Selasa, 06 April 2021

Kerajaan IHA berinteraksi dengan segala Suku Bangsa di Abad XVII dalam Perjuangan Nasional (bag 2 -selesai)


Drs. Frans Hitipeuw

 

  1. PERLAWANAN KERAJAAN IHA MENENTANG KOLONIALISME BELANDA

1.         Berkobarnya Semangat Perjuangan

        Masyarakat Iha termasuk masyarakat Lease (Pulau Saparua, Haruku dan Nusalaut) tidak mudah diperintah oleh Belanda. Penulis-penulis Belanda dan para residen dalam laporan mereka mengakui sendiri bahwa kerajaan Iha merupakan satu kerajaan yang hitam, keras kepala serta “lastig” (memusingkan), “weolig” (bergolak) dan “geneigd tot vezet” (cenderung untuk berontak).

Rakyat Iha di Pulau Saparua “spant de kroon” artinya paling berkepala batu, paling sulit dengar-dengaran, paling sulit menuruti perintah. Maka kerajaan Iha ini oleh Belanda disebut kerajaan hitam (black list)11.

Hal ini disebabkan karena usaha-usaha Belanda (VOC) untuk menghancurkan Kerajaan Iha telah menimbulkan suatu peperangan yang maha dahsyat dan berlangsung terlalu lama, serta berlarut-larut antara Belanda dengan masyarakat Iha dengan sekutu-sekutunya.

Masyarakat Iha sebenarnya sudah sejak awal abad ke-17 telah memusuhi Belanda. Hal ini jelas terbukti karena masyarakat Iha turut terlibat dalam perang Hoamoal, perang Hitu maupun peperangan lain sebelumnya dalam menghancurkan Belanda. Dengan demikian orang Belanda sangat tidak senang terhadap raja dan rakyat Iha, karena dianggap suka melawan dan sukar untuk ditaklukan. Itulah sebabnya Belanda berusaha untuk mengikat raja dan masyarakatnya dengan membuatkan kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian perdagangan rempah-rempah12

Bagi Belanda, kontrak-kontrak itu tidak saja digunakan untuk mengatur soal-soal perdagangan tetapi juga untuk mengatur tata tertib kehidupan masyarakat Iha. Jika diteliti secara mendalam, jelas kontrak-kontrak ini merupakan permainan politik Belanda yang mengandung maksud tertentu yaitu memonopolikan rempah-rempah kerajaan Iha.

Dengan kontrak-kontrak ini, raja Iha dan masyarakatnya hanya boleh berdagang dengan Belanda, dan dilarang berdagang dengan pedagang Jawa, Bugis dan Makasar maupun pedagang nasional lainnya. Sudah tentu kontrak-kontrak ini menimbulkan semangat perjuangan rakyat Iha melawan Belanda karena mereka merasa terdesak selain dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, juga masyarakat Iha yang menganut paham kegotongroyongan, kekeluargaa, tidak ingin merusak hubungan persahabatan dan persekutuan hidup dengan suku-suku bangsa lainnya, seperti orang Jawa, Bugis, Makasar, dan Buton yang sudah lama bersahabat dengan penuh kerukunan. Kontrak-kontrak ini jelas merugikan rakyat Iha dan menimbulkan kemarahan penduduk Iha, yang sejak lama telah dalam suatu hubungan dagang yang bebas dengan para pedagang lainnya itu, jelas tidak menyetujui tindakan-tindakan Belanda ini. Rakyat Iha tidak peduli dengan tindakan Belanda itu, mereka mulai melawan dan melanggar isi kontrak-kontrak tersebut serta menentang semua instruksi-instruksi yang dikeluarkan oleh Belanda.

Dengan demikian timbullah perang Iha melawan Belanda. Di pihak Belanda, Raja Iha dan rakyatnya harus dihukum karena dianggap melakukan penyelewengan terhadap instruksi-instruksi VOC. Di pihak Raja dan rakyat Iha, Belanda harus dihancurkan karena tindakan Belanda meng-Kristenkan orang Islam Iha merupakan tindakan yang sangat biadab yang tidak dapat ditolerir13.

Masyarakat Iha yang menganut agama Islam menganggap Belanda orang kafir yang tidak takut akan Tuhan, harus dimusnahkan. Timbul peperangan yang maha dashyat dan berlarut-larut disebabkan karena kedua belah pihak masing-masing mempertahankan prinsip yang saling bertentangan itu.

 Pecahnya perang Iha pada tahun 1632 yaitu pada saat pertama kalinya orang Iha menyerang Belanda yang datang untuk menyerang Keraton dan pertahanan keamanan benteng kota Iha yang terletak di atas bukit karang Gunung Amaiha Ulupaluw (bekas-bekas benteng keraton ini masih ada sampai sekarang)14.

  Pada waktu itu yang menjadi Gubernur VOC di Ambon adalah Artus Gysels (Gijsels) yang memerintah tanah Maluku dari tahun 1632 – 1634a. Dia merupakan Gubernur Ambon yang ketigab yang menggantikan Gubernur Philip Lucass15/c


  Pada waktu itu rakyat Iha dipimpin oleh panglima perang / kapitan besar Iha yang bernama Tobias atau yang dipanggil TOBO oleh penulis-penulis Belanda maupun dalam laporan para residen Belanda16/d. Untuk menghancurkan rakyat Iha dengan sekutu-sekutunya, maka Gubernur Gysels dan pihak Belanda mendatangkan tentara Belanda yang dibantu oleh orang-orang Hitumesing, orang-orang Tamilouw, dan orang-orang Alifuru dari Pulau Seram.

  Pada tanggal 21 November 1632, ekspedisi tentara Belanda ini tiba di pantai kerajaan Iha yang pada saat itu terkenal dengan nama pantai Toho. Begitu ekspedisi ini tiba, pengepungan terhadap kerajaan Iha segera dimulai. Rakyat Iha yang tinggalnya terpencar-pencar di 7 buah negeri (7 buah soa untuk menjaga batas-batas tanah kerajaannya) serentak berkumpul di pusat kerajaan Iha yang berkedudukan di gunung Amaiha Ulupaluw itu.

  Begitu tentara Belanda mencoba untuk mendaki gunung Amaiha Ulupaluw untuk menyerbu pusat kerajaan Iha, maka semua pintu benteng dan keraton Iha ditutup. Belanda sangat sukar untuk mengepung pusat kerajaan Iha ini oleh karena letak geografisnya sangat sulit, karena terletak pada satu bukit karang yang curam sekali, sukar untuk didaki dan hanya ada satu jalan raya yang harus didaki menuju keraton Iha. Dari segi lain, ini sangat membahayakan Belanda oleh karena rakyat Iha telah menyiapkan batang-batang kayu besar untuk digulingkan dari puncak ini ke lereng-lerengnya bila Belanda mulai menyerang serta berusaha mendaki gunung ini dari segala penjuru untuk mendekati pusat kerajaan.

                  Karena pertahanan rakyat Iha cukup kuat dan sulit dicapai oleh Belanda, maka tentara Belanda tidak berani menyerang apalagi mendekati benteng Iha tersebut. Tentara Belanda hanya bisa menembak dengan tembakan-tembakan meriam dari jarak jauh. Begitu tentara Belanda berusaha mendekati pusat kerajaan Iha dengan jalan mendaki gunung Amaiha pada jalan raya masuk benteng Iha, maka rakyat Iha mulai menyerang dengan menggulingkan kayu-kayu besar, batu-batu besar, tembakan-tembakan, senjata-senjata tajam, parang (golok), tombak, panah dari puncak gunung Iha ke arah lerengnya serta menghamburkan debu panas bercampur cabai, sehingga ekspedisi Gysels seluruhnya tewas terbunuh, dan hampir-hampir tidak ada yang kembali. Dalam perang Iha ini, masyarakat Iha mendapat bantuan senjata dan alat mesiu dari Jawa, Bugis dan Makasar lewat kontak-kontak perdagangan17.

Selain itu para pedagang nasional ini memberikan bantuan besar sebagai penghubung masyarakat Iha dengan sekutu-sekutu Iha yang pernah berperang melawan Belanda dalam “Hongi Tochten” (pelayaran hongi) di daerah Maluku, seperti terungkap dalam kapata-kapata/lagi-lagu tua yang berbahasa daerah Maluku berjudul : “Kumpanyia Kuraing Hongi”

Nusa ina Laihalat Ria Huanualo

Lawaloto Hatawano Kuraing Ama Ihalo

Hatuhaha Amarima Lounusa Loto Alaka

Lawe Hale Kapahaha Halenusa Hituo

Yami pana Nono Upu Lahato

Isi pa-la-ne Waayami Lahono

Kumpanyia Larai Kuraing Hongi Ale

Puna Leka rahamate sioh

Puna Leka Huamual Rahato

Amaihal kapahaha lahano

Puna titi basudara ale

Isi lawa hari nusa sioh

Lawa hanu hiti were

Bala-bala Kuraing Kapitang

Tombak kura salawaku tantang ia kumpanyia

Kumpanyia kuraing Hongi Irai mala lokono

Aha Toone upa palame wayami18 

Lagu tua tersebut di atas mengisahkan “perang melawan VOC dengan Hongi Tochtennya” yang diterjemahkan sebagai berikut :

“Sebelah barat Pulau Seram di jazirah Hoamoal

Di jazirah Hatawano dengan kerajaan Iha-nya

Lima negeri di Hatuhaha yang terpusat di bukit Alaka

Begitu di Kapahah yang terletak di jazirah Hitu,

Mang terdiri dari balah rakyat dan kapitang

Semuanya angkat tombak perang dan salawaku menentang kompani

Kompani yang datang dengan pelayaran honginya

Semuanya dimusnahkan oleh kami

Karena membawa malapetaka

Dihancurkan Hoamoal, kerajaan Iha, Hatuhaha dan Kapahaha

Memutuskan persaudaraan kami sehingga kami harus tinggalkan kampung halaman

Lari bangun bangkit berdiri, penduduk negeri dengan pemimpinnya

Angkat tombak perang dan salawaku usirlah VOC

Karena VOC dengan hongi tochten-nya mendatangkan kemelaratan

Demikian para leluhur bercerita kepada kami” 

Lagu tua ini menjelaskan betapa hebatnya peranan Iha dengan saudara-saudaranya di Pulau Ambon, Seram, dan Haruku menentang Belanda dengan Hongi tochtennya sebelum pecahnya perang Iha yang maha dashyat itu melawan Belanda. Itulah sebabnya sementara Gubernur Gysels memusatkan seluruh kekuatannya dalam mengepung keraton Iha, maka raja Iha dan masyarakatnya mendapatkan bantuan dari sekutu-sekutunya, misalnya yang pertama, Kimilaha Luhu. Dia menyusun suatu kekuatan Luhu menyerang VOC di Luhu dan daerah-daerah sekitarnya.

Sebuah kapal VOC yang sedang berlabuh di perairan Luhu, diserangnya, sehingga daerah Hoamoal dan sekutu Iha menjadi tidak tenang, dengan demikian VOC tidak dapat menguasai keadaan di darat maupun laut Hoamoal.
                Selain itu dalam rencana Gubernur Gysels untuk menyerang kerajaan Iha secara besar-besaran, tiba-tiba ia menerima sepucuk surat dari Sultan Ternate, yang bunyinya berisikann larangan untuk mengembalikan meriam dan hasil-hasil cengkih yang dirampas VOC dari Kimilaha Luhu. Selain itu ada larangan untuk menerima orang-orang Bugis, Makasar, dann perintah Sultan Ternate untuk membuat sebuah benteng VOC lagi di Luhu. Perintah itu tidak dihiraukan dan dijalankan oleh Kimilaha Luhu, malahan ia berbalik menyerang VOC di daerah Hoamoal sehingga menimbulkan konflik baru antara Luhu dan VOC.

Sementara itu pedagang-pedagang Bugis dan Makasar yang bersekutu dengan Iha, mencegat kapal-kapal VOC di laut Sulawesi, laut Banda maupun laut Maluku, karena sakit hati terhadap monopoli perdagangan remah-rempah oleh VOC. Hal yang sama terjadi di laut Jawa antara pedagang-pedagang Jawa sekutu Iha dengan VOC. Oleh karena itu sering timbul pertempuran-pertempuran laut antara pasukan Jawa, Bugis, dan Makasar melawan VOC. 


Hal ini sungguh-sungguh dimanfaatkan oleh raja Iha dan masyarakatnya yang memusuhi VOC untuk meminta bantua orang-orang Bugis, Makasar dan Jawa untuk membantu perjuangan mereka, dan sebagai balas jasa akan diberikan cengkih19. Tindakan ini merupakan ancaman besar bagi VOC di daerah Maluku. Dengan demikian Gubernur Gysels dihadapkan pada 2 alternatif yaitu apakah akan terus bertahan mengepung kerajaan Iha dan membiarkan bencana besar yang mengancam seluruh kehidupan VOC di Maluku ataukah menyelesaikan terlebih dahulu bencana besar yang datang dari Jawa, Bugis dan Makasar ini. Gubernur Gysels mengambil keputusan untuk tetap menghancurkan kerajaan Iha.

Sementara Gysels berada di kerajaan Iha memimpin ekspedisi pengepungan Iha, terjadilah perampokan besar-besaran di negeri Mamala (Pulau Ambon). Keadaan di darat maupun di laut sekitar Pulau Ambon menjadi tidak aman dan membahayakan kedudukan VOC di kota Ambon. Mau tidak mau perhatian VOC harus dialihkan ke Ambon untuk menanggulangi segala keamanan di kota Ambon dan sekitarnya, karena hal ini mempunyai pengaruh besar bagi kepentingan perdagangan, pemerintahan maupun sosial politik VOC. Dengan demikian Gubernur Gysels terpaksa harus menarik pasukannya dan membatalkan semua rencana pengepungannya terhadap kerajaan Iha20.

Tindakannya ini menurut dia sangat tepat, oleh karena kalau seluruh daerah Hoamoal (Seram Barat) dan Hitu (Pulau Ambon) telah dapat diamankan sehingga rakyat di daerah-daerah itu mengakui kekuasaan pemerintah kembali maka dengan sendirinya pertahanan kerajaan Iha pasti menjadi lemah. Untuk itu dialihkan seluruh perhatian Belanda ke Pulau Ambon, Seram dan sekitarnya.

Penyerangan terhadap kerajaan Iha dihentikan. Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Gubernur Gysels tidak dapat mengalahkan kerajaan Iha. Masyarakat Iha menjadi tenang kembali, karena tidak ada lagi pertempuran maupun gangguan keamanan dari pihak Belanda. Walaupun demikian para pemimpin kerajaan Iha beserta rakyatnya tidak tinggal diam. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk lebih memperkuat benteng pertahanan Amaiha, dan lebih memperat lagi hubungan kerjasama dengan sekutu-sekutunya.

Setelah kurang lebih 15 tahun, kerajaan Iha hidup tenang dan tentram kembali, maka pada saat itu Pulau Ambon, Seram dan sekitarnya dapat dikuasai oleh VOC. Gubernur Gysels diganti dengan Gubernur Demmere. Pada tahun 1647, Gubernur Demmer mulai menaruh perhatian besar kepada kerajaan Iha. 

Ia mulai memerintahkan agar semua orang Iha turun mendiami tempat tinggal yang baru di pesisir pantai yang diberi nama negeri Rarakit. Perintah Demmer supaya orang Iha meninggalkan keraton Iha di puncak gunung Amaiha Ulupaluw turun ke pesisir pantai ini, sama sekali tidak digubris oleh raja, para pemimpin dan seluruh lapisan masyarakat Iha. Orang Iha lebih senang tinggal di keraton Iha di daerah pegunungan dengan benteng Amaiha-nya yang telah terkenal dengan keutuhan dan keuletannya dalam menggagalkan pengepungan Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Gysels 15 tahun sebelumnya. Selain itu, keraton Iha ini lebih diperintah dan diperkuat dengan benteng pertahanan, sehingga orang Iha yakin bahwa benteng mereka yang gagah perkasa dan keraton Iha yang indah itu, tidak akan mungkin dapat dikalahkan oleh Belanda dengan kekuatan senjata mereka. Selain itu di dalam keraton Iha ini terdapat rumah-rumah adat dan sebuah mesjid raya Malakey (diumpamakan dengan kabah di Mekah) dan 7 buah mesjid hak milik 7 buah kerajaan kecil atau 7 soa yang rakyatnya hidup menjaga 7 buah negeri di sekitar wilayah kerajaan Iha. Baik mesjid raya Malakey maupun 7 buah mesjid kecil itu, semuanya dibangun dengan mahal, kuat dan merupakan kebanggaan umat Islam kerajaan Iha21, di samping keraton Iha yang megah dengan lambang kerajaan pohon kelapa emas dengan buah-buahnya yang lebat22. Keadaan ini sukar dilupakann apalagi mau ditinggalkan oleh masyarakat Iha dan para pemimpinnya. Mesjid raya Malakey merupakan salah satu bangunan mesjid yang mempunyai persamaan bentuk dengan mesjid Agung di Banten dan Mesjid Baitulrachman di Aceh23

Dengan keras kepalanya orang Iha melawan perintah Demmer, maka Demmer menjadi marah. Segera dipersiapkan oleh Demmer suatu pasukan tempur Belanda untuk menyerang dan merebut Benteng Amaiha dengan kekuatan senjata, walaupun begitu masyarakat Iha yang tidak pantang menyerah itu memainkan peranan penting lagi, sehingga cita-citanya Demmer ini tidak tercapai. Keadaan ini disebabkan karena permainan politik raja Iha dengan semua sekutu-sekutunya di Hitu dan Hoamoal dengan mendapatkan bantuan orang-orang Jawa, Bugis, dan Makasar mulai bergerak lagi sehingga timbul kembali gangguan keamanan di daerah sekutu-sekutu kerajaan Iha. Selain itu, raja Iha mulai melaksanakan politik yang agak lunak terhadap Belanda. Dengan demikian, sampai berakhirnya pemerintah Gubernur Demmer, Belanda tetap tidak berhasil menghancurkan kerajaan Iha.

Pada saat Gubernur Demmer diganti dengan Gubernur Arnold de Vlaming, maka sekali lagi masyarakat Iha bangkit dengan semangat yang berkobar melawan Belanda pada tahun 1647. Dengan bengis dan kejam, de Vlaming bertindak menumpas perlawanan Iha ini. Dengan segala kekuatan Belanda dan semua masyarakat Maluku yang telah berhasil ditaklukan Belanda dikumpulkan secara masal serta diberangkatkan ke jazirah Hatawano tiba di pantai kerajaan Iha. Tentara Belanda yang langsung dipimpin oleh Gubernur de Vlaming ini segera menyerang benteng Amaiha dengan mendapatkan bantuan orang-orang Ullath, Sirisori, Paperu, Saparua maupun orang-orang Nolloth maupun masyarakat sekitar perbatasan kerajaan Iha, dengan menjanjikan pembagian tanah-tanah kerajaan Iha kepada mereka yang berjuang membantu Belanda mematahkan pertahanan kerajaan Iha, dan bila kerajaan Iha ini sudah hancur sama sekali. Hal ini menyebabkan de Vlaming dan tentara Belanda menjadi kuat. 

Namun kekuatan senjata Belanda ini dengan mendapatkan bantuan dari masyarakat Pulau Saparua yang begitu banyak, namun mereka tidak mudah mengalahkan kerajaan Iha. Dengan bantuan seorang spion yang bernama Sasapohe (Sasabone) untuk menunjuk jalan rahasia masuk ke dalam keraton kerajaan Iha, dan dengan saran Sasabone agar tentara Belanda menembak sekerat tulang babi ke mesjid raya Malakey kebanggan masyarakat Iha ini, maka orang Iha tidak dapat bertahan di dalam benteng Amaiha, karena merasa mesjid mereka yang diagung-agungkan telah kena “haram”, oleh karena bagi umat Islam Iha, babi merupakan binatang yang dilarang oleh agama24. Umat Islam Iha sangat marah terhadap Sasabone karena mesjid mereka telah dinodai dengan tindakan Sasabone yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Setelah masyarakat Iha mengetahui secara jelas bahwa rumah ibadah mereka telah ditembak dengan tulang babi itu akibat pengkhianatan Sasabone, maka mereka bersumpah serta mengutuki Sasabone dengan suatu sumpahan yang sampai sekarang masih terkenal dengan “Kutuk Nitalake, Sasabone Kutuke, Kutuke-kutuke Sasabone Kutuke, sama bawang puti 7 turunan kutuke, Sasabone kutuke25.

Sumpahan atau Kutuk Nitalake terhadap Sasabone ini dinyanyikan dengan menumpahkan air mata, masyarakat Iha secara berduyun-duyun keluar dari pintu benteng Amaiha sebelah utara meninggalkan keraton Iha menuju Pulau Ambon (negeri Mamala), kemudian pergi ke Pulau Buru mendirikan daerah Hatawano di pulau Buru. Karena keadaan geografis Pulau Buru belum menyenangkan hati mereka, maka mereka pindah ke Pulau Seram, mula-mula ke gunung Sembilan di Piru dan terakhir mereka pindah ke daerah Hoamoal di pantai barat Pulau Seram, dan mendirikan kerajaan Iha baru di Seram Barat ini. Di tempat ini bila keadaan cuaca dan laut tenang, maka umat Islam Iha dapat melihat kerajaan asal Iha yang sebenarnya dimana leluhur mereka dilahirkan.

Pada saat sebagian rakyat Iha menuju ke Pulau Ambon dan terus ke Seram Barat, Raja Iha Latusopacualatu tidak berangkat meninggalkan kerajaannya dengan beberapa orang pemimpin Iha. Hal ini menyebabkan sebagian lagi rakyat Iha yang setia terhadap raja mereka dan masih cinta terhadap tanah kerajaannya, lalu keluar meninggalkan keraton dengan putra raja yang kedua, tinggal di dalam hutan-hutan wilayah kerajaan Iha yang nantinya mereka ini pergi ke negeri Sirisori dan minta dikristenkan, kemudian kembali ke tanah tumpah darah mereka dan mendirikan negeri baru dengan nama negeri Ihamahuf. Sebagian kecil lagi dari masyarakat Iha pergi ke negeri Latu di Seram Selatan, yang kemudian setelah aman, kembali ke tanah wilayah kerajaan Iha dan mendirikan Negeri Iha baru di Pulau Saparua dan tetap memeluk agama Islam di bawah pemerintahan putra Raja Iha yang ketiga. 

Setelah masyarakat Iha secara berangsur-angsur pergi meninggalkan benteng Amaiha, maka Belanda dengan bebas memasuki keraton Iha tanpa perlawanan senjata. Gubernur de Vlaming memerintahkan orang-orang Nolloth untuk menawan Raja Iha dan diperintahkan untuk dibawa ke pesisir pantai pada tanjung pertama sebelah utara Pulau Saparua (tanjung Hatawano), tempat dimana masyarakat Nolloth mendirikan negeri Nolloth atas izin Gubernur de Vlaming dan kepada mereka diwajibkan harus mendirikan benteng Velsen di ujung tanjung inig. Kemudian Gubernur de Vlaming melantik pemimpin masyarakat Nolloth dengan jabatan “Orangkaya”.

Kepada Orangkaya Nolloth diberikan kewenangan dan kepercayaan yang besar sekali untuk membagi tanah-tanah wilayah kerajaan Iha yang meliputi 7 buah negeri kecil (7 soa) kerajaan Iha dengan tanah-tanah adatnya di dalam wilayah kerajaan Iha itu sesuai dengan rencana Gubernur de Vlaming, yang akan memberikan tanah-tanah Iha kepada sekutu-sekutunya yang membantu Belanda sebelum penyerangan kerajaan Iha ataupun rencana de Vlaming memusnahkan kerajaan Iha itu.

Rencana de Vlaming membagikan tanah Iha itu kepada sekutu-sekutunya terdapat dalam buku harian Gubernur de Vlaming yang dikutip dari Amboinas buku harian tertanggal 16 Mei 1653 sebagai berikut :

1.         Tanah Soa Raja (Soa Iha) diberikan kepada masyarakat negeri yang pindah ke tanah Iha dan mendirikan negeri baru Itawaka

2.        Tanah Soa Patty (Soa Mahu) diberikan kepada masyarakat Paperu

3.        Tanah Soa Hahuhan (Soa Hatala) diberikan kepada masyarakat Saparua

4.       Tanah Soa Matalete (Soa Malige Hukum) diberikan kepada masyarakat Ullath yang pindah ke tanah Iha dengan mendirikan negeri baru Tuhaha

5.        Tanah Soa Peletula (Soa Pia) diberikan kepada Sirisori (Honimua) 

dengan instruksi Gubernur de Vlaming dalam tempo 7 bulan, masyarakat-masyarakat sekutu Belanda ini harus segera memindahkan tempat tinggal mereka dan pergi ke tanah-tanah pembagian mereka di Kerajaan Iha untuk menjaga tempat-tempat yang telah ditunjuk itu dalam rangka menjaga serta mencegah kembali masyarakat Iha menduduki tempat-tempatnya lagi sehingga dapat bersatu kembali dengan sekutu-sekutu mereka yang bisa mengakibatkan perlawanan kembali terhadap Belanda. Kepada masyarakat Nolloth tidak disebut-sebutkan tanah Soa Iha yang mana yang diberikan de Vlaming kepada mereka. Namun dalam kenyataannya, masyarakat Nolloth mendapatkan/menduduki sebagian besar wilayah kerajaan Iha26.

                Dengan tindakan Gubernur de Vlaming merampas serta membagi-bagikan tanah-tanah wilayah kerajaan Iha ini kepada sekutu-sekutunya yang tidak berhak, menyebabkan Iha menjadi daerah berdarah artinya dari tahun ke tahun sejak zaman Gubernur de Vlaming sampai saat ini bahkan mungkin akan sampai kiamat tanah Iha yang dibagi-bagikan kepada yang tidak berhak itu selalu menimbulkan api peperangan, pertumpahan darah dari satu generasi ke generasi berikutnya karena Belanda meninggalkan suatu bom waktu dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat diselesaikan sepanjang zaman.

Pesisir Hatawano, sekitar 1817

 

2.        Iha menjadi Daerah Berdarah

Setelah raja Iha mati dibunuh oleh orangkaya Nolloth dan masyarakatnya, dan orang-orang yang bersekutu dengan Belanda telah pindah ke tanah Iha dan mendirikan negeri-negeri baru seperti Itawaka, Kampung Mahu, Tuhaha, dan negeri Pia dalam wilayah kerajaan Iha, maka masyarakat negeri Ihamahu yang telah menjadi Kristen (mengaku takluk kepada Belanda) kembali pulang dari negeri Sirisori ke tanah asalnya dalam wilayah kerajaan Iha dan mendirikan negeri Ihamahu di pantai Kota Hitu, persis di bawah benteng Amaiha, yang terletak tepat di tengah-tengah jazirah Hatawano yang oleh Belanda disebut negeri baru Rarakit27, di bawah pemerintahan Pattih Yeremias Djumat Patiiha atau disebut Patiamalo28, turunan putra Raja Iha Awal yang kedua.

Orang Iha pertama yang datang menghadap Gubernur de Vlaming untuk meminta tanah, bernama Lisapaliy, yang oleh Gubernur de Vlaming diperintahkann untuk memeluk agama Kristen dan diberi nama Arnold de Vlaming Van Oudsthoorn Watyemena Lisapaliy, dan kepadanya diberikan sebidang tanah sisa yang belum terbagi yang disebut tanah Lounusa (tanah sisa)29. Sesudah itu Pattih Yeremias Djumat Patiiha berangkat menuju benteng Victoria di Ambon untuk menghadap Gubernur de Vlaming, minta dibaptiskan serta meminta tanah untuk masyarakat negeri Ihamahu30.

Gubernur de Vlaming mengatakan kepadanya bahwa tanah Iha sudah habis terbagi-bagi. Masyarakat negeri Ihamahu terpaksa tidak menerima sama sekali pembagian tanah dari de Vlaming, karena sudah tidak ada tanah. Untuk memiliki tanah bagi kelangsungan hidup negeri Ihamahu, mereka harus membeli tanah kepunyaan Sekretaris Gubernur Guanatudih yang terletak di sebelah selatan lereng gunung Amaiha yang berbatas dengan tanah Lounusa (tanah Lisapaliy). Kemudian mereka membeli pula tanah Hatala yang telah diberikan kepada negeri Saparua melalui masyarakat negeri Tuhaha, dan mereka membeli juga sebidang tanah milik Parera yang berbatas dengan negeri Tuhaha.

Selain itu masyarakat negeri Ihamahu ini membeli tanah Mahuputi dari negeri Nolloth dan tanah Amaritang dari negeri Paperu31. Sementara itu sebagian kecil masyarakat Iha yang pindah ke negeri Latu di Seram Selatan, kembali pulang ke tanah asalnya dan mendirikan Negeri Iha “kecil” atau baru di Pulau Saparua yang terletak dekat negeri Ihamahu (negeri saudaranya), sampai sekarang tidak memiliki sebidang tanah pun dari wilayah kerajaan Iha asalnya. Mereka ini sampai sekarang hanya bisa hidup sebagai nelayan-nelayan yang hidupnya tergantung pada mata pencaharian di lautan, dan masih meneruskan usaha-usaha leluhurnya sebagai pandai besi dan pandai emas. Masyarakat Iha kecil di Pulau Saparua ini diperintah oleh seorang raja, keturunan dari putra raja, Iha Awal yang ketiga. Bagi masyarakat negeri Ihamahu maupun Iha kecil di Pulau Saparua yang kedua-duanya merasa berhak atas tanah leluhurnya (tanah wilayah kerajaan Iha) tentu merasa sakit hari karena tidak memperoleh pembagian tanah dari Gubernur de Vlaming. Di pihak lain, masyarakat yang menjadi sekutu de Vlaming untuk menghancurkan kerajaan Iha dan telah menduduki tanah kerajaan Iha selalu memusuhi masyarakat negeri Ihamahu dan masyarakat negeri Iha turunan asli masyarakat kerajaan Iha secara juridis formal itu, malah dibenci diburu-buru dan didesak-desak oleh masyarakat negeri-negeri sekutu Belanda ini.

Keadaan ini menyebabkan selalu timbul gangguan keamanan di jazirah Hatawano yang semula menjadi wilayah kerajaan Iha. Hampir setiap tahun terjadi perkelahian, bunuh-membunuh, bakar-membakar negeri antara masyarakat di wilayah kerajaan Iha ini sehingga selalu terjadi pertumpahan darah. Itulah sebabnya Iha dengan jazirah Hatawano-nya dikatakan menjadi daerah berdarah32. 

3.       Akibat-akibat Perang Iha

Setelah de Vlaming berhasil menawan serta membunuh raja Iha dan para pemimpinnya, maka seluruh masyarakat Iha dan wilayah kerajaannya dianggap telah tunduk dan takluk kepada VOC. Dengan demikian, VOC bertindak sebagai pemegang kekuasaan mutlak atas kerajaan Iha dengan semua hak miliknya termasuk masyarakat Iha sendiri. Raja Iha dianggap sudah tidak ada dan sama sekali Belanda tidak mengakui kekuasaan raja Iha dan seluruh masyarakat Iha dianggap sudah tidak ada lagi dan dikategorikan sebagai rakyat yang takluk kepada VOC. Kepemimpinan dan kemerdekaan masyarakat kerajaan Iha hilang lenyap, bahkan masyarakat kerajaan Iha dikatakan dalam laporan Gubernur Belanda dan para residen sebagai kaum pelarian. VOC menciptakan suatu sistem pemerintahan baru, yang kekuasaannya secara langsung berada di bawah VOC atas segala sesuatu yang menyangkut kerajaan Iha baik di dalam maupun di luar hukum. Bahkan segala hukum yang diterapkan di wilayah kerajaan Iha ini adalah hukum VOC, sehingga semua negeri-negeri sekutu Belanda yang mendapat pembagian tanah Iha maupun negeri Ihamahu dan negeri Iha kecil di dalam bekas wilayah kerajaan Iha ini diatur oleh VOC, sehingga mereka ini betul-betul dijajah oleh VOC.

Mereka sama sekali tidak mendapat kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Negeri Ihamahu dan negeri Iha betul-betul mendapat tekanan dari VOC sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. VOC mulai mengatur tata pemerintahan maupun masyarakat negeri Ihamahu dan negeri Iha sesuai selera VOC. Bahkan struktur pemerintahan negeri Ihamahu dan negeri Iha diubah sama sekali oleh VOC dengan mengangkat para pemimpin negeri Ihamahu dan negeri Iha yang sama sekali tidak mempunyai hubungan keturunan dengan Raja Iha Awal.

Pola hidup masyarakat Iha Awal yang semula bersifat kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong royong yang masih dimiliki oleh masyarakat negeri Ihamahu dan negeri Iha diubah oleh VOC menjadi pola hidup kapitalis materialis. Namun pola hidup ini tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya karena masyarakat keturunan kerajaan Iha ini telah memiliki dan menghayati pola hidup leluhurnya dan telah membudaya, walaupun kehidupan mereka menjadi sangat sukar. Masyarakat Ihamahu dan masyarakat Iha hidup menderita, karena selain semua harta benda telah dirampas atau dimusnahkan oleh VOC, kehidupan mereka selalu terganggu, dan tidak lagi menikmati kesenangan hidup sebagaimana pada masa jaya kerajaan Iha akibat tindakan biadab VOC dengan sekutu-sekutunya merampas dan menduduki kerajaan Iha pada tahun 1652, yang oleh Belanda, kerajaan Iha dinyatakan kalah perang33.

 

  1. PENUTUP

           I.          Saran-saran.

a)       Kerajaan Iha yang menggalang persatuan dan kesatuan serta berinteraksi dengan segala suku bangsa dalam perjuangan nasional menentang kolonialisme Belanda perlu ditulis dalam Sejarah Nasional.

b)      Pola hidup masyarakat Iha.yang bersifat kekeluargaan, tolong menolong dan kegotong-royongan serta hidup bersahabat dengan segala suku bangsa dalam kaitan nasional perlu dicontoh dan diteladani oleh generasi penerus.

c)       Sikap patriotisme, heroisme dan militansi serta teguh dalam perjuangan perlu dibina, dipelihara dan dikembangkan serta dihayati oleh generasi muda.

d)      Kapitan Tobo/Panglima perang Kerajaan Iha yang tidak pernah menyerah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara merupakan sikap kepahlawanan yang sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional.

e)       Untuk memperingati serta mengabadikan sejarah perjuangan Kerajaan Iha menentang kolonialisme Belanda, sudah sepantasnya bekas benteng dan Kraton Amaiha yang masih ada itu perlu dipugar kembali dan dipelihara sebagai benda peninggalan sejarah dan purbakala, sedikit banyaknya perlu ada satu monumen di tempat peninggalan sejarah ini yang dapat melambangkan sejarah perjuangan Kerajaan Iha.

f)        Untuk menghilangkan luka derita, azab sengsara serta air mata masyarakat Kerajaan Iha yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan akibat tindakan Belanda perlu diimbangi dengan perhatian serius pemerintah agar pem bangunan nasional dapat dinikmati oleh warga masyarakat bekas Kerajaan Iha yang tertindas ini.

g)      Perlu diadakan peningkatan pendidikan di daerah ini dengan jalan membangunkan sekolah-sekolah kejuruan agar masyarakat yang telah memiliki bakat sebagai pandai besi dan pandai emas dari leluhurnya bisa berkembang dengan cara yang lebih baik.

h)      Untuk menghindarkan percekcokan dan konflik yang mengakibatkan pertumpahan darah secara terus menerus, perlu dibangun di daerah ini pabrik-pabrik misalnya pabrik ikan kaleng, pabrik minyak kelapa, pabrik minyak cengkih dan usaha-usaha perindustrian lainnya sehingga masyarakat bekas kerajaan Iha maupun sekutu-sekutu Belanda yang hidup saling membenci dapat hidup bergandengan dan bekerja sama di dalam menyukseskan pembangunan nasional sehingga dengan sendirinya akan tercipta suatu pola hidup baru yang sesuai dengan jiwa UUD 45 dan Pancasila.

i)        Struktur pemerintahan peninggalan kolonial secara perlahan-lahan harus dapat diubah, disesuaikan dengan hukum maupun undang-undang no. 5, yang menyangkut pemerintahan daerah serta keputusan menteri dalam negeri yang mengatur tata pemerintahan.

j)        Penataran P4 ciptaan pemerintah Orde Baru, perlu dilaksanakan sebagaimana mestinya bagi masyarakat yang menghuni bekas wilayah Kerajaan Iha ini, agar mereka dapat memiliki sikap "teposeliro" atau tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai, berjiwa Pancasilais sejati dalam mengisi dan meneruskan kemerdekaan.

  1. Kesimpulan
  1. Perang Iha menyebabkan kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan bagi rakyatnya, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah Republik Indonesia.
  2. Pola hidup masyarakat diobah dan disesuaikan, sehingga masyarakat di daerah ini memiliki kembali martabat serta rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka.

===== selesai =====


Catatan Kaki

11.       De Graaf, H, I, DR, Een oude en een nieuwe negorii, (Kerajaan Iha) selaku salah satu kerajaan tua berpusat di Gunung Amaiha dan kemudian mendirikan salah satu negeri baru Ih.amahn "Negeri Rarakit" setelah turun ke pesisir pantai.

12.      Mes, Fruin, W. Dagh Register, gehouden int Casteel Batavia, II,  Anno 1682, hal. 1202, dan Colenbrander, HT, Dagh Register, Gehouden int Casteel Batavia, Anno 1643-1644 hal. 93.

13.      Colenbrander HT, DR. Dagh Register, gehouden int casteel Batavia, Anno 1637 hal. 172.

14.      De Graaf H,l,DR, Een oude en een nieuwe negorii, ibid.

15.      Rumphius, Deel I. op.cit. hal. 83.

16.     Colenbrander HT,DR.Dagh Register, gehouden int casteel Batavia, Anno 1637, hal. 93.

17.       -------, ibid;

18.      Frans Hitipeuw, Drs. Karel Sadsuittubun, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta 1982/ 1983. op. cit. hal. 10.

19.     Van Der Chijs, J.A. Mr. Dagh Register gehouden int casteel Batavia Anno 1640-1641 , op.cit. hal. 296, 297.

20.    Valentyn, Francois, Beschrijving van Amboina, II Deel, op.cit. hal. 86 dan Van Der Chijs, J.A. Mr. Dagh Register, gehouden int casteel Batavia, Anno 1640-1641 ibid, hal. 296, 297.

21.      Latupikaulan, Hikayat tanah Iha, "Buku Tembaga Kerajaan Iha" op.cit. hal. 3.

22.     Valentyn, Francois, II Dell op.cit, hal. 87.

23.     Latupikaulan, Hikayat tanah Iha "Buku Tembaga Kerajaan Iha". log.cit.

24.     -------,op.cit. hal. 87.

25.     ------, ibid, hal. 317 dan ditulis juga oleh Nn. Martha Sapulete, dalam makalahnya yang berjudul Iha zaman
purbakala, Ambon 1989.

26.    Rumphius, I Deel, op.cit. hal. 83, dan "Kutipan dari Aboinas buku harian tertanggal 16 Mei 1653 dan keterangan J. Selano, orang kaya Noloth pada Team Research Sejarah Pahlawan Nasional Pattimura, Noloth, 21 Mei 1967.

27.     De Graaf, HI, DR. Een oude en een nieuwe negorii, ibid.

28.     Mess, Fruin W. Dagh Register, gehouden int casteel Batavia, Anno 1682, ibid. hal. 1202.

29.    Afschrift, Apunctement voor Gobis Sijbrant Lisapali (Kutipan) dari Tuan De Vlamming Van Oudshoom Gubemur Ambon, tanggal 16 Mei 1653, nomor 7 dan nomor 16, serta copie collationnee dari keluarga Lisapali yang disalin dari arsip Nasional Batavia, 11 Oktober 193 7.

30.    Mees, Fruin W, Dagh Register, gehouden int casteel Batavia, Anno 1682, op.cit. hal. 708.

31.      Surat pembelian tanah Mahuputi, Amaritang, Hatala, Guanatudi dari Baltasar Gomes, tersimpan selaku dokument Negeri Ihamahu, masih ada sampai sekarang.

32.     Sopamena, M.S. Hatawano berdarah suatu skripsi untuk mencapai gelar Sarjana Muda pada IKIP Ambon.

33.     Arnold de Vlaming Van Oudsheron, laporan Gubemur Ambon kepada Gubernur Jenderal di Batavia tertanggal, Ambon, 16 Mei 1653, dan De Graaf, H.I. DR. Een oude en een Nouwe negorii, pada akhir tulisannya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1.         Arnold de Vlamming Van Oudsharon, Laporan Gubernur Ambon kepada Gubernur Jenderal di Batavia tertanggal Ambon, 16 Mei 1653.

2.        Afschrift, Apuncttement Voor Golis Sijbrant Lisapali, Arsip Nasional Batavia, 11 Oktober 1937.

3.        Colenbrander, MT, DR. Dagh Register Gehouden 1nts Cesteel Batavia, Anno 1643-1644", agravenhage, Marthinus Nijhoff 1902.

4.        De Graaf, H.I. Dr. Een oude en een .nieuwe negorri.

5.        Drs. Frans Hitipeuw, Kerel Sadsuitubun, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta 1982/ 1983.

6.       Latupikaulan, Hikayat Tanah Iha, "Buku Temba.ga Kerajaan Iha".

7.        Mees, Fruin, W. Dagh Register Cehouden intscasteel Batavia I, Anno 1982.

8.        -------, Dagh Register Gehouden ints casteel Batavia, 11, Anno 1643-1644.

9.       Rumphius, Georgius Everhardus, I, Deel de Generale Land Beschrijving Vannet Ambonsche Gouvernement, Beschrijving der Nagul Boomen Van het Comptoir Hila, Anno, 1805.

10.     Sapulete, Martha, Iha zaman purbakala, Skripsi Sarjana Muda IKIP Ambon.

11.       Sopamena, M.S. Hatawano Berdarah, Skripsi Sarjana Muda IKIP Ambon.

12.      Surat-surat pembeliarn tanah Mahuputi Amaritang Hatala Guanatudi (Dokumen Negri Ihamahu).

13.      Van Der Chijs, J.A. Mr. Dagh Register Gehouden ints Casteel Batavia Anno 1640-1641.

14.      Valentyn, Francois, Beschrijving van Amboina, Verbatende, Een Wydluftge Verhandeling van het zelve, en van alle de Eylenden, daar ouder behoorende te weten van 't groot Eiland Grarama, Boero, Amboina Noessa Laoet Oma, Manipa, Bonoa, Kelang, II Deel 1805.

15.      Team Research Sejarah Pahlawan Nasional Pattimura, Ambon, 20 Juli 1967.

16.     Rumphius, Georgius Everhardus, De Ambons ohe Historie.

17.      Latukaisuoy, Abdul Gawi, Terjemahan Hikayat Tanah Iha.

18.      Afschrift, Apunctement voor Gobis Sijbrant Lisapali (Kutipan) dari Tuan De Vlamming Van Oudshoora Gubernur Ambon, tanggal 16 Mei 1653 No. 7 dan No. 16, serta coppy Collation nee dari keluarga Lisapali yang disalin dari Lands Archie[. Batavia, 11 Oktober 193 7.

19.     Drs. Frans Hitipeuw, Sejarah Perjuangan Pattimura di Maluku, Ambon, 1971 .

20.     --- ---, Tokoh/Provil Pattimura, Jakarta, 1980.

21.      Nanulaitta, I, 0 . Kapitan Pattimura Depdikbud Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Jakarta 16 Desember 1976.

 

Catatan Tambahan

a.        Artus Gysels atau Gijsels, lebih tepatnya menjadi Gubernur Ambon pada periode  1631 – 1634.

b.       Hitipeuw keliru pada informasi ini. Berdasarkan daftar Gubernur Ambon, Artus Gysels/Gijsels adalah Gubernur Ambon ke-7.

§  Rumphuijs, Georgius Everhardus, De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft. "s-Gravenhage, Martinus Nijhoff (eerste deel), caput 12, hal 78

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724

§  Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 35-59)

§  Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 526

§  Knaap, Gerrit.J. Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achtiende eeuw, ‘S Gravanhage, Martinus Nijhoff, 1987 (hal XVI-XVII)

c.        Philip Lucaszoon menjadi Gubernur Ambon pada periode 1628 – 1631

d.       Kami tidak bisa mengkonfirmasi nama Kapitan Tobo yang ditulis oleh Hitipeuw ini, dimana Hitipeuw secara eksplisit menulis bahwa para penulis Belanda dan residen menyebut nama itu dalam laporannya, bahkan Hitipeuw memberikan sumbernya yaitu Daag Register di casteel Batavia tahun 1637, halaman 93 (lihat catatan kaki no 16). Kami memeriksa ulang sumber ini, namun tidak menemukan nama Kapitan Tobo itu. Pada halaman 93 di sumber itu, adalah tentang masalah di Masulipatnam, Bengal. Kami memeriksa seluruh halaman (sebanyak 324 halaman) pada sumber itu, namun tidak menemukan indikasi tentang nama itu. Mungkin Hitipeuw memberikan sumbernya secara keliru.

§  Kami menemukan indikasi tentang nama kapitan Iha yang disebut oleh Hitipeuw sebagai Tobo atau Tobias. Menurut sumber-sumber VOC, ia bernama Hatip Pattij.

§  Lihat pada Uit het “Journael vant geene alhier in de quartieren van Amboyna is gepasseert” (van Sept. 1625 tot het eind van Mei 1626) door den gouverneur Jan van Gorcum (dimuat oleh P.A. Tiele, De Opkomst van Het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, deel II, Martinus Nijhoff, s’Gravenshage, 1890, hal 100 – 105), khususnya hal 101

e.        Hitipeuw keliru pada informasi ini. Artus Gysels tidak digantikan oleh Demmer atau Gerard Demmer. Gysels digantikan oleh Anthonie van den Heuvell (1634 – 1635), sedangkan Gerard Demmer menggantikan Anthoni Caan (pejabat Gubernur – 1642 sd 1642). Demmer sendiri berkuasa pada periode 1642 – 1647

f.         Negeri Ihamahu secara resmi dianggap sebagai negeri tersendiri pada tahun 1682

§  Knaap, Gerrit.J. Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achtiende eeuw, ‘S Gravanhage, Martinus Nijhoff, 1987, hal  245 dan arsip VOC 1376: 5r (arsip ini berupa laporan dari Robert de Vicq kepada Hoge Regering di Batavia tanggal 20 Mei 1682)

g.        Benteng Velsen didirikan pada tahun 1654

h.       Perlu dipahami bahwa Guanatudi atau Guata Hoedij dalam kalimat Hitipeuw ini, bukanlah nama sekretaris Gubernur, tapi sebenarnya nama gelar bagi pemimpin negeri Mardika (pulau Ambon).

18 komentar:

  1. terkhusus Pembagian tanah kepada siri sori Yaitu pia perlu Beta garis bawahi (mungkin benar atau salah). Kenapa demikian,. Karena hingga saat ini org iha menggap org siri sori Islam terlibat dalam perang iha dan menjadi penghianat (mohon maaf apabila pernyataan ini keliru) dan terdoktrin hingga saat ini dengan kalimat sprti ini hingga sekarang. Padahl yg di maksudkan siri sori di sini adalah siri sori Kristen yg mana penduduk pia saat ini adalah warga asli siri sori Kristen. Di pia,
    Mohon maaf apabila ada komentar yg kurang berkanan di blog ini dan memang hanya sekedar mengoreksi entah benar atau salah gaya bisa di buktikan dengan data 🙏🙏

    BalasHapus
  2. Pia atau soa pia dari awal sampe sekarang pun itu bukan tanah SSI. Pia (dusun pia) sqmpai saat ini adalah desa administratif SSS 🙏


    Maaf skli lagi itu yg bt ketahui 🙏🙏🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. dnke bu.... secara pribadi, b setuju dgn bu punya pendapat... memang benar, cuma karena di masa itu, SSI belum menjadi negeri denitif/terpisah, maka mungkin banyak orang secara "membabi buta" berpikir seperti itu... maksih..

      Hapus
  3. Itu sudah Bu,. Tapi tulisannya tambah keren e,. Sudah bisa biking buku Bu. Banyak bbteman2 guru yg punya tulisan di blog yg di terbitkan jadi buku. 👍👍

    BalasHapus
  4. Saatnya buat buku sudah Bu. Tulisan blog mantap2 samua ni👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. dnke lai abang,,,cuma itu talalu jauh, ktong biking yang bagini-bagini dolo jua... skli lai, dnke kio abang,,,semoga sllu sukses dalm kerjaan dan khidupan...amin...

      Hapus
  5. gandong punya tulisan mantap skali, kalau bisa beta bisa minta gandong pung kontaq atau email, tlg kirim di b email jua (muispikahulan@gmail.com) beta tertarik dengan sebutan Latu Pikaulan,untuk marga pikahulan sendiri di iha dikenal dengan sebutan Latu Sinanohi, mungkin gandong punya referensi yg beta bisa pelajari terkait b pung fam ini, dangke banyak gandong sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. dnke abang atas apresiasinya... maaf kio beta baru balas, soalnya sibuk sadiki jadi seng pernah buka2 blog ni.... ooo ia, postingan ini bukan b pung tulisan abang, ini makalah dari Frans Hitipeuw, yng b sajikan ulang saja cuma b tmbahkan bberpa gmbar, ctatan tambahan dari b.... soal abang pung pertanyaan, b seng bisa janji kio... nnti klo b ada dapa referensi, b kontak abang di email... atau klo mo diskusi, ini b pung email adrynanakotta@gmail.com

      Hapus
  6. Saran saja.
    Sebaiknya untuk menambah bobot tulisan tentang IHA di Saparua lebih memperbanyak penelusuran literasi Seperti : Buku Patasiwa und Patalima, dan beberapa buku lainnya di dalam dan luar negeri shg scr objektif ktg bisa melihat IHA.
    Iha berasal dari Sahulau I yang bercorak Islam dan keluar ke Saparua pada tahun 1400an.
    Juga tdp referensi ilmiah yang menjelaskan Sahulau didirikan setelah Nunusaku runtuh, sehingga ada benang merahnya.

    Saran ini saya sampaikan sehingga tulisan ini lebih berbobot dari karya ilmiah dari sang dosen tersebut yang menurut beta kurang objektif dan tendensius.

    MESE

    BalasHapus
  7. Mhn maaf, Saat saya baca tulisan ini, sebagai anak cucu negri ini saya hanya mau bertanya, sumber ini didapatkan dari mana, karena perlu penulis ketahui bahwa,kerajaan Iha adalah kerajaan Islam, nota Bene masyarakat saat itu namanya bercirihas muslim bukan nama2 yg sebagaimana penulis sampaikan,tlg ditelusuri kembali 🙏🙏🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru balas...maaf skli lagi...tulisan ini adalah tulisan bagian kedua...bisa dibaca pada bagian pertama disitu disebutkan bhwa ini adalah tulisan Frans Hitipeuw beserta sumber tulisannya...jd kami hnya menulis ulang saja, agar bisa dibaca...kerna mungkin saja tulisan asli itu sudah jarang didapatkan...sakam

      Hapus
  8. bung adryn anakotta ale skrg su jadi sejarawan ee,,tapi data yg ale dapat ni su batul ka ?????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru balas...jika kk Bu baca bagian 1 dari tulisan berseri ini (ini bagian kedua)...maka ini bukn tulisan kami tetapi tulisan Frans Hitipeuw...kami hnya menulis atau mengangkat kmbli tulisan ini di blog kami...salam

      Hapus
  9. Bung Adryn Anakotta apakah tulisan yg ale kase masuk di blog ni apakah data yg ada ni su
    batul ka ????

    BalasHapus
  10. Mohon mf, di dlm tulisan bapak ada keterlibatan negri Tamilouw untuk membantu Belanda menyerang kerajaan iha, apa bisa di buktikan??. Sebab tidak ada dlm cerita atau sejarah negeri Tamilouw yg mengirimkan pasukan untuk menyerang kerajaan iha.apalagi bersama-sama membantu Belanda.
    Belanda adalah musuh kami gimana mau bekerjasama??.

    BalasHapus
  11. Yansen Latumaerissa1 Maret 2024 pukul 19.21

    Syalom
    Salam kenal Untuk Katong samua
    Perkenalkan saya Yansen Latumaerissa
    Bapak Saya Bermarga Latumaerissa Dari ITAWAKA dan Ibu saya dari IHAMAHU
    saya sangat tertarik tentang Cerita tentang Kerajaan IHA dan Kemegahanya Pada jaman itu yg sering di ceritakan oleh Kakek dan nenek saya
    karena tertrik dengan cerita ini saya selama 1 beberapa bulan ini mencari reverensi tentang KERAJAAN IHA untuk proses pembuatan Album Instrumental Yang bertajuk SAPANOLUA untuk saya mencari reverensi tentang Kisah'' dari kerajaan iha
    jika berkenan saya mohon ijin mengunakan reverensi penulisan ini sebagai materi dalam pengerjaan Album instrumental yang sedang saya kerjakan.

    TERIMAH KASIH TUHAN BERKATI

    BalasHapus