Senin, 28 Juni 2021

Hilangnya Lusofoni dan identitas di kepulauan Melayu-Indonesia. Peristiwa dan marginalisasi komunitas asal Portugis : Kasus Amboino (bag 2- selesai)

 

[MANUEL LOBATO]

 

Benteng De Nossa Senhora Da Anunciada di Amboino dan Inti Kotanya

                Asal mula “pendudukan” Portugis di Amboino tidak terlalu jelas. Benteng Amboino bermula dengan berbagai kesukaran, hingga pada dekade 1590-an, akhirnya menjadi “entrepot” yang cukup berhasil serta dihuni oleh sekelompok orang kaya dan berpengaruh yang “menguasai” kota-kota Portugis-Asia, yang akan kita bahasa lebih mendetail di bawah ini.

Perang tahun 1561 – 1562 menyebabkan banyak komunitas kecil Kristen yang berbalik memeluk agama Islam akibat ancaman armada kesultanan Ternate, hanya penduduk Hatiwi dan 2 tempat lain, seperti Kilang dan Oma yang masih tetap menjadi Kristen33. Manuel Hative, yang saat masih muda, pernah bertugas sebagai penerjemah bagi Fransisco Xaverius selama berada di Amboino pada tahun 154634, adalah pemimpin karismatik yang memimpin perlawanan pada tahun-tahun itu. 


Untuk memulihkan hegemoni Portugis, pada bulan September 1562, sebuah armada yang hanya terdiri dari 2 kapal kecil berlayar meninggalkan Goa yang dikomandani oleh António Pais atas perintah wakil raja Redondo, D.Fransisco Coutinho. Tiba di Amboino pada Februari 1563, Pais dihadapkan pada kekacauan yang diciptakan Portugis di Hitu, dengan serangan terus menerus dari orang-orang Moor (Islam) di negeri itu dan dari desa-desa sekitar. Pada bulan Februari 1564, António Pais telah meninggal karena sakit35, bukan karena ia menyerah, melalui bukti-bukti bahwa dia tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk membangun benteng baru berbatu yang ditugaskan oleh wakil raja untuk dibangun di Roçanive. Desa/Negeri berpenduduk 4.000 jiwa ini, terletak di pintu masuk ke teluk Amboino, yang dilindungi oleh tembok tanah berlumpur, sebuah pekerjaan yang dilakukan dan dipimpin oleh misionaris Jesuit, Diogo de Magalhães36, yang bagaimanapun, jauh dari apa yang direncanakan oleh wakil raja di tempat itu37. Sultan Hairun, tentu saja, tidak mengabaikan perlawanan sengit yang dilakukan orang-orang Moor di Amboino terhadap pembangunan benteng tersebut. Kemungkinan, bahwa saat mengirim Pais ke Ambon, kerajaan Portugis berniat untuk menciptakan [jabatan] kapten baru di pulau Amboino, karena, pada bulan Maret 1562, yaitu kurang dari setahun sebelum Pais tiba di Amboino, Henrique de Sá, kapten baru benteng Portugis Ternate (Maluco), telah memulai masa tugasnya selama 3 tahun di benteng Portugis Ternate38.

Saat masih bertugas, António Pais berusaha menarik semua negeri/desa “yang masing-masing diperintah oleh pemimpinnya sebagai negeri bebas dan tidak mengakui kebiasaan umum yaitu sebagai wilayah vasal”39, artinya negeri-negeri yang menentang Hitu Muslim dan Sultan Ternate, untuk membuat armada gabungan, diantaranya junk-junk, kora-kora dan perahu di bawah komando Portugis, yang ia maksudkan untuk menguasai kepulauan itu. Mengetahui niat tersebut, Sultan Ternate melakukan antisipasi, dengan mengirimkan sejumlah besar kapal untuk mencegah pembentukan kekuatan seperti itu. Dalam keadaan darurat ini, peran kapten benteng Portugis Ternate, Henrique de Sá yang tidak ingin mengecewakan Sultan, cukup ambigu.

Tahun berikutnya, pada tahun 1564, benteng baru Portugis di pulau Amboino selesai dibangun. Terletak di Hatiwi, itu adalah benteng yang seluruhnya dikelilingi dengan kayu40. Sudah ada banyak orang Kristen dan mestizo Luso-Ambon. Di seberang teluk, di Nusanive, kaum Jesuit bekerja dengan kelompok Kristen yang lain41. Sebuah gereja kayu yang sama kualitasnya didirikan di Hatiwi pada bulan November 1563, berukuran 12 x 8 depa42. Pengisolasian Hatiwi secara politis dari Hitu ditegaskan dengan cara yang dilebih-lebihkan namun ekspresif “ menyumpah orang-orang Anboino dengan 3 bulan kemarau di tempat itu karena mereka tidak mau menjadi Muslim”43.

Motif agama untuk perselisihan ini tampak jelas bagi pengamat Eropa. Namun dibalik itu, persaingan lama antara Ulilima dan Ulisiwa, berubah menjadi masalah agama karena Islam telah menjadi mayoritas bagi penduduk pribumi Hitu, yang menyebabkan Hatiwi, lawan dari Hitu, menolak hal tersebut dan kemudian memeluk agama Kristen Portugis, setelah pendudukan mereka di pulau itu, secara aktif terus dikembangkan.

Baru saja selesai dibangun, benteng Portugis itu dikepung oleh pasukan Muslim segera setelah kematian kapten benteng, Fransisco Pais. Selama pengepungan, tiba di Roçanive, 3 kapal “pedagang Portugis yang akan berlayar ke India (Goa) sarat dengan cengkih dan dilengkapi dengan senjata dan orang-orang”44, yang akan bermusim dingin (berlabuh sementara waktu) di situ selama 4 bulan untuk menunggu angin untuk berlayar ke Malaka. Para pedagang, bagaimanapun, menolak untuk memberikan bantuan kepada Hatiwi yang terkepung, karena, seperti ungkapan dari Fransisco de Sousa, “ Para Chatin tidak ada di sana karena orang-orang aneh ini”45. Dibiarkan sendiri, para pejuang terpaksa meninggalkan kubu itu.  

Berbeda dengan sumber-sumber Portugis, Hikajat Tanah Hitu, mengaitkan perkembangan yang terjadi pada tahun 1565 ini, dengan menguatnya hubungan antara kesultanan Ternate, Hitu dan Grisek (Gresik) kota pelabuhan di Jawa, juga mengaitkan dengan tanggungjawab orang Jawa yang menyerang Portugis dan Misionarisnya di Solor, yang memimpin kaum Dominikan di sana untuk membangun benteng baru dari batu dan kapur di pulau itu46.

Memburuknya konflik di Amboino menimbulkan kekhawatiran di Goa dan Lisbon47, membuat wakil raja memutuskan melakukan intervensi dengan skala yang lebih besar. Untuk menyelesaikan masalah Amboino, yang menurut pandangan wakil raja, hanyalah sebagian dari masalah yang lebih luas yang tercipta akibat ketidaksetiaan Sultan Ternate kepada Portugis, sebuah armada dikirim dari Goa dibawah komando Gonçalo Pereira Marramaque. Sebagai bagian dari Mandovi pada bulan April 1566, ia ditugaskan untuk membantu Malaka jika kota itu dikepung oleh Aceh, dan begitu sampai di Maluco menangkap Sultan Ternate. Ia juga ditugaskan untuk memulihkan penguasaan Portugis atas kepulauan Amboino,mengakhiri penganiayaan umat Kristen setempat yang menjadi korban, dan juga mencegah perdagangan cengkih yang dilakukan orang Jawa di sana. Untuk memenuhi tujuan ini, sebuah benteng harus dibangun di Amboino, perhentian strategis untuk armada cengkih Maluku.

Tertunda untuk melawan armada Spanyol yang dipimpin oleh Miguel Lopes de Legazpi yang berada di Cebu, pada akhir tahun 1567, Marramaque tiba di Amboino dengan kekuatan militer yang sangat kecapaian48. Dia segera memutuskan untuk mewujudkan proyek “benteng batu dan kapur” di Ambiono, yang akan menggantikan benteng kayu di sana, yang terbukti tidak efektif dan sama sekali tidak bergengsi. Kampanye yang dilakukan Marramaque di Amboino pada awalnya bertujuan untuk membuat taat Veranula,Lacide dan Cabelo yang memberontak terhadap hadirnya Portugis. Akan tetapi, Sultan Hairun tidak suka jika Portugis berkuasa di wilayah itu yang telah lama menuruti dan mematuhi kekuasaannya, - yang menurut pengakuannya – telah diakui secara tegas oleh kerajaan Portugis. Ia malah mengusulkan agar benteng baru itu didirikan di Hitu, meskipun Hitu memusuhi Portugis karena telah berhasil mengusir mereka dari pesisir, mereka berusaha juga melepaskan pengaruh Ternate, yang sekarang diperlakukan sebagai pemberontak oleh Sultan. Marramaque menolak usul Sultan Hairun, yang pada gilirannya juga menolak memberikan bantuan apapun kepada Portugis49. Menurut Fransisco de Sousa, di akhir negosiasi yang sulit dan tidak membuahkan hasil ini, kapten akan mencoba menangkap Sultan, yang jika dicegah, akan berlindung dengan keluarga kerajaan50


Bagaimanapun, terlepas dari tempat-tempat berbeda sebagai alternatif yang layak, benteng yang ingin dibangun Gonçalo Pereira Marramaque di Amboino harus berlokasi di Hitu, sesuai dengan instruksi yang telah diterimanya di Goa dan sesuai dengan janji yang dibuat oleh Jamilu, sang “Gubernur” Hitu51, dan bukan di pelabuhan yang disebut “sebagai Covas”, tempat armada berlabuh dan tempat kapal-kapal yang berlayar ke Maluco biasa berlabuh, seperti yang telah disebutkan sebelumnya52. Namun, Jamilu mundur dari apa yang telah disepakati tentang pembangunan benteng, berharap armada ratu Japaráa, “yang telah dia patuhi”, akan membawanya keluar dari kesulitan itu. Dia bahkan menyerang utusan Portugis yang dikirim oleh Lopo de Noronha, kapten kapal dalam pelayaran ke Maluku. Namun, kapten Mem (atau Mendes) Ornales, yang memimpin armada Marramaque, menghancurkan armada kapal Japara, membakar 2 junk dan beberapa kapal yang lebih kecil53. Para pahlawan Hitu, dengan membawa kekayaan mereka, kemudian berlindung di titik tertinggi pegunungan di pedalaman, sebuah “pegunungan yang tidak dapat diakses oleh orang Eropa”, yang terus dikejar oleh Portugis, yang akhirnya menguasainya, memasuki dan menjarah negeri Atulili, dan menghancurkan pohon aren di sana. Baik Jamilu maupun “imam besar” dibunuh dan mesjid baru dan “agung” dibakar. Hitu yang kalah, akhirnya patuh dan seluruh pulau Amboino sepenuhnya diserahkan kepada Portugis. Kemudian pembangunan benteng dimulai dengan cepat didirikan antara Mei dan Juli 1569, seperti yang disampaikan oleh misionaris Pero de Mascarenhas54 dan utusan Spanyol di Lisbon, D Juan de Borja55 dengan bantuan semua orang Kristen di Amboino dan “banyak orang kafir demi kedamaian mereka”56. Akan tetapi, itu adalah benteng kayu yang tidak memenuhi kebutuhan pertahanan yang rentan orang-orang Portugis di Amboino.

Misi pelaksanaan kebijakan Sultan Ternate untuk kepulauan Amboino berada di pundak Rubohongi, “sang jenderal” dan kaum keluarganya, yang menggantikan Liliatu dalam tugas tersebut. Ia sukses mengalahkan Portugis, terutama karena kekuatan armada Portugis melemah setelah Gonçalo Pereira Marramaque meninggal pada tahun 1572. Rubohongi mendapat berbagai dukungan terutama oleh penguasa Hitu, seperti Jamilu, dan orang Jawa dari Japará dan Tubão (Tuban)57.

Dengan kematian Gonçalo Pereira Marramaque yang terjadi tidak lama setelah kekalahan penting armada Portugis, terjadi  pemberontakan sejumlah besar negeri/desa yang sebelumnya dikuasai oleh Portugis. 20 tahun kemudian, misionaris João Rebelo, mencatat alasan yang diberikan oleh penduduk pribumi tentang kemurtadan mereka, menegaskan bahwa itu disebabkan “ melihat benteng yang mulai membusuk dan tidak melihat sesuatu yang luar biasa lagi”58. Memang, di antara orang Portugis di Amboino yang mempertahankan keberadaan Portugis jumlahnya mulai berkurang.  Kapten armada sekarang adalah João da Silva Pereira, keponakan dari kapten benteng Portugis Malaka, D. Leónis Pereira, melihat bahwa India tidak membantu Maluco, meninggalkan benteng itu dan berlayar dalam armada melalui rute terpendek yaitu Kalimantan. Menentang ditinggalkannya Amboino ini, Sancho de Vasconcelos bangkit, meyakinkan sebagian besar orang Portugis untuk memindahkan benteng dari pantai Hitu ke Cova, di dalam teluk59. Karena merupakan benteng kayu, selain tua dan cepat membusuk, benteng itu terletak di antara 2 bukit seperti layaknya “ayah tiri”, sehingga tidak ada gunanya membangunnya kembali dengan material dari batu dan kapur di tempat yang sama. Dengan argumen ini, Vasconcelos juga meyakinkan kelompok suku yang berbeda-beda di Amboino untuk membantunya dalam tugas membangun benteng yang baru, dimana mereka melihat peluang itu untuk melawan Hitu dengan lebih efektif. Lokasi yang dipilih adalah “hamparan yang sangat luas”, terletak di sisi Roçanive, yang pengerjaannya diarahkan oleh seorang ahli canarim, dengan “tulang punggungnya” dibawah tanggungjawab Sancho de Vasconcelos60. Benteng yang didirikan oleh Sancho de Vasconcelos di pantai Hatiwi, yang dibaptis dengan nama Nossa Senhora da Anunciada, mengalami banyak kekurangan. Misionaris Jesuit João Rebelo berkata : “Betapa sebuah benteng di masa lalu sangat lemah dan hanya sebagian darinya yang terbuat dari batu dan tanah liat, yang akan runtuh saat hujan dan dapat dengan mudah dilompati dari dinding di bawah”61.

Sancho de Vasconcelos memainkan peran yang sangat penting dalam pelestarian dan pertumbuhan entrepot Portugis di Amboino. Ini adalah kasus unik bagi sebuah benteng Portugis yang berumur panjang, karena ia adalah kapten benteng di Amboino dari tahun 1573 hingga 1591. Sayangnya, kita hanya tahu sedikit tentang hidupnya sebelum ia menjabat posisi penting ini, yang akan tercatat secara luas dalam sumber anonim Relecao yang menggunakan namanya, sebuah catatan sejarah perang Amboino yang sebenarnya62. Vasconcelos tiba di wilayah itu sebagai salah satu kapten armada Gonçalo Pereira Marramaque. Dia termasuk orang Portugis yang di Cebu, mengambil bagian dalam negosiasi dengan Miguel López de Legazpi dan menandatangani perjanjian yang ditandatangani antara Portugis dan Spanyol63.  Pada tahun 1591, posisi Sancho de Vasconcelos diserahkan kepada António Pereira Pinto, kapten pertama benteng di Amboino yang ditunjuk oleh pihak kerajaan Portugis, yang datang membawa serta tukang batu dari Goa dan pekerja lainnya untuk pekerjaan benteng, yang setelah 2 tahun, memberikan jaminan yang lebih kuat untuk melawan serangan orang-orang Ito (Hitu)64.

Selain benteng tersebut, terdapat benteng-benteng periferal (“kecil”) lainnya yaitu beberapa benteng dari tanah yang dibangun oleh para misionaris Jesuit di sekitar tempat tinggal mereka, yang tamannya juga dikelilingi oleh tembok batu. Secara keseluruhan, ada 4 gereja di Amboino : gereja di dalam benteng, yang disebut S.Paulo adalah yang tertua, gereja para frater Misericórdia yang beroperasi dan terhubung dengan rumah sakit dari kelompok yang sama, gereja Santiago dari kaum Jesuit dan gereja São Tomé yang juga dimiliki oleh kaum Jesuit. Sedikit yang diketahui tentang arsitektur masing-masing gereja ini, mungkin dibangun menurut tradisi lokal, yang dibangun tanpa menggunakan batu dan bata, seperti halnya gereja Santiago yang menurut sumber Belanda, seluruhnya terbuat dari kayu.

 


Amboino Belanda

                Ketika Belanda menaklukan Amboino pada tahun 1605, Belanda mendapati sebuah kota yang dihuni hampir secara eksklusif oleh orang-orang Kristen asli, kebanyakan mestizo dan kaum mualaf, sebagian ter-Eropakan dalam cara hidup dan dalam penggunaan bahasa kreol Portugis. Selama beberapa dekade, orang-orang Kristen ini telah menjadi dukungan bagi militer dan perdagangan Portugis di wilayah tersebut. Belanda dapat mengambil keuntungan dari mereka, merekrut di antara orang-orang Kristen itu, para kolaborator yang mereka butuhkan untuk eksploitasi perdagangan dan hubungan diplomatik dengan otoritas tradisional dari pulau-pulau tetangga yang tak terhitung jumlahnya. Dengan demikian, “orang-orang bebas” (bahasa melayu : mardika) ini, berfungsi sebagai perantara antara penjajah dan penduduk, bertindak sebagai penerjemah, agen diplomatik dan komersial, serdadu dan pelaut.

                Kelanjutan di bawah pemerintahan Belanda membawa mereka untuk beralih dari Katolik ke Protestanisme Reformasi Belanda. Munculnya kolonialisme modern pada akhir abad ke-19, memberi mereka kesempatan untuk menduduki jajaran bawahan aparat administrasi kolonial, sementara reputasi kolaborator membuat mereka dimusuhi oleh kaum muslim. Meskipun hingga akhir Perang Dunia II, orang Kristen adalah mayoritas di Ambon, dimana mereka merupakan 60% dari populasi, persentase ini kemudian berubah di hari ini, orang Kristen – yang beberapa ribu di antaranya pindah ke Katolik melalui usaha misionaris Prancis – jauh lebih sedikit daripada jumlah kaum Muslim di pulau itu sendiri dan pulau-pulau tetangga lainnya, yang, sejak masuknya Islam pada akhir abad ke-15, tidak pernah berhenti bertumbuh dengan mengorbankan populasi animisme.

                Varian bahasa Melayu Ambon mengandung lebih banyak kata yang berasal dari bahasa Portugis daripada bahasa Melayu yang digunakan di Indonesia (Bahasa Indonesia), yang disebabkan oleh fakta bahwa bahasa kreol Portugis adalah bahasa resmi di Amboino hingga abad ke-18.

Karena adanya kelompok etnis yang berbeda asal-usulnya, maka kota ini memiliki tatanan perkotaan yang heterogen, terkotak-kotak di lingkungan yang sesuai dengan kampung yang ada di seluruh Asia Tenggara, yang kadang-kadang disebut sebagai desa/negeri oleh sumber Portugis dan kaum Jesuit.

Di sini kita menyentuh aspek penting. Hanya beberapa kelompok yang secara sosial lebih penting, tinggal di dalam tembok kota, dimana beberapa desa/negeri atau kampung tersebar di sekitarnya. Sekarang tradisi urban di Asia Tenggara, terlepas dari pengaruh yang diterima dari urbanisme India dan Cina, menjauh dari mereka dan dari urbanisme Mediterania. Seperti yang terjadi di beberapa kota di Eropa abad pertengahan, juga di dunia melayu tidak ada pemisahan lanskap antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Istana kerajaan itu sendiri dan kompleks candi dan masjid, membentuk seolah-olah, inti dari beberapa kota ini, hanyalah rangkaian hutan dan daerah hijau. Tidak ada tempat di kota ini yang memiliki perspektif keseluruhan. Kota membentang sejauh mata memandang  melalui kebun sayur, pohon aren, saluran irigasi, mencapai keseimbangan, yang terkadang genting, antara konsentrasi manusia dan lingkungan. Pada abad ke-19, di kota-kota tempat penghijauan digantikan ruang beraspal, suasana menjadi terlalu panas dan tidak sehat, memaksa untuk ditinggalkan. Tanpa kecuali, juga di Amboino, di sekitar desa-desa kecil Luso-Asia yang terletak di dalam tembok, ada pinggiran kota yang padat penduduk, yang di mata pengamat Eropa, menampilkan dirinya sebagai sekelompok desa/negeri. 


 

Seperti yang dikatakan, Amboino sebenarnya didirikan pada tahun 1576, yaitu setahun setelah terusirnya Portugis dari kota dan benteng di Ternate. Karena alasan ini, sejumlah besar orang Kristen Luso-Maluku dari Ternate datang untuk tinggal di benteng baru tersebut. Meskipun mereka dianggap orang asing oleh penduduk pulau Amboino, bahkan oleh mereka yang telah menerima baptisan, kelompok-kelompok Asia ini – disebut Mardika – akhirnya menjadi kelompok yang dominan secara sosial, menjadi nenek moyang orang-orang Kristen “Ambon” saat ini. Fakta ini mendorong berkembangnya tesis bahwa Mardika adalah bekas budak Sultan Ternate yang akan dibebaskan dan dibawah oleh kaum Jesuit ke Amboino65. Meskipun mungkin ada latar belakang faktual untuk dugaan ini, tampaknya bagi kita interpretasi semacam itu, terlalu harfiah untuk dianggap sebagai asal mula strata atas komunitas Luso-Ambon, karena yang dimaksud dengan “budak sultan” adalah keragaman komunitas Austronesia yang tersebar di suatu wilayah yang terbentang dari selatan Filipina hingga Timor, dan yang memiliki kewajiban untuk menyerahkan atau mengirimkan sejumlah barang, produk dan jasa kepada Sultan, yang dapat kita sebut “corveias” (“korve”b). Sangat mungkin bahwa selama perang yang mengadu domba Kristen melawan Islam, yang berlangsung selama ½ abad hingga penaklukan oleh Belanda atas kota tersebut, dan yang juga terjadi terhadap beberapa pulau di kepulauan Amboino, beberapa kelompok dari komunitas yang dipaksa menerima otoritas sultan, khususnya para anggota elit serdadu, datang untuk menerima Orang Portugis dari benteng dan cukup tepat, telah menukar status “budak” dengan status mardika atau “orang bebas”.

Tanpa campur tangan Portugis dan Belanda, antagonisme leluhur di antara penduduk di pulau itu tidak akan berkembang menjadi konflik besar agama. Mirip dengan apa yang terjadi di seluruh Indonesia bagian timur, konflik etnis dapat diselesaikan melalui tindakan penghancuran negara modern pada struktur sosial tradisional. Karena mengkristal di bawah jubah agama, konflik ini terus berlanjut di Maluku, seperti halnya di pulau-pulau lain dimana komunitas Kristen hidup, seperti Sulawesi, Timor atau Flores, atau di negara tetangga Filipina, dimana kepulauan Moro yang berpenduduk mayoritas Muslim melawan otoritas bersenjata yang Kristen yang dipimpin dari Manila.

 

Kesimpulan

                Namun, dalam konteks sejarah Amboino, masih harus dipahami bagaimana konflik agama antara Muslim dan Kristen, yang dipicu oleh gerakan militer abad ke-16, menghilang pada abad-abad berikutnya tanpa meninggalkan bekas muncul kembali dalam konteks era pasca kolonial.

                Ketidakpahaman ini telah dimanifestasikan bahkan oleh beberapa sarjana hebat dalam sejarah dan masyarakat Ambon. Kerusuhan 1999 telah dilihat sebagai reaksi yang sudah lama tertunda terhadap perubahan politik sejak tahun 1950, ketika kelompok Protestan Amboino berubah dari pelayan yang setia dan mayoritas secara lokal di negara kolonial menjadi minoritas yang tidak dapat diandalkan untuk menduduki sebagian besar pekerjaan pemerintahan dan layanan publik. Tetapi di sisi lain, peran yang dimainkan dalam berbagai kerusuhan baik oleh kepala adat itu sendiri, terutama oleh para sultan, yang kepadanya kekuatan supranatural dikaitkan, atau oleh kelompok dan komunitas yang tindak oleh salah satu kepala suku ini atau yang lain, menunjukan kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa akademisi, seperti Ch. Fraasen, yang muncul pada pertengahan 1980-an, yaitu bahwa institusi politik yang terkait dengan kesultanan Ternate hanya bertahan sebagai cerita rakyat, dirusak oleh kebangkitan kembali kesultanan di tahun 199966.

                Di sisi lain, antropolog seperti Dieter Bartels menekankan fakta bahwa putusnya ikatan tradisional yang menyatukan umat Kristen dan Muslim di sekitar kepercayaan pada nenek moyang yang sama, lebih ditekankan di lingkungan perkotaan, menjadi alasan hancurnya mekanisme solidaritas dan aliansi antar agama, yang mengarah ke konfrontasi. Bartels percaya bahwa awal dari proses ini berakar pada para pemimpin agama. Para pendeta Gereja Protestan Maluku, penerus Gereja Reformasi Belanda tahun 1935, yang berkesempatan menjadi pelatihan di Eropa pasca perang dan naik menjadi pemimpin gereja, dengan keinginan kuat untuk memurnikan keyakinan agama dan praktik-praktiknya, telah berhasil, tidak hanya menjelekkan kepercayaan pada nenek moyang, tetapi juga mengkristenkan satu bagian dari kodifikasi tradisional (adat), dan menghilangkan yang lain. Komunitas Muslim juga telah mengalami evolusi serupa di bawah tekanan dari gerakan Pan-Indonesia Muhammadiyah67.

                Dengan memperhatikan fakta bahwa konflik antar komunitas tahun 199 terjadi setelah 500 tahun, seharusnya  perdamaian sosial di Maluku ditekankan untuk membatasi diri dalam hal menggemakan pemulihan ingatan sosial yang menghapus konflik pada masa Portugis dan VOC, dengan hanya mempertahankan ingatan persatuan Kristen dan Islam dalam perang melawan Belanda di awal abad ke-19. Mengingat kurangnya fakta sejarah yang ada dalam tradisi lisan, ingatan akan alasan yang menyebabkan masyarakat desa/negeri yang berbeda memilih antara Islam dan Kristen menjadi hilang. Mengingat penghapusan ingatan kolektif, sarjana sosial – antropolog, sosiolog dan sejarahwan dari Belanda dan Anglo-Saxon – tidak mengajukan pertanyaan tentang konfliktualitas pra-pengakuan, dengan asumsi bahwa baik kaum Muslim maupun orang Portugis akan membatasi diri mereka untuk mencoba mempengaruhi dan memanipulasi masyarakat sesuai dengan minat mereka dalam perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, asal usul keyakinan yang saling berhadap-hadapan hari ini di Maluku, tidak memiliki kerangka penjelasan yang konsisten dengan kecenderungan penduduk kepulauan Melayu untuk mengadopsi model impor dan bersaing satu sama lain untuk patuh terhadap standar baru yang ditransmisikan melalui saluran dan agen yang sah, dalam kerangka konflik yang sudah ada sebelumnya yang tidak sesuai dengan skenario indah yang diungkapkan baik dalam mitos leluhur pendiri, yang mengaitkan nenek moyang sama dengan semua populasi di kepulauan Amboino, atau dalam peniadaan konflik leluhur, gambar dan fakta bahwa surat-surat pertama para pejabat Portugis dan raja-raja Maluku yang ditulis antara tahun 1513 dan 1522 telah lengkap, tetapi hal itu terus diabaikan di luar lingkaran kecil para sarjana Portugis.

               

===== selesai =====

Catatan Kaki

33.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, p. 347

34.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, pp. 310-311.

35.     Id., ibid., «General Introduction», pp. 32*-33* dan  60*.

36.    Carta do padre Baltazar de Araújo aos seus confrades, Maluco, 24 de Fevereiro de 1563, Sá (ed.),Documentação, cit., III, p. 34.

37.     Carta del-rei D. Sebastião ao vice rei D. Antão de Noronha, Almeirim, 14 de Março de 1565, Sá (ed.), Documentação, cit., III, p. 128.

38.     Manuel Teixeira, The Portuguese Missions in Malacca and Singapore (1511-1958), I, Lisboa, 1961 [reed., Macau, Instituto Cultural de Macau, 1987], p. 467.

39.    Francisco de Sousa, Oriente Conquistado a Jesus Christo pelos padres da Companhia de Jesus da Provincia de Goa, introdução e revisão de M. Lopes de Almeida, Porto, Lello & Irmão, 1978, III, D. I, pp. 1049-1050.

40.    Carta do padre Manuel Gomes para os jesuítas na Índia, Ative, 15 de Abril de 1564, Jacobs, Documenta Malucensia, I, cit., p. 442.

41.      Id., ibid.

42.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, cit., p. 446.

43.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, cit., p. 310.

44.     Francisco de Sousa, Oriente Conquistado, cit., III, D. I, p. 1050.

45.     Idem, ibid.

46.    P. R. Abdurachman, «Atakiwan, Casados and Tupassi», cit., p. 98.

47.     Carta del-rei D. Sebastião ao vice rei D. Antão de Noronha, Almeirim, 14 de Março de 1565, Sá (ed.), Documentação, cit., III, p. 128.

48.     Tentang masalah intervensi Marramaque dan armadanya di beberapa bagian wilayah selatan, lihat kajian Maria Augusta Lima Cruz “A viagem de Gonçalo Pereira Marramaque do Minho às Molucas ou os itinerários da fdalguia portuguesa no Oriente», Stvdia, 49 (1989), pp. 315-340.

49.    Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, cap. 7.º, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, pp. 183-184.

50.    Francisco de Sousa, Oriente Conquistado, cit., III, D. I, p. 1065.

51.      Nama juru bicara dewan yang memerintah Hitu ini, dieja dengan cara yang berbeda, seperti Genulio atau Jemillo, dimana semuanya itu mendekati bentuk Jamilu, yang muncul dalam teks-teks Portugis dan dicatat oleh Valentijn (Djamiloe0. Lihat Jacobs, Documenta Malucensi I, hal 461, catatan kaki nomor 3.

52.     Cf. António Pinto Pereira, Historia da India no tempo em que a governou o visorey dom Luis de Ataide, Introdução de Manuel Marques Duarte, INCM, 1987, Liv. I, Cap. XXXI, p. 142.

53.     Carta do padre Pero Mascarenhas SJ aos confrades em Portugal, Ternate, 3 de Agosto de 1569, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, p. 315.

54.     Carta do padre Pero Mascarenhas aos confrades em Portugal, Ternate, 3 de Agosto de 1569, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, pp. 316-317.

55.     Carta do embaixador em Lisboa, D. Juan de Borja, a Filipe II, Sintra, 5 de Agosto de 1570, AGI, Patr. 46, R. 8.

Borja menegaskan bahwa Gonçalo Pereira “ membangun benteng di tempat bernama Ambueno karena tampaknya sangat nyaman bagi hamba Raja Portugal karena itu adalah kunci dan saluran Maluco. Mei tahun enam puluh sembilan dan pada tanggal dua puluh Juli tahun tersebut pertahanan dengan empat kubu pertahanan, itu dilakukan dengan tergesa-gesa karena ada banyak orang dari pulau yang mengerjakannya ”.

56.    Francisco de Sousa, Oriente Conquistado, cit., III, D. I, pp. 1066-1067.

57.     Sobre a frequência da ilha de Amboino por armadas de Tubão, veja-se o relato da batalha naval travada entre portugueses e juncos oriundos desse porto javanês, ocorrida cerca de 1578 (Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, Cap. 70.º, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, pp. 376-378).

58.     Parecer do padre João Rebelo sobre o abandono pelos jesuítas da missão de Maluco, Amboino, 27 de Abril de 1593, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, p. 389. 58. Opini Pastor João Rebelo tentang ditinggalkannya misi Maluco oleh para Yesuit, Amboino, 27 April 1593, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, hal. 389.

59.    Veja-se o relato em Diogo do Couto, Década Nona, Lisboa, Regia Offcina Typografca, 1786, Liv., Caps. IX e X, pp. 42-48.

60.    Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, Cap. 37.º, pp. 285-287.

61.     Parecer do padre João Rebelo sobre o abandono pelos jesuítas da missão de Maluco, Amboino, 27 de Abril de 1593, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, p. 389.

62.    «A capitania de Amboino», obra de autor anónimo, também conhecida por «Historia de Maluco no tempo de Gonçalo Pereira Marramaque e Sancho de Vasconcellos» e por «Relação dos Feitos eroicos em Armas que Sancho de Vasconselos fez nas partes de Amboino e Maluco, sendo capitão em ellas vinte annos pouco mais ou menos…», in Artur Basílio de Sá (org.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, IV, Lisboa, AGU, 1956, doc. 37, pp. 164-454

63.    Dikutip dari “Notificacao”, yang terjemahan bahasa Inggrisnya diterbitkan oleh Blair dan Robertson “ Record of Negotiations”, The Philippine Island, II, cit, hal 256-257, dimana nama Sancho de Vasconcelos disebut sebagai “fidalgo”, sedangkan Gonçalo de Sousa, salah satu penandatangan, tampak seperti “fidalgo da casa real”

64.    Parecer do padre João Rebelo sobre o abandono pelos jesuítas da missão de Maluco, Amboino, 27 de Abril de1593, Sá (ed.), Documentação, cit., VI, p. 389.

65.    H. Jacobs, «The Portuguese town of Ambon», cit., p. 606, nota 5.

66.    Gerry van Klinken, «The Maluku Wars: bringing society back in», Indonesia, 71 (Abr. 2001), pp. 15-16.

67.    Dieter Bartels, «Your God Is No Longer Mine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) After a Half-Millennium of Tolerant Co-Existence and Ethnic Unity», in Sandra Pannell (ed.), A State of Emergency: Violence, Society and the State in Eastern Indonesia. Selected papers from the 5th Maluku Conference held in Darwin, Australia, July 1999, Darwin, Northern Territory University Press, pp. 128-153, http://www.nunusaku.com (acedido em 8.2.2011)

 

Catatan Tambahan :

a.        Ratu Japara yang dimaksud adalah Ratu Kalinyamat

§  Lihat H.J. de Graaf dan Th Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Martinus Nijhoff, s,Gravenhage, hal 106

      b.      Arti korve : Atau pekerjaan sehari-hari yang tidak dibayar yang menjadi hak pengikut tuan feodalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar