Minggu, 02 Agustus 2020

Cina dan perdagangan cengkih, sekitar tahun 960-1435 (bag 1)


By Roderich Ptak

 

  1. Kata Pengantar
Artikel yang ditulis oleh Roderich Ptak, Profesor Sinologi dari Ludwig-Maximilians Universitas Munich, Jerman ini, bisa dianggap sebagai “prolog” dari artikel yang pernah ditulisnya, yang juga pernah kami sajikan di blog ini.  Artikel yang kami maksud itu adalah The Northern Trade Route to the Spice Islands : South China Sea – Sulu Zone – North Mollucas (14th to early 16th century). Artikel itu mencakup periode abad ke-14 hingga awal abad ke-16, sedangkan artikel “prolog” ini mencakup periode abad ke-10 hingga abad ke-15. Artikel “prolog” ini berjudul China and the Trade in Clove, circa 960 – 1435, yang dimuat pada Journal of the American Oriental Society, volume 113, no 1 (Jan – Maret 1993) halaman 1-13.
Jika artikel sebelumnya, Ptak mengkaji tentang rute utara yang dilalui oleh bangsa Cina untuk membeli cengkih di Maluku, pada artikel ini, ia mengkaji tentang pentingnya cengkih bagi kekaisaran Cina, serta struktur perdagangan dan permintaan (kebutuhan) bangsa Cina akan cengkih, khususnya kebijakan kekaisaran Sung, Yuan dan awal periode kekaisaran Ming. Ada beberapa informasi yang penting yang disajikan oleh Ptak, misalnya sumber Cina secara pasti menyatakan Cengkih hanya berasal dari Maluku, bukan tempat lain. Juga disebutkan bahwa pada periode awal ini, cengkih selalu dikategorikan sebagai barang impor yang “bagus” atau hsi se.
Artikel sepanjang 13 halaman dan disertai dengan 1 tabel dan 69 catatan kaki ini, kami terjemahkan dan membaginya menjadi 2 bagian. Beberapa ilustrasi yang memang tidak ada di artikel aslinya, kami tambahkan di sini. Akhirnya... selamat membaca kajian ini, semoga pengetahuan sejarah kita semakin meluas.


  1. Terjemahan : Kutu Busu
Sepanjang akhir abad pertengahan, cengkih Maluku diekspor ke Cina, dimana cengkih terutama digunakan sebagai pengharum nafas dan dalam bidang farmakologi. Tergantung pada berbagai faktor, seperti situasi politik di wilayah Sulu-Borneo, perdagangan ini dilakukan melalui zona Sulu atau rute Jawa yang lebih panjang. Setelah mengomentari secara singkat tentang komoditas itu sendiri, serta istilah Cina yang berkaitan, penelitian ini membahas kerangka institusi perdagangan ini, dan menawarkan beberapa hipotesis mengenai ukuran dan kemungkinan kaitannya dengan perkembangan di wilayah Eropa-India.

Pendahuluan

                Salah satu komoditi paling penting di awal perdagangan intra-Asia dan Eropa-Asia adalah cengkih. Cengkih berasal dari Maluku, khususnya dari pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, Batjan dan Ambon. Dari pulau-pulau ini, cengkih dikirim ke utara, melalui Sulawesi dan Laut Sulu ke Laut Cina Selatan, atau dikirim ke barat, melalui Ambon dan Laut Jawa ke berbagai tujuan di Indonesia bagian barat dan daratan Asia Tenggara. Dari tempat-tempat seperti Malaka atau Palembang, cengkih selanjutnya didistribusikan ke negara-negara dan pelabuhan yang berbatasan dengan Samudera Hindia dan, akhirnya, ke Timur Dekat/Timur Tengah (Near East/Middle East) dan Eropa. Dalam beberapa kasus, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia bagian barat dan daratan Asia Tenggara, juga mengekspor kembali cengkih ke Cina, Jepang dan Korea. Oleh karena itu, Cina menerima cengkih Maluku, baik melalui rute langsung melalui zona Sulu atau rute yang lebih panjang melalui Laut Jawa. Pola 2 rute yang memungkinkan untuk pengiriman cengkih ke Cina ini adalah – sehubungan dengan periode sekitar tahun 1000 hingga 1400 – akan menjadi salah satu poin perhatian dari makalah ini1.
                Masalah kedua adalah menyangkut ukuran perdagangan cengkih. Untuk ini, kita harus merujuk sebentar ke ujung Eropa terlebih dahulu. Beberapa sarjana telah mengumpulkan data, yang menunjukan bahwa impor rempah-rempah ke Maluku di Eropa meningkat pada akhir abad ke-14 dan terus bertumbuh seterusnya2. Anthony Reid berpikir bahwa peningkatan permintaan di Eropa, mencerminkan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara di akhir abad pertengahan. Lebih penting lagi, ia percaya bahwa pasar Cina mendukung pertumbuhan ini: “Pada akhir abad ke-14, Cina memulai 2 abad ekspansi kekayaan dan populasi. Permintaan akan produk-produk Asia Tenggara, terutama didorong oleh 6 ekspedisi perdagangan negara dari kaisar Ming, Yung Lo (1403 – 1422)”. Secara berbeda, itu adalah efek gabungan dari perubahan pasar, baik skenario di Cina maupun Indo-Eropa yang berkontribusi pada munculnya “era pedagangan” dalam sejarah Asia Tenggara3. Meskipun tidak ada keraguan bahwa, pada tingkatan umum, memang demikian halnya, ada 2 pertanyaan muncul: seberapa pentingnya permintaan Cina akan cengkih dalam keseluruhan pertumbuhan ini? Kedua, apa yang bisa dikatakan tentang impor cengkih Cina selama periode sebelum tahun 1400, yang tidak dicakup oleh kajian Reid?. Oleh karena itu, usaha telah dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang relevan pada impor ini dan, jika mungkin, informasi ini terkait dengan konteks pengiriman komoditas yang lebih luas dari Asia Tenggara ke Cina.
                Masalah ketiga adalah menyangkut komoditas itu sendiri, khususnya tentang istilah Cina, penggunaan cengkih di Cina, dan kerangka kerja institusional yang mengatur impor zat-zat aromatik milik Cina itu. Wheatley dan para sarjana lainnya memang memperhatikan beberapa pertanyaan ini, tetapi belum membahas semua masalah terminologi yang relevan4. Studi terkini tentang komoditas “langka” yang terlibat dalam perdagangan Asia itu, terutama dalam kasus impor Cina, penelitian filologis memang diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap, tentang apa yang sedang terjadi, dan bagaimana data tertentu harus diinterpretasikan5. Makalah ini mengikuti tradisi filologis ini, dan oleh karenanya dimulai dengan beberapa penjelasan singkat tentang terminologi.


KOMODITAS


a)      Pohon Cengkih dan Habitatnya

Dalam perdagangan, ungkapan berbahasa Inggris “clove (cengkih)” biasanya merujuk pada (cengkih) kering, yaitu kuncup yang belum terbuka dari pohon cengkih, Eugenia caryophyllata, Thunb. (juga Eugenia aromatica, Kuntze). Pohon cengkih adalah pohon kecil tetapi memerlukan beberapa tahun untuk besar. Kuncupnya menunjukan sedikit variasi dalam warna dan ukuran. Di Maluku, cengkih biasanya dipanen setelah tahun kesepuluh, terutama antara September/Oktober dan Desember/Januari, kemudian dikeringkan dan siap untuk diekspor6.
Sebagian besar penulis modern sepakat mengatakan bahwa pohon cengkih adalah asli Maluku, dan tidak menyebar ke bagian-bagian lain di Asia, sebelum kedatangan orang Eropa di Indonesia. Beberapa catatan sejarah Cina juga tampak untuk memberi batasan tentang habitat pohon cengkih di Maluku7, namun sebagian yang lain menunjukan sebaliknya: mereka mencantumkan cengkih sebagai produk dari Cina Selatan, serta dalam beberapa kasus yang langka, juga di wilayah-wilayah lain yang jauh dari kepulauan rempah-rempah. Referensi ini adalah tidak benar. Cengkih “sejatinya” tidak tumbuh di Cina, atau di Timur Tengah, seperti misalnya, Chao Ju-Kua, penulis terkenal Chu-fan-chih yang pikikan8. Beberapa laporan awal Eropa sama menyesatkannya: Marco Polo, misalnya, yang berbicara cengkih dalam kaitan dengan Caindu di Tibet timur, maksudnya mungkin adalah kuncup cassia. Ia juga salah melaporkan bahwa pohon cengkih ditemukan di hutan tropis Kepulauan Nicobar dan cengkih diproduksi di Jawa9. Cerita-cerita lain menghubungkan cengkih itu adalah bunga, kulit kayu manis dan buah pala adalah satu dan berasal dari tanaman yang sama. Legenda ini, dengan sejumlah variasi, tersebar luas di beberapa bagian Asia dan, untuk berabad-abad, menyebabkan kebingungan di kalangan ahli botani dan para penjelajah10. Singkatnya, referensi abad pertengahan tentang cengkih harus digunakan dengan persyaratan; tidak semua yang disebut “cengkih” adalah benar-benar cengkih. 

b)      Ting-hsiang

Ungkapan Cina yang paling sering ditemui untuk merujuk pohon cengkih dan kuncupnya adalah ting-hsiang (“kemenyan paku”). Ada kemungkinan, bahwa di Cina abad pertengahan beberapa perbedaan mendasar dibuat antara varietas ting-hsiang atau kualitas-kualitas, atau, sebagai alternatif, ungkapan ini digunakan untuk cengkih “sejati” dan satu atau beberapa produk lain yang mirip dengan cengkih, seperti kuncup cassia. Dasar utama untuk asumsi ini, adalah 2 daftar komoditas yang tidak dikomentari, dimana masing-masing mengacu pada ting-hsiang dan hsia-teng ting-hsiang, yitu “cengkih” tanpa spesifikasi lebih lanjut dan “cengkih berkadar rendah”11.
Walaupun implikasi yang tepat dari diferensiasi ini masih belum diketahui, jelas, pada tingkatan yang lebih umum, bahwa pertimbangan kualitas memainkan beberapa peran penting dalam kaitannya dengan perdagangan aromatik-aromatik Cina (hsiang atau hsiangyao). Fan Ch’eng-ta, salah satu dari sedikit penulis kekaisaran Sung, dengan pengetahuan mendalam tentang Cina Selatan, menunjukan, misalnya, bahwa aromatik-aromatik terbaik yang diproduksi di dalam negeri adalah aromatik dari Hainan tropis; bertentangan dengan apa yang dikatakan orang, provinsi Kwangtung tidaklah memproduksi, tetapi mengimpor, sebagian besar aromatiknya melalui kapal-kapal12. Pengamatan ini, jika dirujuk pada ting-hsiang, dapat ditafsirkan sebagai bukti tidak langsung dari fakta, bahwa semua klaim produksi cengkih dalam negeri Cina memang salah, dan bahwa senyawa seperti hsia-teng ting-hsiang mungkin digunakan untuk nama cengkih “palsu”13. Karena ini mungkin, seringkali tidak mungkin untuk memutuskan dengan tepat, apakah referensi spesifik untuk ting-hsiang benar-benar merujuk pada cengkih Maluku atau zat lain. Untuk menyederhanakan masalah, penelitian ini menyamakan semua impor ting-hsiang dengan cengkih “sejati”.

c)       Istilah Cina lainnya

                Ada sejumlah terminologi Cina yang layak untuk dikomentari secara singkat. Yang pertama ting-hsiang-hua, terminologi yang sangat langka dan, secara umum, dapat langsung dianggap sebagai “kuncup bunga cengkih”. Sejauh mana perbedaan antara ting-hsiang dan ting-hsiang-hua tidaklah jelas. Kemungkinan, kedua istilah itu dapat dipertukarkan.
Ting-hsiang-mu menimbulkan lebih banyak komplikasi. Ungkapan ini, yang berarti “induk cengkih” biasanya merujuk pada buah dari pohon cengkih, tetapi Chao Ju-kua, mungkin disesatkan oleh suku kata mu, dan menganggapnya sebagai jenis cengkih yang lebih besar, bukan sebagai buah dari pohon cengkih. Ini adalah salah, karena, menurut sebagian besar karya botani, setiap cengkih yang mulai menebal di bawah kelopak, memenuhi syarat sebagai “induk cengkih”14. Oleh karena itu, sehubungan dengan perdagangan maritim Cina, ting-hsiang-mu adalah kemungkinan merujuk pada buah dari pohon cengkih. Hal ini juga tampaknya didukung oleh fakta bahwa dalam beberapa kasus, ting-hsiang dan ting-hsiang-mu terdaftar secara bersama-sama sebagai barang impor.
Dua ungkapan lain berasal dari ting-hsiang: yaitu ting-hsiang-p’i (bentuk pendeknya : ting-p’i) dan tinghsiang-chih. Yang pertama dapat diterjemahkan sebagai “kulit cengkih”. Menurut Li Hsun, zat ini memiliki sifat obat: obat untuk sakit gigi15. Mungkin zat ini ada hubungannya dengan kayu manis, karena, seperti disebutkan di atas, kayu manis sering salah diidentifikasi dengan kulit pohon cengkih; namun, sumber-sumber “membatasi” kami untuk menjelaskan hubungan yang jelas antara kedua zat tersebut. Ting-hsiang-p’i, oleh karena itu, mungkin merujuk pada hal yang sama sekali berbeda.
Ungkapan ting-hsiang-chih, “cabang cengkih”, mungkin merujuk yang sama dengan penyebutan oleh Pegolotti  fusto di gherofani dan fistuchi di gherofani (“tangkai cengkih, “ranting cengkih”). Mungkin ungkapa itu juga identik dengan “kayu” (atau “ranting”) cengkih yang disebutkan oleh Ibnu Batutah. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa “kayu” yang disebutkan Ibnu Batutah, mewakili apa yang di Timur Tengah “ para tabib sebut sebagai Kirfatul – Karanful atau kulit cengkih”16. Ini menunjukan bahwa tinghsiang-p’i dan ting-hsiang-chih juga identik, tetapi menurut Needham, ting-hsiang-chih digunakan untuk membuat benda-benda seni miniatur, sedangkan ting-hsiang-p’i, seperti yang telah kita lihat, digunakan dalam pengobatan17. Selain itu, kedua zat ini terdaftar dalam daftar komoditas yang disebutkan di atas dan kemungkin, oleh karena itu, mereka mewakili 2 hal yang berbeda. Apapun yang mungkin mereka tunjukan, mereka jarang muncul sehubungan dengan perdagangan maritim Cina, dan karena alasan itu, dapat diabaikan dalam kontek artikel ini.
Hal yang juga berlaku untuk ungkapan Cina kuno chi-she-hsiang, yang bermakna - “kemenyan lidah ayam” -, tampaknya berkaitan dengan bentuk kuncup cengkih, seperti halnya ungkapan ting-hsiang atau “kemenyan paku”. Menurut Chao Ju-kua, chi-she-hsiang sama dengan ting-hsiang-mu; tetapi dalam sumber lain, benda itu disamakan secara “sederhana” sebagai ting-hsiang18. Pandangan terakhir ini, kemungkinan besar adalah benar, dan juga yang diberikan dalam kebanyakan buku pegangan modern tentang botani Cina19.
Seharusnya tidak luput dari perhatian, namun, bahwa sejumlah karya botani dan ensiklopedia awal, memuat deskripsi chi-she-hsiang yang sangat tidak menentu; dengan demikian, Hsi Han keliru menyebutkan chi-she-hsiang sebagai salah satu dari beberapa zat yang berasal dari pohon mi-hsiang (Aquilaria agallocha)20. Bagi yang lainnya, chi-she-hsiang merujuk pada ju-hsiang, yaitu kemenyan, atau batu dari periode Persia, yaitu ch’ien-nien-tsao. Bahkan Li Shih-chen, yang menulis pada akhir periode kekaisaran Ming, membuat masalah jadi membingungkan: ting-hsiang, katanya merujuk pada tanaman laki-laki, sedangkan chi-she-hsiang adalah tanaman perempuan21.


d)      Penggunaan Cengkih

Di Cina, kuncup cengkih digunakan untuk berbagai keperluan: sebagai pengharum nafas oleh kalangan atas, terutama selama upacara-upacara kerajaan/kekaisaran22 ; sebagai unsur pokok dari parfum/pengharum dan dupa yang diimpor dari luar negeri atau diproduksi di Cina23 ; mungkin juga dalam memasak, meskipun, seperti yang telah ditunjukan oleh Schafer, penggunaan ini pastilah luar biasa24 ; dan, sangat pasti, sebagai unsur utama obat-obatan.
Penggunaan terakhir ini – dalam farmakologi – mungkin yang paling penting. Kuncup pohon cengkih mengandung eugenol, naphthalin, caryophyllen dan gallotannic, sedangkan kulit dan batang mengandung caryophyllen. Semua zat-zat tersebut diketahui efektif dalam menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, yang, setidaknya sebagian, menjelaskan penggunaan cengkih dalam pengobatan tradisional Asia. Beberapa karya pents’ao mengatakan, misalnya, bahwa ting-hsiang berfungsi sebagai tonik perut, untuk menghilangkan rasa sakit, atau sebagai stimulan aromatik25.
Di India, Asia Tenggara, kepulauan Ryukyu, dan Jepang, berfungsi dengan tujuan yang sama. Perbedaan utama, mungkin terletak pada kisaran penggunaan medis dan frekuensi penggunaan dalam masakan sehari-hari. Di beberapa tempat, seperti Goa, cengkih mungkin juga lebih populer sebagai pengharum nafas daripada di Cina. Di Malaysia, cengkih digunakan dalam mewarnai keris. Akhirnya, cengkih juga dianggap memiliki sifat afrodisiak26.
Penggunaan cengkih yang secara luas, maka tentu saja hal yang sah, untuk bertanya apa dampak berbagai penggunaan zat ini, terhadap struktur permintaan di Cina abad pertengahan dan di tempat lain. Tidak ada perhitungan yang tersedia untuk menjawab pertanyaan ini, dan bukti kualitatif sama lemahnya, dan dalam beberapa kasus sama sekali tidak ada. Namun, karena di beberapa bagian India, cengkih banyak digunakan dalam penyiapan makanan, yang, tampaknya, tidak terjadi di Cina, memang mungkin bahwa total permintaan lebih tinggi di India daripada di Cina. Tetapi, ini pasti tidak lebih dari dugaan, meskipun, seperti yang akan dijelaskan nanti, ada alasan untuk mengasumsikan bahwa total konsumsi, tidak sangat tinggi di Cina pada akhir abad pertengahan.



AROMATIK-AROMATIK IMPOR KEKAISARAN SUNG
Kerangka Institusional


Setidaknya ada beberapa permintaan, Cina mengimpor cengkih sejak awal. Selama periode kekaisaran Sung, ketika perdagangan Cina dengan negara-negara Asia Tenggara dan Samudera Hindia dengan cepat berkembang, cengkih sering disebut sebagai barang impor. Pada saat itu, impor Cina dari negara-negara maritim Asia sebagian besar, disalurkan melalui apa yang disebut Merchant Shiping Offices (shih-po-ssu) atau “ Kantor Pelayaran para pedagang”, di pelabuhan-pelabuhan seperti Canton, Ch’uan-chou, atau Ming-chou (Ch’ing-yuan). Secara umum, ada 2 jenis barang impor : “barang-barang kasar” (ts’u se), seperti tekstil, dan barang-barang “bagus” (hsi se), seperti perhiasan atau zat semi mulia. Perbedaan lebih lanjut dalam kedua kategori ini tidak selalu jelas. Ting-hsiang dan berbagai aromatik lainnya, sering disebut dengan ungkapan majemuk hsiang-yao (yaitu, “obat aromatik” atau “rempah-rempah dan obat-obatan), tetapi beberapa hsiang-yao dianggap sebagai barang-barang “kasar”, sementara yang lain adalah produk “bagus”. Pada tahun 1141, misalnya, cengkih ditempatkan di bawah kategori “bagus”27. Pada sekitar tahun 1225, kita juga menemukan ting-hsiang dan ting-hsiang-chih di bawah kategori ini, tetapi ting-hsiang-p’i dan berbagai zat lainnya, dianggap sebagai barang kelas “kasar”28.
Sementara impor dan distribusi lebih lanjut dari barang-barang “bagus” sebagian besar berada di tangan pemerintah, yang melakukan monopoli atau  nyaris memonopoli atas komoditas tersebut, berdagang barang-barang dari varietas “kasar” tetap relatif terbuka. Namun, seiring waktu, semakin banyak barang impor dimasukan dalam kategori “bagus”, dan ini memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan pendapatannya29

Barang-barang monopoli (chin-ch’ueh wu) dan barang yang diperdagangkan bebas, dikenakan pajak oleh pemerintah. Pajak impor bervariasi dari periode ke periode. Awalnya, bea masuk ditetapkan 1/10 dari nilai impor. Pada tahun 991 (akhir abad ke-10), kurs naik menjadi 1/5,  setelah itu diturunkan lagi menjadi 1/10 dimana level itu tetap, kira-kira, sampai pertengahan abad ke-11 (sekitar tahun 1040an). Di bawah Hui-tsung, pajak untuk barang-barang “kasar” ditetapkan pada 3/10,  sementara untuk barang-barang “bagus” tetap pada 1/10. Pada tahun 1136, pajak ditetapkan masing-masing sebesar 1/15 dan 1/10 30  Pada tahun 1144, tarif aromatik dinaikan menjadi 2/5 Tarif ini lebih dari yang bisa ditanggung para pedagang, dan banyak keluhan diajukan; oleh karenanya, pada tahun 1147, tarif untuk beberapa komoditas – ada referensi eksplisit untu cengkih periode ini – dikurangi menjadi nilai yang lama, yaitu 1/10 31
Fluktuasi dalam tarif pajak terkait dengan upaya pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan. Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah menjanjikan gaji yang lebih tinggi dan bonus lainnya bagi mereka, yang sangat berhasil menarik pedagang untuk mengimpor lebih banyak barang dan dengan demikian membayar lebih banyak bea. Dalam beberapa kasus, pedagang asing diminta langsung membawa lebih banyak barang; pada tahun 1137, misalnya, seorang pedagang yang berdagang ke Kanton, menerima permintaan untuk membeli lebih banyak aromatik. Namun, penerimaan pajak tidak selalu mencapai tingkat yang diinginkan; menjelang akhir abad ke-12, pemerintah sangat membutuhkan uang, sehingga mendorong kenaikan tarif hingga 50%, yang belum pernah terjadi sebelumnya32.
Meskipun pendapatan seringkali jauh dari harapan, keuntungan swasta dan pemerintah yang berasal dari impor maritim sangat besar. Pendapatan pemerintah naik menjadi sekitar 60 juta tunai menjelang akhir kekaisaran Sung Utara; dan turun ke tingkat yang lebih rendah pada tahun-tahun awal periode kekaisarn Sung Selatan, tetapi naik lagi pada tahun 1160an, dan mencapai tingkat 65 juta pada pertengahan 1170-an dan 1180-an33.
Beberapa statistik yang kami miliki tidak menyediakan gambaran kesimpulan yang terperinci – dan, memang, tidak ada data yang pasti tentang keuntungan yang diperoleh dari perdagangan cengkih – tetapi dari komentar yang tersebar di sumber-sumber itu, jelas bahwa persentase besar dari pendapatan pajak dihasilkan melalui impor zat aromatik34.  Faktanya, 1 dari 4 gudang kekaisaran secara eksklusif disediakan untuk penyimpanan hsiang-yao, dan banyak hsiang-yao ditawarkan untuk dijual di toko-toko khusus. Ini jelas menunjukan sirkulasi aromatik yang luas di pasar domestik, dan juga menunjukan bahwa pemerintah menerima sejumlah besar zat aromatik sebagai pembayaran pajak – tetapi, tentu saja, kita tidak bisa mengasumsikan bahwa semua zat aromatik tersebut adalah cengkih35.


====== bersambung ======


Catatan Kaki :
1.         A related study referring to later periods is my "The Northern Trade Route to the Spice Islands," Archipel 43 (1992): 27-56.
2.        See, for example, Eliyahu Ashtor, "Spice Prices in the Near East in the 15th Century," Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1976): 26, 33, 35; idem, "The Volume of Mediaeval Spice Trade," Journal of European Economic History 8 (1979): 756-59; C. H. H. Wake, "The Changing Pattern of Europe's Pepper and Spice Imports, ca. 1400-1700," JEEH 8 (1979): 363, 371-72, 396-403; idem, "The Volume of European Spice Imports at the Beginning and End of the Fifteenth Century," JEEH 15 (1986): 632-33. For an earlier study, see Jacques Heers, "Il commercio nel Mediterraneo alla fine del sec. XIV e nei primi anni del XV," Archivio Storico Italiano 113 (1955): 162, 172, 175-77, 185-86, 189-90.
3.        Anthony Reid, "An 'Age of Commerce' in Southeast Asian History," Modern Asian Studies 24.1 (1990): 5, 11-15; idem, "The System of Trade and Shipping in Maritime South and Southeat Asia, and the Effects of the Development of the Cape Route," in The European Discovery of the World and its Economic Effects on PreIndustrial Society, 1500-1800: Papers of the Tenth International Economic History Congress, ed. H. Pohl (Stuttgart: Franz Steiner Verlag, 1990), 74-76.
4.        Paul Wheatley, "Geographical Notes on Some Commodities Involved in Sung Maritime Trade," Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 32.2 (1959): 45-47; Yamada Kentaro, Tozai koyaku shi (rpt. Tokyo: Fukumura shoten, 1964), 12-13, 90-94.
5.        For example, papers by Haraprasad Ray, Stephen Tseng-hsin Chang, Leonard Blusse, and the present author in Emporia, Commodities and Entrepreneurs in Asian Maritime Trade, c. 1400-1750, ed. R. Ptak and D. Rothermund, Beitrage zur Sudasienforschung, Sudasien-Institut, Universitat Heidelberg 141 (Stuttgart: Franz Steiner, 1991).
6.       Various studies include chapters with references to early European descriptions of the cultivation of cloves and the trade in cloves in colonial times. Many of these references are indicated in G. J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon, 1656-1696, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (Dordrecht: Foris Publications, 1987), 229-51.
7.        For example, MS, 323.8374.
8.        Freidrich Hirth and W. W. Rockhill, trs. and eds., Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chi (rpt. Taipei: Ch'eng-Wen Publishing, 1970), 116; Wheatley, "Commodities," 45.
9.       Henry Yule, tr., The Book of Ser Marco Polo the Venetian ..., 3rd ed. revised by Henry Cordier, 2 vols. (London: John Murray, 1929), 2: 56, 59-60 n. 7, 272, 306, 309 n. 1. The idea that the Nicobar Islands grew cloves may be somehow related to the fact that in old Arabic accounts the name for the Nicobars—Langabalus and other forms--was occasionally confused with the Sanskrit word for cloves, i.e., lavanga; see G. R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia, Oriental Translation Fund, n.s., 44 (Leiden: E. J. Brill, 1979), 181. For the Nicobar Island see also my "Die Andamanen und Nikobaren nach chinesischen Quellen (Ende Sung bis Ming)," Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft 140 (1990): 343-73. Some modern scholars were obviously confused by early reports claiming that cloves grew in Africa or elsewhere; see, for example, Lin Shih-min, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu te chu-ming hai-kang: Ming-chou (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1990), 87.
10.     See Henry Yule, tr., Cathay and the Way Thither, Being a Collection of Medieval Notices of China, revised ed. by Henri Cordier, 4 vols. in 2 (rpt. Nendeln: Kraus Reprint, 1967), 4:101-2; Yamada, Tozai koyaku shi, 90-94.
11.       SHY, chih-kuan section 44.18a, 19a.
12.      KHYHC, 39.
13.      In the eighteenth and nineteenth century--with the gradual spread of the clove tree to other parts of the world--quality considerations begin to emerge more clearly. Thus, for some time, cloves from Penang in Malaysia were said to be the best and, accordingly, fetched the highest prices. In some markets, perhaps also in China, they became more popular than those from the Moluccas, including the ones cultivated on the famous clove-growing island of Ambon. For this, see, for example, H. I. Burkill, A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula, 2 vols. (London: Government of the Straits Settlements and Federated Malay States, 1935), 2:961-64; George Watt et al., A Dictionary of the Economic Products of India, 6 vols. in 10 (London: W. H. Allen, and Calcutta: Office of the Superintendent of the Government Printing, 1889-96), 2:203-6.
14.      Wheatley, "Commodities," 47; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 209.
15.      PTKM, 3:1940-41.
16.     Yule, Cathay and the Way Thither, 3:168, 4:102.
17.    Joseph Needham et al., Science and Civilisation in China, vol. 5: Chemistry and Chemical Technology, part IV: Spagyrical Discovery and Invention: Apparatus, Theories and Gifts (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1980), 159.
18.      Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 209-10; Yamada, Tozai koyaku shi, 358.
19.     Only some handbooks with short references to ting-hsiang are listed here: Bernard E. Read (and Liu Juch'iang), Chinese Medical Plants from the Pen Ts'ao Kang Mu, A.D. 1596: 3rd Edition of a Botanical, Chemical and Pharmacological Reference List, publ. by Peking Natural History Bulletin (Peiping: The French Bookstore, 1936), 66; idem., Flora Sinensis, series A, vol. 1: Plantae Medicinalis Sinensis: Bibliography of Chinese Medical Plants, from the Pen Ts'ao Kang Mu, 1596 A.D., 2nd ed. (Peking: Department of Pharmacology, 1927), no. 225; E. Bretschneider, Botanicon Sinicum: Notes on Chinese Botany from Native and Western Sources, 3 vols. (London: Trubner, 1882-96), 3: no. 308; Jacques Roi, Traite des plantes medicinales chinoises, Encyclopedie biologique 47 (Paris: Paul Lechevalier, 1955), 235-36; Chung-yao ta tz'utien, ed. Chiang-su hsin i-hsueh yuan, 3 vols. (Shanghai: Shang-hai k'o-hsueh ch'u-pan-she, 1977-79), 1:12- 13; Chung-hua jen-min kung-ho-kuo yao-tien, ed. Chung-hua jen-min kung-ho-kuo wei-sheng-pu yao-tien wei-yuan-hui, vol. 1 (Peking: Jen-min wei-sheng ch'u-pan-she, 1990), 1; Chen (=Ch'en) Yung, Chung-kuo shu fen-lei hsueh, Chung-hua nung-hsueh-hui ts'ung-shu (Nanking: Chung-hua nung-hsueh hui, 1937), 880; Chia Tsu-chang and Chia Tsu-shan, Chung-kuo chih-wu t'u-tien, 3rd ed. (Peking: Chung-hua shu-chu, 1958), 619.
20.    Li Hui-lin, Nan-fang ts'ao-mu chuang: A Fourth Century Flora of Southeast Asia (Hong Kong: The Chinese Univ. Press, 1979), 11, 12, 87, 89.
21.      PTKM, 3:1940-41; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 209-10. For earlier examples of descriptions of or references to ting-hsiang or chi-she-hsiang, see TPYL, 981.4233d-4234a; HP, 1.3-4 (chi-she-hsiang and tinghsiang considered under separate entries!); KCTSCC, ts'e 555 ("Ts'ao mu tien," ch. 301), 13a-14b. Also see the interesting comments in Yamada, Tozai koyaku shi, esp. 358.
22.   Wheatley, "Commodities," 45; Edward H. Schafer, "T'ang," in Food in Chinese Culture: Anthropological and Historical Perspectives, ed. K. C. Chang (New Haven: Yale Univ. Press, 1977), 110-11. For sources, see, e.g., MHP, 12b.
23.     Joseph Needham and Lu Gwei-Djen, Science and Civilisation in China, vol. 5: Chemistry and Chemical Technology, part II: Spagyrical Discovery and Invention: Magisteries of Gold and Immortality (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1974), 137, 143.
24.     Schafer, op. cit.
25.     PTKM, 3:1940-41; Joseph Needham et al., Science and Civilisation in China, vol. 6: Biology and Biological Technology, part 1: Botany (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1986), 277.
26.    Burkill, Dictionary, 2:963-64; Watt, Dictionary, 2:203-5; Yamada, Tozai koyaku shi, 354; D. B. Stibbe et al., eds., Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 4 vols. and 4 suppl. vols. (The Hague: M. Nijhoff, and Leiden: E. J. Brill, 1917-39), 2:455-58.
27.     Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan shih-ch'i te hai-wai mao-i (Tientsin: T'ien-chin jen-min ch'u-panshe, 1981), 49; Jitsuzo Kuwabara, "On P'u Shou-keng, a Man of the Western Regions, who was Superintendent of the Trading Ships' Office in Ch'uan-chou ...," part 1, Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 2 (1928): 18-20.
28.      Pao-ch'ing Ssu ming chih, quoted after Lin Shih-min, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu, 87.
29.    Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 49, 78-79; Kuwabara, "On P'u Shou-keng ...," part 2, Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 7 (1935): 74-76.
30.    Kuan Lu-ch'uan, Sung-tai Kuang-chou te hai-wai mao-i (Canton: Kuang-tung jen-min ch'u-pan-she, 1987), 62-65; Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 78-83; Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai hang-hai shih (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1989), 459-63; W. W. Rockhill, "Notes on the Relations and Trade of China with the Eastern Archipelago and the Coast of the Indian Ocean during the Fourteenth Century," part 1, T'oung Pao 15 (1914): 419-21; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2, 71-72. For important sources, see, e.g., CYCYTC, 15.217; PCKT, 2.17.
31.      SHY, chih-kuan section, 44.19, 25; Kuan Lu-chu'uan, Sung-tai Kuang-chou, 64; Wheatley, "Commodities," 22; Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 80; Li Tung-hua, Ch'uan-chou yu wo-kuo chung-ku te hai-shang chiao-t'ung, Shih-hsueh ts'ung-shu (Taipei: Hsueh-sheng shu-chu, 1986), 178-84.
32.     Wheatley, "Commodities," 23; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 1, 42; Ch'en Ts'ang-sung, "Shih-po kuan-li tsai hai-wai mao-i chung te tso-yung ho ying-hsiang; ts'ung Sung Yuan shih-ch'i Kuang-chou, Ch'uan-chou te hai-wai mao-i t'an-ch'i," in Kuang-chou wai-mao liang-ch'ien nien, ed. Ch'en Po-chien (Canton: Kuang-chou wen-hua ch'u-pan-she, 1989), 152 (quoting SHY).
33.     Wheatley, "Commodities," 24; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2, 77-79.
34.     For example SS, 185.4537-38. Of all aromatics imported, frankincense was probably the most important one; see, for example, Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2, 76-77.
35.     Wheatley, "Commodities," 24, 32; SS, 179.17; TCMHL, 2.36, 41, 52; 3.60, 73; 8.153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar