Kamis, 01 Juli 2021

Kepulauan Maluku dan Indonesia Timur di Paruh kedua abad ke-16 : dalam sumber-sumber Portugis dan Spanyol (bag 1)

 

Oleh Manuel Lobato

  1. Kata Pengantar

Pergolakan di abad ke-16 yang melibatkan kerajaan-kerajaan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore saat berhadapan dengan kekuatan Eropa yaitu Portugis dan Spanyol, berimplikasi pada dinamika politik dan sosial di wilayah Maluku. Jika kita ingin memahami “karakteristik” sosial, budaya dan politik orang Ambon di masa kini, kita harus kembali mundur dan mengetahui apa yang terjadi pada abad ke-16 itu. Apa yang terjadi di abad itu, turut membentuk apa yang terlihat di masa kini.

Manuel Lobato dalam artikel sepanjang 26 halaman ini menawarkan hal demikian. Artikel ini berjudul The Moluccan Archipelago and Eastern Indonesian in the second half of the 16th century in the light of Portuguese and Spanish accounts, dimuat pada halaman 38-63 dalam buku The Portuguese and the Pacific yang disunting oleh F.A. Dutra dan J.C. dos Santos, yang diterbitkan tahun 1995.

Dengan membaca kajian bermutu ini, kita bisa minimal memahami, misalnya mengapa pada dekade kedua abad ke-19, kesultanan Ternate dilibatkan dan terlibat dalam upaya penumpasan Perang Pattimura di tahun 1817 itu. Kebijakan orang Eropa yang dimulai oleh Portugis dan Spanyol yang kemudian dilanjutkan oleh Belanda sepanjang 3 abad lebih saat berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan Maluku, menjadi “asal usul” untuk memahami peristiwa sejarah pada abad ke-17, 18, 19, awal abad 20.

Artikel Manuel Lobato sepanjang 26 halaman ini terdiri dari 114 catatan kaki, yang sayangnya tidak terdapat gambar ilustrasi. Pada artikel yang kami terjemahkan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan gambar ilustrasi, catatan tambahan yang kami rasa perlu.

Lukisan Sultan Ternate mengunjungi Mesjid ca.1598/1599 

  1. Terjemahan

Sejak sekitar tahun 1580, Portugis dan Spanyol mulai mengkoordinasikan kebijakan luar negeri mereka di bawah  pemerintahan Raja Philip IIa. Pemukiman-pemukiman Portugis di Tidore dan Ambon (Maluku Tengah), mulai didukung oleh otoritas Spanyol di Manila terhadap serangan dari Sultan Ternate. Antara tahun 1581 dan 1606, Portugis dan Spanyol dipaksa untuk berperang melawan “kerajaan” Ternate, dari Philipina di utara hingga ke Kepulauan Sunda Kecil di bagian selatan. Kaum Iberia yang menguasai kepulauan rempah-rempah berakhir pada tahun 1607, ketika Belanda, menetap di wilayah itu, bersekutu dengan Ternate dalam perdagangan cengkih dan bersahabat.

                Tujuan utama dari kajian ini, adalah untuk memeriksa keterlibatan Portugis dan Spanyol di kepulauan Maluku, dengan titik fokus pada sejarah politik Kesultanan Ternate pada paruh kedua abad ke-16, berdasarkan laporan yang ditulis oleh para perwakilan Kerajaan Iberia. Untungnya, banyak sumber-sumber Eropa tentang kepulauan Maluku ini yang tersedia. Perang-perang yang tidak putus-putusnya dan sejumlah besar misi Kristen, menarik perhatian banyak penulis kontemporer. Di antaranya, kita dapat menemukan surat-surat dari para Gubernur, korespondensi para Jesuit yang sangat banyak dan beberapa narasi dari penulis sejarah abad ke-16 dan ke-17, seperti Diogo de Couto, Friar Paulo da Trindade dan Pastor Fransisco de Sousa, dan dari Spanyol seperti Bartolome Leonardo de Argensola, Dr Antonio de Morga, Diego Aduarte dan Gaspar de San Agustin. Beberapa sumber yang menyampaikan tentang ekspedisi militer yang dikirim dari Manila dan Malaka – masing-masing adalah kota terpenting Spanyol dan Portugis di Asia Tenggara – melawan Belanda dan kerajaan-kerajaan Indonesia timur, juga tersedia.

Menurunnya Pengaruh Portugis di Maluku

                Portugis telah menetap di pulau Ternate pada tahun 1522, tahun dimana mereka membangun benteng di sana. 2 dekade setelah pendirian benteng itu, dominasi mereka atas Maluku cukup besar. Sejak awal, mereka mencoba menciptakan semacam perlindungan terhadap Kesultanan Ternate, yang mereka anggap sebagai sekutu yang sangat setia. Sementara itu, persaingan antara Portugis dan Castilia (Spanyol) membara sampai solusi diplomatik ditemukan pada tahun 1529, ketika Perjanjian Saragosa ditandatangani. Bahkan kemudian, Portugis terus memperdebatkan kontrol atas kepulauan rempah-rempah dengan Spanyol. Spanyol yang bersekutu dengan Kesultanan Tidore, saingan tradisional Ternate. Pada tahun 1542, Rui Lopez Villalobos, pemimpin ekspedisi Spanyol, mendirikan beberapa pemukiman Castilia di pulau Jailolo, Morotai dan Tidore. Namun, Portugis mengambil keuntungan dari kegagalan Castilia untuk kembali ke Amerika pada kesempatan ini, dan kurangnya akses ke tekstil-tekstil India untuk perdagangan cengkih di Maluku1

Sultan Ternate dan Dewan Kerajaan ca. 1720an

                Begitu Spanyol menarik diri dari wilayah tersebut, Kesultanan Ternate mencoba melawan hegemoni Portugis. Sikap ini, ketika ditambahkan ke beberapa perselisihan internal di antara Portugis, menciptakan hubungan yang sangat ambigu antara orang-orang Asia dan Eropa di wilayah tersebut.

                Periode yang dibahas dalam artikel ini dimulai sekitar akhir tahun 1530an, bagian kedua dari pemerintahan Sultan Hairun yang “terputus”b. Pada periode awal, Portugis berhasil memperkuat protektorat mereka di Ternate. Mereka berpikir, mereka bisa mengendalikan kejadian-kejadian melalui perangkat penguasa boneka, seperti yang mereka lakukan sebelumnya dengan raja-raja lainnya. Mereka meyakinkan Sultan yang baru, bahwa kekuasaannya tidak terbantahkan atas rakyatnya, serta hegemoni yang nyaman bagi Kesultanan Ternate atas kerajaan-kerajaan Maluku lainnya. Hairun memainkan permainan mereka, mengambil keuntungan dari situasi saat peluang datang padanya. Sepanjang serangan Spanyol di tahun 1540an, Sultan Hairun tidak menjerumuskan dirinya dalam konflik, juga tidak menyerang sekutu-sekutu lokal Spanyol, yang secara teoritis adalah juga musuh-musuhnya2. Orang-orang Ternate menunjukan kemampuan hebat untuk “melunakan” hegemoni Portugis. Setelah perpecahan definitif antara otoritas Ternate dan Portugis, dalam tahun 1570, kebijakan serupa diikuti oleh penguasa Tidore untuk mengamankan keseimbangan kekuasaan.

                Untuk mengkonsolidasikan Hairun di atas tahta, Antonio Galvao, Gubernur Portugis, mempromosikan pernikahan antara Hairun dengan seorang putri Sultan Tidore. Awalnya, Hairun tampaknya mau menerima proposal-proposal penyebaran agama oleh Portugis. Dia menceraikan istri Kristennya, sesuai dengan desain kaum Jesuit untuk memisahkan orang Kristen dari Muslim. Hairun juga berjanji bahwa putranya akan menerima baptisan, dengan syarat bahwa ia harus dinobatkan oleh Portugis sebagai raja dari semua orang Kristen di Maluku3. Dengan cara ini, Sultan berusaha untuk menghindari strategi Portugis antara tahun 1540an dan 155oan, yang terdiri dari penciptaan 2 kubu di Maluku : satu terdiri dari semua komunitas Kristen, yang lain terdiri dari komunitas Muslim. Negara Kristen baru ini, akan memiliki pusatnya di Moro, wilayah subur yang mencakup pulau Morotai dan Morotia di utara pulau Halmahera. Di wilayah khusus ini, orang-orang animis (pagan) dan Kristen, yang dipertobatkan oleh Fransiscus Xaverius melebihi jumlah orang Islam. Dengan cara ini, Portugis berusaha memastikan bahwa mereka memiliki dasar yang kuat untuk menguasai Maluku, karena Moro adalah pemasok utama bahan makanan ke daerah lain yang berspesialisasi dalam produksi cengkih. Di sisi lain, Hairun berusaha keras untuk mempertahankan pengaruhnya di Moro4. Dia menunjuk anggota Kristen dari keluarganya sendiri untuk memerintah zona Kristen di Moro, tetapi pada saat yang sama, dia berperang melawan mereka untuk memadamkan pengaruh Kristen5.
                Pada abad ke-17, Pastor Fransisco de Sousa memperdebatkan figur Hairun yang digambarkan oleh Gabriel Rebelo, seorang pemukim Portugis di Maluku dan seorang teman Hairun6. Sousa mengkritik kebijakan “2 wajah” Sultan Hairun : Sultan “menyalahkan” kurang otoritasnya sendiri atas rakyatnya yang melakukan kegiatan anti Portugis, tetapi Sousa berpendapat, bahwa raja sendiri adalah penghasut utamanya7. Dengan demikian, situasi berevolusi dari pengaruh Hairun yang terbatas selama kejadian-kejadian menjadi manipulasi total olehnya dari aliansi Portugis. Sebagai akibatnya, Sultan meningkatkan kekuasaannya dan memerdekakan di seluruh wilayah Maluku. Portugis, atau setidaknya beberapa dari mereka, telah menyadari pemborosan upaya mereka dalam usaha memberhentikan raja dan mempromosikan raja baru, karena elit lokal selalu dapat memilih di antara sejumlah besar kandidat untuk menjadi raja. Kesultanan Ternate mengaitkan, disposisi konstitusional bertindak sebagai alat yang digunakan oleh elit Ternate, untuk mencegah raja mereka sebagai boneka di tangan otoritas Portugis. Meskipun Portugis gagal memanipulasi sistem suksesi/pergantian kekuasaan, faksi anti Portugis berhasil dalam tugas ini setelah tahun 1570.

Namun, tidak sampai tahun 1550an, peningkatan kekuasaan Sultan menjadi ancaman bagi Portugis8. Kesultanan tidak lagi bekerjasama dengan proses penyebaran agama Kristen. Era tolerasi Muslim berakhir ketika Ternate memperkuat hubungannya dengan Japara, kerajaan Jawa yang bersekutu dengan Aceh. Sejak saat itu, menurunnya Portugis di Maluku juga menjadi jelas.

Pada tahun 1557, raja Bacan menerima baptisanc. Seperti Jailolo, Tidore, dan Ternate, Bacan termasuk dalam kelompok 4 kerajaan “pilar” legendaris dunia Maluku. Jailolo “menghilang”sebagai kerajaan merdeka pada tahun 1550, ketika Spanyol dan sekutu-sekutu mereka dikalahkan9. Setelah itu, Hairun memperkuat posisinya melawan kaum Kristen dengan mengirimkan beberapa ekspedisi militer, untuk menyerang desa-desa Kristen di Moro dan Bacan. Sultan Hairun dan komunitas Jawa yang menetap di Ambon juga mengilhami pemberontakan Muslim terhadap orang-orang Kristen setempat. Sebagai reaksinya, Gubernur Portugis menangkap Hairun, tetapi beberapa casadod Portugis dari Ternate membebaskannya, untuk menghindari pemberontakan umum di semua pulau Maluku. Sejak itu, Hairun terbukti menjadi ahli strategi yang terampil. Dia tidak mengizinkan pengaruhnya dilemahkan oleh ekspansi Kristen. Pada saat yang sama, ia berusah untuk menyenangkan pemerintah Portugis, terutama Wakil Raja di Goa, karena takut akan gangguan militer dari Goa atau Malaka. Pada tahun 1562, dalam suatu tindakan yang khidmat tetapi sebagian besar hanya simbolis, ia mengakui kerajaannya kepada kerajaan Portugis. Pada tahun 1563, ia mendahului misi Yesuit di Sulawesi utara dan pulau-pulau Syao, dengan memaksa penguasa lokal, masih animis, untuk memeluk Islam, menghindari dengan cara ini perluasan pengaruh Portugis ke wilayah barat dan barat laut. Dia menunjukkan tekad yang sama mengenai wilayah timur. "Raja orang Papua, Kerajaan Banggai ”, mengirim putra dan pewarisnya sebagai duta besar ke Temate untuk memilih antara Islam dan Kristen. Para duta besar memilih iman Kristen tetapi Hairun, penguasa paling bergengsi di wilayah itu, berubah pikiran dengan berjanji akan menikahi seorang putri raja Papua10. Otoritas Goa yang mengetahui konflik agama yang berkembang di Maluku, memutuskan untuk memperkuat kehadiran militer mereka. Rencana Portugis termasuk mempromosikan komunitas Kristen secara jumlah dan kekuatan untuk mengamankan pemerintahan Portugis di kepulauan tersebut11. Keengganan kelas bawah untuk mengubah kepercayaan leluhur untuk menjadi Islam, mendorong awal misionaris dan memberi mereka harapan yang berlebihan. Faktanya, prakarsaa proselitisme Kristen sering memicu reaksi Hairun. Sebagai akibatnya, komunitas animisme di kepulauan tersebut yang paling jauh terpaksa memilih antara agama Kristen dan Islam. Beberapa penguasa dan kepala suku di kepulauan timur menerima agama Kristen untuk menyanjung Portugis dan mendapatkan keuntungan dari mereka, namun para raja bergantung pada konsepsi tradisional dan Islam, untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuasaan yang efektif12. 

Ternate, ca. 1607

Ekspedisi-ekspedisi ke Maluku (1563-1569)

                Pemberontakan kaum Muslim diilhami oleh Ternate dan orang Jawa, pada akhir tahun 1550an, mendorong usaha-usaha Portugis untuk menciptakan kekuasaan yang jelas atas Maluku. Pada tahun 1562, wakil raja (viceroy) D. Fransisco Coutinho memerintahkan Antonio Pais untuk membangun benteng baru di Rocanive, di pulau Ambon. Pemerintah Portugis juga ingin mencegah perdagangan rempah-rempah di Jawa. Rencana ini gagal karena gangguan dari Hairun. Ekspedisi Antonio Pais ke Ambon pada tahun 1563-1564, tidak bisa memaksa Maluku bagian selatan untuk menyerah. Pais berusaha mendapat dukungan dari beberapa kepala suku independen, tetapi Hairun mencegahnya dengan melakukan penyerangan di Ambon, dan menyerang orang-orang Kristen dan komunitas lokal yang mendukung Portugis. Pada akhirnya, atas perintah Henrique de Sa, Gubernur Ternate, Pais menarik diri dari Ambon13.

                Begitu kabar tentang kekalahan ini diketahui di Goa, wakil raja yang baru, D.Antao de Noronha memerintahkan ekspedisi yang lebih kuat. Armada yang dipimpin oleh Goncalo Pereira Marramaque meninggalkan Goa sekitar April 1566e. Marramaque dibebani dengan sejumlah besar tugas di lautan  Melayu-Indonesia14. Dia diperintahkan untuk membebaskan Malaka dari kemungkinan pengepungan oleh Aceh; menyelesaikan konflik antara Gubernur Portugis di Ternate dan Sultan Hairun; dan memaksa penyerahan Ambon, dimana selain lalu lintas pedagang Jawa di perdagangan cengkih, otoritas Muslim yang didorong oleh perwakilan kesultanan Ternate melanjutkan penindasan yang hebat terhadap komunitas-komunitas Kristen15. Namun, sejak awal, rencana itu tidak berhasil. Aceh tidak mengepung Malaka tahun itu. Armada tersebut berlayang di sepanjang utara pantai Kalimantan, dan bertemua dengan pemukiman Spanyol yang baru dibangun di Filipina. Miguel Lopez de Legazpi telah membangun pertahanan di Cebu, sehingga Portugis tak mampu untuk mengusir orang-orang Spanyol. Jadi, Marramaque harus meninggalkan Filipina, dan tiba di Maluku pada tahun 1567. 

G. Gamalama di Ternate, ca 1614 (Benjamin Wright)

Sementara itu, orang Portugis dari Ternate mulai melawan hadirnya orang Spanyol di Filipina, yang mengganggu perdagangan di Bohol dan pulau-pulau lainnya. Ekspedisi Marramaque adalah armada paling kuat yang telah dikirim oleh Portugis ke Maluku selama bertahun-tahun. Ekspedisi itu terdiri dari 3 galleon, 2 galley, 6 “foist” dan sekitar 500 serdadu, serta diperkuat oleh galleon dagang biasa (galeão da carreira). Namun, ekspedisi itu berkurang dalam hal personil dan kapal sebagai akibat dari pertempuran dengan Spanyol di Cebu. Seperti yang telah kita catat, Marramaque bermaksud  untuk menyerang kepulauan “timur dan tengah” agar takluk. Sebuah benteng dibangun di Ambon, pelabuhan strategis tempat berlabuh di rute laut yang dilewati oleh galleon ke dan dari Maluku. Marramaque melakukan beberapa penyerangan melawan orang Jawa dan sekutu mereka di Ambon dan pulau-pulau tetangga lainnya di Maluku Tengah dan Selatan. Orang Jawa meninggalkan Ambon, setelah armada yang dikirim dari Japara untuk membantu Hitu, markas utama kaum Muslim di Ambon, dikalahkan. Proyek ambisius, selain termasuk benteng baru, adalah penyediaan armada untuk mengamankan pantai-pantai Maluku, gagal setelah beberapa tahun16.

Pembunuhan Sultan dan jatuhnya benteng Ternate 

Komunitas Portugis di Maluku terkonsentrasi di Ternate. Komunitas itu terdiri dari sekitar 40 hingga 50 pemukim (vizinhos) yang tinggal di kompleks terpisah di sebelah benteng17. Mereka bukan komunitas harmonis yang disatukan dalam tujuan politik dan ekonomi yang sama. Kebanyakan dari mereka tidak berhubungan baik dengan penduduk pribumi. Namun, beberapa dari mereka, orang kaya dan berpengaruh, dihubungkan oleh ikatan kekerabatan dengan elit lokal. Faktanya, pada akhir 1560an, sekelompok casados yang berpengaruh bertindak sebagai penasihat Sultan Hairun, sementara sebagian besar pemukim Portugis dianiaya oleh otoritas Muslim di seluruh pulau18. Kelompok pertama, misalnya Paulo de Lima, mungkin  seorang “pemimpin” berdarah campuran yang menikahi keponakan Sultan Tidore yang telah diKristenkan. Karena pernikahan ini, Paulo de Lima menjadi “penguasa” dari beberapa desa di pulau Motielf dan kerabat Hairun19. Para casado kaya ini adalah pemukim generasi kedua asal Eropa. Generasi pertama telah dimukimkan oleh Gubernur Antonio Galvao di masa-masa awal. Mereka memainkan peran yang menentukan dalam mendukung Hairun. Dengan kata lain, aliansi yang umum, melalui perkawinan, antara elit-elit regional dan penguasa-penguasa Maluku diperluas hingga mencakup komunitas Portugis. Generasi pertama casados adalah Henrique de Lima dan Manuel da Silva, yang oleh M.A. Lima Cruz juga menambahkan dengan Gonçalo Fernandes Bravo dan Baltazar Veloso yang menikahi saudara perempuan Hairung, dan António Ribeiro dan Lopo Ribaldo yang juga terkait dengan ikatan kekerabatan dengan Sultan Ternate20

Lukisan Pembunuhan Sultan Ternate tahun 1681

Pada tahun 1575, Portugis menarik diri dari Ternate, setelah konflik panjang dengan kesultanan setempat. Para penulis kontemporer mengecam Gubernur Diogo Lopes de Mesquitag karena sikapnya yang tidak bijaksana, dimana ia memerintahkan pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570, meskipun sang sultan menjadi “sekutu terpercaya” Portugis. Tetapi, pada kenyataannya, sang sultan jauh dari menjadi pengikut setia kerajaan Portugis, dan melakukan kebijakan ambigu vis-a-vis dengan Portugis. Sikap ini menjadi lebih nampak di tahun-tahun terakhir hidupnya. Hubungan timbal balik memburuk setelah Hairun meningkatkan penganiayaannya terhadap komunitas Kristen di Moro. Wilayah ini mencakup,- seperti yang telah kami katakan- Morotai di barat laut Halmahera, pulau Morotia, yang terletak di utara, dan beberapa pulau kecil, yang paling penting adalah Rau. Komunitas Kristen di pulau-pulau ini mencakup sekitar 80.000 jiwa dan 29 desa/negeri. Moro adalah pengekspor utama beras dan sagu. Kesuburan tanahnya, terutama di Morotai, adalah hasil datarannya, sementara sebagoan besar pulau-pulau tetangga lainnya bergunung-gunung. Selama beberapa abad, Moro telah diinginkan oleh semua raja Maluku. Memilikinya memberikan hak dan kekuasaan untuk menuntut bahan makanan dan untuk memaksakan upeti. Perselisihan dan perang yang terus menerus membuat penduduk pribumi mencari perlindungan misionaris dan Portugis, yang juga bisa mendapatkan akses pembagian di Moro. Pada masa awal, misi kaum Jesuit dan orang-orang Kristen lokal dianiaya oleh Sultan Jaiolo, penguasa Halmahera Tengah, tepat di sebelah selatan Moro. Dikalahkan oleh Portugis pada tahun 1550-1551, Jailolo merespons dengan menyerang Moro pada tahun 1558 dengan bantuan Hairun. Dari tahun 1562 hingga 1566 ada tanda-tanda mereda, sehingga pekerjaan misionaris dapat berkembang. Tetapi pada tahun 1566 itu, Sultan Ternate memerintahkan penganiayaan kerjam yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menjadi hal biasa sejak tahun 1569. Hal serupa telah dipraktikkan di Ambon. Mungkin Sultan berusaha, dengan cara ini, untuk menyeimbangkan pengaruh yang dicapai oleh Gonçalo Pereira Marramaque di Maluku tengah-selatan21.

Strategi Hairun melawan Portugis akhirnya dipahami oleh Marramaque. Setelah ragu-ragu, ia memutuskan untuk menangkap Sultan dan memulihkan pengaruh Portugis yang hilang. Beberapa casados, kerabat Sultan, menyampaikan informasi rahasia padanya, sehingga ia dapat dengan mudah menghindari strategi Marramaque22. Pada tahun 1570, Hairun juga diberitahu tentang rencana pembunuhannya yang lain, yang dilakukan oleh Gubernur Portugis di Ternate, Diogo Lopes de Mesquita. Informasi rahasia ini dibocorkan dari dewan oleh beberapa orang penduduk Portugis terkemuka. Dalam pertemuan itu, Fransisco de Sousa menghubungkan pidato Gubernur, yang diucapkan di depan rekan-rekan senegaranya, yang menyampaikan semua pengkhianatan Hairun23. Meskipun terikat hubungan antara Sultan dan komunitas Portugis, Sultan terbunuh atas perintah Gubernuri. Karena pembunuhan Hairun, Kesultanan Ternate, yang sebelumnya pemimpin “vasal” dan “sekutu” Portugis, menjadi musuh mereka yang paling kuat24. Otoritas-otoritas lokal melawan Portugis selama 5 tahun, akhirnya mengusir mereka dari pulau itu. Almarhumah P.R. Abdurachman berpendapat bahwa jihad atau perang suci melawan Portugis dideklarasikan sesaat setelah kematian Hairun25. Namun, versi berbeda diberikan oleh Argensola. Menurutnya, baru pada tahun 1572, sebuah konfederasi semua raja dan sengaji Maluku terbentuk untuk melawan Portugis, suatu kepemimpinan dimana tidak ada putra Hairun yang berani mengambil tanggung jawab ini, tetapi hanya diterima oleh Baab Ullahj, Sultan Ternate yang baru26. Di sisi lain, sumber-sumber Portugis dan misionaris merujuk pada pemberontakan di seluruh kepulauan timur, dan mengakhiri pertikaian. Peristiwa serupa terjadi pada 1557, ketika Gubernur Portugis menangkap Hairun27. Beberapa budaya dan ideologis penjelasan telah ditemukan untuk membenarkan reaksi sosial dan politik ini. Pertama, raja-raja Ternate dan Tidore mengklaim diri berasal dari dewa28. Kedua, pulau Ternate adalah bagian – pemimpin utama, karena pulau itu disebut sebagai pusat – daerah sakral yang jauh lebih luas, melampaui Maluku sendiri. Portugis bersikeras pembagian geopolitik di wilayah itu, mengabaikan mitos antara kerajaan. Mereka hanya tahu hubungan kekerabatan yang rumit di antara keluarga kerajaan yang menawarkan mereka pola politik yang tidak konsisten29. Regisida yang dilakukan oleh orang asing adalah pelanggaran terhadap gagasan, yang berakar dalam tradisi, bahwa Sultan Ternate adalah raja-raja Maluku dan bahwa pribadinya adalah suci dan tak bisa diganggu gugat.  

Di sisi lain, penulis Spanyol, Gaspar de San Agustin, dengan jelas mencatat bahwa pembunuhan Hairun diminta oleh orang Ternate sendiri sebagai alasan untuk membalikan keadaan untuk melawan Portugis. Di dalam keluarga kerajaan itu sendiri, ada faksi yang cenderung melakukan perlawanan yang lebih kuat terhadap Portugis. Pembunuhan Sultan sangat mudah dilakukan oleh faksi politik ini, yang memperoleh kekuasaan dan merusak garis keturunan sah kerajaan. Fakta ini secara parsial memengaruhi kebijakan Portugis selanjutnya30.

Sejak saat itu, faksi lama yang telah kehilangan kekuasaannya pindah ke pihak “oposisi”, berkerumun di sekitar garis keturunan yang sah. Kelompok ini setuju untuk membuat beberapa konsesi kepada Portugis, termasuk, setelah tahun 1575, menyerahkan kembali benteng sebagai pertukaran untuk memulihkan kerajaan. Oposisi domestik di Ternate ini juga bersekongkol dengan otoritas Tidore. Menurut Couto, Sultan Baab Ullah, memerintahkan pembunuhan ahli waris yang agaknya juga saudara lelakinya sendiri. Gubernur Portugis, Duarte Pereirak, yang sekarang tinggal (bermarkas) di Tidore, menganggap ini moment menguntungkan untuk mendapatkan kembali Ternate, merencanakan suatu skema dengan Kachil Tulo, “Regent Kerajaan”, dan saudara lelaki dari Sultan. Pereira mengajukan usul hak suksesi untuk Kachil Tulo, mengambil keuntungan dari kemarahan di Maluku yang disebabkan oleh pembunuhan pangeran yang diperintahkan oleh Sultan31/l. Argensola menyajikan versi yang berbeda. Menurutnya, setelah kematian Hairun, Gubernur Portugis, Nuno Pereira de Lacerdam, menawarkan takhta Ternate kepada Kachil Guarate, putra tertua Hairun32

Sultan Baab Ullah dan Francis Drake, 1579 (Ilustrasi oleh Theodor de Bry)

Sementara itu, setelah ekspedisi Marramaque ditarik dari Maluku, orang-orang Asia memperoleh supremasi laut di atas lautan kepulauan bagian timur. Di Ternate, Portugis bergantung pada persetujuan Sultan untuk mendapatkan akses ke bahan makanan dari Moro. Sultan, pada sisinya, sering mengganggu jalur pasokan33. Benteng tidak jatuh lebih awal karena raja Tidore, memutuskan aliansinya dengan Ternate, diam-diam memberikan suplai pada Portugis yang mengelilingi di belakang tembok34. Selama pengepungan, kedua pihak menjaga negosiasi agar tetap ada. Akhirnya, ketika garnisun itu menyerah, Sultan Baab Ullah mempertahankan benteng itu atas nama raja Portugis, sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengejutkan35. Pasukan tambahan yang dikirim dari Goa juga terlambat tiba dan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memperolehnya kembali36.

                Goa mengabaikan Maluku menempuh nasibnya sendiri, seperti Gubernur yang mengabaikan pertahanan suatu wilayah “penaklukan” yang juga merupakan tempat bagi orang-orang buangan dan terpidana37. Di sisi lain, pada saat yang sama, kekuasaan Portugis di India mengalami beberapa serangan – pengepungan Goa, Chaul dan Chaliyam – yang menghambat bantuan yang memadai dari wakil raja38. Armada terdiri dari 4 kapal yang meninggalkan Goa pada tahun 1574, tetapi tiba di Ternate tepat setelah benteng ditaklukan39. Secara keseluruhan, 3 ekspedisi penyelamatan dikirim dalam periode 7 tahun tanpa hasil positif40. Meskipun Portugis menunjukan minat untuk memulihkan pengaruh mereka di Maluku41, kita dapat menyimpulkan bahwa Portugis menunjukan kecenderungan yang relatif kecil terhadap usaha penaklukan, lebih memberi prioritas pada perdagangan daripada masalah militer. Ini berbeda dengan orang-orang Spanyol : “Hal pertama yang dilakukan orang-orang Castilia (Spanyol) ketika mereka menaklukan [wilayah] adalah membunuh orang-orang penting dan mengkristenkan penduduk, tidak seperti kita [untuk] hal pertama yang kita kejar adalah perdagangan cengkih dan [hanya] Kekristenan menjadi hal kedua”42/n. Bagi misionaris Jesuit, setelah kejatuhan benteng Ternate, Maluku kehilangan nilai pentingnya sebagai daerah misi. Jadi mereka memalingkan lebih banyak perhatian ke Jepang43.

Pada tahun 1574, tepat sebelum takluknya benteng Ternate, Portugis juga mengalami beberapa masalah di kepulauan Banda. Hilangnya gengsi mereka, membuat orang-orang Banda cukup memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari pengaruh Portugis dan menyerang mereka44. Di Maluku, Portugis memiliki gudang dan benteng, tetapi kehadiran mereka di Banda menunjukan pola yang berbeda. Di Banda, kehadiran mereka terbatas hanya menjadi kunjungan musiman oleh agen-agen kerajaan dan pedagang swasta, meskipun ada beberapa pedagang di pulau Neira. Pola serupa juga dapat ditemukan di pulau Solor di masa-masa awal45. Pada pertengahan 1570-an, 2 blok politik muncul di kepulauan : yang pertama dipimpin oleh Ternate, yang kedua adalah gabungan Tidore dan Banda. Namun, meskipun beberapa anggota keluarga kerajaan Tidore yakin, mereka harus membantu Banda untuk memerangi Portugis, Sultan memiliki pendapat berbeda. Karena kebijakan Tidore adalah kebijakan yang ambigu, Banda akhirnya pindah ke pihak Ternate, terutama setelah Portugis membangun benteng di Tidore dengan izin Sultan. Sejak saat itu, kehadiran Portugis di Banda tergantung pada kalahnya Ternate : “Jika Maluku (Ternate) menyerah, maka Banda juga”46

Ternate, ca. 1601

Setelah tahun 1575, otoritas Ternate memperbanyak benteng di pulau mereka, seperti kekuasaan mereka di wilayah-wilayah lain. Kesultanan menerima pasokan, termasuk artileri, dari Johor, yang juga bersekutu dengan Banda47. Ini berarti bahwa kesulitan yang dialami oleh Portugis di Maluku, tidak terpisah dari konflik yang mereka alami di dunia melayu bagian barat. Dalam beberapa hal, masalah seperti itu di Ternate adalah perluasan dari perang antara Portugis dan saingan kesultanan. Peristiwa-peristiwa ini mengungkap keberadaan koalisi anti-Portugis yang menghubungkan kekuataan Muslim di seluruh Samudera Hindia. Aceh adalah koneksi ke Samudera Hindia Barat, sementara Johor adalah mata rantai Muslim ke Jawa dan kepulauan timur48.

Terusir dari Ternate, Portugis menyadari mereka dalam keadaan yang posisinya sangat lemah, meskipun pangkalan baru mereka di Ambon dan Tidore. Pembangunan sebuah benteng di Tidore adalah karena kekhawatiran Sultan Tidore mengenai hegemoni Ternate.  Sultan Tidore secara pribadi memberikan penghormatan kepada Gubernur Portugis di Ambon, menghidupkan kembali praktik lama yang hilang. Sampai sat itu, tidak ada pihak yang kembali pada aliansi dan hubungan saling menguntungkan yang telah ada selama 10 atau bahkan lebih lagi49. Selain aliansi yang ambigu dengan Tidore ini, koalisi yang dipimpin oleh Ternate, melepaskan beberapa desa yang tidak terlalu penting untuk Portugis. Sultan Ternate, Baab Ullah, bermaksud untuk mengusir kehadiran Portugis tanpa merusak hubungan perdagangan. Karena itu, ia terus mengamankan pasokan cengkih untuk kapal yang datang dari India dan Malaka. Kebijakan Ternate tetap tidak berubah sampai Belanda tiba di Maluku pada akhir abad itu (abad ke-16)50

===== bersambung ====


Catatan Kaki

1.         V. M. Godinho, Os Descobnmentos e a Economia Mundial, 4 Vols. Editorial Presenca, 2a ed., Lisboa, 1982, ed., pp. 142-44.

2.        M. Augusta Lima Cruz, “O assassinio do rei de Maluco. Reabertura de um processo”, Artur Teodoro de Matos and Luis Filipe F. Reis Thomaz (eds.), As relações entre a Índia Portuguesa, a Ásia do Sueste e o Extremo Oriente. Actas do VI Seminário Internacional de História Indo-Portuguesa (Macau, 22 a 26 de Outubro de l991), Macau-Lisboa, 1993, p. 518

3.        Id., ib., pp. 515, 518 and p. 522.

4.        John Villiers, “Las Yslas de Esperar en Dios: The Jesuit Mission in Moro 1546-1571”, Modern Asian Studies, 22, 3 (1988}, p. 600.

5.        Francisco de Sousa, Oriente Conquistado a Jesus Cristo, M. Lopes de Almeida (ed.), Lello & Irmao, Porto, 1978, p. 1101.

6.       Cf. M. A. Lima Cruz, “O assassinio do rei de Maluco”, pp. 514-16.

7.        Sousa, Oriente Conquistado, p. 1050.

8.        Hubert Jacobs, S.J., “The Portuguese town of Ambon, 1567-1605”, II Seminário Internacional de História Indo-portuguesa, IICT, Lisboa, 1985, p. 604.

9.       Leonardo Y. Andaya, “Los primeros contactos de los españoles con el mundo de las Molucas en las Islas de las Especies”, Revista Española del Pacifico, II, 2 (1992), p. 82.

10.     Sousa, Onente Conquistado, pp. 1043, 1059, 1115 e 420-21.

11.       M. A. Lima Cruz, “O assassinio do rei de Maluco”, pp. 526-27.

12.       John Villiers, “The Cash-crop Economy and State Formation in the Spice Islands in the Fifteenth and Sixteenth Centuries”, J. Kathirithamby-Wells and John Villiers (eds.}, The Southeast Asian Port and Polity. Rise and Demise, Singapore University Press, Singapore, 1990, p. 96.

13.      Fransisco de Sousa mencurigai Henrique de Sá, yang mungkin telah “diprovokasi” oleh Sultan Hairun (Oriente Conquistado, pp. 1045-57).

14.      Keberangkatan armada Marramaque dari Goa oleh Fransisco de Sousa pada tahun 1567, berbeda dengan yang disampaikan oleh Diogo di Couto yaitu tahun 1566 (id., ibid., p. 1058).

15.      Hal ini tidak diketahui di India bahwa Portugis menarik diri dari Ambon (Artur Basilio de Sa, (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente - Insulíndia, II, Lisboa, 1955, p. 435-444, henceforth DHMPPO).

16.     Sousa, Oriente Conquistado, p. 1066; DHMPPO-Insulíndia, IV, p. 174; Gaspar de San Agustín, O.S.A., Conquistas de las Islas Filipinas (1565- 1615), Manuel Merino, O.S.A. (ed.), C.S.I.C., Madrid. 1975, Liv. I, Cap. XXI, pp. 156-57; DHMPPO-lnsulindia, IV, pp. 457 e 472. On Gonçalo Pereira Marramaque, see M. A. Lima Cruz, “A viagem de Gonçalo Pereira Marramaque do Minho às Molucas ou os itinerários da fidalguia portuguesa
no Oriente”, Stvdia, 49 (1989), pp. 333-36.

17.      Hubert Jacobs, S.J., Documenta Malucencia, II, Roma, 1980, p. 79, henceforth DM.

18.      DHMPPO-lnsulindia, IV, p. 185.

19.     Id., pp. 548-49; San Agustin, Liv. III, Cap. IV, p. 596. Keluarga De Lima adalah keluarga Portugis paling berpengaruh di Maluku. Anggota keluarga mereka adalah orang-orang berdarah campuran yang menikah dengan wanita berdarah bangsawan. Ini tidak menghalangi pihak kerajaan Portugis untuk  mengetahui status bangsawan mereka dan menunjuk mereka untuk memimpin benteng dan kapal. Mungkin, mereka adalah satu-satunya orang Portugis yang menikah dengan kaum bangsawan dan menetap secara permanen di pulau-pulau itu. Paulo de Lima mungkin adalah putra dari Henrique de Lima, yang juga kerabat Sultan Ternate (Bartolomé Leonardo de Argensola, Conquista de las Islas Malucas, Madrid, 1609, pp. 167-69).

20.    M. A. Lima Cruz, “O assassinio do rei de Maluco”, pp. 515, 518 and 522.

21.      Sousa, Oriente Conquistado, pp. 1072 and ss.; L. Y. Andaya, “Los primeros contactos de los españoles”, p. 82; J. Villiers, “Las Yslas de Esperar en Dios”, pp. 594-604.

22.     M. A. Lima Cruz, “A viagem de Gonçalo Pereira Marramaque”, p. 335; idem, “O assassínio do rei de Maluco”, p. 517. The author emphasizes the Portuguese inability to deal with this problem. See Sousa, Oriente Conquistado, p. 1065.

23.     Sousa, Oriente Conquistado, pp. 1075-79; Argensola, Conquista, p. 73.

24.     H. Jacobs, S.J., “The Portuguese town of Ambon”, p. 604.

25.     Paramita R. Abdurachman, “Atakiwan Casados and Tupassi, Portuguese Settlements and Christian Communities in Solor and Flores (1536-1630)”, Masyarakat Indonesia, X, 1 (1983), p. 98.

26.    Conquista, pp. 78-80.

27.     Hairun bertanggungjawab atas keterlibatan tindakan kaum Muslim di Ambon melawan komunitas Kristen, dan berhubungan erat dengan Jepara. Ia juga bertanggung jawab pada masalah penyelundupan cengkih dari pulau itu ke Jepara. See M. A. Lima Cruz, “O assassínio do rei de Maluco”, pp. 525-26.

28.     Argensola, Conquista, p. 2.

29.    L. Andaya, “Cultural State Formation in Eastern Indonesia”, Paper submitted to the International Conference on Southeast Asia in 15th-18th Centunes, Lisbon, 4 7 Dec.1989, pp. 10-16.

30.    San Agustin, Liv. II, Cap. XXV, pp. 527-28; Sousa, Onente Conquistado, p. 1114.

31.      San Agustín, Liv. III, Cap. IV, pp. 598-99; Diogo do Couto, Da Ásia, Lisboa, 1788, Dec. X, Pte. 2a, Liv. VIII, Cap. IV, pp. 289-91; Liv. IX, Cap. XIII, pp. 511-15.

32.     Argensola, Conquista, pp. 78-80.

33.     P. R. Abdurachman, “Niachile Pokaraga A Sad Story of a Moluccan Queen”, Modern Asian Studies, 22, 3 (1988), pp. 586-87.

34.     Raja Tidore takut pada rekasi Portugis yang melawan aliansinya dengan Sultan Ternate. Untuk alasan ini, ia mengirim armada kecil ke pantai Kalimantan untuk mengurus kapal-kapal Portugis yang datang dari India (Argensola, Conquista, p. 89).

35.     Sousa, Oriente Conquistado, pp. 1091-92.

36.    DHMPPO-lnsulindia, IV, pp. 215 e 252; F.P. Mendes da Luz (ed.), Livro das Cidades e Fortalezas, que a Coroa de Portugal tem n as pastes da india. e das capitanias, e mais cargos, que nelas ha, e da importancia delles, ed. facsimilada do Ms. Da Biblioteca Nacional de Madrid (cod. 3217}, published in Stvdia, 6 (1960), fl.67.

37.     DHMPPO-lnsulindia, IV, pp. 313 e 382.

38.     M. A. Lima Cruz, “A viagem de Gonçalo Pereira Marramaque”, p. 335.

39.    Argensola, Conquista, p. 83.

40.    DHMPPO-Insulindia, rv, p 473.  Keterbatasan bantuan seperti ini, yang membuat sumber-sumber Spanyol menyebut bahwa benteng Portugis di Ternate tidak menerima bantuan apa pun dari India selama 6 tahun pengepungan. (DM, II, p. 223).

41.      Tahun 1586, 5 galleon digunakan dalam operasi-operasi perdagangan dan militer di wilayah Maluku (J.H. Cunha Rivara (ed.), Archivo Portuguez-Oriental, 2a ed., Nova-Goa, 1851-1877, III, pt. I, pp. 156-57, henceforth APO).

42.     DM, II, pp. 32-33.

43.     Letter from Father Duarte de Sande, Goa, 1579-11-07, ANTT, Armario Jesuítico, n.º 28, fl.ll9.

44.     DHMPPO-lnsulIndia, IV, p. 254.

45.     V. M. Godinho, Os Descobnmentos e a Economia Mundial, III, p. 146.

46.     DM, II, p. 40; DHMPPO-lnsulfndia, IV, pp. 255-56.

47.     Argensola, Conquista, p. 96; DHMPPO-lnsulindia, IV, p. 260; A. da Silva Rego (ed.), Documentação Ultramarina Portuguesa, I, Lisboa, 1960, p. 15.

48.     Menurut H. Jacobs, Ternate utamanya dikunjungi pedagang Jawa dari Jepara, Tuban, Sidayu dan Gresik untuk berdagang dan mendukung secara militer (DM, II, p. 36, n. 10). Peranan Aceh dalam perdagangan dengan jaringan Muslim di bagian barat, mirip dengan peranan Johor di bagian timur, hal ini ditegaskan oleh Kenneth R. Hall “The Opening of the Malay World to European Trade in the Sixteenth Century”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, LVIII, 2 (Dec. 1985), p. 89.

49.    Sousa, Oriente Conquistado, p. 1101.

50.    DM, II, p. 438; DHMPPO-lnsulindia, IV, p. 236; Couto, Dec. X, Pte. 2a, Liv. VI, Cap. VII, pp. 55-56.

 

Catatan Tambahan

a.        Felipe II (Bahasa Spanyol: Felipe II de Habsburgo; Bahasa Portugis: Filipe I de Áustria) (lahir di Valladolid, 21 Mei 1527 – meninggal di El Escorial, 13 September 1598 pada umur 71 tahun) adalah Raja Spanyol resmi pertama (1556 – 1598), Raja Naples dan Sisilia (1554 – 1598), Raja Inggris (bersama Mary I; 1554 – 1558), Raja Portugal dan Algarves sebagai Filipe I (1580 – 1598), dan Raja Chili (1554 – 1556). Ia dilahirkan di Valladolid, Spanyol, dan merupakan satu-satunya anak sah yang hidup dari Kaisar Romawi Suci Karl V dan Isabella, anak perempuan raja Manuel I dari Portugal

§  https://id.wikipedia.org/wiki/Felipe_II_dari_Spanyol

b.       Maksud kata “terputus” yang digunakan oleh Manuel Lobato adalah merujuk pada periode berkuasanya Sultan Hairun sebagai Sultan Ternate pada 2 periode yaitu 1535 – 1545 dan 1546 – 1570

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, General Introduction, hal 3*, Roma, 1974

c.        Raja Bacan yang dibaptis ini dilakukan oleh Antonio Vaz pada tanggal 1 Juli 1557 dan mengambil nama baptisnya yaitu Don Joao.

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, General Introduction, hal 5*, hal 232-233 catatan kaki no 2, Roma, 1974

d.       Casados adalah istilah bagi orang Portugis yang menetap di Asia, menikah dengan wanita pribumi, juga sebagai pemimpin komunitas, dan tidak memiliki keinginan untuk kembali ke negara asal.

e.        Menurut Hubert Jacobs, armada Marramaque ini berangkat dari Goa pada tanggal 1 Mei 1566. Huberts mengutip sumber dari Josef Wicki, SJ yang dalam sumber itu melampirkan surat dari wakil raja Don Antao de Noronha kepada Queen Regent Catarina pada tanggal 22 Desember 1566.

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, General Introduction, hal 60*, hal 496 catatan kaki no 10, hal 500 catatan kaki no 2, Roma, 1974

f.         Menurut sumber Argensola, Paulo de Lima menguasai beberapa desa yaitu Guita, Mosaquia, Mosaquita, Pavate, Pelveri, Sansuma, Takane, Mayloa, Soma, Sabele, Talapao, Talatoa, Mosabonana, Tabolaga, Tagono, Bobaba, Molapa dan Bitua.

§  Bartolomé Leonardo de Argensola, Conquista de las Islas Malucas, versi Inggris berjudul The Discovery and Conquest of The Moluccas and Philippine Islands, London, 1708, hal 112

g.        Balthasar Veloso menikah dengan saudara perempuan tiri Sultan Hairun, atau adik kandung dari Sultan Tabarija, yang setelah dibaptis bernama Dona Catharina

§  Paramitha R Abdurachman, “Niachile Pokaraga” A Sad History of a Moluccan Queen (dimuat pada Jurnal Modern Asia Studies, volume 22, isu 3, Juli 1988, hal 571 – 592, khusus hal 577)

h.       Diogo Lopes de Mesquita menjadi Gubernur Portugis (kapten benteng) di Ternate pada 1566 – 1571

§  F.S.A, de Clercq, Ternate : The Residency and its Sultanate (versi bahasa Inggris),  hal 109

§  Muridan Satrio Widjojo, Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the revolt of Pince Nuku, apendix 4, hal 265

i.         Menurut sumber Hubert Jacobs, Sultan Hairun terbunuh pada tanggal 28 Februari 1570 oleh Martim  Afonso Pimentel, keponakan Diogo Lopes de Mesquita

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, hal 580 catatan kaki no 8, hal 592 catatan kaki no 22, Roma, 1974

j.         Menurut tradisi lisan, Sultan Baab Ullah (Babu – dalam sumber Eropa) dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1528, putra dari Sultan Hairun dan Boki Tanjung,putri dari Aliudin I, Sultan Bacan

§  https://nl.esc.wiki/wiki/Babullah_of_Ternate

§  Chr van Fraasen, (naskah disertasi) volume II, hal 16

k.        Menurut sumber Hubert Jacobs, Duarte Pereira (Jacobs menulisnya Duarte Pereira Sampaio) memerintah pada Februari 1586 - 1589

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia II, General Introduction hal 3*, Roma, 1980

l.         Kalimat dari Manuel Lobato ini agak “membingungkan” jika kita membandingkan beberapa sumber untuk menganalisisnya. Dari kalimat Manuel Lobato ini, secara implisit dianggap bahwa Duarte Pereira saat menjadi Gubernur Portugis yang bermarkas di Tidore itu saat Sultan Baab Ullah masih hidup. Hubert Jacobs menulis bahwa Duarte Pereira Sampaiao (lihat catatan tambahan huruf k) berkuasa pada Februari 1586-1589, pada sisi lain diketahui bahwa Sultan Baab Ullah meninggal pada tanggal 25 Mei 1583, sumber lain menyebut ia meninggal pada Juli 1583. Ini berarti bahwa Sultan Baab Ullah telah meninggal sebelum Duarte Pereira menjadi Gubernur Portugis. Pada periode meninggalnya Sultan Baab Ullah yang menjadi Gubernur Portugis (kapten benteng) di Tidore adalah Diogo de Azambuja (1582 – 1586). Namun sesuai penjelasan Hubert Jacobs bahwa sejak terusir dari Ternate tahun 1575, Portugis memerintahkan markasnya ke Tidore dan Gubernur Portugis di Tidore itu dimulai sejak tahun 1578. Ini “meninggalkan” celah kosong selama 3 tahun (1575-1578) tanpa ada jabatan Gubernur dan hanya sebatas komandan pasukan. Mungkin Duarte Pereira yang dimaksud ini adalah salah satu komandan pasukan itu, namun kami tidak memiliki sumber lain untuk memverifikasi dugaan ini.

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia II, General Introduction hal 3*-4*  dan 8*, Roma, 1980

§  M.Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah, Ternate, 2002, hal 56

§  F.S.A, de Clercq, Ternate : The Residency and its Sultanate (versi bahasa Inggris),  hal 110

m.      Menurut sumber Hubert Jacobs, Nuno Pereira de Lacerda menjadi Gubernur Portugis (kapten benteng) di Ternate pada Desember 1574 – 1575

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia II, General Introduction hal 4*, Roma, 1980

§  F.S.A, de Clercq, Ternate : The Residency and its Sultanate (versi bahasa Inggris),  hal 109

§  Muridan Satrio Widjojo, Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the revolt of Pince Nuku, apendix 4, hal 265

n.       Ini merupakan isi surat dari misionaris Jeronimo Rodrigues kepada kaum Jesuit di India atau Portugis, yang ditulis di Ternate pada tanggal 25 Februari 1579.

§  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia II,  hal 32 - 33, Roma, 1980

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar