Minggu, 04 April 2021

Kerajaan IHA berinteraksi dengan segala Suku Bangsa di Abad XVII dalam Perjuangan Nasional (bag 1)


Drs. Frans Hitipeuw

  1. Kata Pengantar

Kerajaan Iha memang diketahui sebagai satu kerajaan besar yang ada di Pulau Saparua, namun haruslah diakui, bahwa tulisan-tulisan yang mendeskripsikan tentang kerajaan itu sangat minim. Sumber-sumber Portugis memang menyebut nama itu, namun lebih berfokus pada misi penyebaran agama dan penghancuran, bukan pada deskripsi mendetail tentang kerajaan itu. Begitu juga dengan sumber Belanda (VOC) yang banyak mengisahkan tentang upaya penaklukan Iha karena dianggap sebagai musuh, akibat selalu anti VOC dan lebih condong merapat pada perwakilan kerajaan Ternate (para Kimilaha) yang bermarkas di Hoamoal.

Frans Hitipeuw, seorang sejarahwan dalam artikel yang lumayan panjang ini menceritakan tentang Kerajaan Iha tersebut. Artikel sepanjang 57 halaman ini, merupakan makalah yang dipresentasikan pada Seminar Sejarah Lokal yang diadakan di Medan pada tanggal 17 – 20 September 1984a. Makalah ini kemudian diterbitkan tersendiri sebagai buku pada tahun yang samab. Makalah ini juga bersama-sama dengan beberapa makalah lain kemudian diterbitkan lagi dalam buku pada tahun 1989c, pada halaman 51 – 107.  

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa artikel Hitipeuw ini sepanjang 57 halaman, yang bisa dirincikan sebagai berikut : 26 halaman kajian, 3 halaman berisikan catatan kaki yang berjumlah 33 catatan kaki, 2 hal berisikan referensi atau bibliografi, dan 26 halaman berisikan 5 lampiran. Sayangnya, tidak ada peta, gambar ilustrasi.

Kami menyajikan ulang isi makalah tersebut dengan tujuan agar bisa dibaca kembali, dan sebagai bentuk kita menghargai sejarah besar salah satu kerajaan di Pulau Saparua. Pada penyajian ulang ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambah beberapa gambar ilustrasi dan catatan tambahan.

Akhir kata... selamat membaca.. selamat memahami kembali sejarah masa lalu kita, semoga bisa bermanfaat.

Lukisan Ihamao (Iha) sekitar 1632

  1. Isi Artikel
  1. Mengenal Kerajaan IHA

1.     Letak Lokasi dan Geografis Kerajaan Iha

Kerajaan Iha adalah suatu kerajaan Islaam yang terletak di Pulau Saparua (Maluku Tengah) di Provinsi Maluku. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan tua disamping Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo di daerah Maluku Utara, Kerajaan Hitu, Alaka, Hoamoal, Sahulau di daerah Maluku Tengah.

Kerajaan Iha sejak dahulu kala terkenal sebagai suatu kerajaan pandai-besi, artinya kerajaan ini mempunyai keahlian khusus dalam membuat benda-benda tajam seperti : kapak, tombak, golok, pisau dan alat senjata lainnya yang dibuat dari besi. Juga terkenal sebagai suatu kerajaan yang rakyatnya hampir sebagian besar pandai membuat perhiasan (pandai emas) sehingga sampai saat ini masih terkenal sebuah ungkapan di daerah Maluku : “Orang Iha puji mas padahal tembaga”.

Dilihat dari udara, Kerajaan Iha terletak di sebelah utara Pulau Saparua, merupakan sebuah daerah yang membujur panjang dengan daerah yang penuh hutan yang subur sepanjang pesisir pantai merupakan sebuah perahud yang terdiri dari tanah datar di pesisir pantai dan bergunung bila telah masuk ke dalam hutan rimba. Di sebelah tenggara Pulau Saparua, terletak Kerajaan Sirisori (Honimoa) membujur pula ke arah timur dengan tanah yang sangat subur dan merupakan sebuah perahu pula. Itulah sebabnya Pulau Saparua kalau dilihat dari udara seperti dua (2) perahu (perahu dua) yang saling berkaitan diselang-seling dengan gunung-gunung, maka rakyat Maluku menyebut Pulau Saparua sama dengan SAPANOLUA artinya sampan dua atau perahu dua yang dimaksudkan ialah Pulau Saparua mempunyai 2 jazirah yang besar, yang diatasnya berkuasa 2 orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu, di sebelah utara Raja Iha dengan kerajaannya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Sirisori dengan kerajaannya). 

Lukisan Honomoa, sekitar 1632

Sebelum datangnya Portugis dan Belanda, Kerajaan Iha terletak di antara Negeri Kulur sampai dengan perbatasan Negeri Ullath yang dahulunya berbatas dengan Kerajaan Sirisori.

Di abad ke-17, sebelum Iha dihancurkan oleh Gubernur Arnold de Vlaminge pada tahun 1652, letak lokasi dan geografis Kerajaan Iha meliputi seluruh bagian utara Pulau Saparua ini. Kerajaan ini memiliki 7 buah kerajaan kecil dengan mempunyai 7 buah negeri yang terletak saling berjauhan antara satu negeri dengan negeri lainnya, tetapi mempunyai satu pusat kerajaan yang terletak persis di tengah-tengah jazirah utara Pulau Saparua itu, dan berkedudukan di atas sebuah bukit karang di atas puncak gunung Amaiha-Ulupalu (gunung Amaiha Ulupaluw). Kerajaan ini adalah Kerajaan Ulilima dalam persekutuan adat di daerah Maluku. Karena ada pula kerajaan yang disebut Ulisiwa.

Kerajaan Iha disebut Ulilima karena dia merupakan satu persekutuan adat serta mengakui Sultan Ternate sebagai sultan kerajaan/kesultanan (pelopor), sedangkan kerajaan yang disebut Ulisiwa merupakan satu persekutuan adat yang mengakui Sultan Tidore sebagai Kesultanan Pelopor. Dengan kata lain, Kerajaaan Ulilima tunduk dan mengakui Sultan Ternate selaku raja atas tanah Maluku, sedangkan Kerajaan Ulisiwa tunduk dan mengakui Sultan Tidore selaku Raja Daerah Maluku. Dengan demikian, tergambarlah betapa besar pengaruh Kerajaan/Kesultanan Ternate dan Kerajaan/Kesultanan Tidore di daerah Maluku.

Iha termasuk kelompok Ulilima, tunduk di bawah Sultan Ternate. Kerajaan ini beragama Islam, yang sebelumnya beragama Hindu. Kerajaan Iha adalah negeri utama yang oleh Rumphius disebut “Iwa”1, yang terletak pada jazirah Hatawano (Hataewano = tanah datar yang berhutan rimba yang terletak sepanjang pesisir pantai utara Pulau Saparua ituf). Di sebelah barat, kerajaan Iha berbatas dengan laut Seram, di sebelah timur berbatas [dengan] laut Banda, di sebelah utara berbatas dengan Sirisori/Honimoa (kini ditempati oleh perbatasan negeri Ullath), di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Saparua, sebelah tenggara berbatas dengan Kerajaan Sirisori.

2.     Asal Usul Masyarakat Iha

Masyarakat Iha menurut Buku Tembaga Kerajaan Iha, dikatakan bahwa masyarakat Iha berasal dari Nunusaku (Pulau Seram), kemudian berpindah ke Pulau Saparua dan mendirikan Kerajaan Iha di Pulau Saparua2. Pemindahan orang-orang Iha ke Pulau Saparua ini sampai sekarang masih merupakan sumber cerita rakyat turun-temurun, sehingga bila masyarakat Iha bila ditanya, mereka akan menyatakan bahwa mereka berasal dari Nunusaku Pulau Seram. Menurut sumber lain, masyarakat Iha ini berasal dari Kerajaan Ternate3.

Masyarakat Iha ini menurut Rumphius, sifat dan tabiatnya berlainan dengan masyarakat lain yang mendiami Pulau Saparua, sehingga kemungkinan mereka berasal dari Ternate sehingga berbeda dengan masyarakat Saparua lainnya yang berasal dari Pulau Seram.
                Walaupun demikian, hal ini perlu diselidiki secara mendalam. Namun dari data-data sejarah yang ada, misalnya nama kerajaan Iha sebagai Kerajaan Ulilima, struktur pemerintahan Kerajaan Iha, adat istiadat di Kerajaan Iha, agama Islam yang dianut secara bersama-sama dengan Ternate memerangi Portugis, istilah-istilah adat seperti kata Soa, Rumatau, Hena dan Aman mirip seperti apa yang terdapat dalam struktur pemerintahan maupun adat istiadat yang ada di Ternate. Dengan demikian, mungkin saja orang Iha itu berasal dari Ternate.

Selain itu, Valentijn menulis bahwa masyarakat Iha itu sudah sejak dahulu berada di Pulau Saparua dengan kerajaannya yang terkenal dengan nama Kerajaan Iha, yang menurut dia (Valentijn), Raja Iha dikisahkan oleh masyarakat Iha, keluar dari sebatang pohon Kelapa Emas4. Menurut Rumphius, Raja Iha keluar dari sebatang pohon Kelapa Raja yang berbuah Kelapa Emas yang sangat lebat, yang terdapat di Aijlatoe (tempat ini sekarang disebut Kupalatu = Taman Bunga Raja), suatu tempat yang terdapat di dataran rendah di bawah lereng gunung Amaiha. Itulah sebabnya, lambang Kelapa Emas sebagai lambang kerajaan ini sampai sekarang masih disimpan di rumah Raja Iha5. Raja Iha pertama bernama Latu Sopacua, Latu mempunyai 8 orang putra. Putra pertama bernama LATUSALI, dan dia inilah yang memerintah sebagai raja pengganti ayahnya. Putra kedua bernama LATUWAIJL dan putra ketiga bernama LATUPIKAULAN. Turun-temurun LATUSALI sekarang masih ada dan memerintah Negeri Iha di Pulau Seram bagian barat dengan nama LATUKAISUPI. Keturunan LATUWAJI sekarang memerintah negeri Ihamahu di Pulau Saparua. Sedangkan keturunan putra ketiga, LATUPIKAULAN, menikah dengan keluarga Amahoru dan sekarang memerintah Negeri Iha (di pulau Saparua sebagai keturunan raja) yang memerintahh atas putri [nama] Raja Latu Pikaulan6.

Putra raja yang keempat sampai dengan yang kedelapan mempunyai keturunan-keturunan yang walaupun tidak memerintah, tetapi mereka masuk dalam keluarga-keluarga keturunan Raja Iha dan selalu bergabung dalam satu Soa yang disebut Soa Raja, yang mereka ini masih ada sampai sekarang dan berdiam di Negeri Iha (Pulau Seram), di Negeri Ihamahu maupun di Negeri Iha di Pulau Saparua. Mereka merupakan satu persekutuan adat tersendiri dan saling bantu-membantu dalam bermacam-macam acara adat, misalnya acara pernikahan, pembuatan rumah, masohi (gotong royong) ataupun tolong menolong antara sesama mereka dalam segala bentuk kegiatan. 


3.       Struktur Pemerintahan dan Interaksi dengan segala Suku Bangsa dalam kaitan Nasional 

Struktur pemerintahan yang berkaitan dengan pelapisan masyarakat Iha yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebagai akibat dari perkembangan-perkembangan baru selalu mengalami perubahan-perubahan seteah masuk dan berpengaruhnya agama Islam dengan kebudayaannya, maupun datangnya bangsa-bangsa Eropa dengan pengaruh perkembangan agama Kristen. Walaupun begitu ciri-ciri khas atau sifat hakiki daripada kehidupan masyarakat Iha seperti kekeluargaan, kesetiaan dan ketaatan terhadap para pemimpin, tolong-menolong, masohi (gotong royong) bersahabat dengan segala suku bangsa tetap hidup terpelihara serta tetap dipertahankan oleh masyarakat Iha. Jika terjadi perubahan-perubahan selalu disesuaikan dengan perkembangan keadaan. Perubahan-perubahan yang terjadi lebih banyak menyangkut struktur pemerintahan dan kepemimpinan, sedangkan pola-pola pelapisan sosial masih tetap dipertahankan dalam bentuk adat-istiadat, misalnya sifat toleransi kekerabatan dan kekeluargaan serta kegotongroyongan dengan segala suku bangsa. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Iha merupakan satu kerajaan yang subur, kaya akan rempah-rempah sehingga menjadi pusat perhatian dan tujuan pelayaran serta perdagangan nasional. Itulah sebabnya masyarakat Iha telah berinteraksi dengan suku Jawa, Bugis dan Makasar maupun para pedagang nasional lainnya dalam perdagangan rempah-rempah, sehingga pelabuhan Iha di awal abad ke-17 sangat ramai dilayari oleh para pedagang nasional, yang akan datang untuk menukar rempah-rempah dengan bahan-bahan pakaian, barang porselin maupun alat-alat senjata tajam.

Interaksi dengan segala suku bangsa dalam kaitan nasional ini begitu intim dan akrab sehingga menyebabkan Portugis dan Belanda kalah bersaing di dalam perdagangan. Hal ini menyebabkan timbul usaha-usaha Portugis dan Belanda untuk membuatkan kontrak-kontrak perdagangan dengan Raja Iha dan masyarakat kerajaannya, agar mereka secara aman dapat menguasai perdagangan rempah-rempah kerajaan Iha ini. Hal ini sudah tentu akan merusak persatuan dan kesatuan rakyat Kerajaan Iha dengan para pedagang nasional yang sudah lama bersahabat dengan masyarakat Iha, di pihak lain akan sangat merugikan masyarakat Iha yang ingin bebas dalam perdagangan rempah-rempah dengan segala suku bangsa, daripada terikat dengan kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian dengan Portugis dan Belanda7. Selain itu masyarakat Iha lebih senang bersahabat dengan suku Jawa, Bugis, Makasar dan Buton karena masalah kebutuhan sehari-hari masyarakat Iha dipenuhi oleh para pedagang nasional ini. Orang Iha senang berdagang dengan para pedagang nasional karena tidak terikat di dalam membatasi harga rempah-rempah serta tukar-menukar barang kebutuhan sehari-hari itu.
                Dalam struktur pemerintahan, masyarakat kerajaan Iha diperintah oleh seorang raja. Raja Iha dibantu oleh 7 orang Kepala Soa, yaitug :

1.         Soa Raja

2.        Soa Patij

3.        Hahuan

4.       Peletula

5.        Soa Malige hukum, dan 2 soa lagi, yaitu soa ke-6 dan soa ke-7, kurang dikenal.

Menurut Raja Iha, Abdul Gawi Latukaisupi, 2 soa yang kurang dikenal itu bernama Soa Pia dan Soa Kulur9

Raja Iha diangkat dan diberhentikan oleh Badan Saniri Besar yang merupakan suatu badan tertinggi dan dapat diumpamakan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang keanggotaannya terdiri dari anggota-anggota Badan Saniri Raja Pattih, anggota-anggota Badan Saniri lengkap, Kepala Rumah tangga/Keluarga dan semua orang lelaki yang sudah dewasa. Badan ini bersidang setahun sekali, akan tetapi sewaktu-waktu Badan ini dapat bersidang jika kerajaan mendesak seperti antara lain bila Raja telah meninggalkan garis adat istiadat, terjadinya persengketaan batas-batas tanah atau penyerbuan suku liar atau dari lain negeri secara mendadak dan mengganggu keamanan ataupun kepentingan Kerajaan Iha sendiri.

Persidangan Badan Saniri Besar ini bertempat di Balairung (rumah adat) dimana dilaksanakan rapat terbuka atau demokrasi langsung. Selain itu, terdapat juga Dewan Saniri Raja Pattih yang dapat dikatakan sebagai suatu Dewan Eksekutif yang melaksanakan tugas sehari-hari dan keanggotaannya terdiri dari Raja, Kepala Soa, Panglima Perang (Kapitan), Kepala Kewang (Latukewano), atau Polisi hutan dan lautan, serta Marinyo (pesuruh kerajaan).

Selain 2 badan tadi, terdapat pula sebuah Badan Saniri Lengkap, dianggap sebagai Badan Legislatif yang mempunyai tugas membantu dan memperlancar tugas-tugas Raja dalam melaksanakan pemerintahan serta mengadakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Keanggotaan Badan Saniri Lengkap terdiri dari anggota Badan Saniri Raja Pattih, Kapitan, Kepala Adat (Mauweng), dan Tuan Tanah (Tuan Negeri).

Stuktur pemerintahan Iha ini sampai sekarang tetap dipertahankan oleh masyarakat Iha. Kepangkatan raja dan seluruh slagorde pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem keturunan. Walaupun demikian, setelah zaman kemerdekaan kadang-kadang struktur pemerintahan Iha ini berubah sesuai dengan situasi dn kondisi, namun bila terjadi kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pemerintahan Iha ini, maka rakyat menjadi kecewa dan membuang kesalahan itu kepada Badan Saniri Besar serta mendesak agar cepat-cepat diadakann Sidang Badan Saniri Besar untuk menggantikan raja, karena dianggap bukan berasal dari keturunan raja.

Demikian juga halnya bagi staf pemerintahan lainnya, baik yang duduk sebagai Kepala Soa, anggota Badan Saniri Raja Pattih maupun anggota Saniri Lengkap tidak segan-segan diberhentikan oleh rakyat kalau memang terbukti bahwa anggota Badan Pemerintahan tersebut bukan berasal dari keturunan yang sudah selayaknya harus duduk sebagai anggota dalam staf pemerintahan Iha ini.

Begitu ulet masyarakat Iha mempertahankan struktur pemerintahannya sehingga pelapisan sosial masyarakat Iha sejak dahulu teratur rapi, sehingga pada saatnya datang bangsa Belanda dengan konsep struktur pemerintahan baru menimbulkan tidak senangnya masyarakat Iha, dan hal ini merupakan salah satu penyebabnya timbul perang Iha melawan Belanda, karena Belanda mau merusak pelapisan masyarakat Iha dan interaksi dengan segala suku bangsa dalam kaitan nasional; dengan ingin membuat perjanjjian ataupun kontrak-kontrak yang membatasi ruang lingkup gerak masyarakat Iha10.

===== bersambung =====

  

CATATAN

1.         Georgius Everhardus Rumphius, Deel I, De. Generate Land Beschrijving Vannet Ambonsche Gouvemement, Beschrijving der Nagul Boomen van het Comptoir Hila, Anno 1805, halaman 82.

2.        Latupikaulan, Hikayat tanah Iha, "Buku Tembaga Kerajaan Iha" ditulis dengan huruf Arab, terjemahan Abdul Gawi Latukaisupi, Raja Iha Seram Barat.

3.        Rumphius, Georgius Everhardus, Deel I, op.cit. hal. 82.

4.        Valentyn, Francois, Beschrijving van Amboina, yerbatenda, Een wydluftge Verhandeling van het zelve, en van alle de Eylanden, daar onder behoorende, te weten, van't groot Eiland, Cerama, Boero, Amboina, Honimoa, Noessa Laoet, Oma, Manipa, Bonoa, Kelang, Tweede Deel, hal. 87.

5.        Rurnphius, Dell, I ibid lambang kerajaan Iha berupa kelapa emas ini sampai sekarang masih ada dan disirnpan secara baik oleh keturunan putra I raja Iha, Abdul Gawi Latukaisupi raja Iha Seram Barat.

6.       Latupikaulan, Hikayat tanah Iha, "Buku Ternbaga Kerajaan Iha, Ibid, dan ditulis pula oleh Rumphius, Deel, I. Loe. cit.

7.        Colenbrander, HT, DR, Dagh Register Gehouden int Casteel Batavia, vant passerende daer ter plaetse aks over
geheel Nederlandts India, Anno 1643- 1644,  s-gravenhage, Martinus Nijhoff, 1902, hal. 93.

8.        Colenbrander, HT, Dagh Register Ge houden int casteel Batavia, Anno 1643-1644 ibid, hal. 93.

9.       Rumphius, Deel I, op.cit, hal. 83.

10.     Latupikaulan, Hikayat tanah Iha, "Buku Tembaga Kerajaan Iha" ibid. yang ditulis juga oleh Rumphius, Deel I hal; 83.

 

Catatan Tambahan

a.        R.Z. Leirissa, Ir Martinus Putuhena : Karya dan Pengabdiannya, Depdikbud, Jakarta, 1985, pada bagian Daftar Sumber, halaman 121

b.       Syahrudin Mansyur, Pengaruh Megalitik di situs-situs pertahanan tradisional masa kolonial awal di Maluku (dimuat dalam Berkala Arkeologi, volume 36, edisi 2, November 2016, hal 173 – 194), khusus pada bagian Daftar Pustaka, halaman 191

§  Syahrudin Mansyur, Jejak Tata Niaga Rempah-rempah dalam jaringan perdagangan masa kolonial di Maluku (dimuat dalam  Kapata Arkeologi, volume 7, nomor 13, November 2011, hal 20 – 39), khusus pada bagian Daftar Pustaka, halaman 34

c.        Frans Hitipeuw, Kerajaan Iha berinteraksi dengan segala suku bangsa di abad XVII dalam perjuangan nasional (dimuat dalam  Interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk, Depdikbud, Jakarta, 1989, hal 51 – 107).

d.       Kalimat dari Hitipeuw ini, mungkin maksudnya adalah berbentuk seperti perahu

e.        Arnold de Vlaming van Oudsthoorn, sebenarnya bukan Gubernur Ambon definitif pada tahun 1652 ini. Namun ia adalah Komisaris Jendral untuk 3 Gubernemen yaitu Banda, Ambon dan Ternate (Moluccas) sejak 1650 – 1656. Dengan jabatan ini, maka bisa dianggap ia juga seorang “Gubernur”.

§  Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, Deel II, bagian II, derde boek, achtste hoofdstuk, Dordrecht, Joannes van Braam, 1724, khusus hal 33

f.         G.W.W.C. Baron van den Houvell dalam bukunya memberikan “pengertian” kata Hatawano yaitu Hata beteekent tegenoverliggend en wano is afgeleid van iwano (wildernis). Het beteekent dus het land gelegen tegenover de wildernis.

§  G.W.W.C. Baron van den Houvel, Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliasers....Dordrecht, Blusse en Braam, 1875,  hal 10, catatan kaki no 1

g.        Pada sumber lain, Frans Hitipeuw menyebut 7 Soa di [kerajaan] Iha adalah : Soa Iha, Soa Mahu, Soa Hatala, Soa Matalete, Soa Hatulesi, Soa Soulima, dan Soa Pia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar