Rabu, 16 Desember 2020

Insiden Bersenjata dan Tagihan yang Belum Terlunasi: Persaingan Inggris-Belanda di Kepulauan Banda pada Abad Ketujuh Belas (bag 1)

 

Oleh

VINCENT C. LOTH

[University of Nijmegen, Belanda]

 

  1. Kata Pengantar

Kajian memukau yang lumayan panjang ini, ditulis oleh sejarahwan Vincent C Loth, seorang sarjana dari Universitas Nijmegen, Belanda. Artikel aslinya berjudul Armed Incidentes and Unpaid Bills: Anglo – Dutch Rivalry in Banda Islands in the Seventeenth Century, yang dimuat pada Jurnal Modern Asia Studies, volume 29, nomor 4 (periode Oktober 1995), halaman 705 – 740. Melalui kajian sepanjang 35 halaman ini, Vincent C Loth, mengurai tentang persaingan, permusuhan, dan konflik kekerasan antara kedua negara Eropa itu pada tahun-tahun awal abad ke-17 di kepulauan Banda. Yang menarik adalah sang penulis menyajikan secara runtut, serta faktor-faktor yang membuat persaingan itu kian tajam.

Membaca kajian menarik ini, kita minimal bisa mengerti “akar” dari peristiwa mengerikan di Ambon, yang lebih dikenal sebagai “Pembantaian Ambon” pada Februari 1623, dimana Belanda membantai orang Inggris dan tentara bayaran Jepang. Kita juga minimal bisa paham, misalnya mengapa Inggris seperti “malas-malasan” saat diminta oleh Belanda untuk membantu mengatasi Perang Pattimura di awal abad ke-19, pada saat awal-awal perang itu.

Memahami pentingnya untuk kita membaca dan belajar sejarah melalui kajian-kajian yang baik dan bermutu, kami menerjemahkan artikel 35 halaman ini. Artikel ini terdiri dari 83 catatan kaki, dan 1 halaman referensi yang berisikan sumber-sumber kearsipan yang digunakan oleh penulis, namun sayangnya tidak ada gambar ilustrasi. Artikel hasil terjemahan ini, kami bagi menjadi 3 bagian, agar ringkas dan mudah untuk dibaca dan diikuti. Selain itu, kami menambahkan catatan tambahan untuk menjelaskan atau untuk memberi informasi lebih lanjut, serta menambahkan beberapa gambar ilustrasi.

Akhir kata, selamat membaca, semoga kita akan selalu mencintai sejarah kehidupan.

 


  1. Terjemahan : Kutu Busu

Pendahuluan 

            Tujuan dari studi ini adalah untuk menjelaskan hubungan Inggris – Belanda pada abad ke-17, yang sampai sekarang hampir terabaikan :1 persaingan atas Kepulauan Banda2. Saya (penulis) akan menunjukan bagaimana antagonisme ekonomi antara Inggris dan Republik Belanda, suatu topik yang biasanya dianggap dalam konteks Eropa, juga meletus pada ekspansi dunia Hindia Timur3, bahkan di daerah terpencil, seperti Banda. Tidak seperti di Eropa, di Asia konflik kepentingan segera dan berulang kali mengakibatkan kekerasan terbuka. Hal ini dihentikan pada tahun 1619 oleh perjanjian kerjasama, yang secara paradoks memungkinkan Belanda untuk memantapkan diri mereka sendiri dengan lebih kuat di kepulauan ini, dan di kepulauan Indonesia secara keseluruhan, dengan cara yang merugikan Inggris.

            Dengan mempertimbangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kepulauan ini sebagai manifestasi dari persaingan yang ada di seluruh dunia, saya tidak bermaksud untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang hubungan Inggris – Belanda pada periode modern awal, meskipun historiografi pasti akan tersaji dengan kajian-kajian seperti itu4. Saya hanya ingin menyumbangkan “bangunan batu” lain, yang kali ini [melalui cara] yang cukup eksotis. 


            Namun, pentingnya Kepulauan Banda dalam konteks ini, tidak hanya sebagai contoh studi kasus yang dapat ditukarkan secara setara dengan wilayah geografis lain, dimana kepentingan ekonomi dan strategis Belanda dan Inggris saling bertabrakan. Kepulauan kecil dan terpencil ini, pada waktu itu merupakan satu-satunya wilayah penghasil pala dan bunga pala, dan bersama-sama dengan daerah penghasil cengkih, pulau-pulau tersebut menjadi alasan pertama dan utama, untuk berlayar ke Asia. Jika dilihat dari perspektif orang-orang sezaman, kepentingan mereka tidaklah berlebihan. Sebenarnya, bukan kebetulan di Banda konfliknya begitu tinggi, bahkan terancam lepas kendali sama sekali; suatu prospek yang menakutkan bagi pemerintahan Inggris dan Belanda. Insiden-insiden di sini, menciptakan kondisi yang diperlukan untuk mencapai beberapa kesepakatan, lebih disukai dalam kerangka kerjasama yang dianggap lebih erat, atau bahkan integrasi dari 2 perusahaan Hindia Timur yang terlibat. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa analisis dan uraian tentang peristiwa-peristiwa di Banda, sangat penting untuk pemahaman yang lebih baik tentang hubungan Inggris – Belanda selama tahun-tahun ini, atau, bila melihat masalah dari sudut yang lebih luas, untuk sejarah Asia sepanjang abad ke-17.

            Setelah penjelasan singkat tentang latar belakang 2 perusahaan Hindia Timur yang terlibat, narasi tentang apa yang terjadi di Banda mengarah pada gambaran singkat tentang negosiasi, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk menghentikan kekerasan di Maluku. Selanjutnya, berdasarkan sumber-sumber yang saya konsultasikan di Algemeen Rijksarchief (Arsip Umum Negara) di Den Haag, saya akan menunjukan bagaimana sikap pejabat-pejabat Perusahaan Hindia Timur Belanda terhadap Inggris, saingan mereka, di perairan ini selama tahun-tahun setelah perjanjian kerjasama tahun 1619; dan terakhir, apa hasil dari penerapannya oleh Belanda di Asia : pembagian [secara] de facto wilayah dominasi kolonial Inggris dan Belanda di Asia.

 


I

            Demi relevansi, tampaknya tidak perlu untuk memulai dengan deskripsi tentang situasi ekonomi di Eropa pada akhir abad ke-16. Di sini cukuplah untuk mengingat ledakan ekonomi yang dialami oleh Inggris dan Belanda, sementara kekuatan besar seperti Spanyol dan kekaisaran Habsburg (setidaknya secara relatif) sedang menurun5. Saya juga akan mengesampingkan konsekuensi signifikan dari tataran ekonomi yang berubah ini, ekspansi luar negeri dari kedua kekuatan perdagangan yang bercita-cita tersebut disebutkan, untuk mencari produk berharga seperti rempah-rempah Asia. Saya juga tidak akan mendokumentasikan sejarah umum dari perusahaan yang baru muncul, yang didirikan untuk mengatur inisiatif komersial di seluruh dunia ini, terkhususnya EIC (East India Company) Inggris dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie – United East India Company) Belanda.

            Namun, penting untuk memperhatikan beberapa perbedaan konseptual mendasar antara kedua perusahaan ini, perbedaan yang penting dalam konteks artikel/kajian ini6.  EIC (didirikan pada tahun 1600), meskipun dibentuk sebagai perusahaan saham gabungan, pada dasarnya disebut sebagai “perusahaan yang diatur”, suatu bentuk kewirausahaan yang familiar bagi para pedagang Inggris7. Siapa pun yang mengambil bagian dalam perusahaan semacam itu, tetap bebas untuk berdagang sendiri, berdasarkan modal pribadinya, selama dia tunduk pada peraturan perusahaan. EIC dengan demikian hanya berfungsi sebagai organisasi supra pelindung, bukan sebagai lembaga operasional. Selama bertahun-tahun, ia terus beroperasi atas dasar pengiriman terpisah, yang menyiratkan likuidasi ekspedisi Asia setelah pengembalian, dan pembubaran serta pembagian modal dan barang-barang modal. Di sisi lain, VOC (didirikan pada tahun 1602) adalah perusahaan saham gabungan yang khas, dang sangat modern serta efektif pada masa itu8. Seperti EIC, ia didasarkan pada akumulasi investasi modal, dan dengan demikian dapat menjual modal kerja yang besar. Tetapi karena investor Belanda memasukan uang mereka untuk jangka waktu yang lebih lama daripada hanya 1 kali pengapalan, VOC dapat beroperasi dengan modal ini secara lebih permanen. Ini, dikombinasi dengan kebijakan deviden yang moderat, mencipatkan dasar tetap untuk kebijakan jangka panjang, dan kemungkinan untuk melaksanakannya di area yang membutuhkan perjalanan pulang pergi, yang umumnya berlangsung setidaknya selama 1, 5 tahun.

            Perbedaan penting lainnya terletak pada tujuan kedua organisasi tersebut. Kedua perusahaan disewakan oleh masing-masing penguasa (kerajaan Inggris dan States General). Piagam ini pada awalnya dimaksudkan untuk memonopoli perdagangan Asia di hadapan rekan senegaranya yang bersaing, bukan untuk menghalangi subjek-subjek negara lain. Tetapi sementara EIC adalah organisasi perdagangan yang khas dan sepihak, VOC memiliki tujuan ganda, untuk mencapai tujuan komersial dan politik : untuk berdagang di Asia, tetapi pada saat yang sama, berperang melawan Spanyol dan Portugal, musuh-musuh dari Belanda yang baru lahir/merdeka. VOC menerima hak kedaulatan dalam wilayah yang disewa, seperti hak untuk menyatakan perang, terlibat dalam negosiasi diplomatik atau menandatangani perjanjian dengan penguasa lokal, atau untu mengatur dan melaksanakan operasi militer. Sebagai sebuah institusi, VOC hampir merupakan sebuah “negara” dalam negara.

Selama tahun-tahun pembentukan, tampaknya VOC dijalankan oleh apa yang disebut sebagai prinsip “perdagangan dengan senjata”, yang dimaksudkan untuk mendapatkan kendali penuh atas perdagangan Asia. Walaupun belum menjadi kebijakan resmi, sejak awal “kontrol” berarti monopoli terutama perdagangan rempah-rempah yang sangat berharga di hadapan pesaing lain, baik Belanda maupun pihak asing lainnya9. Ini adalah rencana yang berani dan radikal, hanya untuk dilaksanakan dengan tindakan tegas, didukung oleh cara-cara yang terkadang kejam, seringkali dalam bentuk metode kejutan militer belaka. VOC tidak hanya memiliki keunggulan organisasi dan logistik, tetapi juga strategi perusahaan yang pasti dijalankan oleh pejabat yang digaji, bukan oleh pedagang yang secara eksklusif mementingkan diri sendiri. Lebih dari itu, Heeren XVII, manajer perusahaan di Republik, bersedia menginvestasikan uang dalam infrastruktur dan perlindungan, mengambil beberapa buku tahunan yang tidak menguntungkan dan tidak seimbang, dengan harapan tingkat pengembalian yang tinggi.

Kontinuitas VOC, sumber daya yang tersedia, kebijakan yang ditentukan berdasarkan strategi yang koheren, dan penggunaan sarana untuk menegakannya, memberi VOC keuntungan atas Inggris yang tidak pernah dapat mereka ganti sepenuhnya. Selama tahun-tahun pertama yang penting di abad ke-17, hal ini terbukti merupakan kemunduran yang signifikan. Di setiap panggung, Inggris datang belakangan dan lebih lemah. Begitu armada pedagang mereka telah mengambil barang dagangan dan berlayar pulang, “perbentengan” mereka tetap bergantung pada para pejabat Belanda, yang benteng dan kapal perangnya segera menguasai daerah itu. Dengan cara ini, Inggris tidak punya pilihan lain, selain merampas apa yang mereka bisa, di mana saja, bagaimanapun, mereka berhasil dengan cukup baik, mengingat keadaan. Tetapi sebagai akibat langsung dari kelemahan organisasi yang melekat dan kurangnya dukungan yang terus menerus, EIC tidak pernah mampu mengambil inisiatif, atau merancang skema strategis, apalagi menjalankannya. Perdagangan mereka di Timur, tetap bersifat oportunistik.


II

            Lebih dari segalanya, persaingan ekonomi menjadi dasar dari serangkaian perang Inggris-Belanda yang meletus di Eropa sejak 1652a. Tetapi di Asia, sejak kehadiran pertama Inggris dan Belanda (yang sudah terjadi selama dekade-dekade awal abad ke-17), konflik kepentingan menempatkan hubungan mereka di bawah ketegangan sedemikian rupa, sehingga meletus menjadi bentrokan kekerasan, bahkan menjadi perang terbuka.

            Pada saat Inggris menyadari bahwa mereka tidak mampu bersaing dengan Belanda, sayangnya bagi mereka, rencana-rencana tersebut telah terurai di Nusantara. Belanda memiliki rencana khusus dengan Kepulauan Rempah-rempah yang merupakan tujuan utama mereka untuk ekspansi dan kegiatan monopoli. Mereka mengusir Portugis dari Amboyna dan Tidore (1604)b, serta Spanyol dari Makian dan Bacan (1608, 1609). Mereka mengambil alih benteng Portugis di Amboyna dan menamainya Victoria pada tahun 1605c. Kontrol atas daerah penghasil cengkeh ini merupakan prestasi pada kerugian Inggris, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba untuk mempersempit sebagian besar pasar.

Di Kepulauan Banda, hubungan keduanya sangat tegang sejak awal. Pada tahun 1599, Belanda telah mencapai 10 pulau kecil inid, yang pada saat itu, merupakan satu-satunya penghasil pala dan bunga pala di dunia. Mereka diterima dengan ramah oleh orang Banda, yang berusaha mengusir Portugis. Sejak kedatangan Antonio d’ Abreu pada tahun 1511, orang Banda dengan hati-hati tetapi dengan keras kepala menolak inisiatif Portugis untuk mendapatkan pijakan di kepulauan tersebut dan untuk menyebarkan agama Katholik10. Sekarang mereka akhirnya menemukan sekutu yang kuat, yang sangat ingin membantu mereka. Belanda memang mengusir Portugis, tetapi orang Banda segera tahu, bahwa keadaan mereka sekarang lebih buruk11. Bukan hanya kekuatan militer Belanda yang lebih kuat, sehingga orang Banda harus menerima bahwa mereka membangun benteng, mereka juga tampaknya memiliki pemikiran khusus tentang perdagangan pala dan bunga pala : mereka ingin orang Banda menyerahkan diri secara eksklusif kepada Belanda. Hal ini akan diberlakukan melalui kontrak antara VOC dan otoritas Banda. Sampai hari ini, masih belum jelas, apakah orang Banda tidak memahami dokumen-dokumen bergaya Eropa ini, atau tetap tidak terikat padanya, karena mereka tahu bahwa mereka telah menandatangani kebebasan ekonomi mereka di bawah ancaman kehadiran militer dan maritim Belanda yang kuat. Faktanya, adalah bahwa kontrak dilanggar begitu tintanya mengering. Karena mereka sangat bergantung pada perdagangan luar negeri untuk impor bahan makanan dan komoditas penting lainnya, orang Banda terus menukar rempah-rempah mereka dengan siapa pun yang mereka sukai, yang membuat Belanda marah. Semakin banyak orang Belanda berkomunikasi dengan orang Banda, mereka (Belanda) semakin yakin bahwa mereka (orang Banda) bukanlah mitra yang dapat dipercaya, yang hanya bisa “dipaksakan” melalui kekuatan senjata dan tindakan yang kejam12. Selain itu, hal yang menjengkelkan Belanda adalah para pedagang Inggris yang mengikuti mereka ke Banda, mulai membeli hasil panen, berlayar pulang dengan pala dan bunga pala, sedangkan Belanda-lah yang bekerja keras membuka perdagangan rempah-rempah, dengan cara melawan Spanyol dan Portugis. Pada tahun 1609, Kapten EIC, William Keeling memperoleh izin dari orang Banda di Neira untuk membuka “gudang”; dia bagaimanapun, tidak diizinkan untuk membangun sebuah benteng, dan klaimnya atas pulau tersebut untuk Raja Inggris, ditolak. Persaingan antara Belanda dan Inggris pada saat itu, telah menaikan harga pala dari 9 menjadi 12 real per bahar13. Tetapi saat Keeling memulai bisnisnya, laksamana Pieter Verhoeven tiba dengan instruksi dari Heeren XVII untuk menegakan otoritas Belanda atas kepulauan itu secepat mungkin14. Keeling dan orang Banda tampaknya telah memahami apa yang dipertaruhkan ketika Verhoeven dan armadanya yang kuat muncul, karena itu orang Inggris bersikap tidak menonjol, sementara orang Banda mulai menyiapkan basis pertahanan. Ketika Verhoeven membuka negosiasi dengan para pemimpin di Lonthor (pulau terbesar) untuk mencoba melakukan kontrak baru (dan eksklusif), orang Banda tiba-tiba menyerang dia dan delegasinya. Sekelompok tentara, termasuk kadet muda, Jan Pieterszoon Coen, datang terlambat untuk menyelamatkan mereka; Verhoeven dan 46 anak buahnya, termasuk komandannya, dibantai dengan cara yang brutal. 


Apakah Keeling ada hubungannya dengan serangan ini atau tidak, tidak mungkin untuk direkonstruksi, tetapi itu sangat tidak mungkin. Dia berada di [pulau] Ay pada saat itu, salah satu pulau terluar di kepulauan Banda, di mana, ia tak lama kemudian melindungi 5 orang Belanda dari serangan lanjutan oleh penduduk. Faktanya, bagaimanapun, bahwa Belanda mencurigainya telah bersekongkol dengan orang Banda untuk membawa mereka ke penyerangan ini, serta telah melengkapi mereka dengan bubuk mesiu dan amunisi. Sekali lagi, tidak ada bukti apa pun untuk hal ini, tetapi ini adalah tipikal dari keadaan suatu hubungan dimana tuduhan itu dibuat. Sebagai pembalasan atas pembunuhan Verhoeven, Belanda menghancurkan sebuah desa di Lonthor, memaksa inspeksi atas kapal Keeling untuk memeriksa apakah ada bukti suplai senjata ke orang Banda, dan memperkuat benteng mereka, Nassau, di Neira, pusat kepulauan Banda.

            Keeling memprotes tuduhan yang dibuat, tetapi harus tunduk untuk pemeriksaan kapalnya. Tidak ada yang ditemukan, tetapi Belanda kemudian berusaha menghalangi kegiatan perdagangannya sehingga ia dengan sukarela pergi dan menyerahkan hasil panen kepada VOC. Tetapi Keeling berlayar hanya setelah dia mendapatkan cukup kargo sesuai dengan selera sendiri. Sementara itu, masyarakat Lonthor harus tunduk pada permintaan Belanda karena kehabisan makanan, karena Belanda memblokade jalur suplai mereka. Mereka tunduk pada kontrak monopoli yang untuk selanjutnya disalahartikan oleh Belanda, sehingga berlaku untuk untuk semua orang Banda, termasuk pulau-pulau terluar. Ini membentuk dasar dari kebijakan pengecualian mereka, dan menjadi akar dari perilaku mereka di tahun-tahun berikutnya15.

Sejak saat itu, Belanda bertindak seolah-olah mereka menguasai seluruh Banda, dan tidak ada pedagang lain, baik Makassar, Jawa atau Inggris, yang berhak membeli pala atau bunga pala. Ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Inggris. Dengan segala cara, mereka mencoba menghindari kekuasaan Belanda, dan membeli rempah-rempah yang mereka, seperti pesaing Eropa lainnya, telah datang ke belahan dunia lain. Dan mereka terus berhasil, karena dalam praktiknya, Belanda hanya menguasai Neira yang dibentengi. Sebagian besar penduduk Banda telah meninggalkan pusat pulau ini, karena mereka menolak untuk hidup di bawah pendudukan Belanda. beberapa dari mereka pergi ke Lonthor, tetapi banyak yang pergi lebih jauh, serta lebih sulit untuk mengontrol16 pulau Ay.

Ketika Kapten David Middleton tiba pada akhir tahun itu, dia mendapat sambutan yang ramah, tetapi sangat dingin dari Belanda, yang membuat sangat jelas bahwa dia tidak diizinkan untuk mengambil rempah-rempah. Dia dipaksa untuk tampil di “beranda depan” Neira, dalam jangkauan senjata benteng Nassau, dan tunduk pada otoritas Belanda, Dari sana, di bawah pengawasan Belanda, dia tidak berhasil mendapatkan rempah-rempah dari orang-orang Lonthor. Middleton yang dipermalukan menunggu waktu dan berlayar ke [pulau] Ay, dimana dia diterima dengan baik. Dia secara diam-diam telah membeli sebuah kapal di Lonthor, dan berhasil memuat yang diinginkan serta kapalnya sendiri sebelum kembali ke Inggris, meninggalkan beberapa anak buahnya di Ay untuk mengumpulkan lebih banyak rempah-rempah.

Ini menunjukan betapa sulitnya bagi Belanda untuk menegakkan monopoli. Saingan mereka dalam perdagangan menghormati klaim Belanda sejauh jangkauan meriam mereka. Dan meskipun Inggris hanya muncul secara tidak teratur17, mereka pasti mengganggu Belanda. Mereka tidak hanya membeli sebagian besar hasil panen, dan akibatnya “merusak” pasar di Eropa, mereka sekarang, di mata orang Banda, mulai mengambil peran yang sebelumnya dimainkan Belanda: sebagai pembebas mereka dari penindas asing. Undangan orang Banda ke Inggris untuk membantu mereka melawan Belanda, atau untuk membuat aliansi yang lebih kuat, sekarang terancam. Ini adalah prospek yang menakutkan bagi VOC.

Untuk beberapa waktu, Belanda mempertimbangkan untuk membumihanguskan seluruh pulau Ay, termasuk semua pohon pala, tetapi pada akhirnya mereka memutuskan akan lebih menguntungkan untuk menaklukannya, dan membangun benteng di sana juga. Tetapi invasi ke [pulau] Ay pada tahun 1615 gagal; di hadapan mata orang Inggris, yang mengawasi dari kapalnya, mereka dibawa ke [pertempuran] laut lagi. Perwira terkemuka, Cockayne dan Balle, sebelumnya meyakinkan Belanda bahwa mereka tidak memihak dalam pertempuran. Tetapi, sementara itu di Ay, Belanda menemukan 2 senjata Inggris dan beberapa senjata api kecil, yang - kali ini dengan tepat – meyakinkan mereka, bahwa saingan mereka dalam perdagangan, memiliki andil dalam konflik. Mereka bahkan curiga telah ditembak oleh Inggris18.  

Untuk sementara waktu, komandan Belanda, Gubernur Jend Reinjstf, harus menghentikan rencananya untuk menaklukan Ay. Orang-orang yang menang segera melanjutkan perdagangan mereka dengan orang Jawa, Makassar, dan Inggris. Tetapi tekanan Belanda terus berlanjut, dan pada tahun 1615, tak lama setelah ekspedisi Reinjst yang gagal, orang-orang Ay mengirim delegasi ke pemimpin Inggris di Banten, Jhon Jourdain, untuk menawarkannya kedaulatan atas [pulau] Ay dan Run dengan imbalan perlindungan19. Tetapi bantuan yang efektif datang terlambat, dan apa yang ada terlalu sedikit. Belanda tidak mudah dikalahkan. Untuk mencegah pendudukan Inggris yang diduga atas [pulau] Ay, pada tahun 1616, dengan dukungan penuh dari para direktur di Republik [Belanda]20, suatu skuadron Belanda yang terdiri dari 9 kapal dibawah komandan Jan Dircksz. ‘t Lam tiba di pulau ini. Di sini, ia bertemu 4 kapal yang terburu-buru dari Banten. ‘t Lam telah menduga mereka dan tidak terkejut menemukan mereka siap berperang. Dia memerintahkan serangan tembakan, setelah itu Inggris mundur. Kemudian diketahui, bahwa komandan Inggris itu, merupakan kenalan lama ‘t Lam, yang pernah membantu Inggris dalam pertempuran kecil dengan Portugis di lepas pantai St Helena. Samuel Castleton berusaha keras untuk meyakinkan rekan lamanya itu, bahwa dia tidak bermaksud untuk menghalangi tindakan Belanda terhadap [pulau] Ay, dan – meskipun Belanda bisa melihat bendera Raja [Inggris] berkibar di atas benteng utama Ay – dia tidak terlibat dalam urusan mempertahankan diri. Pada akhirnya, dia mendapatkan konsesi bahwa setelah pertempuran, dia dapat memuat barang di kapal, yang berlabuh di Neira, dan janji bahwa, jika serangan Belanda, Inggris dapat tinggal di Ay dan berdagang dengan bebas. Setelah itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain berlayar, diberi penghormatan melalui tembakan meriam. Dengan demikian, dia rela meninggalkan beberapa ribu pejuang Banda di 4 benteng pertahanan di Ay atas kemurahan hati Belanda. Mereka tak mampu menghadapi 240 orang Belanda dan 23 tentara bayaran Jepang, meskipun mereka melakukan perlawanan mati-matian. Pada akhir pertempuran, lebih dari 400 pejuang Banda bersama istri dan anak mereka ditenggelamkan saat mencoba melarikan diri ke Run, pulau terdekat. Dari “benteng” Inggris di Ay, tidak ada yang ditemukan; mungkin mereka dibunuh dan dipotong-potong oleh para pejuang yang sakit hati. Untuk mengamankan penaklukan, Belanda membangun benteng baru di Ay dan “membaptisnya” dengan nama Revenge. Populasi yang musnah, sebagian digantikan oleh 446 budak Siauw, 100 pemukim bebas dari Solor, 30 mardijkers21 dan 64 tahanan Spanyol dan Gujarat22. Komandan ‘t Lam kemudian dipuji oleh atasannya untuk pertempurannya yang sukses, tetapi dimarahi karena fakta bahwa dia telah memberikan izin memuat rempah-rempah mereka di kapal Inggris, bahkan setelah pendudukan selesai23.

Takluknya [pulau] Ay sangat mengesankan Inggris, dan juga membawa pesan bagi orang Banda yang merdeka. Atas inisiatif mereka sendiri, pemberontak Lonthor menandatangani kontrak baru, untuk memastikan agari tidak menjadi korban berikutnya. Seperti biasa, hal ini tidak menyelesaikan apa pun; segera pertengkaran baru muncul soal harga pala dan bunga pala, yang berulang kali mengakibatkan kekerasan dari kedua belah pihak. Sementara itu, para pekerja di Ay, yang diperlukan Belanda untuk mengeksploitasi pulau tersebut, menurun, karena beberapa orang Banda dan sekitar 246 budak Siauw melarikan diri ke Run, meskipun ada pengawasan Belanda. Juga, perlawanan terhadap Ay sendiri berlanjut tak lama setelah armada ‘t Lam pergi.

Sejak penaklukan Ay oleh Belanda, Inggris mulai menggunakan [pulau] Run di dekatnya, untuk melanjutkan perdagangan mereka, meskipun pulau itu jauh lebih tidak produktif daripada [pulau] Ay, Neira atau Lonthor. Pada akhir tahun 1616, 2 dari kapal mereka, Swan dan Defense, mencapai pulau itu24, dan rombongan Inggris berhasil mempertahankan diri. Ketika hampir 2 minggu kemudian25, komandan Belanda, Cornelis Dedel dikirim ke Run untuk mencegah perdagangan Inggris, dia mendapat sambutan “hangat”. Inggris dengan blak-blakan menyuruhnya pergi, karena wilayah itu sekarang dianggap sebagai wilayah Raja mereka. Jika dia menolak, 2 kapal mereka akan melepaskan tembakan. Dedel melihat sumbu yang terbakar tergelatak di samping meriam yang siap ditembak dan memutuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama kemudian, sebuah kapal Belanda yang terlalu dekat, ditembak26. Beberapa hari kemudian, di laut terbuka di utara Neira, Dedel terlibat pertempuran dengan [kapal] Swan. Kapal itu rusak parah dan tertangkap; 4 orang Inggris dan 1 orang Banda tewas, 3 orang Inggris terluka parah. Kemudian kapal lainnya, Defence, juga tertangkap.

Sementara itu, hubungan di seluruh Asia memburuk. Pada suatu waktu di tahun 1617, setelah beberapa insiden (yang berpuncak pada serangan beberapa orang Inggris di lodge (rumah) Belanda di Banten, setelah berita penangkapan Swan dan Defence terdengar), Direktur Jenderal Jan Pieterszoon Coen27/g, membuat pernyataan kepada Inggris di Jawa, dimana ia memperingatkan mereka, bahwa logistik lebih lanjut, bantuan, atau dukungan militer kepada orang-orang Maluku atau Banda, tidak akan ditoleransi, dan bahwa angkatan bersejata akan digunakan terhadap siapa saja yang ikut campur hubungan Belanda dengan penduduk pribumi, terkhusunya “sekutu” berdasarkan kontrak, seperti orang Banda28

Namun, Gubernur Jenderal yang baru dan berhati-hati, Laurens Reaelh, memutuskan untuk tidak (atau lebih tepatnya : belum) menggunakan kekuatannya melawan Inggris, karena takut memulai perang habis-habisan yang akan sulit dihentikan, baik melalui mediasi di Asia, atau melalui intervensi atasannya, penguasa mereka di Eropa29. Keputusannya untuk menghindari konflik bersenjata, tetap patut diperhatikan, karena hal itu tidak hanya menunjukan bagaimana hubungan yang buruk telah terjadi, tetapi juga, menunjukan status konflik dengan Inggris di Asia : sekarang hubungan itu telah memperoleh dimensi strategis.

Reael dipaksa untuk melakukan misi ke Banda secara pribadi30, untuk mengakhiri kekerasan, dan mencoba untuk berbicara dengan orang-orang di Run, yang sekarang diblokade dan kelaparan. Reael yakin dengan hal itu, tetapi untuk kehadiran Inggris, mereka sudah menyerah pada perlawanan mereka. Dia kemudian datang ke Banda, terutama untuk menekan Inggris, yang posisinya sekarang menjadi putus asa karena dukungan maritim mereka telah hilang31. Biasanya karena gaya kepemimpinannya, Reael memutuskan untuk beroprasi secara diplomatis, daripada menggunakan kekuatan [militer]. Dia mengatur perjanjian baru dengan orang Lonthor, dan penduduk pulau Rosingain, dan melakukan hal ini kepada orang-orang Run. Namun, dia tidak bisa tinggal cukup lama untuk membuat kontrak dengan mereka. Negosiasi dengan Courthope, yang diundang ke Neira untuk menyelesaikan status [pulau] Ay dan Run berkaitan dengan perjanjian tahun 1609, tidak menghasilkan apa-apa32. Sekali lagi, kehadiran Inggris menghalangi kendali Belanda atas seluruh kepulauan Banda.

Menyadari hal ini saat kembali ke Jawa, Reael, seperti yang telah dilakukan Coen sebelumnya, kini pada gilirannya memperingatkan Inggris bahwa mereka mungkin akan diusir dari Banda, jika terus mencampuri urusan Belanda. Sementara itu bala bantuan Inggris di Banda berupa 2 kapal berhasil dikalahkan oleh skuadron Belanda yang berlayar antara Makasar dan Banda. Ketika Reael kembali ke Banda, dia menemukan Inggris telah mundur dari posisinya yang dibentengi di Nailaka, sebuah tebing kecil di titik utara Run, dan melanjutkan perdagangan mereka dengan orang Lonthor. Kali ini, sekali lagi karena takut memulai perang, Reael mengirim ekspedisi hukuman ke Lonthor. Hal ini hanya mengakibatkan penolakan orang Lonthor untuk berdagang dengan Belanda lagi; pada saat yang sama mereka melanjutkan perdagangan dengan pedagang Asia dan dengan Inggris. Nathaniel Courthope, sekarang komandan di Nailaka, dibunuh di laut oleh Belanda ketika suatu hari dia kembali dari urusan tersebut. 


Coen yang gigih, menggantikan Reael sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1619, pada awalnya memiliki hal-hal yang lebih mendesak untuk diatasi, daripada memberi pelajaran kepada orang Lonthor yang “tidak setia”. Pada awal tahun 1620, ia harus mengakui bahwa, karena masalah dengan Inggris di dalam dan di sekitar Jawa, dan dengan otoritas kesultanan Mataram33, setidak selama sisa-sisa tahun itu, ia terpaksa memusatkan angkatan lautnya di lepas pantai Banten dan Jacatra, daripada mengirim kapalnya ke seluruh Nusantara. Namun, dia mengirim beberapa kapal untuk memperkuat armada yang melindungi Banda dari bala bantuan Inggris.

Persaingan Inggris – Belanda di Asia pada saat itu telah meningkat menjadi perang habis-habisan34, ketika pada awal tahun 1620, armada Inggris yang tersisa berkumpul untuk melawan Coen dalam pertempuran di lepas pantai Banten. Tetapi tidak ada lagi peperangan lanjutan antara Inggris dan Belanda di Indonesia : pada tanggal 27 Maret, sebuah kapal Inggris bernama Bull tiba,  membawa pesan dari Heeren XVII, bahwa pada bulan Juli 1619, sebuah perjanjian kerjasama antara 2 Perusahaan Hindia Timur yang bersaing (VOC dan EIC) telah ditandatangani35.

===== bersambung =====

Catatan Kaki :

  1. Hanya oleh Eliaslah, yang dalam analisisnya tentang asal usul Perang Inggris-Belanda yang mencakup kejadian-kejadian di Banda. Lihat Het voorspel van den eersten Engelschen oorlog (2 vols., 's Gravenhage, 1920), khususnya volume 2, bab V, halaman 1-46
  2. Terletak di Maluku, Indonesia
  3. Elias menyatakan : “ dimanapun juga permusuhan perdagangan antara Inggris dan Belanda lebih menajam daripada hanya sekedar soal “pengapalan” di Hindia. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 10.
  4. Apa yang kita miliki tentang waktu ini, salah satunya telah usang, baik secara umum, secara khusus, atau ancaman terhadap relasi ini, sebagai faktor penjelasan pada latar belakang dari beberapa fenomena politis lainnya. Lihat, misalnya, G. Edmundson, Anglo-Dutch Rivalry during the First Half of the Seventeenth Century, being the Ford Lectures delivered at Oxford in 1910 (Oxford, 1919); K. H. D. Haley, The British and the Dutch: Political and Cultural Relations through the Ages (London, 1988); R. Hatton, Diplomatic Relations between Great Britain and the Dutch Republic 1714-1721 (London, 1950); J. I. Israel (ed.), The Anglo-Dutch Moment. Essays on the Glorious Revolution and its World Impact (Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney, 1991).
  5. Untuk lebih jelasnya, deskripsi yang provokatif dan terkini tentang pertumbuhan ekonomi sepanjang periode ini, khususnya mengenai posisi Belanda, lihat J. I. Israel, Dutch Primacy in World Trade, 1585-1740 (Oxford, 1987).
  6. Deskripsi tentang 2 organisasi Perusahaan Hindia Timur dan sejarahnya sepanjang tahun-tahun pertama, dapat ditemukan dalam G. Masselman, The Cradle of  Colonialism (New Haven, London, 1963); M. A. P. Meilink-Roelofsz, 'Een vergelijkend onderzoek van bestuur en handel der Nederlandse en Engelse handels compagnie en op Azie in de eerste helft van de zeventiende eeuw', in: Bijdragen en Mededelingen betreffende de Geschiedenis der Nederlanden, 91 (1976), pp. 196-217; D. K. Bassett, 'Early English Trade and Settlement in Asia, 1602-1690', in: J. S. Bromley, E. H. Kossmann (eds), Britain and the Netherlands in Europe and Asia. Papers delivered to the Third Anglo-Dutch Historical Conference (London, Melbourne, Toronto, New York, 1968); and F. S. Gaastra, De geschiedenis van de VOC (Leiden, Zutphen, 1992 (2)
  7. Lihat See K. N. Chaudhuri, The English East India Company. The Study of an Early Joint Stock Company 160o-1640 (London, 1965). Tidak seperti yang terkesan dalam judul bukunya, Chaudhuri menekankan tentang kecenderungan pedagang-pedagang EIC ke arah “perusahaan yang diatur” sejak awal tahun-tahun pembentukannya pada awal abad ke-17
  8. Organisasi ini terkadang dianggap sebagai perusahaan pertanggungjawaban terbatas, atau bahkan perusahaan multinasional pertama. Untuk pembahasan mengenai hal-hal khusus tentang tradisi kewirausahaan dan modernitas VOC, lihat W. M. F. Mansvelt, Rechtsvormen geldelijkbeheerbij de Oost-Indische Compagnie (Amsterdam, 1922).
  9. Kebijakan monopoli pertama kali secara resmi dipublikasikan dalam tahun 1609; lihat P. J. A. N. Rietbergen, De eerste landvoogd Pieter Both (1568-1615) gouverneur-generaal van Nederlands-Indie (1609-1614) (2 vols, Zutphen, 1987), volume 2, halaman 212 – 227 : Instruksi kepada Pieter Both, oleh para direktur, tertanggal 29 November 1609; khususnya pasal 22 (halaman 219)
  10.  Sumber yang bagus tentang kehadiran Portugis di Banda dan organisasi pemerintahan khusus, lihat J. Villiers, 'Trade and Society in the Banda Islands in the Sixteenth Century', in: Modern Asian Studies, 15 ( 98 ), hal. 723-50. Untuk hal-hal yang lebih khusus tentang ekonomi lokal dan struktur pemerintahan, lihat juga J. Villiers, ., 'The Cashcrop Economy and State Formation in the Spice Islands in the Fifteenth and Sixteenth Centuries', in: J. Kathirithamby-Wells, J. Villiers (eds), The Southeast Asian Port and Polity.Rise and Demise (Singapore, 1990), hal. 83-1o6.
  11. Deskripsi tentang kedatangan dan kehadiran Belanda di Kepulauan Banda hingga pendudukannya, lihat kajian dari of  J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-eilanden (1599-1621) (Batavia, 's-Gravenhage, 1886). Data selanjutnya tentang aktivitas Belanda dan Inggris, utamanya bersumber dari sumber ini dan sumber dari Elias, Voorspel, volume 2, bab V.
  12. Pergeseran kebijakan VOC menuju ke aksi kekerasan, bisa terlihat melalui contoh terbaiknya, yaitu melalui instruksi rahasia kepada Gub Jend Pieter Both, oleh Hendrik Brouwer tertanggal Mei 1612. Ia menyarankan secara brutal untuk menghancurkan perdagangan orang Banda ke dan dari Jawa; menghancurkan pohon-pohon pala di Banda, sumber satu-satunya pendapatan mereka (dalam pengertian, tekanan ini dipertimbangkan lebih “murah” daripada serangan ke kubu pertahanan mereka), membangun benteng di Lonthor, dan membunuh orang Banda yang melawan. Lihat See P. A. Tiele, J. E. Heeres (eds), Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleische Archipel (3 vols, 's-Gravenhage, 1886-1895), volume I, hal. I-II.
  13. Satu reaal (rial) pada waktu itu bernilai 51 stuivers di Asia. 1 bahar, beratnya sekitar 550 pons. Saat Belanda tiba dalam tahun 1599, mereka membayar 6 rial per bahar.
  14. Tentang aktivitas dari Verhoeven dan kematiannya, lihat Van der Chijs, Vestiging, pp. 36 ff., and M. E. van Opstall, De reis van de vloot van Pieter Willemsz Verhoeff  naar Azii 1607-1612, met inleiding, journaal en bijlagen ('s-Gravenhage, 1972).
  15. Lihat, Van der Chijs, Vestiging, pp. 51 ff.
  16. Ekspedisi penghukuman yang dilancarkan dalam tahun 1610 gagal total.
  17. Setelah Middleton, mereka tidak lagi datang ke Banda bertahun-tahun. Suatu usaha dalam tahun 1613, untuk membuka “pondok” di [pulau] Ay gagal. Lihat, Elias, Voorspel, volume 2, halaman 22
  18. Menurut Van der Chijs, hal ini tidak benar; tembakan dilakukan oleh 2 orang Belanda yang terluka ditujukan kepada pejuang [pulau] Ay. Lihat Van der Chijs, Vestiging, halaman 72.
  19. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 25, juga lihat Villiers, 'Trade and Society in the Banda Islands.... , hal 730
  20. Dalam tahun 1614, mereka menulis bahwa, sekarang dimana-mana (di Maluku), kekuatan militer mereka sangat aman, hal ini haruslah dianggap sebagai penyerbuan ke orang-orang Banda, membunuh pemimpin-pemimpin dari penduduk, mengusir penduduk lainnya, dan menghunikan pulau itu dengan “kafir” yang diimpor, dalam tujuan untuk mendapatkan kontrol total, yang mampu untuk mengeksplotasi mereka sesuai keinginan Belanda. Lihat Van der Chijs, Vestiging, halaman 75.
  21. Kaum burger bebas/merdeka yang merupakan keturunan campuran Asia dan Eropa (Portugis)
  22. Jumlah orang-orang ini bersumber dari surat Coen kepada para Direktur tertanggal 10 Oktober 1616, bisa dilihat dalam : J. K. J. de Jonge, De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost Indie.Verzameling van on uit gegeven stukken uit het oud-koloniaal archief (13 vols, 's-Gravenhage, 1862-19o9), volume IV, halaman. 42-54.
  23. Laporan lengkap tentang apa yang terjadi di [pulau] Ay, lihat, Tiele/Heeres, Bouwstoffen, volume,I, halaman 132-63: surat Adriaen van der Dussen kepada Direktur, tertanggal 25 Juli 1616. Van der Dussen menyebut bahwa Belanda memutuskan untuk menaklukan [pulau] Ay, karena Inggris selalu menaruh perhatian terhadap pulau itu (halaman 142)
  24. Tiba pada tanggal 23 Desember 1616. Faktanya Jourdain mengirim mereka untuk membantu mempertahankan [pulau] Ay sebagai tanggapan atas undangan yang disampaikan oleh utusan [pulau] Ay yang datang ke Banten. Agak terlambat, Nathaniel Corthope malahan berlabuh di [pulau] Run, menerima kedaulatan dan menduduki pulau itu sebelum Belanda. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 27
  25. [Mereka tiba pada tanggal] 3 Januari 1617.
  26. Tindakan permusuhan ini kemudian dianggap Belanda sebagai “tembakan pertama”, suatu pernyataan perang yang dianggap tepat untuk membalas. Lihat, Elias, Voorspel, volume 2, halaman 27
  27. Ditunjuk sebagai pemimpin “pergudangan” di Banten dalam tahun 1614, kemudian menjadi Direktur Jenderal Perdagangan, pemimpin perdagangan VOC paling penting di Asia. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 30
  28. Lihat Van der Chijs, Vestiging, halaman 76-77, dan Elias, Voorspel, volume 2, halaman 32. Plakaat aslinya telah hilang, [jadi] kita tidak mengetahui tanggal tepat dari pernyatan publik ini. Coen menyebut isinya dalam suratnya kepada Direktur tertanggal 18 Desember 1617; ia menyebut bahwa ia telah memerintahkan untuk menempatkan semua penjagaan di semua wilayah Banten dan Jacatra.
  29. Van der Chijs, Vestiging, halaman 78.
  30. [Laurens Reael] tiba pada 24 Maret 1617
  31. Ini nampaknya hanyalah kebetulan [kapal-kapal] perbekalan dari Portugis dan Jawa yang hilir mudik. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 29.
  32. Sama dengan di atas, halaman 28
  33. Untuk deskripsi singkat tentang masalah Coen di Jawa, lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 34 - 36
  34. Sejak Januari 1619, Belanda memerangi Inggris di Jacatra, membunuh Jhon Jourdain di teluk Patani (bulan Juli) dan menyita 7 kapal Inggris di kesempatan berbeda.
  35. Sebelum Bull tiba di Jawa, beberapa hari sebelumnya di selat Sunda, ia bertemu dengan skuadron Inggris yang sedang bersiap siaga untuk berperang dibawah komando admiral Pring, dan juga memberitahukan dirinya tentang perjanjian itu. Lihat Elias, Voorspel, volume 2, halaman 36.

 

Catatan Tambahan :

  1. Perang Inggris – Belanda di Eropa, pertama kali terjadi pada periode 1652 – 1654 (Perang Inggris – Belanda pertama) dan tahun 1665-1667 (perang kedua)
  2. Belanda mengusir Portugis dari Ambon ditandai dengan takluknya benteng Portugis di Ambon pada tanggal 23 Februari 1605.  Sedangkan untuk Tidore, juga terjadi pada tahun 1605. Ini berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh penulis (Vincent. C. Loth)

§  Lihat, Huberts Jacobs, Documenta Malucensia, volume 2 (1577-1606), halaman 685, 704, 718

  1. Benteng Portugis di Ambon bernama Nosa Senhora da Anunciada, berganti nama menjadi Victoria. Namun menurut Gerrit J Knaap, perubahan nama ini terjadi pada tahun 1614

§  Gerrit J Knaap, A City of Migrants : Kota Ambon at the end of seventeenth century, Indonesia, volume 51, hal 105 – 128, khusus hal 108

  1. Armada Belanda pertama kali tiba di kepulauan Banda pada tanggal 15 Maret 1599, dibawah komando Jacob van Heemskerk

§  Lihat, J.K.J. de Jonge, , De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost Indie.Verzameling van on uit gegeven stukken uit het oud-koloniaal archief (13 vols, 's-Gravenhage, 1862-19o9), volume III, halaman. 385 – 447, khusus halaman 426

§  lihat J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-eilanden (1599-1621) (Batavia, 's-Gravenhage, 1886). halaman 1

  1. Nama lengkap Cockayne dan Ball adalah George Cockayne dan George Ball

§  Lihat Martine Julia van Itersum, Debating Natural Law in the Banda Islands : A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East-Indies, 1609 -1621 (hal 9)

  1. Gerard Reijnst menjadi Gub Jend VOC menggantikan Pieter Both sejak tanggal 6 November 1614, hingga meninggal pada 7 Desember 1615
  2. Seperti yang tertulis pada catatan kaki no 27, sang penulis (Vincent C Loth) mungkin tidak “kronologis” dan tidak terlalu tepat dalam soal urutan karir Jan Pieterszoon Coen. Menurut  M.A. Rheede van der Kloot, Coen pada Oktober 1613 oleh Pieter Both diangkat menjadi Boekhouder Generaal dan Direktur untuk kantor di Banten dan Jacatra. Pada 13 November 1614, oleh Gub Jend Gerard Reinjst, Coen diangkat menjadi Direktur Jenderal dan Presiden untuk kantor di Banten dan Jacatra.
  3. Laurens Reael sebagai Gub Jend VOC menggantikan Gerard Reinjst (meninggal 7 Desember 1615) pada 19 Juli 1616. Martine. J. van Itersum menyebut pada Juni 1616
                    Lihat Martine Julia van Itersum, Debating Natural Law in the Banda Islands : A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East-Indies, 1609 -1621 (hal 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar