Jumat, 30 Juli 2021

Perdamaian Teatrikal : Kehormatan, Protokol dan Diplomasi dalam Penyeimbangan Kekuasaan antara VOC dan Ternate, ca. 1750 (Bag 1)

[Hendrik E. Niemeijer]

  

A.    Kata Pengantar

Kesultanan atau Kerajaan Ternate merupakan salah satu kerajaan utama dan terbesar di Maluku, selain kerajaan Tidore. Kebijakan politik, sosial, ekonomi kesultanan itu, turut mempengaruhi dinamika yang terjadi di wilayah-wilayah “vasal” atau periferi, yang salah satunya adalah Ambon-Lease. Kebijakan tersebut terbentuk akibat kontak dan relasi kerajaan tersebut dengan kekuatan Eropa yang muncul pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu Portugis dan akhirnya Belanda.

Relasi tersebut, khususnya relasi VOC dan Ternate pada abad ke-18 itulah yang dikaji oleh Hendrik E. Niemeijer lewat artikel sepanjang 27 halaman ini. Artikel ini aslinya berbahasa Belanda dengan judul De geveinsde vrede. Eer, protocol en diplomatie in de machtsverhouding tussen de Verenigde Oost-Indische Compagnie en Ternate omstreeks 1750. Artikel ini bersama 15 artikel lainnya dari beberapa sejarahwan, misalnya Jurian van Goor, Femme Gaastra, George Winius, Hugo s’Jacob, Kees Zandvliet, Remco Raben, Leonard Blusse, Gerrit Knaap, Leonard Andaya, Willem Remmelink, Merle Ricklefs, Alicia Schrikker dan lain-lain, dimuat dalam buku berjudul De Verenigde Oost-Indische Compagnie tussen Oorlog en Diplomatie [The United East India Company between War and Diplomacy] yang dieditori oleh Gerrit J Knaap dan Ger Teitler dan diterbitkan tahun 2002, oleh KITLV, Leiden. Artikel Neijmeijer ini berada pada halaman 309-335. 

Beberapa potret Sultan Ternate

Mendasari dengan arsip-arsip VOC, khususnya daagregister (catatan harian) fort Oranje di Ternate, serta Memorie van Overgave (Nota Serah Terima Jabatan) Gubernur VOC Ternate, Hendrik Neijmeijer mengulas relasi 2 kekuatan ini dengan berbagai informasi menarik, yang mungkin belum kita ketahui selama ini. VOC bukan hanya sebagai kolonialis yang menyengsarakan rakyat, namun faktanya mereka juga sering bertindak sebagai pegadaian buat para penguasa Maluku, keluarga Sultan, dan kalangan istana. Saat kalangan elit Maluku tersebut membutuhkan dana atau kesulitan keuangan, mereka meminjam dari VOC dengan jaminan tertentu. Selain itu, Neijmeijer juga menyampaikan bahwa relasi VOC dan Ternate lebih pada relasi feodalistik, dimana VOC “dipaksa” harus memberikan hadiah tahunan kepada para penguasa Maluku, dalam hal ini Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Juga harus mengikuti protokol ketat saat melakukan pertemuan dengan Sultan. Ada cerita menarik yang disampaikan penulis, Gubernur VOC Ternate, Jacob Christaen Pielat sangat ketakutan, karena ketidaktahuan para pegawainya melakukan kesalahpahaman protokol, dimana mereka menembakan meriam penghormatan kepada kora-kora yang menggunakan payung terbuka dan panji-panji saat melewati benteng dan disangka ditumpangi oleh Sultan Ternate, padahal ditumpangi oleh Putri kerajaan Tidore. Padahal protokol tersebut hanya merupakan hak eksklusif bagi Sultan Ternate dan bukan yang lain. Dan masih banyak informasi-informasi menarik lainnya. Artikel ini semakin berharga, karena Neijmeijer melampirkan deskripsi penobatan Outshoor Ajan Sjah sebagai Sultan Ternate pada November 1752, berdasarkan daagregister benteng Oranje tertanggal 22 November 1752.

Seperti yang disebutkan bahwa artikel ini sepanjang 27 halaman, ditambah  43 catatan kaki, dan tidak ada gambar ilustrasi maupun peta. Yang kami terjemahkan ini adalah artikel dalam bahasa Inggris yang telah diterjemahkan oleh Rosemary Robson dari artikel berbahasa Belanda tersebut. Kami membagi artikel ini menjadi 2 bagian, menambahkan gambar ilustrasi dan catatan tambahan.  

Sultan Ternate di istana, ca.1680an


B.    Terjemahan

Sepanjang tahun 1750, hanya sedikit di istana kesultanan Ternate yang gagal melihat bahwa Sultan Ternate yang sudah tua dan sakit-sakitan, Safiudin Kaitjil Radja Lauta mengenang 37 tahun “tunduknya” tidak kurang dari 12 Gubernur VOC Moluccas (Ternate) dengan perasaan campur aduk1/b. Semakin memburuk kesehatannya, semakin marah perilaku lelaki tua itu, terutama dalam cara dia berurusan dengan para pegawai VOC. 2 orang pengawal Eropa yang mengawal Sultan pada perjalanan berlayar terakhirnya mengelilingi pulau cengkih kesayangannya itu, mengeluhkan bahwa mereka harus menghabiskan malam-malam yang panjang di udara terbuka, sedangkan pada siang hari mereka diwajibkan untuk “berjemur” di bawah terik matahari. Singkatnya, sepanjang hari mereka terkena demam paling parah yang bisa dibayangkan orang Belanda. Di sisi lain,  dengan isyarat keabadian, Radja Laut sendiri telah berlayar mengelilingi pulau lebih sering dari biasanya, dengan bermalas-malasan di bawah payung, ditemani oleh 4 atau lebih selirnya untuk memberinya pijatan santai sesekali2. Meskipun kegelisahan Sultan kadang-kadang diselingi dengan perasaan mengantuk, kelesuan ini tidak menghalangi dia untuk melampiaskan kejengkelannya kepada Belanda. Jika daftar pendek keinginan atau permintaan Gubernur VOC Ternate di sampaikan padanya, tanpa repot-repot berkomentar, dia menjawab pendek “ada baik” (biarlah)3. Ketika beberapa perwakilan kompeni menyampaikan padanya tentang keluhan dari saingannya yaitu Sultan Tidore, tentang kelakuan buruk Alifuru Ternate, yang dia gumamkan hanyalah “cassie tobak” (berikan tembakau), sementara dia menertawakan seorang anak laki-laki Maluku yang duduk di sebelah tahtanya yang seputih orang Belanda4. Ketika utusan-utusan kompeni yang menganggap situasi seperti itu sebagai “komedi atau huru-hara”, bertanya kepada Sultan apakah mereka harus keluar/pergi dari keraton dengan tangan kosong, lelaki tua itu menjawab sambil tersenyum, melambaikan tangannya sedikit, dan menjawab : Salamat (pergilah dengan tenang)5.

Keraton Ternate sekitar 1720an

Rincian mencolok tentang hari-hari terakhir Sultan Radja Laut menggambarkan banyak kekesalannya terhadap pemerintahan kolonial VOC. Meski demikian, tampaknya hubungan dengan Belanda tidak selalu seburuk ini, setidaknya dari sudut pandang VOC. Pada tahun 1750, Gubernur VOC Ternate membuat laporan tentang Sultan ini dan menyampaikan “kami sama sekali tidak berkomentar tentang perilakunya, karena dia masih dermawan terhadap kompeni”6. Namun, tinjauan terhadap percekcokan politik antara benteng dan istana selama seluruh periode pemerintahan Radja Laut menimbulkan cukup banyak perdebatan untuk menyadari bahwa paruh pertama abad ke-18 yang tampaknya tenang ini, menawarkan sedikit substansi untuk mendukung citra patriarkal “orang tua kompeni kecil” dan kedua “putranya” di Maluku – Ternate dan Tidore. Realitas faktual dari intrik politik, manipulasi, saling curiga dan hormat atau penghormatan dengan jelas menggarisbawahi relasi feodalistik.

Cara Sultan Radja Laut naik tahta, dan cara ia berhasil, hanya 2 contoh dari hal ini. Ketika Sultan Kaitjili Tolokko wafat pada tahun 1714c, ia meninggalkan 3 orang putra yang sah. Putra keduad menikmati jabatannya sebagai pejabat kepala negara di Kesultanan, tetapi “dibaikan” demi berdamai dengan Tidore. Putra ketiga tidak layak untuk memerintah, selain ia juga menunjukan kecenderungan untuk menganggap Tidore dengan baik, yang mana sikap ini bertentangan dengan kebijakan pembagian-dan-aturan VOC. Namun, putra tertuanya, Radja Laut, digambarkan sebagai “yang paling baik hati”7. Ketika Radja Laut sendiri meninggal, Dewan Politik sekali lagi memperdebatkan soal suksesi dengan hal yang sama. Di mata kompeni, salah satu calon penggantinya, Pangeran Sjah Mardan (alias Swammerdam) “tidak berperilaku meragukan”. Namun, ia sama sekali tidak memiliki pengikut atau “pendukung” diantara penduduk Ternate, dan Dewan Politik khawatir bahwa mereka tidak cukup hormat melalui hadirnya militer yang lemah untuk memberikan uluran tangan kepada “kesayangan” mereka, Pangeran Kaitjili Ajan Sjah (alias Outshoorn) untuk naik tahta.

Meskipun ada keraguan ini, Ajan Sjahe naik tahta dengan bantuan kompeni. Berdasarkan ketentuan perjanjian tahun 1683, VOC memiliki hak untuk “mengangkat” [Sultan]. Namun, ini tidak sama dengan mengatakan bahwa pengangkatan Sultan yang “baik hati” sudah cukup untuk menjamin stabilitas dan loyalitas pihak istana kesultanan Ternate. Faks-faksi anti-VOC di kalangan istana, bahkan Sultan sendiri, tidak segan-segan mencoba melepaskan ketergantungan terhadap VOC segera setelah kekuatan Eropa lainnya memberikan kesempatan untuk melakukan upaya semacam itu. Pada tanggal 17 Februari 1796 (hanya beberapa minggu setelah Inggris merebut Ambon), ketika desas-desus bahwa armada Inggris sedang berlayar di sekitar Ternate mulai beredar, Sultan Ternate, Patra Kaitjili Aharalg, membagikan senjata kepada rakyatnya sebagai persiapan untuk menyerang benteng Oranje. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan meluncurkan armada kora-koranya dan akan menyambut Inggris. Ini merupakan salah perhitungan, karena, setelah mereka merebut Ambon, Inggris menetapkan jalur pertama ke Banda, dan bukan ke Ternate !. Rencana Sultan Aharal merugikan dirinya; dia ditangkap dan dikirimkan menuju Batavia – sebuah pelayaran yang membuatnya tidak selamat8.

VOC sebagai Tuan Besar

Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah dan keraton atau istana sebagian besar dipengaruhi oleh penunjukan Sultan yang patuh, yang menerima bahwa hubungan itu adalah antara tuan dan bawahannya. Dalam terminologi Maluku kontemporer, hal ini dijelaskan dalam istilah hubungan antara ayah dan putranya. Misalnya, kita menemukan kata-kata ini secara harfiah direproduksi dalam surat-surat yang dikirim oleh para penguasa Maluku kepada Pemerintah Agung di Batavia. Menurut saya (penulis), penggunaan terminologi ini, bukan merupakan indikasi diterimanya secara penuh VOC sebagai “bapak dan tuan”9, tetapi dari bentuk kewajiban rasa hormat yang dipaksakan oleh relasi feodal. Relasi ini terjalin setelah pemberontakan orang Ternate yang gagal pada tahun 1679, dan Ternate ditaklukan sepenuhnya oleh VOC (Belanda). Setelah pemberontakan dihancurkan, Sultan dikirim ke Batavia sebagai tawanan. Di sana, pada 7 Juli 1683, ia dipaksa menandatangani perjanjian atau kontrak. Berdasarkan ketentuan kontrak ini, Ternate menjadi “negara bawahan” kompeni, dan semua wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik kekuasaan Ternate menurut ketentuan Perjanjian Bungaya, menjadi milik kompeni – “selamanya”10. Sejak saat itu, kedudukan Sultan tidak lebih dari seorang “bawahan”, dan VOC memiliki hak untuk menunjuk pengganti Sultan, suatu hak yang tidak terbatas pada penguasa Ternate saja, tetapi juga pada semua penguasa wilayah-wilayah vasal yang pernah berada di bawah kekuasaan Ternate, mulai dari Sula sampai ke Sangihe. 

Ternate sebagai Pangkalan Operasi Militer

Pada moment ini, masih sulit untuk menggambarkan secara baik tentang pentingnya VOC sebagai penguasa di sebagian besar wilayah kepulauan di timur Indonesia. Di penghujung abad ke-17, Ternate telah menjadi pusat politik dan diplomatik yang dikomandani oleh loyalitas sejumlah penguasa wilayah dan lokal. Kemampuan militer apa yang dimiliki VOC di Ternate?.

Pusat operasi militer adalah benteng Oranje di pulau Ternate, terletak hanya 400 meter dari istana para Sultan. Pada abad ke-18, kekuatan militer benteng ini berfluktuasi dari 125 orang menjadi 200 orang. Jika kita membentuk pandangan yang terlalu dibesar-besarkan tentang efisiensi operasional manusia (pada tahun 1750 kita berbicara tentang sejumlah kecil “prajurit-prajurit tua, sakit dan lemah”, 11 pelaut dan 5 penembak), benteng tersebut dapat dianggap sebagai benteng dengan persenjataan yang baik. Kehidupan rutinitas yang suram orang-orang itu sebagian besar terdiri dari tugas penjagaan, dan secara reguler membolak-balik dan menjemur di bawah sinar matahari bubuk mesiu dalam jumlah besar, yang disimpan di 4 gudang senjata besar. Pada abad ke-18, VOC sangat bergantung pada para pembantu Sultan Ternate. Tanpa kora-kora Ternate dan Alifuru yang bersenjata lengkap, ekspedisi melawan anasir-anasir pemberontak akan menjadi petualangan yang berbahaya. 

Plattegrond fort Oranje, ca 1780

Benteng Oranje adalah pangkalan yang baik untuk berpatroli di lautan yang sangat jauh di wilayah perburuan bajak laut dan kapal dagang ilegal (dalam arti beroperasi tanpa izin VOC). Gubernemen VOC Ternate memiliki armada kecil shallops yang bersenjata lengkap dan perahu pribumi yaitu pencalang. Pada tahun 1725, misalnya, Gubernemen mempunya 6 buah shallops dan 4 pencalang11. Rata-rata panjang kapal bervariasi dari 65 hingga 75 kaki dan mengangkut awak antara 15 hingga 25 orang. Seperti telah dikatakan, kapal tersebut bersenjata lengkap, membawa sekitar 10 meriam atau senjata yang lebih kecil seperti kamerbussen dan prinsenstukjes. Selain itu, biasanya dilengkapi dengan snaplock, pistol, pedang dan granat tangan, yang akan memastikan bahwa kapal-kapal ini dapat melakukan perlawanan terhadap serangan kapal perompak dari tempat-tempat seperti Mindanao dan pulau-pulau sekitar Papua. Sesekali di daerah-daerah terpencil di Sulawesi Utara dan Maluku, kapal-kapal patroli ini berhasil menyerang armada bajak laut. Meskipun mungkin untuk mengawasi dengan baik bagian-bagian dari wilayah pesisir, tidaklah cukup untuk mengawasi perdagangan pribumi.

Cara ketiga dimana daerah itu dapat dikuasai adalah dengan cara membangun benteng atau pos militer kecil. Ada benteng Barneveld di Labuha (Bacan), beberapa pos di Makian, tetapi di Sulawesi Utara (Manado, Gorontalo, Parigi) dan di kepulauan Sangihe-Talaud tidak banyak unsur militer: biasanya 1 sersan sebagai komandan pos, dibantu oleh selusin prajurit yang sakit-sakitan. Akibatnya, pos-pos semacam itu tidak dapat bertahan lama melawan serangan-serangan orang pribumi, dan pada kenyataannya terus dijalankan oleh para penguasa lokal, yang diuntungkan dari aliansi dengan kompeni. Kawanan perompak dan perampok dari Papua, Mandar dan Bugis membuat daerah itu sangat tidak aman, dan bendera kompeni di pantai berfungsi untuk mencegah penyerang. Oleh karena itu, VOC mengunakan pos-pos ini terutama untuk mendorong perdagangan kecil raja-raja lokal, “raja-raja” dalam produk laut, lilin, minyak kelapa dan sejenisnya, dan untuk memerangi produksi cengkih yang ilegal. 

Kepentingan, Kontrak dan Hutang

Tujuan terpenting kompeni di Maluku adalah pemusnahan pohon penghasil rempah-rempah, khususnya cengkih. Pada awal abad ke-17, penanaman “tanaman merusak” ini, seperti yang distigmatisasi oleh VOC di Ternate, telah dipindahkan ke wilayah Gubernemen VOC Ambon. Untuk mencegah “perdagangan selundupan” kaum pribumi, VOC secara teratur menyelenggarakan ekspedisi pemusnahan ke daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan para Sultan. Penguasa Maluku telah berkomitmen pada monopoli cengkih dengan menandatangani kontrak-kontrak, dengan imbalan sejumlah uang tahunan dari perbendaharaan kompeni yang dikenal sebagai recognitiepenningen. Karena tindakan ini merampas sumber pendapatan umum para penguasa Maluku, dan recognitiepenningen tidak cukup untuk menutupi pendapatan yang hilang, kompeni juga bertindak sebagai pegadaian. Para Sultan dan kerabat mereka yang memiliki sedikit kesulitan dalam mendapatkan yang banyak, tetapi dengan demikian menjadikan mereka sendiri terperangkap dalam belitan finansial. Hubungan hutang ini memungkinkan VOC untuk memberikan tekanan tambahan pada penguasa Maluku untuk berkolaborasi dalam tindakan pemusnahan, dimana beberapa tentara VOC didampingi tim pendayung pribumi pergi ke hutan untuk mencari pohon-pohon cengkih.

Biasanya, ancaman pengurangan pembayaran kembali pinjaman tambahan dari recognitiepenningen tahunan sangat efektif. Meskipun hubungan hutang merupakan hal umum dalam perdagangan dan pemerintahan di Asia Tenggara, kegilaan Belanda terhadap akuntansi dan obsesi pembukuan, dalam hubungannya dengan kebijakan menahan dana para penguasa, merupakan pengalaman yang sangat memalukan bagi para penguasa. Tanpa pundi-pundi kompeni, para Sultan tidak dapat mempertahankan basis kekuatan mereka – bagaimana pun juga pada gilirannya mereka juga harus membayar rakyat dan pasukan mereka, belum lagi kadang-kadang memberikan suap kepada bangsawan istana yang mengomel – tetapi hal itu merendahkan untuk terus-menerus meminta uang, dan sekali lagi merasakan cengkeraman dari belitan.

Seperti dikatakan, dalam relasi patron-klien, bagi dunia luar kompeni adalah Bapak Kompeni, tetapi ini tidak lebih dari rasa hormat yang dipaksakan, sebuah gelar kehormatan, dibaliknya kebencian yang sangat besar meluap. Penguasa Ternate tidak mampu melepaskan cengkeraman besi, meskipun kompeni menahan diri sebisa mungkin dari urusan-urusan administrasi pribumi. Gubernur VOC Ternate, Jacob Christaen Pielat berpikir bahwa ketika semua yang dikatakan dan dilakukan, kompeni tidak peduli dengan cara Sultan hidup dengan rakyatnya, “selama dia mengurus keprihatinan dan kepentingan sebenarnya dari kompeni sesuai dengan kontrak-kontrak selanjutnya”. Lagipula, tidak akan ada akhirnya, “jika seseorang harus memperbaiki semua kejadian memuakan di istana ini”12. Dalam situasi seperti itu, dengan kastil dan keraton yang berjarak dekat satu sama lain, para pegawai kompeni, para Sultan dan abdi dalem istana dibebani satu samaa lain. Namun, karena ketergantungan timbal balik ini, penting bagi masing-masing faksi untuk melihat dan mendengar diri mereka sendiri di depan publik, untuk menarik perhatian yang tegas pada legitimasi budaya dan politik mereka sendiri.

Korps musik kesultanan Ternate, ca.1893

Raison d'état, Pencegahan Konflik dan Budaya Diplomatik

Singkatnya, hubungan stabil antara VOC dan Kesultanan pada abad ke-18 adalah hasil dari penaklukan feodalistik Kesultanan pada tahun 1683, manipulasi politik dan ancaman militer terhadap lokasi benteng Oranje, dan tentu saja dibelakangnya menjulang kekuatan militer Batavia, pada tempat yang hampir tidak jauh dari kraton. Seluruh situasi diperparah oleh kebijakan devide and rule pada 2 musuh bebuyutan, Kesultanan Ternate dan Tidore. Lebih lanjut, jika ada kesempatan, VOC dapat menampilkan dirinya sebagai mediator dalam konflik etnis, terutama antara Alifuru yang tunduk pada Ternate dan pada Tidore, yang terjepit dalam konflik perbatasan di dusun Dodinga. Stabilitas juga didorong oleh hubungan hutang antara VOC dan para Sultan.

Tetapi seberapa signifikansi dimensi budaya dalam relasi timbal balik, baik formal maupun pribadi, antara Sultan dan Belanda sebagai pemegang kekuasaan?. Kerjasama jangka panjang antara benteng dan istana harus ditafsirkan dalam konteks iklim politik-budaya dimana ekspresi ritual negara kolonial ditekankan mana yang merupakan kekuatan dominan dan ideologi yang disodorkan. Sejauh ini, para sejarahwan belum memberikan banyak pertimbangan teoritis pada aspek sejarah kekaisaran ini, tetapi beberapa upaya telah dilakukan. Menurut Van Kemseke (mengikuti jejak Hedley Bull), budaya politik internasional dicirikan oleh “iklim intelektual dan moral”. Yang pertama terdiri dari ide, harapan atau tujuan, yang terakhir dari sistem kriteria dan nilai yang diterapkan. Intinya, diplomasi tidak bisa lagi dipisahkan dari budaya yang memproduksinya13. Ciri utama dari rezim kuno adalah sistem normatif yang kuat dengan tradisi penghargaan dan protokol yang kaya, ditentukan secara lokal dan nasional. Ide “kehormatan” sangat penting. Konsep honneur ala Perancis jauh lebih dari sekedar perbedaan peringkat, baik dalam pakaian maupun tulisan. Ini juga mengacu pada penghindaran rasa malu, honte, yang dimungkinkan oleh publik melalui tanda-tanda penghormatan : bukti kehormatan sebagai konsekuensi dari pemenuhan kontrak, keberanian militer dan menepati janji14

Lukisan prosesi saat kunjungan Jacob Rogeveen di Ternate (1722)

Eksplorasi singkat tentang beberapa momen di masa pemerintahan Sultan Radja Laut, memungkinkan kita untuk menguji kebenaran asumsi secara empiris. Sumber utama informasi tentang kontak, baik formal maupun pribadi antara pemegang kekuasaan di benteng Oranje dan Sultan Ternate, keluarga dan kerabatnya adalah dagregister (catatan harian) benteng Oranje di Ternate. Penting juga untuk tidak melupakan kontak-kontak pribadi. Realitas Ternate abad ke-18 bukanlah garis penindasan militer yang panjang dan tak terputus dan penindasan kolonial yang keras. Pulau itu cukup terisolasi dan para Gubernur sering menghabiskan waktu mereka dengan menaiki orembaai kompeni, acara kumpul-kumpul minum malam, dan pesta ulang tahun. Para Sultan juga gemar memamerkan bendera dan dalam perjalanan berlayar, senang membawa bersamanya rombongan budak. Pada aspek-aspek budaya diplomatik Ternate sehari-hari inilah, saya akan berkonsentrasi pada hal-hal berikut.

Ruang Dalam Keraton Ternate

Hadiah Tahunan

Setiap tahun hubungan feodal antara VOC dan Sultan-sultan Maluku dilambangkan dan diratifikasi dengan pertukaran surat-surat dan hadiah-hadiah. Pemerintah Agung setiap tahun mengirimkan hadiah-hadiah dan surat-surat kepada 3 penguasa Maluku, yaitu Ternate, Tidore dan Bacan. Merupakan kebiasaan bagi hadiah-hadiah kompeni untuk diberikan kepada para penguasa oleh utusan beberapa pedagang junior, suatu kesempatan ketika kewaspadaan diberikan untuk memastikan bahwa masing-masing menerima sama persis. Hadiah yang biasa diberikan adalah tekstil India atau beludru/sutra Persia, tetapi pada tahun 1739, juga diberikan tekstil dari Koromandel dan Benggala, Sultan Tidore menerima bendera merah, putih dan biru, tampaknya untuk menghiasi kora-kora-nya16. Hal menarik lainnya adalah pada tahun 1725, penguasa Bacan diberi gulungan kain lebar hitam dengan hiasan emas dan seikat bulu-bulu burung. Hanya bulu putih, kata dokumen itu, karena merah dan hijau tidak bisa didapatkan di Batavia. Selain hadiah-hadiah ini, ada pisau cincang di sarung berkait/bergagang perak dan snaphance17. Pemberian dari Batavia menunjukan bahwa, Pemerintah Agung memperhatikan keinginan para penguasa. Namun demikian, hadiah tahun 1725 itu adalah bukti bahwa Pemerintah Agung di Batavia menyimpan banyak fakta bahwa bahkan di tempat terpencil seperti Labuha, penguasanya mengenakan pakaian Eropa.

Hadiah-hadiah yang diterima Pemerintah Agung setiap tahun dari para penguasa Maluku untuk menyertai surat-surat mereka, umumnya terdiri dari beberapa budak, laki-laki, perempuan dan anak-anak, ditambah sejumlah burung beo dan burung cendrawasih. Kontrak tahun 1683 menegaskan bahwa Sultan dan pejabat negaranya berjanji “dalam kualitas pengikut kompeni untuk menjadi wakil dan memberi penghormatan kepada Gubernur Jenderal dan Anggota Dewan Hindia, serta surat-surat mereka dengan 2 budak laki-laki, 2 budak perempuan, 10 burung kakatua dan 10 lorikeet bergaris merah” (Coolhas 1968 : 315). Biasanya, hadiah-hadiah ini dinilai antara 150 dan 200 ringgit18. Yang paling penting, bukanlah jumlah budak19 atau uangnya. Hadiah-hadiah ini mewujudkan nilai simbolis, yaitu peran upeti dan “vasal”. Dalam surat yang menyertainya, yang harus dikirim ke benteng oranje oleh utusan khusus dari istana Maluku, Sultan harus menyatakan dirinya dengan rendah hati sesuai dengan subjeknya. Jika hadiah tahunan tidak ada, Batavia langsung menunjukan ketidaksenangannya, seperti yang terjadi, misalnya pada tahun 1782 ketika Sultan Tidore lalai menambahkan “tanda penghormatan” yang diatur dalam kontrak, pada hadiah tahunannya. Utusan istana Tidore diharapkan untuk menyerahkan surat tahunan dan hadiah kepada Gubernur dengan cara yang tepat. Gubernur harus mematuhi aturan protokol dengan ketat. “Perdana Menteri”  atau Mangkubumi Tidore dan beberapa utusan telah menunggu di benteng dimana mereka akan menerima surat dan hadiah dari Batavia di ruang dewan dengan diiringi 3 tembakan meriam dari benteng utama20. Di satu sisi pertukaran hadiah antara VOC dan penguasa Maluku adalah tanda kewajiban upeti dari vassal kepada tuan feodal mereka, Bapak Kompeni, tetapi itu juga merupakan cara untuk memelihara hubungan diplomatik dan konfirmasi status penguasa pribumi. 

Kora-kora Ternate

Protokol dan Kehormatan

Meskipun dalam kapasitasnya sebagai penguasa, VOC telah mengambil alih kedaulatan penuh yang diwujudukan dalam kewajiban memberikan upeti, para Gubernur harus memberikan perhatian yang cermat untuk mematuhi protokol yang tepat. VOC tidak ingincampur tangan secara langsung dalam administrasi adat, pembuatan hukum atau pemeliharaan hukum dan ketertiban oleh para pemimpin adat21.  Tetapi ini membutuhkan sikap timbal-balik : pengakuan publik atas kepemimpinan adat.

Penghargaan publik yang diberikan kepada para Sultan di Maluku memiliki tradisi yang kaya. Di bagian awal, Antony Caeng mengatakan bahwa “kapan pun suatu kontrak ditandatangani, pada kesempatan seperti itu, orang Moor biasanya harus diberi penghormatan dengan banyak tembakan dari meriam kompeni”22. Gubernur Padtbrugge mencatat bahwa para penguasa Maluku sangat sensitif hingga pada penggunaan payung atau pelindung matahari yang tepat di kapal mereka. Hanya penguasa Ternate, yang dianggap sebagai penguasa utama dari 4 kerajaan pribumi Maluku, yang dapat membawa 4 payung di kapalnya. Kora-kora kerajaan Ternate juga menikmati hak untuk memegang dayung dengan cara tertentu, yaitu “bahwa ketika mereka mengangkat dayung mereka keluar dari air, para pendayung di haluan dan buritan dari kora-kora Raja mengangkat dayung dengan bagian atas bilah mengarah ke atas dan memutarnya, yang lain tidak mengikuti gerakan ini, atau ini akan memberi alasan untuk penyitaan”. Ketidakpatuhan terhadap protokol seperti larangan sementara terhadap pemukulan tifa saat mereka berlayar saat melewati kursi satu sama lain, dianggap oleh penguasa Maluku sebagai penghinaan yang menyedihkan23. Ketika orang Eropa memasuki dunia Maluku, mereka (orang Maluku) telah dengan tegas menyatakannya dengan mempertimbangkan kebiasaan politik dan budaya yang berlaku.

VOC tidak dapat menghindari kebiasaan halus dan penggunaan ritual, yang dengannya hubungan politik yang genting di Maluku telah diekspresikan sejak jaman dahulu. Kapan pun seorang Gubernur ingin mengadakan pembicaraan dengan raja-raja Maluku di Ternate, Tidore atau Bacan, protokol yang rumit diterapkan. Gubernur yang baru harus membiasakan diri secepat mungkin dengan protokol. Misalnya, Gubernur Pielat menginstruksikan kepada penggantinya, Elias de Haeze, dengan cermat dalam protokol untuk dipatuhi ketika Sultan diundang dan diterima untuk pertemuan di benteng. Ia menulis bahwa 2 delegasi/utusan (biasanya anggota Dewan Politik) dengan pengawalan seorang sersan, seorang kopral dan 12 tentara/prajurit, pertama-tama akan mengundang Sultan Ternate untuk membahas masalah kenegaraan. Ketika waktu yang ditentukan untuk pertemuan tiba, kapal-kapal yang sedang berlabuh di dekat jalan utama harus mengibarkan bendera dan panji-panji. Kemudian pedagang senior dan kapten dikirim untuk menyambut Raja/Sultan, sementara satuan yang terdiri dari 48-72 grenadier (pemukul tambur) ditambah 3 perwira berjajar dari kediaman Gubernur hingga dekat dengan gerbang benteng. Pengawal-pengawal Gubernur hadir bersenjata lengkap di ruang resepsi bawah dan atas. Segera setelah Raja/Sultan melewati kubu pertahanan laut (di sisi kanan gerbang masuk), 3 tembakan meriam ditembakan. Ketika benar-benar sampai di gerbang masuk, Sultan disambut dengan pukulan tambur dari para grenadier yang berbaris24.

                Ada juga upacara penyambutan untuk kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Utara atau Kepulauan Utara (kepulauan Siau-Sangihe-Talaud), tetapi mereka harus puas dengan protokol yang lebih sedikit. Ada aliran kedatangan reguler raja-raja yang baru dipilih, ditemani oleh beberapa pejabat negara mereka, yang datang ke Ternate untuk bersumpah setia kepada Gubernur. Meskipun resepsi mereka di benteng mengesankan suatu kehormatan besar, perjalanan panjang mereka seringkali berakhir dengan sangat sederhana dengan secangkir teh. Ketika Ismaël Jacobsz dari Siau tiba di Ternate, ia dan 3 pejabat negaranya dijemput dari tempat tinggal mereka oleh penjemput yang standar dan kepala juru tulis polisi, dan mereka melewati 2 rangkap/baris tentara bersenjata di halaman benteng. Tambur tidak dibunyikan, wajar saja, karena dia (Ismaël Jacobsz) belum bersumpah setia. Ketika dia melakukan ini di ruang resepsi atas benteng, Raja diberi “pujian biasa” dan diberi “sapaan yang sesuai”, setelah itu dia diperkenalkan oleh staf raja, “dan kemudian raja kecil tersebut mengambil beberapa cangkir teh sesuai aturan”, kemudian ia dapat kembali ke tempat tinggalnya, disertai dengan pemukulan tambur dan 3 tembakan pistol/senjata penghormatan25

Barisan pengawal Kesultanan Ternate (abad 20)

        Kadang-kadang ada hambatan dalam protokol, dan cara benteng bereaksi terhadap kesalahpahaman ini menunjukan betapa sensitifnya para penguasa Maluku terhadap ketaatan yang tepat terhadap kesopanan protokoler. Gubernur Pielat mengalami ketakutan dalam hidupnya pada tahun 1730, ketika sebuah kora-kora dengan payung terbuka di tendanya, mengibarkan panji-panji di atas bendera – sebuah ciri khas kapal kerajaan – terlihat berlayar melewati benteng sekitar jam 10 pagi. Para penembak menembakan 3 tembakan senjata penghormatan seperti biasanya, dengan anggapan bahwa Sultan Tidore sedang lewat. Namun, ternyata itu adalah putri Tidore, Putri Tagalaja yang sedang lewat dalam perjalanannya mengunjungi acara pesta teh yang diadakan oleh janda Hollemansh di Ternate. Ketika Pielat mengetahui bahwa kora-kora tersebut bukan membawa seorang penguasa, dia segera mengirim utusan ke istana Ternate untuk mengetahui apakah ada aturan yang mengatur kejadian seperti itu. Jawaban dari keraton/istana adalah “bahwa tindakan seperti itu tidak lazim di kalangan orang Maluku, dan tidak boleh ada yang berlayar sebagai Raja/Sultan dengan payung terbuka dan panji-panji di atas bendera, dan yang pasti tidak ada wanita”, tetapi ketidaktahuan kompeni dimaafkan. Gubernur kemudian memberi tahu perwakilan tetap Tidore di Ternate, Pangeran Tidori Wongi, tentang apa yang terjadi. Pangeran menjawab bahwa mereka (VOC) telah melakukan hal yang benar dalam menyambut seorang Putri Tidore dengan cara yang tepat, tetapi tidak harus dengan menembakan tembakan meriam penghormatan. Sang Putri diberitahu secara diam-diam bahwa tembakan penghormatan itu tidak ditujukan untuknya. Dia (Putri) menunjukan pengertiannya, tetapi, pada gilirannya, meminta – tampaknya sebagai kompensasi – bantuan Belanda untuk menangkap kembali 20 budaknya yang telah melarikan diri dan sekarang berada di Makian, sebuah permintaan yang dia ulangi sehari kemudian, dengan hadiah yang pantas, seorang budak kecil Papua26. Untuk mencegah kejadian seperti itu di masa depan, yang dapat dengan mudah menyebabkan ketegangan yang memuncak antara Ternate dan Tidore, Sultan Ternate biasanya memberi tahu benteng sebelumnya tentang setiap perjalanan berlayar yang ia rencanakan, agar kedua belah pihak mengetahui dan yakin bahwa meriam di benteng dan di pos militer Voorburg akan ditembakan dengan cara yang tepat27

Faktanya, Raja-raja di Sulawesi Utara, terutama vasal Ternate di teluk Tomini, juga diharapkan dihormati dengan kemegahan dan keadaan yang tepat, dan tentunya dengan memperhatikan status [mereka] dengan benar. Pada tahun 1731, Dewan Politik memerintahkan pedagang muda, Han Nebben pergi ke Gorontalo untuk memeriksa apakah raja-raja Gorontalo, Limboto, Attingola dan Bulanga tidak menyimpang dari pola-pola yang telah ditetapkan. Inti masalahnya adalah bahwa raja-raja dari Gorontalo dan Limboto bertengkar dengan raja-raja dari Attingola dan Bulanga tentang [siapa yang lebih memiliki] hak membawa payung, tetapi perebutan yang besar adalah dalam soal penggunaan terompet-terompet, yang dengannya “penguasa kecil” itu melakukan aksi terbaik untuk mengesankan satu sama lain. Untuk memastikan tidak ada eskalasi dalam pertengkaran antara “raja-raja kecil teluk”, Dewan Politik tidak mau menjual terompet kepada Raja Bulanga, “karena kami tidak dapat menemukan bahwa raja-raja kecil Celebes sebelumnya telah menggunakan terompet”28. Ini mengungkapkan bahwa bahkan ketika seorang raja di pinggiran merasa kecewa, penghormatan yang berkaitan dengan budaya diplomatik diikuti dengan surat.

 

===== bersambung ====

 

Catatan Kaki:

1.         Mereka (Gubernur VOC Ternate) adalah David van Petersom (1710 – 1715), Jacob Bottendorp (1715 – 1720), Cornelis Hasselaar (komisaris) (1720), Antony Hensius (1720 – 1723), Jacob Cloeck (1723 -1724), Joan Happon (1724 – 1728), Jacob Christiaen Pielat (1728 – 1731), Elias de Haeze (1731 – 1735), Johannes Bernard (komisaris) (1734), Paulus Rouwenhoff (1735 – 1737), Martinus Storm (1737 – 1739), Marten Lelyvelt (1739 -1744), Gerard van Brandwijk van Blokland (1744 – 1750), Johan Elias van Mijlendonk (1750 -1754).

2.        Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Ternate 54, dagregister, 21, 22, 26 October 1750.

3.        ANRI Ternate 54, dagregister, 30 November 1750.

4.        Ia seorang albino.

5.        ANRI Ternate 52, dagregister, 1, 2 January 1750.

6.       ANRI Ternate 87, secret missive of the Political Council, 8 August 1750. Merujuk pada Sultan di tahun 1723, Gubernur Antony Hensius mengatakan bahwa dia “tidak berwatak buruk dan cenderung  bekerjasama dengan kompeni.... selama ini diperintahkan kepadanya”. Nationaal Archief (NA) VOC 1995, fols. 112-62, memorie van overgave Antony Heinsius, 23 May 1723.

7.        W.Ph. Coolhaas (Ed.), Generale Missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Vol. 3 (’s-Gravenhage: Nijhoff, 1979 [Rijks Geschiedkundige Publicatiën, Grote Serie 125] 1979, p. 171.

8.        ANRI Ternate 89, enclosure missive of the Political Council, 20 May 1796.

9.       L.Y. Andaya, The World of Maluku; Eastern Indonesia in the early modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), p. 191.

10.     J.E. Heeres (Ed.), Corpus diplomaticum Neerlando-Indicum, Vol. 3, ’s-Gravenhage: Nijhoff [Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 91] 1934, pp. 304-21; C.F. van van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel; Van soa-organisatie en vierdeling; Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië. Two volumes [Ph.D. dissertation Leiden sUniversity] 1999, p. 49.

11.       NA VOC 2019, fols 43-55.

12.      ANRI Ternate 74, fol. 24; memorie van overgave J.C. Pielat, 9 June 1731.

13.       P. van Kemseke, Diplomatieke cultuur (Leuven: Universitaire Pers, 2000) p. 10.

14.      W.M. Reddy, The invisible code: Honor and sentiment in postrevolutionary France 1814-1848 (Berkeley: University of California Press, 1997), pp. 20-1.

15.      L. Blussé, Tussen geveinsde vrunden en verklaarde vijanden (Amsterdam: Koninklijke Nederlandse Adademie van Wetenschappen, 1999) p. 13.

16.     NA VOC 2500, fol. 479, dagregister 6 January 1739.

17.      NA VOC 2029, fols 137v.-140v., Surat dari Sultan Kaitjili Paduka Siri Sultan dan para Bobato Bacan kepada Batavia, diterima tanggal 7 Oktober 1725.

18.      NA VOC 2500, fols 447, 452, dagregister 26 September, 2 October 1739.

19.     Penguasa Maluku memiliki banyak budak, baik untuk penggunaan pribadi maupun sebagai “milik negara/kesultanan/kerajaan”. Misalnya, pada tahun 1787, Penghulu Bacan mencatat 67 budak milik negara (26 laki-laki dan 41 perempuan); ANRI Ternate 85, report of Delegate G. Rouselet, 10 July 1787.

20.    ANRI Ternate 23, fol. 387, minutes of the Political Council, 6 Mey 1782.

21.      Kontrak tahun 1683 menjamin “administrasi peradilan tanpa hambatan, baik perdata maupun pidana”; hanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat tinggi dan Gubernur wilayah yang harus dihukum dengan sepengetahuan kompeni; Coolhaas, Generale Missiven, Vol. 3, p. 311.

22.     NA VOC 1170, fol. 761v, report by Commissioner Antony Caen, July 1648.

23.     ANRI Ternate 67, memorie van overgave Robertus Padtbrugge, 1682, consulted in typescript in ANRI, pp. 20-1

24.     ANRI Ternate 74, fol. 100; memorie van overgave J.C. Pielat, 9 June 1731.

25.     ANRI Ternate 52, dagregister, 25 March 1753.

26.    NA VOC 2191, fols 474-80, dagregister, 16 September 1730.

27.     NA VOC 2191, fols 486-7, 547, dagregister, 29 June 1730, 24 December 1730.

28.     NA VOC 2191, fols 781-2, surat kepada pedagang muda Nebben di Gornotalo, 7 Mei 1731

 

Catatan Tambahan

a.        Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin atau Sultan  Safiudin Radja Laut menjadi Sultan Ternate pada 1714 – 1751. Ia adalah putra tertua dari Sultan Kaitjili Toloko (1692 -1714).

b.       Beberapa Gubernur VOC Ternate (lihat catatan kaki nomor 1), misalnya Martinus Storm, Gebrand Brandwijk van Blokland dan Johan/Jan Elias Mijlendonk memiliki kaitan dengan Saparua. Martinus Storm adalah putra dari Salomon Storm, Opperhoofd (atau Residen) VOC Saparua (Januari 1697-1701). Gebrand Brandwijk van Blokland juga adalah Opperhofd VOC Saparua (Oktober 1733-Maret 1734), sedangkan Johan/Jan Elias Mijlendonk bertugas sebagai Opperhofd VOC Saparua pada Oktober 1737-Januari 1743).

c.        Sultan Kaitjili Tolokko atau lebih dikenal sebagai Sultan Roterdam berkuasa pada 1692-1714. Saat menjadi Sultan, ia memiliki nama Sultan Said Fathulah. Ia adalah adik  Sultan Sibori atau Sultan Amsterdam (1675-1690), dan merupakan putra ke-5 dari Sultan Mandarsyah (1648-1675), sedangkan Sultan Sibori adalah putra tertua dari Sultan Mandarsyah. Sultan Kaitjili Tolokko meninggal pada 8 Desember 1714.

d.       Putra kedua dari Sultan  Safiudin Radja Laut bernama Amir Iskandar Muda atau Sultan Swammerdam (1754 -1763)

e.        Ajan Sjah atau Sultan Oudshoorn adalah putra tertua Sultan  Safiudin Radja Laut. Ajan Sjah atau Sultan Oudshoorn menjadi Sultan Ternate pada 1751-1754.

f.         Patra Kaitjili Aharal menjadi Sultan Ternate pada 1780-1796

g.        Anthonij Caen pernah menjadi Gubernur VOC Ternate pada 1640-1642. Namun, pada konteks isi artikel ini (yaitu catatan kaki no 22), Caen menjadi Komisaris 3 Gubernemen, yaitu Ambon, Ternate dan Banda sejak tahun 1645-1648.  

h.      Janda Hollemans yang dimaksud ini mungkin adalah istri dari Cornelis Hollemans. Cornelis Hollemans  menjadi Fiscal Gubernemen VOC Ternate pada tahun 1726.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar