Kamis, 25 Maret 2021

PERGOLAKAN DI PAULOHY (TELUK ELPAPUTIH): 1836 - 1837

R. Z. Leirissa,

[UNIVERSITAS INDONESIA]

  1. Kata Pengantar

Artikel karangan R.Z. Leirissa ini aslinya merupakan makalah yang disampaikan dalam seminar sejarah lokal yang diadakan di Denpasar, Bali, sejak 31 Agustus – 4 September 1982. Pada seminar 4 hari ini, ada sekitar 35 pemateri yang memaparkan makalah mereka. Makalah dari Leirissa ini kemudian diterbitkan dengan judul besar Dinamika Masyarakat Pedesaan, yang diterbitkan oleh Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional pada tahun 1983. Artikel Leirissa sepanjang 15 halaman ini ditempatkan pada hal 1-15, bersama dengan makalah dari 4 pemateri lainnya, yang dieditori oleh sejarahwan Anhar Gonggong dalam bentuk buku seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Pada artikel ini, Leirissa membicarakan tentang pergolakan di negeri/desa Paulohy, di Teluk Elpaputih, yang terjadi pada paruh pertama abad ke-19, di tahun 1836-1837. Ada beberapa informasi menarik yang disampaikan dalam artikel ini, yang berkaitan dengan keterlibatan orang-orang pulau Saparua dalam menyelesaikan pergolakan ini. Disebutkan bahwa Raja negeri Nolloth, Raja Tuhaha dan Patij Itawaka diutus oleh Asisten Residen van Saparua sebagai komisi untuk menyelesaikan masalah dan memberikan laporan. Selain itu, ada juga informasi mengenai akhir hidup pemimpin pergolakan di negeri Paulohy, yaitu Marcus Kakiayi. Disebutkan bahwa sekitar 20-an tahun setelah periode pergolakan ini, Kakiayi terlibat lagi dalam suatu pergolakan, dimana akhirnya ia ditangkap, divonis hukuman mati di Saparua, dan jenazahnya dikuburkan di bawah salah satu tembok benteng Duurstede Saparua.

Artikel sepanjang 15 halaman ini berisikan 51 catatan kaki, dan 1 buah peta. Namun jika dicermati pada artikel asli dalam buku tersebut, hanyalah berjumlah 50 catatan kaki, karena catatan kaki bernomor 25 pada isi artikel tidak dicantumkan, padahal pada penjelasan catatan kaki, catatan kaki bernomor 25 itu ada penjelasannya. Kami tetap menyajikan “kekeliruan” ini sebagaimana yang terdapat dalam buku itu.

Perlu ditambahkan bahwa pada artikel ini, kami menambahkan beberapa catatan tambahan dan beberapa gambar ilustrasi, selain gambar peta yang terdapat dalam artikel aslinya. Harapan kami, semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua dalam memahami sejarah kita sendiri.

Peta terlampir

  1. Isi Artikel

I

                Teluk Elpaputih terletak di pesisir selatan Seram Barat. Di sekitarnya terdapat desa-desa (negeri-negeri) Latu (Islam), Hualoy (Islam), Paulohy (Kristen), Samasuru (Kristen), Makariki (Kristen), dan Amahay (Kristen dan Islam). Sejak pertengahan abad ke-19, sejumlah suku (clan/klan) di pedalaman teluk itu telah dipindahkan ke pesisir pula sehingga sampai kini ada pula desa-desa Mani, Sahulau, Liang (dekat Samasuru – Paulohy), Rumahsoal, Waraka, Apisano (dekat Makariki), Jalahatani dan Souhuku (dekat Amahay). Untuk jelasnya lihat peta yang dilampir.

                Analisa mengenai pergolakan di desa Paulohy dalam tahun-tahun 1836 – 1837 akan menggunakan gagasan dari Smelser (collective behaviour)1. Ternyata sebagian besar dari pergolakan  dalam paruh pertama abad ke-19 dapat digolongkan dalam apa yang dinamakan oleh Smelser sebagai “hostile outburst2. Determinan-determinan untuk pergolakan jenis ini yang dibicarakan di sini adalah cleavages dalam masyarakat yang menimbulkan structural conduciveness bagi suatu pergolakan tertentu, kemudian hambatan-hambatan melakukan peran dengan wajar sebagai determinan structural strain. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa hasutan-hasutan dan desas-desus merupakan generalized believe yang memang khas dalam pergolakan jenis ini. Peristiwa yang meletuskan pergolakan serta pengerahan massa untuk menentang Kepala Desa serta reaksi Kepala Desa dan pihak-pihak yang mendukungnya (pemerintah) akan menyusul pula. Dengan demikian, diharapkan dapat muncul suatu penjelasan yang mantap mengenai peristiwa di tahun 1836 – 1837 tersebut.

                Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa data yang dipakai dalam makalah ini adalah sebagian (kecil) dari data yang kami kumpulkan dalam rangka penelitian pergolakan di Seram Barat dalam abad ke-193. Sebab itu kepada pihak-pihak yang memungkinkan penelitian itu, kami mengucapkan banyak terima kasih.

 

II

                Dalam kenangan rakyat Maluku, pulau Seram dinamakan pulau Ibu (Nusa Ina). Bentuk pulau ini memang nampaknya seperti merangkul pulau-pulau lainnya di Maluku Tengah (Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut atau kepulauan Ambon-Lease). Selain itu, banyak penduduk Ambon-Lease menganggap dirinya berasal dari salah satu tempat di Seram. Dan dalam abad-abad yang lalu pulau ini memang merupakan sumber makanan (yaitu sagu) bagi kepulauan tersebut.

                Namun dalam struktur penjajahan abad ke-17 sampai bagian pertama abad ke-20, Seram menduduki posisi marginal. Sistem pemerintahan yang dibangun penjajah di Maluku, khususnya di Maluku Tengah, bertujuan melancarkan monopoli rempah-rempahnya. Untuk Maluku Tengah, cengkih menjadi pusat segalanya. Cengkih hanya diusahakan di kepulauan Ambon-Lease saja. Seram, khususnya Seram Barat, direbut VOC dari kerajaan Ternate4 dan digunakan sebagai garis perlawanan terhadap “perdagangan gelap” cengkih, dan sebagai tempat mendapatkan bahan-bahan kayu untuk bangunan dan perkapalan. Selama itu, di daerah ini tidak pernah terdapat pejabat-pejabat administrasi pemerintahan (kecuali di Saway untuk menghadapi bajak laut5 dan di Luhu untuk mengawasi perkebunan sagu milik pemerintah). Baru dalam pertengahan abad ke-19, diusahakan untuk menjadikan Seram beberapa afdeeling dengan status yang sama seperti di kepulauan Ambon-Lease. Sebelum itu, wilayah Seram Utara bagian barat termasuk dalam Keresidenan Hila (di pulau Ambon), Seram Barat dalam Keresidenan Saparuaa, dan Seram Timur dalam Keresidenan Banda. 

Kecuali kunjungan-kunjungan dinas yang dilakukan sewaktu-waktu, tidak ada hubungan langsung antara ibukota keresidenan-keresidenan tersebut dengan Seram. Bila muncul pergolakan-pergolakan (yang sangat sering terjadi), maka para pejabat Belanda mengirimkan suatu “Kommissie” yang terdiri atas beberapa kepala desa di Ambon-Lease yang mereka percaya, untuk membuat laporan dan meleraikan keadaan. Perlu ditambahkan bahwa laporan-laporan komisie-komisie ini merupakan dokumen-dokumen yang paling berharga dalam Arsip Nasional RI di Jakarta.

                Ada 2 istilah yang sering digunakan untuk melukiskan masyarakat Seram, yaitu Patasiwa (Seram Barat), dan Patasiwa (di sebelah timurnya). Di sini akan diuraikan mengenai Patasiwa karena menyakut masalah yang sedang dianalisa. Orang-orang Patasiwa terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu Alune (di sebelah timur laut), dan Wemale (di bagian lainnya dari Seram Barat). Secara antropologis, mereka berbeda. Clan-clan Wemale biasanya bersifat matrilokal, sedangkan Alune [bersifat] patrilokal. Ini membawa akibat yang luas seperti yang dibahas oleh van Wouden dalam disertasinya di tahaun 19356/b. Ciri-ciri kebudayaan Wemale dibahas dengan seksama oleh Jensen7 sebagai hasil penelitian dalam rangka Frobenius Expedition di Seram tahun 1933. Dan sebelumnya seorang antropolog lainnya, yaitu Duyvendak8 sudah membuat satu disertasi mengenai upacara di kalangan Patasiwa.

Berdasarkan analisa-analisa itu dapat kita simpulkan bahwa ada perbedaan dan kesamaan anntara masyarakat pedalaman yang belum dipengaruhi unsur-unsur dalam abad ke-19, dan masyarakat pesisir yang sudah lama dipengaruhi unsur-unsur asing. Menurut Jensen9, clan Wemale dinamakan Nuru atau Luma dan bersifat endogami ataupun exogami10. Setiap clan terdiri atas sejumlah descent group yang dinamakan Luma-inai (Luma = rumah, Inai = ibu, karena matrilokal). Keseluruhan clan tersebut dikepalai oleh seorang Lumalatu yang secara temurun dipilih dari suatu Luma-inai tertentu dan yang berdiam dalam rumah pusaka clan yang bersangkutan11.

Menurut van Wouden, ada pengelompokan clan-clan sehingga terbentuk sejumlah tribe. Tetapi mengenai hal ini, ia kurang jelas karena sumbernya memang langka12. Beberapa kelompok masyarakat Wemale yang bisa disebut tribe adalah (sekitar Teluk Elpaputih) : Mani, Liang, Sahulau, Waraka, Apisano, Souhuku, dan lain-lain, yang dalam pertengahan abad ke-19 dipindahkan ke pesisir di teluk itu. Selain itu, ada beberapa clan yang telah menetap sehingga bisa dinamakan desa (negeri), yaitu Somit, Watui, Ahiolo, Waraloin, dan sebagainya. Di abad ke-19, kelompok-kelompok itu menguasai tribe-tribe yang ada di sekitarnya.

Penduduk pesisir yang berdiam dalam desa-desa (negeri) sebagian besar rupanya berasal dari pedalaman juga. Sebab itulah mitos-mitos, legenda-legenda, serta sistem sosial yang ada di pedalaman banyak yang bisa kita jumpai kembali dalam masyarakat pesisir ini. Terutama mitos tentang penciptaan manusia pertama (Nunusaku), mitos tentang asal-usul ubi-ubian (Hainuwele), dan sebagainya13. Upacara-upacara inisiasi merupakan bagian penting pula dari masyarakat pesisir sekalipun mereka sudah beragama Islam atau Kristen. Dan struktur sosio-politik yang dinamakan saniri juga mencakup masyarakat pesisir (lihat bagian IV)

 

III

                Struktur masyakat desa Paulohy sesungguhnya tidak berbeda dengan yang terdapat di desa-desa lainnya di pesisir Seram Barat. Di sini akan dibahas beberapa cleavage yang laten sebagai structural conduciveness dari gerakan-gerakan yang bersifat “hostile” tersebut. Di satu pihak ada sejumlah pejabat yang lebih banyak merupakan alat kekuasaan pemerintah (jajahan) sekalipun mengandung unsur-unsur primordial juga. Di lain pihak, terdapat sejumlah pejabat desa yang merupakan bagian integrak dari sistem budaya pedalaman. Tergolong pada jenis pejabat pertama adalah kepala desa, yang diteluk Elpaputih dinamakan Orangkaya. Selain itu ada pula sejumlah Kepala Soa yang menguasai bagian-bagian dari desa. Sebenarnya, Orangkaya berasal dari salah satu Soa juga dan sering merangkap sebagai kepalanya. Kekuasaan Orangkaya dan Kepala Soa didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di semua negeri di Maluku Tengah (Staatblad 1824/19a). Ke-6 soa di desa Paulohy adalah Laturiu (soa pertama), Kaihema (soa kedua), Kuripuny (soa ketiga), Kakiyai (soa keempat), Soparowey (soa kelima), dan Tamaela (soa keenam).  

                Sekalipun para Kepala Soa sangat terikat pada sistem pemerintahan jajahan, tetapi secara intern, mereka sesungguhnya adalah kepala dari clan (Lumalatu), dan keluarga-keluarga yang terdapat dalam setiap Soa adalah bagian dari clan itu (Luma-inai). Namun karena pengaruh Kristen maupun Islam, semua clan pesisir bersifat patrilokal dan patrilinial. Istilah lain untuk Lumalatu adalah Ma-ina-uma (Ama = Bapak, Ina= Ibu, Uma = Luma). Penyatuan unsur bapak dan ibu dalam tokoh menandakan bahwa tokoh itu mewakili kesatuan kelompoknya (Nuru/Luma).

                Masih tergolong dalam pejabat-pejabat desa yang menjadi bagian dari struktur pemerintahan kolonial adalah Marinyo Negeri atau pesuruh dari Orangkaya. Selain itu terdapat pula seorang guru sekolah (guruw midras) di setiap desa, yang biasanya bukan penduduk asli negeri itu. Kemudian ada Marinyo Sekolah (Pesuruh Sekolah), Tuagama (penjaga gereja di negeri-negeri Kristen).

Hanya guru desa yang menerima gaji sebagai imbalan tugas-tugasnya. Orangkaya mendapat jatah kwarto (pekerja) dari antara penduduk negerinya (secara bergilir).

Pejabat-pejabat desa yang tidak menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan penjajahan adalah pertama-tama para Mauwen atau pemuka dalam upacara inisiasi. Mereka juga dianggap sebagai orang yang paling tahu dan paling berhak mengenai masalah kebudayaan dan agama suku. Sebab itu, pengaruh mereka kadang-kadang sangat besar. Praktis setiap clan mempunyai seorang Mauwen. Para Mauwen ini dikoordinir dalam suatu desa oleh Mauwen Besar (“Mauwen Elake”). Selain itu ada pula pejabat-pejabat yang dinamakan Kapitan (malesi) yang berfungsi sebagai pemimpin perang (di pedalaman sebagai pemimpin pengayauan/potong kepala).

Dalam masyarakat pesisiran ini, polarisasi antara para Mauwen dan para Orangkaya dan Kepala Soa merupakan kenyataan yang laten. Dalam situasi-situasi tertentu, terutama apabila menyangkut masalah adat-istiadat, para Mauwen, dengan mudah mengerahkan masyarakat desa untuk melawan para Orangkaya dan Kepala Soa yang dilihat sebagai simbol kekuasaan asing. Situasi konflik itu makin meningkat terutama karena adanya larangan-larangan untuk mengadakan upacara inisiasi (kakehan). Alasannya adalah bahwa upacara-upacara ini selain membangkitkan agresifitas di kalangan pemuda, juga berkaitan dengan pengayauan14. Situasi inilah yang memungkinkan timbulnya pergolakan di Paulohy dalam tahun 1836– 1837.

Sungai Sapalewa/Sopalewa, sekitar 1920

IV

                Sebelum melanjutkan determinan-determinan lainnya dalam pergolakan ini, ada baiknya dibentangkan dulu institusi Saniri yang memainkan peranan penting, terutama pada tingkat penyelesaian pertikaian (social control). Desa-desa pesisir dan pedalaman, seta tribe-tribe Seram Barat (Patasiwa) mempunyai suatu sistem khas untuk menyelesaikan perselisihan antara desa/tribe yang terutama diakibatkan [oleh] pengayauan. Institusi ini dinamakan Saniri (pertemuan). Ada 3 pusat pertemuan, masing-masing menyangkut masyarakat yang berdiam [di] sekitar :

  1. Sungai Sopalewa (Baralewa (Barat Laut – Alune))
  2. Sungai Eti (Barat Daya – Wemale)
  3. Sungai Tala (Tenggara – Wemale)15.

Sebenarnya sebelumnya masih ada satu pusat pertemuan lagi, yaitu antara penduduk sekitar sungai Uli (Timur Laut – Wemale), tetapi dalam abad ke-19 mereka rupanya tidak terlibat dalam pengayauan16. Pertemuan atau Saniri dilakukan di tempat-tempat tertentu dari waktu ke waktu dan dengan izin dari pemerintah. Selain itu dari waktu ke waktu pula (sekitar 10 tahun sekali), ketiga Saniri itu mengadakan Saniri Besar untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di antara ketiga wilayah itu.

                Setiap wilayah (aliran sungai) dikepalai oleh seorang Kepala Saniri atau Inama (Ina, Ama, unsur penyatuan dalam diri pemimpin). Dan setiap wilayah (aliran sungai) dibagi lagi dalam 4 bagian, masing-masing dengan kepalanya sendiri (salah satu bagian itu langsung di bawah Kepala Saniri). Masing-masing kepala, seperti halnya kepala saniri, mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam Saniri. Selain itu, para pejabat ini bersifat temurun dalam clan-clan tertentu dari desa-desa tertentu. Kecuali Kepala Saniri, kebanyakan pejabat lainnya berdiam di desa-desa pedalaman. Ini sebabnya, pemerintah kolonial menganggap kepala saniri sebagai alat mereka untuk menguasai pedalaman. Pengangkatan dan pemberhentian kepala saniri dilakukan per surat pengangkatan [atau pemberhentian] seperti halnya para Orangkaya dan Kepala Soa. Ia juga diberi semacam pakaian kebesaran. Di sini tidak perlu dikemukakan proses saniri (penyelesaian pertikaian) karena tidak langsung mengenai permasalahan yang dibahas dalam makalah ini17.

V

Kembali pada pergolakan di Paulohy. Pada tahun 1832, diadakan suatu Saniri Tala (daerah Paulohy termasuk di dalamnya). Masalah sebenarnya adalah persengkataan Watui (negeri di pedalaman) dengan beberapa desa dan tribe pesisir. Saniri ini dihadiri oleh Asisten Residen Saparua, Engelhartc. Pada saat itu, para Mauwen Paulohy dipimpin Mauwen Besar-nya, Lukas Niyai, meminta agar mereka diizinkan mengadakan upacara inisiasi bagi para pemuda Paulohy. Permintaan ini ternyata ditolak oleh Engelhart18. Tidak lama sesudah itu, Engelhart memerintahkan Orangkaya Paulohy untuk membuka jalan baru di sekitar desa itu. Dalam proses itu ada 2 di antara rumah upacara inisiasi (Tutue) harus dibongkar. Ini membangkitkan amarah penduduk terhadap orangkaya. Dan ia pula disalahkan penduduk dalam masalah ijin upacara inisiasi yang ditolak Asisten Residen tersebut19.

Sejak itu, mulai muncul perasaan menentang Orangkaya yang makin lama makin meningkat. Memang dokumen-dokumen yang dipakai di sini, tidak berhasil mengungkapkan bagaimana proses tuduh-menuduh dan desas desus serta hasutan-hasutan yang timbul itu. Tetapi hal itu, bisa kita simpulkan dari situasi kemudian dan beberapa peristiwa yang ada sangkut pautnya. Umpamanya perintah Orangkaya untuk membangun gereja baru ditentang oleh penduduk. Masalah leverantie kayu yang menjadi kewajiban penduduk juga mulai macet. Lebih-lebih lagi instruksi yang datangnya dari Engelhart untuk membuang semua tengkorak yang tergantung di baileu (balai desa)20. Keadaan ini dengan sendirinya membangkitkan apa yang oleh Smelser dinamakan [sebagai] “generalized belief” dan persebaranya dilakukan melalui desas-desus dan hasutan.

Keresahan hati ini makin meningkat lagi ketika pada tanggal 10 Oktober 1836, Orangkaya Paulohyy memerintahkan beberapa soa untuk mengambil kayu bagi pembangunan rumah-rumah desa (sesuai instruksi pula)21. Di tengah-tengah pekerjaan ini pada tanggal 4 November 1836, sejumlah pemuda Paulohy tiba-tiba muncul dari hutan. Dengan berteriak-teriak memaki-maki Orangkaya, mereka menyerbu rumah Orangkaya dan merusak perabotan rumahnya yang terdiri dari 1 meja besar, 6 buah kursi, 1 jala, 1 perahu pengangkut (arombay), ½ lusin gelas jenever, beberapa kayu kain berharga (patola dan uti-uti), dan lain-lain. Kelompok pemuda ini juga menyerbu kebun-kebun Orangkaya yang terletak di Hoale, Hunutawy, Epe, Nary, Leuw dan menebas sekitar 400 pohon sagu22.

Sekitar 2 hari kemudian kelompok ini kembali ke hutan bersama keluarga mereka. Para pemimpin kelompok ini adalah Kepala Soa Markus Kakiayi, Mauwen Besar Lukas Niayi, serta Kepala Bicara (Juru bicara) Mezak Laturiu, serta beberapa pemuda lainnya23. Tempat yang mereka pilih sebagai “markas” adalah hutan dekat Laulohy yang bernama Umeputy24.

Setelah mengadakan perundingan, mereka mengajukan tuntutan kepada Asisten Residen Engelhart. Yang diminta adalah pemecatan Orangkaya dan menggantikannya dengan orang lain. Sebagai alasan, mereka menyebut sejumlah “kejahatan” Orang kaya berupa penyalahgunaan kekuasaan, seperti menyita milik desa, tidak membayar upah leverantie kayu yang diterimanya di Ambon, paksaan pada penduduk unntuk menyumbangkan sebagian dari sagu mereka, pengrusakaan kebun negeri di Waimeten sehingga menimbulkan permusuhan antara Paulohy dan Amahay Islam dan lain-lainnya26. Dalam suatu kesempatan, Markus Kakiayi sendiri menyurat pada Engelhart untuk menguatkan tuduhan tersebut27. Pendeknya, banyak masalah yang menyangkut tugas orangkaya. Tidak pernah disinggung masalah pokok yang disebut di atas. Yang diinginkan memang hanya satuu, yaitu pemecatan Orangkaya yang dianggap biang keladi permasalahan pokok tersebut.

Perlawanan ini berlangsung cukup lama, yaitu dari November 1836 sampai Mei 1837. Dari waktu ke waktu para pemimpin di Umeputy turun ke Paulohy sehingga makin banyak penduduk yang memihak pada mereka. Malah suku-suku (tribe) yang berada di sekitar Paulohy dapat mereka tarik untuk menentang Orangkaya juga, seperti orang-orang Mani, Wasya (Wasia) dan Samahu. Dengan kekuatan ini mereka mulai menyerang tribe-tribe di sekitar Paulohy yang memihak pada Orangkaya sehingga mulai berjatuhan korban-korban28. Keadaan sedemikian menakutkan Orangkaya sehingga akhirnya ia melarikan diri ke Makariki, desa yang letaknya agak jauh dari Paulohy29. Dalam laporannya kepada Asisten Residen Engelhart, Orangkaya Paulohy membentangkan bahwa sikap orang-orang Paulohy sudah berulang kali terjadi, antara lain di masa ayahnya menjadi Orangkaya, selain itu juga di masa 3 Orangkaya lainnya. Katanya : “Paulohy sudah meninggalkan agama kami orang-orang sarany serta anak-anak midras dan pekerjaan Gubernemen”30

Mauweng Alifuru

VI

Dalam menghadapi permasalahan ini, mula-mula Asisten Residen mengambil langkah-langkah rutin seperti yang selalu dilakukan para Asisten Residen bila muncul situasi serupa. Segera setelah menerima surat pertama dari Orangkaya Paulohy pada bulan November yang melaporkaan peristiwa tanggal 4 November itu31, ia mengirim suatu “kommissie” yang terdiri atas Raja Nollothd dan Raja Tuhahae ( di pulau Saparua) untuk memeriksa situasi dan melaporkannya. Ia juga memberi perintah rahasia agar biang keladi kerusuhan itu ditangkap32.

Komisie tersebut memang berhasil ke Umeputy, tetapi mereka mendapat keterangan-keterangan yang sengaja diputarbalikan. Dikatakan pada mereka bahwa biang keladinya adalah kepala soa lain yang sebenarnya memihak pada Orangkaya33. Pada kesempatan ini pula Komisie menerima surat-surat dari Kakiayi dan pengikut-pengikutnya yang  membentangkan mengapa mereka menentang Orangkaya dan menuntut agar Asisten Residen memecatnya. Engelhart menjawab surat mereka via Orangkaya Samasuru34. Ia meminta agar mereka kembali ke Paulohy sehingga masalahnya bisa diperiksa dengan tenang. Sudah tentu mereka tidak setuju.

Karena menghadapi jalan buntu, maka Engelhart mengambil jalan tipu muslihat. Kembali dikirimnya suatu “kommissie” yang kini terdiri dari Raja Nolloth dan Pati Itawakaf (pulau Saparua) dengan tugas menghubungi Umeputy dan memberitahukan bahwa tuntutan mereka yaitu pemecatan Orangkaya diterimanya. Mereka diajak ke Baileu (balai desa) Paulohy untuk menyaksikan upacara pemecatan itu. Upacara ini benar-benar diadakan sekalipun tidak dihadiri Orangkaya dan ayahnya sudah dikenakan hukuman buang keluar Maluku Tengah. Sementara itu mereka terus saja melakukan upacara-upacara kecil dalam desa Paulohy yang melambangkan perlawanan35.

Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi Asisten Residen untuk meminta bantuan Kepala Saniri Tala untuk menyelesaikan perselisihan ini. Kepala Saniri mengadakan perjalanan ke Elpaputih, berbicara dengan semua pihak. Tetapi pekerjaan meleraikan ini memang memakan waktu yang lama karena membutuhkan serangkaian musyawarah sesuai kebiasaan setempat. Sayangnya kita tidak memiliki dokumen-dokumen mengenai proses musyawarah ini karena tidak pernah dilaporkan oleh Kepala Saniri kepada Asisten Residen. Hanya pada bulan Januari 1837, ia pernah menyurat kepada Engelhart dimana ia membenarkan tuduhan Kakiayi dan kawan-kawannya bahwa Orangkaya Paulohy telah melakukan serangkaian tindakan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya sebagai Orangkaya36

Fragmen tentang Kakehan dari Marcus Kakiayi

Namun demikian, pada bulan Mei 1837 Kepala Saniri berhasil juga. Sebab itu Asisten Residen Engelhart lalu mengirim suatu “komisie” lagi untuk menyaksikan upacara penyelesaian/perdamaian. “Komissie” kali ini terdiri dari Raja Nolloth (pulau Saparua), dan Raja Sepa (di Seram Tengah). Utusan Kepala Saniri, Kapitan Makuresi, dan komisi tersebut menemui Markus Kakiayi serta kawan-kawannya di hutan dan melakukan serangkaian perundingan terakhir. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri semua Mauwen dann para pemimpin lainnya, semua penduduk Paulohy memutuskan untuk menerima perintah Kepala Saniri untuk mengadakan perdamaian. Sebab, tulis Raja Nolloth dan Raja Sepa dalam laporannya, “Kepala Saniri ada seakan Ibu dan Bapak pada mereka itu, tyada bawleh lawan titahnya37.

Upacara perdamaian dilakukan di Baileu Paulohy (tanpa dihadiri Orangkaya yang masih berada di Makariki), dengan pimpinan Kapitan Makuresi yang menjabat sebagai utusan resmi dari Kepala Saniri38.

VII

Sebagai epilog perlu dikemukakan di sini, bahwa perdamaian pada bulan Mei 1837 itu tidak dihadiri oleh Markus Kakiay. Bersama sejumlah pengikutnya ia tetap berkeliaran di kalangan tribe sekitar Paulohy39. Pada tahun 1847, ia merencanakan suatu perlawanan baru40. Kemudian dalam tahun 1855, ia terlibat dalam suatu peperangan antara tribe-tribe itu di bawah pimpinan [negeri] Mani dan Sahulau melawan pemerintah. Perlawanan ini memakan waktu yang cukup lama, dan pemerintah harus mengerahkan ekspedisi militer untuk mengatasinya41. Dalam peperangan yang berkobar di tahun 1857-1858 itu, Markus Kakiayi tertangkap. Ketika itu, ia sudah menjadi Mauwen Besar. Penangkapan itu dimungkinkan oleh perantaraan Pati Latu, yang dalam Saniri menjabat sebagai Utusan Kepala Saniri (Siwaleta) dan menguasai wilayah sekitar Elpaputih42. Dalam tawanan, Markus Kakiayi memberi keterangan-keterangan mengenai kakehan kepada Belanda43. Setelah itu, ia dijatuhi hukuman mati. Vonisnya dilaksanakan di Saparua dan jenazahnya tidak dikembalikan ke Paulohy tetapi dimakamkan di suatu tempat di bawah tembok benteng Duurstede (onder het placis van het fort Duurstede)44. Maksudnya agar kelak tidak timbul suatu kultus di antara penduduk Elpaputih mengenai Kakiayi.

Akibat  kedua dari peperangan ini adalah diturunkannya sejumlah tribe ke pesisir Elpaputih. Sebenarnya usaha ini sudah dijalankan sejak tahun 1820an. Beberapa di antara tribe itu memang sudah mulai membangun negeri-negerinya di pantai ketika itu. Tetapi usaha ini senantiasa dihalang-halangi oleh Sahulau yang pernah bisa menandingi kekuasaan Kepala Saniri di wilayah itu. Dengan dikalahkannya Sahulau pada tahun 1858, dan dipindahkannya tribe ini ke pesisir pula, maka penghalang itu pun lenyap. Beberapa tahun kemudian sejumlah pensiunan pegawai Hindia Belanda mencoba membuka perkebunan, yang dalam tahun 1860-an makin meningkat jumlahnya.


VIII

Perlawanan di Paulohy antara 1836-1837 merupakan kejadian yang menarik. Struktur “hostile outburst” seperti itu, kemudian banyak berulang, tidak saja di Paulohy tetapi hampir di semua desa di wilayah Seram Barat. Terutama sejak pada tahun 1862 sistem monopoli cengkih di Ambon-Uliase dihapuskan, dan ditingkatkannya usaha-usaha membuka perkebunan swasta di pesisir Seram Barat. Perlawanan-perlawanan sejak tahun 1860-an itu malah makin lama makin meningkat intensitasnya sehingga banyak kemungkinan berubah menjadi perlawanan yang bersifat normatif.

Tetapi sekalipun sejak tahun 1860-an bentuk-bentuk collective-behaviour di Seram Barat makin meningkat dalam jumlah dan intensitas, tetapi tidak satupun dari perlawanan-perlawanan itu yang mencakup keseluruhan Seram Barat. Malah tidak ada yang mencakup satu “aliran sungai” sekalipun. Ini memang menimbulkan masalah untuk memilih salah satunya dari perlawanan-perlawanan ini untuk mewakili yang lainnya. Lebih-lebih lagi bila diingat bahwa perlawanan-perlawanan ini baru berakhir pada awal abad ke-2045.

Berbeda dengan “hostile ouburst” seperti di Paulohy, peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya mempunyai struktur yang sedikit berlainan. Ini terutama nampak dalam peristiwa perselisihan antara Kairatu dan Kamariang (di daerah Tala) antara 1821 sampai 1823 tetapi yang berkepanjangan tahun 1828. Dalam hal ini, pihak-pihak yang berkonflik adalah pihak yang memihak pada Kepala Saniri (Kamariang) dan yang menentangnya (Kairatu). Konflik diakhiri sama sekali dengan dipecatnya Kepala Saniri pada tahun 1828 dan dikenakan hukuman dibuang keluar Maluku46. Ini jelas menunjukan bahwa cleavage yang menimbulkan conduciveness berlainan dengan struktur peristiwa Paulohy. Beberapa peristiwa yang terjadi di Kamariang (tahun 1847)47, kemudian sebelumnya di Kaibobu (tahun 1822)48 juga memperlihatkan bahwa kita harus mencari cleavage lain yang sebenarnya memang ada di semua desa (negeri) pesisir. 

Alifuru Rumahsoal

Keadaan di daerah Sopalewa sebelum tahun 1860-an juga tidak jauh berbeda dengan konflik Kairatu-Kamariang (1823-1828). Di sanapun strukturnya berintikan keinginan Kepala Saniri untuk mempertahankan kekuasaannya49. Malah daerah yang sebelumnya sangat dipengaruhi Raja Jailolo sampai tahun 1828 ini50 lebih resah daripada daerah Tala (dan daerah Eti). Salah satu masalah yang menonjol di tahun 1830-an adalah pertentangan Kepala Saniri dengan penguasa-penguasa dari “Negeri Sembilan” (pesisir daerah keempat di Seram Barat yang berpusat pada sungai Uli)51. Terutama yang diperebutkan adalah wilayah Maloan yang terkenal karena ekspor berasnya serta perdagangan pada umumnya. Mungkin sekali tidak termasuknya daerah ini dalam struktur Saniri (Saniri Tiga Air) justru disebabkan karena menonjolnya aspek perdagangan, sehingga aspek-aspek kultural lain, seperti upacara inisiasi dan sikap anti unsur-unsur asing yang melekat padanya, tidak bisa lagi bertumbuh di sini.

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa perlawanan-perlawanan di Seram Barat sejak tahun 1860-an mempunyai struktur yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Paulohy. Di sini konflik utama adalah antara unsur-unsur sosial-budaya yang asli dan yang asing. Kedua, sebelum tahun 1860-an struktur konflik sangat berbeda dan cleavage yang menimbulkan konflik (conduciveness) harus dicari dalam struktur sosial-budaya setempat.

====== selesai ====== 

Catatan-catatan

1.         Neil J. Smelser, Theory of Collective Behavviour, New York Free Press.

2.        Ibid., hal 222 - 269.

3.        "Inventarisasi Arsip Ambon di Arsip Nasional RI Jakarta 1979" (naskah ketikan).

4.    R.Z. Leirisaa, "Local potentates and the compotition for cloves in early seventeenth century Ternate", Praccedings Seventh IAHA Conference, Bangkok 1977, 310 - 332.

5.        R.Z. Leirissa, "Raja Jailolo", Makalah pada Kongres Sejarah Nasional ke- III di Jakarta (1981).

6.     F.A.E. van Wouden, Types of Sosial Structure in Eastern Indonesia, The Hague : Martinus Nijhoff, 1968 (cetakan pertama 1935).

7.        A.E. Jensen, Die Drie Strome. Leipzig : Otto Harrassowitz, 1948.

8.        J.Ph. Duyvendak, Het Kakean Genootschp van Seram, Amelo : 1926.

9.       Jensen, op. cit., 59, 74, 75.

10.     Menurut van Souden clan Wemale bersifat exogami saja. Bahan-bahan yang digunakannya memang sangat minim. Van Wouden, op. cit., VI.

11.       Jensen, loc. cit.

12.      van Wouden, loc. cit.

13.      Jensen, loc. cit.

14.    Sebenarnya upacara pengayauan tidak hanya disangkutkan pada inisiasi saja karena ada sejumlah upacara lainnya yang memerlukan upacara pengayauan.

15.      Nama-nama sungai itu ada di peta.

16.     W.K.H. Feuilletau de Bruyn, "Aanteekeningen over het kakianverbond" 1916 (naskah Leiden).

17.    Duyvendak, Loc.cit. Aanteekeningen, loc.cit. Beberapa dokumen di Arsip Nasional RI Jakarta ada yang membahasnya juga. Surat dari Orangkaya Paulohy dalam lampiran Surat Asisten Residen Saparua kepada Gubernur Ambon 15 Desember 1836, 103.

18.   Surat dari Orangkaya Paulohy dalam lampiran Surat Asisten Residen Saparua kepada Gubernur Ambon 13 Desember 1836, 103.

19.     Ibid.

20.    Ibid.

21.      Surat dari Orangkaya Paulohy kepada Asisten Residen Engelhart, Paulohy 12 Nopember 1936.

22.     Ibid.

23.     Surat para Kepala Soa Paulohy yang dilampirkan pada Surat dari Oraykaya Paulohy pada Engelhart, 12 Nopember 1836.

24.     Ibid.

25.     Surat Orangkaya Paulohy 12 Nopember 1836.

26.    Surat penduduk Paulohy kepada Engelhart 12 Nopember 1836 dan 16 Nopember 1836.

27.     Surat Markus Kakiayi kepada Engelhart 12 Nopember 1836.

28.     Surat Engelhart 13 Nopember 1836, 103.

29.    Ibid.

30.    Surat Orangkaya Paulohy kepada Engelhart, Makariki 26 Desember 1836.

31.      Surat Orangkaya Paulohy, 12 Nopember 1836.

32.     Surat Engelhart 13 Desember 1836.

33.     Laporan Raja Nolot dan Raja Tuhaha, 17 Nopember 1836.

34.     Surat Engelhart 13 Desember 1836.

35.     Laporan Raja Nolot dan Pati ltawaka, 9 Januari 1837.

36.    Surat kepada Saniri Exentus Pesureren Kepada Engelhart, 12 Januri 1837.

37.     Laporan Raja Nolot dan Raja Sepa, 2 Juni 1937

38.     Ibid.

39.    Besluit Gubernur Ambon 28 Januari 1842.

40.    Surat Asisten Residen Saparua pada Gubernur Ambon, 18 April 1847.

41.      Politiek Verslag 1857 dan Politik Verslag 1858.

42.     Kort Verslag April 1858.

43.     Keterangannya antara lain dimuat dalam bukunya E.W.A. Ludeking, Schets van de Residentie Amboina, 's Gravenhage 1808, 67 - 78.

44.     Politiek Verslag 1859.

45.     F.J.P. Sachse, seram, Encyclopaedisch Bureau, 1922.

46.    Berdasarkan Besluit Gubernur Ambon tertanggal 15 Juli 1828, 20 Kepala Saniri Tala itu dibuang ke Manado (Lota?), dan selanjutnya tidak akan diangkat Kepala Saniri lagi karena institusi ini dianggap menghalangi kepentingan penjajahan. Tetapi ternyata tanpa adanya Kepala Saniri keadaan makin resah, sehingga pada tahun 1831 putera Kepala Saniri yang dibuang ini diangkat menggantikan ayahnya. Dialah yang menangani masalah Paulohy. Atas permintaannya pada tahun 1848 ayahnya yang sudah tua itu dibebaskan kembali (Besluit Gubernur Ambon tertanggal 29 April 1848, 3). Puteranya menjadi Kepala Saniri sampai sampai tahun 1852 (Besluit Gubernur Ambon 4 Juli 1852, 2).

47.     Surat Asisten Residen Saparua 14 Nopember 1834, 105. Proces Verbal 18 Nopember I834, dll . dokumen.

48.    lni menyangkut penempatan Zendeling pertama di Kaibobu (Akersloot) yang ditentang oleh penduduk. Sebelum ditempatkan pada tahun 1822, penduduk Kaibobu (tempat kedudukan Kepala Saniri) sudah menolaknya. Kemarahan penduduk diarahkan pada Raja Kaibobu yang dianggap biang keladi penempatan Zendeling tsb. Surat Akersloot di Piru 23 Juli 1822, Surat Asisten Residen Hila pada Pej. Gubernur 29 Juli 1822, s. Laporan Portero Ferdinandus 6 Agustus 1822, Surat Asisten Residen Hila 20 Nopember 1822, Besluit 25 Nopember 1922, 1, dan lain-lainnya.

49.    Surat Gubernur Ambon 19 Februari 19833; Surat Kemandan Saway 27 Nopember 1834, Surat Gubernur Ambon 2 Maret I835; Surat Asisten Residen Hila 5 Mei 1835; Surat Gubernur Ambon l11 Agustus 1835; dll. Masalah Maloanini berkepanjangan dan tidak terbatas pada masa jabatan satu Kepala Saniri saja. Malah baru sekitar I860-an masalah ini bisa diputuskan secara administratip, yaitu Maloan secara definitif masuk wilayah Hatuwe ("Negeri Sembilan") karena Hatuwe termasuk wilayah administratip Wahay, sedangkan kedudukan Kepala Saniri berada dalam wilayah Karesidenan Hila. Pemisahan inilah yang menghilangkan jejak dalam buku-buku yang ditulis kemudian yang tidak mengetahui dengan pasti kedudukan "Saniri Sungai Uli" dan wilayah Maoloan. Malah istilah Maloan di masa Sachse (lihat catatan nomor 45) tidak jelas lagi. Dalam penelitian 1933 (lihat Jensen) nama ini sudah tidak ada suatu saniri tersendiri masih ada.

50.    Leirissa, "Raja Jailolo", loc. cit.

51.      Lihat catatan nomor 49.

 

Catatan Tambahan :

a.    Sebenarnya tidak tepat juga menyebut bahwa [keseluruhan] Seram Barat sebelum abad ke-19 masuk dalam wilayah keresidenan Saparua. Yang lebih tepat adalah wilayah seperti Kaibobu, Rumahkai masuk dalam wilayah keresidenan Haruku, sedangkan mulai dari Latu hingga ke Werinama, masuk dalam wilayah keresidenan Saparua.

§  Knaap, Gerrit. J, Kruidnagelen en christenen; De VOC en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden 2004,  hal 106.

§  Vanharbeke, Maarten, Amboina, de VOC op Ambon in 1732 : een socio-economische analyse (skripsi di Universitas Gent, Hal 186)

b.    Sebenarnya disertasi F.A.E. van Wouden yang diterbitkan tahun 1935 ini dalam bahasa Belanda dengan judul Sociale Structuurtypen in De Groot Oost oleh penerbit J.Ginsberg di Leiden, buku ini kemudian diterjemahkan oleh Rodney Needham yang diterbitkan oleh Martinus Nihoff, tahun 1968 dengan judul seperti yang ditulis oleh Leirissa dalam catatan kaki nomor 6.

c.        Nama lengkap Asisten Residen van Saparua ini Johanes Lodewijk Benedictus Engelhard dan berkuasa pada 1829 – 1837

d.       Raja Negeri Nolloth yang dimaksud adalah Isaac Alvaris Hulisan (1820 – 1842)

e.        Raja Tuhaha yang dimaksud adalah Enos Supusepa (1829 - ?) 

g.      Pattij Itawaka yang dimaksud adalah Hermanus Matheus Wattimena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar