By
Roderich Ptak
IMPOR CENGKIH
KEKAISARAN SUNG
Data
Individual
Pembagian
pasti cengkih dalam total impor kekaisaran Sung masih belum diketahui, tetapi
sumber-sumber kekaisaran Sung mengandung setidaknya beberapa data sehubungan
dengan misi upeti yang datang dari negara-negara maritim. Data-data ini, yang
dikumpulkan dari SHY dan
SS, dirangkum
dalam tabel 1. Tinjauan singkat dari tabel ini menunjukan, bahwa Champa dan
Indonesia adalah pemasok utama cengkih, tetapi jumlah cengkih yang dipasok oleh
tempat-tempat ini minimal dibandingkan dengan jumlah barang-barang dan hsiang-yao lainnya.
Pada tahun 992, misalnya, Jawa hanya mengirimkan 10 chin cengkih,
dibandingkan dengan 4.423 chin cendana dan berbagai
barang lainnya, termasuk komoditas berharga atau setengah berharga, seperti
gading dan kulit kura-kura; pada tahun 1017, Sriwijaya mengirim lebih dari
80.000 chin kemenyan,
hampir 20.000 chin cendana,
dan lebih dari 10.000 chin lada, bersama dengan
pengiriman barang-barang lainnya yang besar, sementara jumlah cengkih – totalnya 30 chin – dapat
diabaikan; dan Champa, 1 tahun kemudian, mengirimkan 80 chin cengkih,
dibandingkan dengan 1.500 chin sirih, 72 gading
gajah, dan berbagai barang lainnya, beberapa diantaranya jelas melebihi margin
100 chin.
Tentu
saja, sebagian besar impor cengkih dan barang-barang tropis lainnya tidak
tercatat, tetapi beberapa perhitungan yang kita punyai, menunjukan bahwa
kepentingan cengkih relatif, dalam kategori “aromatik dan obat-obatan”, dan,
dengan demikian, dalam total impor kekasairan Sung Cina dari negara-negara
maritim Asia, itu terbatas. Faktanya, jumlah yang dilaporkan sangat kecil
sehingga bahkan jika ada angka yang menunjukan harga terlalu tinggi – dan tidak ada angka seperti itu – akan
sulit untuk menetapkan tingkat kepentingan yang tinggi untuk perdagangan. Impor
cengkih Cina paling-paling membuat bisnis cabang-cabang perusahaan
menguntungkan, yang tidak dapat dibandingkan dengan perdagangan aromatik
lainnya, atau barang-barang “bagus” seperti kemenyan atau bahkan kulit
kura-kura36.
Bagaimana
cengkih mencapai kekaisaran Sung Cina? Beberapa sumber pada perdagangan maritim
sebelum kekaisaran Sung dan Sung memang menyebutkan Maluku, tetapi agak “diam”
atau tidak menyampaikan tentang hubungan langsung antara Cina dan Maluku atau
wilayah Indonesia bagian timur lainnya. Juga tidak ada bukti, bahwa orang-orang
Indonesia bagian timur “tinggal” di antara komunitas asing di
pelabuhan-pelabuhan Cina37. Karena itu, dilihat dari tabel, tampak bahwa
Jawa, Sriwijaya, Champa, dan mungkin Butuan di Mindanao (jika P’u-tuan adalah
benar-benar Butuan) difungsikan sebagai eksportir utama cengkih ke Timur Jauh.
Jawa dan Sriwijaya serta Butuan mungkin memiliki akses langsung ke Maluku,
sementara Champa, mungkin menerima cengkihnya melalui orang Indonesia sendiri,
atau melalui komunitas asing yang tinggal di pantainya38. Namun,
tidak ada bukti yang jelas yang menunjukan hubungan langsung antara Champa dan
Indonesia bagian timur, saya (penulis) juga tidak dapat menemukan pernyataan
tertulis yang jelas, tentang pelayaran pedagang Filipina ke Maluku bagian
utara. Semua ini, mungkin menyiratkan 2 hal. Relatif sedikit kapal berlayar
melalui Laut Sulawesi, dan jika kiriman cengkih melewati daerah ini, kiriman
itu cenderung berpindah tangan (di Butuan?) sebelum mencapai Champa atau Cina.
Namun, mengingat pengaruh komersial Sriwijaya dan Jawa, sebagian besar cengkih
yang tiba di kekaisaran Sung Cina, mungkin meninggalkan Maluku melalui Jawa.
Beberapa
catatan harus ditambahkan pada gambaran tentatif perdagangan cengkih Cina ini. Chao
Ju-kua, mencantumkan cengkih sebagai “produk” Sriwijaya, Jawa, dan pulau-pulau
terdekat. Ini merupakan pernyataan yang samar-samar, karena luasnya kekuasaan
Sriwijaya dan Jawa di bagian timur, tidak diketahui secara pasti; karenanya,
dalam kasus untuk Sriwijaya dan Jawa, “diimpor” atau “dieskpor kembali” akan
lebih tepat daripada “diproduksi”. Chao Ju-kua juga mengindikasikan bahwa
cengkih dibawa ke Ceylon, India selatan, dan Oman. Hal ini dapat diterima,
tetapi klaimnya bahwa Ta-shih – atau Timur
Dekat/Timur Tengah, mungkin hanya Persia – “menghasilkan” cengkih, adalah
keliru atau salah, seperti yang kita lihat sebelumnya. Karya-karya geografis
Cina lainnya tidak banyak berbicara tentang cengkih. Ma Tuan-lin dan Chou
Ch’u-fei mencantumkan cengkih dalam hubungannya dengan misalnya, Tu-Po dan
Jawa, tetapi tidak menambahkan sesuatu yang baru39.
Karya-karya
Arab yang berasal dari abad ke-9 hingga abad ke-12 memuat beberapa referensi ke
“kepulauan rempah-rempah”, tetapi ini juga sama-sama mengecewakan. Laporan
singkat Marwazi tentang Maluku, bersifat semi-fiktif dan menggambarkan
perdagangan cengkih sebagai “barter sunyi”; Ibn Khurdadhbih dan Mukhtasar al-Aja’ib menempatkan
Maluku pada jarak hanya 15 hari dari pulau Jaba, Salahit dan Harang, yang
mungkin dekat dengan Singapura sekarang40. Jaraknya terlalu pendek
untuk sebuah perjalanan dari Selat (Malaka) ke Maluku melalui Jawa atau,
sebagai alternatif, melalui Brunei, sedikit penghargaan yang bisa diberikan
untuk referensi Arab ini; sumber-sumber itu sama sekali tidak bisa digunakan,
dalam menentukan situasi apa yang mungkin terjadi di sepanjang rute perdagangan
ke dan dari Maluku.
PERIODE KEKAISARAN YUAN
Perdagangan
maritim di bawah bangsa Mongol, pada umumnya, mengikuti pola yang berkembang di
bawah kekaisaran Sung. Sistem Merchant Shipping Offices atau “Kantor pelayaran
para pedagang” tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi seiring berjalannya
waktu. Perbedaan antara barang-barang “kasar” dan “bagus” juga berlanjut,
Hingga tahun 1314, barang-barang ini tampaknya dikenakan pajak masing-masing
dengan tarif 1/15 dan 1/10. Selain itu, biaya tambahan kecil harus dibayar; ini
hal baru dan bukan kasus kekaisaran Sung. Pada tahun 1314, tarif pajak
dinaikkan menjadi 2/15 dan 1/541. Mungkin, cengkih diklasifikasikan
sebagai barang “bagus”, tetapi data yang tepat tidak ada. Juga tidak diketahui,
apakah perubahan dalam perpajakan mempengaruhi komposisi komoditas impor, dan,
jika mempengaruhi, bagaimana.
Pemerintah
Yuan, seperti pemerintah Sung, mengeluarkan berbagai undang-undang dan
peraturan untuk mengekang penggelapan pajak dan bisnis ilegal. Tapi juga
menetapkan, misalnya, bahwa pedagang dan pelaut akan dibebaskan dari korve.
Oleh karena itu, beberapa langkah pemerintah merangsang perdagangan, yang lain
bersifat represif42. Pelabuhan-pelabuhan utama terus berkembang. Seperti
sebelumnya, Kanton dan Ch’uan-chou adalah pelabuhan paling penting untuk
perdagangan dengan Asia Tenggara, tetapi karena Kanton telah menderita
kerusakan serius pada periode transisi Sung – Yuan, volume perdagangan yang
melewati Ch’uan-chou sekarang, mungkin melebihi volume perdagangan yang
melewati Kanton43.
Sedikit yang diketahui tentang impor individual
rempah-rempah dan obat-obatan ke kekaisaran Yuan Cina, tetapi Ch’en Ta-chen,
dalam uraiannya tentang Kanton, setidaknya menyebutkan cengkih sebagai barang
obat-obatan yang berasal dari luar negeri44. Wang Ta-yuan juga merujuk pada cengkih, tetapi
bukan sebagai barang impor; cengkih, katanya, diperdagangkan di Mundra, Bengal,
Hormuz, dan Pegu (?), dan diproduksi di Maluku. Dia juga mengamati, dengan
cukup benar, bahwa pala dan bunga pala berasal dari kepulauan Banda45.
Karya kekaisaran Yuan lainnya, dengan unsur fiktif yang kuat, IYC, mengklaim bahwa cengkih diproduksi
di P’u-chia-lung, mungkin Pekalongan di Jawa, dan bahwa ada “negara cengkih” (Tinghsiang kuo) – mungkin referensi untuk
Maluku. Informasi ini kemudian diulangi lagi dalam IYTC46.
Yang paling menarik sehubungan dengan laporan-laporan
ini, adalah bahwa Wang Ta-yuan jelas merujuk pada kapal-kapal Cina yang pergi
ke Maluku setiap tahun. Wang juga menjelaskan atau menyebutkan bahwa beberapa
daerah lain di Indonesia bagian timur – misalnya, Klabat atau Timor. Begitu
juga Ch’en Ta-chen, yang mencantumkan nama-nama kelompok Maluku, Banda, dan
Banggai47. Kepulauan Sulu, sekarang juga dikenal oleh para pelaut
dan ahli geografi Cina, dan ada bukti yang jelas tentang pedagang Cina yang
berlayar ke Brunei48. Antonio Galvao, menulis pada abad ke-16,
tetapi tentu mengacu pada periode pra-kekaisaran Ming, menambahkan bahwa Cina
“adalah yang pertama membeli cengkih secara grosir di kepulauan” dan bahwa
mereka selalu datang melalui Kalimantan bagian utara49. Secara
bersama-sama, ini dan informasi lainnya, seperti keberadaan “tekstil Champa dan
Hainan” di Klabat, atau referensi Ma Tuan-lin terhadap rute perdagangan dari
Champa ke Kalimantan bagian utara dan Mait di Filipina, jelas menunjukan lalu
lintas yang lewat dari Laut Cina Selatan ke zona Sulu, Laut Sulawesi, dan
Indonesia bagian timur. Singkatnya, maka, sangat mungkin bahwa pada zaman
kekaisaran Yuan, sebagian besar cengkih dikirim ke Cina melalui zona Sulu dan
Kalimantan bagian utara50. Kesimpulan ini juga secara tidak langsung
diperkuat oleh fakta, bahwa, sejauh yang saya (penulis) tahu, cengkih tidak
terdaftar di antara barang-barang yang dibawa ke Cina oleh misi upeti dari
Indonesia bagian tengah atau barat pada masa Mongol.
Beberapa pertanyaan muncul dari pengamatan ini. Berapa
tingkat impor cengkih kekaisaran Yuan Cina? Ada pergeseran geografis dalam rute
cengkih yang dikirim ke Cina, yaitu, dari Jawa ke rute Kalimantan yang lebih
langsung – perubahan yang mengeluarkan biaya transportasi lebih rendah, dan
dengan demikian menghasilkan pembelian cengkih Cina yang lebih besar (“grosir”!)?.
Mungkinkah itu karena beberapa (atau semua) pedagang Cina yang terlihat di
Maluku adalah orang Cina perantauan, yang sekarang, telah mulai menetap di
berbagai bagian Asia Tenggara dan mungkin mendekati kepulauan rempah-rempah
melalui Jawa? Atau, sebagai alternatif, jika mereka datang melalui Kalimantan
bagian utara, apakah mereka Muslim Cina dari Champa atau Hainan, atau lebih
tepatnya Cina dari Fukien dan Kuangtung?. Apakah cengkih, begitu melewati zona
Sulu, mencapai Cina melalui Filipina, atau menuju ke daerah Champa-Hainan
terlebih dahulu, dan kemudian ke Cina?. Akhirnya, apakah kampanye Mongol
melawan Champa dan Jawa pada akhir abad ke-13, berpengaruh terhadap pengiriman
cengkih ke Cina, sehingga pengeksporan ulang Champa dan Jawa menurun?51.
AWAL KEKAISARAN MING
Tidak ada
jawaban untuk pertanyaan di atas, tetapi menarik bahwa begitu kita memasuki
periode awal kekaisaran Ming, laporan Cina tentang Indonesia bagian timur,
sekali lagi, hampir sepenuh absen. Untuk mulai dengan MSL (bagian pada periode Hung-wu), sumber paling penting untuk
perdagangan upeti periode awal kekaisaran Ming, berisi referensi tentang
cengkih yang dikirim sebagai upeti oleh Siam, Sriwijaya, dan Kamboja; tetapi
tidak ada delegasi/misi upeti dari Indonesia bagian timur yang tercatat, dan
tidak ada delegasi yang datang dari wilayah Kalimantan-Sulu-Filipina yang
dikatakan membawa cengkih52.
Informasi
yang terkandung dalam sumber-sumber awal dan pertengahan abad ke-15, sama-sama
mengecewakan. Ma Huan dan Kung Chen,
yang ikut dalam ekspedisi terkenal Cheng Ho ke Asia Tenggara dan Samudera
Hindia (1405 – 1433), tidak menyebutkan cengkih sama sekali. Fei Hsin, pada
bagian pertama bukunya, yang berisi informasi asli, mencantumkan cengkih
sebagai barang dagangan di India selatan53. TMITC mengklaim bahwa cengkih adalah hasil bumi Jawa54.
Akhirnya, ulasan singkat tentang data MSL
tentang perdagangan upeti di awal abad ke-15 juga menunjukan bahwa tida ada
(atau paling-paling, hanya jumlah yang minimal) cengkih yang dikirim sebagai
upeti ke Cina pada zaman Cheng Ho. Perlu diulangi lagi: tidak ada karya yang
disebutkan di atas, yang berisi informasi kontemporer (terbaru) tentang
perdagangan di Maluku.
Hanya dalam
sumbe-sumber awal abad ke-16 yang referensinya lebih banyak muncul. Huang
Sheng-tseng, yang menulis pada tahun 1520, melaporkan bahwa Malaka, Brunei,
Siam, dan Samudra mengirimkan cengkih sebagai upeti55. Beberapa
tulisan pertengahan atau akhir abad ke-16, mencantumkan negara yang sama, atau
memodifikasi daftar, tetapi tulisan itu lebih mengandalkan pada teks-teks
sebelumnya dan menambahkan secara praktis tidak ada rincian baru sejauh
perdagangan ke Indonesia bagian timur atau zona Sulu yang bersangkutan. Dalam
kebanyakan kasus, bahkan tidak jelas pada periode mana, sumber-sumber ini
merujuk56. Hal ini juga berlaku untuk Shun-feng hsiang-sung, sebuah buku dengan tanggal dan asal yang
tidak pasti. Buku ini berisi instruksi pelayaran, yang sebagian berhubungan
dengan rute perdagangan di zona Sulu dan sekitarnya, tetapi instruksi ini
mungkin berasal dari periode akhir kekaisaran Ming, ketika pedagang swasta Cina
memang berlayar melalui Laut Sulawesi57.
Kembali ke
periode akhir kekaisaran Yuan dan awal kekaisaran Ming, kita harus bertanya
mengapa sekarang, sekali lagi, sebagian besar dari semua impor cengkih,
tampaknya dikirim ke Cina melalui Jawa. Beberapa faktor mungkin telah
berkontribusi nyata pada pergeseran kedua dalam rute pasokan cengkih ini.
1.
Pada akhir periode kekaisaran Yuan, antara tahun 1357 dan 1366,
pemberontakan kaum Muslim mengguncang daerah sekitar Ch’uan-chou, Hsing-hua,
dan Hui-an. Pemberontakan ini dihancurkan, dan perdagangan maritim wilayah
Ch’uan-chou sangat menderita58.
2.
Selain itu, awal kekaisaran Ming melarang sebagian besar
perdagangan laut individual/swasta; perkembangan-perkembangan ini secara bersama-sama
pastilah mengarah pada pengurangan perdagangan individual/swasta yang di masa
kekaisaran Yuan, telah meluas ke Maluku, dan juga dengan demikian menjadi
kekurangan aromatik dan impor lainnya59.
3.
Tampaknya, pengaruh kerajaan Majapahit meluas ke arah utara,
kepulauan Sulu, dan Maluku, dan baru pada pergantian abad, pengaruh ini
menghilang; selain itu, untuk beberapa waktu, menurut sumber-sumber Cina, ada
kekacauan di wilayah Sulu-Kalimantan, dan mungkin pedagang Cina yang
menghindari larangan kekaisaran Ming, akan beresiko mendapat hukuman berat,
berpikir bahwa melalui zona Sulu akan terlalu berbahaya dan hanya menimbulkan
tambahan resiko60.
4.
Pada awal abad ke-15, ketika Cina mengirim armada bersenjata dan
mempromosikan perdagangan pemerintah (resmi), wilayah Sulu-Brunei menjadi
tetang, dan kedua tempat itu bersaing untuk mendapatkan bantuan dan
perlindungan Cina dengan mengirimkan upeti ke Nanking
5.
Tetapi hanya armada kecil pemerintah Cina yang berlayar ke zona
Sulu, dorongan utama ekspnasi maritim Cina diarahkan ke daratan Asia Tenggara,
Indonesia bagian barat, dan ke Samudera Hindia. Jelas sekali, dari sudut
pandang pemerintah kekaisaran Ming, zona Sulu kurang terlalu penting61.
6.
Sekarang, pedagang swasta/individual Cina, di antara mereka
mungkin beberapa pengungsi Muslim dari Ch’uan-chou, telah menetap di
tempat-tempat Jawa bagian utara, dan mungkin para pedagang ini yang berhubungan
dengan Indonesia bagian timur, sehingga memasok rempah-rempah ke armada Cheng
Ho, yang disebut di pelabuhan-pelabuhan daratan Asia Tenggara, Sumatra dan Jawa62.
Jika kerjasama semacam itu antara sektor perdagangan swasta Cina di luar negeri
dan sektor perdagangan pemerintah kekaisaran Ming memang ada, mungkin lebih
murah bagi Cina, untuk mengimpor cengkih melalui Jawa daripada melalui zona
Sulu
7.
Orang Jawa dan lainnya mungkin telah berpartisipasi dalam
perdagangan melalui Laut Jawa, sehingga cengkih sebagian besar telah
“dikeringkan” atau “diborong” dari Maluku oleh pasar yang bisa dicapai dengan
lebih mudah melalui rute selatan daripada rute utara.
Faktor-faktor yang tercantum di atas, mungkin memberi
tahu kita sesuatu tentang rute pengiriman cengkih awal kekaisaran Ming dari
area-area produksi ke Cina, tetapi ada 2 hal yang gagal dijelaskan oleh
faktor-faktor di atas: apa sifat dari hubungan antara Maluku bagian utara dan
zona Sulu sekitar tahun 1400, dan mengapa itu, secara keseluruhan, ada begitu
sedikit referensi untuk impor cengkih Cina pada periode itu?. Tidak ada jawaban
pasti yang dapat diberikan untuk pertanyaan pertama; namun, ada kemungkinan
bahwa hubungan perdagangan melalui Laut Sulawesi dalam kondisi yang bauruk pada
waktu itu, karena ketegangan antar orang-orang Sulu dan kerajaan Majapahit,
yang masih mempertahankan pengaruhnya atas Maluku sampai sekitar tahun 141063.
Pertanyaan lain
menyangkut struktur permintaan di Cina dan di tempat lain. Di satu sisi,
sumber-sumber menunjukan bahwa awal kekaisaran Ming Cina mengimpor sejumlah
besar lada dan kayu cendana64 ; sumber-sumber itu juga mengandung
sejumlah besar referensi untuk impor kuda dan perdagangan berbagai komoditas
lainnya. Oleh karena itu, masuk akal untuk berasumsi bahwa, jika sejumlah besar
cengkih dibutuhkan dan diterima, hal ini pasti akan muncul juga di
sumber-sumber, setidaknya, kita akan mengharapkan sejumlah besar referensi
untuk cengkih di MSL dan
tulisan-tulisan awal abad ke-15. Di sisi lain, juga benar bahwa, secara umum,
hanya sebagian kecil dari semua impor upeti yang dicatat; selain itu, harus
diingat bahwa perdagangan laut ilegal dilakukan selama awal periode Ming dan
bahwa kita tidak dapat memperkirakan ukuran perdagangan ini, atau menganalisis
komposisi komoditasnya. Karena itu, mungkin, meski agak sedikit janggal, tetapi
menurut saya, dalam abad ke-15, kita sedang melihat situasi dimana volume
perdagangan Cina akan cengkih dan komoditas-komoditas “jarang” lainnya memang
lebih tinggi daripada yang disajikan oleh sumber-sumber.
Saran-saran sebelumnya hanyalah hipotesis. Banyak
detail yang tetap tidak dapat dijelaskan, khususnya jika kita ingin merenungkan
kemungkinan hubungan antara peristiwa di Timur Jauh dan perdagangan Asia
Tenggara dengan Eropa. Sebelumnya, saya telah menyampaikan bahwa impor
rempah-rempah Maluku dari Eropa meningkat menjelasng akhir abad ke-14. Mengapa
hal itu terjadi pada saat periode khusus ini – pada masa ekspedisi hebat kekaisaran Ming – dan bukan lebih awal?65.
Mungkin beberapa dari 7 faktor yang disebutkan di atas, bersama dengan
meningkatnya pelarangan Cina terhadap perdagangan swasta/individu di tahun
1380an atau 1390an66, bersamaan dengan perang saudara singkat di
masa pemerintahan Chien-wen, memaksa
orang-orang Asia Tenggara untuk berpaling dari Cina, dan mencari pasar-pasar
baru di Indoa dan lebih jauh lagi ke bagian barat67??. Dengan kata
lain, apakah kekacauan di timur, turut membantu untuk meningkatkan impor Eropa?
Ketika Yung-lo mengambil alih kekuasaan kekaisaran
pada tahun 1403, dan kapal-kapal besar pemerintah Cina mulai mengarungi lautan
Asia, Asia Tenggara terkena rangsangan baru ekonomi, dan mungkin situasinya kembali,
sejauh aliran komoditas yang sebelumnya diarahkan ke India dan Levant, sekarang
sekali lagi diarahkan ke utara. Mungkinkah ini menjelaskan, mengapa impor
beberapa barang orinetal Eropa turun pada tahun 1404 dan 140568??. Tentu saja, berkenaan dengan cengkih, argumen
yang sangat berbeda juga dapat diajukan. Periode ini, permintaan telah tumbuh
sangat banyak di India, Timur Dekat/Timur Tengah, dan Eropa sehingga
kapal-kapal kekaisaran Cina datang untuk melayani sebagai pengangkut utama
dalam perdagangan komoditas ini ke arah barat – akibatnya, tidak ada pengiriman
besar yang dikirim ke utara. Hipotesis ini, bahkan dapat dikaitkan dengan
perkembangan di bagian akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, ketika, menurut
Pires, barang dagangan utama yang dibawa kembali oleh pedagang Gujarat dari
Jawa dan Malaka ke India adalah cengkih69. Mungkin, kemudian,
pedagang Gujarat menjadi penerus Cina dalam perdagangan ini – jika Cina memang terlibat di dalamnya – dan
mungkin itu adalah orang Gujarat yang terutama bertanggung jawab untuk “saluran”
cengkih yang terus menerus dari Indonesia bagian timur di paruh kedua abad
ke-15.
CATATAN
AKHIR
Singkatnya, bisa disebutkan berikut
ini. Pada zaman kekaisaran Sung, sebagian besar cengkih kemungkinan dibawa ke
Cina melalui rute Jawa. Pada zaman kekaisaran Yuan, ada pengiriman langsung
melalui zona Sulu. Pada periode awal kekaisaran Ming, berbagai faktor
menunjukan pengiriman melalui rute Jawa. Dalam ketiga periode kekaisaran
tersebut, volume impor cengkih tampaknya kecil, meskipun diakui ada beberapa
ketidakpastian. Jika pernah mencapai tingkat “cukup besar”, ini paling mungkin
terjadi dalam periode singkat, dimana Galvao mengatakan bahwa pedagang Cina
membeli cengkih “grosir” di Maluku dan Wang Ta-yuan membuktikan lalu lintas
langsung antara Indonesia bagian timur dan Cina. Akhirnya dengan aman dapat
diasumsikan bahwa permintaan Cina akan cengkih tidak berdampak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara.
====== selesai ======
Catatan Kaki
36.
Wheatley,
"Commodities," 49; my "China and the Trade in Tortoise Shell
(Sung to Ming)," in Emporia (see n. 5 above), 207, 210.
37.
References to the Moluccas
in Ch'en Chia-jung, Hsieh Fang and Lu Chun-ling, Ku-tai Nan-hai ti-ming huishih
(Peking: Chung-hua shu-chu, 1986), 167, 180-81, 208, 1000-1; Hirth and
Rockhill, Chau Ju-kua, 83; Su Chi-ch'ing's comments in TICL, 205-7. On
foreigners living in China, see Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 1,
20-21, 33-64; recently also Ch'en Ts'ang-sung, "Shih-po kuan-li,"
142-43. Archaeological evidence points to the presence of Sung Chinese in the
Philippines; see Karl A. Hutterer, "The Evolution of Philippine Lowland
Societies," Mankind 9 (1974): 287-99.
38.
For Champa's links,
particularly to China, see, for example, Georges Maspero, Le Royaume de Champa
(Paris and Brussels: Librairie Nationale d'Art et d'Histoire, 1928); recently
also Lin Shih-min, Hai-shang ssuch'ou chih lu, 86; P'an-chou wen-chi, quoted
after Ch'en Ts'ang-sung, "Shih-po kuan-li," 153. The Vietnam coast
was in contact with Hainan, and some trade between Champa and China passed
through Hainan; for the Hainan link, see also Maspero, 125, 163-64; Kuwabara,
"On P'u Shou-keng," part 1, 9-10, 28, 64; part 2, 4, 20- 23;
Pierre-Yves Manguin, "Etudes Cham. II: L'Introducion de l'Islam au
Campa," Bulletin de l'Ecole Francaise d'Extreme-Orient 66 (1979): 259;
Edward H. Schafer, The Shore of Pearls (Berkeley and Los Angeles: Univ. Of
California Press, 1970), 83-84. For Butuan, see O. W. Wolters, "A Few
Miscellaneous Pi-chi Jottings on Early Indonesia," Indonesia 36 (1983):
58. Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia (Honolulu: Univ. of Hawaii Press, 1985), 226, seems to overestimate the
importance of clove shipments through the Sulu zone.
39.
Hirth and Rockhill, Chau
Ju-kua, 63, 73, 77, 84, 89, 116, 133; WHTK, 332.2607b, 392.2606c; Almut Netolitzky, Das Ling-wai tai-ta von Chou Ch'u-fei: Eine Landeskunde Sudchinas
aus dem 12. Jahrhundert, Munchener Ostasiatische Studien 21 (Wiesbaden: Franz
Steiner, 1977), 40; table in Sun Kuang-ch'i, Chungkuo ku-tai hang-hai shih,
392-404.
40.
Tibbets, Arabic Texts,
179-82.
41.
Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo
ku-tai hang-hai shih, 464; Rockhill, "Notes," 423; Kuwabara, "On
P'u Shoukeng," part 2, 71; Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 86-89.
42.
Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo
ku-tai hang-hai shih, 464-65; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2,
80-83.
43.
For recent studies of
harbors, see Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai hang-hai shih, 465-78; Chuang
Weichi, Chuang Ching-hu and Wang Lien-mao, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu te
chu-ming kang-k'ou: Ch'uan-chou (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1988), 57-87;
Li Tung-hua, Ch'uan-chou yu wo-kuo, 195-224; Ch'en Ts'angsung, "Shih-po
kuan-li," 153-58. The last study contains an interesting comparison
between Ch'uan-chou and Canton.
44.
NHC, 36.
45.
TICL, 175, 177 n. 4, 204,
207-8 n. 4, 257, 330, 364, 375.
46.
IYC, 2.58, 69, 81; IYTC,
43a, 89a. Arabic sources contain equally vague references to a "Clove
Mine," the "Islands of Cloves," and the "Island of
Perfume"; see Tibbetts, Arabic Texts, 180.
47.
NHC, 37-38; TICL, 93-96,
178-81, 209-13; Carrie C. Brown, "The Eastern Ocean in the Yung-lo
ta-tien," Brunei Museum Journal 4.2 (1978): 53; Ch'en Chia-jung, Chung-wai
chiao-t'ung shih (Hong Kong: Learner's Bookstore, 1987), 368; and my "Some
References to Timor in Old Chinese Records," Ming Studies 17 (1983): 16.
48.
See TICL, 148, 209; and my
"Kurze Zusammenfassung der wichtigsten chinesischen Nachrichten zu den
Sulu-Inseln wahrend der Ming-Zeit," ZDMG 136 (1986): 627-28.
49.
Th. M. Jacobs, tr. and
ed., A Treatise on the Moluccas (c. 1544): Probably the Preliminary Version of
Antonio Galvao's Lost Historia das Molucas, Sources and Studies for the History
of the Jesuits 3 (Rome and St. Louis: Jesuit Historical Institute, 1971), 79,
81.
50.
See references in
Chung-kuo ku-chi chung yu kuan Fei-lu-pin tzu-liao hui-pien, ed. Chung-shan
ta-hsueh Tung-nan-ya li-shih yen-chiu-so (Peking: Chung-hua shu-chu, 1980), 16;
and TICL, 93, 95-96, for Klabat and the imported textiles.
51.
On the Yuan campaign
against Java, see Slametmuljana, A Story of Majapahit (Singapore: Singapore
Univ. Press, 1976), 67-73; George Coedes, Les Etats hindouises d'Indochine et
d'Indonesie (rpt. Paris: de Boccard, 1964), 361-66.
52.
MSL, T'ai-tsu, 71.1316,
114.1879, 195.2925, 196.2943. The material on tribute delegations from maritime
countries is conveniently presented in a number of works--e.g., Hiroshi
Watanabe, "An Index of Embassies and Tribute Missions from Islamic
Countries to Ming-China (1368-1644) as Recorded in the Ming shih-lu, Classified
according to Geographic Area," Memoirs of the Research Department of the
Toyo Bunko 23 (1975): 285-347; Cheng Ho hsia Hsi-yang tzu-liao hui-pien, ed.
Cheng Hao-sheng and Cheng I-chun, 2 vols. in 3 (Tsinan: Ch'i Lu shu-she,
1980-1983), 2:2, 1158-1296; Ming shih-lu lei-tsuan, She-wai shih-liao chuan,
ed. Li Kuo-hsiang et al. (Wuhan: Wu-han ch'u-pan-she, 1991); Geoff Wade, "The
'Ming shi-lu' as a Source for Southeast Asian History, 14th to 17th
Centuries," paper presented to the 12th IAHA conference in Hong Kong, June
1991 (the appendix of 117 pp. contains an index of tribute delegations).
53.
HCSL, ch'ien-chi, 32.
54.
TMITC, 90.5540.
55.
HYCKTL, 1.41, 45; 2.61,
69.
56.
For example, SYCTL, 7.380; 8.405, 411, 419,
430; 9.440.
57.
J. V. Mills, "Chinese
Navigators in Insulinde about A.D. 1500," Archipel 18 (1979): 73, 79. The
Tung-hsiyang k'ao and other sources with information on the Moluccas also refer
to later periods.
58.
Chuang Wei-chi,
"Yuan-mo wai-tsu p'an-luan yu Ch'uan-chou kang te shuai-jo,"
Ch'uan-chou wen-shih 1980.4:17-25; Chang Pin-tsun, "Maritime Trade and
Local Economy in Late Ming Fukien," in Development and Decline of Fukien
Province in the 17th and 18th Centuries, ed. E. B. Vermeer, Sinica Leidensia 22
(Leiden: E. J. Brill, 1990), 65.
59.
O. W. Wolters, The Fall of
Srivijaya in Malay History (London: Asia Major Library, Lund Humphries, 1970),
67-68.
60.
Sources in Chung-kuo ku-chi chung yu kuan
Fei-lu-pin tzu-liao hui-pien, 75, 81, 83, 90. Also see Liu Tzucheng,
"Ming-tai Chung-kuo yu Wen-lai chiao-wang k'ao," Ming shih yen-chiu
chuan-k'an 5 (1982): 5, 12-13; N. J. Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis (rpt.
The Hague: M. Nijhoff, 1931), 432-39; Denys Lombard, Le Carrefour javanais:
Essai d'histoire globale, Civilisations et societes 79, 3 vols. (Paris: Ecole
des Hautes Etudes en Sciences Sociales, 1990), 2: 36, 40. It is difficult to
determine the nature of relations between Java and the other places mentioned.
For this also see the Nagarakertagama, i.e., Theodore G. Th. Pigeaud, Java in
the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi
Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., 5 vols., 3rd ed. (The Hague: M. Nijhoff, 1960-63),
1:11-13, 3:16-19, 4:29-39. For Majapahit after 1400, also see J. Noorduyn, "Majapahit in the Fifteenth Century," Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 134 (1978): 207-74.
61.
Li Tzu-cheng,
"Ming-tai," 6-14; Robert Nicholl, "Brunei Rediscovered: A Survey
of Early Times," Journal of Southeast Asian Studies 14 (1983): 44-45;
William H. Scott, Filipinos in China before 1500 (Manila: De La Salle
University, 1989), 7-12; Ptak, "Kurze Zusammenfassung," 622-27.
62.
Theodore G. Th. Pigeaud
and H. J. de Graaf, Islamic States in Java, 1500-1700: A Summary, Bibliography
and Index, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en
Volkenkunde 70 (The Hague: M. Nijhoff, 1970), 7, 14, 15; De Graaf and Pigeaud,
trs., Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals
of Semarang and Cerbon, ed. M. C. Ricklefs, Monash Papers on Southeast Asia 12
(North Melbourne: Ruskin Press, 1984), 13-18; Chang Pin-tsun, "The First
Chinese Diaspora in Southeast Asia in the Fifteenth Century," in Emporia (see
n. 5 above), 17; and my "Die chinesische maritime Expansion im 14. Und 15.
Jahrhundert," Kleine Beitrage zur europaischen Uberseegeschichte 14
(1992): 23-25.
63.
The date is derived from
Pires; see Armando Cortesao, tr. and ed., The Suma Oriental of Tome Pires, an
Account of the East ..., and the Book of Francisco Rodrigues, Rutter of a
Voyage ..., Works Issued by the Hakluyt Society, 2nd ser., 89, 90, 2 vols.
(London: Hakluyt Society, 1944), 1:174.
64.
Ts'ao Yung-ho,
"Pepper Trade in East Asia," T'oung Pao 68.4-5 (1982): 231-42;
Wolters, The Fall of
Srivijaya, 61.
65.
See sources listed in n. 2
above. Exceptionally large imports of Moluccan spices were recorded in 1399.
For this also see Reid, "An 'Age of Commerce'," 12.
66.
For this, see Bodo
Wiethoff, Die chinesische Seeverbots-politik und der private Uberseehandel von
1368- 1567, Mitteilungen der Gesellschaft fur Natur- und Volkerkunde Ostasiens
45 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 42-43.
67.
Perhaps the situation in
eastern Sumatra and on Java, as well as temporary difficulties in the
China-Java traffic, also had some effects on the trade in cloves to China? See
Wolters, The Fall of Srivijaya, 49-74.
68.
See sources listed in n. 2 above.
69.
Cortesao, Suma Oriental,
1:159, 2:270.
ABBREVIATIONS OF CHINESE PRIMARY SOURCES
CYCYTC Chien-yeni-lai ch'ao-yehtsa-chi, by Li Hsin-ch'uan (early 13th-c.). 6
vols. Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
HCSL Hsing-ch'a sheng-lan chiao-chu, by Fei Hsin (preface 1436); ed. Feng
Ch'eng-chun. Shanghai: Chunghua shu-chu, 1954.
HP Hsiang-p'u, by Hung Ch'u (early 12th c.). Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
HYCKTL Hsi-yang ch'ao-kung tien-lu, by Huang Sheng-tseng (preface 1520); ed.
Hsieh Fang. Peking: Chunghua shu-chu, 1982.
IYC I-yu chih, by Chou Chih-chung (14th c.); ed. Lu Chun-ling. Peking:
Chung-hua shu-chu, 1981 (bound together in one vol. with the Hsi-yu lu).
IYTC I-yu t'u-chih, anonymous (14th c.). Microfilm copy of Cambridge library
(for a description, see Moule's article in T'oung Pao 27:179-88).
KCTSCC Ch'in-ting ku-chin t'u-shu chi-ch'eng, comp. 1726 by Ch'en Meng-lei et
al. 100 vols. Taipei: Wenhsing shu-tien, 1964.
KHYHC Kuei-hai yu-heng chih chi-i chiao-chu, by Fan Ch'eng-ta (dated 1175); ed.
Hu Ch'i-wang and T'an
Kuang-kuang. Chengtu: Ssu-ch'uan min-tsu ch'u-pan-she, 1986.
MHP Ming hsiang p'u, by Yeh T'ing-kuei (c. 1150). Shanghai: Chung-kuo t'u-shu
kung-ssu, 1914.
MS Ming shih, comp. Chang T'ing-yu et al. (dated 1739). Peking: Chung-hua
shu-chu, 1974.
MSL Ming shih-lu (different sections completed in different periods), ed.
Chung-yang yen-chiu-yuan li-shih yu-yen yen-chiu-so. Nankang: Chung-yang ...
yen-chiu so, 1966.
NHC Ta-te Nan-hai chih ts'an-pen, by Ch'en Ta-chen (dated 1304, fragmentary).
Canton: Kuang-chou shih tifang chih yen-chiu, 1986.
PCKT P'ing-chou k'o-t'an, by Chu Yu (dated 1119). Ts'ung-shu chi-ch'eng edn.
PTKM Pen-ts'ao kang-mu, comp. by Li Shih-chen (dated 1596). 4 vols. Peking:
Jen-min wei-sheng ch'u-panshe, 1975-81.
SHY Sung hui-yao chi-kao (11th-13th c.; documents
collected by Hsu Sung et al. in the 19th c.). Peking: Chung-hua shu-chu, 1957.
SS Sung shih, comp. T'o T'o and Ou-yang Hsun (c. 1345). Peking: Chung-hua
shu-chu, 1977.
SYCTL Shu-yu chou tzu lu, by Yen Ts'ung-chien (preface 1574). Chung-hua
wen-shih ts'ung-shu edn.
TCMHL Tung-ching meng-hua lu, by Meng Yuan-lao (preface 1147). Ts'ung-shu
chi-ch'eng edn.
TICL Tao-i chih-lueh chiao-shih, by Wang Ta-yuan (dated 1349); ed. Su
Chi-ch'ing. Peking: Chung-hua shuchu, 1981.
TMITC Ta Ming i-t'ung chih, comp. Li Hsien et al. (dated 1461). Taipei: Wen-hai
ch'u-pan-she, 1965.
TPYL T'ai-p'ing yu-lan, comp. Li Fang et al. (dated 983). Kuo-hsueh chi-pen
ts'ung-shu edn.
WHTK Wen-hsien t'ung-k'ao, by Ma Tuan-lin (begun in late 13th c., completed in
1307, printed in early 14th c.). Shanghai: Commercial Press, 1936.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar