Selasa, 04 Agustus 2020

Cina dan perdagangan cengkih, sekitar tahun 960-1435 (bag 2 - selesai)


By Roderich Ptak

IMPOR CENGKIH KEKAISARAN SUNG
Data Individual


                Pembagian pasti cengkih dalam total impor kekaisaran Sung masih belum diketahui, tetapi sumber-sumber kekaisaran Sung mengandung setidaknya beberapa data sehubungan dengan misi upeti yang datang dari negara-negara maritim. Data-data ini, yang dikumpulkan dari SHY dan SS, dirangkum dalam tabel 1. Tinjauan singkat dari tabel ini menunjukan, bahwa Champa dan Indonesia adalah pemasok utama cengkih, tetapi jumlah cengkih yang dipasok oleh tempat-tempat ini minimal dibandingkan dengan jumlah barang-barang dan hsiang-yao lainnya. Pada tahun 992, misalnya, Jawa hanya mengirimkan 10 chin cengkih, dibandingkan dengan 4.423 chin cendana dan berbagai barang lainnya, termasuk komoditas berharga atau setengah berharga, seperti gading dan kulit kura-kura; pada tahun 1017, Sriwijaya mengirim lebih dari 80.000 chin kemenyan, hampir 20.000 chin cendana, dan lebih dari 10.000 chin lada, bersama dengan pengiriman barang-barang lainnya yang besar, sementara jumlah cengkih – totalnya 30 chin – dapat diabaikan; dan Champa, 1 tahun kemudian, mengirimkan 80 chin cengkih, dibandingkan dengan 1.500 chin sirih, 72 gading gajah, dan berbagai barang lainnya, beberapa diantaranya jelas melebihi margin 100 chin. 
             
               Tentu saja, sebagian besar impor cengkih dan barang-barang tropis lainnya tidak tercatat, tetapi beberapa perhitungan yang kita punyai, menunjukan bahwa kepentingan cengkih relatif, dalam kategori “aromatik dan obat-obatan”, dan, dengan demikian, dalam total impor kekasairan Sung Cina dari negara-negara maritim Asia, itu terbatas. Faktanya, jumlah yang dilaporkan sangat kecil sehingga bahkan jika ada angka yang menunjukan harga terlalu tinggi – dan tidak ada angka seperti itu – akan sulit untuk menetapkan tingkat kepentingan yang tinggi untuk perdagangan. Impor cengkih Cina paling-paling membuat bisnis cabang-cabang perusahaan menguntungkan, yang tidak dapat dibandingkan dengan perdagangan aromatik lainnya, atau barang-barang “bagus” seperti kemenyan atau bahkan kulit kura-kura36.
                Bagaimana cengkih mencapai kekaisaran Sung Cina? Beberapa sumber pada perdagangan maritim sebelum kekaisaran Sung dan Sung memang menyebutkan Maluku, tetapi agak “diam” atau tidak menyampaikan tentang hubungan langsung antara Cina dan Maluku atau wilayah Indonesia bagian timur lainnya. Juga tidak ada bukti, bahwa orang-orang Indonesia bagian timur “tinggal” di antara komunitas asing di pelabuhan-pelabuhan Cina37. Karena itu, dilihat dari tabel, tampak bahwa Jawa, Sriwijaya, Champa, dan mungkin Butuan di Mindanao (jika P’u-tuan adalah benar-benar Butuan) difungsikan sebagai eksportir utama cengkih ke Timur Jauh. Jawa dan Sriwijaya serta Butuan mungkin memiliki akses langsung ke Maluku, sementara Champa, mungkin menerima cengkihnya melalui orang Indonesia sendiri, atau melalui komunitas asing yang tinggal di pantainya38. Namun, tidak ada bukti yang jelas yang menunjukan hubungan langsung antara Champa dan Indonesia bagian timur, saya (penulis) juga tidak dapat menemukan pernyataan tertulis yang jelas, tentang pelayaran pedagang Filipina ke Maluku bagian utara. Semua ini, mungkin menyiratkan 2 hal. Relatif sedikit kapal berlayar melalui Laut Sulawesi, dan jika kiriman cengkih melewati daerah ini, kiriman itu cenderung berpindah tangan (di Butuan?) sebelum mencapai Champa atau Cina. Namun, mengingat pengaruh komersial Sriwijaya dan Jawa, sebagian besar cengkih yang tiba di kekaisaran Sung Cina, mungkin meninggalkan Maluku melalui Jawa.
                Beberapa catatan harus ditambahkan pada gambaran tentatif perdagangan cengkih Cina ini. Chao Ju-kua, mencantumkan cengkih sebagai “produk” Sriwijaya, Jawa, dan pulau-pulau terdekat. Ini merupakan pernyataan yang samar-samar, karena luasnya kekuasaan Sriwijaya dan Jawa di bagian timur, tidak diketahui secara pasti; karenanya, dalam kasus untuk Sriwijaya dan Jawa, “diimpor” atau “dieskpor kembali” akan lebih tepat daripada “diproduksi”. Chao Ju-kua juga mengindikasikan bahwa cengkih dibawa ke Ceylon, India selatan, dan Oman. Hal ini dapat diterima, tetapi klaimnya bahwa Ta-shih – atau Timur Dekat/Timur Tengah, mungkin hanya Persia – “menghasilkan” cengkih, adalah keliru atau salah, seperti yang kita lihat sebelumnya. Karya-karya geografis Cina lainnya tidak banyak berbicara tentang cengkih. Ma Tuan-lin dan Chou Ch’u-fei mencantumkan cengkih dalam hubungannya dengan misalnya, Tu-Po dan Jawa, tetapi tidak menambahkan sesuatu yang baru39.
                Karya-karya Arab yang berasal dari abad ke-9 hingga abad ke-12 memuat beberapa referensi ke “kepulauan rempah-rempah”, tetapi ini juga sama-sama mengecewakan. Laporan singkat Marwazi tentang Maluku, bersifat semi-fiktif dan menggambarkan perdagangan cengkih sebagai “barter sunyi”; Ibn Khurdadhbih dan Mukhtasar al-Aja’ib menempatkan Maluku pada jarak hanya 15 hari dari pulau Jaba, Salahit dan Harang, yang mungkin dekat dengan Singapura sekarang40. Jaraknya terlalu pendek untuk sebuah perjalanan dari Selat (Malaka) ke Maluku melalui Jawa atau, sebagai alternatif, melalui Brunei, sedikit penghargaan yang bisa diberikan untuk referensi Arab ini; sumber-sumber itu sama sekali tidak bisa digunakan, dalam menentukan situasi apa yang mungkin terjadi di sepanjang rute perdagangan ke dan dari Maluku. 


PERIODE KEKAISARAN YUAN

                Perdagangan maritim di bawah bangsa Mongol, pada umumnya, mengikuti pola yang berkembang di bawah kekaisaran Sung. Sistem Merchant Shipping Offices atau “Kantor pelayaran para pedagang” tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi seiring berjalannya waktu. Perbedaan antara barang-barang “kasar” dan “bagus” juga berlanjut, Hingga tahun 1314, barang-barang ini tampaknya dikenakan pajak masing-masing dengan tarif 1/15 dan 1/10. Selain itu, biaya tambahan kecil harus dibayar; ini hal baru dan bukan kasus kekaisaran Sung. Pada tahun 1314, tarif pajak dinaikkan menjadi 2/15 dan 1/541. Mungkin, cengkih diklasifikasikan sebagai barang “bagus”, tetapi data yang tepat tidak ada. Juga tidak diketahui, apakah perubahan dalam perpajakan mempengaruhi komposisi komoditas impor, dan, jika mempengaruhi, bagaimana.
                Pemerintah Yuan, seperti pemerintah Sung, mengeluarkan berbagai undang-undang dan peraturan untuk mengekang penggelapan pajak dan bisnis ilegal. Tapi juga menetapkan, misalnya, bahwa pedagang dan pelaut akan dibebaskan dari korve. Oleh karena itu, beberapa langkah pemerintah merangsang perdagangan, yang lain bersifat represif42. Pelabuhan-pelabuhan utama terus berkembang. Seperti sebelumnya, Kanton dan Ch’uan-chou adalah pelabuhan paling penting untuk perdagangan dengan Asia Tenggara, tetapi karena Kanton telah menderita kerusakan serius pada periode transisi Sung – Yuan, volume perdagangan yang melewati Ch’uan-chou sekarang, mungkin melebihi volume perdagangan yang melewati Kanton43.
Sedikit yang diketahui tentang impor individual rempah-rempah dan obat-obatan ke kekaisaran Yuan Cina, tetapi Ch’en Ta-chen, dalam uraiannya tentang Kanton, setidaknya menyebutkan cengkih sebagai barang obat-obatan yang berasal dari luar negeri44.  Wang Ta-yuan juga merujuk pada cengkih, tetapi bukan sebagai barang impor; cengkih, katanya, diperdagangkan di Mundra, Bengal, Hormuz, dan Pegu (?), dan diproduksi di Maluku. Dia juga mengamati, dengan cukup benar, bahwa pala dan bunga pala berasal dari kepulauan Banda45. Karya kekaisaran Yuan lainnya, dengan unsur fiktif yang kuat, IYC, mengklaim bahwa cengkih diproduksi di P’u-chia-lung, mungkin Pekalongan di Jawa, dan bahwa ada “negara cengkih” (Tinghsiang kuo) – mungkin referensi untuk Maluku. Informasi ini kemudian diulangi lagi dalam IYTC46.
Yang paling menarik sehubungan dengan laporan-laporan ini, adalah bahwa Wang Ta-yuan jelas merujuk pada kapal-kapal Cina yang pergi ke Maluku setiap tahun. Wang juga menjelaskan atau menyebutkan bahwa beberapa daerah lain di Indonesia bagian timur – misalnya, Klabat atau Timor. Begitu juga Ch’en Ta-chen, yang mencantumkan nama-nama kelompok Maluku, Banda, dan Banggai47. Kepulauan Sulu, sekarang juga dikenal oleh para pelaut dan ahli geografi Cina, dan ada bukti yang jelas tentang pedagang Cina yang berlayar ke Brunei48. Antonio Galvao, menulis pada abad ke-16, tetapi tentu mengacu pada periode pra-kekaisaran Ming, menambahkan bahwa Cina “adalah yang pertama membeli cengkih secara grosir di kepulauan” dan bahwa mereka selalu datang melalui Kalimantan bagian utara49. Secara bersama-sama, ini dan informasi lainnya, seperti keberadaan “tekstil Champa dan Hainan” di Klabat, atau referensi Ma Tuan-lin terhadap rute perdagangan dari Champa ke Kalimantan bagian utara dan Mait di Filipina, jelas menunjukan lalu lintas yang lewat dari Laut Cina Selatan ke zona Sulu, Laut Sulawesi, dan Indonesia bagian timur. Singkatnya, maka, sangat mungkin bahwa pada zaman kekaisaran Yuan, sebagian besar cengkih dikirim ke Cina melalui zona Sulu dan Kalimantan bagian utara50. Kesimpulan ini juga secara tidak langsung diperkuat oleh fakta, bahwa, sejauh yang saya (penulis) tahu, cengkih tidak terdaftar di antara barang-barang yang dibawa ke Cina oleh misi upeti dari Indonesia bagian tengah atau barat pada masa Mongol.
Beberapa pertanyaan muncul dari pengamatan ini. Berapa tingkat impor cengkih kekaisaran Yuan Cina? Ada pergeseran geografis dalam rute cengkih yang dikirim ke Cina, yaitu, dari Jawa ke rute Kalimantan yang lebih langsung – perubahan yang mengeluarkan biaya transportasi lebih rendah, dan dengan demikian menghasilkan pembelian cengkih Cina yang lebih besar (“grosir”!)?. Mungkinkah itu karena beberapa (atau semua) pedagang Cina yang terlihat di Maluku adalah orang Cina perantauan, yang sekarang, telah mulai menetap di berbagai bagian Asia Tenggara dan mungkin mendekati kepulauan rempah-rempah melalui Jawa? Atau, sebagai alternatif, jika mereka datang melalui Kalimantan bagian utara, apakah mereka Muslim Cina dari Champa atau Hainan, atau lebih tepatnya Cina dari Fukien dan Kuangtung?. Apakah cengkih, begitu melewati zona Sulu, mencapai Cina melalui Filipina, atau menuju ke daerah Champa-Hainan terlebih dahulu, dan kemudian ke Cina?. Akhirnya, apakah kampanye Mongol melawan Champa dan Jawa pada akhir abad ke-13, berpengaruh terhadap pengiriman cengkih ke Cina, sehingga pengeksporan ulang Champa dan Jawa menurun?51.

AWAL KEKAISARAN MING

                Tidak ada jawaban untuk pertanyaan di atas, tetapi menarik bahwa begitu kita memasuki periode awal kekaisaran Ming, laporan Cina tentang Indonesia bagian timur, sekali lagi, hampir sepenuh absen. Untuk mulai dengan MSL (bagian pada periode Hung-wu), sumber paling penting untuk perdagangan upeti periode awal kekaisaran Ming, berisi referensi tentang cengkih yang dikirim sebagai upeti oleh Siam, Sriwijaya, dan Kamboja; tetapi tidak ada delegasi/misi upeti dari Indonesia bagian timur yang tercatat, dan tidak ada delegasi yang datang dari wilayah Kalimantan-Sulu-Filipina yang dikatakan membawa cengkih52.
                Informasi yang terkandung dalam sumber-sumber awal dan pertengahan abad ke-15, sama-sama mengecewakan.  Ma Huan dan Kung Chen, yang ikut dalam ekspedisi terkenal Cheng Ho ke Asia Tenggara dan Samudera Hindia (1405 – 1433), tidak menyebutkan cengkih sama sekali. Fei Hsin, pada bagian pertama bukunya, yang berisi informasi asli, mencantumkan cengkih sebagai barang dagangan di India selatan53. TMITC mengklaim bahwa cengkih adalah hasil bumi Jawa54. Akhirnya, ulasan singkat tentang data MSL tentang perdagangan upeti di awal abad ke-15 juga menunjukan bahwa tida ada (atau paling-paling, hanya jumlah yang minimal) cengkih yang dikirim sebagai upeti ke Cina pada zaman Cheng Ho. Perlu diulangi lagi: tidak ada karya yang disebutkan di atas, yang berisi informasi kontemporer (terbaru) tentang perdagangan di Maluku.
                Hanya dalam sumbe-sumber awal abad ke-16 yang referensinya lebih banyak muncul. Huang Sheng-tseng, yang menulis pada tahun 1520, melaporkan bahwa Malaka, Brunei, Siam, dan Samudra mengirimkan cengkih sebagai upeti55. Beberapa tulisan pertengahan atau akhir abad ke-16, mencantumkan negara yang sama, atau memodifikasi daftar, tetapi tulisan itu lebih mengandalkan pada teks-teks sebelumnya dan menambahkan secara praktis tidak ada rincian baru sejauh perdagangan ke Indonesia bagian timur atau zona Sulu yang bersangkutan. Dalam kebanyakan kasus, bahkan tidak jelas pada periode mana, sumber-sumber ini merujuk56. Hal ini juga berlaku untuk Shun-feng hsiang-sung, sebuah buku dengan tanggal dan asal yang tidak pasti. Buku ini berisi instruksi pelayaran, yang sebagian berhubungan dengan rute perdagangan di zona Sulu dan sekitarnya, tetapi instruksi ini mungkin berasal dari periode akhir kekaisaran Ming, ketika pedagang swasta Cina memang berlayar melalui Laut Sulawesi57.
                Kembali ke periode akhir kekaisaran Yuan dan awal kekaisaran Ming, kita harus bertanya mengapa sekarang, sekali lagi, sebagian besar dari semua impor cengkih, tampaknya dikirim ke Cina melalui Jawa. Beberapa faktor mungkin telah berkontribusi nyata pada pergeseran kedua dalam rute pasokan cengkih ini.
1.         Pada akhir periode kekaisaran Yuan, antara tahun 1357 dan 1366, pemberontakan kaum Muslim mengguncang daerah sekitar Ch’uan-chou, Hsing-hua, dan Hui-an. Pemberontakan ini dihancurkan, dan perdagangan maritim wilayah Ch’uan-chou sangat menderita58.
2.        Selain itu, awal kekaisaran Ming melarang sebagian besar perdagangan laut individual/swasta; perkembangan-perkembangan ini secara bersama-sama pastilah mengarah pada pengurangan perdagangan individual/swasta yang di masa kekaisaran Yuan, telah meluas ke Maluku, dan juga dengan demikian menjadi kekurangan aromatik dan impor lainnya59.
3.        Tampaknya, pengaruh kerajaan Majapahit meluas ke arah utara, kepulauan Sulu, dan Maluku, dan baru pada pergantian abad, pengaruh ini menghilang; selain itu, untuk beberapa waktu, menurut sumber-sumber Cina, ada kekacauan di wilayah Sulu-Kalimantan, dan mungkin pedagang Cina yang menghindari larangan kekaisaran Ming, akan beresiko mendapat hukuman berat, berpikir bahwa melalui zona Sulu akan terlalu berbahaya dan hanya menimbulkan tambahan resiko60.
4.       Pada awal abad ke-15, ketika Cina mengirim armada bersenjata dan mempromosikan perdagangan pemerintah (resmi), wilayah Sulu-Brunei menjadi tetang, dan kedua tempat itu bersaing untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan Cina dengan mengirimkan upeti ke Nanking
5.        Tetapi hanya armada kecil pemerintah Cina yang berlayar ke zona Sulu, dorongan utama ekspnasi maritim Cina diarahkan ke daratan Asia Tenggara, Indonesia bagian barat, dan ke Samudera Hindia. Jelas sekali, dari sudut pandang pemerintah kekaisaran Ming, zona Sulu kurang terlalu penting61.
6.       Sekarang, pedagang swasta/individual Cina, di antara mereka mungkin beberapa pengungsi Muslim dari Ch’uan-chou, telah menetap di tempat-tempat Jawa bagian utara, dan mungkin para pedagang ini yang berhubungan dengan Indonesia bagian timur, sehingga memasok rempah-rempah ke armada Cheng Ho, yang disebut di pelabuhan-pelabuhan daratan Asia Tenggara, Sumatra dan Jawa62. Jika kerjasama semacam itu antara sektor perdagangan swasta Cina di luar negeri dan sektor perdagangan pemerintah kekaisaran Ming memang ada, mungkin lebih murah bagi Cina, untuk mengimpor cengkih melalui Jawa daripada melalui zona Sulu
7.        Orang Jawa dan lainnya mungkin telah berpartisipasi dalam perdagangan melalui Laut Jawa, sehingga cengkih sebagian besar telah “dikeringkan” atau “diborong” dari Maluku oleh pasar yang bisa dicapai dengan lebih mudah melalui rute selatan daripada rute utara.
               
Faktor-faktor yang tercantum di atas, mungkin memberi tahu kita sesuatu tentang rute pengiriman cengkih awal kekaisaran Ming dari area-area produksi ke Cina, tetapi ada 2 hal yang gagal dijelaskan oleh faktor-faktor di atas: apa sifat dari hubungan antara Maluku bagian utara dan zona Sulu sekitar tahun 1400, dan mengapa itu, secara keseluruhan, ada begitu sedikit referensi untuk impor cengkih Cina pada periode itu?. Tidak ada jawaban pasti yang dapat diberikan untuk pertanyaan pertama; namun, ada kemungkinan bahwa hubungan perdagangan melalui Laut Sulawesi dalam kondisi yang bauruk pada waktu itu, karena ketegangan antar orang-orang Sulu dan kerajaan Majapahit, yang masih mempertahankan pengaruhnya atas Maluku sampai sekitar tahun 141063.
 Pertanyaan lain menyangkut struktur permintaan di Cina dan di tempat lain. Di satu sisi, sumber-sumber menunjukan bahwa awal kekaisaran Ming Cina mengimpor sejumlah besar lada dan kayu cendana64 ; sumber-sumber itu juga mengandung sejumlah besar referensi untuk impor kuda dan perdagangan berbagai komoditas lainnya. Oleh karena itu, masuk akal untuk berasumsi bahwa, jika sejumlah besar cengkih dibutuhkan dan diterima, hal ini pasti akan muncul juga di sumber-sumber, setidaknya, kita akan mengharapkan sejumlah besar referensi untuk cengkih di MSL dan tulisan-tulisan awal abad ke-15. Di sisi lain, juga benar bahwa, secara umum, hanya sebagian kecil dari semua impor upeti yang dicatat; selain itu, harus diingat bahwa perdagangan laut ilegal dilakukan selama awal periode Ming dan bahwa kita tidak dapat memperkirakan ukuran perdagangan ini, atau menganalisis komposisi komoditasnya. Karena itu, mungkin, meski agak sedikit janggal, tetapi menurut saya, dalam abad ke-15, kita sedang melihat situasi dimana volume perdagangan Cina akan cengkih dan komoditas-komoditas “jarang” lainnya memang lebih tinggi daripada yang disajikan oleh sumber-sumber.
Saran-saran sebelumnya hanyalah hipotesis. Banyak detail yang tetap tidak dapat dijelaskan, khususnya jika kita ingin merenungkan kemungkinan hubungan antara peristiwa di Timur Jauh dan perdagangan Asia Tenggara dengan Eropa. Sebelumnya, saya telah menyampaikan bahwa impor rempah-rempah Maluku dari Eropa meningkat menjelasng akhir abad ke-14. Mengapa hal itu terjadi pada saat periode khusus ini – pada masa ekspedisi hebat kekaisaran Ming – dan bukan lebih awal?65. Mungkin beberapa dari 7 faktor yang disebutkan di atas, bersama dengan meningkatnya pelarangan Cina terhadap perdagangan swasta/individu di tahun 1380an atau 1390an66, bersamaan dengan perang saudara singkat di masa pemerintahan  Chien-wen, memaksa orang-orang Asia Tenggara untuk berpaling dari Cina, dan mencari pasar-pasar baru di Indoa dan lebih jauh lagi ke bagian barat67??. Dengan kata lain, apakah kekacauan di timur, turut membantu untuk meningkatkan impor Eropa?
Ketika Yung-lo mengambil alih kekuasaan kekaisaran pada tahun 1403, dan kapal-kapal besar pemerintah Cina mulai mengarungi lautan Asia, Asia Tenggara terkena rangsangan baru ekonomi, dan mungkin situasinya kembali, sejauh aliran komoditas yang sebelumnya diarahkan ke India dan Levant, sekarang sekali lagi diarahkan ke utara. Mungkinkah ini menjelaskan, mengapa impor beberapa barang orinetal Eropa turun pada tahun 1404 dan 140568??.  Tentu saja, berkenaan dengan cengkih, argumen yang sangat berbeda juga dapat diajukan. Periode ini, permintaan telah tumbuh sangat banyak di India, Timur Dekat/Timur Tengah, dan Eropa sehingga kapal-kapal kekaisaran Cina datang untuk melayani sebagai pengangkut utama dalam perdagangan komoditas ini ke arah barat – akibatnya, tidak ada pengiriman besar yang dikirim ke utara. Hipotesis ini, bahkan dapat dikaitkan dengan perkembangan di bagian akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, ketika, menurut Pires, barang dagangan utama yang dibawa kembali oleh pedagang Gujarat dari Jawa dan Malaka ke India adalah cengkih69. Mungkin, kemudian, pedagang Gujarat menjadi penerus Cina dalam perdagangan ini – jika Cina memang terlibat di dalamnya – dan mungkin itu adalah orang Gujarat yang terutama bertanggung jawab untuk “saluran” cengkih yang terus menerus dari Indonesia bagian timur di paruh kedua abad ke-15.


CATATAN AKHIR


                Singkatnya, bisa disebutkan berikut ini. Pada zaman kekaisaran Sung, sebagian besar cengkih kemungkinan dibawa ke Cina melalui rute Jawa. Pada zaman kekaisaran Yuan, ada pengiriman langsung melalui zona Sulu. Pada periode awal kekaisaran Ming, berbagai faktor menunjukan pengiriman melalui rute Jawa. Dalam ketiga periode kekaisaran tersebut, volume impor cengkih tampaknya kecil, meskipun diakui ada beberapa ketidakpastian. Jika pernah mencapai tingkat “cukup besar”, ini paling mungkin terjadi dalam periode singkat, dimana Galvao mengatakan bahwa pedagang Cina membeli cengkih “grosir” di Maluku dan Wang Ta-yuan membuktikan lalu lintas langsung antara Indonesia bagian timur dan Cina. Akhirnya dengan aman dapat diasumsikan bahwa permintaan Cina akan cengkih tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara.


====== selesai ======


Catatan Kaki

36.    Wheatley, "Commodities," 49; my "China and the Trade in Tortoise Shell (Sung to Ming)," in Emporia (see n. 5 above), 207, 210.
37.     References to the Moluccas in Ch'en Chia-jung, Hsieh Fang and Lu Chun-ling, Ku-tai Nan-hai ti-ming huishih (Peking: Chung-hua shu-chu, 1986), 167, 180-81, 208, 1000-1; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 83; Su Chi-ch'ing's comments in TICL, 205-7. On foreigners living in China, see Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 1, 20-21, 33-64; recently also Ch'en Ts'ang-sung, "Shih-po kuan-li," 142-43. Archaeological evidence points to the presence of Sung Chinese in the Philippines; see Karl A. Hutterer, "The Evolution of Philippine Lowland Societies," Mankind 9 (1974): 287-99.
38.     For Champa's links, particularly to China, see, for example, Georges Maspero, Le Royaume de Champa (Paris and Brussels: Librairie Nationale d'Art et d'Histoire, 1928); recently also Lin Shih-min, Hai-shang ssuch'ou chih lu, 86; P'an-chou wen-chi, quoted after Ch'en Ts'ang-sung, "Shih-po kuan-li," 153. The Vietnam coast was in contact with Hainan, and some trade between Champa and China passed through Hainan; for the Hainan link, see also Maspero, 125, 163-64; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 1, 9-10, 28, 64; part 2, 4, 20- 23; Pierre-Yves Manguin, "Etudes Cham. II: L'Introducion de l'Islam au Campa," Bulletin de l'Ecole Francaise d'Extreme-Orient 66 (1979): 259; Edward H. Schafer, The Shore of Pearls (Berkeley and Los Angeles: Univ. Of California Press, 1970), 83-84. For Butuan, see O. W. Wolters, "A Few Miscellaneous Pi-chi Jottings on Early Indonesia," Indonesia 36 (1983): 58. Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu: Univ. of Hawaii Press, 1985), 226, seems to overestimate the importance of clove shipments through the Sulu zone.
39.    Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 63, 73, 77, 84, 89, 116, 133; WHTK, 332.2607b, 392.2606c; Almut Netolitzky, Das Ling-wai tai-ta von Chou Ch'u-fei: Eine Landeskunde Sudchinas aus dem 12. Jahrhundert, Munchener Ostasiatische Studien 21 (Wiesbaden: Franz Steiner, 1977), 40; table in Sun Kuang-ch'i, Chungkuo ku-tai hang-hai shih, 392-404.
40.    Tibbets, Arabic Texts, 179-82.
41.      Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai hang-hai shih, 464; Rockhill, "Notes," 423; Kuwabara, "On P'u Shoukeng," part 2, 71; Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 86-89.
42.     Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai hang-hai shih, 464-65; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2, 80-83.
43.     For recent studies of harbors, see Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai hang-hai shih, 465-78; Chuang Weichi, Chuang Ching-hu and Wang Lien-mao, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu te chu-ming kang-k'ou: Ch'uan-chou (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1988), 57-87; Li Tung-hua, Ch'uan-chou yu wo-kuo, 195-224; Ch'en Ts'angsung, "Shih-po kuan-li," 153-58. The last study contains an interesting comparison between Ch'uan-chou and Canton.
44.     NHC, 36.
45.     TICL, 175, 177 n. 4, 204, 207-8 n. 4, 257, 330, 364, 375.
46.    IYC, 2.58, 69, 81; IYTC, 43a, 89a. Arabic sources contain equally vague references to a "Clove Mine," the "Islands of Cloves," and the "Island of Perfume"; see Tibbetts, Arabic Texts, 180.
47.     NHC, 37-38; TICL, 93-96, 178-81, 209-13; Carrie C. Brown, "The Eastern Ocean in the Yung-lo ta-tien," Brunei Museum Journal 4.2 (1978): 53; Ch'en Chia-jung, Chung-wai chiao-t'ung shih (Hong Kong: Learner's Bookstore, 1987), 368; and my "Some References to Timor in Old Chinese Records," Ming Studies 17 (1983): 16.
48.     See TICL, 148, 209; and my "Kurze Zusammenfassung der wichtigsten chinesischen Nachrichten zu den Sulu-Inseln wahrend der Ming-Zeit," ZDMG 136 (1986): 627-28.
49.    Th. M. Jacobs, tr. and ed., A Treatise on the Moluccas (c. 1544): Probably the Preliminary Version of
Antonio Galvao's Lost Historia das Molucas, Sources and Studies for the History of the Jesuits 3 (Rome and St. Louis: Jesuit Historical Institute, 1971), 79, 81.
50.    See references in Chung-kuo ku-chi chung yu kuan Fei-lu-pin tzu-liao hui-pien, ed. Chung-shan ta-hsueh Tung-nan-ya li-shih yen-chiu-so (Peking: Chung-hua shu-chu, 1980), 16; and TICL, 93, 95-96, for Klabat and the imported textiles.
51.      On the Yuan campaign against Java, see Slametmuljana, A Story of Majapahit (Singapore: Singapore Univ. Press, 1976), 67-73; George Coedes, Les Etats hindouises d'Indochine et d'Indonesie (rpt. Paris: de Boccard, 1964), 361-66.
52.     MSL, T'ai-tsu, 71.1316, 114.1879, 195.2925, 196.2943. The material on tribute delegations from maritime countries is conveniently presented in a number of works--e.g., Hiroshi Watanabe, "An Index of Embassies and Tribute Missions from Islamic Countries to Ming-China (1368-1644) as Recorded in the Ming shih-lu, Classified according to Geographic Area," Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 23 (1975): 285-347; Cheng Ho hsia Hsi-yang tzu-liao hui-pien, ed. Cheng Hao-sheng and Cheng I-chun, 2 vols. in 3 (Tsinan: Ch'i Lu shu-she, 1980-1983), 2:2, 1158-1296; Ming shih-lu lei-tsuan, She-wai shih-liao chuan, ed. Li Kuo-hsiang et al. (Wuhan: Wu-han ch'u-pan-she, 1991); Geoff Wade, "The 'Ming shi-lu' as a Source for Southeast Asian History, 14th to 17th Centuries," paper presented to the 12th IAHA conference in Hong Kong, June 1991 (the appendix of 117 pp. contains an index of tribute delegations).
53.     HCSL, ch'ien-chi, 32.
54.     TMITC, 90.5540.
55.     HYCKTL, 1.41, 45; 2.61, 69.
56.     For example, SYCTL, 7.380; 8.405, 411, 419, 430; 9.440.
57.     J. V. Mills, "Chinese Navigators in Insulinde about A.D. 1500," Archipel 18 (1979): 73, 79. The Tung-hsiyang k'ao and other sources with information on the Moluccas also refer to later periods.
58.     Chuang Wei-chi, "Yuan-mo wai-tsu p'an-luan yu Ch'uan-chou kang te shuai-jo," Ch'uan-chou wen-shih 1980.4:17-25; Chang Pin-tsun, "Maritime Trade and Local Economy in Late Ming Fukien," in Development and Decline of Fukien Province in the 17th and 18th Centuries, ed. E. B. Vermeer, Sinica Leidensia 22 (Leiden: E. J. Brill, 1990), 65.
59.    O. W. Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History (London: Asia Major Library, Lund Humphries, 1970), 67-68.
60.     Sources in Chung-kuo ku-chi chung yu kuan Fei-lu-pin tzu-liao hui-pien, 75, 81, 83, 90. Also see Liu Tzucheng, "Ming-tai Chung-kuo yu Wen-lai chiao-wang k'ao," Ming shih yen-chiu chuan-k'an 5 (1982): 5, 12-13; N. J. Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis (rpt. The Hague: M. Nijhoff, 1931), 432-39; Denys Lombard, Le Carrefour javanais: Essai d'histoire globale, Civilisations et societes 79, 3 vols. (Paris: Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, 1990), 2: 36, 40. It is difficult to determine the nature of relations between Java and the other places mentioned. For this also see the Nagarakertagama, i.e., Theodore G. Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., 5 vols., 3rd ed. (The Hague: M. Nijhoff, 1960-63), 1:11-13, 3:16-19, 4:29-39. For Majapahit after 1400, also see J. Noorduyn, "Majapahit in the Fifteenth Century," Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134 (1978): 207-74.
61.     Li Tzu-cheng, "Ming-tai," 6-14; Robert Nicholl, "Brunei Rediscovered: A Survey of Early Times," Journal of Southeast Asian Studies 14 (1983): 44-45; William H. Scott, Filipinos in China before 1500 (Manila: De La Salle University, 1989), 7-12; Ptak, "Kurze Zusammenfassung," 622-27.
62.    Theodore G. Th. Pigeaud and H. J. de Graaf, Islamic States in Java, 1500-1700: A Summary, Bibliography and Index, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde 70 (The Hague: M. Nijhoff, 1970), 7, 14, 15; De Graaf and Pigeaud, trs., Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon, ed. M. C. Ricklefs, Monash Papers on Southeast Asia 12 (North Melbourne: Ruskin Press, 1984), 13-18; Chang Pin-tsun, "The First Chinese Diaspora in Southeast Asia in the Fifteenth Century," in Emporia (see n. 5 above), 17; and my "Die chinesische maritime Expansion im 14. Und 15. Jahrhundert," Kleine Beitrage zur europaischen Uberseegeschichte 14 (1992): 23-25.
63.    The date is derived from Pires; see Armando Cortesao, tr. and ed., The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of the East ..., and the Book of Francisco Rodrigues, Rutter of a Voyage ..., Works Issued by the Hakluyt Society, 2nd ser., 89, 90, 2 vols. (London: Hakluyt Society, 1944), 1:174.
64.    Ts'ao Yung-ho, "Pepper Trade in East Asia," T'oung Pao 68.4-5 (1982): 231-42; Wolters, The Fall of
Srivijaya, 61.
65.    See sources listed in n. 2 above. Exceptionally large imports of Moluccan spices were recorded in 1399. For this also see Reid, "An 'Age of Commerce'," 12.
66.    For this, see Bodo Wiethoff, Die chinesische Seeverbots-politik und der private Uberseehandel von 1368- 1567, Mitteilungen der Gesellschaft fur Natur- und Volkerkunde Ostasiens 45 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 42-43.
67.    Perhaps the situation in eastern Sumatra and on Java, as well as temporary difficulties in the China-Java traffic, also had some effects on the trade in cloves to China? See Wolters, The Fall of Srivijaya, 49-74.
68.     See sources listed in n. 2 above.
69.    Cortesao, Suma Oriental, 1:159, 2:270.


ABBREVIATIONS OF CHINESE PRIMARY SOURCES

CYCYTC Chien-yeni-lai ch'ao-yehtsa-chi, by Li Hsin-ch'uan (early 13th-c.). 6 vols. Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
HCSL Hsing-ch'a sheng-lan chiao-chu, by Fei Hsin (preface 1436); ed. Feng Ch'eng-chun. Shanghai: Chunghua shu-chu, 1954.
HP Hsiang-p'u, by Hung Ch'u (early 12th c.). Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
HYCKTL Hsi-yang ch'ao-kung tien-lu, by Huang Sheng-tseng (preface 1520); ed. Hsieh Fang. Peking: Chunghua shu-chu, 1982.
IYC I-yu chih, by Chou Chih-chung (14th c.); ed. Lu Chun-ling. Peking: Chung-hua shu-chu, 1981 (bound together in one vol. with the Hsi-yu lu).
IYTC I-yu t'u-chih, anonymous (14th c.). Microfilm copy of Cambridge library (for a description, see Moule's article in T'oung Pao 27:179-88).
KCTSCC Ch'in-ting ku-chin t'u-shu chi-ch'eng, comp. 1726 by Ch'en Meng-lei et al. 100 vols. Taipei: Wenhsing shu-tien, 1964.
KHYHC Kuei-hai yu-heng chih chi-i chiao-chu, by Fan Ch'eng-ta (dated 1175); ed. Hu Ch'i-wang and T'an
Kuang-kuang. Chengtu: Ssu-ch'uan min-tsu ch'u-pan-she, 1986.
MHP Ming hsiang p'u, by Yeh T'ing-kuei (c. 1150). Shanghai: Chung-kuo t'u-shu kung-ssu, 1914.
MS Ming shih, comp. Chang T'ing-yu et al. (dated 1739). Peking: Chung-hua shu-chu, 1974.
MSL Ming shih-lu (different sections completed in different periods), ed. Chung-yang yen-chiu-yuan li-shih yu-yen yen-chiu-so. Nankang: Chung-yang ... yen-chiu so, 1966.
NHC Ta-te Nan-hai chih ts'an-pen, by Ch'en Ta-chen (dated 1304, fragmentary). Canton: Kuang-chou shih tifang chih yen-chiu, 1986.
PCKT P'ing-chou k'o-t'an, by Chu Yu (dated 1119). Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
PTKM Pen-ts'ao kang-mu, comp. by Li Shih-chen (dated 1596). 4 vols. Peking: Jen-min wei-sheng ch'u-panshe, 1975-81.
SHY Sung hui-yao chi-kao (11th-13th c.; documents collected by Hsu Sung et al. in the 19th c.). Peking: Chung-hua shu-chu, 1957.
SS Sung shih, comp. T'o T'o and Ou-yang Hsun (c. 1345). Peking: Chung-hua shu-chu, 1977.
SYCTL Shu-yu chou tzu lu, by Yen Ts'ung-chien (preface 1574). Chung-hua wen-shih ts'ung-shu edn.
TCMHL Tung-ching meng-hua lu, by Meng Yuan-lao (preface 1147). Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
TICL Tao-i chih-lueh chiao-shih, by Wang Ta-yuan (dated 1349); ed. Su Chi-ch'ing. Peking: Chung-hua shuchu, 1981.
TMITC Ta Ming i-t'ung chih, comp. Li Hsien et al. (dated 1461). Taipei: Wen-hai ch'u-pan-she, 1965.
TPYL T'ai-p'ing yu-lan, comp. Li Fang et al. (dated 983). Kuo-hsueh chi-pen ts'ung-shu edn.
WHTK Wen-hsien t'ung-k'ao, by Ma Tuan-lin (begun in late 13th c., completed in 1307, printed in early 14th c.). Shanghai: Commercial Press, 1936.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar