- Kata Pengantar
Artikel yang ditulis
oleh Roderich Ptak, Profesor Sinologi dari
Ludwig-Maximilians Universitas Munich, Jerman ini, bisa dianggap sebagai
“prolog” dari artikel yang pernah ditulisnya, yang juga pernah kami sajikan di
blog ini. Artikel
yang kami maksud itu adalah The
Northern Trade Route to the Spice Islands : South China Sea – Sulu Zone – North
Mollucas (14th to early 16th century). Artikel itu
mencakup periode abad ke-14 hingga awal abad ke-16, sedangkan artikel “prolog”
ini mencakup periode abad ke-10 hingga abad ke-15. Artikel “prolog” ini
berjudul China and the Trade in Clove,
circa 960 – 1435, yang dimuat pada Journal
of the American Oriental Society, volume 113, no 1 (Jan – Maret 1993)
halaman 1-13.
Jika artikel
sebelumnya, Ptak mengkaji tentang rute utara yang dilalui oleh bangsa Cina
untuk membeli cengkih di Maluku, pada artikel ini, ia mengkaji tentang pentingnya
cengkih bagi kekaisaran Cina, serta struktur perdagangan dan permintaan
(kebutuhan) bangsa Cina akan cengkih, khususnya kebijakan kekaisaran Sung, Yuan
dan awal periode kekaisaran Ming. Ada beberapa informasi yang penting yang
disajikan oleh Ptak, misalnya sumber Cina secara pasti menyatakan Cengkih hanya
berasal dari Maluku, bukan tempat lain. Juga disebutkan bahwa pada periode awal
ini, cengkih selalu dikategorikan sebagai barang impor yang “bagus” atau hsi se.
Artikel sepanjang
13 halaman dan disertai dengan 1 tabel dan 69 catatan kaki ini, kami
terjemahkan dan membaginya menjadi 2 bagian. Beberapa ilustrasi yang memang
tidak ada di artikel aslinya, kami tambahkan di sini. Akhirnya... selamat
membaca kajian ini, semoga pengetahuan sejarah kita semakin meluas.
- Terjemahan : Kutu Busu
Sepanjang akhir abad
pertengahan, cengkih Maluku diekspor ke Cina, dimana cengkih terutama digunakan
sebagai pengharum nafas dan dalam bidang farmakologi. Tergantung pada berbagai
faktor, seperti situasi politik di wilayah Sulu-Borneo, perdagangan ini
dilakukan melalui zona Sulu atau rute Jawa yang lebih panjang. Setelah mengomentari
secara singkat tentang komoditas itu sendiri, serta istilah Cina yang
berkaitan, penelitian ini membahas kerangka institusi perdagangan ini, dan
menawarkan beberapa hipotesis mengenai ukuran dan kemungkinan kaitannya dengan
perkembangan di wilayah Eropa-India.
Pendahuluan
Salah
satu komoditi paling penting di awal perdagangan intra-Asia dan Eropa-Asia
adalah cengkih. Cengkih berasal dari Maluku, khususnya dari pulau Ternate,
Tidore, Moti, Makian, Batjan dan Ambon. Dari pulau-pulau ini, cengkih dikirim
ke utara, melalui Sulawesi dan Laut Sulu ke Laut Cina Selatan, atau dikirim ke
barat, melalui Ambon dan Laut Jawa ke berbagai tujuan di Indonesia bagian barat
dan daratan Asia Tenggara. Dari tempat-tempat seperti Malaka atau Palembang,
cengkih selanjutnya didistribusikan ke negara-negara dan pelabuhan yang
berbatasan dengan Samudera Hindia dan, akhirnya, ke Timur Dekat/Timur Tengah
(Near East/Middle East) dan Eropa. Dalam beberapa kasus, pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia bagian barat dan daratan Asia Tenggara, juga mengekspor kembali
cengkih ke Cina, Jepang dan Korea. Oleh karena itu, Cina menerima cengkih
Maluku, baik melalui rute langsung melalui zona Sulu atau rute yang lebih
panjang melalui Laut Jawa. Pola 2 rute yang memungkinkan untuk pengiriman
cengkih ke Cina ini adalah – sehubungan
dengan periode sekitar tahun 1000 hingga 1400 – akan menjadi salah satu
poin perhatian dari makalah ini1.
Masalah
kedua adalah menyangkut ukuran perdagangan cengkih. Untuk ini, kita harus
merujuk sebentar ke ujung Eropa terlebih dahulu. Beberapa sarjana telah
mengumpulkan data, yang menunjukan bahwa impor rempah-rempah ke Maluku di Eropa
meningkat pada akhir abad ke-14 dan terus bertumbuh seterusnya2. Anthony
Reid berpikir bahwa peningkatan permintaan di Eropa, mencerminkan pertumbuhan
ekonomi Asia Tenggara di akhir abad pertengahan. Lebih penting lagi, ia percaya
bahwa pasar Cina mendukung pertumbuhan ini: “Pada akhir abad ke-14, Cina memulai 2 abad ekspansi kekayaan dan
populasi. Permintaan akan produk-produk Asia Tenggara, terutama didorong oleh 6
ekspedisi perdagangan negara dari kaisar Ming, Yung Lo (1403 – 1422)”. Secara
berbeda, itu adalah efek gabungan dari perubahan pasar, baik skenario di Cina
maupun Indo-Eropa yang berkontribusi pada munculnya “era pedagangan” dalam
sejarah Asia Tenggara3. Meskipun tidak ada keraguan bahwa, pada
tingkatan umum, memang demikian halnya, ada 2 pertanyaan muncul: seberapa
pentingnya permintaan Cina akan cengkih dalam keseluruhan pertumbuhan ini?
Kedua, apa yang bisa dikatakan tentang impor cengkih Cina selama periode
sebelum tahun 1400, yang tidak dicakup oleh kajian Reid?. Oleh karena itu,
usaha telah dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang relevan pada impor ini
dan, jika mungkin, informasi ini terkait dengan konteks pengiriman komoditas
yang lebih luas dari Asia Tenggara ke Cina.
Masalah
ketiga adalah menyangkut komoditas itu sendiri, khususnya tentang istilah Cina,
penggunaan cengkih di Cina, dan kerangka kerja institusional yang mengatur
impor zat-zat aromatik milik Cina itu. Wheatley dan para sarjana lainnya memang
memperhatikan beberapa pertanyaan ini, tetapi belum membahas semua masalah
terminologi yang relevan4. Studi terkini tentang komoditas “langka”
yang terlibat dalam perdagangan Asia itu, terutama dalam kasus impor Cina,
penelitian filologis memang diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lebih
lengkap, tentang apa yang sedang terjadi, dan bagaimana data tertentu harus
diinterpretasikan5. Makalah ini mengikuti tradisi filologis ini, dan
oleh karenanya dimulai dengan beberapa penjelasan singkat tentang terminologi.
KOMODITAS
a)
Pohon Cengkih dan Habitatnya
Dalam perdagangan, ungkapan berbahasa
Inggris “clove (cengkih)” biasanya merujuk pada (cengkih) kering, yaitu kuncup yang
belum terbuka dari pohon cengkih, Eugenia
caryophyllata, Thunb. (juga Eugenia
aromatica, Kuntze). Pohon cengkih adalah pohon kecil tetapi memerlukan
beberapa tahun untuk besar. Kuncupnya menunjukan sedikit variasi dalam warna
dan ukuran. Di Maluku, cengkih biasanya dipanen setelah tahun kesepuluh,
terutama antara September/Oktober dan Desember/Januari, kemudian dikeringkan
dan siap untuk diekspor6.
Sebagian besar penulis modern
sepakat mengatakan bahwa pohon cengkih adalah asli Maluku, dan tidak menyebar
ke bagian-bagian lain di Asia, sebelum kedatangan orang Eropa di Indonesia. Beberapa
catatan sejarah Cina juga tampak untuk memberi batasan tentang habitat pohon cengkih
di Maluku7, namun sebagian yang lain menunjukan sebaliknya: mereka
mencantumkan cengkih sebagai produk dari Cina Selatan, serta dalam beberapa
kasus yang langka, juga di wilayah-wilayah lain yang jauh dari kepulauan
rempah-rempah. Referensi ini adalah tidak benar. Cengkih “sejatinya” tidak
tumbuh di Cina, atau di Timur Tengah, seperti misalnya, Chao Ju-Kua, penulis
terkenal Chu-fan-chih yang pikikan8.
Beberapa laporan awal Eropa sama menyesatkannya: Marco Polo, misalnya, yang
berbicara cengkih dalam kaitan dengan Caindu di Tibet timur, maksudnya mungkin
adalah kuncup cassia. Ia juga salah melaporkan bahwa pohon cengkih ditemukan di
hutan tropis Kepulauan Nicobar dan cengkih diproduksi di Jawa9. Cerita-cerita
lain menghubungkan cengkih itu adalah bunga, kulit kayu manis dan buah pala
adalah satu dan berasal dari tanaman yang sama. Legenda ini, dengan sejumlah
variasi, tersebar luas di beberapa bagian Asia dan, untuk berabad-abad,
menyebabkan kebingungan di kalangan ahli botani dan para penjelajah10.
Singkatnya, referensi abad pertengahan tentang cengkih harus digunakan dengan
persyaratan; tidak semua yang disebut “cengkih” adalah benar-benar cengkih.
b) Ting-hsiang
Ungkapan Cina yang
paling sering ditemui untuk merujuk pohon cengkih dan kuncupnya adalah ting-hsiang (“kemenyan paku”). Ada kemungkinan, bahwa di Cina abad pertengahan
beberapa perbedaan mendasar dibuat antara varietas ting-hsiang atau kualitas-kualitas, atau, sebagai alternatif,
ungkapan ini digunakan untuk cengkih “sejati” dan satu atau beberapa produk
lain yang mirip dengan cengkih, seperti kuncup cassia. Dasar utama untuk asumsi
ini, adalah 2 daftar komoditas yang tidak dikomentari, dimana masing-masing
mengacu pada ting-hsiang dan hsia-teng ting-hsiang, yitu “cengkih”
tanpa spesifikasi lebih lanjut dan “cengkih berkadar rendah”11.
Walaupun
implikasi yang tepat dari diferensiasi ini masih belum diketahui, jelas, pada
tingkatan yang lebih umum, bahwa pertimbangan kualitas memainkan beberapa peran
penting dalam kaitannya dengan perdagangan aromatik-aromatik Cina (hsiang atau hsiangyao). Fan Ch’eng-ta, salah satu dari sedikit penulis
kekaisaran Sung, dengan pengetahuan mendalam tentang Cina Selatan, menunjukan,
misalnya, bahwa aromatik-aromatik terbaik yang diproduksi di dalam negeri
adalah aromatik dari Hainan tropis; bertentangan dengan apa yang dikatakan
orang, provinsi Kwangtung tidaklah memproduksi, tetapi mengimpor, sebagian
besar aromatiknya melalui kapal-kapal12. Pengamatan ini, jika
dirujuk pada ting-hsiang, dapat
ditafsirkan sebagai bukti tidak langsung dari fakta, bahwa semua klaim produksi
cengkih dalam negeri Cina memang salah, dan bahwa senyawa seperti hsia-teng ting-hsiang mungkin digunakan
untuk nama cengkih “palsu”13. Karena ini mungkin, seringkali tidak
mungkin untuk memutuskan dengan tepat, apakah referensi spesifik untuk ting-hsiang benar-benar merujuk pada
cengkih Maluku atau zat lain. Untuk menyederhanakan masalah, penelitian ini
menyamakan semua impor ting-hsiang dengan
cengkih “sejati”.
c) Istilah Cina lainnya
Ada
sejumlah terminologi Cina yang layak untuk dikomentari secara singkat. Yang
pertama ting-hsiang-hua, terminologi
yang sangat langka dan, secara umum, dapat langsung dianggap sebagai “kuncup bunga
cengkih”. Sejauh mana perbedaan antara ting-hsiang
dan ting-hsiang-hua tidaklah
jelas. Kemungkinan, kedua istilah itu dapat dipertukarkan.
Ting-hsiang-mu
menimbulkan
lebih banyak komplikasi. Ungkapan ini, yang berarti “induk cengkih” biasanya
merujuk pada buah dari pohon cengkih, tetapi Chao Ju-kua, mungkin disesatkan
oleh suku kata mu, dan menganggapnya
sebagai jenis cengkih yang lebih besar, bukan sebagai buah dari pohon cengkih. Ini
adalah salah, karena, menurut sebagian besar karya botani, setiap cengkih yang
mulai menebal di bawah kelopak, memenuhi syarat sebagai “induk cengkih”14.
Oleh karena itu, sehubungan dengan perdagangan maritim Cina, ting-hsiang-mu adalah kemungkinan
merujuk pada buah dari pohon cengkih. Hal ini juga tampaknya didukung oleh
fakta bahwa dalam beberapa kasus, ting-hsiang
dan ting-hsiang-mu terdaftar
secara bersama-sama sebagai barang impor.
Dua ungkapan lain berasal dari ting-hsiang: yaitu ting-hsiang-p’i
(bentuk pendeknya : ting-p’i) dan
tinghsiang-chih. Yang pertama dapat
diterjemahkan sebagai “kulit cengkih”. Menurut Li Hsun, zat ini memiliki sifat
obat: obat untuk sakit gigi15. Mungkin zat ini ada hubungannya
dengan kayu manis, karena, seperti disebutkan di atas, kayu manis sering salah
diidentifikasi dengan kulit pohon cengkih; namun, sumber-sumber “membatasi”
kami untuk menjelaskan hubungan yang jelas antara kedua zat tersebut. Ting-hsiang-p’i, oleh karena itu,
mungkin merujuk pada hal yang sama sekali berbeda.
Ungkapan ting-hsiang-chih,
“cabang cengkih”, mungkin merujuk yang sama dengan penyebutan oleh Pegolotti fusto
di gherofani dan fistuchi di
gherofani (“tangkai cengkih, “ranting cengkih”). Mungkin ungkapa itu juga
identik dengan “kayu” (atau “ranting”) cengkih yang disebutkan oleh Ibnu
Batutah. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa “kayu” yang disebutkan Ibnu
Batutah, mewakili apa yang di Timur Tengah “ para tabib sebut sebagai Kirfatul – Karanful atau kulit cengkih”16.
Ini menunjukan bahwa tinghsiang-p’i dan
ting-hsiang-chih juga identik, tetapi
menurut Needham, ting-hsiang-chih digunakan
untuk membuat benda-benda seni miniatur, sedangkan ting-hsiang-p’i, seperti yang telah kita lihat, digunakan dalam
pengobatan17. Selain itu, kedua zat ini terdaftar dalam daftar
komoditas yang disebutkan di atas dan kemungkin, oleh karena itu, mereka
mewakili 2 hal yang berbeda. Apapun yang mungkin mereka tunjukan, mereka jarang
muncul sehubungan dengan perdagangan maritim Cina, dan karena alasan itu, dapat
diabaikan dalam kontek artikel ini.
Hal yang juga berlaku untuk ungkapan Cina kuno chi-she-hsiang, yang bermakna -
“kemenyan lidah ayam” -, tampaknya berkaitan dengan bentuk kuncup cengkih,
seperti halnya ungkapan ting-hsiang atau
“kemenyan paku”. Menurut Chao Ju-kua, chi-she-hsiang
sama dengan ting-hsiang-mu; tetapi
dalam sumber lain, benda itu disamakan secara “sederhana” sebagai ting-hsiang18. Pandangan
terakhir ini, kemungkinan besar adalah benar, dan juga yang diberikan dalam
kebanyakan buku pegangan modern tentang botani Cina19.
Seharusnya tidak luput dari perhatian, namun, bahwa
sejumlah karya botani dan ensiklopedia awal, memuat deskripsi chi-she-hsiang yang sangat tidak
menentu; dengan demikian, Hsi Han keliru menyebutkan chi-she-hsiang sebagai salah satu dari beberapa zat yang berasal
dari pohon mi-hsiang (Aquilaria
agallocha)20. Bagi yang lainnya, chi-she-hsiang
merujuk pada ju-hsiang, yaitu
kemenyan, atau batu dari periode Persia, yaitu ch’ien-nien-tsao. Bahkan Li Shih-chen, yang menulis pada akhir
periode kekaisaran Ming, membuat masalah jadi membingungkan: ting-hsiang, katanya merujuk pada
tanaman laki-laki, sedangkan chi-she-hsiang
adalah tanaman perempuan21.
d) Penggunaan Cengkih
Di Cina, kuncup cengkih digunakan untuk berbagai
keperluan: sebagai pengharum nafas oleh kalangan atas, terutama selama upacara-upacara
kerajaan/kekaisaran22 ; sebagai unsur pokok dari parfum/pengharum
dan dupa yang diimpor dari luar negeri atau diproduksi di Cina23 ;
mungkin juga dalam memasak, meskipun, seperti yang telah ditunjukan oleh
Schafer, penggunaan ini pastilah luar biasa24 ; dan, sangat pasti,
sebagai unsur utama obat-obatan.
Penggunaan terakhir ini – dalam farmakologi – mungkin
yang paling penting. Kuncup pohon cengkih mengandung eugenol, naphthalin, caryophyllen dan gallotannic, sedangkan kulit dan batang mengandung caryophyllen. Semua zat-zat tersebut
diketahui efektif dalam menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, yang,
setidaknya sebagian, menjelaskan penggunaan cengkih dalam pengobatan
tradisional Asia. Beberapa karya pents’ao
mengatakan, misalnya, bahwa ting-hsiang
berfungsi sebagai tonik perut, untuk menghilangkan rasa sakit, atau sebagai
stimulan aromatik25.
Di India, Asia Tenggara, kepulauan Ryukyu, dan Jepang,
berfungsi dengan tujuan yang sama. Perbedaan utama, mungkin terletak pada
kisaran penggunaan medis dan frekuensi penggunaan dalam masakan sehari-hari. Di
beberapa tempat, seperti Goa, cengkih mungkin juga lebih populer sebagai
pengharum nafas daripada di Cina. Di Malaysia, cengkih digunakan dalam mewarnai
keris. Akhirnya, cengkih juga dianggap memiliki sifat afrodisiak26.
Penggunaan cengkih yang secara luas, maka tentu saja hal
yang sah, untuk bertanya apa dampak berbagai penggunaan zat ini, terhadap
struktur permintaan di Cina abad pertengahan dan di tempat lain. Tidak ada
perhitungan yang tersedia untuk menjawab pertanyaan ini, dan bukti kualitatif
sama lemahnya, dan dalam beberapa kasus sama sekali tidak ada. Namun, karena di
beberapa bagian India, cengkih banyak digunakan dalam penyiapan makanan, yang,
tampaknya, tidak terjadi di Cina, memang mungkin bahwa total permintaan lebih
tinggi di India daripada di Cina. Tetapi, ini pasti tidak lebih dari dugaan,
meskipun, seperti yang akan dijelaskan nanti, ada alasan untuk mengasumsikan
bahwa total konsumsi, tidak sangat tinggi di Cina pada akhir abad pertengahan.
AROMATIK-AROMATIK IMPOR KEKAISARAN SUNG
Kerangka
Institusional
Setidaknya ada beberapa permintaan, Cina mengimpor
cengkih sejak awal. Selama periode kekaisaran Sung, ketika perdagangan Cina
dengan negara-negara Asia Tenggara dan Samudera Hindia dengan cepat berkembang,
cengkih sering disebut sebagai barang impor. Pada saat itu, impor Cina dari
negara-negara maritim Asia sebagian besar, disalurkan melalui apa yang disebut
Merchant Shiping Offices (shih-po-ssu)
atau “ Kantor Pelayaran para pedagang”, di pelabuhan-pelabuhan seperti Canton,
Ch’uan-chou, atau Ming-chou (Ch’ing-yuan). Secara umum, ada 2 jenis barang
impor : “barang-barang kasar” (ts’u se),
seperti tekstil, dan barang-barang “bagus” (hsi
se), seperti perhiasan atau zat semi mulia. Perbedaan lebih lanjut dalam
kedua kategori ini tidak selalu jelas. Ting-hsiang
dan berbagai aromatik lainnya, sering disebut dengan ungkapan majemuk hsiang-yao (yaitu, “obat aromatik” atau
“rempah-rempah dan obat-obatan), tetapi beberapa hsiang-yao dianggap sebagai barang-barang “kasar”, sementara yang
lain adalah produk “bagus”. Pada tahun 1141, misalnya, cengkih ditempatkan di
bawah kategori “bagus”27. Pada sekitar tahun 1225, kita juga
menemukan ting-hsiang dan ting-hsiang-chih di bawah kategori ini,
tetapi ting-hsiang-p’i dan berbagai
zat lainnya, dianggap sebagai barang kelas “kasar”28.
Sementara impor dan distribusi lebih lanjut dari
barang-barang “bagus” sebagian besar berada di tangan pemerintah, yang
melakukan monopoli atau nyaris
memonopoli atas komoditas tersebut, berdagang barang-barang dari varietas
“kasar” tetap relatif terbuka. Namun, seiring waktu, semakin banyak barang
impor dimasukan dalam kategori “bagus”, dan ini memungkinkan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatannya29.
Barang-barang monopoli (chin-ch’ueh wu) dan barang yang diperdagangkan bebas, dikenakan
pajak oleh pemerintah. Pajak impor bervariasi dari periode ke periode. Awalnya,
bea masuk ditetapkan 1/10 dari nilai impor. Pada tahun 991 (akhir abad ke-10),
kurs naik menjadi 1/5, setelah itu
diturunkan lagi menjadi 1/10 dimana level itu tetap, kira-kira, sampai
pertengahan abad ke-11 (sekitar tahun 1040an). Di bawah Hui-tsung, pajak untuk
barang-barang “kasar” ditetapkan pada 3/10, sementara untuk barang-barang “bagus” tetap
pada 1/10. Pada tahun 1136, pajak ditetapkan masing-masing sebesar 1/15 dan 1/10 30 Pada tahun
1144, tarif aromatik dinaikan menjadi 2/5 Tarif ini lebih dari yang bisa
ditanggung para pedagang, dan banyak keluhan diajukan; oleh karenanya, pada
tahun 1147, tarif untuk beberapa komoditas – ada referensi eksplisit untu cengkih periode ini – dikurangi
menjadi nilai yang lama, yaitu 1/10 31
Fluktuasi dalam tarif pajak terkait dengan upaya
pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan. Untuk meningkatkan penerimaan pajak,
pemerintah menjanjikan gaji yang lebih tinggi dan bonus lainnya bagi mereka,
yang sangat berhasil menarik pedagang untuk mengimpor lebih banyak barang dan
dengan demikian membayar lebih banyak bea. Dalam beberapa kasus, pedagang asing
diminta langsung membawa lebih banyak barang; pada tahun 1137, misalnya,
seorang pedagang yang berdagang ke Kanton, menerima permintaan untuk membeli
lebih banyak aromatik. Namun, penerimaan pajak tidak selalu mencapai tingkat
yang diinginkan; menjelang akhir abad ke-12, pemerintah sangat membutuhkan
uang, sehingga mendorong kenaikan tarif hingga 50%, yang belum pernah terjadi
sebelumnya32.
Meskipun pendapatan seringkali jauh dari harapan,
keuntungan swasta dan pemerintah yang berasal dari impor maritim sangat besar. Pendapatan
pemerintah naik menjadi sekitar 60 juta tunai menjelang akhir kekaisaran Sung
Utara; dan turun ke tingkat yang lebih rendah pada tahun-tahun awal periode
kekaisarn Sung Selatan, tetapi naik lagi pada tahun 1160an, dan mencapai
tingkat 65 juta pada pertengahan 1170-an dan 1180-an33.
Beberapa statistik yang kami miliki tidak menyediakan
gambaran kesimpulan yang terperinci – dan,
memang, tidak ada data yang pasti tentang keuntungan yang diperoleh dari
perdagangan cengkih – tetapi dari komentar yang tersebar di sumber-sumber
itu, jelas bahwa persentase besar dari pendapatan pajak dihasilkan melalui
impor zat aromatik34. Faktanya, 1 dari 4 gudang kekaisaran secara
eksklusif disediakan untuk penyimpanan hsiang-yao,
dan banyak hsiang-yao ditawarkan untuk
dijual di toko-toko khusus. Ini jelas menunjukan sirkulasi aromatik yang luas
di pasar domestik, dan juga menunjukan bahwa pemerintah menerima sejumlah besar
zat aromatik sebagai pembayaran pajak – tetapi, tentu saja, kita tidak bisa
mengasumsikan bahwa semua zat aromatik tersebut adalah cengkih35.
====== bersambung ======
Catatan Kaki :
1.
A related study referring
to later periods is my "The Northern Trade Route to the Spice
Islands," Archipel 43 (1992): 27-56.
2.
See, for example, Eliyahu
Ashtor, "Spice Prices in the Near East in the 15th Century," Journal
of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1976): 26, 33, 35;
idem, "The Volume of Mediaeval Spice Trade," Journal of European
Economic History 8 (1979): 756-59; C. H. H. Wake, "The Changing Pattern of
Europe's Pepper and Spice Imports, ca. 1400-1700," JEEH 8 (1979): 363,
371-72, 396-403; idem, "The Volume of European Spice Imports at the
Beginning and End of the Fifteenth Century," JEEH 15 (1986): 632-33. For
an earlier study, see Jacques Heers, "Il commercio nel Mediterraneo alla
fine del sec. XIV e nei primi anni del XV," Archivio Storico Italiano 113
(1955): 162, 172, 175-77, 185-86, 189-90.
3.
Anthony Reid, "An
'Age of Commerce' in Southeast Asian History," Modern Asian Studies 24.1
(1990): 5, 11-15; idem, "The System of Trade and Shipping in Maritime
South and Southeat Asia, and the Effects of the Development of the Cape
Route," in The European Discovery of the World and its Economic Effects on
PreIndustrial Society, 1500-1800: Papers of the Tenth International Economic
History Congress, ed. H. Pohl (Stuttgart: Franz Steiner Verlag, 1990), 74-76.
4.
Paul Wheatley,
"Geographical Notes on Some Commodities Involved in Sung Maritime
Trade," Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 32.2
(1959): 45-47; Yamada Kentaro, Tozai koyaku shi (rpt. Tokyo: Fukumura shoten,
1964), 12-13, 90-94.
5.
For example, papers by
Haraprasad Ray, Stephen Tseng-hsin Chang, Leonard Blusse, and the present
author in Emporia, Commodities and Entrepreneurs in Asian Maritime Trade, c.
1400-1750, ed. R. Ptak and D. Rothermund, Beitrage zur Sudasienforschung,
Sudasien-Institut, Universitat Heidelberg 141 (Stuttgart: Franz Steiner, 1991).
6.
Various studies include
chapters with references to early European descriptions of the cultivation of
cloves and the trade in cloves in colonial times. Many of these references are
indicated in G. J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde
Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon, 1656-1696, Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (Dordrecht: Foris
Publications, 1987), 229-51.
7.
For example, MS, 323.8374.
8.
Freidrich Hirth and W. W.
Rockhill, trs. and eds., Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in
the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chi (rpt. Taipei: Ch'eng-Wen
Publishing, 1970), 116; Wheatley, "Commodities," 45.
9.
Henry Yule, tr., The Book
of Ser Marco Polo the Venetian ..., 3rd ed. revised by Henry Cordier, 2 vols. (London:
John Murray, 1929), 2: 56, 59-60 n. 7, 272, 306, 309 n. 1. The idea that the
Nicobar Islands grew cloves may be somehow related to the fact that in old
Arabic accounts the name for the Nicobars—Langabalus and other forms--was
occasionally confused with the Sanskrit word for cloves, i.e., lavanga; see G.
R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East
Asia, Oriental Translation Fund, n.s., 44 (Leiden: E. J. Brill, 1979), 181. For
the Nicobar Island see also my "Die Andamanen und Nikobaren nach chinesischen
Quellen (Ende Sung bis Ming)," Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen
Gesellschaft 140 (1990): 343-73. Some modern scholars were obviously confused
by early reports claiming that cloves grew in Africa or elsewhere; see, for
example, Lin Shih-min, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu te chu-ming hai-kang:
Ming-chou (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1990), 87.
10.
See Henry Yule, tr.,
Cathay and the Way Thither, Being a Collection of Medieval Notices of China,
revised ed. by Henri Cordier, 4 vols. in 2 (rpt. Nendeln: Kraus Reprint, 1967),
4:101-2; Yamada, Tozai koyaku shi, 90-94.
11.
SHY, chih-kuan section
44.18a, 19a.
12.
KHYHC, 39.
13.
In the eighteenth and
nineteenth century--with the gradual spread of the clove tree to other parts of
the world--quality considerations begin to emerge more clearly. Thus, for some
time, cloves from Penang in Malaysia were said to be the best and, accordingly,
fetched the highest prices. In some markets, perhaps also in China, they became
more popular than those from the Moluccas, including the ones cultivated on the
famous clove-growing island of Ambon. For this, see, for example, H. I. Burkill,
A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula, 2 vols. (London:
Government of the Straits Settlements and Federated Malay States, 1935),
2:961-64; George Watt et al., A Dictionary of the Economic Products of India, 6
vols. in 10 (London: W. H. Allen, and Calcutta: Office of the Superintendent of
the Government Printing, 1889-96), 2:203-6.
14.
Wheatley,
"Commodities," 47; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 209.
15.
PTKM, 3:1940-41.
16.
Yule, Cathay and the Way
Thither, 3:168, 4:102.
17. Joseph Needham et al.,
Science and Civilisation in China, vol. 5: Chemistry and Chemical Technology,
part IV: Spagyrical Discovery and Invention: Apparatus, Theories and Gifts (Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 1980), 159.
18.
Hirth and Rockhill, Chau
Ju-kua, 209-10; Yamada, Tozai koyaku shi, 358.
19.
Only some handbooks with
short references to ting-hsiang are listed here: Bernard E. Read (and Liu
Juch'iang), Chinese Medical Plants from the Pen Ts'ao Kang Mu, A.D. 1596: 3rd
Edition of a Botanical, Chemical and Pharmacological Reference List, publ. by
Peking Natural History Bulletin (Peiping: The French Bookstore, 1936), 66;
idem., Flora Sinensis, series A, vol. 1: Plantae Medicinalis Sinensis:
Bibliography of Chinese Medical Plants, from the Pen Ts'ao Kang Mu, 1596 A.D.,
2nd ed. (Peking: Department of Pharmacology, 1927), no. 225; E. Bretschneider,
Botanicon Sinicum: Notes on Chinese Botany from Native and Western Sources, 3
vols. (London: Trubner, 1882-96), 3: no. 308; Jacques Roi, Traite des plantes medicinales
chinoises, Encyclopedie biologique 47 (Paris: Paul Lechevalier, 1955), 235-36;
Chung-yao ta tz'utien, ed. Chiang-su hsin i-hsueh yuan, 3 vols. (Shanghai:
Shang-hai k'o-hsueh ch'u-pan-she, 1977-79), 1:12- 13; Chung-hua jen-min
kung-ho-kuo yao-tien, ed. Chung-hua jen-min kung-ho-kuo wei-sheng-pu yao-tien wei-yuan-hui,
vol. 1 (Peking: Jen-min wei-sheng ch'u-pan-she, 1990), 1; Chen (=Ch'en) Yung,
Chung-kuo shu fen-lei hsueh, Chung-hua nung-hsueh-hui ts'ung-shu (Nanking:
Chung-hua nung-hsueh hui, 1937), 880; Chia Tsu-chang and Chia Tsu-shan, Chung-kuo chih-wu t'u-tien, 3rd ed. (Peking:
Chung-hua shu-chu, 1958), 619.
20.
Li Hui-lin, Nan-fang
ts'ao-mu chuang: A Fourth Century Flora of Southeast Asia (Hong Kong: The
Chinese Univ. Press, 1979), 11, 12, 87, 89.
21.
PTKM, 3:1940-41; Hirth and
Rockhill, Chau Ju-kua, 209-10. For earlier examples of descriptions of or references to ting-hsiang or chi-she-hsiang, see TPYL, 981.4233d-4234a; HP, 1.3-4
(chi-she-hsiang and tinghsiang considered under separate entries!); KCTSCC,
ts'e 555 ("Ts'ao mu tien," ch. 301), 13a-14b. Also see the interesting
comments in Yamada, Tozai koyaku shi, esp. 358.
22. Wheatley,
"Commodities," 45; Edward H. Schafer, "T'ang," in Food in
Chinese Culture: Anthropological and Historical Perspectives, ed. K. C. Chang
(New Haven: Yale Univ. Press, 1977), 110-11. For sources, see,
e.g., MHP, 12b.
23.
Joseph Needham and Lu
Gwei-Djen, Science and Civilisation in China, vol. 5: Chemistry and Chemical Technology,
part II: Spagyrical Discovery and Invention: Magisteries of Gold and
Immortality (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1974), 137, 143.
24.
Schafer, op. cit.
25.
PTKM, 3:1940-41; Joseph
Needham et al., Science and Civilisation in China, vol. 6: Biology and
Biological Technology, part 1: Botany (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1986),
277.
26.
Burkill, Dictionary,
2:963-64; Watt, Dictionary, 2:203-5; Yamada, Tozai koyaku shi, 354; D. B.
Stibbe et al., eds., Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 4 vols. and 4 suppl.
vols. (The Hague: M. Nijhoff, and Leiden: E. J. Brill, 1917-39), 2:455-58.
27.
Ch'en Kao-hua and Wu T'ai,
Sung Yuan shih-ch'i te hai-wai mao-i (Tientsin: T'ien-chin jen-min ch'u-panshe,
1981), 49; Jitsuzo Kuwabara, "On P'u Shou-keng, a Man of the Western
Regions, who was Superintendent of the Trading Ships' Office in Ch'uan-chou
...," part 1, Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 2
(1928): 18-20.
28.
Pao-ch'ing Ssu ming chih, quoted after Lin
Shih-min, Hai-shang ssu-ch'ou chih lu, 87.
29.
Ch'en Kao-hua and Wu T'ai,
Sung Yuan, 49, 78-79; Kuwabara, "On P'u Shou-keng ...," part 2,
Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 7 (1935): 74-76.
30.
Kuan Lu-ch'uan, Sung-tai
Kuang-chou te hai-wai mao-i (Canton: Kuang-tung jen-min ch'u-pan-she, 1987), 62-65;
Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 78-83; Sun Kuang-ch'i, Chung-kuo ku-tai
hang-hai shih (Peking: Hai-yang ch'u-pan-she, 1989), 459-63; W. W. Rockhill,
"Notes on the Relations and Trade of China with the Eastern Archipelago
and the Coast of the Indian Ocean during the Fourteenth Century," part 1, T'oung
Pao 15 (1914): 419-21; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2, 71-72.
For important sources, see, e.g., CYCYTC, 15.217; PCKT, 2.17.
31.
SHY, chih-kuan section,
44.19, 25; Kuan Lu-chu'uan, Sung-tai Kuang-chou, 64; Wheatley,
"Commodities," 22; Ch'en Kao-hua and Wu T'ai, Sung Yuan, 80; Li
Tung-hua, Ch'uan-chou yu wo-kuo chung-ku te hai-shang chiao-t'ung, Shih-hsueh
ts'ung-shu (Taipei: Hsueh-sheng shu-chu, 1986), 178-84.
32.
Wheatley, "Commodities,"
23; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 1, 42; Ch'en Ts'ang-sung,
"Shih-po kuan-li tsai hai-wai mao-i chung te tso-yung ho ying-hsiang;
ts'ung Sung Yuan shih-ch'i Kuang-chou, Ch'uan-chou te hai-wai mao-i
t'an-ch'i," in Kuang-chou wai-mao liang-ch'ien nien, ed. Ch'en Po-chien (Canton:
Kuang-chou wen-hua ch'u-pan-she, 1989), 152 (quoting SHY).
33.
Wheatley,
"Commodities," 24; Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part 2,
77-79.
34.
For example SS,
185.4537-38. Of all aromatics imported, frankincense was probably the most
important one; see, for example, Kuwabara, "On P'u Shou-keng," part
2, 76-77.
35.
Wheatley,
"Commodities," 24, 32; SS, 179.17; TCMHL, 2.36, 41, 52; 3.60, 73;
8.153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar