Jumat, 11 Juni 2021

Bersalin kapada bassa Malajů. Penerjemahan Alkitab di Indonesia abad ke-17 dan 18


[Lourens. J. de Vries]


A.    Kata Pengantar

Alkitab yang kita baca di hari ini dalam terjemahan bahasa Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Hampir 4 abad yang lalu (tepatnya 391 tahun), untuk pertama kalinya, Alkitab atau lebih tepatnya bagian Alkitab, yaitu Kitab Matius dalam Perjanjian Baru itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Albert Corneliszoon Ruyl, dan dicetak oleh Jan Jacobs Palensteyn di Enkhuizen pada tahun 1629. Sejak itulah, bagian-bagian Alkitab itu diterjemahkan, hingga Alkitab secara utuh.

Artikel ini ditulis oleh Lourens. J. de Vries, seorang sarjana (Prof. dr) yang salah satunya adalah kajian tentang penerjemahan Alkitab di Faculty of Humanities and in the Faculty of Religion and Theology, Universitas Vrije, Belanda. Artikel ini berjudul Bersalin kapada bassa Malajů. Bible translation in the Indonesian Archipelago of the 17th and 18th century, dan dimuat pada halaman 45 – 58 dari buku berjudul 385 Tahun Injil Matius Terjemahan A.C. Ruyl, yang dieditori N.G. Mamahit dan diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 2014.

Ada beberapa informasi menarik dari artikel ini, saat kita selesai membacanya. Penerjemahan pertama kitab suci ini, ternyata tidak dilakukan oleh para pendeta atau yang berasal dari bidang agama, melainkan dari kaum pedagang.  De Vries memberikan kita alasannya, dengan menarik pemahaman kita untuk mengetahui tentang cita-cita teokratis Calvinisme, kontrak staten generaal dengan VOC, serta alasan pragmatisme yang menjadi dasar pemikiran, kaum kapitalis melakukan hal itu. Informasi yang sangat menarik dalam konteks lokal, yaitu terlibatnya 2 guru asal Ambon dalam penerjemahan Alkitab pada tahun 1691. Mereka membantu pdt Melchior Leijdecker yang akan menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Melayu dalam bentuk atau varian “Melayu Tinggi”. Penerbitan hasil penerjemahan ini tertunda lumayan lama sekitar 22 tahun, akibat terjadinya friksi yaitu faksi “Melayu Tinggi” dan faksi “Melayu Rendah” yang “dikomandani” oleh Francois Valentijn.

Artikel ini sendiri hanya memiliki 2 catatan kaki dari penulis (kami tidak menyertakannya dalam artikel terjemahan ini), tidak menyertakan gambar ilustrasi, sehingga pada artikel terjemahan ini, kami menambahkan gambar ilustrasi dan catatan tambahan.


 

B.     Terjemahan

 

                Pendahuluan  

Pada tanggal 23 Februari 1605, Steven van der Haghen, pemimpin armada VOC (kompeni) mengambil alih benteng “Nossa Senhora da Anunciada” di pulau Ambon. Benteng tersebut diserahkan kepadanya oleh Gubernur Portugis di Ambon dan diganti namanya menjadi Kasteel Victoria. VOC membangun benteng Maleyo (fort Maleyo) di Ternate pada tahun 1608, dan pada tahun 1619 menjadikan Batavia (Jakarta) di pulau Jawa sebagai markas besar mereka (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 3-4).

Name benteng Portugis (“Our Lady of the Annunciation”) menunjuk pada agama Katholik yang disebarkan oleh Portugis pada abad ke-16 di Maluku dan Sulawesi Utara, seperti yang dilakukan Spanyol di Sulawesi dan kepulauan Sangir-Talaud (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 3). Negeri-negeri Kristen di wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan langsung VOC, dan sekitar 16.000 jiwa setelah takluknya Portugis dan bertambah menjadi 30.000 jiwa setelah takluknya Spanyol (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 3). Sejak Gereformeerde Kerk (Gereja Reformasi – Reformed Church) hanya yang diijinkan di wilayah publik pada wilayah-wilayah di bawah kontrol VOC (Schutte, 2002), maka semuanya menjadi Gereja Reformasi Belanda dengan banyak jemaat, serta ribuan pemeluk agama Katholik yang membutuhkan katekismus, teks-teks liturgis dan Alkitab dapat menggunakan pada gereja reformasi. Ini merupakan sistem untuk menghukum penduduk/masyarakat yang tidak pergi ke gereja (Niemeijer, 2002a: 129-130). Negeri-negeri yang memeluk agama Islam di wilayah kekuasan kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan dibawah perlindungan Sultan-Sultan dan dapat menjalankan kepercayaan mereka tanpa gangguan (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 3). VOC sangat mengontrol gereja-gereja reformasi di timur dibandingkan otoritas yang mengontrol gereja di Republik (Belanda), sebagai contoh, para pendeta yang merupakan pegawai VOC, tidak bisa berkunjung ke pulau lain tanpa izin dari VOC (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 4). Tidaklah mengejutkan bahwa “agama” reformasi, biasanya disebut Agama Kumpeni (Niemeijer, 2002b).

Topik artikel kami ini adalah kajian sejarah tentang penerjemahan Alkitab di Indonesia pada abad ke-17 dan 18. Selama 2 abad, VOC adalah satu-satunya komisioner (pengawas) dari penerjemahan Alkitab di wilayah yang sekarang ini menjadi Republik Indonesia. Penerjemahan Alkitab VOC  ini memiliki arti penting bagi sejarah global penerjemahan Alkitab karena diantara terjemahan VOC adalah terjemahan pertama (yang dibuktikan) dari penerjemahan buku-buku Alkitab dalam bahasa Melayu, terjemahan injil Matius oleh Ruyl pada tahun 1629, dilanjutkan pada tahun yang sama atau tidak lama kemudian dengan terjemahan atas injil Markus. Terjemahan bahasa Melayu injil Matius milik Ruyl adalah bukti terjemahan pertama dalam suatu bahasa Asia (Soesilo, 2013: 174). Alkitab terjemahan VOC milik d’ Almeida adalah Alkitab pertama dalam bahasa Portugis dan telah berulang kali dicetak ulang di luar Indonesia, dengan revisi tahun 1959 yang masih menggunakan nama d’ Almeida (Swellengrebel, 1974-1978, Vol I: 10).

Salinan injil Matius bahasa Melayu milik Ruyl tahun 1629 itu, ada di British Library di London, Public Library of Stuttgart, Library of Utrecht University dan di Cathedral Library of Lincoln di Inggris. Selain itu, Cathedral Library of Lincoln memiliki salinan unik dari terjemahan injil Markus bahasa Melayu milik Ruyl tahun 1629 edisi paling awal (atau setelah itu)2. Injil Markus bahasa Melayu di katedral Lincoln ini, memiliki ciri ejaan khas yang sama dengan yang dimiliki injil Matius tahun 1629, dimana ciri ini hilang dalam edisi-edisi berikutnya, seperti edisi injil Markus bahasa Melayu tahun 1638 yang tersimpan di Stuttgart. Ciri ini adalah penulisan huruf u dengan lingkaran kecil di atasnya ( ů ), yang menunjukan apa yang didengar oleh Ruyl sebagai diftong. Bagi Ruyl, hal ini adalah masalah penting karena dia mencurahkan seluruh halaman pada halaman depan injil Matius untuk fitur ejaan itu. Conthohnya adalah kata penutup di injil Markus milik Ruyl pada folium 120 :  Sůdahan Evangelium Marcum. 


Salinan-salinan yang ada di Katedral Lincoln, [awalnya] dibeli oleh Michael Honywood (1597-1681), seorang dekan Lincoln Cathedral dan seorang kolektor buku yang bersemangat (Venables, 1885). Honywood tinggal di Republik Belanda selama masa Protektorat selama beberapa tahun, dari tahun 1642 dan seterusnya. Dia tinggal di Utrecht, dimana dia menyibukkan diri dengan memperoleh buku-buku untuk koleksinya (Venables, 1885). Kemungkinan besar selama dia tinggal di Belanda, dia membeli injil Matius dan Markus terjemahan bahasa Melayu karya Ruyl ini. Pemilik injil berbahasa Melayu sebelumnya yang dibeli Honywood ini, dengan jelas pada tahap tertentu menggunakan buku-buku itu untuk mempersiapkan khotbah-khotbah Melayu, karena salinan injil Matius ini berisi catatan tulisan tangan dalam bahasa Belanda pada halaman kosong berikut setelah folium 38 dengan ayat-ayat dari Kitab Suci yang digunakan untuk berkhotbah, sebagai contoh : “tekst den 9 juli 1639 mazmur 130 djikalaou tuanco mau bilang dosa siappa bole tingal badiri adapan tuan”

Periode VOC berakhir pada tahun 1791, ketika kompeni akhirnya runtuh dan ini juga menandai berakhirnya periode pertama penerjemahan Alkitab di Nusantara ketika VOC menjadi komisaris penerjemahan Alkitab, dan bahasa Melayu dan Portugis sebagai bahasa kontak, menjadi sasaran usaha penerjemahan Alkitab.

Periode kedua dimulai Pemerintahan Sementara Inggris oleh Gubernur Raffles (1811 – 1816). Raffles mendirikan Bible Society of Java1  untuk membantu British and Foreign Bible Society. Setelah tahun 1816, Lembaga Alkitab Jawa (Bible Society of Java) ini dilanjutkan dengan nama Oost-Indisch Bijbelgenootschap (Bible Society of the East-Indies), yang juga disebut sebagai Bataviaas Bijbelgenootschap2. Periode kedua dicirikan oleh tipe baru komisioner penerjamahan Alkitab yaitu Bible Societies, tipe baru skopos (tujuan) atau fungsi terjemahan yang dimaksudkan (dari fungsi gereja utama dan sekolah pada periode abad ke-17 dan 18 pada periode VOC  hingga fungsi misionaris dan penginjilan pada periode kedua), dan jenis sasaran bahasa baru (semua bahasa Nusantara yang bisa dijangkau oleh Injil, daripada hanya 2 bahasa lingua franca, yaitu bahasa Melayu dan Portugis yang digunakan di gereja-gereja VOC pada periode pertama) (De Vries, 2009). 

Bahasa Perdagangan dan Kontak

                Gereja-gereja VOC di Ambon, Ternate, Batavia dan tempat-tempat lainnya bersifat multi etnik dan multi bahasa. Para anggotanya aalah orang-orang Eropa yang dipekerjakan oleh VOC, sebelumnya penduduk lokal Katholik, sebagian Cina dan Jepang, para budak dengan berbagai latar belakang (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 5). Di Maluku, ribuan orang dengan latar belakang animisme atau Islam juga bergabung dengan Gereja Reformed pada abad ke-17 (Niemeijer, Van den End dan Schutte, 2014: 5).

                Penggunaan bahasa perdagangan dan bahasa kontak, yaitu bahasa Melayu dan Portugis dalam kebaktian gereja merupakan hal yang lumrah, mengingat audiens yang heterogen ini. Bahasa Portugis terus menjadi bahasa lingua franca yang penting, lama setelah Portugis terusir, sampai sekitar tahun 1800 (Swellengrebel, 1974: 9). Di Batavia misalnya, hal itu lebih penting dalam kehidupan sehari-hari daripada di Belanda. Budak yang dipekerjakan di rumah tangga orang Belanda, menggunakannya ketika berkomunikasi dengan anggota keluarga dan banyak anak Belanda mengetahui bahasa lingua franca bentuk Portugis Batavia lebih baik daripada bahasa Belanda (Swellengrebel, 1974-78, Vol I: 9). Pendeta Portugis, bernama d’ Almeida3  merupakan pendeta dari Gereja Reformed di Batavia menerjemahkan Perjanjian Baru dalam bentuk tulisan bahasa Portugis yang tidak asing baginya sejak masa mudanya di Portugis. Bahasa Portugis ini, tentu saja berbeda dengan bentuk lingua franca lisan di Batavia. Perjanjian Baru berbahasa Portugis milik d’ Almeida dicetak di Amsterdam atas biaya VOC pada tahun 1681. Alkitab versi lengkap dalam bahasa Portugis muncul pada tahun 1748.          

Para Komisioner

                Ruyl menyebut Dewan Kamar VOC Amsterdam dalam kata pengantar Injil Matius yang dicetak atas biaya VOC di kota Enkhuizen, Belanda, oleh pencetak, Jan Jacobs Palensteyn, pada tahun 1629. Dewan Kamar VOC Amsterdam ini adalah komisioner dari pekerjaan penerjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu. Mereka membayar para penerjemah, pencetak dan mengurusi pendistribusian, melalui para pendeta dan kepala sekolah baik pribumi maupun Eropa, yang mereka pekerjakan di daerah-daerah yang dikuasai VOC.

                VOC adalah perusahaan pertama di dunia yang berbasis pada saham dan pemegang saham. Para penanam modl di kapal-kapal VOC mengambil resiko keuangan yang besar tetapi juga menjadi kaya ketika kapal-kapal yang sarat dengan rempah-rempah dari Maluku berhasil kembali ke Belanda. Mengapa perusahaan kapitalis modern awal melakukan penerjemahan Alkitab? Untuk memahaminya, kita harus mempertimbangkan gagasan-gagasan teokratis Calvinisme Belanda abad ke-17. Negara dipandang sebagai pelindung satu-satunya agama yang benar, yaitu Calvinisme. Pasal 26 dari Nederlandse Geloofbelijdenis (Pengakuan Iman Belanda) mengklaim bahwa negara seharusnya “de heilige dienst van de kerk te beschermen en om te were en iut te roein alle afgoderij en valschen goddienst” (untuk melindungi pelayanan suci Gereja dan untuk menekan dan menghancurkan semua penyembahan berhala dan agama palsu). Staten Generaal, otoritas tertinggi di Republik Belanda, memiliki Octrooi (kontrak) dengan VOC yang memberikannya hak eksklusif perdagangan di Timur. Tetapi juga mendelegasikan beberapa tugas negara kepada VOC dan ini termasuk “conservatie van het publieke geloof” (melindungi dan memelihara kepercayaan publik) (De Vries, 2005: 16-17). Ini tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan misi di daerah-daerah di luar kendali VOC. Artinya, VOC berkewajiban membangun gereja dan sekolah di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Karena VOC tidak tertarik pada kontrol teritorial atau pemerintahan, hanya pada perdagangan dan keuntungan, ini menjadi bagian yang sangat kecil di Nusantara.

                Melindungi dan memelihara iman Calvinistik publik dilakukan dengan membangun gereja dan sekolah, yang mendidik orang-orang dalam iman Reformed. Para pendeta dan kepala sekolah di gereja-gereja dan sekolah-sekolah membutuhkan buku-buku dalam bahasa-bahasa kontak : Alkitab, buku katekisasi, pengakuan iman (syahadat), Doa Bapa Kami, buku-buku himne dan teks-teks liturgi lainnya.


Pekerjaan gereja dan sekolah, termasuk penerjemahan Alkitab dan terjemahan lain untuk keperluan gereja dan sekolah, adalah bagian yang sangat kecil dari keseluruhan operasi-operasi VOC. Sebagai contoh, menurut Schutte (2002: 50), pada tahun 1688, VOC mempekerjakan 14.800 orang di Hindia Belanda dan hanya 108 orang yang dipekerjakan di “kerckelijke en daeraenklevende bedieninge” (pelayanan yang berhubungan dengan gereja) termasuk 23 kepala sekolah, [yang berarti] kurang dari 1%. Perdagangan rempah-rempah tentu menjadi tujuan utama VOC.

Untuk menyediakan kepada gereja-gereja Reformed dan sekolah teks-teks pengajaran dan agama dalam bahasa Melayu dan Portugis, VOC memerintahkan penerjemahan sejak awal. Pada tahun 1612, sudah ada buku ABC Melayu (diterjemahkan dari bahasa Belanda) untuk mengajar alfabet pada anak-anak sekolah yang berbicara bahasa Melayu. Pada tahun 1629, injil Matius berbahasa Melayu karya Ruyl dicetak dan segera itu kemudian injil Markus. Katekismus Marnix van Sint Aldegonde, 10 Hukum Taurat dan Doa Bapa Kami juga diterjemahkan4, segera setelah kedatangan kapal-kapal VOC yang pertama.

Banyak dari teks-teks keagamaan awal ini, termasuk injil Matius karya Ruyl, adalah diglot, dengan teks Belanda di kolom kiri dan teks Melayu di kolom kanan. VOC mencoba untuk tetap menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi, tetapi tidak berhasil. Ketika Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu karya Brouwerius muncul pada tahun 16885, buku tersebut hanya memiliki teks bahasa Melayu. Bahasa Portugis dan Belanda kalah melawan bahasa Melayu.

Buku-buku Alkitab VOC abad ke-17 dan ke-18 adalah edisi padat dan mahal, bukan edisi murah untuk dompet kecil seperti yang didistribusikan jauh kemudian oleh misionaris dan penginjil di abad ke-19, dan terutama berfungsi sebagai Alkitab [di] mimbar dan sebagai Alkitab yang akan digunakan oleh guru-guru sekolah. Murid-murid di sekolah melayu VOC harus menghapal Doa Bapa Kami, 10 Hukum Taurat, dan Pengakuan Iman, dan teks-teks inilah yang kita temui di banyak Alkitab VOC, sebagai pelengkap (Koolen, 1993). Di gereja-gereja Reformed, aturannya adalah bahwa anak-anak dari pemeluk yang baru di bawah 4 tahun dibaptis bersama dengan orang tua mereka (De Vries, 2005: 19). Tetapi anak-anak berusia 4 atau 5 tahun harus menghapal 10 Hukum Taurat sebelum mereka dibaptis, dan anak-anak berusia 6 – 8 tahun juga harus menghapal 10 Hukum Taurat dan Pengakuan Iman, meskipun tidak jelas sampai sejauh mana aturan-aturan ini ditegakkan (Knaap, 1987: 87). Laporan pemeriksaan sekolah-sekolah di kepulauan Lease pada tahun 1680, menunjukan bahwa setiap sekolah di sana memiliki satu atau 2 salinan Kitab Kejadian dalam bahasa Melayu, 5 Perjanjian Baru berbahasa Melayu karya Brouwerius dan 1 atau 2 buku ABC dalam bahasa Melayu (Knaap, 1987: 96). Pada tahun 1633, terdapat 32 sekolah di Ambon dengan sekitar 1.200 murid6. Pada tahun 1695, terdapat 54 sekolah dengan 4.700 murid7 (Knaap, 1987: 94; De Vries, 2005: 19).

Terjemahan-terjemahan VOC dalam bahasa Melayu

                Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan dan kontak yang penting sebelum VOC memasuki kepulauan Indonesia dan mengembangkan berbagai variasi regional dan fungsional, seringkali dalam bentuk pijin, untuk komunikasi antar etnis, di pasar, pelabuhan, dan sebagainya. Komunitas-komunitas Islam menggunakan bentuk bahasa Melayu tertulis yang lebih tinggi dalam literatur keagamaan, tetapi pengetahuan tentang bahasa Melayu tertulis yang lebih tinggi itu terbatas pada para pemimpin agama karena sebagian besar penduduk desa-desa Islam pada abad ke-17, tidak atau sedikit sekali mengenal bahasa Melayu (Collins, 2004). Sebaliknya, negeri-negeri Kristen di Maluku, di bawah kendali langsung VOC, tampaknya telah beralih ke bahasa Melayu sebagai bahasa pertama mereka (Collins, 2004). Ragam bahasa Melayu khusus dikembangkan untuk penggunaan keagamaan di gereja-gereja Protestan, Kerk-Maleis (Gereja Melayu). Terjemahan pertama bahasa Melayu ragam khusus ini menunjukan ciri-ciri bahasa melayu regional, tetapi pada saat yang sama mencerminkan penggunaannya yang luas dalam berbagai genre seperti khotbah, katekisasi dan literatur spiritual yang membangun. Terjemahan kitab Kejadian karya Brouwerius di Library of Leiden mencontohkan jenis bahasa Melayu yang digunakan dalam terjemahan-terjemahan VOC ini (De Vries, 2005: 21-24) :


Genesis 1 : 1 (Kejadian 1 : 1)

Pada Moulanja Deos souda miara sourga dengan boumi. Tetapi boumi adda ampa lagi belom adda roupa, lagi atas cadalamja adda galap lagi Deos pounja Spirito adda terbang atas ayer

Genesis 1 : 5 (Kejadian 1 :5)

Lagi trang itou Alla souda bernamma seang

                Bahasa Melayu Brouwerius mengandung konstruksi posesif  Melayu Indonesia bagian timur dengan [kata] poenja (misalnya dalam Kejadian 1: 1) yang masih kita temui dalam bahasa Melayu Maluku dan Papua. Ada juga pinjaman bahasa Portugis seperti Deos (Tuhan) dan Spirito (Roh) yang menunjukan bahwa ia menulis berbagai bahasa Melayu lokal yang digunakan di Ambon pada waktu itu (De Vries, 2005: 21-24). Collins (2004) berpendapat bahwa terjemahan Brouwerius mencerminkan varian Melayu Ambon pada pertengahan abad ke-17. Brouwerius mengeja bahasa Melayu lokal ini dalam campuran konvensi ejaan bahasa Belanda dan Portugis (penggandaan konsonan menjadi konvensi bahasa Belanda, Swellengrebel, 1974-78, Vol I: 12). Kata bahasa Ibrani, Elohim, diterjemahkan sebagai Deos dalam 4 ayat pertama, dan kemudian pinjaman kata Portugis ini diganti dengan pinjaman dari kata bahasa Arab, Alla, untuk menerjemahkan kata Elohim dalam ayat 5 (De Vries, 2005 : 23). Ada banyak variasi dalam ejaan kata-kata bahasa Melayu yang sama, tetapi kita juga menemukan variasi yang sama dalam ejaan bahasa Belanda pada abad ke-17, termasuk dalam teks-teks keagamaan.

                2 ayat dari kitab Kejadian di atas menunjukan penggunaan bahasa Arab (Alla), Portugis (Deos, Spirito) dan India (miara, “menciptakan”, lihat de Casparis, 1997: 28), kata-kata pinjaman dalam terjemahanVOC yang mencerminkan bahasa pemberi dari bahasa tradisional Melayu. Kata-kata India lainnya dalam karya Brouweris adalah arta “barang-barang/harta”, bala “pengikut” dan dousta “kebohongan”. Swellengrebel (1974: 12) mengkritik bahasa melayu-nya Boruwerius : “Het Maleis van Brouwerius vertalingen is van slecht alloi; het ligt dicht bij het pasar-Maleis....Woorden worden gebruikt in een betekenis die ze niet hebben, bijv. miara (“onderhouden”, “verzorgen”) voor “scheppen” (De Vries, 2005: 23). (Terjemahan bahasa Melayu Brouwerius adalah jenis yang buruk; mendekati Melayu-pasar....kata-kata yang digunakan dengan makna yang bukan makna sebenarnya”). Namun kajian Collins tentang bahasa Melayu Brouwerius menunjukan bahwa ia menggunakan berbagai istilah teologis dan hukum dari bahasa Melayu yang jauh dari bahasa Melayu-pasar (seperti : oupati “upeti”, pandita “pendeta”, saxi “saksi”, vinjagga “perdagangan”, alim “saleh”, cauwoul “perjanjian” (bahasa Indonesia : kaul “vow”). Pengamatan Swellengrebel bahwa Brouwerius menggunakan kata miara dalam Kejadian 1 : 1 dengan makna yang salah, didasarkan pada makna modern dari kata pelihara (Melayu lokal : piara), bukan pada arti abad ke-17 yang merupakan pinjaman dari bahasa Sansekerta itu (de Casparis, 1997: 28). Sejumlah pinjaman bahasa Portugis dalam karya Brouwerius tidak terjadi dalam bahasa Indonesia standar modern, tetapi masih sangat hidup dalam bahasa Melayu Maluku (De Vries, 2005: 23), seperti assar (“memanggang” dalam bahasa Brouwerius, “mengasapi (ikan)” dalam bahasa Melayu Maluku), coupan “uang” (kupang), fourno “oven (kapur)” (= forna “cetakan sagu”), voste “kamu (sg, familiar” (= ose), mai “ibu”, injora “perempuan berpangkat” (= nyora), salouacou “perisai” (= saluako/salawaku), servyr “melayani” (= salwir “untuk menunggu dan lainnya) (lihat Collins, 2004 : 17).

                Collins (2004) mengamati bahwa terjemahan kitab Kejadian karya Brouwerius menggunakan pinjaman dari bahasa Sansekerta, Portugis, dan Arab tetapi pinjaman dari bahasa Belanda hampir tidak ada sama sekali. Collins mencatat hanya sedikit pinjaman bahasa Belanda seperti amandelen Belanda (“almond”) dalam Kejadian 43: 35. Dan nama-nama tokoh alkitabiah mengambil bentuk bahasa Belanda seperti Eva, Canaan dan Succoth (Collins, 2004: 18). Tidak jelas mengapa ada begitu sedikit bahasa Belanda dalam terjemahan kompeni ini. Mungkin pinjaman kata-kata bahasa Belanda dalam lingua franca abad ke-17 belum terlalu mapan, terdengar terlalu “baru” dan mungkin terlalu banyak anakronisme untuk digunakan dalam Kitab Suci (Collins, 2004).

                Terjemahan bahasa Melayu abad ke-17 seperti Perjanjian Baru karya Brouwerius yang banyak memuat bahasa Melayu lokal Ambon, jelas tidak dapat berfungsi sebagai terjemahan bahasa Melayu untuk semua wilayah yang terdapat gereja di Nusantara (De Vries, 2005: 24). Oleh karena itu Kerkenraad (dewan gereja) Batavia meminta Leijdecker (1645-1701)8, pendeta Gereja Reformed di Batavia, pada tahun 1691 untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam “Maleise taal, zoals deselve in de boeken der Maleiers vookomt” (Bahasa Melayu sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab Melayu, dikutip dari Swellengrebel, 1974-78, Vol I: 17). Keunggulan ragam tulis Melayu ini bukan hanya karena ia tidak terikat kuat dengan suatu wilayah tertentu, tetapi ia juga menikmati status yang jauh lebih tinggi, tentu saja di kalangan penutur dan penulis Melayu Muslim. Kerugiannya adalah bahwa “Melayu Tinggi” yang dimodelkan pada sastra dan Melayu istana ini akan menjadi “terlalu tinggi” bagi kebanyakan orang Kristen di Nusantara (De Vries, 2005: 24). Pertikaian antara faksi “Melayu Tinggi” dan faksi “Melayu Rendah” meletus, penyebab utama dari fakta bahwa konsep terjemahan Leijdecker ditunda selama 22 tahun (De Vries, 2005: 24-25).

Perspektif bahasa Melayu Rendah dijunjung tinggi oleh seorang pendeta dari Ambon, ds Francois Valentijn (1666-1727). Dia menulis sebuah buku kecil pada tahun 1698 berjudul “ Deure der Waarhijd, voor ‘t ooge der christenwereld geopend wardoor klaar te sien is, was Tale voor alle Malijtse christenen in Oost-Indien, van gebruik en alleen van dienst zij....”(Door of the Truth.... terbuka bagi mata semua orang Kristen yang melaluinya dapat dilihat dengan jelas, bahasa apa yang harus digunakan dan satu-satunya yang berguna bagi semua orang Kristen Melayu di Hindia Timur.....) (De Vries, 2005 : 24-25). 

Kedua faksi itu berusaha mendapatkan suara mayoritas di Dewan VOC, Kerkenraad di Batavia dan Sinode Belanda di pihak mereka. Faksi “Melayu Tinggi” menang dan terjemahan Leijdecker, setelah direvisi secara intensif oleh van der Vorm dan Werndly9, dicetak, pertama pada tahun 1733 oleh Wetstein di Amsterdam dalam aksara Latin dan kemudian pada tahun 1758 di Batavia dalam bahasa Arab-Melayu (aksara Jawi) (De Vries, 2005: 25). Alkitab Leijdecker memperoleh otoritas yang sangat besar, juga dan khususnya di Maluku. Penerjemahan Leijdecker masih ada ketika periode VOC telah lama berakhir dan Bible Societis telah mengambil peran penugasan penerjemahan Alkitab di Nusantara. Lembaga Alkitab Belanda mencetak ulang terjemahan Leijdecker pada tahun 1824 dalam aksara Arab (De Vries, 2005: 25). Baik dari segi teks maupun parateks, Alkitab VOC abad ke-17 dan ke-18 sangat mengikuti terjemahan Alkitab Belanda abad ke-16 dan 17, seperti versi Deux-Aes dan Staten Vertaling tahun 1637. Oleh karena itu, Alkitab Melayu VOC terlihat seperti Kitab Suci Belanda, seperti halnya kebaktian di gereja-gereja Melayu atau Portugis di wilayah VOC mengikuti tradisi liturgis Calvinisme Belanda, misalnya dengan pembacaan 10 Hukum Taurat dari kitab Keluaran 20, dengan khotbah-khotbah berdasarkan pembagian Minggu dari katekismus Heidelberg dan sebagainya.

Para Penerjemah

                Penerjemah paling awal seperti Ruyl dan van Hasel10 bukanlah pendeta. Ruyl adalah seorang pedagang junior VOC (Van Boetzelaar, 1941), van Hasel, seorang direktur VOC (lihat Gossweiler, volume ini). Kemudian pada abad ke-17 dan pada abad ke-18 mereka membuka jalan bagi orang-orang seperti Brouwerius yang adalah pendeta Reformed Belanda dengan pelatihan teologis termasuk (beberapa) pelatihan dalam bahasa-bahasa alkitabiah.

                Albert Corneliszoon Ruyl tiba pada tahun 1600 sebagai pedagang junior di Jawa, dengan armada yang dikomandani oleh Jacob van Neck (Van Boetzelaar, 1941). Jadi, Ruyl tiba segera setelah perjalanan pertama kapal-kapal Belanda ke Nusantara dari tahun 1595 hingga 1597. Ia belajar bahasa Melayu di Sumatera. Studinya yang rajin tentang bahasa Melayu menghasilkan tata bahasa pedagogis bahasa Melayu, Spiegel der Malaitsche Tale, yang dicetak pada tahun 1611. Dikatakan bahwa usaha penerjemahannya yang pertama adalah terjemahan bahasa Melayu dari Kort Begrip karya Marnix van Aldegonde, sebuah ringkasan intruksional dari ajaran-ajaran Gereja Reformasi tersebut dan beberapa teks pendek termasuk doa (Van Boetzelaar, 1941: 30). Buah pertama dari pekerjaan penerjemahan ini telah memperlihatkan agenda dan tujuan dari pekerjaan penerjemahan selanjutnya dari periode VOC : untuk mengajar dan membangun jemaat-jemaat Reformed Belanda di Timur.

                Orang-orang Belanda ini, pasti mendapat bantuan dari orang-orang yang berasal dari Nusantara, tetapi nama dan kontribusi mereka hampir tidak terlihat dalam sumber-sumber dari masa itu. Kadang-kadang, kita melihat mereka sekilas, seperti 2 guru sekolah Ambon yang membantu Leijdecker dalam pekerjaan terjemahannya, yaitu Isaak Patiali dan Isaak Sinipati11, yang dapat menulis dalam aksara Eropa dan Arab, serta yang dapat membuat terjemahan bahasa Melayu ke bahasa Belanda, dan sebaliknya (Knaap, 1987: 97). Kedua Isaak ini pindah ke Batavia untuk menjadi anggota, yang sekarang disebut sebagai tim penerjemahan yang dipimpin oleh Leijdecker.

 

Kesimpulan

Ketika Gubernur Portugis Ambon menyerahkan benteng “Nossa Senhora da Anunciada”di Ambon kepada laksamana Van der Haghen dari armada VOC pada tahun 1605, kisah aneh tentang terjemahan Alkitab ke dalam bahasa yang sekarang disebut bahasa Indonesia, dimulai. Ini bukanlah awal dari kisah kekristenan di Nusantara. Nama benteng Portugis sudah menunjukan kepercayaan yang dibawa ke daerah tersebut pada abad ke-16. Ini adalah kisah yang aneh, dan sering disalahpahami, karena Perusahaan Hindia Timur (VOC) persis seperti namanya : sebuah perusahaan, dengan pemegang saham dan logo, dengan Dewan dan pegawainya dari banyak negara. VOC ini beroperasi dalam konteks Republik Calvinis yang masih muda, yang menjunjung tinggi satu agama, Iman Reformed, sebagai agama umum, dengan mengorbankan agama dan denominasi lain, meskipun dalam praktiknya, mereka menikmati kebebasan yang cukup besar, selama mereka menjalankan agama mereka di domain pribadi.

Karena VOC memiliki kontrak dengan Republik yang memberi mereka monopoli atas perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, mereka akan dengan senang hati menerima dan memahami bahwa mereka seharusnya melindungi agama Reformed di daerah-daerah di mana mereka memiliki benteng dan kepentingan perdagangan di Timur. Ruyl, dalam kata pengantar dalam bahasa Belanda untuk injil Matius berbahasa Melayu tahun 1629 itu, mengacu pada tugas perlindungan itu, yang diatur dalam kontrak antara VOC dan Republik. Dengan mengingatkan Dewan VOC dan para Direktur akan tugas mereka untuk melindungi satu-satunya kepercayaan publik yang sejati, ia mencoba membuat mereka mendukung terjemahan bahasa Melayu-nya, sebagai bagian integral dari tugas mereka untuk melindungi kepercayaan Reformed. Ia menulis bahwa terjemahannya akan melayani jiwa-jiwa miskin dan sederhana dari mereka yang akan dibawa ke pangkuan Gereja, sebuah Gereja di bawah perlindungan Yang Mulia VOC (“arme, eenvoudigh zielen, die metter tijdt gerustelijken in de schoot der Kercke onder VEA bescherminghe gebracht sullen werden”, “jiwa-jiwa yang malang dan sederhana yang ketika saatnya tiba akan dibawa dengan selamat ke pangkuan Gereja di bawah perlindungan Yang Mulia”). Frase kunci di sini adalah V.E.A. bescherminghe “perlindungan Tuan-tuan Yang Terhormat”.

Cita-cita teokratis Calvinis dipraktikkan dengan cara yang sepenuhnya pragmatis, baik di Belanda maupun di Timur karena, salah satunya, ada sejumlah besar orang, termasuk saudagar kaya dan berkuasa serta keluarga bangsawan Amsterdam, Leiden dan Haarlem yang diam-diam atau secara terbuka menganut pengakuan lain, dan kedua, fanatisme agam yang merusak perdagangan dan akumulasi kekayaan tidak dihargai. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang Calvinisme teokratis, kita harus menyadari sisi pragmatis dari cerita tersebut. Pragmatisme pedagang VOC yang sama seperti Ruyl dan Van Hasel yang kita lihat dalam cara mereka menerjemahkan Alkitab : melalui penggantian budaya (misalnya buah ara menjadi buah pisang, De Vries, 2005) dan dengan bebas menggunakan istilah agama dari bahasa Sansekerta, Portugis atau Arab yang telah menjadi bagian dari bahasa Melayu. Pragmatisme juga kita lihat dalam penggunaan bahasa Portugis yang terus menerus di banyak rumah tangga dan jemaat, lama setelah terusirnya Portugis, dan dalam keputusan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan itu untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Portugis.

Bahasa Melayu, sebagai bahasa perdagangan dan kontak, menyerap ribuan kata dari bahasa lain yang dianggap bermanfaat oleh pemakainya, seperti yang selalu dilakukan oleh bahasa perdagangan dan kontak. Para penerjemah VOC Calvinistik, bukannya secara fanatik “membersihkan” istilah-istilah Melayu Hindu, Katholik atau Arab, mengubahnya menjadi alat untuk memajukan agenda mereka sendiri : untuk membawa umat Kristen Katholik di Ambon dan Sulawesi, tetapi juga banyak budak dan klien serta tanggungan VOC lainnya dari banyak negeri ke pangkuan Gereja Reformasi, di bawah perlindungan Republik dan wakilnya di Timur, yaitu VOC.

===== selesai =====

Catatan Tambahan :

1.       Lembaga ini didirikan pada tanggal 4 Juni 1814, dalam tahun 1814, Presiden lembaga ini (Bible Society of Java) adalah Thomas Stamford Raffles, Wakil Presiden : Nicolaas Engelhard, Sekretaris : Rev (Pdt) J.C. Supper, Bendahara : J.C. Romswinkel, anggota komite : H.A. Parve, H.Veeckens, Baron van Lutzouw, R.Coep a Groen, J.C. Goldman, G.F. Meylan, W.Popkens, J.I. van Sevenhoven

§  Lihat The Java Half-Early Almanac and Directory for 1815, A.H. Hubbard, Batavia, 1815

§  Lihat Almanak van Nederlandsch Indie voor Het Jaar 1817, A. Bussingh, Batavia, 1817

2.    Sejak tahun 1817, Lembaga ini diambilalih dan dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Presiden : G.A.G.P. Baron van der Capellen, Wakil Presiden : Nicolaas Engelhard, Bendahara : J.C. Romswinkel, anggota komite : Baron van Lutzouw, R.Coep a Groen, W.Popkens, J.I. van Sevenhoven, J.C. Goldman, W. Van Hoesen, J.M. van Beseuschem, J.G. van der Kaa

§  Lihat Almanak van Nederlandsch Indie voor Het Jaar 1817, A. Bussingh, Batavia, 1817

3.      Nama lengkap pendeta Portugis ini Joao Fereira a d’ Almeida. Ia mungkin lahir di Torre de Tavares, Portugal Utara. Ia bertugas di Batavia dalam tahun 1663 - 1669

§  Lihat, J.L. Swellengrebel, In Leijdecker Voetspoor : Anderhalve Eeuw Bijbelvertaling  en Taalkunde in de Indonesische Talen, volume I (1820 – 1900), s’ Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1974, hal 10

§  Lihat, S.A. Buddingh, Naamlijst Der Predikanten In Neerlands Oost Indies van 1615 tot 1857, hal 3

4.      Doa Bapa Kami, kemungkinan besar juga diterjemahkan oleh Albert Corneliszoon Ruyl. Terjemahan Doa Bapa Kami ini, dimasukan dalam buku katekisasi yang berjudul Sovrat ABC, Akan meng ayd jer anack boudack sepercy........yang diterbitkan di Amsterdam, tahun 1611. Doa Bapa Kami diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Sombahayang tuankoe Iesu Christi

§  Lihat, Yudha Tianto, Doa Bapa Kami Dalam Dua Terjemahan Bahasa Melayu Pada Awal Abad ke-17 (dimuat pada jurnal Veritas, volume 12, nomor 2 (Oktober 2011), hal 279 – 300)

5.  Judul dalam bahasa Melayu : Testamento Barou Attau Segalla Kitab Derri Tuan Cami Jesu Christo Pounja Barou...............

6.    Berdasarkan arsip gereja, yaitu laporan Ds (Pdt) Helmichius Helmichii kepada komisaris Anthonie van den Heuvel tertanggal 8 Juni 1633, jumlah sekolah di Gubernemen Ambon sebanyak 32 buah dan jumlah murid sebanyak 1238 orang. Untuk pulau Saparua (Uliase) dapat dirincikan sebagai berikut :

a)       Haria : 1 Sekolah : 25 murid

b)      Boy : 1 Sekolah : 25 murid

c)       Paperu : 1 Sekolah : 25 murid

d)      Tiouw : 1 Sekolah : 25 murid

e)       Tuhaha : 1 Sekolah : 30 murid

f)        Sorsorry : 1 Sekolah : 30 murid

g)      Ullath : 1 Sekolah : 40 murid

h)      Ouw : 1 Sekolah : 30 Murid

Jadi jumlah sekolah : 8 sekolah, jumlah murid : 230 murid.

§  Lihat, H. Niemeijer dkk, Bronnen Betreffende Kerk en School in de Gourvernementen.....(untuk Gubernemen Ambon – Eerste Deel, eerste band : 1605-1690), Den Haag, 2015,  hal 138 – 145, khusus hal 144-145

7.        Khusus untuk Pulau Saparua dapat dirincikan sebagai berikut :

a)       Haria + Porto : 1 Sekolah : 173 murid

b)      Boy : 1 Sekolah : 71 murid

c)       Paperu + Tuhaha : 1 Sekolah : 160 murid

d)      Tiouw + Saparoea : 1 Sekolah : 83 murid

e)       Ihamahoe : 1 Sekolah : 110 murid

f)        Sorsorry : 1 Sekolah : 176 murid

g)      Ullath : 1 Sekolah : 136 murid

h)      Ouw : 1 Sekolah : 151 Murid

i)        Nolloth + Itawaka : 139 murid

Jadi  jumlah sekolah : 9 sekolah, jumlah murid : 1199 murid.

§  Lihat, H.Niemeijer dkk, Bronnen Betreffende Kerk en School in de Gourvernementen.....(untuk Gubernemen Ambon – Eerste Deel, tweede band : 1690-1789), Den Haag, 2015,  hal 86 – 95, khusus hal 95

8.    Nama lengkapnya Melchior Leijdecker, lahir tahun 1645 di Amsterdam. Ia bertugas di Batavia pada periode 1678 – 1701, menikah dengan Anthonia van Riebeck, saudara perempuan dari Abraham van Riebeck.

§  Lihat, J.L. Swellengrebel, In Leijdecker Voetspoor : Anderhalve Eeuw Bijbelvertaling  en Taalkunde in de Indonesische Talen, volume I (1820 – 1900), s’ Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1974, hal 13

§  Lihat, van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam, C.W.Th. baron van. 1941. 'Geschiedenis van de Maleische Bijbelvertaling in Nederlandsch-Indië', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 100, 27-48. Khusus hal 37

9.       Nama lengkap mereka, Petrus van der Vorm dan George Hendrik Werndly

10.     Nama lengkapnya Jan van Hazel

11.       Sayangnya kami tidak mengetahui secara persis, kedua orang ini bertugas di negeri mana. Hal ini disebabkan sumber yang dikutip oleh penulis yaitu buku dari Gerrit J Knaap, belum kami baca.

 

Bibliography

§  van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam, C.W.Th. baron van. 1941. 'Geschiedenis van de Maleische Bijbelvertaling in Nederlandsch-Indië', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 100, 27-48.

§  de Casparis (ed.), J.G. 1997. Sanskrit loan-words in Indonesian: an annotated check-list from Sanskrit in Indonesian and traditional Malay. Jakarta: Seri NUSA Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

§  Collins, James T. 2004. ‘A book and a chapter in the history of Malay: Brouwerius’ Genesis (1697) and Ambonese Malay’. Archipel, vol.67, 77-127.

§  Knaap, G.J. 1987.  Kruidnagelen en christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Dordrecht: Foris.

§  Koolen, G.M.J.M. 1993. Een seer bequaem middel. Onderwijs en Kerk onder de 17e eeuwse VOC. Kampen: Kok.

§  Niemeijer, H.E. 2002a. ‘Orang Nasrani. Protestants Ambon in de zeventiende eeuw’. In: G.J.  Schutte ed.), 2002:127-146.

§  Niemeijer, H.E. 2002b. ‘Agama Kumpeni? Ternate en de protestantisering van de Noord- Molukken en Noord-Sulawesi 1627-1795’. In: Schutte (ed.), 2002: 147-176.

§  Niemeijer, H.E., Th. van den End and G.J Schutte (forthcoming, 2014). Bronnen betreffende  de geschiedenis  van kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de Verenigde Oost-Indische Compagnie, 1605-1791. Deel 4. The Hague: Huygens  ING.

§  Schutte, G.J. (ed.) 2002. Het Indisch Sion. De Gereformeerde kerk onder de Verenigde Oost- Indische Compagnie. Hilversum: Verloren.

§  Schutte, G.J. 2002. ‘De kerk onder de Compagnie’. In: Schutte (ed.), 2002:43-64.

§  Soesilo, Daud. 2013. ‘Celebrating 400 years of Ruyl’s Malay translation of Matthew’s  Gospel.’ The Bible Translator, vol. 64 (2), 173-184.

§  Swellengrebel, J.L. 1974-78. In Leijdeckers voetspoor. Anderhalve eeuw Bijbelvertaling en taalkunde in de  Indonesische talen. Volume I (1820-1900). Volume II (1900-1970) Amsterdam/Haarlem: Nederlands Bijbelgenootschap.

§  Venables, Edmund. 1885. ‘Michael Honywood’. In: Dictionary of National Biography. London: Smith, Elder & Co.

§  de Vries, Lourens. 2005. ‘The fig that became a banana: the first period of Bible translation in Indonesia (1629-1811)’. In Supardan (ed.), One Bible, Many Versions. Bogor: Indonesian Bible Society.

§  de Vries, Lourens. 2009. ‘Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia’. In: Henri Chambert-Loir (ed.),  Sadur. Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Gramedia, 459-488.

Werndly, G.H. 1736.  Maleische Spraakkunst (uit de eigen schriften der Maleiers opgemaakt; met eene voorreden en een dubbeld aanhangsel van twee Boekzalen van boeken, in deze tale zo van Europeers, als van Maleiers geschreven). Amsterdam bij R. en G. Wetstein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar