Kamis, 11 Maret 2021

Suatu Pertunjukan Kompeni : [Lukisan] Pulau Ambon (thn 1617) dalam Lanskap Sosial – Politik VOC (bag 1)


Oleh

Stephanie Glickman

[University of Vermont & Northwestern University]

  

  1. Kata Pengantar

Artikel sepanjang 29 halaman ini ditulis oleh Stephanie Glickman, seorang dosen sejarah seni di Universitas Vermont., dan dimuat pada Journal of Historians of Netherlands Arts, volume 10, isu 1, tahun 2018. Pada artikel ini, Glickman mengkaji tentang lukisan-lukisan, peta-peta dan objek-objek lain yang dibuat atas perintah VOC sebagai bentuk dari representasi kekuasaan mereka pada wilayah-wilayah jajahan, serta pembentukan citra VOC di Belanda, juga melegitimasi semua operasi-operasi VOC.

Salah satu lukisan yang dikaji oleh Glickman adalah lukisan Gezicht op Ambon atau lukisan pulau Ambon yang dibuat pada tahun 1617. Ada semacam “sejarah gelap” yang menyertai lukisan ini, yaitu pertentangan tentang figur penting yang muncul dalam lukisan peta tersebut. Steven van der Haghen yang merasa lebih “berhak” untuk dimasukan dalam peta itu, faktanya disingkirkan. VOC lebih “memilih” Frederik de Houtman, yang merupakan Gubernur pertama Ambon, yang ironisnya, diangkat atau ditunjuk sendiri oleh Van der Haghen.

Melalui artikel penting ini, kita bisa memahami dalam konteks yang lebih “lokal” tentang sejarah peta-peta wilayah Maluku. Bahwa peta-peta awal yang dibuat oleh VOC pastilah mengandung beberapa kekeliruan, yang merupakan produk terbatas dari orang asing. Namun seiring waktu, peta-peta tersebut semakin baik dan menuju kesempurnaan. Dari sini, kita bisa memahami mengapa pada peta-peta awal tersebut, beberapa nama negeri/desa pada misalnya peta Pulau Ambon, atau pulau Saparua, tidak tercantum. Hal ini bukan berarti bahwa nama negeri itu tidak ada atau mereka secara sengaja dihilangkan, tapi karena keterbatasan “geografis” orang asing itu.

Artikel asli yang ditulis oleh Glickman ini terdiri dari 22 halaman kajian,  65 catatan kaki (5 halaman) dan bibliografi (2 halaman), serta 17 gambar. Pada artikel yang kami terjemahkan ini, jika ada catatan yang perlu untuk ditambahkan maka akan ditambahkan, serta membaginya menjadi 3 bagian

Akhir kata, selamat membaca, selamat memahami sejarah awal yang turut membentuk kita di masa kini

  1. Terjemahan

            Pada tahun 1617, para Direktur Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) memesan lukisan minyak berukuran besar, yang sekarang dikenal sebagai Gezicht op Ambon [Pemandangan Pulau Ambon], untuk aula umum di markas besar mereka di Amsterdam, markas VOC (gbr 1). Selama hampir 2 abad (1602 – 1800), aktivitas-aktivitas komersial, militer dan diplomatik VOC, suatu perusahaan perdagangan global saham gabungan pertama di dunia, menghasilkan akses ke komoditas-komoditas mewah bangsa Asia secara berkelimpahan. Perdagangan bangsa Belanda terhadap misalnya harta karun, seperti porselin dan sutra China, pernis Jepang, lada India, dan cengkih Ambon, menopang dan memicu kepentingan bangsa Eropa dalam segala hal eksotika.

                [Lukisan] Gezicht op Ambon menawarkan kepada para Direktur VOC yang bermarkas di Amsterdam, suatu pandangan luas, pandangan mata tentang wilayah komersial, yang baru ditaklukan.  Ambon, salah satu dari ratusan pulau yang disebut kepulauan rempah-rempah di Pasifik selatan, ditunjukan dari atas dalam lukisan itu, meluas hingga proporsi yang monumental dan disajikan dengan akurasi kartografi yang luar biasa. Selama lebih dari 1 abad, lukisan ini sangat menonjol terpampang di samping perapian di aula umum markas VOC di Amsterdam, yang memperingati kemenangan VOC tahun 1605 atas Portugis di Ambon, dan akuisisi teritorial besar pertama di luar negeri1.

                Gezicht op Ambon (atau View of Ambon) adalah lukisan pemesanan VOC yang paling awal tersimpan. Produksi dan awal penerimaannya terdokumentasi dengan sangat baik dan luar biasa di kearsipan VOC di Den Haag. Suatu komisi menugaskan Frederick de Houtman (1571 – 1627), bekas Gubernur VOC Ambon, untuk memesan “peta yang terampil“ (eene bequame karte), terdiri dari pulau, benteng dan desa-desa, dengan skala sempurna dan pedoman arah”. Pekerjaan ini memberi perhatian penting pada hak estetika dan nilai para Direktur VOC, yang dianggap sebagai representasi VOC yang otentik, akurat, dan “sempurna” dari seluruh operasinya di seberang laut2. Terotorisasi dan terotentifikasi oleh Houtman, seorang pembuat peta yang gemar pada lautan dan bintang belahan bumi selatan, serta pegawai kompeni yang setia, [lukisan] Gezicht op Ambon juga memberikan kesaksian tentang peran yang sangat diperlukan yang dimainkan oleh para pejabat VOC dalam membentuk citra publik, tentang tata tertib dan tata kelola kompeni (perusahaan) di luar negeri sejak awal. 

Lukisan Gezicht op Ambon sangat terperinci, dengan objek-objek gambar yang mencolok. Dalam lukisan itu, pos dagang Portugis yang ditaklukan [yaitu] Fort Victoria dengan tegas menempati bagian tengah komposisi. Garis-garis pantai yang pasti mengundang para pemirsa untuk menelusuri dengan pelan dan metodis, di sekitar lansekap pulau Ambon, sang penghasil cengkih. Detail tentang flora, fauna dan perbentengan di Ambon, disajikan dalam bingkai perspektif, berfokus pada lanskap dan ruang dari gambar yang diwakili. Yang jelas tidak ada, adalah detail konflik Belanda yang sensasional dengan para pedagang Portugis atau penduduk pribumi. Malahan, inkripsi kaligrafi yang sangat kecil, yang mengidentifikasi pemerintahan lokal yang VOC telah atau belum mencapai perjanjian perdagangan yang diinginkan, membuat pemirsa melihat lebih dekat pada permukaan lukisan tersebut. Pemirsa didorong untuk secara adil “membaca” lukisan seperti benda itu adalah dokumen resmi VOC (gbr 2)

Sementara galai-galai dan kapal lainya digambarkan di perairan Ambon yang bergelombang, sebuah cartouche yang berbentuk seperti medali membingkai sisipan potret Gubernur de Houtman di sudut kanan bawah, bersebelahan dengan gambaran ikan todak tepat di sebelah kanan (gbr 3). Potret itu jelas bersumber dari potret ¾ diri de Houtman sendiri, sekembalinya dari Hindia Timur (gbr 4)3. Lukisan potret menunjukan de Houtman mengenakan rantai emas yang diberikan oleh VOC kepadanya, dengan bola dunia di sikunya. Hal ini secara efektif  menyampaikan tentang pengetahuan de Houtman soal dunia dan posisi komandonya dalam perdagangan global. Kehadiran potret sisipan di lukisan Gezicht op Ambon, tampaknya memuji de Houtman dengan kemahiran peta dan otoritas administratif di pulau tersebut. 

Menggabungkan potret dengan orientasi kartografi dan perspektif serta inkripsi penjelasan, Gezicht op Ambon adalah citra wilayah baru kompeni yang komphrensif, memerintah dan dengan jelas bersifat korporat. Lukisan ini adalah gambar yang sangat berlapis-lapis, yang membangkitkan proses para kartografer Belanda modern awal dalam mensintesis berbagai sumber bahan yang beragam untuk menghasilkan peta tunggal, andal dan “terampil”4. Tidak terikat pada sesuatu, sudut pandang subjektif tunggal, Gezicht op Ambon sekilas tampak memberikan pandangan objektif tentang kondisi di pulau itu. Namun, dengan menawarkan kepada pemirsa suatu tempat yang menguntungkan untuk dihuni di dunia nyata, Gezicht op Ambon berasal dari reportase dokumenter yang netral dan menggambarkan operasi-operasi VOC dari jarak konseptual yang cukup jauh. Dilihat dalam perspektif sejarah, apa yang paling mencolok tentang Gezicht op Ambon adalah sejauh mana retorika visual yang seadanya dan objektif berfungsi baik untuk menandakan stabilitas di luar negeri, dan untuk menstabilkan serta mendukung atmosfer sosial dan profesional yang mengelilingi para Direktur dan para pejabat VOC di markasnya di Republik Belanda. 

Kajian ini mengacu pada penelitian oleh Kees Zandvliet, Elizabeth Sutton, Christi M. Klinkert, dan lainnya, tentang potensi propaganda dari cetakan dan lukisan-lukisan kartografi Belanda abad ke-175. Kajian ini mengeksplorasi apa, yang dalam konteks kekuasaan dan politik VOC pada masa itu, suatu komposisi hibrida besar ini menyembunyikan dan mengungkapkan tentang wilayah VOC di Ambon dan administrasinya. Menggunakan lukisan Gezicht op Ambon sebagai titik awalnya, kajian ini menyelidiki lanskap sosio-politik yang kontroversial, yang mengarahkan para Direktur VOC untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap citra publik kompeni sekitar waktu pembuatan lukisan. Ini mengartikulasikan bagaimana model-model gambar representasi diri VOC yang tertib dan “nyata”, pada faktanya, “dibuat menurut pesanan”

[Lukisan] Gezicht op Ambon patuh oleh konvensi kartografi, perspektif, potret, yang kesemuanya telah lama dihargai karena memberikan penyajian yang benar dan dapat dipercayai dari subjeknya. Dengan melakukan hal demikian, Gezicht op Ambon menjanjikan pandangan otoritatif atas perintah administratif VOC di luar negeri. Ini adalah pandangan yang akan memerintahkan dan membentuk persepsi pemirsa tentang perusahaan VOC. Tergantung di samping perapian aula umum di markas VOC di Amsterdam hingga akhir abad ke-18, lukisan Gezicht op Ambon, bagaimanapun juga, tunduk pada tekanan dari lanskap sosio-politik, dimana lukisan itu berada. Sumber arsip mengungkapkan bahwa lukisan yang dibuat berdasarkan pesanan itu, memunculkan perdebatan – bahkan kekacauan – di dalam dinding-dinding kantor pusat VOC di Amsterdam6.  Laksamana VOC, Steven van der Haghen (1563 – 1621), yang armada pasukannya menaklukan Ambon pada tahun 1605, sangat marah dengan dimasukannya potret de Houtman dalam lukisan itu, dan, pada tahun 1620, menuntut keterwakilan yang sebanding dalam lukisan kompeni – dan dalam sejarah kompeni7.  Banyak perdebatan yang terdokumentasi tentang penggambaran lukisan yang timpang dari fakta-fakta sejarah, mengungkapkan kesadaran yang kuat akan peran seni yang sangat diperlukan dalam pembentukan citra diri perusahaan dan individu, serta mengungkapkan sejauh mana “peta terampil” ini adalah”dibuat berdasarkan pesanan” opini publik.  

Kantor Pusat VOC di Amsterdam

                Pada saat pemasangan lukisan Gezicht op Ambon (thn 1617), kantor pusat VOC Amsterdam adalah markas administrasi untuk “kamar” VOC Amsterdam. Mulai bulan April 1603, “kamar” Amsterdam menyewa gudang senjata yang mengesankan di Kloveniersburgwal di kota Amsterdam sebagai markas operasi, lokasi lelang dan tempat pertemuan untuk diskusi tentang kebijakan perdagangan di Hindia Timur8. Dibangun pada pertengahan abad ke-16, dan sebelumnya ditempati oleh salah satu lembaga sipil penjaga kota, Klovenierdoelen, gudang senjata menjalani serangkaian penambahan dan renovasi yang ekstensif agar sesuai dengan identitas dan fungsinya yang baru sebagai kantor pusat VOC. Khususnya, penambahan sisi sayap baru pada tahun 1606, mungkin dirancang oleh arsitek kota yang ternama, Hendrick de Keyser, membuat banyak kantor dan ruang pertemuan untuk dewan Direktur (Bewindhebbers)9

Dewan Direksi, kelompok elit pemegang saham VOC, bertemu 2 atau 3 kali setiap minggu di aula besar kantor itu, dimana lukisan Gezicht op Ambon digantung10. Etsa aula umum dari perancang dan juru percetakan Belanda, Simon Fokke pada tahun 1768, adalah satu-satunya cetakan yang diketahui menunjukan dekorasi interior modern awal dari aula umum itu, menyajikan perabotannya dan lingkungan sosial yang mewah dan profesional yang istimewa dari para Direktur (gbr 5). Para Direktur yang terhormat tidak hanya memutuskan masalah-masalah komersial, militer, dan diplomatik yang vital, tetapi juga membahas aspek-aspek estetika yang membentuk citra publik VOC, dimana catatan tentang pemesanan lukisan Gezicht op Ambon menjadi salah satu buktinya.

Meskipun urusan “kamar” Amsterdam sebagian besar dilakukan oleh sekelompok direktur eksklusif di balik pintu tertutup, kantor pusat VOC adalah landmark sipil dan objek wisata yang sangat menonjol sejak awal abad ke-17. Pada tahun yang sama, ketika “kamar” Amsterdam pertama kali menyewa gedung (thn 1603), tembok-tembok kota tua di sampingnya dihancurkan, menyisakan akses kanal yang cukup untuk kapal-kapal kecil, dan untuk kegiatan bongkar muat komoditas global yang berjalan dalam pandangan publik11.  Sebuah cetakan potret eksterior kantor pusat VOC pada pertengahan abad ke-17 memberikan kesan skala monumental dari bangunan dan operasi-operasi komersial perusahaan, memperlihatkan beberapa kapal yang ditambatkan di sisi bangunan (gbr 6). Kereta kuda dan gerobak yang ditarik manusia, bungkusan berat yang hilir mudik, di “kecilkan” oleh bagian muka bangunan yang megah dan kuat. 

Dengan ruang bawah tanah dan loteng luas yang baru dibangun, kantor pusat VOC adalah tempat penyimpanan utama untuk komoditas VOC yang paling berharga. Ruang itu menjadi sesak dengan tekstil-tekstil mahal dan rempah-rempah yang harum, sampai gudang yang lebih besar dibangun di tempat lain di kota itu12.  Menariknya, deskripsi singkat tahun 1701 tentang Amsterdam yang sering disebut sebagai “gudang dunia, pusat kemewahan, [dan] berkumpulnya kekayaan” beresonansi dengan banyak laporan yang diterbitkan sebelumnya tentang pemandangan dan bau-bauan di dalam dan di sekitar kantor pusat VOC di kota itu13. Setelah mengunjungi semua “keajaiban” Amsterdam pada tahun 1617, tahun pemesanan lukisan Gezicht op Ambon, penulis dan pelancong Perancis, Pierre Bergeron, mencatat tentang kantor pusat VOC, yang aula panjangnya “penuh dengan rempah-rempah, lada, jahe, cengkih, pala, bunga pala, kayu manis dan lain-lain”, bahwa kota itu memiliki semua “kemegahan, kekayaan, dan keajaibannya”14.

Dekorasi megah interior kantor pusat VOC menarik perhatian dan menggerakan pena para pengunjung awal abad ke-17. Lukisan-lukisan yang menggambarkan tanah-tanah dan tempat “baru” di Asia (“nieuwe ghestaltenissen en overzeeche ghestichten”), termasuk pengadilan kekaisaran China (“het hof des Conincx van China”), menghiasi dinding aula besarnya sejak tahun 1611. Hal ini kita ketahui dari berjilid-jilid sejarah Amsterdam abad ke-17, Rerum et Urbis Amstelodamensium Historia, karangan Johannes Isacius Pontanus (edisi Latin 1611;  edisi terjemahan Belanda 1614)15. Sejarah Amsterdam karangan Pontanus adalah luar biasa karena dimasukannya 1 bab yang dikhususkan hanya untuk [membicarakan] markas VOC dan kegiatannya. Bab ini terletak di dalam bagian yang dikhususkan untuk monumen kebanggaan kota lainnya, dan, khususnya, untuk lokus kota untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi, termasuk panti asuhannya, Rasphuys dan Spinhuys (masing-masing lembaga untuk laki-laki dan perempuan), dan Waegh (Rumah penimbangan). Kehadiran markas VOC di bagian ini tidak hanya mengungkapkan bagaimana kebanggan sipil dan kompeni terlibat jauh pada masa itu, tetapi juga bagaimana kompeni dan perdagangannya dihargai, karena berkontribusi terhadap kesejahteraan umum kota Amsterdam. 

Sampul muka (cover) dari Rerum et Urbis Amstelodamensium Historia menggemakan tema-tema ini, menggambarkan gerbang masuk dari apa yang disebut Hindia di panggung masyarakat Amsterdam (gbr 7). Pada gambar sampul itu, tong-tong dan buntalan barang dagangan terletak di kaki alas tumpuan gambar daftar yang mendukung lambang heraldik tradisional [kota] Amsterdam : roda penggerak gigi, 3 salib Santo Andrew, dan makhota kekaisaran Maximilian I. Lambang tradisional secara mencolok disertai dengan instrumen menyilang dan kuadran – instrumen penting dari navigasi seberang laut Belanda modern awal. Muncul dari kegelapan, di sisi kiri dan kanan komposisi, menggenaralisasi figur “Hindia” dan “Eskimo” yang mempersonifikasikan alam di ujung utara dan timur yang hanya dimiliki oleh armada Belanda, hanya untuk berusaha mengintip keagungan Amsterdam. Sampul depan memberikan kesaksian akan kemunculan kompeni perdagangan global Amsterdam, yang pada waktu itu berpusat di tempat yang lebih mencolok daripada di markas VOC. 

Administrasi Representasi VOC

                Lukisan-lukisan yang dipasang di aula umum pasti mengesankan para pengunjung ke markas VOC  sejak awal. Menariknya, Pangeran Johan Ernst dari Saxony, yang mengunjungi aula tersebut pada tahun 1614, dilaporkan tidak terkesan oleh banyak lukisan yang ia lihat. Seleranya lebih kepada grafik/peta/bagan laut milik aula besar itu, dimana “navigasi Asia dengan semua angin dan pelabuhan digambarkan, digambar indah di atas perkamen dengan pena dan sebagian dicat”16. Peta laut dan artefak kartografi lainnya menempati ruang dinding yang cukup besar di aula besar dan dianggap mencolok sebagi lukisan lanskap Asia dalam retorika visual promosi diri VOC. Seperti yang dijelaskan sejarahwan Kees Zandvliet dalam studi seminalnya tentang kartografi Belanda modern awal dan perusahaan perdagangan global Belanda, peta yang dicat dan dicetak menghiasi “teater geopolitik” ruang Dewan VOC, mengaburkan batas antara kartografi dan seni. Objek itu tidak hanya memfasilitasi pengambilan keputusan Direktur VOC, tetapi juga estetika dan merayakan operasi perusahaan di luar negeri, acara peringatan dan mengesankan pengunjung-pengunjung terhormat17.

                Mengingat popularitas markas VOC di antara para pejabat asing, perlu dipertimbangkan bagaimana peta-peta dan grafik-grafik pusat perdagangan Asia dipamerkan sebagai perpanjangan atau proyeksi rasa kepemilikan bangsa Eropa atas Hindia Timur. Perspektif berlapis-lapis yang ditawarkan oleh karya-karya kartografi, termasuk [lukisan] Gezicht op Ambon, dapat memposisikan pemirsa Eropa di ruang eksotis Hindia Timur, seraya secara bersamaan memegang ruang itu di kejauhan, sebagai objek pertimbangan rasional pemirsa dan “kepemilikan kognitif”18. [Lukisan] Gezicht op Ambon, tentu dimaksudkan untuk memperkuat skema dekoratif yang sudah mapan, yang mengistimewakan deskripsi kartografi sebagai cara untuk mewakili dan merasionalisasi operasi-operasi VOC.

                Keputusan-keputusan administratif para Direktur VOC, pada sekitar tahun 1617, mengenai produksi peta-peta dan peta-peta laut secara langsung  ditanggung oleh komisi dan penggambaran kartografi Gezicht op Ambon pada tahun yang sama. Pada saat itu, para Direktur di markas VOC di Amsterdam mengawasi tidak hanya operasi komersial dan keuangan VOC yang penting, tetapi juga menetapkan peraturan yang mengatur pencatatan dan pelaporan informasi geografis oleh para pegawai VOC di luar negeri. VOC secara alami prihatin sejak awal dengan mengumpulkan dan menyusun informasi geografis untuk keperluas naavigasi, praktis, dan taktis, mempekerjakan banyak kartografer dan surveyor di dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1604 – 1605, perusahaan mengirimkan nakhoda-nakhoda kapal dengan lembaran kertas yaang membaw garis kompas yang telah ditentukan sebelumnya, memfasilitasi produksi pengetahuan kartografi yang dapat dikoleksi dari laut selatan dan garis pantai. Faktanya, pantai-pantai yang kurang dikenal digambarkan di kertas-kertas milik VOC selama perjalanan armada VOC yanng dipimpin oleh saingan de Houtman, yaitu Steven van der Haghen, pada tahun 1604 – 160519.

                Tahun 1610 menyaksikan peningkatan kekhawatiran tentang mode representasi kartografi VOC dan regulasi mereka. Pada bulan Januari 1614, akuntan jendral VOC dan kemudian Gub Jend VOC paling terkenal, Jan Pieterszoon Coen menulis permohonan kepada Direksi VOC untuk produksi dan verifikasi “padron real” : peta berskala besar dan penuh/lengkap dari zona perdagangan piagam VOC (octrooigebied). Jelas Coen iri dan berusaha meniru produksi kartografi yang diatur dari perusahaan dagang luar negeri yang disponsori oleh Portugis, yang telah berjalan dengan baik pada awal abad ke-1620. Dokumen-dokumen seperti itu dapat membantu mengorganisir dan mengimplementasikan rencana Coen untuk mengamankan dan mempertahankan monopoli cengkih di Maluku dan monopoli pala di Banda, melalui diplomasi atau, dalam beberapa kasus, melalui tindakan kekerasan21

Steven van der Haghen

Zandvliet mengidentifikasi dari tahun 1614 hingga 1619 sebagai tahun-tahun paling penting dalam pengembangan agensi pembuatan peta VOC di Amssterdam. Pada tahun-tahun ini, perusahaan mengeluarkan beberapa peraturan tentang pengumpulan dan penyebaran informasi geografis. Para nakhoda luar negeri diperintahkan untuk melakukan “pengamatan sempurna” dan mengumpulkan pengetahuan geografis setiap hari, untuk memajukan tujuan perusahaan dari kontrol militer dan komersial di Asia. Kontrak kerja yang baru disusun pada bulan Agustus 1616 mencerminkan sikap kepemilikan direksi terhadap representasi tekstual, gambar, dan kartografi dari informasi geografis. Pasal 121 dan 122 menuntut agar semua dokumen pegawai di luar negeri diserahkan kepada para direktur di Belanda. Dalam revisi kontrak kerja per Desember 1616, pasal 39 memerintahkan para pegawai perusahaan untuk menyimpan buku catatan perjalanan mereka, untuk meninggalkan salinan pengamatan mereka di Banten, Jawa (titik pertemuan VOC), dan menyerahkan buku catatan asli mereka setelah kembali ke Belanda, tanpa terkecuali22. 

Selain memesan lukisan Gezicht op Ambon pada tahun 1617, para Direktur VOC menunjuk Hessel Gerritsz, seorang pembuat peta dan seorang investor (600 gulden) dari kamar Amsterdam, sebagai kartografer resmi pertama Voc pada tahun itu23. Kepada Gerritsz – lah, semuaa jurnal, peta, dan gambar pegawai VOC di luar negeri akan dikirim, sehingga Gerritsz dapat menyusun dan memperbaiki peta dan gravis navigasi dan administrasi di wilayah-wilayah operasi VOC. Pada tahun 1619, VOC memperoleh kontrol lebih lanjut atas representasi informasi geografis, ketika menerima hak istimewa eksklusif dari states general untuk produksi dan reproduksi peta dan deskripsi wilayah operasinya. Tidak ada peta atau deskripsi yang diizinkan untuk dipublikasikan atau disalin tanpa izin tertulis dari Direktur VOC. Siapa pun yang melanggar aturan ini, membayar denda sebesar 6.000 gulden24. Jelas, upaya VOC untuk mengendalikan dan merahasiakan informasi yang dikumpulkan menggemakan kembali tentang kebijakan para pedagang Portugis, yang keberhasilan komersial awalnya bergantung pada kerahasiaan dan “monopoli informasi logistik dan navigasi” yang berkaitan dengan rute-rute perdagangan maritim wilayah bumi selatan25.

==== bersambung ====

Catatan Kaki

1.          Kees Zandvliet, The Dutch Encounter with Asia, 1600–1950 (Amsterdam: Rijksmuseum/Zwolle: Waanders, 2002), 178. In 2013, after a decade-long renovation, Amsterdam’s Rijksmuseum reopened and re-presented to its visitors a trove of Golden Age treasures long hidden from view in the museum’s vaults, including View of Ambon. At the time of writing, the painting was hung high above a doorway in Room 2.9, commanding for itself a view of visual documents and archaeological remains representing the power and control wielded worldwide by Dutch global trading companies in the seventeenth century.

2.         This partial translation of the commission is given in Kees Zandvliet, Mapping for Money: Maps, Plans and Topographic Paintings and Teir Role in Dutch Overseas Expansion during the 16th and 17th Centuries (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 1998), 241. For the commission, see ARA VOC 228, Resolutions, February 16, 1617, as cited in Zandvliet, Mapping for Money, 241, 296n79. The original text of the commission reads: “d’Eijland, fort, ende dorpen in eene bequame karte te doen stellen, met perfecte aenteikeninge van compass ende mate” (the island, fort, and villages [shall] be represented in a skillful map, with perfect notations of compass and scale). This translation is my own. See below, notes 35 and 44.

3.         It is also possible that the inset portrait is based on an as yet unknown print.

4.         Quoted from the commission of the painting, ARA VOC 228, Resolutions, February 16, 1617, as cited in Zandvliet, Mapping for Money, 241, 296n79.

5.        This essay engages with recent cartographic and art historical studies that provide a wide view of the subject of early modern Dutch cartography in relation to politics and global trade. These studies include Zandvliet’s Mapping for Money (1998) and Elizabeth Sutton’s Capitalism and Cartography in the Dutch Golden Age (Chicago: University of Chicago Press, 2015), https://doi. org/10.7208/chicago/9780226254814.001.0001. The latter publication explores the cartographic production of the Dutch West India Company (WIC). Relatedly, Christi M. Klinkert’s Nassau in het Nieuws: Nieuwsprenten van Maurits van Nassaus militaire ondernemingen uit de periode 1590–1600 (Zutphen: Walburg Pers, 2005) explores the propagandistic potential of newsprints, including maps, concerning Dutch military enterprises under Prince Maurits of Orange (1567– 1625).

6.         Zandvliet, The Dutch Encounter with Asia, 178.

7.         Van der Haghen’s protest and lack of representation by the VOC are discussed in numerous entries in Arnoldus Buchelius, “VOC-Dagboek 1619–1639,” transcribed by Kees Smit (2011), Nationaal Archief, accessed July 15, 2016, http://www.gahetna.nl/sites/default/fles/bijlagen/ transcriptie_voc-dagboek_buchelius.pdf.

8.         Willeke Jeeninga, Het Oostindisch Huis en het Sint Jorishof te Amsterdam, trans. Beverly Jackson as Te East Indies House and St. Jorishof (Zwolle: Waanders, 1995), 16. For additional thorough discussion of Amsterdam’s Dutch East India House, see Roelof van Gelder and Lodewijk Wagenaar, Sporen van de Compagnie: De VOC in Nederland (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 1988), esp. 17–18 and 64–67.

9.         Jeeninga, Het Oostindisch Huis, 16, 18.

10.       Jeeninga, Het Oostindisch Huis, 13–14.

11.        Jeeninga, Het Oostindisch Huis, 6.

12.        Jeeninga, Het Oostindisch Huis, 16.

13.        Originally from the anonymously authored Le Guide d’Amsterdam (Amsterdam, 1701) and cited, for example, in Sheilagh Ogilvie, Institutions and European Trade: Merchant Guilds, 1000– 1800 (New York: Cambridge University Press, 2011), 32, https://doi.org/10.1017/ CBO9780511974410; Jan de Vries and Ad van der Woude, The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815(Cambridge and New York: Cambridge University Press, 1997), 407–8, https://doi.org/10.1017/CBO9780511666841; and Fernand
Braudel, The Perspective of the World, trans. Sian Reynolds, vol. 3, Civilization and Capitalism: 15th–18th Century (New York: Harper Collins Publishers, 1979), 153.

14.       Pierre Bergeron, as cited and translated in Grégoire Holtz, “The Model of the VOC in Seventeenth-Century France (Hugo Grotius and Pierre Bergeron),” in The Dutch Trading Companies as Knowledge Networks, eds. Siegfried Huigen, Jan L. de Jong, and Elmer Kolfn (Leiden and Boston: Brill, 2010), 331–32, https://doi.org/10.1163/ej.9789004186590.i-448.96. Considerable recent art historical scholarship is reevaluating the relationship between early modern Dutch art and the conspicuous visibility of global trading activities in Amsterdam, including, particularly, Julie Berger Hochstrasser, Still Life and Trade in the Dutch Golden Age (New Haven and London: Yale University Press, 2007), and Claudia Swan, “Lost in Translation: Exoticism in Early Modern Holland,” in Art in Iran and Europe in the 17th Century: Exchange and Reception, ed. Axel Langer (Zurich: Museum Rietberg, 2013), 100–16.

15.        Citations are from the Dutch edition of Johannes Isacius Pontanus, Historische Beschrijvinghe der seer wijt beroemde Coop-stadt Amsterdam . . . , trans. Petrus Montanus (Amsterdam: Jodocus Hondius, 1614), 145.

16.       J. W. Neumayr von Ramzla, Des durchlauchtigen hochgebornen Fürsten Johann Ernst . . . Reise in Frankreich, England und die Niederlanden (Leipzig, 1620), 294–95, as cited and translated in Zandvliet, Mapping for Money, 217, 295n32. The original text reads: “Bey dem Camin hieng eine grosse Seekarte war die Indianische Seefahrt mit dem Winden und Porten alles gar schön au Pergamen mit der Feder gerissen und theils gemahlet.” Zandvliet notes that this account also mentions Asian masterpieces in the Great Hall.

17.        Zandvliet, Mapping for Money, 211, 263–64. Company boardrooms as “geopolitical theaters” is a concept explored only in Zandvliet’s conclusion and, as Zandvliet notes, is worthy of further investigation.

18.        I borrow the term “cognitive possession” to characterize practices of Dutch artistic production and reception that constitute a sense of virtual possession of the East Indies, in a manner broadly resonant with discussions of “cognitive possession” in Anthony Pagden, European Encounters with the New World: From Renaissance to Romanticism (New Haven: Yale University Press, 1993).

19.       Zandvliet, Mapping for Money, 75.

20.       Zandvliet, Mapping for Money, 86–87.

21.        As governor-general, Jan Pietersz Coen’s ruthless eorts to achieve and maintain the VOCs monopoly on commodities include the 1621 conquest of the Banda Islands, during which a great portion of the indigenous population was massacred. Zandvliet, Te Dutch Encounter with Asia, 80.

22.       Zandvliet, Mapping for Money, 87–95.

23.       Zandvliet, Mapping for Money, 50. Gerritsz’s 1617 provisional appointment was made official in 1619.

24.       Zandvliet, Mapping for Money, 95.

25.       Jerry Brotton, Trading Territories: Mapping the Early Modern World (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1998), 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar