba di sana sebuah jung Cina dengan berbagai barang. Betapa berbahaya bagi kompeni di tempat itu! Tuan-tuan dapat membaca dengan jelas dari surat terlampir oleh Direktur, den Dorst. Sebelum jung ini tiba di tempat itu, begitu banyak barang telah dikirim ke sana [Ternate] dari sini [Banten], dan dijual oleh orang-orang kami dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga setiap bulan 2000 – 3000 real diterima. Setelah kedatangan jung ini, semua penjualan berhenti. Gubernur [Laurens] Reael menyarankan bahwa [jung ini] mungkin telah membawa 35.000 real dari sana. (10 November 1614, dikirim oleh ‘T Hart, dari Banten 10/11/1614 ke Roterdam 24/04/1615)97

Kegagalan keuangan seperti itu, memberi Coen peluang untuk mengkritik kebijakan toleran terhadap pedagang Asia oleh Gubernur Maluku atau Ternateb, Laurens Reael98. Coen mengeluh dalam sepucuk surat kepada Heeren XVII bahwa “tidak ada bedanya apakah Spanyol mengambil alih [seluruh] Maluku, atau apakah orang asing lainnya dibawah perlindungan senjata kita melakukan bisnis mereka”, karena “jika orang asing diizinkan berdagang, Tuan-tuan [Anda] tidak akan memiliki apapun selain biaya perang”99. Pada akhir tahun 1610-an, ada perdebatan besar di VOC mengenai apakah pedagang Asia harus dikeluarkan dari perairan Maluku, Ambon, dan Banda (3 sub wilayah utama kepulauan rempah-rempah). Sebagian besar pejabat tinggi yang ditempatkan di Asia, lebih menyukai kebijakan yang lunak terhadap pedagang Asia karena mereka memasik kebutuhan sehari-hari kepada orang-orang lokal, tetapi Coen, dengan dukungan dari Heeren XVII, condong ke arah kebijakan yang lebih kejam untuk mengamankan monopoli secara sempurna. Implementasi kebijakan yang terakhir ini, akhirnya mengarah pada Pembantaian Banda (1621) dan penciptaan Laut Tertutup di sekitar kepulauan rempah-rempah100.
Kunjungan jung Cina tahun 1614 dapat dianggap sebagai titik kritis yang memicu rangkaian peristiwa tersebut. Pertama-tama, saat menulis laporan ini, Coen masih menjadi Akuntan General atau (Boekhouder Generaal) dan ditempatkan di Banten, ribuan kilometer jauhnya dari Maluku101. Dia tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi masalah-masalah di Maluku, maupun pengetahuan langsung tentang situasi lokal. Sebelum Coen, Gubernur Maluku, Reael, yang tinggal di Fort Orange di Ternate dan sangat mengikuti masalah ini, sudah mengirim 2 surat kepada Heeren XVII mengenai jung Cina ini. Surat pertama, bertanggal 20 Mei 1614, adalah ringkasan bahwa “perdagangan orang asing, terutama oleh orang Cina” harus dihambat dengan cara yang benar, karena telah menjadi sangat menghambar bagi perdagangan kompeni102.
Surat kedua, bertanggal 20 Juni 1614, menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang terjadi di wilayah itu. Jung Cina ini sebenarnya adalah pelo, sama dengan yang ditangkap oleh Matelief pada tahun 1607 yang berlayar di sepanjang rute Manila. Setibanya di Ternate, Belanda mengizinkan untuk mendirikan “toko”, dan pada saat keberangkatannya, jung itu membawa setidaknya 30.000 atau 35.000 real. Menurut Reael, jumlah uang yang sangat besar ini akan diperoleh oleh kompeni, jika jung Cina dikirim kembali [segera setelah tiba]. Reael juga menganalisis mengapa ada begitu banyak uang yang beredar secara lokal di Maluku, yang menciptakan peluang seperti itu bagi orang Cina. Akar masalah sebenarnya terkait dengan kebijakan pembelian cengkih kompeni. Reael mengklaim, sebelumnya itu orang-orang pribumi di Maluku menjual cengkih “ hanya untuk makanan dan kain, bukan untuk yang lainnya”. Karena kompeni memperkenalkan real sebagai pembayaran untuk cengkih, segalanya mulai berubah. Dengan uang tunai yang diperoleh darinya, penduduk setempat menyadari bahwa mereka dapat membeli kebutuhan hidup dengan harga yang jauh lebih rendah, dari pedagang asing daripada dari kompeni. Untuk mendapatkan lebih banyak uang, penduduk Maluku juga menjadi kurang tertarik untuk memanen cengkih yang merupakan subjek monopoli kompeni, dan mulai mencurahkan lebih banyak waktu untuk melaut dan pekerjaan lain. Reael mengusulkan untuk melakukan demonetisasi terhadap ekonomi lokal, dengan melanjutkan kembali praktik Portugis yang menggunakan kain, alih-alih uang sebagai alat pembayaran. Dia percaya, ketika tidak ada uang yang beredar di Maluku, pedagang asing akan berhenti datang karena tidak ada keuntungan bagi mereka103

Laurens Reael (22 Okt 1583 - 21 Okt 1637)

Sambil menunggu balasan dari Heeren XVII, yang berkomunikasi selama 2 tahun, sebuah jung Cina tiba lagi di Ternate pada Mei 1615. Kali ini, Reael memilih untuk membeli tekstil sutra dan kain dengan menggunakan dana dari keuangan kompeni. Masalahnya adalah bahwa orang Cina hanya menerima pembayaran dengan uang tunai, tetapi Fort Orange, pusat administrasi kompeni di Ternate, kekurangan uang tunai. Pada tanggal 7 Mei 1615, Reael bersama “kabinetnya”, membuat keputusan untuk segera mengirimkan sebuah kapal ke benteng terdekat di Makian untuk mendapatkan lebih banyak uang104.
Peristiwa itu menjengkelkan Coen, yang telah dipromosikan menjadi Direktur Jenderal (orang no 2 dalam struktur kepemimpinan VOC) pada akhir tahun 1614. Dalam suratnya tertanggal 22 Oktober 1615, Coen pertama kali melaporkan penjualan kain yang menurun di Maluku karena persaingan dari pedagang Asia. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian ke jung Cina itu. “ ada jung lagi yang datang dari Cina, yang lagi-lagi membawa sekitar 30.000 real dari Maluku. Tahun lalu, saya sungguh-sungguh merekomendasikan kepada Reael untuk mengusir orang-orang asing dari Maluku”, tetapi permintaan itu tidak dilanjuti oleh Reael, karena dia tidak ingin “mengasingkan” penduduk lokal di Ternate. Coen mengusulkan bahwa jika orang asing datang ke Maluku untuk mendapatkan uang tunai, kompeni harus membayar gaji tentara garnisun dengan pakaian dan “tidak bisa membayar lagi dengan uang tunai”105
Reael tidak menyadari urgensi yang disebabkan oleh kunjungan kapal-kapal jung Cina. Pada tanggal 11 September 1615, ia mengumpulkan “kabinetnya” untuk membahas tindakan apa yang harus diambil, jika jung Cina lainny akan muncul106. Setelah debat yang luas, disimpulkan bahwa masalah ini harus menunggu keputusan lebih lanjut karena “perintah yang menentukan sangat sulit dibuat”107. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 7 April 1616, sekali lagi datang jung Cina di Ternate108. Pada saat itu, jawaban dari Heeren XVII masih berada dalam perjalanan109. Reael dan “kabinetnya” memutuskan untuk mengambil tindakan bijaksana. Mereka menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan, tetapi berusaha membayar dengan uang tunai kepada pedagang Cina “sesedikit mungkin”110.
Namun, di Republik Belanda, para direktur VOC tidak menghargai upaya Reael untuk mempertahankan situasi seimbang yang “halus” di Maluku. Apa yang mereka harapkan adalah monopoli total, yang menurut mereka membutuhkan penciptaan Laut Tertutup. Pada tanggal 30 April 1615, hanya 6 hari setelah kedatangan kapal di Roterdam yang membawa surat-surat yang menceritakan kunjungan jung Cina pada tahun 1614, perintah yang jelas diberikan kepada Coen :
Lebih jauh bagi penyesalan kami, kami memahami bahwa, ketika Anda menulis, Cina membuat kerusakan besar pada kami dengan membawa dan menjual pakaian mereka di Maluku dan Ambon. Wakil Gubernur, Reael, menyarankan agar orang Cina pada saat ini seharusnya sudah membawa 35.000 real dari tempat ini. Kami percaya bahwa kami akan mencegah hal ini dengan segala cara yang mungkin, untuk menuntut mereka dengan cara penyitaan atau lainnya. Begitu mereka tiba, mereka harus segera dikirim pulang kembali. Kami memiliki [pendapat] yang sama tidak hanya orang Cina, tetapi juga semua orang asing, seperti orang Jwa, Melayu dan Keling, juga orang-orang dari Makasar, Gresik dan tempat-tempat lain yang letaknya berdekatan, yang datang ke sana untuk berdagang. (30 April 1615, dikirim melalui  (kapal) Swarten Leeuw dari Texel 18/05/1615 ke Banten 30/04/1616)111

Beberapa hari kemudian, surat lain dikeluarkan untuk Gubernur Jendral VOC, Gerard Reynst. Surat ini berisikan perluasan larangan perdagangan luar negeri untuk semua pedagang asing, termasuk Asia dan Eropa112. Dengan kata lain, Heeren XVII secara eksplisit memerintahkan pelaksanaan kebijakan Laut Tertutup (Mare Clausum) di sekitar kepulauan rempah-rempah secara universal termasuk semua kapal asing.

Gerard Reijnst (1560 - 7 Des 1615)


Biarkan orang Cina tetap tinggal, tetapi tidak untuk yang lain : Menuju Monopoli Aneh

Ketika kapal yang membawa pesan ini tiba di Banten pada tanggal 30 April 1616, Gubernur Jendral Reynst telah meninggal dunia, dan Reael akan segera menggantikannya113. Seperti yang diungkapkan oleh Meilink-Roelofsz, Reael bersama pendukungnya di kepulauan rempah-rempah menentang gagasan penciptaan Laut Tertutup114. Pada tanggal 10 Mei 1617, Reael membuat pernyataan yang jelas kepada Heeren XVII :
Dalam surat itu, Anda memberikan perintah untuk menjauhkan semua orang asing, terutama Inggris, Perancis, dan lainnya dari Maluku, Ambon, dan Banda, tetapi pertama-tama menyiratkan [mereka] dengan baik. Ini sudah terjadi pada Inggris, dan kami telah memberikan perintah ke semua tempat lain untuk menjalankan ini sesuai perintah Anda....Namun mengenai perintah Anda untuk melarang orang Keling, Melayu, Jawa, dan orang asing lainnya, [kami menyadari] bisnis kita akan menjadi kebingungan total dan terutama pada saat-saat ini ketika [kami] terhuyung-huyung oleh masalah kami dengan orang-orang Spanyol di satu sisi dan dengan orang-orang Inggris di sisi lain115.

Dari perspektif Reael, juga tidak masuk akal untuk mengusir para pedagang Asia dari perairan kepulauan rempah-rempah. Dia berpendapat bahwa masyarakat pribumi Maluku memiliki kewajiban kontrak untuk menjual cengkih secara eksklusif kepada kompeni, tetapi tidak ada dasar hukum “untuk mengizinkan kami mengusir semua orang asing dari tanah mereka”116. Bahkan terhadap kapal jung Cina yang memicu perdebatan ini, Reael menolak untuk melakukan kekerasan. Dalam surat yang sama, ia melaporkan bahwa orang Cina tidak lagi membawa banyak barang ke Maluku, karena mereka menerima perlakuan buruk di Maluku, tetapi ini tidak menghalangi mereka untuk datang, dan jika mereka datang lagi, ia akan “membiarkan mereka tetap tinggal”117.
                Penolakan Reael mengecewekan Heeren XVII dan memfasilitasi promosi Coen. Hal ini telah diantisipasi oleh Heeren XVII sejak awal. Dalam surat mereka kepada Coen tanggal 26 November 1616, Heeren XVII menyatakan ketidakpuasan mereka dengan situasi di kepulauan rempah-rempah, dan berharap bahwa Reael akan mengikuti nasihat Coen118. Perselisihan yang tidak dapat didamaikan ini, akhirnya mengarah pada penggantian Reael oleh Coen. Pada tanggal 25 Oktober 1617, Heeren XVII mengeluarkan surat yang menunjuk Coen sebagai Gubernur Jenderal yang baru, dan sebagai tambahan, mengirimkan pulang Reael kembali ke Republik Belanda119. Dalam surat yang sama, Coen didesak untuk mengambil tindakan segera terhadap para pedagang asing di kepulauan rempah-rempah120.
                Bersamaan dengan perubahan-perubahan ini, sebuah dekrit baru diumumkan pada akhir tahun 1617. Dibawah judul “Instructie voor den Gouverneur en Raden van Indie” (Instruksi untuk Gubernur dan Dewan India), mengatur sejumlah kebijakan untuk mengusir pedagang asing dari kepulauan rempah-rempah, termasuk penggunaan senjata, pengawasan tentara, dan penggantian pembayaran uang tunai dengan kain121. Untuk menggantikan fungsi-fungsi pedagang asing, aturan itu juga berusaha untuk melegalkan sebagaian perdagangan swasta/individu oleh bekas pegawai kompeni. Menurut keputusan ini, hanya mereka yang “baik dan setia” yang telah menyelesaikan pekerjaan mereka di kompeni, yang memenuhi syarat untuk mengajukan diri terlibat dalam “perdagangan bebas “ di Asia. Pengajuan mereka harus diajukan kepada Gubernur Jenderal dan Dewan VOC di Asia122. Yang disebut “perdagangan bebas” ini dianggap sedemikian rupa bermanfaat dan perlu, karena mereka dapat menggantikan pedagang Asia untuk menyediakan perbekalan bagi garnisun VOC, dan mengumpulkan rempah-rempah untuk kompeni123.  
                Strategi itu dengan cepat gagal. Di Ambon, Van der Haghen mengecam kekurangan beras bermutu baik yang disebabkan oleh pengusiran pedagang Asia. Hal itu memaksa Heeren XVII untuk menulis surat kepada Coen pada tanggal 1 Mei 1619, dengan instruksi untuk mengizinkan pedagang Asia mengimpor “ beras putih bermutu baik”124. Laporan yang lebih mengkhawatirkan dibuat oleh Gubernur Van Speult, yang menunjukan bahwa pemberontakan sedang “membara” di antara para prajurit karena konversi pembayaran gaji berupa uang tunai diganti ke pakaian. Untuk menghindari konsekuensi yang membahayakan, Heeren XVII merekomendasikan agar Coen dengan hati-hati menangani masalah ini, dan membiarkan para tentara untuk membuat pilihan mereka sendiri, apakah memilih uang tunai atau pakaian125.
                Coen sebagai penganjur kebijakan ini, sekarang terjebak dalam dilema, dan harus berusaha agar dirinya bisa “lolos” dari dilema ini. Solusinya datang dengan cara yang ironis, karena Cina, yang perdagangannya di Maluku adalah penyebab utama dari perdebatan ini, dipercayakan oleh Coen untuk membantu meringankan kompeni dari krisis ini. Pada tanggal 6 September 1622, ia menulis kepada Heeren XVII : Jika pedagang-pedagang pribumi dari Maluku, Ambon, Banda, dan pulau-pulau bagian timur lainnya tak bisa diusir, kami berpendapat untuk membawa bahan pokok perdagangan lainnya ke kastil Ambon dengan bantuan melalui perdagangan orang Cina, dimana [kami] juga berharap untuk mendapatkan keuntungan yang baik, sebagaimana telah dilakukan126. Dia berpendapat, ini akan menjadi “langkah yang tepat untuk membebaskan Anda dari beban besar yang berlebihan, dan untuk memastikan status kompeni di Hindia, sebagaimana Anda menempatkan orang-orang, yang bisa hidup sebagai orang jujur dan layak, di koloni Anda”127. Kemudian, Coen menjelaskan mengapa bekas pegawai kompeni tidak bisa dipercaya, karena mereka kebanyakan adalah prajurit dan pelaut “ yang diciptakan untuk menghadapi gelombang laut dan rekan-rekan mereka”128. Bahkan, alih-alih menjadi pedagang yang jujur, beberapa tentara dan pelaut berubah menjadi “pedagang bebas” yang menyalahgunakan hak istimewa dan hal memiliki senjata dan amunisi, untuk menjarah pedagang Asia dan berperilaku seperti bajak laut129. Dia juga menyatakan prasangka terhadap “bangsawan Banten, Raja Aceh, Surat, Coromandel, Mataram, dan semua bangsa Moor (Muslim) lainnya”130. Hal ini terkait dengan keprihatinan VOC terhadap relasi rumit antara Muslim dan Kristen di kepulauan rempah-rempah131.
                Pandangan orang Cina sebagai kolaborator yang andal dan rajin tidak “diterima” oleh Coen. Dalam surat yang menunjuk Coen sebagai Gubernur Jenderal dan mendesaknya untuk mengambil tindakan terhadap pedagang-pedagang pribumi/lokal, Heeren XVII telah memberikan instruksi khusus untuk menghunikan pulau Ambon dan Banda dengan orang-orang Cina132. Dalam surat “ Instruksi untuk Gubernur dan Dewan Hindia”, kita dapat menemukan kata-kata seperti “ orang Cina adalah orang yang rajin, pekerja keras, dan tidak bersenjata, yang tidak perlu kita takuti. Mereka tidak akan pernah bisa memberontak dan menjadikan diri mereka sendiri sebagai penguasa negeri-negeri ini”133. Karena itu, Coen mengakuti wacana yang ada dan memanfaatkannya untuk menyeselesaikan masalahnya sendiri.          
Kolaborasi erat antara kompeni dan Cina telah dipraktikan sebelum propsal Coen, sebagian besar karena seorang pedagang Cina terkemuka, yang bernama Inpo. Menurut kajian Blusse baru-baru ini, bahkan lebih awal dari pembentukan VOC, Inpo, yang pada waktu itu masih muda, pernah mengunjungi Republik Belanda pada tahun 1600 dengan kapal Company of Middelburg (salah satu perusahaan pra –VOC yang membentuk VOC pada tahun 1602)134. Dia tinggal di sana selama 1 tahun, belajar Bahasa Belanda, dibaptis di Gereja Reformasi Belanda, dan meninggalkan sebuah lukisan dengan catatan-catatannya135. Setelah kembali ke Asia pada tahun 1602, dia tinggal di Patani untuk bekerja melayani Company of Middelburg dan kemudian VOC136. Pada tahun 1605, ia adalah tokoh kunci yang mendalangi ekspedisi VOC ke Fujian selatan, agar memiliki akses langsung ke pasar Cina137. Meskipun rencana itu gagal, hubungan baiknya dengan kompeni tidak dapat disangkal, karena ia diperlakukan hampir sama seperti orang Belanda138. Kemudian, Inpo ikut serta dalam berbagai aksi untuk kompeni, termasuk pengepungan Malaka oleh Matelief139. Pada tahun 1612, ketika perdagangan di Patani menurun, ia memindahkan seluruh bisnisnya ke Ambon untuk memasok perbekalan benteng Belanda di sana140.
Inpo meninggal di Ambon pada tahun 1614, tetapi hubungan kolabotarif itu telah “tertanam”. Pada tanggal 8 Desember 1619, ketika kekurangan beras di Ambon dilaporkan oleh Van der Haghen, Coen menyetujui penunjukan pemimpin kelompok Cina di Ambon, untuk mengizinkannya mengimpor beras dan migran Cina dari Makasar141. Pada tanggal 28 Februari 1620, Coen mengirim sebuah kapal VOC ke Bima, Sumbawa untuk membawa jung-jung Cina ke Ambon, dan ia berjanji kepada orang-orang Cina, bahwa setelah jung mereka tiba di Ambon, mereka dapat memilih untuk berlayar pulang kembali ke Cina142. Menjelang pertengahan abad ke-17, pemukiman Cina yang ramai telah terbentuk di Ambon143

Steven van der Haghen (1563 - 25 Juli 1624)


Kesimpulan

Jauh lebih kusut secara global daripada yang umumnya dipikirkan oleh banyak sejarahwan dunia, yang disebut Perang Rempah-rempah bukan hanya kisah tentang ekspansi Eropa dan interaksi Asia Tenggara, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan Cina di bagian utara. Dari penangkapan jung-jung Cina oleh Matelif pada tahun 1607, hingga penyelesaian naskah pertama dari ringkasan tentang kemenyan (Xiangsheng) oleh Zhou Jiazhou di Jiangnan pada tahun 1618, dan penerbitan buku geografis maritim (Dongxiyang kao) oleh Zhang Xie pada tahun yang sama, dan akhirnya pada  usulan kebijakan monopoli yang aneh oleh Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1622, peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak berhubungan ini, sebenarnya merupakan fragmen dari sejarah global cengkih yang tak terkatakan, yang tidak mengarah ke bagian barat, ke Samudra Hindia, Timur Tengah, dan Eropa, tetapi terhubung ke bagian utara dengan dunia Asia Timur melalui rute Manila.
Sepanjang periode kekerasan ini, ditandai dengan intensifikasi persaingan Eropa, relasi Cina-Maluku yang hampir tidak terganggu. Sebaliknya, hal itu berkembang dalam bayang-bayang konfrontasi Eropa. Investasi luar biasa yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperang untuk garnisun mereka di Maluku, menciptakan pasar penyediaan yang menguntungkan. Bergantung pada pasar itu, para pedagang Cina dengan hati-hati mempertahankan keseimbangan yang halus, yang memungkinkan mereka untuk melakukan perdagangan dengan kedua belah pihak, dan membawa kembali tidak hanya rempah-rempah, tetapi juga “dana” yang digunakan oleh kekuatan Eropa untuk mendanai perang rempah-rempah. Pengamatan ini, seharusnya tidak mengejutkan kita, karena seni “menguasai “ telah lama dikembangkan di antara para pedagang Cina di kampung halaman mereka, Fujian, dalam interaksi jangka panjang mereka dengan sistem pertahanan pesisir kekaisaran Ming144.
Selain itu, pada awalnya dipicu oleh terkurasnya “dana” oleh kapal-kapal jung Cina, kebijakan VOC terhadap penciptaan Laut Tertutup di kepulauan rempah-rempah, akhirnya berubah menjadi monopoli aneh yang lebih disukai oleh orang Cina. Sebelum kebijakan itu, para pedagang Cina harus bersaing dengan pedagang Asia dan Eropa lainnya di kepulauan rempah-rempah untuk menjual kain, untuk mendapatkan perak, dan untuk membeli cengkih. Setelah serangkaian perubahan yang diperkenalkan oleh Coen dan Heeren XVII, orang Cina menjadi hanya pedagang asing yang diizinkan oleh VOC untuk berlayar ke kepulauan rempah-rempah, untuk memasok perbekalan benteng-benteng VOC, dan untuk tinggal dan membangun jaringan perdagangan mereka sendiri, sementara yang lainnya tidak bisa. Kita bisa menjadikan perkembangan dan fenomena ini, sebagai langkah penting yang pada akhirnya membawa abad-abad China kedalam sejarah Asia Tenggara145.

====== selesai ======


Catatan Kaki

69.    NA, VOC 468: 1, 5 August 1608. This document has been transcribed and published by Leo Akveld as an appendix to Matelief’s journal; see Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 377–9. Many thanks to Menno Leenstra for informing me of this source.
70.    Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 199.
71.      Ibid., 200.
72.     Ibid.
73.     Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 377.
74.     Ryan Crewe very generously offers some highly valuable sources from the Spanish archives. It shows how desperately the Spaniards were dependent on Chinese provisions around this period. In a letter from the general of Maluku to Manila in 1607, it was reported that soldiers at the fort
(Fort Rosario, the principal fort of the Spaniards in Maluku) relied on payments of ropa de chincheo (Zhangzhou cloth). The same report mentioned that there were 88 Sangley (Chinese) of all trades present at the fort, but still not enough to meet the fort’s needs. Most interestingly,
this report mentioned a Sangley ship had arrived, but it only brought 5 of the 74 Sangley construction workers that the general (Juan de Esquivel) had requested. Although with minor discrepancy (74 Chinese workers instead of 75), this account very likely refers to the same shipment of the Chinese junk captured by Matelief in the same year. In the same letter, Esquivel wrote, “there is such a tremendous need that your lordship send us the greatest quantity possible of Sangley
masons, so that we proceed to finish [the fort].” “Letter of Juan de Esquivel, maestre de campo [general] of the Moluccas, to the Audiencia of Manila. 1607.” AGI Filipinas 20, n. 2: f. 7r; f. 8r-v; f. 9r.
75.     Andaya, The World of Maluku, 133; Crewe, “Transpacific Mestizo,” 469–70.
76.    Andaya, The World of Maluku, 137; Brook, Mr. Selden’s Map of China, 124–5.
77.     The story was recorded in Dongxiyang kao, and has been recounted by Brook with reference to Spanish sources. Dongxiyang kao, 5.14b–15a; Brook, Mr. Selden’s Map of China, 124–5; Lobato, “Os chineses nas Ilhas Molucas,” 159.
78.     Andaya, The World of Maluku, 140.
79.    Villiers, “Manila and Maluku,” 151.
80.    Ibid., 160.
81.      Pearson, “Spain and Spanish Trade in Southeast Asia,” 118–20.
82.     Tremml-Werner, Spain, China, and Japan in Manila, 278–82; 284–90.
83.     Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 377.
84.     One quintal is about 100 pounds. The journal of Matelief and the justification of L’Hermite used different accounting units. Whereas the former recorded it as about 500 quintals, the latter counted it as 63 bar. Here the former account is used, because it gives more information such as the price and tax paid by the Chinese. Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 200, 378.
85.     Ibid.
86.    Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 200. It is indeed difficult to tell the final destination of the cloves. Crewe insightfully suggests that this shipment of cloves might be destined to Manila for the
Spaniards. This is because the Spaniards were bound by the treaty obligation with the Portuguese to keep the clove trade exclusively for the Portuguese, and the native rulers in Maluku were also reluctant to sell cloves to the Spaniards. By using the Chinese as carriers, the Spaniards might be able to get around these restrictions.
87.     It refers to Maluku.
88.     In this case, the barbarians (yiren 夷人) refer to foreigners in general, and the Dutch and Spaniards in particular.
89.    Here, it specifically refers to the Dutch and Iberians.
90.    Dongxiyang kao, 5.15b.
91.     Xiangsheng, 25.21a.
92.    Dongxiyang kao, 5.15b–16a.
93.    Ibid
94.     Crewe offers some highly interesting Spanish accounts that the Chinese in Ternate often had a chance to escape from Dutch fortification and conducted espionage for the Spaniards. Salva,
Colección de documentos inéditos para la historia de España, 145, 154, 359, and 360.
95.    Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 377.
96.    “Relação breve da ilha de Ternate, Tydore, e mais ilhas Malucas,” 51; Villiers, “Manila and Maluku,” 152.
97.    Colenbrander, Coen 1: 82–83.
98.    The tension between Coen and Reael regarding Asian traders has been nuanced by Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 207–38; my own Chinese article has supplemented a few points on this issue: Xu, “Qiguai de longduan” [Strange monopoly], passim.
99.    Colenbrander, Coen 1: 82–83.
100.  Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 207–38.
101.   Goor, Jan Pieterszoon Coen, 191–8.
102.  NA, VOC 1057: 81a, 20 May 1614.
103.  NA, VOC 1057: 75a–b, 20 June 1614.
104.  NA, VOC 1060: 167, 7 May 1615.
105.  Colenbrander, Coen 1: 127–8.
106.  NA, VOC 1061: 19a, 6 September 1615; NA, VOC 1061: 20a, 11 September 1615.
107.  NA, VOC 1061: 20a, 11 September 1615.
108.  NA, VOC 1061: 33b, 7 April 1616.
109.  The ship (Swarten Leeuw) carrying that reply would arrive at Banten on 30 April 1616.
110.   NA, VOC 1061: 34a, 9 April 1616.
111.     Colenbrander, Coen 4: 306–7.
112.    Ibid., 311.
113.    Reynst passed away in December 1615. On 19 June 1616, Reael was elected by the Council of Indies (in Asia) as his successor
114.    Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 207–38.
115.    Coolhaas, Generale missiven, 72–3; NA, VOC 1064: 8, 10 May 1617.
116.   Ibid.
117.    NA, VOC 1064: 4b–5a, 10 May 1617.
118.    Colenbrander, Coen 4: 353.
119.   Ibid., 376–8.
120.   Ibid., 379.
121.    Der Chijs, Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 45, 50.
122.   Ibid., 44.
123.   Ibid., 47.
124.   Colenbrander, Coen 4: 419–20.
125.   Ibid., 421.
126.  Colenbrander, Coen 1: 726.
127.   Ibid.
128.   Ibid.
129.  Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 228.
130.  Colenbrander, Coen 1: 726.
131.    Andaya, The World of Maluku, passim; Knaap, “Crisis and Failure,” passim.
132.   Colenbrander, Coen 4: 378.
133.   Der Chijs, Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 50.
134.   Blussé, “Shouwei fanghe huaren enpu de zhenmao” [The real visage], 2–3.
135.   Ibid., 2–4; Blussé, “Inpo,” 12.
136.  Blussé, “Shouwei fanghe huaren enpu de zhenmao” [The real visage], 5.
137.   Ibid., 4–5.
138.   Blussé, “Inpo,” 11–2.
139.  Ibid.
140.  Ibid., 13.
141.    Colenbrander, Coen 2: 609.
142.   Colenbrander, Coen 2: 652.
143.   Knaap, “A City of Migrants,” passim; Iwao, “Anboina (Amboina) no shoki shina cho ni tsu i te” [On the Chinese
quarter at Amboyna], passim.
144.   Szonyi, The Art of Being Governed, 83– 108.
145.   Blussé, “Chinese Century.”



Published Primary Sources

[Chinese]

§  Changwu zhi 長物志 [Treatise on Superfluous Things]. Compiled by Wen Zhenheng 文震亨. Reprint: Yingyin Wenyuange siku quanshu 景印文淵閣四庫全書, vol. 872. Taipei: Shangwu yinshuguan, 1983.
§  Chongxiu zhenghe jingshi zhenglei beiyong bencao 重修政和經史證類備用本草 [Newly revised materia medica of the Zhenghe period, annotated, arranged by types, organised for practicality, and based upon the classics and historical works]. Edited by Zhang Cunhui 張存惠, 1249. Reprint: Beijing: Renmin weisheng chubanshe, 1957. https://shuge.org/ebook/zheng-lei-ben-cao/.
§  Dongxiyang kao 西洋考. Compiled by Zhang Xie , 1618. Block print edition preserved in Harvard Yenching Library. https://shuge.org/ebook/dong-xi-yang-kao/.
§  Jinghetang ji 敬和堂集. Compiled by Xu Fuyuan , 1594. Block print edition preserved in Naigakubunko 閣文庫 (Japan).
§  Jufang fahui 局方發揮 [Elaborations on the Pharmacy’s Formulary]. Compiled by Zhu Zhenheng
朱震亨, 1347. Reprint, Jin Yuan si dajia yixue quanshu 金元四大家醫學全書. Tianjin: Tianjin kexue jishu chubanshe, 1999.
§  The Selden Map of China. Bodleian Library, University of Oxford, MS Selden Supra 105. https:// seldenmap.bodleian.ox.ac.uk.
§  Xiangsheng 香乘 [The Record of Incenses]. Compiled by Zhou Jiazhou 周嘉胄, 1643. Reprint, Yingyin Wenyuange siku quanshu 景印文淵閣四庫全書, vol. 844. Taipei: Shangwu yinshuguan, 1983.
§  Zhinan zhengfa 指南正法 [The true art of pointing south]. Bodleian Library, University of Oxford.


[Dutch, English, Portuguese, Spanish, and Latin]

§  Akveld, Leo, ed. Machtsstrijd om Malakka: De reis van VOC-admiraal Cornelis Cornelisz. Matelief naar Oost-Azië, 1605–1608. Zutphen: Walburg Pers, 2013.
§  Chijs, J. A. van Der, ed. Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602–1811. Part 1. Batavia: Landsdrukkerij, 1885.
§  Colenbrander, H. T., ed. Jan Pietersz. Coen, Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië. 7 vols.
’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919–34.
§  Coolhaas, W. PH. Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, vol. 1. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1960.
§  Fletcher, Francis. The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to That to Nombre de Dios. London: Hakluyt Society, 1856.
§  Galvão, Antonio. A Treatise on the Moluccas. Translated by Hubert Th. Th. M. Jacobs. Rome: Jesuit Historical Institute, 1971.
§  “Relação breve da ilha de Ternate, Tydore, e mais ilhas Malucas, aonde temos fortalezas, e presidios, e das forças, naos, e fortalezas, que o enemigo olandes tem por aquelas partes,” Malacca, 28 November 1619. In Documentação Ultramarina Portuguesa, vol. 2. Lisbon: Centro de Estudos Historicós Ultramarinos, 1962.
§  Salva, Miguel, ed. Colección de documentos inéditos para la historia de España, vol. 52. Madrid: Viuda de Calero, 1868.
§  Selden, John. Mare Clausum seu De dominio maris. London: R. Meighen, 1635.

Secondary Sources
[Chinese and Japanese]

§  Blussé, Leonard. “Shouwei fanghe huaren Enpu de zhenmao” 首位訪荷華人恩浦的真貌 [The real visage of the first Chinese in Vlissingen]. Guojia hanghai 國家航海 [National maritime research] vol. 17 (2016): 1–8.
§  Chen, Tsung-Jen 陳宗仁. “Mr. Selden’s Map youguan Riben de miaohui jiqi zhishi yuanyuan.” Mr. Selden’s Map 有關日本的描繪及其知識淵源 [The origin of Japanese shape in Mr. Selden’s map]. In Yazhou haiyu jian de xinxi chuandi yu xianghu renshi 亞洲海域間的 信息傳遞與相互認識 [Transmission of information and mutual understanding across the Asian waters], edited by Shiuh-Feng Liu 劉序楓, 341–84. Taipei: Research Centre for Humanities and Social Sciences, Academia Sinica, 2018.
§  Fan, Ka Wai 范家偉. Beisong jiaozheng yishuju xintan 北宋校正醫書局新探 [A new exploration on the Medical Books Revision Bureau of the Northern Song Dynasty]. Hong Kong: Chung Hwa Book 中華書局, 2014.
§  Fan, Xingzhun 范行准. Zhongguo yixue shilue 中國醫學史略 [A sketch history of Chinese medicine]. Beijing: Zhongyi Guji Chubanshe 中醫古籍出版社, 1986.
§  Iwao, Seiichi 岩生成一. “Anboina (Amboina) no shoki Shinamachi ni tsuite” アンボイナ (Amboina) の初期支那町について [On the Chinese quarter at Amboyna in the early days]. Toyo Gakuho 東洋学報 33 (34) (1951): 269–311.
§  Leung, Angela Ki Che 梁其姿. “Song-Yuan-Ming di difang yiliao ziyuan chutan” 宋元明地地方 醫療資源初探 [A preliminary study on local medical resources of the Song-Yuan-Ming dynasties]. Zhongguo shehui lishi pinglun 中國社會歷史評論 [Review of Chinese social history], 3 (2001): 219–37.
§  Liu, Jingmin [Liu Ching-Ming] 劉靜敏. Songdai xiangpu zhi yanjiu 宋代《香譜》之研究 [A study of the compendia of incense during the Song period]. Taipei: Wenshizhe chubanshe 文史哲出版社, 2007.
§  Okamoto, Yoshitomo 岡本良知. Chūsei Morukka Shotō no kōryō 中世モルッカ諸島の香料 [The spices of the Maluku Islands in the Middle Period]. Tokyo: Toyodo 東洋堂, 1944.
§  Qin, Zhen 秦蓁. “Zhou Jiangzuo Shiji” 周江左事 [On the life and achievements of Zhou Jiazhou]. Shilin 史林 5 (2012): 65–74.
§  Xia, Shihua 夏時華. Songdai xiangyao ye jingji yanjiu 宋代香藥業經濟研究 [A study of the aromatic economy in the Song period]. PhD diss., Shaanxi Normal University, 2012.
§  Xiang, Da 向達, ed. Liang zhong haidao zhenjing 兩種海道針經 [Two rutters]. Beijing: Zhonghua Shuju 中華書局, 1961.
§  Xu, Guanmian 徐冠勉. “Qiguai de longduan: Huashang ruhe zai Xiangliao Qundao chengwei Helan Dongyindu Gongsi zuizao de ‘hezuo huoban’ (1560–1620 niandai)” 奇怪的壟斷: 華商如何在香
料群島成為荷蘭東印度公司最早的合作夥伴 (1560–1620 年代) [Strange monopoly: How Chinese merchants became the earliest collaborators of the Dutch East India Company, 1560s– 1620s]. Quanqiushi pinglun 全球史評論 [Global history review] 12 (2017): 45–85.
§  Yamada, Kentaro 山田憲太郎. Tōa kōryō shi kenkyū 東亞香料史研究 [A study of the history of perfumery and spices in the Far East]. Tokyo: Chuo-koron Bijutsu Shuppan 中央公論美術出版, 1976.
§  Yang, Zhishui 揚之水. Xiangshi 香識 [Knowing incense]. Guilin: Guangxi Normal University Press, 2011.
§  Zhang, Chonggen 張崇根. “Guanyu liang zhong haidao zhenjing de zhuzuoniandai” 關於兩種海 道針經的著作年代 [On the date of the compilation of two rutters]. Studies in the History of the Relations between China and Foreign Countries, vol. 1 (1984): 183–94.
§  Zhang, Xueqian . “Cong Zhu Zhenheng dao Danxi xuepai: Yuan Ming ruyi he yixue xuepai de shehuishi kaocha” 从朱震亨到丹溪学派:元明儒医和医学学派的社会史考察 [From Zhu Zhenheng to the Danxi School: A social history of the Confucian physician and medical school in late imperial China]. Bulletin of IHP 中央研究院历史语言研究所集刊 86:4 (2015): 777–808.
§  Zhou, Yunzhong 周運中. “Niujin daxue cang Mingmo Wanlaogao Minshang hanghaitu yanjiu” 津大學藏明末萬老高閩商航海圖研究 [A study of Fujian merchants’ Maluku map of the later Ming period collected in Oxford University]. Wenhua zazhi 文化雜誌 87 (2013): 182–94.


[Dutch, English, French, and Portuguese]

§  Andaya, Leonard Y. “Local Trade Networks in Maluku in the 16th, 17th, and 18th centuries.” Cakalele 2:2 (1991): 71–96.
—— The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
§  Batchelor, Robert K. London: The Selden Map and the Making of a Global City, 1549–1689. Chicago: University of Chicago Press, 2014.
§  Blussé, Leonard. “Chinese Century: The Eighteenth Century in the China Sea Region.” Archipel 58 (1999): 107–29.
——. “Inpo, Chinese Merchant in Patani: A Study in Early Dutch-Chinese Relations.” In Proceedings of the Seventh IAHA Conference, Bangkok 1977, 290–309. Bangkok: Chulalongkorn University Press, 1979.
§  Borschberg, Peter. Hugo Grotius, the Portuguese and Free Trade in the East Indies. Leiden: KITLV Press, 2011.
§  Brixius, Dorit. “A Pepper Acquiring Nutmeg: Pierre Poivre, The French Spice Quest and the Role of Mediators in Southeast Asia, 1740s to 1770s.” Journal of the Western Society for French History 43 (2015): 68–77.
§  Brook, Timothy. The Confusion of Pleasure: Commerce and Culture in Ming China. Berkeley: University of California Press, 1998.
§  Brooke, Timothy. Mr. Selden’s Map of China: Decoding the Secrets of a Vanished Cartographer. New York: Bloomsbury Press, 2013.
§  Bulbeck, David, et al. Southeast Asian Exports since the 14th Century: Cloves, Pepper, Coffee, and Sugar. Leiden: KITLV Press, 1998.
§  Cheng, Weichung. “Putchock of India and Radix China: Herbal Exchange around Maritime Asia via the VOC during the 17th and 18th Centuries.” Journal of Social Sciences and Philosophy 30:1 (2018): 75–117.
——. War, Trade and Piracy in the China Seas, 1622–1683. Leiden: Brill, 2013.
§  Chia, Lucille. “Of Three Mountain Street: The Commercial Publisher of Ming Nanjing.” In Printing and Book Culture in Late Imperial China, edited by Cynthia J. Brokaw and Kai-wing Chow, 107–51. Berkeley: University of California Press, 2005.
——. Printing for Profit: The Commercial Publishers of Jianyang, Fujian (11th–17th Centuries). Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2002.
§  Clunas, Craig. Empire of Great Brightness: Visual and Material Cultures of Ming China, 1368– 1644. Honolulu: University of Hawai’i Press, 2007.
——. Superfluous Things: Material Culture and Social Status in Early Modern China. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1991.
§  Crewe, Ryan. “Transpacific Mestizo: Religion and Caste in the Worlds of a Moluccan Prisoner of the Mexican Inquisition.” Itinerario 39 (2015): 463–85.
§  Elman, Benjamin. “Collecting and Classifying: Ming Dynasty Compendia and Encylopedias (Leishu).” Extrême-Orient, Extrême-Occident, hors série (2007): 131–57.
§  Finnane, Antonia. Speaking of Yangzhou: A Chinese City, 1550–1850. Cambridge Mass.: Cambridge University Press, 2004.
§  Goldschmidt, Asaf. “Commercializing Medicine or Benefiting the People: The First Public Pharmacy in China.” Science in Context 21: 3 (2008): 311–50.
——. The Evolution of Chinese Medicine: Song Dynasty, 960–1200. London: Routledge, 2009.
§  Goor, Jur van. Jan Pieterszoon Coen, 1587–1629: Koopman-koning in Azië . Amsterdam: Boom, 2015.
§  Hartwell, Robert M. “Foreign Trade, Monetary Policy and Chinese ‘Mercantilism.’” In Collected Studies on Sung History Dedicated to James T. C. Liu in Celebration of His Seventieth Birthday, edited by Kinugawa Tsuyoshi, 453–88. Kyoto: Dohōsha, 1989.
§  Hinrichs, T. J. The Medical Transforming of Governance and Southern Customs in Song Dynasty China. PhD diss., Harvard University, 2003.
§  Ittersum, Martine Julia van. “Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609–1621.” History of European Ideas 42: 4 (2016): 459–501.
——. Profit and Principle: Hugo Grotius, Natural Rights Theories and the Rise of Dutch Power in the East Indies, 1595–1615. Leiden: Brill, 2006.
§  Jung, Dinah. “The Cultural Biography of Agarwood: Perfumery in Eastern Asia and the Asian Neighbourhood.” Journal of the Royal Asiatic Society 23:1 (2013): 103–25.
§  Knaap, Gerrit. “A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century.” Indonesia 15 (1991): 105–28.
——. “Crisis and Failure: War and Revolt in the Ambon Islands, 1636–1637.” Cakalele 3 (1992): 1–26.
——. Kruidnagelen en christenen: De Verenigde Oostindische Compagnie en de bevolking van Ambon, 1656–1696. Leiden: Brill, 2004.
§  Kogou, Sotiria, et al. “The Origins of the Selden Map of China: Scientific Analysis of the Painting Materials and Techniques using a Holistic Approach.” Heritage Science 4:28 (2016): 1–24.
§  Laurent, Céderic. “Le parfum dans les maisons élégantes sous la dynastie Ming (1368–1644).” In Parfums de Chine: La culture de l’encens au temps des empereurs, edited by Éric Lefebvre. Paris: Musée Cernuschi, 2018.
§  Leung, Angela Ki Che. “Medical Learning from the Song to the Ming.” In The Song-Yuan-Ming Transition in Chinese History, edited by Paul Jakov Smith and Richard von Glahn. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2003.
§  Leung, Angela Ki Che, and Ming Chen. “The Itinerary of Hing/Awei/Asafetida across Eurasia, 400–1800.” In Entangled Itineraries: Materials, Practices, and Knowledges across Eurasia, edited by Pamela H. Smith. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2019.
§  Leur, J. C. van. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. The Hague: W. van Hoeve, 1955.
§  Lobato,Manuel.“Os chineses nas IlhasMolucas: da prioridade no comércio de longa distância à fixação de uma comunidade residente.” In Portugal e a China – Conferências nos Encontros de História Luso-Chinesa, edited by Jorge dos Santos Alves, 147–172. Lisboa: Fundação Oriente, 2001.
§  Lopez, Ariel C. Conversion and Colonialism: Islam and Christianity in North Sulawesi, c. 1700– 1900. PhD diss., Leiden University, 2018.
§  Ly-Tio-Fane, Madeleine. Mauritius and the Spice Trade: The Odyssey of Pierre Poivre. Mauritius: Esclapon, 1958.
§  McDermott, Joseph P. A Social History of the Chinese Book: Books and Literati Culture in Late Imperial China. Hong Kong: Hong Kong University Press, 2006.
§  Meilink-Roelofsz, M. A. P. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962.
§  Milton, Giles. Nathaniel’s Nutmeg: How One Man’s Resolve Changed the World. London: Hodder & Stoughton, 1999.
§  Nie, Hongping Annie. The Selden Map of China: A New Understanding of the Ming Dynasty. Bodleian Libraries, University of Oxford, 2014.
§  Pearson, M. N. “Spain and Spanish Trade in Southeast Asia.” Journal of Asian History 2:2 (1968): 109–29.
——. Spices in the Indian Ocean World. Aldershot: Variorum, 1996.
§  Prakash, Om. “Restrictive Trading Regimes: VOC and the Asian Spice Trade in the Seventeenth Century.” In Emporia, Commodities and Entrepreneurs in Asian Maritime Trade, ca. 1400– 1750, edited by R. Ptak and D. Rothermund, 107–26. Stuttgart: Steiner Verlag Wiesbaden, 1991.
§  Prange, Sebastian R. “‘Measuring by the Bushel’: Reweighing the Indian Ocean Pepper Trade.” Historical Research 84:224 (2011): 212–35.
§  Ptak, Roderich. “China and the Trade in Cloves, Circa 960–1435.” Journal of the American Oriental Society 113:1 (1993): 1–13.
——. “The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea—Sulu Zone—North Moluccas (14th to Early 16th Century).” Archipel 43 (1992): 27–56.
§  Sabban, Françoise. “Court Cuisine in Fourteenth-Century Imperial China: Some Culinary Aspects of Hu Sihui’s Yinshan Zhengyao.” Food and Foodways vol. 1 (1986): 161–96.
§  Schafer, Edward H. The Golden Peaches of Samarkand: A Study of T’ang Exotics. Berkeley: University of California Press, 1963.
§  Schrieke, B. Indonesian Sociological Studies, vol. 1. The Hague: W. van Hoeve, 1955.
§  Shinno, Reiko. The Politics of Chinese Medicine under Mongol Rule. London: Routledge, 2016.
§  Silva, C. R. de. “The Portuguese and the Trade in Cloves in Asia during the Sixteenth Century.” The Eighth Conference: International Association of Historians of Asia; Selected Papers, edited  by Mohd Amin Hassan and Nik Hassan, 251–60. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988.
§  So, Jenny F. “Scented Trails: Amber as Aromatic in Medieval China.” Journal of the Royal Asiatic Society 23:1 (2013): 85–101.
§  Szonyi, Michael. The Art of Being Governed: Everyday Politics in Late Imperial China. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2017.
§  Tremml-Werner, Birgit. Spain, China, and Japan in Manila, 1571–1644. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2015.
§  Villiers, John. “Manila and Maluku: Trade and Warfare in the Eastern Archipelago, 1580–1640.” Philippine Studies 34:2 (1986): 146–61.
§  Widjojo, Muridan. The Revolt of Prince Nuku: Cross-Cultural Alliance-Making in Maluku, c. 1780–1810. Leiden: Brill, 2009.
§  Yang, Zhishui. “L’encens sous les Song (960–1279) et les Yuan (1279–1368).” In Parfums de Chine: La culture de l’encens au temps des empereurs, edited by Éric Lefebvre. Paris: Musée Cernuschi, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar