Sabtu, 19 Desember 2020

Insiden Bersenjata dan Tagihan yang Belum Terlunasi: Persaingan Inggris-Belanda di Kepulauan Banda pada Abad Ketujuh Belas (bag 2 )

 

VINCENT C. LOTH

[University of Nijmegen, Belanda]


  

III

Perlakuan yang dialami oleh Keeling dan Middleton di Banda, tidak diragukan lagi berkontribusi pada citra Belanda sebagai eksklusif dalam perdagangan Asia. Kisah-kisah yang dibawa pulang ke Inggris tentang pertemuan mereka dengan Belanda, menunjukan perlunya penyelesaian diplomatik, terkecuali kalau [terjadi] perang terbuka dalam skala besar, bahkan mungkin di Eropa, bisa menjadi kenyataan36.

Sudah pada tahun 1609, setelah Keeling muncul di Banda, Duta Besar Belanda di London, Yang Mulia, Noel de Carona, telah menawarkan skema kerjasama yang luas antara kedua perusahaan. Hal ini tidak mengherankan seperti kelihatannya bagi kita sekarang. Pada skala kuantitatif, setiap orang yakin bahwa, ada banyak barang dagangan yang dibagikan dalam bentuk kerjasama yang baru. Selain itu, para negarawan Belanda yang terkemuka cukup praktis untuk mempertimbangkan setiap cara yang mungkin, untuk menghindari perang dengan Inggris, bahkan dengan mengorbankan monopoli rempah-rempah Belanda. Berbagi hasil perdagangan Asia dengan cara yang terorganisir, mungkin, bagaimanapun juga, lebih murah daripada mendanai perang berskala penuh. Meski demikian, negosiasi, sebenarnya baru dimulai beberapa tahun kemudian.

Dalam tahun 1609 juga, selama negosiasi awal dengan Spanyol yang menghasilkan gencatan senjata, Belanda telah menetapkan posisi mereka terkait dengan hak akses ke perairan internasional. Berdasarkan risalah berjudul Mare Liberum37, mereka mengklaim memiliki hak masuk atau izin ke semua lautan dan samudera. Menurut hukum alam, laut dianggap bebas untuk berlayar dan digunakan semua orang; tidak ada negara atau pemerintah yang memiliki hak untuk melarang negara lain dari perairan mana pun38.

Setelah cerita-cerita yang dibawa Middleton ke Inggris pada tahun 1611, sebuah delegasi EIC dikirim ke Amsterdam untuk bertemu dengan orang-orang penting di kota itu (beberapa diantaranya memiliki kepentingan besar di VOC), dan kemudian masalah itu dibahas di Perusahaan serta di tingkat pemerintah. Sejak awal, Inggris menyatakan keluhan mereka bahwa kebijakan monopoli Belanda bertentangan dengan semua tradisi dan hukum perdagangan bebas, dan bahwa sebagai teman baik dan bertetangga, harus dicari solusi untuk menghindari masalah lebih lanjut. Seperti yang telah dilakukan Caron sebelumnya, mereka mengisyaratkan kerjasama yang lebih erat pada tingkat operasional, dan bahkan menyarankan penggabungan kedua perusahaan. Belanda setuju bahwa hubungan baik harus dijaga, tetapi dimengerti tidak terburu-buru untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih konkrit. Selama niat baik dan pembicaraan diplomatik melemahkan ancaman perang di Asia, waktu ada di pihak mereka. Untuk saat ini, mereka bersikeras - bukan tanpa alasan – dengan biaya besar dan kesulitan yang telah ditimbulkan VOC untuk memastikan posisi mereka di Asia, dan jelas bahwa mereka tidak cenderung membiarkan Inggris memperoleh hasil dari usaha mereka. Sebagai hasil dari sikap ini, baru pada tahun 1613, konferensi yang sebenarnya dimulai di London. 

Hugo Grotius (1583 - 1645)

Proposal Belanda yang diajukan di sana oleh Grotiusb, utusan hukum dan juru bicarac, sulit diterima oleh para diplomat Inggrisd. Dinyatakan bahwa wilayah dan laut sekitarnya yang telah diperoleh, dikuasai, atau diklaim oleh Belanda sebagai hasil kontrak dengan penguasa pribumi, harus dianggap berada dibawah kekuasaan Belanda; [dan] sebagai akibatnya, hanya merekalah yang berhak berdagang di wilayah tersebut. Belanda-lah yang benar-benar membuka perdagangan dengan Hindia Timur; Inggris tidak pernah menyumbangkan apa pun untuk operasi mahal yang diperlukan, untuk merebut Asia dari kekuasaan Portugis dan Spanyol. Oleh karena itu, mereka [Inggris] dengan adil dikeluarkan dari perdagngan di perairan ini. Hal ini sama sekali dianggap tidak bertentangan dengan prinsip yang diajukan dalam Mare Liberum. Seluruh kasus, dengan demikian, disajikan tidak hanya sebagai masalah komersial saja, tetapi juga, sebagai masalah politik dan hukum. Pemerintah Belanda dengan ini menunjukan, bahwa mereka menganggap masalah ini, tidak hanya sebagai urusan antara 2 perusahaan yang terlibat, tetapi yang terpenting, [mengenai] kepentingan strategis.

Sudut pandang Inggris juga jelas. Mereka tidak pernah mengakui keabsahan klaim teritorial oleh Spanyol dan Portugis, berdasarkan pernyataan Paus. Mereka tentu saja mengakui hak untuk mengontrol perdagangan dan komersialisasi di wilayah jajahan, tetapi tidak mengecualikan pedagang lain dari negara atau wilayah yang tidak diduduki atau dijajah. Dengan demikian, pemerintah Inggris menganut doktrin tradisional tentang pendudukan yang efektif, yang berarti, bahwa atas suatu wilayah tidak dapat ditetapkan kecuali telah diduduki sebelumnya; penemuan atau hubungan-hubungan dengan penduduk lokal dalam bentuk apa pun, tidaklah cukup. Piagam yang diberikan kepada EIC, tetap dalam batas-batas prinsip ini39. Meskipun Inggris sendiri menyatakan klaim ekslusif untuk “laut sempit” di sekitar kepulauan Inggris, pada saat yang sama, mereka berpendapat bahwa laut lepas harus bebas untuk semua, suatu sudut pandang itu sendiri, tampaknya dekat dengan apa yang dinyatakan dalam Mare Liberum

Sejak saat itu, seperti yang diharapkan, diskusi di London berkisar pada hukum umum alam, pemberian hak kebebasan perdagangan kepada semua orang di wilayah yang sebenarnya tidak dimilikinya, karena bertentangan dengan kontrak hukum positif yang mengecualikan pihak ketiga dari perdagangan produk tertentu40, seperti yang terjadi di Banda. Tidaklah mengherankan, Belanda, berdasarkan argumen Grotius, menganggap dokumen hukum positif seperti itu, di atas hukum umum.

Delegasi Inggris, tampaknya tidak senang, karena Belanda tetap menekankan hak-hak mereka sebagai konsekuensi dari biaya yang mereka keluarkan untuk memperolehnya, dengan lemah mengusulkan semacam pembagian wilayah dan produk. Ini tidak bisa diterima oleh para mediator Belanda; tidak hanya karena mereka tidak ingin memberikan apa yang mereka miliki, tetapi juga karena mereka tidak diizinkan untuk mengubah posisi mereka, setidaknya tidak tanpa musyawarah sebelumnya dengan States General serta Heeren XVII. Oleh karena itu, para pihak berpisah tanpa kesepakatan, dan hanya harapan tipis untuk sidang berikutnya di Belanda.

Tetapi meskipun masing-masing peserta terus berhubungan satu sama lain, dan kedua belah pihak mengakui pentingnya bergandengan tangan di Hindia dalam menghadapi klaim baru dari Spanyol dan Portugis, gesekan dalam hal lain (diantaranya, sengketa tentang perburuan/penangkapan ikan paus, dan pembatasan impor Belanda atas pakaian Inggris) menyebabkan konferensi ditunda sampai tahun 1615. Sebenarnya hubungan sangat tegang pada waktu itu, sehingga delegasi Inggris merasa tidak ada gunanya melakukan perjalanan ke Den Haag. Berbulan-bulan telah berlalu, dan pada akhirnya, Raja James sendirilah yang memaksa para delegasi untuk pergi.

Sementara itu, seperti halnya pejabat VOC di Asia seperti Coen, para direktur VOC di Belanda pun yakin, bahwa ancaman terhadap perdagangan mereka tidak lagi datang dari musuh Iberian, tetapi dari Inggris. Namun, ada negarawan berpengaruh seperti Oldenbarnevelt, yang bertujuan untuk operasi bersama melawan Spanyol di Asia. Tetapi semua ini, tidak dapat mengatasi perbedaan hukum dan praktis yang menjadi dasar konflik. Secara hukum, negosiasi tidak pernah melampui inti dari konferensi London. Mengenai inisiatif untuk bersatu dalam perdagangan bebas, Inggris tidak dalam posisi untuk menerima tanggung jawab “membela” para “pangeran” [atau penguasa pribumi] Hindia Timur dari aksi Spanyol dan Portugis, seperti yang dilakukan oleh Belanda sebagai kewajiban mereka sendiri melalui kontrak [yang mereka buat]. Mereka tidak ingin melangkah lebih jauh dari serikat yang longgar, terutama dengan tujuan gabungan kekuatan, dengan imbalan hak perdagangan. Mereka tentu tidak ingin memilih prinsip “trade by arms” (perdagangan melalui perang) yang dianut oleh Belanda. Jadi, setelah 3 bulan berdebat berulang-ulang, delegasi Inggris pulang tanpa ada kesepakatan yang dicapai.

Namun, ini bukanlah akhir dari masalah, karena State General, serta King James, masih mempertimbangkan kemungkinan fusi (penggabungan), atau setidaknya beberapa bentuk kerjasama yang lebih erat. Oleh karena itu, diskusi terus berlanjut, meski sesekali. 


Akan tetapi, waktu [seperti] melawan posisi Inggris di Banda41. Pada saat takluknya [pulau] Ay yang dijelaskan di atas pada tahun 1616, tida ada tempat di Asia yang menunjukan tanda-tanda peningkatan Inggris, sementara bala bantuan logistik di kedua sisi, merupakan syarat yang diperlukan untuk merealisasikan penggabungan. Memang Coen terus menerus, dan dalam terminologi yang kuat, mendesak atasannya untuk melanjutkan dan meningkatkan dukungan keuangan dan maritim, tetapi tidak untuk tujuan kerjasama. Terlepas dari kehadiran mereka yang terputus-putus (jarang), perdagangan Inggris di mata Coen, masih terbukti menjadi ancaman paling serius bagi keuntungan Belanda, yang baru saja mulai menyeimbangkan semua pengeluaran di masa lalu. Di bawah pengaruh Coen, kebijakan pembatasan terhadap Inggris menjadi lazim. Faktanya Inggris hanya memperburuk keadaan, ketika, pada bulan September 1617, mereka mengirim 6 kapal ke Nusantara, 2 diantaranya untuk berlayar ke Banda, untuk berdagang dan menetap. Tidak ada kesimpulan lain, selain bahwa EIC, mengetahui kesombongan Belanda di Eropa, seperti juga di Asia, meremehkan kekuatan Belanda, atau berjudi dengan harapan bahwa Belanda akan membiarkan mereka mengambil jalan mereka, karena takut berperang dengan Inggris. Seperti yang [telah] kita lihat, ini terbukti sebagai kesalahan penilaian yang fatal. Inggris di [pulau] Run dan Nailaka, dikepung, kapal-kapal ditembak dan disita, dan beberapa orang Inggris, termasuk Courthope, terbunuh. Posisi Inggris di Maluku, dan di kepulauan Nusantara, secara keseluruhan, kini menjadi lebih lemah dari sebelumnya.

Namun terlepas dari semua ini, situasi itu diselamatkan (setidaknya untuk saat itu) oleh faktor yang tidak terduga, yaitu situasi politik di Belanda. Kudeta yang dilakukan oleh Pangeran Maurice van Orange pada tahun 1618, mengakibatkan eksekusi Oldenbarnevelt, dan jatuhnya anak didiknya, Hugo Grotius. Dihadapkan pada perkembangan berbahaya dalam politik Eropa42, Maurice tidak bisa membiarkan hubungan baiknya dengan James menjadi tegang. Oleh karena itu, pada bulan September 1618, ia mengirimkan delegasi ke Inggris untuk merundingkan beberapa hal yang menjadi kepentingan bersama, diantaranya kemungkinan kerjasama di Hindia Timur.

 Kali ini, perbedaan hukum tetap menjadi latar belakang, mungkin karena Grotius sudah tidak ada lagi, atau mungkin karena para delegasi menolak membiarkan kebuntuan hukum tahun 1613 menghalangi pembicaraan-pembicaraan yang lebih jauh, dan oleh karena itu menganggapnya sebagai fakta. Meskipun demikian, sebagai akibat dari permusuhan masa lalu dan sekarang, pembicaraan berlarut-larut berbulan-bulan, [seperti] sebelumnya, dengan agak tiba-tiba, kesepakatan dicapai pada bulan Juli [1619]. Terdiri atas 30 pasal43. Meski tidak mengenai merger antara EIC dan VOC, namun hal itu tentu saja mengakhiri kekerasan di Asia. Pada prinsipnya bahkan membuka jalan untuk kerjasama, karena itu berlangsung selama 20 tahun. Mulai saat ini, perdagangan di Asia dibuka untuk kedua perusahaan. EIC akan menerima 1/3 dari rempah-rempah Maluku, dan ½ dari lada Jawa. Setiap pihak harus melakukannya, berkontribusi untuk membela kepentingan bersama mereka, yang karenanya telah dibentuk Dewan Pertahanan (terdiri dari 4 pejabat utama dari masing-masing perusahaan); benteng-benteng harus tetap berada di tangan kelompok yang telah menguasainya, yang baru akan diawaki setengah garnisun Inggris dan setengah garnisun Belanda; masing-masing pihak menyediakan 10 kapal besar, dan Dewan harus memutuskan jumlah kapal kecil yang akan disumbangkan. Tidak ada perusahaan lain yang diizinkan, perbedaan dalam bentuk apa pun harus dibawa ke hadapan Raja James dan State General.

                Namun, kontroversial soal hak membangun benteng baru di Maluku, yang diklaim oleh Inggris, tetap tidak terpecahkan. Belanda dengan tegas terus mengulangi pendapatnya bahwa sekarang, bahkan lebih dari sebelumnya, Inggris tidak perlu membangun benteng, karena [telah] dilindungi oleh VOC. Prinsip kewajiban saling membela akan membuktikan titik lemah yang signifikan dalam perjanjian, alasan mengapa ditakdirkan gagal sejak awal.

Fort Hollandia di Lonthor

 

IV

                Coen sangat marah ketika dia diberitahu tentang perjanjian itu. Dia tidak tahu satu pun alasan yang mendasari, yang membuat atasannya menyelesaikan perbedaan mereka dengan Inggris melalui cara ini, dia juga tidak begitu tertarik. Visinya tentang perdagangan Asia didasarkan pada kenyataan di Asia, bukan pada angan-angan, atau pertimbangan politik Eropa dan global. Meskipun dia telah berulang kali membawa ketegangan antara 2 perusahaan untuk diperhatikan oleh atasannya, meminta mereka untuk memberinya wewenang, baik untuk mengatur perdamaian, atau untuk menyatakan perang total dan mengakhiri persaingan mereka44, [jadi] ini bukanlah semua kejelasan yang dia minta. Sebagai pemimpin tertinggi VOC di Hindia Timur, mengingat posisi Belanda dan Inggris pada saat itu, menurutnya perjanjian ini tidak bijaksana, bukan hanya karena kontraproduktif bagi kepentingan Belanda, tetapi juga karena memberi Inggris jauh lebih dari yang pernah mereka dapatkan, atau menurutnya pantas untuk mereka miliki. Yang bisa dia lihat adalah, tepat di saat kebijakannya membuahkan hasil – pada saat itu, dia (Coen) hampir mengusir Inggris dari Nusantara – State General dan Heeren XVII membalikan keadaan. Seperti biasa, dia tidak ragu-ragu untuk memberi tahu mereka tentang pendapatnya, dengan cara yang terus terang dan nyaris kurang ajar45. Akan tetapi, dia tetap menjadi bawahan yang setia, yang mengakui keputusan atasannya, melaksanakan apa yang diperintahkan, meskipun mengajukan protes.

                Sementara itu, Inggris di Asia juga tidak bisa melepaskan kecurigaan dan kebencian terhadap musuh mereka46, juga tidak bisa sekaligus melupakan semua kerusakan dan kerugian yang telah dilakukan pada mereka dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah perjanjian yang terjadi oleh keadaan, betapapun menguntungkan hasilnya, tidak bisa begitu saja memperbaiki hubungan yang rusak parah.

                Mendengar berita tentang perjanjian itu, Coen secara naluriah bereaksi dengan cara yang, dari sudut pandangnya, tidak hanya yang paling masuk akal, tetapi mungkin satu-satunya pendekatan yang mungkin. Dia bertanya kepada komandan [kapal] Bull, apakah ia bersedia membayar bagiannya dalam pembelian 2 tinggan47, 1/3 dari 3200 realen, uang yang sangat banyak. Kapal-kapal ini akan segera melaut, untuk memberitahu armada Belanda yang sedang berlayar di lepas pantai Banda tentang renversement. Komandan tidak bisa menurut, karena misi ini tentu saja untuk kepentingan Inggris juga, tetapi pada gilirannya dia meminta dukungan segera untuk rekan senegaranya di Run, karena tahu betul apa yang akan dipikirkan Coen tentang itu. Coen dengan hati-hati meyakinkannya bahwa dia akan melindungi mereka dari orang Banda (!), tetapi hal ini tentu saja menyiratkan hak sepihak untuk berperang terhadap penduduk pribumi, jika Belanda menganggap ini perlu. Tentu saja, dengan mengikuti pandangan Coen, Inggris akan bergantung pada inisiatif militer Belanda di masa depan, yang berakhir dengan membayar sebagian besar perpanjangan kekuasaan Belanda. Tidak mengherankan, Coen tidak pernah mendapatkan konsesi ini, maupun uangnya untuk tinggan. Namun demikian, dia mengizinkan Inggris untuk berhubungan dengan “gudang-gudang” mereka di [pulau] Run, mungkin karena dia sadar, bahwa berita yang mereka sampaikan tidak terlalu menggembirakan. Sikap kedua belah pihak, dan seluruh atmosfer ketidakpercayaan timbal balik serta perhitungan yang cerdas adalah khas, dan menjadi ciri “kolaborasi” di Asia sejak awal.

                Terlepas dari perubahan nyata dalam hubungan Inggris – Belanda, Belanda, tanpa banyak mempertimbangkan mitra mereka, terus memperluas kekuasaan mereka di perairan timur. Pada musim semi 1619, beberapa minggu sebelum kedatangan [kapal] Bull, Coen telah mendirikan suatu tempat ”pertemuan” (rendezvous) yang sudah lama diimpikan di Jacatra, yang diganti nama menjadi Batavia. Hal ini memberinya dasar untuk memperkuat kontrolnya atas perairan Nusantara, dan untuk menerapkan kebijakan monopolistiknya. Karena itu, setelah mendapat kesempatan, pada akhir tahun 1620an, Coen dan dewannya memutuskan pada akhirnya untuk mengirim pasukan ke Kepulauan Banda, dan kali ini secara definitif, membawa mereka pada ketentuan perdagangan Belanda. Niat ini disampaikan kepada Inggris, dan di Dewan Pertahanan yang baru, mereka ditanyakan apakah mereka, dibawah ketentuan perjanjian, akan berpartisipasi. Mereka menjawab, bahwa mereka dengan senang hati akan bergabung dalam ekspedisi, tetapi mereka kekurangan kapal dan pasukan untuk melakukannya48. Namun, bertolak belakang dengan pernyataan ini, bahkan sebelum Coen pergi [ ke Banda], mereka (Inggris) mengirim 3 kapal dan 1 fregat ke Banda. Meskipun instruksi yang digunakan untuk berlayar tidak diketahui, dapat dianggap bahwa mereka pasti tidak pergi ke sana untuk membantu Belanda; jika demikian, kemungkinan besar, mereka akan bergabung dengan pasukan Coen yang berlayar pada Januari 1621. Tampaknya, bahkan sekarang Inggris ingin tetap membuka pilihan mereka : akses ke pala dan bunga pala akan diperluas oleh inisiatif Belanda, untuk tujuan yang mereka butuhkan untuk menciptakan tampilan kerjasama, atau, dalam kasus kegagalan Belanda, mereka dapat terus menampilkan diri kepada orang Banda sebagai pihak ketiga yang independen, [yaitu] sebagai mitra alternatif. Bagaimanapun, mereka tidak bergabung dengan ekspedisi Belanda, meskipun tujuannya sekarang bisa dianggap sebagai kepentingan mereka juga. 

Ilustrasi Pembantaian di Banda (1621)

Ketika Coen tiba di Banda pada bulan Februari, dia menemukan bahwa Inggris telah membuka “gudang” di Lonthor, dan memberikan 4 senjata kepada penduduk, terlepas dari perjanjian dan kewajibannya. Dia menerima sepucuk surat dari pemimpin “gudang” Inggris di [pulau] Run, Robert Hayes, yang mengatakan bahwa akan lebih baik menunggu sampai 3 kapal Inggris tiba49, dan kemudian melihat apa yang harus dilakukan untuk kepentingan bersama; atau paling tidak menunggu sampai panen yang akan datang50. Tetapi Coen memutuskan bahwa kemungkinan partisipasi Inggris telah cukup dibicarakan di Batavia, dan menjawab bahwa dia tidak akan menunggu; jika orang Inggris ingin berbicara, sebaiknya mereka bergabung dengannya sekarang. Jelas, dia (Coen) kesal dengan “gudang” Inggris yang baru dibuka di Lonthor. Klaim Inggris di masa depan, akan lebih mudah diabaikan jika seluruh pulau dibawa ke bawah kendali Belanda secepat mungkin. Pengalihan senjata dan militer, bagaimanapun juga telah memperbesar ketidaksabarannya51. Bagaimanapun, hak dan kepemilikan Inggris di Lonthor tidak pernah diakui atau dihormati, dan kerusakan yang dilakukan pada loji Inggris tidak pernah diberi kompensasi52.

Apa yang terjadi selanjutnya pada beberapa minggu kemudian, tentunya merupakan salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah ekspansi Belanda di luar negeri53. Dalam perang berdarah, Coen dan komandannya membawa Lonthor, pulau utama, dibawah pendudukan Belanda. Diperkirakan sekitar 13.000 orang Banda tewas dalam beberapa minggu. Hanya sedikit yang berhasil melarikan diri ke Kepulauan Kei, ke Seram dan ke pulau-pulau kecil di Kepulauan Goram [Seram Timur]. Populasi kecil yang ketakutan di pulau terluar, pulau Rosingain dideportasi, dibagi-bagi di pulau-pulau utama dan kemudian disebarkan ke perkebunan pala sebagai pekerja paksa. Setelah ini, dari penduduk asli kepulauan Banda, yang tersisa dari orang-orang [pulau] Run (termasuk pengungsi dari Neira, Lonthor dan Ay), yang tidak terlibat dalam peperangan. Itu tidak berarti [pulau] Run ditinggalkan dari rencana Belanda untuk ditaklukan dan dikontrol total. Coen mendekati penduduk dan menuntut penyerahan mereka dengan syarat yang sama dengan yang diterima orang Banda sebelumnya. Mengetahui bahwa dalam pertarungan serius, Inggris tidak akan dapat melindungi mereka, mereka dengan bersemangat menerimanya, dan dengan cepat menghancurkan 9 meriam yang telah menjadi kekuatan di titik kuat pertahanan utama mereka. Setelah itu, benteng Inggris di Nailaka tetap menjadi satu-satunya tantangan bagi otoritas Belanda di kepulauan Banda54. Sementara itu, sangat jelas bagi Belanda, bahwa Inggris tidak senang dengan kemenangan “sekutu” mereka. 

Lukisan Perjanjian Breda, 31 Juli 1667

Jadi, meskipun Inggris ada di [pulau] Nailaka55, [pulau] Run sebenarnya berada dibawah kekuasaan Belanda. Akibat klaim Inggris sebelumnya, Belanda tidak berani memasukannya kedalam koloni baru mereka. Tetapi mereka tidak mengalami kesulitan untuk mengendalikannya, bahkan ketika Inggris ada56. Setelah [peristiwa] “pembantaian Amboyna” pada Februari 1623 (satu lagi titik terendah dalam hubungan Inggris – Belanda di Asia), pemimpin “gudang” Inggris, Welding, jelas meninggalkan [pulau] Run untuk mengurusi masalah Inggris di Ambon dan kembali ke Banten57. Meskipun kedua perusahaan sepakat pada tahun yang sama, bahwa Run akan tetap dibawah pengaruh Inggris, EIC pada saat itu menolak untuk mengambil alih, karena tidak memiliki sarana yang efektif untuk menduduki dan mengaturnya58. Dengan tidak adanya “pergudangan” Inggris, Belanda menduduki pulau itu untuk waktu singkat pada tahun 1625. Untuk membuatnya kurang menarik sebagai koloni, dan untuk alasan keamanan, tidak lama setelah populasinya dimusnahkan, pohon pala dihancurkan59, dan selanjutnya dibiarkan tumbuh liar. Pada awal tahun 1630an, untuk penyedian pulau-pulau lain, pohon buah-buahan ditanam dan ternak dibebaskan. Sebuah garnisun kecil yang terdiri dari sekitar 10 atau 12 serdadu menjaga pulau, terutama untuk mencegah penyelundup Makasar, atau pengungsi Banda dari Ceram Laut menggunakan pulau itu. Pada tahun 1636, kapten Randoll Jesson dari London menambatkan kapalnya, Pearl, di [pulau] Run60. Ia diterima dengan hangat oleh Gubernur Cornelis Acoleije, yang menawarkan untuk menarik garnisun keamanan dan memberikan pulau itu kepada Jesson. Tetapi dia pada gilirannya bersikeras bahwa dia hanya datang untuk mengecek [pulau] Run, dan berlayar 8 hari kemudian dengan tidak lebih dari 12 bibit dan pohon pala yang telah dikupas; Acoleij meyakinkan atasannya, bahwa ini bahkan tidak akan bertahan selama perjalanan ke Makasar61 2 tahun kemudian, pemimpin gudang Inggris, kapten John Hunter, berlayar ke Banda dengan kapal pesiar bernama St George; ia membawa serta rombongan kecil yang terdiri dari sekitar 20 pemukim62 untuk mengambil alih [pulau] Run. Hunter yang bingung itu, bertemu dengan Gub Jend Anthonio van Diemenf sendiri, yang kebetulan berada di Banda untuk mengecek kepulauan itu dalam perjalanannya untuk menghukum pemberontak di pesisir Seramg. Atas permintaan, orang Inggris itu mengeluarkan instruksi dari atasannya di London. Van Diemen menolak untuk menyerahkan [pulau] Run tanpa perintah tegas dari Kerajaan Inggris, State General, serta Direktur EIC dan VOC. Dia mengatakan, dia melakukannya karena semua perubahan yang terjadi dalam hubungan Inggris – Belanda sejak penandatanganan perjanjian pada tahun 1619, yang paling penting adalah fakta bahwa Inggris dan Spanyol telah menyelesaikan perdamaian di Asia63. Namun, jelaslah, dari apa yang dia tulis kepada atasannya di Belanda, bahwa motif utama Van Diemen adalah tekadnya untuk tidak membiarkan Inggris menggunakan [pulau] Run sebagai basis untuk mendapatkan pala dan bunga pala. Hunter dilayani dengan “manja”64, tetapi kegagalan dan politik misinya, keadaan [pulau] Run yang menyedihkan, serta pertahanan ekstensif dari koloni Banda yang berkembang, meyakinkan dirinya akan kesia-siaan dari setiapa usaha untuk menetap di Run. Maka, setelah banyak pesta makan malam seremonial, pertukaran hadiah, dan kesempatan untuk mengambil air tawar dan makanan, Hunter memutuskan untuk kembali ke Makasar. Sejak saat itu, seperti sebelumnya, Run setiap tahun dikunjungi dan dikendalikan oleh pejabat VOC. Pendudukan Inggris tidak pernah dilakukan secara efektif, dan eksploitasi selanjutnya tetap menjadi “surat mati”. Pada tahun 1666, Belanda di Banda, setelah menerima berita tentang Perang Inggris – Belanda kedua, mengirim 180 serdadu dari [pulau] Ay untuk menguasai Run. Komandan Inggris, Thomas Harrington, melihat kesia-siaan untuk mempertahankan diri, menyerahkan garnisun sebagai imbalan untuk keamanan kembali ke Banten66. Penyerahan resmi tidak diselesaikan sampai tahun 1667, ketika melalui “Perjanjian Breda”, Inggris akhirnya menyerahkan klaim mereka, dan seluruh kepulauan Banda takluk dibawah tangan Belanda67

Salah satu isi Perjanjian Breda, 1667

 

===== bersambung ==== 

Catatan Kaki

36.    Deskripsi terperinci dari hasil proses diplomatik dalam perjanjian tahun 1619, dapat ditemukan dalam G. N. Clark, The Colonial Conferences between England and the Netherlands in 1613 and 1615 (2 vols, Lugduni Batavorum, 1940-1951), volume II, kajian ini secara khusus untuk persoalan sisi legal, meskipun (dengan pengecualiaan bab 2) kurang dalam soal konten sejarah. Kesimpulan yang saya sajikan mengenai  perselisihan yang legal bersumber dari kajian ini. Untuk latar belakang secara umum, lihat Elias, Voorspel, volume I, hal 134-77.

37.     Dipublikasikan tanpa nama dalam tahun 1609, kemudian muncul dalam bagian [buku] De Jure Praedae, diselesaikan dalam tahun 1606 oleh Hugo Grotius. Lihat Clark, Colonial Conferences, volume 2, hal 33-34.

38.     Diberikan [contoh] keinginan Spanyol atas perairan Asia dan Spanyol, masalah ini tidak terselesaikan pada wakyu itu, dan sebagai hasilnya Belanda mengembangkan hal itu atas biaya Spanyol dan Portugis yang berlanjut bahkan hingga 12 tahun gencatan senjata (1609 – 1621)

39.    Sejak awal tahun 1604,  selama negosiasi sebelum aliansi dengan Spanyol, hal ini telah ditekankan di tingkat Internasional. Omong-omong, patutlah dicatat bahwa pada saat itu, Inggris telah mengungkapkan kekhawatiran mereka kepada delegasi Spanyol, bahwa hanya Belanda yang akan mendapat keuntungan dari kebijakan kaku mereka dalam hal ini

40.    Untuk dibedakan dari, misalnya, klaim-klaim penjelasan yang melarang akses ke wilayah geografis tertentu, dengan demikian secara total mengecualikan semua perdagangan laim dalam produk apa pun dari wilayah tertentu

41.      Untuk perbandingan antara kekuatan Inggris dan Belanda dari tahun 1613 hingga selanjutnya, lihat Elias, Voorspel, volume II, halaman 30-31

42.     Terutama berakhirnya Genjatan Senjata 12 tahun dengan Spanyol pada tahun 1621

43.     Untuk konten-konten ini, lihat L. van Aitzema, Saken van staet en oorlogh, in, ende omtrent de Vereenigde Nederlanden, beginnende met het jaer 1621, ende eindigende met het jaer 1669 (6 vols., 's-Gravenhage, 1669-1672), I, hal. 206-8. Juga parafrasenya dalam De Jonge, Opkomst, IV, pp. cxxiv-cxxvi, and Elias, Voorspel, II, p. 38.

44.     Jelas bahwa simpatinyasendiri ada pada pilihan terakhir. Dalam tahun 1616, ia menulis : “ melalui (surat, V.L) kami sebelumnya, Tuan-tuan akan mengerti (....) bahwa Inggris sebaiknya diusir dari Maluku dengan menggunakan kekerasan (....) karena di tempat-tempat itu mereka tidak bisa menahan diri dari tindakan melawan kepentingan Tuan-tuan yang terhormat, merugikan sekutu kita, membantu musuh kita atau secara diam-diam berkomunikasi dengan mereka”, surat kepada Direktur, tertanggal 10 Oktober 1616, lihat De Jonge, Opkomst, volume 4, hal 42-45. Setahun kemudian, setelah penyerangan terhadap loji Belanda di Banten, ia menulis : “ Saya minta maaf telah menghabiskan begitu banyak kertas untuk masalah Inggris (....), tetapi akan sampai pada situasi bahwa kita harus meninggalkan tempat ini (yaitu Banten, V.L) atau, jika kita ingin tinggal di sini, harus mendirikan garnisun, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memberitahu Tuan-tuan, berdoalah sebanyak mungkin terhadap masalah ini, atau bahkan lebih banyak peristiwa yang akan terjadi, karena tidak bisa sebaliknya, kita tak bisa berteman, jadi mari kita umumkan perang atau membiarkan kita berperang (penekanan saya/penulis, V.L), karena sangat memalukan dan pembunuhan bahwa yang satu akan membunuh yang lain, serta dibunuh, dengan dalih apa pun tanpa keadilan ditegakkan”, surat kepada Direktur tertangga; 18 Desember 1617, lihat De Jonge, Opkomst, volume 4, hal 67 – 72.

45.     Lihat, H.T. Colenbrander, W.Ph. Coolhas (editor), Jan Pieterszoon Coen. Bescheiden omtrent zijn verblif in Indie (7 volume, ‘s-Gravenhage, 1914 – 1943), volume I, hal 544 : “ Mereka (yaitu Inggris, V.L.) berhutang budi kepada Tuan-tuan, karena mereka telah dengan benar membantu diri mereka sendiri untuk keluar dari Hindia, dan sekarang Tuan-tuan telah memasukannya kembali”. Ia (Coen) mengakui bahwa hubungan baik dengan Inggris cukup penting. “ Tapi Tuan-tuan (......) terlalu terburu-buru. Dan mengapa Inggris diizinkan memiliki 1/3 cengkih, pala dan bunga pala, saya tidak dapat sepenuhnya mengerti. Mereka tidak bisa menganggap memiliki klaim atas sebutir pasir pun dari pantai-pantai di Maluku, Ambon atau Banda”. (Terjemahan saya (penulis); untuk yang lebih bebas, lihat G Masselman, Cradle of Colonialism, hal 408)

46.    Setidaknya tidak pada level tertinggi; para pelaut dan serdadu di Banten dan Jacatra, sepertinya sudah bersahabat di kedai-kedai minuman

47.     Jenis kapal asli dengan ukuran sekoci besar yang layak berlayar/melaut

48.     Lihat Elias, Voorspel, volume II, hal 39; Van der Chijs, Vestiging, hal 113

49.    Mereka mengambil jalan memutar di sepanjang pantai timur Jawa untuk membeli beras

50.    VOC 1073, folio 7/14

51.      Dan memang demikian; selama peperangan berikutnya, Belanda memang mengalami korban dari tembakan senjata yang diberikan oleh Inggris; lihat VOC 1073, folio 7/14

52.     Tiga “penasehat” Inggris di Lonthor kembali ke Run, dengan 150 sokkel (wadah dari rotan yang bisa memuat 20-25 cati) pala dan 20 bahar kacang-kacangan; lihat VOC 1073, folio 7/14

53.     Episode ini, dan nasib menyedihkan penduduk Banda, digambarkan dengan baik dalam Van der Chijs, Vestiging, halaman 120 – 168. Untuk kontribusi yang sinifikan tentang sifat penaklukan dan latar belaknagnya, lihat L Kiers, Coen op Banda. De conqueste getoetst aan het regt van den tijd (Utrecht, 1943)

54.     Meski begitu, mereka tidak malu mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya benteng yang dimiliki oleh Raja Inggris di Hindia”, cibir Coen. Lihat VOC 1073, folio 7/14

55.     Omong-omong, hanya bertahan sampai kira-kira setahun kemudian; di tahun 1621, Inggris membongkar pertahanan mereka dan menyiskan hanya batu karang.

56.    Lihat misalnya, VOC 1076, folio 171/180. Pada Mei 1622, Inggris menduduki Run lagi, dan membiarkan penduduk menandatangani suatu kontrak, dimana mereka menyerahkan kedaulatan atas pulau mereka. Ini tidak banyak menguntungkan mereka. Perdagangan di Run telah dihentikan oleh Belanda ketika mereka mengetahui bahwa beras dan kain yang telah diserahkan oleh VOC untuk kenyamanan pejabat EIC dibawah kewajiban perjanjian, dijual kepada pedagang bebas dan penduduk Banda, untuk menyelesaikan masalah uang tunai. Sejak saat itu, semua penduduk Run terpaksa mengandalkan [pulau] Ay untuk membeli makanan dan perbekalan.

57.     Karena kurangnya transportasi, ia (Welding) harus menyewa kapal kecil milik Belanda untuk sampai ke sana. Sampai akhir masa tinggalnya di Banda, hubungannya dengan pihak otoritas Belanda tetap terganggu : karena sangat marah, Gubernur De Bruijne tidak mengizinkannya untuk mengibarkan bendera Inggris di kapal ini. Lihat VOC 1080, surat tertanggal 16 Mei 1623

58.     Lihat Elias, Voorspel, volume II, hal 44

59.    Sejauh yang bisa dicapai, bibit terus tumbuh dan kontrol rutin tetap diperlukan. Belanda juga mengupas kulit pohon yang sudah dewasa untuk menekan proses perkembangannya, suatu cara yang lebih sederhana daripada harus menebangnya

60.    Lihat VOC 1121, halaman 848 – 82, dan hal 883 – 911

61.     Lihat VOC 1121, halaman 848 – 82

62.    Diantara mereka ada beberapa orang Makasar, 1 orang Banda, 2 orang China dengan 5 atau 6 wanita, serta 4 orang Inggrus; mereka telah membawa perbekalan untuk bertahan setidaknya selama setahun

63.    Dan bukan tanpa alasan, karena ini menyiratkan kapal-kapal Inggris dan Spanyol di Asia dengan segera diizinkan untuk mengunjungi wilayah-wilayah pendudukan dan pelabuhan-pelabuhan lain. Kemungkinan kapal Spanyol berlabuh di beranda pulau Run, tentu saja tidak dapat diterima oleh Belanda

64.     Ia dibawa dalam perjalanan dengan pemandu, termasuk makan siang, di sekitar pulau Run oleh Van Diemen sendiri; di hari-hari berikutnya, dia diterima di pulau Ay, Neira dan Lonthor, dimana dia diajak keliling sambil mendayung mengelilingi pulau dengan perahu, dan ditunjukan perkebunan dan benteng selama perjalanan. Belanda tampaknya memastikan bahwa dia mendapat kesan yang baik tentang kekayaan pulau-pulau itu dan kekuatan pertahanan laut dan militer yang mengesankan. Di mana-mana, dia disuguhi makan malam dan minuman untuk kejayaan Raja Inggris, banyak bubuk mesiu pasti telah digunakan untuk memberi penghormatan yang ditembakan secara demonstratif oleh semua senjata di kapal dan benteng.

65.    Van Diemen menerima pedang kecil bertepi perak dan sedikit teh; sebagai imbalannya, ia memberi Hunter 60 kannen Perancis dan anggur Spanyol (beberapa liter), sekaleng mentega dan (agak angkuh ) dengan 15 cati bunga pala serta sekotak kecil rotan berisi kacang-kacangan

66.    Lihat VOC 1257, hal 358 dan 359/362

67.    Sebenarnya, Belanda menganggap itu merupakan tawaran yang baik, karena mereka berhasil mendapatkan [pulau] Run, dan jalur pantai Guyana yang sekarang disebut Suriname, sebagai ganti wilayah pendudukan Belanda bernama Nieuw Amsterdam, yang sekarang lebih dikenal sebagai [kota] New York [di Amerika Serikat].  

Catatan Tambahan

a.        Sir Noel de Caron (ca. 1530 – 1624) adalah seorang diplomat kelahiran Flanders, mungkin putra dari Jacques Caron van Schonewalle.

§  Lihat, A.J. van der Aa, Biographisch Woordenboek der Nederlanden, volume 3,  J.J. van Brederode, Haarlem, 1858, hal 194 - 195

b.       Hugo Grotius (1583 – 1645) lahir di Delft pada tahun 1583, dan meninggal pada 28 Agustus 1645. Ayahnya bernama Jan de Groot. Hugo Grotius menikah dengan Maria van Reigersbergh, pada bulan September 1608.

§  Lihat Martine Julia van Itersum, Profit and Principle : Hugo Grotius, Natural Rights Theories and The Rise of Dutch Power in the East Indies (1595 – 1615), Brill, Leiden-Boston, 2006, hal xxiv - xxv

c.        Selain Hugo Grotius, delegasi Belanda yang pergi ke London tahun 1613 adalah Reyner Pauw, Jacob Boreel dan Dirck Meerman

§  Lihat Martine Julia van Itersum, Profit and Principle : Hugo Grotius, Natural Rights Theories and The Rise of Dutch Power in the East Indies (1595 – 1615), Brill, Leiden-Boston, 2006, hal 375

d.       Para diplomat Inggris atau delegasi Inggris terdiri dari Sir Thomas Symthe, William Greenwell, Roberth Middleton, Roberth Bell (mewakili EIC), Sir Daniel Dunn dan Sir Christopher Parkins (doktor hukum sipil), dan  Sir Clement Edmonder (Sekretaris Privy Council).

§  Lihat Martine Julia van Itersum Profit and Principle : Hugo Grotius, Natural Rights Theories and The Rise of Dutch Power in the East Indies (1595 – 1615), Brill, Leiden-Boston, 2006, hal 376

e.        Cornelis Acoleij menjadi Gubernur van Banda pada periode 1635 – 1642. Ia meninggal di Banda pada 29 November 1643.

f.         Anthonio van Diemen menjadi Gub Jend VOC sejak 1 Januari 1636 – 19 April 1645

g.        Aksi Gub Jend Van Diemen dalam upaya menghukum pemberontak di pesisir Seram (seperti yang ditulis oleh penulis), dikaji oleh Sejarahwan Gerrit J Knaap dalam salah satu artikelnya.

                 Lihat Gerrit J Knaap, The Governor-General and the Sultan: An Attempt to Restructure a divided Amboina in 1638 (dimuat pada Jurnal Itinerario, volume 29, issue 1, terbitan Maret 2005 pada halaman 79 – 100), khusus hal 79 (dalam konteks Van Diemen di Banda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar