Selasa, 29 Juni 2021

Kedatangan Islam di Kepulauan Maluku : (berdasarkan) Sumber-sumber Awal (kaum) Iberian dan Tradisi-tradisi Oral


Manuel Lobato

 

  1. Kata Pengantar

Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, dan memiliki sejarah panjang di Nusantara, hal yang sama juga di Maluku. Karena memiliki sejarah panjang itulah, maka hal yang penting adalah kapan Islam mulai diperkenalkan atau sederhananya mulai masuk di bumi Maluku.

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh beberapa sejarahwan dengan informasi yang berbeda-beda. Anthony Reid, misalnya, menyebut antara 1460-1470, Paramitha Abdurachman memilih 1475, L.F. Thomasz memilih ¾ abad ke-15. Kajian Peter.V. Lape dari sisi arkeologi, khusus untuk wilayah Banda, bahkan lebih jauh lagi ke belakang yaitu pada abad ke-13 hingga abad ke-14. Jika begitu, mana yang harus dipercaya dan diterima??

Manuel Lobato mengkajinya dalam artikel 10 halaman yang berjudul The Introduction of Islam in The Maluku Islands (Eastern Indonesia) : Early Iberian Evidence and Oral Traditions. Artikel ini dimuat pada halaman 65 – 74 dalam buku berjudul Estudos Orientais. Volume Comemorativo do primerio decenio do Instituto de Estudes Orientais (2002-2012) yang disunting oleh Eva-Maria von Kemnitz dan diterbitkan di Lisbon tahun 2012.

Selain menyajikan sumber-sumber tertulis, Manuel Lobato juga menyajikan tentang tradisi-tradisi lisan yang berhubungan dengan awal mula masuknya Islam di Maluku. Ada hal menarik yang bisa dianggap sebagai asumsi dari sang penulis, yaitu ia menyampaikan bahwa tradisi-tradisi lisan yang saling bertentangan itu, “diatur ulang” pada pertengahan abad ke-16 yang tujuannya untuk “mengurangi” atau menolak hegemoni dan pengaruh kesultanan Ternate di wilayah Ambon dalam hal masuknya Islam.

Artikel sepanjang 10 halaman ini berisikan 33 catatan kaki, yang sayangnya tidak memuat gambar ilustrasi, maka pada bagian terjemahan ini, kami menambahkan beberapa gambar ilustrasi. Akhir kata, selamat membaca... semoga isi artikel ini membuka pengertian dan pemahaman baru kita untuk memahami sejarah kita sendiri, meskipun ada hal-hal yang tidak kita setujui berdasarkan keyakinan kita masing-masing.

(sumber gambar : artikel Jan van der Putten)

  1. Terjemahan

Sejarah keagamaan dan Islam Lokal

Berdasarkan ukuran-ukuran perbandingan, penulis-penulis Portugis abad 16 telah menghasilkan bahan-bahan bacaan yang sangat kaya dan luas tentang kepulauan Maluku dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Asia. Alasan utama perhatian ini dari orang-orang Iberia karena produksi rempah-rempah di kawasan ini, yang mana wilayah itu merupakan wilayah “terpenting” kerajaan Portugis dan Spanyol.  Kepulauan itu diperdebatkan menjelang tahun 1579, oleh 2 kerajaan Iberia itu yang mengumumkan secara besar-besaran aktivitas mereka di wilayah itu, yang bermakna “pemaksaan” terhadap dugaan bahwa wilayah itu merupakan hak-hak mereka. Perselisihan itu tidak terpecahkan secara memuaskan hingga tahun 1581, ketika kedua kerajaan itu berada dibawah pemerintahan Raja Philip II1.

Banyak informasi/data yang tersedia untuk kajian asal usul Islam di Maluku yang dihasilkan sejak awal hingga pada konteks penyebaran agama Katholik. Akan tetapi, jika satu produk kesejarahan tentang wilayah-wilayah Katholik di Asia Tenggara ditiadakan , seperti Timor-Timur dan Philipina, tidak ada pekerjaan yang signifikan tentang akitivitas-aktivitas awal keagamaan di wilayah paling timur kepulauan Nusantara sepanjang awal abad moderen, yang sering disebut sebagai “kajian-kajian Portugis”2 atau “kajian-kajian keagamaan” yang dilakukan oleh sarjana-sarjana gereja3.

Diantara begitu banyak gambaran yang muncul dari sumber-sumber Portugis dan Spanyol tentang kepulauan Maluku, kami akan memfokuskan pada aspek keagamaan di masa lalu yang terbentang jauh di belakang, untuk mengurai secara jelas ingatan bersama  seperti yang dilakukan dalam kajian-kajian kesarjanaan, yang juga terbatas tentang referensi, khususnya di antara pengarang yang tak bisa mengakses sumber-sumber Iberia. Masyarakat Maluku pertama kali memeluk agama Islam terjadi dalam abad 15, sekitar tahun 1460an atau 1470an, kira-kira 70 tahun sebelum agama Kristen juga dipeluk, seperti yang akan kita kaji di bawah ini. Sejak tahun 1547 hingga 1684, kaum Jesuit melakukan misi penyebaran agama Katholik yang dimulai oleh Santo Fransiskus Xaverius di Maluku Utara. Hubert Jacobs menduga bahwa misi ini semacam misi di “pinggiran Islam”4.  Luis Felipe Thomas juga menyebut Maluku sebagai “timur jauhnya (finnisterra) Islam”5. Pada saat Portugis tiba di kawasan itu dalam tahun 15126, kepulauan itu sejak awal abad 15 menjadi ujung rute perdagangan rempah-rempah di Indonesia, dan oleh karena itu, juga menjadi ujung timur tujuan jaringan perdagangan kaum Muslim.

Pulau Ternate khususnya menjadi pusat politik dan penyebaran agama Islam di timur kepulauan Nusantara yang juga dianggap sebagai barisan terdepan dalam dunia yang masih bergelimang dengan keyakinan dan kebiasan-kebiasaan agama animisme. Pengaruh Ternate, juga Tidore yang mencakup wilayah-wilayah yang jauh di luar Maluku, seperti Sunda Kecil, Philipina, Sulawesi dan khususnya wilayah Papua yang terbentang dari pulau Halmahera hingga semenanjung kepala burung di Papua, sebuah wilayah yang nyaris tak bisa dimasuki oleh agama-agama baru, apakah itu Islam atau Kristen, juga Budha dan Hindu sebelumnya.

Terhubung oleh rute dari Jawa dan Malaka ke rute rempah-rempah di wilayah Muslim di Laut Merah dan Teluk Persia, Maluku terkena pengaruh Islam paling awal dan paling kuat dibandingkan wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Meskipun Islam memasuki wilayah ini lewat perdagangan, tidaklah mudah untuk memperkirakan  dengan jelas tentang dasar dari kehadiran pedagang-pedagang Muslim di pelabuhan-pelabuhan utama, dimana mereka membentuk komunitas kosmpolitan dari Arab, Turki dan wilayah Gujarat. Malahan, konversi para raja dan kaum elit istana (orang kaya) di seluruh pulau Asia Tenggara memberi petunjuk jelas pada masuknya agama Islam di masyarakat pribumi. Pasai, di ujung barat Sumatera menjadi kesultanan Islam pertama di kepulauan Nusantara pada akhir abad 13, kemudian diikuti oleh Aru dan pada akhirnya Malaka pada tahun 1414. Nyaris setengah abad kemudian, Ternate menjadi kesultanan pertama di bagian timur Nusantara, saat Raja Tidore Vangui memeluk Islam dan mengadopsi gelar Sultan serta mengganti namanya menjadi Zainal Abidin7

(sumber gbr : artikel Tuti Pudjiastuty)

Ternate lebih dulu dari 2 wilayah yaitu kepulauan Banda – yang berisikan dewan perwakilan yang dikuasai oleh beberapa komunitas negeri, yang memeluk agama Islam beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1485, sekurang-kurangnya menurut pernyataan Tome Pires8 – serta Hitu di pulau Ambon9, yang diperintah oleh “ a council of four (empat perdana), yang menjadi muslim pada awal abad 1610. Ternate juga lebih dulu dari Gresik, kota pelabuhan pertama di Jawa, yang mana Patih atau Perdana Menterinya memeluk agama Islam. Keadaan yang lebih awal ini seharusnya menjadi hal yang penting, bahwa lokasi pulau Ternate di kawasan Maluku Utara, terpisah oleh 2 musim dari kawasan “tengah/pusat” dalam arti “terpencil” dari pusat-pusat Islam di Sumatera dan semenanjung Melayu, sementara Hitu, Banda-Naira dan Gresik berlokasi pada rute yang memiliki akses langsung oleh kapal-kapal dari selat Melaka.

Dari Maluku, Islam menyebar ke berbagai arah, yang di bawah pengaruh Ternate, mencapai Mindanao dan Jolo di kepulauan Sulu, sedangkan pelabuhan-pelabuhan lain di Philipina menerima Islam melalui kesultanan Brunei11. Akan tetapi, ada sedikit keraguan apakah Mindano menerima Islam dari Ternate atau tidak, meskipun kesultanan di Philipina, seperti juga wilayah Jolo, benar-benar membayar upeti kepada Ternate. Tentu saja, menurut tradisi lokal Philipina yang dimuat dalam Silsilah Tarsila Muslim, Islam telah tiba di kawasan itu pada tahun 1380 oleh para ulama asing yang datang dari Malaka, meski kawasan itu baru menjadi kesultanan pada awal abad 15. Tradisi-tradisi itu yang bertentangan dengan periodesasi waktu/zaman, juga menceritakan bahwa Sultan pertama Mindanao adalah seorang “panglima” dari Johor, yang mana para sultannya berasal dari keturunan penguasa Malaka. Panglima ini kemudian menaklukan kepulauan itu sekitar tahun 1475, yang nyata-nyata itu merupakan cerita “fiksi”,  karena Johor barulah berdiri kira-kira setengah abad kemudian. Tradisi yang lain menyebut bahwa sultan pertama Jolo adalah cucu dari seorang penakluk asal Minangkabau yang menikah pada tahun 1450 dengan seorang putri beragama muslim dari Palembang12

 

Hubungan Islam di Maluku

        Sejarah tentang keagamaan di Maluku masih jauh dari “harapan”, seperti yang diungkapkan oleh Dieter Bartels sekitar 30 tahun lalu : Sejarah Islam di Maluku juga perlu untuk ditulis/dikaji, dikarenakan ketidakpastiannya di sekitar kedatangan Islam13. Proses islamisasi, oleh karena itu menjadi fakta dasar untuk dikaji. Namun, beberapa pengarang berpendapat bahwa Maluku menerima keyakinan Islam melalui Malaka, sepanjang bahasa Melayu menjadi lingua franca. Diantara pengarang-pengarang Portugis, pandangan ini ditegaskan kembali oleh L.F. Thomaz14. Ketergantungan perdagangan pada pedagang-pedagang muslim yang menetap di Malaka dan pelabuhan-pelabuhan lain di pasisir Jawa rupanya merupakan alasan yang cukup untuk awal islamisasi di Maluku. Pandangan lain menyatakan bahwa Islam masuk melalui Brunei15 tidak memiliki dukungan yang jelas, meskipun terbukti ada hubungan intim dan hubungan yang lebih cepat antara Ternate dan Brunei. Bukti dokumen dan historiografi moderen umumnya sependapat bahwa kedua Raja Ternate dan Tidore memeluk islam dalam periode ¾ abad ke-15, saat para penguasa Jawa melakukan itu kemudian dalam abad 16, dan hanya Sulawesi pada awal abad berikutnya, tanpa menghiraukan kedekatan mereka dengan Malaka dan hubungan mereka yang intens dengan pedagang-pedagang muslim dari India dan perdagangan Timur Jauh yang beroperasi di Asia Tenggara16.  

                Dengan kurangnya bukti-bukti dari Asia tentang masuknya Islam di Maluku, maka historiografi Indonesia mengandalkan sumber-sumber Iberia yang ditulis lama setelah kejadian-kejadian itu terjadi. Teks-teks itu memuat tradisi oral/lisan yang hidup di Ternate dalam paruh pertama abad 16, dan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang konsisten bahwa secara umum diterima oleh pengarang-pengarang berbeda untuk menentukan periode Islam diterima di Maluku. Bagi Anthony Reid, Islamisasi dimulai dengan konversi agama oleh raja Ternate, yang menurut dugaan antara tahun 1460 dan 147017, selanjutnya Roderich Ptak juga memilih periode ini18 dan Paramita Abdurachman memilih tahun 147519.  

(sumber gbr : Artikel Tuti Pudjiastuty)

                L.F. Thomaz juga mendukung periode ¾ abad ke-15, seperti yang disebutkan diatas, akan tetapi Reid dan Ptak menegaskan peranan Jawa, termasuk Tuban, yang merupakan komunitas awal muslim yang sedang berkembang, sedangkan Thomaz  menghubungkan awal Islamisasi di Maluku dengan pedagang-pedagang muslim dari Malaka. Ia beralasan bahwa periode itu sekitar tahun 1470an, dimana konversi Raja Ternate terjadi pada saat Islamisasi di Jawa baru dimulai, tidak berkembang sebelum runtuhnya Majapahit dalam tahun 152720. Semua pengarang itu menggunakan kesaksian dari Tome Pires, yang dikumpulkan di Malaka setelah ditaklukan oleh orang-orang Portugis, dari para pedagang Hindu yang berhubungan “akrab” dengan Maluku. Pandangan L.F. Thomaz ini kemudian diikuti oleh banyak pengarang21.

                Untuk memahami cara-cara Islam – seperti juga Katholik- memasuki Maluku, kita sebaiknya mengingat kembali pada daya penerimaan dari bagian-bagian masyarakat Asia Tenggara untuk mengadopsi pola-pola dan keyakinan dari luar. Hal ini mirip dengan penyebaran agama Budha dan Hindu di sebagian besar wilayah barat kepulauan Nusantara. Maluku, juga menerima pengaruh seperti itu sejak abad ke-13 melalui hubungan intens dengan Jawa, yang juga sangat kuat terpengaruh oleh orang-orang China, yang berlayar ke Maluku untuk membeli rempah-rempah dengan pertukaran tembikar dan uang tembaga dari China Selatan22. Pengaruh luar orang-orang China dan Jawa mungkin terbatas pada lingkaran elit dan kegiatan-kegiatan politis, nampak pada gelar yang diadopsi oleh pemimpin dan penguasa lokal (sangaji, raja), dalam gaya berpakaian dan pengenalan budaya tulis, kertas dan lain-lain. Akhirnya juga mencakup unsur budaya dari Jawa dan China, dunia Maluku terpengaruh oleh pedagang-pedagang muslim dari Malaka, mungkin dimulai sejak kunjungan mereka setiap tahun semenjak periode 1/3 abad ke-15.

                Meskipun dimensi kehidupan istana cukup terbatas, fragmentasi politis yang ekstrim di Maluku Utara – ada 4 raja dan 17 sangaji (bahasa Portugis sangage) -  seperti merupakan sumber-sumber yang berlimpah-limpah oleh perdagangan rempah-rempah  telah mengakibatkan para penguasa untuk mengadopsi pola-pola dari luar dan menjadi terbuka terhadap masuknya unsur-unsur religius. Selain itu, dalam sebuah dunia dimana animisme masih berakar kuat, wilayah agama dan politik saling berjalin rapat.  Keberadaan unsur-unsur animisme di bawah (pemerintahan) Islam di luar kajian ini, namun cukuplah diingat seperti yang disebutkan diatas, bahwa Raja Ternate, Tidore Vangui diduga memeluk agama Islam hanya setelah mengunjungi Malaka.

(sumber gbr : artikel Tuti Pudjiastuty)

Kedatangan Islam di Ternate

Dalam salah satu kajian sebelumnya, kami mendukung pandangan berbeda yang salah satunya kami nyatakan sekarang. Kami berpendapat bahwa masuknya Islam di Maluku oleh pedagang-pedang dari Maluku, mungkin terjadi lebih awal daripada yang secara umum diakui. Kami mendasarinya berdasarkan pada pernyataan Joa de Barros bahwa Islam secara resmi diadopsi di Maluku lebih dari 80 tahun sebelum Portugis tiba, yang berarti sekitar tahun 1430an23. Akan tetapi asumsi L.F. Thomaz tentang masalah ini, seperti biasanya, lebih “bijaksana” yang didasarkan  pada sejumlah besar kesaksian-kesaksian itu, selain yang oleh Tome Pires, menunjuk ke arah yang berbeda. Pigafeta, seorang Italia yang mengunjungi Tidore pada tahun 1521, mengatakan dalam kisahnya yang terkenal tentang perjalanan Magellan mengelilingi dunia : selama sekitar 50 tahun, Maluku dihuni oleh kaum Muslim24, yang berarti sekitar tahun 1470. Menurut penulis sejarah berkebangsaan Spanyol, Leonardo de Argensola, Raja-raja Ternate dan Tidore telah menjadi penyembah berhala hingga “ tidak sedikit tahun” sebelum kedatangan bangsa Portugis, serta dengan hati-hati menentukan, seperti Barros, bahwa sudah ada 13 generasi sebelum Sultan pertama, Raja Tidore Bangue atau Vangui (sekitar 1485-1501), ayah dari Sultan Abu Lais (sekitar 1501-1521)25 yang memerintah Ternate selama bertahun-tahun sebelum Portugis tiba di sana pada tahun 1521. 

(sumber gbr : artikel Tuti Pudjiastuty)

Misionaris terkenal dari Kaum Jesuit, Fransiscus Xaverius menegaskan pada tahun 1546, bahwa Islam diperkenalkan sekitar 70 tahun sebelumnya26, yang berarti pada tahun 1476, sementara Antonio Galvao, penulis sejarah dan Gubernur Portugis ke-7 di Ternate (1536-1539), bahkan mundur lebih jauh dan memberikan informasi tambahan. Ia menulis bahwa : Raja Pertama yang beragama Muslim di Ternate ini, sekitar tahun 146027.  Tentunya, pertobatan Raja Ternate tidak terkait dengan kunjungannya ke Malaka, yang mana Sultan Ala ud-Din (1477-1488) memerintah, seperti yang dilaporkan dalam Sejarah Melayu. Gema dari episode ini ditekankan dan dimuat oleh Galvao saat mengumpulkannya di Ternate. Ia mengatakan bahwa para penduduk asli :

Menceritakan hal ini dalam 2 cara yang berbeda : bahwa seorang wanita bangsawan Jawa dari keturunan seorang patih (yang di wilayah itu berarti seorang pemimpin) tiba dengan kapal-kapal itu, karena wanita itu adalah seorang bangsawan. Vongi seorang Tidore, Raja Ternate telah menikahinya, dan menjadi Muslim. Yang lain mengatakan bahwa pertama-tama, Raja dan beberapa orang lain menjadi seperti itu, dan berkeinginan untuk diakui dalam agama yang baru saja ia anut, ia ingin melihat tatakrama dan negara luar. Jadi ia meninggalkan pulau itu dan pergi ke Malaka, serta kembali melalui rute Jawa, ia menikah di sana dengan seorang wanita yang memiliki hubungan dengan  Raja-raja negeri itu. Ketika ia (Raja Ternate) kembali ke wilayahnya, dan semua menerima kepercayaan istri barunya, dan ia (istri raja) menjadikan mereka Muslim28

Singkatnya, Portugis telah mengumpulkan tradisi lisan yang beredar diantara elit kerajaan Ternate, yang menyebut bahwa Islam masuk sekitar tahun 1560an – 1570an. Namun, tidaklah mengherankan jika tradisi-tradisi yang dikumpulkan oleh orang-orang Portugis ini agak “fiktif”, terwakili oleh pengaturan yang dibuat sebelum akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Di Hitu, sebuah wilayah yang disebutkan di atas, terletak di pantai utara Ambon, tradisi lokal yang juga dikumpulkan oleh Galvao, menyebut bahwa Islam telah diperkenalkan di sana bukan oleh para pedagang Malaka, tetapi oleh orang-orang Jawa29.  Pengenalan Islam di Hitu dengan mudah bisa terjadi sebelum kuartal terakhir abad ke-15, ketika kota-kota pelabuhan di pesisir Jawa, seperti Tuban, Jepara dan Demak, belum secara resmi menerima Islam30, dengan demikian orang-orang Hitu menerima Islam  mengikuti yang ada di Maluku Utara. Tradisi yang dikumpulkan oleh Galvao di Ternate tampaknya merujuk pada hal ini, sambil menekankan bahwa pedagang-pedagang Melayu dan Jawa, dengan melalui jalan-jalan yang tidak biasanya, tiba di sana bahkan sebelum mereka tiba di kepulauan Banda dan Ambon : “Maluku lebih dulu dikenal (oleh orang Melayu dan Jawa) daripada Banda”31. Namun menurut antropolog berkebangsaan Belanda, Ch. Fraasen, yang didasarkan pada Hikayat Hitu (Kronik Tanah Hitu)32 yang ditulis sekitar tahun 1646 oleh Safara Rijali seorang Jawa, menyebut bahwa Hitu dan pelabuhan-pelabuhan lain di kepulauan Seram dan Hoamoal, semuanya menurut dugaan juga telah diislamkan pada akhir abad ke-1533


Kesimpulan

             Sumber-sumber kaum Iberia tentang kedatangan Islam ke Maluku sepenuhnya bersandar pada tradisi-tradisi lisan yang dikumpulkan di pulau-pulau ini dan di Malaka dari tahun 1512 hingga tahun 1530an. Mereka (sumber-sumber Iberia) umumnya mendukung sedikitnya catatan-catatan dari Asia tentang masalah ini yang dimuat dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Tanah Hitu. Namun, mereka juga “menyesuaikan” kronologi yang disajikan dalam kronik Melayu ke periode yang sedikit lebih awal, dimana Raja Tidore Vongi (sekitar 1488-1501) belum memerintah Ternate. Catatan-catatan orang Portugis dan Spanyol, meskipun telah mendaftarkan beberapa tradisi lisan, ada hubungan yang tak dapat disangkal dalam masalah ini dan sejalan dengan kecenderungan tekstual historis Asia Tenggara untuk “memperbaharui” peristiwa-peristiwa dari periode sebelumnya. 2 tradisi yang tetap hidup dan saling bertentangan ini, yang dicatat oleh Galvao, menunjukan bahwa Malaka mungkin tidak memainkan peranan yang sering dikaitkan dengan pengenalan Islam di Maluku, meskipun pedagang-pedagang Melayu dari kota-kota pelabuhan Melayu telah berkontribusi untuk memperkuat  ikatan yang mengikat mereka dengan para penguasa Maluku, dengan menandatangani perjanjian bilateral selama kunjungan Vangoi ke Malaka pada akhir abad ke-15, seperti yang dilaporkan dalam Sejarah Melayu dan juga oleh Galvao. Versi kedua yang dicatat oleh Galvao itu, yang mengaitkan perkenalan Islam di Ambon oleh para pedagang Jawa, seperti mewakili, suatu penggambaran untuk “mendamaikan/menyatukan” pengaruh orang-orang Jawa dan Melayu atas dunia Ternate. 

--- Selesai ---
 
Catatan Kaki. 

1.  Manuel Lobato, «As Filipinas e o Estado da India no tempo dos Austrias. Tensão, convergência e acomodação entre os impérios ibéricos na Ásia do Sueste», dalam Pedro Cardim et al. (editor.), Portugal na Monarquia Espanhola.Dinâmicasde integração e de conflito (forthcoming).

2.  Maria Odete Martins Soares, A missionação nas Malucas no século XVI. Contributo para o Estudo da acção dos ]esuítas no Oriente, Lisbon, IHAM-UNL, 2002 dan Jorge M. dos Santos Alves, Notícias de Missionação e Martírio na índia e lnsulíndia, Lisbon, Alta, 1989.

3.  Yang juga perlu ditambahkan adalah kajian perintis dari Charles Wessels, Histoire de la mission d'Amboine. 1546-1605, Leuven, Museum Lessianum, 1930 (terjemahan oleh J. Roebrock dari edisi bahasa Belanda tahun 1926), dan Georg Schurhammer («Novos documentos para a História das Molucas no tempo de S. Francisco Xavier«, Broteria, XIV, 5, 1932, pp. 278-288), historiografi paling substansial tentang aktivitas misonari di Maluku dikumpulkan oleh Artur Basílio de Sá (Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulindia, 6 vols., Lisbon, AGU and IICT, 1954-1988) dan  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia (1542-/682), 3 vols., Rome, IHSI, 1974-1984; dan juga, The Jesuit Makasar documents (1615-1682), Rome, IHSI, 1988.

4.  Hubert Jacobs, «A primeira Missão jesuítica na fronteira oriental com o Islão», Brotéria, 132,2, 1991, pp. 123-29.

5.  L. F. Thomaz, «Maluco e Malacca», A. Teixeira da Mota (editor.), A viagem de Femão de Magalhães e a Questão das  Molucas, Lisbon, J1CU, 1975, pp. 29-48 (also in idem, De Ceuta a Timor, Lisbon, Difel, 1994, pp. 537-65).

6.  Manuel Lobato, «A man in the shadow of Magellan: Francisco Serrão, the first European in the Maluku islands (1511-1521)», Revista de Cultura/ Review of Culture, International Edition, série 111, 39, 2011, pp. 103-20.

7.  The Sejarah Melayu, or «Malay History», menyebut kunjungan ke Malaka oleh Raja Maluku pada masa Sultan Ala ud-Din (1477-1488). Kejadian ini yang dimuat dalam Sejarah Melayu dan tradisi lisan yang dikumpulkan oleh Antonio Galvao di Ternate tentang kunjungan Raja Tidore Vangoi ke Jawa dan Malaka, mungkin merujuk pada peristiwa yang sama. Lihat  C. C. Brown (ed.), «Sejarah Melayu or Malay Annals», Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 2 5 , 3 , 1952-53, apud  L. F. Thomaz, note 84 to Diogo do Couto, Década Quarta da Asia. Edição crítica e anotada coordenada por M. Augusta Lima Cruz, vol. II: Notas históricas e filol(')gicas, glossário e índice de antropóramose topónimos, Lisbon, CNCDP/FO/INCM, 1999, p. 78; and Hubert Jacobs, S. J. (ed.), A Treatise on the Moluccas (c. 1544) Probablythe Preliminary Version of António Galvao's lost 'Historia das Molucas', Rome and St. Louis, 1971, pp. 82-84- See also M. Lobato, «'En este cabo de mundo'. A missionação nas Molucas no século XVI e a 'fronteira' do Islão», Povos e Culturas, 11, 2007, pp. 211-30.

8.  A Suma Oriental de Tomé Pires e o Livro de Francisco Rodrigues, Armando Cortesão (editor.), Coimbra, Acta Universitaris Conimbrigensis, 1978, p. 331 (edisi Inggris oleh Armando Cortesão, The Suma Oriental of Tomé Pires. An Account of the East from the Red Sea to Japan Written in Malacca and India in 1512-1515, 2 vols., London, Hakluyt Society, 1944).

9.  Hubert SJ Jacobs, «The Portuguese town of Ambon, 1567-1605», in I. Guerreiro and L. Albuquerque (eds.), II Seminário internacional de História Indo-portuguesa, Lisbon, IICT, 1985, p. 604.

10.   Richard Chauvel, «Ambon's Other Half: Some Preliminary Observations on Ambonese Society and History», Review of Indonesian and Malayan Affairs, 14, 1, 1980, p. 43.

11.   Jesus Gayo Aragon, O.P, Ideas jurídico-teológicas de los religiosos de Filipinas en el siglo XVI sobre la conquista de las Islas, Manila, 1950, pp. 49-50, n. 84.

12.   Antonio Molina, Historia de Filipinas, I, Madrid, Instituto de Cooperación Iberoamericana, 1984, pp. 26-27.

13.   Dieter Bartels, «Politicians and Magicians: Power, Adaptive Strategies, and Syncretism in Central Moluccas», dalam Gloria Davis (editor.), What is Modem Indonesian Culture!, Ohio University, Center for International Studies, Southeast Asia Series No. 52, 1979, p. 286.

14.   L. F.Thomaz, «Maluco e Malacca», cit. pp. 541-42.

15.   Lucio Gutierrez, Historia de la Iglesia en Filipinas. 1565-1900, Madrid, Mapfre, col. «Iglesia Católica en el Nuevo Mundo», 1992, p. 256.

16.   Manuel Lobato, Política e comércio dos portugueses na Insulindia. Malaca ë as Molucas de 1575 a 1605, Macau, IPOR, 1999, p. 95.

17.   Anthony Reid, «The Structure of Cities in Southeast Asia. Fifteenth to Seventeenth Centuries», Journal  of Southeast Asian Studies, XI, 2, 1980, p. 236.

18.    Roderich Ptak, «The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea- -Sulu Zone-North Moluccas (14th to early 16th century)», Archipel, 43, 1992, pp.37 and 41.

19.   Paramita R.Abdurachman, «New Winds, New Faces, New Forces», Prisma, 33,1984, p. 52.

20.   L. F.Thomaz, «Maluco e Malacca», cit. pp. 542-43.

21.   Ana Gabriela Naré de Morais Freire, Novidades, Novidades, Feitos e Murmúrios. Os textos de 1561 e 1569 de Gabriel Rebelo, oficial português nas Molucas, MA thesis, Lisbon, Universidade Aberta, 2003, p. 25; M. Odete Soares Martins, A missionação nas Molucas no século XVI,cit., pp. 46 and 118; Artur Teodora de Matos, Portugal na Rota das Especiarias. De Maloca à Austrália / On theSeaway to Spices. From Malacca to Australia, Lisbon, IN-CM, 1995, p. 64; Isabel Drumond Braga, «Molucas», Histárà dosPortugueses no Extremo Oriente, A. H. de Oliveira Marques (ed.), vol. 1, t. II, De Macau à periferia, Lisbon, Fundação Oriente, 2000, p. 320.

22.   Manuel Lobato, «Os chineses nas ilhas Molucas: da prioridade no comércio de longa distância à fixação de uma comunidade residente», Conferências nos Encontros Históriaof Luso-Chinesa, Jorge dos Santos Alves (ed.), Lisbon, Fundação Oriente, 2001, pp. 147-72.

23.   João de Barros, Ásia. Dos Feitos que os Portugueses fizeram no Descobrimento e Conquista dos Mares e Terrasdo Oriente. Década Terceira, Hernâni Cidade and Manuel Múrias (eds.), Lisbon, AGU, 1947 (reed. CD-ROM, Lisbon, CNCDP, 1998), bk. V, ch. VI, p. 264. Penulis sejarah menyebut bahwa Islam “ datang dari Malaka melalui perdagangan”. {DécadaPrimeira, 1945, bk. IX, ch. II, p. 368).

24.   Antonio Pigafetta, Primer viaje alrededor del mundo, Leoncio Cabrero Fernandez (ed.), trans, by F. Ros,Madrid, Historia 16, 1985, p.147.

25.   Argensola, Conquista de las Islãs Malucas, Madrid, ed. Polifemo, pp. 15and 18; Barros, Década Terceira, bk. V,ch. VI, p. 265.

26.   Francis Javier to his brothers in Europe, Ambon, May 10, 1546, A. Basilio de Sá (ed.), Documentação para Históriadas Missões do Padroado Português doOriente. Insulíndia,I, Lisbon, AGU, 1954, p. 496 dan H. Jacobs (ed.), Documenta Malucensia, I, cit., p. 11.

27.   H. Jacobs, A Treatise on the Molucas, cit., p.84. Andaya menerima keterbatasan kronologis yang dilaporkan oleh Galvao. Akan tetapi, ia memperkirakan antara 80-90 tahun sebagai periode itu sebelum kedatangan Portugis di Maluku dan bukan pada saat peristiwa ketika Galvao menulis pada sekitar tahun 1544. Lihat  L. Andaya, «Los primeras contactos de los espanoles con el mundo de las Molucas en las Islas de las Especias», Revista Espanoladel Pacífico, II, 2,1992, p.62. L.F. Thomaz juga menarik perhatian kita pada fakta bahwa kronologis Raja-raja Ternate umumnya diterima oleh Hisoriografi Indonesia, yang menolak Galvao  (Treatise, cit., p. 82) dan  Barros (Década Terceira,bk. V, ch. V, p. 264), dan menentukan periode konversi Raja pertama yang merujuk pada Gapi Gabuna (1432-1465), sementara Raja Tidore Vangoi berkuasa sejak tahun 1485 atau 1486  (L. F. Thomaz, «As cartas malaias de Abu Hayat, sultão de Ternate, a el-rei de Portugal e os primórdios da presença portuguesa em Maluco», Anais de Históriade Além-Mar, 4, 2003, pp. 381-446 and 410, n. 93).

28.   Jacobs, A Treatise on the Molucas, cit., pp. 82-84.

29.    Galvão (Jacobs, A Treatise on the Molucas, cit., p. 104), yang mencatat tradisi-tradisi itu juga menambahkan bahwa ia bertanya di Jawa tentang masalah ini. Orang-orang Jawa menjawab padanya bahwa hal itu adalah tradisi lisan dan mempertahankan bahwa Maluku telah mengenal Islam sebelum orang Jawa sendiri. Hal ini menampakan bahwa referensi ini sebaiknya tidak ditafsirkan seperti yang dilakukan oleh H Jacobs yang menyebut bahwa orang-orang Ambon “menyombongkan diri” sebagai keturunan orang-orang Jawa  (Jacobs, Documenta Malucensia, I, p. 173, n. 11)

30.   Idem, ibid.

31.   Jacobs, A Treatise on the Molucas, cit., p. 82. Tomé Pires (Suma Oriental, cit. ed., p. 331), yang dalam tahun 1513-14, juga menyebut bahwa kedatangan Islam di Banda sekitar 30 tahun sebelumnya, yang berarti sekitar tahun 1485. Jhon Villiers menyampaikan pandangan berbeda : Konversi orang –orang Banda pada agama islam, nampaknya terjadi lebih dulu daripada di Maluku («Da verde noz tomando seu tributo: the Portuguese in the Banda Islands in the Sixteenth Century», in John Villiers, East of Malacca. Three essays on the Portuguese in the Indonesian archipelago in the sixteenth and early seventeenth centuries, Calouste Gulbenkian Foundation, Bangkok, 1985, p. 9).

32.   Z. J. Manusama (ed.), Ridjali's Hikayat Tanah Hitu: Historie en Sociale Structuur van Ambonse Eilanden in het Algemeen en Uli Hitu het Bijzonder tot het Midden de Zeventiende Eeuw, Ph.D. thesis, University of Leiden, 1977. Tulisan Safara Ridjali dengan versi yang lebih baru, diedit dalam terjemahan bahasa Belanda dan di anotasi oleh H Stravers, Ch Fraasen dan J Putten (editor), Ridjali Historie van Him. Een Geschiedene Ambonse uit de zeventiende eeuw, Utrecht, Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004- See G. L. Koster, «Hikayat Tanah Hitu. A Rare Local Source of 16th and 17th Century Moluccan History», Revista de Cuitura / Review of Culture, International ed., 28, 2008, pp. 132-42.

       33.  Ch. F. van Fraassen, «Historical Introduction», in Katrien Polman (ed.), The Central Moluccas. An Annotated Bibliography, KITLV, Bibliographical Series 12, Dordrecht / Cinnaminson, Forbis Publications, 1983, p. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar