Kamis, 15 Juli 2021

Para perampok dan pedagang: Bajak Laut Papua di Abad Ketujuh Belas (bag 1)

GERRIT KNAAP

  

  1. Kata Pengantar

Artikel yang ditulis oleh Prof Gerrit Knaap ini berjudul Robbers and Traders : Papuan Piracy in the Seventeenth Century. Artikel sepanjang 31 halaman ini (hal 147 – 177) beserta artikel-artikel lain dari beberapa sejarahwan misalnya Adrian B Lapian (tentang Indonesia), James F. Warren (tentang laut Zulu), Esther Velthoen (tentang Sulawesi), Hoang Anh Tuan (tentang Vietnam) dan lain-lain dimuat dalam buku berjudul Pirates, Ports, and Coasts in Asia : Historical and Contemporary Perspectives yang disunting atau dieditori oleh John Kleinen dan Manon Osseweijer, dan diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, tahun 2010.

Seperti tersurat pada judulnya, pada artikel ini Gerrit Knaap membahas tentang perompakan atau bajak laut yang dilakukan oleh “orang Papua” pada abad ke-17. Fenomena perompakan atau pembajakan merupakan fenomena yang tidak asing di dunia Asia Tenggara. Tema ini merupakan isu yang diangkat oleh Adrian B Lapian dalam naskah disertasinya tahun 1987 di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pada naskah disertasi itu, Lapian mengkaji tentang fenomena bajak laut di Laut Sulawesi.

Artikel yaang ditulis oleh Gerrit Knaap ini, bisa dianggap sebagai “pelengkap” dari artikel atau kajian yang ditulis oleh muridnya yang telah almarhum (2014), Muridan Satrio Widjojo. Jika Knaap mengulas tentang bajak laut Papua di abad ke-17, maka Satrio Widjojo mengulas hal yang sama, namun mengambil periode abad ke-18. Artikel dari Muridan Satrio Widjojo ini berjudul Papuan Raiding Enterprise in the Moluccan Waters of the 18th century, yang dipublikasikan tahun 2003.

Jika kita membaca kedua artikel bermutu dari Knaap dan Widjojo ini, kita akan mengetahui dan mulai memahami “kerangka dasar” dari peristiwa-peristiwa berikutnya dalam perspektif yang lebih “lokal”, misalnya pembunuhan Resident Saparua asal Inggris di tahun 1798, yang melibatkan beberapa Raja di pulau Saparua dan Nusalaut. Atau “asal usul” dari nama desa/negeri di pesisir Seram Utara yaitu Aketernate. Melalui pembacaan yang cermat, kita bisa mengetahui bahwa wilayah kekuasaan politik kesultanan Ternate dan Tidore, saling “tumpang tindih” di sepanjang Kepala Burung hingga pesisir utara Seram dan Seram Pasir atau Seram Laut di sisi timur pulau Seram atau Seram Timur.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa artikel Gerrit Knaap ini berjumlah 31 halaman, yang terdiri dari 23 halaman kajian, 4 halaman referensi, 4 halaman catatan kaki sebanyak 62 catatan kaki, dan tidak ada peta serta gambar ilustrasi. Pada artikel terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan menambahkan beberapa catatan tambahan yang kami anggap perlu. Semoga artikel ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan kesejarahan kita.

  

  1. Terjemahan

Secara historis, perompakan/pembajakan merupakan fenomena yang tidak asing lagi di Asia Tenggara. Studi Jim Warren dan Adri Lapian membuktikan pernyataan ini1. Dunia kepulauan antara Sulawesi dan Papua, tidak terkecuali pada aturan ini. Periode “klasik” pembajakan ini, seperti di tempat lain di Asia Tenggara, adalah akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Meskipun paling sering dikaitkan dengan sosok Nuku, Pangeran-Pemberontak asal Tidore, tradisi mengatakan bahwa pembajakan sudah endemik di wilayah tersebut jauh sebelum masa ini2. Sumber-sumber Eropa awal menunjuk ke pulau-pulau Raja Ampat, yang terletak di ujung paling barat Papua, sebagai wilayah inti darimana semua “kejahatan” ini berasal. Pulau-pulau terbesar di Raja Ampat, dari utara ke selatan adalah Waygeo, Batanta, Salawati dan Misool. Untuk menyajikan lebih banyak data, bab ini berfokus pada fenomena bajak laut Papua selama abad ke-17. Dalam merekonstruksi fakta, laporan-laporan dari “markas besar” atau  ibukota 3 Gubernemen kolonial Belanda di daerah itu akan digunakan secara luas, yaitu Benteng Victoria untuk [Gubernemen] Amboina, Benteng Nassau untuk [Gubernemen] Banda dan Benteng Oranje untuk [Gubernemen] Moluccas atau Ternate. Di sini, istilah Maluku (Moluccas) digunakan dalam pengertian modern awal, yaitu untuk menggambarkan kepulauan Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Pemerintah kolonial Belanda pada masa itu direpresentasikan oleh VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Laporan-laporan VOC abad ke-17 termasuk yang pertama dalam hal memberikan informasi penting tentang apa yang disebut Bajak Laut Papua. Pola dan struktur yang berkembang dari analisis sumber, akan dibahas secara singkat dalam kerangka kekerasan dan perdagangan yang lebih luas di bagian timur kepulauan Asia Tenggara. Hasilnya akan mengungkapkan bahwa terlalu mudah untuk menilai fenomena perompakan/pembajakan menurut perspektif modern sebagai bentuk sederhana dari “predation” (“kebuasaan”) atau “parasitisme-makro”3. Pertama, kita akan melihat laporan tindakan perompakan yang dilakukan di Gubernemen VOC  Amboina, Banda dan Molucas. Kemudian, kondisi di kepulauan Raja Ampat dan pedalamannya yang lebih jauh ke timur akan ditinjau, sebelum merumuskan beberapa kesimpulan. 

PENJARAHAN DI AMBON DAN BANDA

                Pada pertengahan abad ke-17, pulau Amboina adalah penghasil utama cengkih dunia. Rempah-rempah ini sangat diidam-idamkan oleh para pedagang Asia dan Eropa. Belanda, yang ada di daerah itu sejak tahun 1599, mencoba memonopoli ekspor cengkih. Pada tahun 1605, Belanda memperoleh kesuksesan pertama mereka, ketika berhasil mengusir Portugis dari kepulauan itu. Dari sekitar tahun 1625, banyak perang berdarah terjadi antara VOC dan orang-orang Ambon yang ingin menentang monopoli cengkih. Pada tahun 1656, VOC telah memenangkan pertempuran secara definitif, dan akhirnya menundukan seluruh inti kepulauan Ambon untuk memerintah secara langsung. Untuk meraup keuntungan dari monopoli mereka, Belanda mengerahkan seluruh upaya untuk menegakan Pax Neerlandica, dimana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain, apakah mereka terinspirasi secara kriminal atau politik dinyatakan ilegal. Sejak tahun 1656, Pax Neerlandica hampir tidak terancam lagi dari dalam, artinya, oleh pemberontakan apapun dari orang Ambon. Kisah serupa dapat diceritakan untuk kepulauan Banda yang jauh lebih kecil di tenggara Ambon. Sejak dahulu kala, kepulauan kecil ini merupakan satu-satunya penghasil pala dan bunga pala. Belanda juga tiba di sini pada tahun 1599, dengan tujuan untuk memonopoli ekspor komoditas langka ini. Periode perang berdarah di sini, lebih pendek waktunya daripada di Amboina. Pada tahun 1622, Belanda dengan kejam membasmi masyarakat Banda. Ini kemudian digantikan oleh semacam perkebunan, dimana banyak pemilik asal Eropa atau Eurasia menghasilkan rempah-rempah dengan kerja paksa4. Namun, di pinggiran dari daerah Gubernemen Amboina dan Banda, masih ada beberapa faktor laten yang menjadi penyebab gangguan kedamaian. Salah satunya adalah ancaman “bajak laut Papua”. Para perompak yang menyebabkan perusakan ini berasal dari kepulauan Raja Ampat di sebelah utara, yang secara teoritis berada di bawah naungan gubernemen VOC lain, yaitu Moluccas atau Ternate. Istilah “bajak laut Papua” menyesatkan. Pertama, para perompak tidak selalu bertindak sebagai perampok yang agresif, karena mereka terkadang berganti status sebagai pedagang. Kedua, penduduk Raja Ampat tidak murni orang Papua; penduduk itu adalah campuran dari berbagai etnis, yang semuanya secara resmi mengakui kekuasaan Sultan Tidore5

                Wilayah gubernemen Amboina yang paling dekat dengan wilayah inti Papua adalah pesisir utara Seram. Di kawasan ini, para bajak laut diduga kerap berkolaborasi dengan pemegang kekuasaan lokal. Contoh yang bagus adalah kasus Latu Kaysuku, seorang pemimpin desa/negeri Lisabata yang ambisius pada tahun 1660an, yang mengundang bajak laut untuk datang dan menyerang musuhnya selama 5 tahun. Lisabata adalah sebuah desa/negeri yang terdiri dari beberapa kelompok pendatang, terutama dari Jailolo di Halmahera dan dari Bacan. Banyak desa di sepanjang pantai utara cenderung membuat perjanjian dengan bajak laut untuk menghindari resiko menjadi korban sendiri. Untuk menangkal bahaya, mereka membantu para bajak laut untuk merampok tetangga mereka, yang sering memiliki sejarah konflik yang lama dengan mereka. Orang Papua dari Misool, misalnya melakukan penculikan dan penangkapan budak, jauh ke pedalaman Seram, dengan bantuan pemimpin desa-desa Muslim di pesisir. Penduduk pedalaman bukanlah Muslim, tetapi animis, “pagan” seperti yang didefinisikan. Para tawanan kemudian sering ditebus di desa-desa pesisir ini. Selain penculikan dan perdagangan para tawanan, penduduk Misool juga memiliki usaha lain di pesisir utara, seperti mengekstrak tepung sagu dan menukar barang dengan pedagang eceran dari pulau Boano hingga sebelah barat Seram. Kapal-kapal dari Misool dikabarkan memperoleh mesiu dari Sultan Tidore, karena sangat ingin membantu mereka untuk mendukung klaim politiknya terhadap desa-desa pesisir di Seram Utara6.

                Pada paruh pertama abad ke-17, kepulauan Amboina sudah merasakan sensasi bajak laut Papua. Pada periode ini, bukan hanya VOC yang bermasalah dengan orang Papua. Stadholder7 Sultan Ternate di kepulauan Amboina, yang menyandang gelar Kimelaha, juga bermasalah dengan mereka. Sekitar tahun 1620, 2 anggota penting [keluarga] Tomagola, sebuah klan yang menguasai daerah itu sebagai Kimelaha, ditangkap; butuh 2 tahun untuk membebaskan mereka. Para pegawai VOC segera menyadari bahwa orang-orang dari Lisabata dan rekan-rekan mereka dari desa terdekat, yaitu Hatuwe, berperan besar dalam merangsang tindakan perompakan dari penduduk pulau Papua. Para laki-laki dari Lisabata bahkan berperan sebagai “pilot” dan pemandu, saat para para bajak laut “berkelana”  ke wilayah stadholder Ternate atau wilayah VOC. Pola orang yang ditawan dalam penculikan seperti itu ditebus oleh pemimpin Lisabata pun telah terungkap dengan sendirinya. Seorang Gubernur van Amboina menyebut ini sebagai “perdagangan kafir dengan rakyat kami”. Pulau Boano, berlokasi strategis di sebelah barat Seram bagian utara, memiliki tradisi yang sama dalam hal menawarkan keramahan kepada orang Papua. Para perompak menggunakan Boano sebagai batu loncatan untuk aksi melawan pulau Buru dan Ambon. Lebih buruk lagi, Boano sendiri memiliki reputasi sebagai bajak laut. Akibatnya, pada tahun 1619 Belanda mengirimkan sebuah hongi, sebuah armada kora-kora, kapal perang seperti galleon yang diawaki oleh orang Ambon, untuk menghukum penduduk Boano dan untuk membatasi kegiatan perompakan mereka di masa selanjutnya8. Satu tahun kemudian, ekspedisi kimelaha ini melakukan serangan terhadap Lisabata yang kerap berstatus sebagai “perantara”. Didukung oleh honginya sendiri, kimelaha memulihkan kekuasaan Ternate atas Lisabata. Selama kira-kira 10 tahun, perompakan Papua direduksi menjadi ancaman ringan bagi Amboina, tetapi tak lama setelah tahun 1630, ada kabar lagi terhadap kecurigaan akan muncul kembali bantuan dari Boano dan Lisabata. Sekarang kimelaha mendapat persetujuan diam-diam karena hubungan yang sangat tegang antara Lisabata dan VOC9.

                Pada tahun 1640, VOC di Amboina sekali lagi mengambil sikap serius terhadap serbuan orang Papua dengan melarang rakyat dan sekutu VOC untuk berhubungan baik apapun dengan orang Papua. Dengan membuat perjanjian, penduduk Boano berjanji tidak akan lagi melindungi bajak laut Papua. Klausul anti-Papua yang serupa adalah bagian dari perjanjian penundukan dengan desa/negeri Rarakit di Seram Timur pada tahun 1650. Rarakit adalah pasar untuk pedagang tawanan dan/atau budak yang diambil/ditangkap oleh orang Papua. Untuk menghukum negeri karena kejahatan ini, serta keramahan yang telah ditawarkan kepada musuh VOC lainnya, Hongi Amboina telah menaklukan benteng Rarakit setelah pertempuran sengit. Pada tahun yang sama, tahun 1650, Goram, juga di Seram Timur, mengikuti contoh Rarakit dengan menyatakan orang Papua sebagai musuh. Pada tahun 1650, Kimelaha yang saat itu sedang berkuasa di wilayah vasal Ternate di Amboina kembali diserang oleh bajak laut Papua. Dia melancarkan serangan ke pulau Misool dengan hongi milik sendiri10. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1653, sebagai bagian dari Hongi VOC,hongi Ambon, yang terdiri dari 21 kora-kora yang dikomandani oleh Simon Cosa, melakukan ekspedisi selama 2 bulan ke wilayah pusat Papua, pertama berlayar dari Seram Utara ke ujung timur Halmahera, dimana sebuah desa dibakar. Upaya untuk merebut benteng dekat Patani, terbukti tidak berhasil. Dari Halmahera Timur, armada berlayar ke Salawati dan membakar desa/negeri yang sangat besar tapi sepi itu. Dari sini, Simon Cos memutuskan untuk berlayar pulang. Nanti, kita akan kembali ke ekspedisi ini. Sekali lagi, pada tahun yang sama, sejumlah besar desa/negeri di Seram Utara, yang dikepalai/dipimpin oleh Hatuwe, berjanji kepada VOC untuk tidak lagi menampung orang Papua. Namun, pada saat Cos menjalankan operasinya yang berani, atas perintah Sultan Tidore, Raja Salawati, yang desanya dibakar oleh Cos, berkeliaran di sekitar Amboina dengan armada 15 kapal, yang mengakibatkan kerusakan parah di Hitu, bagian utara pulau Ambon11. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pada tahun 1660-an, setelah Belanda memenangkan perang Ambon yang terakhir, pulau Ambelau yang kecil dan agak terpencil, masih terbukti menjadi sasaran empuk bagi para perompak. Terkadang, VOC mengirimkan hongi-nya untuk berpatroli melawan orang Papua, yaitu ke Seram Utara. Keberhasilan ekspedisi ini sangat bervariasi dan tidak dapat dianggap remeh12

                Hasil yang lebih baik dalam mengalahkan orang Papua dicapai pada tahun 1673, ketika Belanda menangkap beberapa pedagang Misool dipantai utara Seram, diantaranya Limau, saudara laki-laki penguasa Misool, Raja Mangenane. Limau hanya dibebaskan dengan syarat pembajakan dari Misool harus dihentikan di masa depan. Ini membantu, setidaknya untuk sementara waktu. Namun, jika Misool tidak aktif, selalu ada kelompok orang Papua lain yang mau menggantikannya. Menjelang akhir tahun 1670-an, ketika VOC di Maluku berperang dengan Sultan Ternate, pangeran mahkota Tidore, yang bertentangan dengan saran Sultan Tidore, Syaifudinb, bergabung dengan kubu anti-VOC. Sebagai akibat dari pembelotannya, wilayah-wilayah vasal Tidore mulai menyerbu gubernemen Amboina. Pada tahun 1678, 5 kapal berlayar melalui  wilayah pusat gubernemen, menangkap 50 hingga 60 pedagang dan nelayan Ambon. Dari beberapa waktu sebelum serbuan ini, kapal-kapal ini telah mencoba peruntungan di Banda, tetapi tidak berhasil. Kebanyakan tawanan dari Amboina, ditebus dari Seram Timur dengan harga 38 hingga 40 ringgit per orang. Orang-orang dari Seram Timur pada gilirannya hanya cenderung membiarkan “para budak” pergi setelah mereka menerima 40 ringgit sebagai kompensasi. Dari jumlah 40 ringgit ini, 25 ringgit dibayar oleh kompeni, sisanya harus berasal dari keluarga korban13.

                Penyerangan tahun 1678 itu sangat menggelisahkan otoritas VOC di Amboina. Setelah itu, ketika rumor aksi perompakan , skuadron kecil  yang terdiri dari kora-kora dan kapal kecil yang disebut arumbai (orembai), disiagakan di titik-titik strategis. Selain itu, hadiah 150 ringgit ditambah hadiah hak untuk menahan kapal, kargo, dan awak kapal kecuali para pemimpinnya, ditetapkan bagi penangkapan kapal bajak laut. Pada tahun 1680, tindakan pencegahan ini tampaknya hanya memiliki efek terbatas. Pukulan terbesar yang dilakukan kepada para perompak, tidak dilakukan baik oleh orang Belanda maupun orang Ambon dari wilayah VOC. Pada tahun 1679, di desa/negeri Kwaus, penduduk yang berkumpul dari beberapa desa di Seram Timur, menyerang 4 kapal perompak yang berusaha menjual orang Ambon yang ditangkap. Dua kapal disita, dimana 67 perompak tewas dan 14 lainnya ditawan. Jumlah orang Ambon yang dibebaskan adalah 24 orang. VOC mencoba menangkap beberapa bajak laut yang dipenjara dengan harga 30 – 50 ringgit. Hasil yang sedikit adalah bahwa hanya 3 dari mereka yang diserahkan karena penduduk Seram Timur yang terlibat, menuntut 100 ringgit per orang sebagai gantinya. Terungkap bahwa para perompak tersebut berasal dari pulau kecil Gebe, yang berada di bawah kekuasaan kesultanan Tidore. Otoritas VOC dikejutkan oleh ukuran kecil salah satu kapal yang disita, yaitu panjangnya hanya 18-19 kaki dan lebarnya 5 kaki ukuran balok14.

                Setelah tahun 1680, aksi perompakan sedikit menurun. Yang masih spektakuler adalah penghancuran pos penjagaan milik VOC di Boano pada tahun 1682. Di sebelah tenggara, kepulauan Aru yang merupakan bagian wilayah gubernemen Banda, menjadi korban penyerangan dari 5 kapal pada tahun 1684. Sebanyak 45 tawanan diperjualbelikan, dan ditebus di Keffing di Seram Timur15. Pada tahun 1689, ada ekspedisi spektakuler oleh 12 kora-kora dari Patani, Weda, dan Maba, desa-desa di bagian timur Halmahera melawan Seram Utara. Pada tahun yang sama, banyak kora-kora, mungkin dari kelompok yang sama mengganggu Seram Utara, aktif di sekitar kepulauan Kei, di sebelah tenggara Banda. Ini adalah ledakan besar yang terakhir di abad ke-17. Untuk sementara, perompakan Papua di gubernemen Amboina dan Banda, tampak seperti masa lalu. Pada tahun 1699, gubernemen Amboina bahkan telah memerintahkan personel dan wilayah kekuasaannya untuk membuat perbedaan yang jelas antara pedagang dan bajak laut di antara orang Papua yang tiba di Seram Utara16.


SITUASI DI MOLUCCAS

                Maluku dalam arti sebenarnya, yaitu daerah pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera, merupakan tempat asal cengkih dunia. Wilayah itu adalah wilayah dimana pohon cengkih itu asli. Akibatnya, berabad-abad sebelum kedatangan Belanda, pulau-pulau tersebut sudah sering dikunjungi oleh pedagang dari luar negeri untuk mencari kargo yang berharga. Pada abad ke-16, Portugis telah menetap di Maluku. Karena mereka kekurangan sumber daya angkatan laut dan militer yang cukup, mereka tidak pernah dapat mendirikan monopoli sepenuhnya atas ekspor cengkih. Peluang mereka untuk menguasai Maluku mulai mengecil pada tahun 1575, saat mereka kehilangan bentengnya di Ternate oleh Sultan Ternate. Sejauh mereka dapat mempertahankan kehadiran mereka di daerah tersebut, mereka sangat berganting pada aliansi dengan saingan utama Ternate, yaitu Sultan Tidore. Benteng yang mereka dirikan di Tidore pada tahun 1578, dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1605. Namun, setahun setelah bencana ini, pada tahun 1606, kehadiran kaum Iberia di Maluku dipulihkan, kali ini oleh Spanyol, yang menyerbu daerah tersebut dari Filipina. Spanyol membangun benteng di pulau-pulau tersebut, termasuk Ternate. Sebagai tanggapan, Belanda membangun benteng mereka sendiri, yang pertama adalah benteng Oranje, di bagian lain pulau itu, pada tahun 1607. Akibatnya, pulau Ternate terbagi menjadi 2 bagian. Pertempuran antara Belanda dan Ternate di satu sisi, dan Spanyol dan Tidore di sisi lain, berlanjut dari sekitar tahun 1607 hingga tahun 1648, ketika Belanda dan Spanyol menyelesaikan Perdamaian Munster, yang mengakhiri konflik mereka yang hampir 80 tahun lamanya. Akhirnya, pada tahun 1662-1663, Spanyol mengevakuasi benteng mereka di Maluku karena mereka membutuhkan semua tentaranya untuk mempertahankan Filipina dari invasi Cina yang akan segera terjadi17.

                Dalam konteks kekerasan perang antara koalisi VOC-Ternate dan koalisi Spanyol-Tidore, sebagian besar perompakan abad ke-17 yang dilakukan oleh orang Papua, haruslah dicermati. Ketika para perompak dari kepulauan Raja Ampat mengambil bagian dalam konflik ini, mereka biasanya bergabung dengan koalisi Spanyol-Tidore. Karena itu, korban mereka biasanya adalah tentara atau penduduk wilayah kekuasaan Belanda (VOC), serta penduduk Ternate dan orang-orang Bacan, dimana Bacan adalah kesultanan ketiga dan yang terkecil di Maluku. Dalam konflik, Bacan memihak VOC dan Ternate18. Setelah Spanyol pergi pada tahun 1663, menjalin hubungan baik dan damai dengan Tidore merupakan prioritas VOC. Pada tahun 1667, Sultan Saifudin dari Tidore berjanji untuk mengatasi perompakan Papua sejauh yang dia bisa lakukan. Setiap orang Papua yang ingin berlayar ke Amboina atau Banda, diharuskan mendapatkan izin laut dari kompeni. Untuk menghindari masalah di kepulauan Raja Ampat itu sendiri, tidak ada penduduk Amboina dan Banda yang diizinkan berdagang di sana. Namun, insentif politik untuk perompakan kembali berkobar saat konflik antara Sultan Sibori alias Sultan Amsterdamc dari kesultanan Ternate dengan Belanda, dimana seperti dikatakan sebelumnya, putra mahkota Tidore mendukung Ternate. Dia tidak bisa dikatakan telah memobilasi orang Papua dalam arti yang sebenarnya, karena dia biasanya membatasi perekrutannya hanya pada penduduk Patani, Weda, dan Maba di Halmahera Timur. Pada wal tahun 1680-an, semua ini menjadi rahasia umum di kalangan otoritas Belanda. sebagai konsekuensi dari penyerangan oleh Maba, banyak desa di bagian utara Halmahera, daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Ternate, ditinggalkan oleh penduduknya19. Tetapi keadaan mulai berubah lagi. Pada tahun 1689, setelah putra mahkota diangkat menjadi Sultan Hamza Fahrudind, ia tampaknya cukup kooperatif, dalam mengatasi perompakan. Menandatangani perjanjian dengan VOC, dia berjanji untuk menangkap dan menghukum beberapa pemimpin penting Patani, Weda, Maba , dan Misool, jika perompakan terjadi lagi. Segera setelah itu, 4 dari pemimpin 3 desa pertama (Patani, Weda dan Maba) dikirim ke Tanjung Harapan sebagai buruh narapidana20.

                Berkat kebijakan penahanan yang dilakukan Sultan Hamza Fahrudin, tindakan perompakan di pihak penduduk wilayah kekuasaan Tidore, menurun secara signifikan selama tahun 1690-an. Untuk mempertahankan status quo dan tidak merusak hubungan Sultan kembali melarang aktivitas perdagangan di kawasan Raja Ampat bagi para pelaut pribumi dan Tionghoa dari Banda dan Amboina. Sebagai imbalan atas tindakannya yang baik, pada tahun 1700, Sultan Tidore diberi wewenang atas pulau-pulau lepas pantai Seram Timur, suatu wilayah yang tidak pernah dapat dikendalikan secara efektif oleh VOC. Tentu saja, tidak semua orang senang dengan hubungan baik antara istana Tidore dan VOC di kastil Oranje. Mereka yang berasal dari Patani, Weda, dan Maba, yang dulunya merupakan sekutu paling setia Sultan ketika ia masih menjadi putra mahkota, bahkan merencanakan pemberontakan terhadap penguasa mereka. Pada akhirnya pemberontakan gagal seperti “asap petasan”, dan pada tahun 1704, salah satu pemimpin Maba dilarang ke Ceylon21/e. Hubungan antara Patani, Weda, dan Maba di satu sisi, dan Sultan di sisi lain, semakin memburuk karena Sultan membantu Belanda dalam usaha identifikasi mereka terhadap pohon-pohon cengkih, yang setelah diidentifikasi harus ditebang. Upaya pemusnahan budidaya cengkih yang disepakati oleh para Sultan selalu dibenci oleh masyarakat umum Maluku, termasuk yang berasal dari desa-desa yang baru saja disebutkan. Untung bagi Sultan Hamza Fahrudin, kekesalan itu belum bergejolak. Pemberontakan yang ditunggu-tunggu di wilayah kekuasaan Tidore yang dipimpin oleh desa Patani, Weda, dan Maba, baru pecah setelah periode pemerintahan Sultan Hamzah Fahrudin, yaitu pada dekade kedua abad ke-18. Pada saat itu, para pemberontak juga mengklaim bahwa Sultan menaikan tuntutan upeti ke tingkat yang tidak dapat ditolerir22.

                Sementara itu, Sultan Bacan memainkan peran yang lain. Karena kerajaan kecilnya kekurangan penduduk di wilayah kekuasaannya, dia membutuhkan orang Papua atau orang lain untuk menjadi populasu kerajaannya. Penyerangan bajak laut dalam arti penculikan dapat dilihat sebagai saraana untuk mencapai tujuan itu. Mungkin dengan alasan ini, Sultan bahkan menikahkan 2 putrinya dengan pemimpin Papua. Selain itu, ia mencoba untuk menarik Raja Misool ke pihaknya, dengan menculik sekitar 150 orang dari pulau itu, antara lain, untuk mengisi pulau tak berpenghuni di Obi, yang merupakan milik kerajaannya. Akhirnya, melalui mediasi VOC, sebagian penduduk Misool diizinkan untuk tinggal di daerah Bacan dengan syarat Sultan Bacan membayar 400 ringgit kepada Sultan Tidore23.  Akibatnya, selama abad ke-17, Bacan kadang-kadang mencoba untuk mengklaim Misool, yang dengan demikian menyangkal otoritas Tidore. Sekali lagi dalam kerangka inilah upaya Sultan Bacan untuk mendapatkan klaimnya atas 9 desa/negeri di Seram Utara dalam agendanya harus dilihat. Pada tahun 1660, kapitan laut, atau laksamana laut, dari Bacan telah bertindak sangat jauhf, yaitu membawa sekitar 200 orang dari desa/negeri Hatuwe dan menjual mereka di Maluku. Atas tindakan berani namun ilegal ini, ia kemudian ditangkap oleh VOC Amboina dan dibuang ke Batavia24. Dalam jangka panjang, semua upaya Bacan memainkan peran penting dalam arena politik menjadi sia-sia. Setelah upaya untuk mengisi pulau Obi dengan orang-orang yang “dapat diandalkan” gagal, Sultan pada tahun 1683 menjual haknya atas pulau ini kepada VOC. Klaim atas Misool diulangi dari tahun 1696-1697, tetapi klaim ini tidak berhasil25.

SITUASI DI KEPULAUAN RAJA AMPAT

                Menurut Haga, pada abad ke-16 pulau-pulau di Raja Ampat, khususnya Waygeo, Salawati, dan Misool, sebagian besar masih independen atau merdeka dari kesultanan Maluku, meskipun sebagian untuk sementara diklaim oleh Bacan, Ternate, atau Tidore. Belanda lumayan terlambat mengumpulkana informasi tentang wilayah tersebut. Untuk waktu yang lama, ekspedisi Hongi Amboina dibawah komando Simon Cos pada tahun 1653, yang telah disebutkan secara singkat di atas, tetap merupakan peristiwa yang terisolasi. Sementara beberapa bagian pesisir Papua (New Guinea), misalnya wilayah selatan dari Berau atau Teluk MacCluer – lebih tepatnya semenanjung yang dikenal sebagai Onin dan Bombarai, diselidiki secara menyeluruh pada tahun 1678, Raja Ampat tidak menarik perhatian tersebut hingga sekitar tahun 1700. Sebagai daerah pemasok para pedagang budak, Onin dan Bombarai terkadang menjadi korban aksi perompakan dari Misool. Menjelang akhir abad ke-17, Misool menikmati reputasi buruk dalam hal perompakan. Karena tidak mengetahui bagaimana struktur wilayah Raja Ampat secara politis, VOC cenderung melihat pulau-pulau tersebut sebagai milik Tidore26.

                Salah satu fakta yang tak terelakkan muncul dari sumber-sumber, yaitu bahwa Maluku tidak selalu menguasai/mendominasi kepulauan Raja Ampat. Proses pembentukan negara yang mengakibatkan munculnya Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan merupakan perkembangan dimana Raja Ampat tidak memainkan peranan. Baru setelah kesultanan-kesultanan ini berdiri, mereka mengalihkan pandangan mereka ke kepulauan Raja Ampaat. Upaya mereka selanjutnya untuk memasukan Raja Ampat memperoleh keberhasilan yang berbeda-beda. Prosesnya tidak dimulai ketika orang Eropa tiba di wilayah itu. Faktanya, selama abad ke-17 dan ke-18, VOC seringkali dilibatkan untuk membantu memutuskan konflik mengenai masalah otoritas. Dalam kebanyakan kasus ini, Belanda mendukung klaim Tidore. Di beberapa titik dalam sejarah, penduduk kepulauan Raja Ampat tampaknya telah mengakui klaim Tidore dengan memberi penghormatan kepada Sultan Tidore. Menurut tradisi Tidore, hal ini dimulai sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Namun, relasi antara pusat dan pinggiran pasti lemah, seperti pada tahun 1660-an dan 1670-an, bahkan Sultan Sayfudin dari Tidore, setidaknya sampai batas tertentu, menggunakan hubungan baiknya dengan Belanda untuk memperkuat cengkeramannya. Andaya mengutarakan bahwa dengan melakukan hal itu, harga yang harus dibayar para Sultan adalah harus memenuhi tuntutan dan standarVOC, misalnya dengan mengawasi pulau-pulau tersebut tanpa pohon penghasil rempah-rempah dan dengan melarang kebiasaan merampok untuk tujuan balas dendam dan ritual27.  

                Pulau Gebe, semacam batu loncatan di laut antara Halmahera dan Papua, yang paling berdekatan dengan pusat kekuasaan Tidore, pastilah salah satu dari yang pertama yang mengakui derajat/tingkat tertentu dari kekuasaan Tidore. Portugis telah melabeli pulau Gebe sebagai tempat kedudukan salah satu dari 4 raja di kepulauan Raja Ampat. Data berikut mengungkapkan bahwa ini tidak benar. Bukti dari abad ke-17 dengan tegas menyatakan bahwa pemimpin yang paling penting di Gebe memegang gelar atau bergelar Sengaji, yang merupakan gelar asal Tidore. Dia berfungsi sebagai perwakilan Sultan atas upeti dari pulau-pulau yang terletak di timur Halmahera. Ini tepat dengan kesan abad ke-19, bahwa Sengaji Gebe memiliki tingkat lebih tinggi dalam hierarki kesultanan daripada 4 raja itu sendiri28. Di kepulauan Raja Ampat, dengan menggunakan istilah yang tepat, secara umum diakui bahwa gelar tertinggi mereka memang raja, sesuai dengan namanya yaitu Raja Ampat (4 raja). Selama abad ke-17, keempat orang ini adalah raja Salawati, Waygeo, Misool, dan Waigama, dimana yang terakhir (Waigama) adalah pemimpin desa dengan nama itu di bagian barat pulau Misool. Jadi, anggapan bahwa pemimpin Gebe adalah salah satunya, pasti karena informasi yang tidak lengkap. Di bawah 4 raja, ada seorang kapitan laut, semacam komandan hongi, dan jojau, semacam menteri yang bertanggung jawab atas urusan di darat. Menjelang akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, para pemimpin dari Patani, Weda, dan Maba juga berfungsi sebagai perantara antara Raja Ampat dan istana di Tidore. Saat mempelajari hubungan di Raja Ampat, Andaya menarik kesimpulan yang tampaknya tepat, ketika dia mengatakan bahwa 4 raja di wilayah itu tidak pernah berfungsi sebagai satu kesatuan dalam struktur organisasi kesultanan. Konsep 4 pemimpin lebih merupakan “penciptaan” Maluku daripada “penciptaan” orang Papua29

                Meskipun masyarakat Raja Ampat lambat laun mengakui kekuasaan Tidore, sulit untuk melihat bagaimana mereka sebenarnya diintegrasikan ke dalam aparatur negara. Konsep wilayah yang diperintah oleh 4 raja adalah petunjuk kuat keterlibatan Tidore. Legenda mengatakan bahwa sebelum keterlibatan ini, hanya ada 1 raja di Raja Ampat yang pusat kekuasaannya berada di bagian timur Waygeo. Pada tahun 1500, wilayah tersebut mulai mengalami migrasi orang Papua dari pulau Biak, yang jauh ke arah timur. Menurut cerita mereka sendiri, penduduk Biak berbaur dengan penduduk lokal dan mengakhiri dominasi penyusup yang datang belakangan dari Halmahera. Salah satu pemimpin migran Biak dari Waygeo, figur pahlawan legendaris Sekfamneri alias Gurabesi, membantu Sultan Tidore dalam perang melawan Jailolo di Halmahera. Legenda selanjutnya mengatakan bahwa pahlawan itu diberi seorang putri dari Tidoreg sebagai pengantin untuk hadiahnya dan bahwa Sultan mengharapkan dia menjadi subjek dan pembayar upeti bagi Tidore. Sayangnya, pasangan itu tidak memiliki anak sendiri. Legenda menceritakan bagaimana mereka mengadopsi 4 anak laki-laki, yang lahir dari telur yang ditemukan di pantai. Putra-putra ini menjadi 4 raja pertama, tetapi karena mereka begitu sering bertengkar, mereka berpisah dan  berpencar di seluruh pulau. Pada tahun 1534, para Sultan Maluku tampaknya meminta 4 raja ini untuk membantu mereka melawan Portugis30.

Merujuk pada periode setelah tahun 1500, Andaya menuturkan cerita tentang kunjungan pimpinan Raja Ampat ke istana Tidore, upacara-upacara, dan penyerahan upeti serta hadiah timbal balik yang diterima sebagai balasannya. Sayangnya, frekuensi kunjungan semacam itu selama abad ke-17 sulit ditentukan. Kita hanya tahu sedikit detail tentang kewajiban membayar upeti atau mengirimkan tenaga kerja untuk layanan kerja wajib dan/atau hongi. Di sisi lain, hongi kecil tampaknya telah dikirim secara teratur, mungkin setiap tahun, dari Tidore ke Raja Ampat untuk mengumpulkan upeti. Valentijn mencatat bahwa hongi seperti itu memiliki kekuatan 18 hingga 20 kora-kora. Hongi tersebut mungkin di awaki oleh orang-orang dari Halmahera. Upeti ini terdiri dari para budak, ambergris, lilin dan mutiara. Jumlah produk ini tidak diketahui. Perlu ditekankan bahwa selama abad ke-17, kepulauan Raja Ampat belum menjadi sumber pasokan produk trepang (sea cucumber) yang penting secara internasional31.

Berdasarkan informasi abad ke-19, Kamma menyimpulkan bahwa upeti yang harus diserahkan Raja Ampat ke Tidore tidak terlalu mengesankan. Faktanya, bukan upeti yang menjadi masalah. Rintangan terbesar adalah kewajiban untuk menyerahkannya secara pribadi ke istana. Karena sulit dan lamanya perjalanan dari dan ke Tidore, cukup banyak laki-laki yang diharuskan tidak berada di rumah dalam jangka waktu yang lama. Tidak heran, jika kewajiban ini seringkali tidak terpenuhi. Bukti abad ke-19 mengungkapkan bahwa dalam kenyataannya upeti tidak diserahkan setiap tahun, tetapi biasanya dengan interval hingga 5 tahun. Seperti yang baru saja disebutkan, seakan-akan fungsi utama hongi yang dikirim dari Tidore dan Halmahera adalah untuk mengumpulkan upeti, tetapi mereka yang mengawaki hongi segera mengalihkan perhatiannya ke penjarahan. Sebagai tindakan pencegahan, populasi seluruh desa pindah ke pedalaman, saat hongi dari Tidore terlihat, hanya untuk muncul kembali ketika pantai benar-benar bersih. Nyatanya, reaksi semacam itu tidak berbeda dengan yang terjadi di beberapa bagian Seram ketika hongi VOC Amboina telah terlihat. Kamma adalah orang pertama yang mengklaim bahwa dari sudut pandang korban yang dianiaya secara kejam, tidak ada perbedaan antara hongi Tidore dan rak Papua, yaitu ekspedisi perburuan/pengayauan kepala. Hongi Tidore sering kembali dengan banyak orang Papua sebagai budak. Informasi dari abad ke-19 lebih lanjut mengungkapkan bahwa hongi Tidore hanya dikirim sesekali dan tidak setiap tahun. Sebuah hongi biasa yang menuju ke pinggiran kerajaan di wilayah timur, tampaknya terdiri dari beberapa kora-kora berukuran kecil dari Tidore sendiri, ditambah dengan sekitar 5 kora-kora dari Patani, Maba, dan Weda, 1 atau 2 dari Gebe, dan 5 lainnya dari Raja Ampat. Dalam armada seperti itu, berjumlah 12 sampai 13 kapal, tidak semua kora-kora Raja Ampat dimobilisasi pada waktu yang bersamaan. Kadang yang dari Waygeo tidak disertakan, di lain waktu yang dari Misool tidak ikut, dan seterusnya32.

Seberapa jauh kewenangan 4 raja itu menghadirkan kesulitan yang tak bisa diatasi. Informasi dari pertengahan abad ke-19 cenderung tidak jelas tentang hal ini. Bahkan lebih problematis untuk mencoba menerjemahkan apa yang hanya sedikit diketahui tentang periode-periode sebelumnya. Tampaknya selain 4 raja, ada juga 9 sengaji yang masing-masing memerintah 9 desa/negeri yang terpisah. Sengaji ini harus menyerahkan upeti langsung kepada Sultan. Rupanya, mereka tidak termasuk dalam wilayah atau hierarki raja. Kamma menyatakan bahwa kita tidak bisa berharap bahwa raja maupun sengaji dapat menggunakan banyakan otoritas di antara para pengikutnya. Mereka hanya semacam “ pertama di antara yang sederajat”. Ketika raja atau sengaji yang lama meninggal, para pemimpin yang statusnya lebih rendah di daerah itu, memilih 3 calon untuk suksesi, tidak harus berdasarkan usia muda, dan membiarkan Sultan untuk memutuskan siapa calon yang akan terpilih33.

Baru-baru ini Arfan meringkas geografi politik Raja Ampat. Dari dia, kitaa mengetahui bahwa Raja Waygeo berkedudukan di Mumus, di pintu masuk ke teluk yang disebut Teluk Mayalibit, dimana ia mengklaim memerintah hampir seluruh pulau. Raja Salawati memerintah dari Samate di sudut timur laut pulau Salawati. Dia mengklaim bagian utara pulau itu, beberapa tempat di Waygeo barat, bagian timur Batanta dan pantai terdekat di semenanjung Kepala Burung. Di pesisir barat Salawati, ada seorang kapitan laut yang bermarkas di Sailolof. Wilayahnya meliputi bagian selatan pulau Salawati, bagian barat Batanta, beberapa wilayah yang berdekatan di kepala burung, dan kepulauan kecil Kofiau. Tampaknya garis keturunan raja dan kapitan laut sering kali kawin. Raja Misool berkedudukan di Lilinta di pantai selatan pulau Misool. Raja ke-empat, yaitu Waigama, berkedudukan di desa dengan nama itu di bagian barat Misool. Raja Waigama terkadang dianggap tidak asli. Padahal, raja keempat seharusnya bertempat tinggal di Kilmuri, suatu wilayah di Seram Timur. Pada titik tertentu, Sultan menggantikannya sebagai raja keempat dengan Waigama. Dengan meyakinkan, Arfan tidak menyebutkan sengaji34. Geografi politik milik Arfan pasti berlaku untuk abad ke-20. Garis besar umumnya dikonfirmasi oleh pengamatan pegawai Belanda, meskipun mereka juga memasukan beberapa sengaji dalam uraian mereka35.

==== bersambung === 

Catatan Kaki

1.         J.F. Warren, The Sulu Zone, 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State (Singapore: Singapore University Press, 1981); J.F. Warren, Iranun and Balangingi: Globalization, Maritime Raiding and the Birth of Ethnicity (Singapore: Singapore University Press, 2002); A.B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi pada Abad XIX (Ph.D. dissertation, Universitas Gadjah Mada, 1987).

2.        E. Katoppo, Nuku, Sultan Saidul Jehad Muhamad El Mabus Amirudin Syah, Kaicil Paparangan, Sultan Tidore: Riwayat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Maluku Utara 1780–1805 (Jakarta: Sinar Harapan, 1984); L.Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993); M.S. Widjojo, Cross-Cultural Alliance-making and Local Resistance in the Moluccas during the
Revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810: A Historical-Anthropological Study into the Resistance of the Moluccan vis-à-vis Western Strive for Hegemony and Domination
(Leiden: Brill, forthcoming).

3.        J.L. Anderson, “Piracy and World History: An Economic Perspective on Maritime Predation”, Journal of World History 6 (1995): 175–76.

4.        W.A. Hanna, Indonesian Banda; Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands (Philadelphia: ISHI, 1978), pp. 11, 25–30, 38–41, 49–61; G.J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656–1696 (Leiden: KITLV Press, second revised imprint, 2004), pp. 20–30.

5.        Knaap, Kruidnagelen, pp. 65, 67, 73.

6.       W. Buijze, De generale lant-beschrijvinge van het Ambonse gouvernment … door G.E. Rumphius (Den Haag: n.p., 2001), pp. 85–87; Knaap, Kruidnagelen, p. 73.

7.        Terminologi Belanda untuk menggambarkan gelar seperti Gubernur

8.        P.A. Tiele, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel, vol. 1 (’s-Gravenhage: Nijhoff, 1886), pp. 304, 331; G.E. Rumphius, “De Ambonse historie behelsende een kort verhaal der
gedenkwaardigste geschiedenissen zo in vreede als oorlog […]”, Bijdragen totof society. On the contrary, the phenomenon was taken for granted and the elite was often heavily involved.

9.       Rumphius, “Ambonse historie” 1, pp. 43, 87.

10.     J.E. Heeres, “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”, vol. 1, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 57 (1907), pp. 336, 535; J.E. Heeres, “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”, vol. 2, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde
87 (1931), pp. 6, 72; Rumphius, “Ambonse historie”, vol. 1, pp. 282–83, 292, 297.

11.       National Archives, VOC 1205: pp. 803v–810r; Rumphius, “Ambonse historie”, 2, pp. 64–66; Heeres. “Corpus Diplomaticum”, vol. 2, p. 72.

12.      Knaap, Kruidnagelen, p. 74.

13.      W.Ph. Coolhaas, Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, vol. 4, pp. 242–43; Knaap, Kruidnagelen, pp. 74–75.

14.      Coolhaas, Generale missiven, vol. 4, pp. 405–06; Knaap, Kruidnagelen, pp. 75–76.

15.      Coolhaas, Generale missiven, vol. 4, pp. 604, 713; Knaap, Kruidnagelen, p. 76.

16.     P.A. Leupe, “De reizen der Nederlanders naar Nieuw-Guinea en de Papoesche eilanden in de 17e en 18e eeuw”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1875), p. 104; F.W. Stapel, “Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum”, vol. 4, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 93 (1935), p. 184; Coolhaas, Generale Missiven, vol. 6, p. 105.

17.      Andaya, World of Maluku, pp. 117, 132–34, 138–43, 152–60.

18.      P.A. Tiele and J.E. Heeres, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel, vol. 2 (’s-Gravenhage: Nijhoff, 1890), pp. 6, 8.

19.     Heeres, “Corpus Diplomaticum”, vol. 2, pp. 352–53; F.W. Stapel, Pieter van Dam, Beschrijvinge van de Oostindische Compagnie, vol. 2-1 (’s-Gravenhage: Nijhoff, 1931), pp. 43, 111; Knaap, Kruidnagelen, p. 75.

20.     F.W. Stapel, “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”, vol. 3, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 91 (1934), p. 502; Coolhaas, Generale missiven, vol. 5, pp. 448, 495.

21.      Stapel, “Corpus Diplomaticum”, vol. 4, p. 184;

22.     W.Ph. Coolhaas, Generale missiven, vol. 6, pp. 96, 119, 295.

23.      Andaya, World of Maluku, pp. 99–100, 192–201.

24.     Coolhaas, Generale missiven, vol. 5, pp. 394, 448, 585; Coolhaas, Generale missiven, vol. 6, p. 672.

25.     Rumphius, “Ambonse historie” 2, p. 133; Buijze, Lant-beschrijvinge, pp. 89– 90.

26.    A. Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea en de Papoesche eilanden; Historische bijdrage, ±1500–1883, vol. 1 (Batavia, ’s-Gravenhage: Bruining/Nijhoff, 1884), pp. 135–36. 26. Haga, Nieuw Guinea, pp. 17, 65–67, 99, 102–20, 133, 139–40, 176.

27.     F.C. Kamma, Koreri; Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area (The Hague: Nijhoff, 1972), pp. 215–17; Andaya, World of Maluku, pp. 55–59, 66, 69, 104–06, 172–73, 242–43.

28.     Andaya, World of Maluku, p. 99; F. Huizinga, “Relations between Tidore and the North Coast of New Guinea in the Nineteenth Century”, in J. Miedema, C. Odé, R.A.C. Dam, eds., Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia (Proceedings of the Conference, Leiden, 13–17 October 1997) (Amsterdam: Rodopi, 1998), p. 393.

29.    Andaya, World of Maluku, pp. 101, 107.

30.    F.C. Kamma, “De verhouding tussen Tidore en de Papoese eilanden in legende en historie”, Indonesië 1 (1948), number 4, pp. 364–70, number 6, pp. 536–41, 545; H. Arfan, “Peranan pemerintah tradisional kepulauan Raja
Ampat waktu dulu”, in E.K.M. Masinambow, ed., Halmahera dan Raja Ampat sebagai kesatuan majemuk; Studi-studi terhadap suatu daerah transisi (Jakarta: LEKNAS/LIPI, 1987), pp. 210–11.

31.      F. Valentijn, “Beschrijving der Moluccos”, Oud en Nieuw Oost-Indiën, vol. 1. (Dordrecht/Amsterdam: Van Braam/Onder de Linden, 1724), p. 248; Andaya, World of Maluku, pp. 106, 108; R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo; Pergolakan sekitar Laut Seram awal abad 19 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), pp. 107–08, 137.

32.     Kamma, “Tidore en de Papoese eilanden”, Indonesië 2 (1948), number 2, pp. 184–85, number 3, pp. 259–61, 265–68; Huizinga, “Relations”, pp. 402–05; Knaap, Kruidnagelen, pp. 200–01.

33.     Kamma, “Tidore en de Papoese eilanden”, Indonesië 2 (1948), number 2, pp. 180–83.

34.     Arfan, “Pemerintah tradisional”, pp. 211–14.

35.     J. Miedema and W.A.L. Stokhof, Memories van overgave van de afdeling West Nieuw-Guinea, vol. 2 (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1993), pp. 322–31.

Catatan Tambahan :

a.        Pada periode ini (1653) Simon Jacobszoon Cos menjabat sebagai Secunde Gubernemen VOC Amboina, dengan pangkat Opperkoopman (Pedagang Senior)

b.       Saifudin atau Kaicili Golafino menjadi Sultan Tidore pada 1657 – 1689 (hal 55)

§  M.S. Widjojo, Cross-Cultural Alliance-making and Local Resistance in the Moluccas during the
Revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810: A Historical-Anthropological Study into the Resistance of the Moluccan vis-à-vis Western Strive for Hegemony and Domination,
appendiks 1 (hal 261)

§  De Clercq, F.S.A. Ternate, The Residency and Its Sultanate (Bijdragen tot de kennis de Residentie Ternate, 1890) --à (Edisi Terjemahan Bahasa Inggris oleh Paul Michael Taylor dan Marie N Richards), Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, hal 115 – 117

§  W.Ph. Coolhas, Generale Missiven, deel 3, hal 150, catatan kaki no 4

c.        Sultan Sibori atau Sultan Amsterdam menjadi Sultan Ternate pada 1675 – 1690, namun menurut Pieter van Der Crab, Sultan Sibori berkuasa pada 1675 - 1691

§  M.S. Widjojo, Cross-Cultural Alliance-making and Local Resistance in the Moluccas during the
Revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810: A Historical-Anthropological Study into the Resistance of the Moluccan vis-à-vis Western Strive for Hegemony and Domination,
appendiks 1 (hal 262)

§  De Clercq, F.S.A. Ternate, The Residency and Its Sultanate (Bijdragen tot de kennis de Residentie Ternate, 1890) --à (Edisi Terjemahan Bahasa Inggris oleh Paul Michael Taylor dan Marie N Richards), Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, hal 116 - 117

d.       Sultan Hamza Fahrudin atau Kaicili Seram menjadi Sultan Tidore pada 1689 – 1700, namun sumber-sumber lain menyebut ia memerintah pada 1689 – 1707

§   M.S. Widjojo, Cross-Cultural Alliance-making and Local Resistance in the Moluccas during the
Revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810: A Historical-Anthropological Study into the Resistance of the Moluccan vis-à-vis Western Strive for Hegemony and Domination,
appendiks 1 (hal 261)

§  De Clercq, F.S.A. Ternate, The Residency and Its Sultanate (Bijdragen tot de kennis de Residentie Ternate, 1890) (Edisi Terjemahan Bahasa Inggris oleh Paul Michael Taylor dan Marie N Richards), Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, hal 117, catatan kaki nomor 72

§  M.S. Widjojo, Papuan Raiding Enterprise in the Moluccan Waters of the 18th century, 2003

§  Leonard. Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), hal 192

e.        Nama pemimpin Maba yang dilarang ke Ceylon adalah Butahi

§  W.Ph. Coolhaas, Generale missiven, vol. 6, hal 295

f.         Nama kapitan laut Bacan ini bernama Kiaij Chili Paunussa

§  Rumphius, “Ambonse historie” deel 2, p. 133

g.        Nama putri Tidore yang diberikan kepada Gurubesi sebagai istri adalah Boki Taebah atau Boki Taibah

§   Leonard. Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), hal 105

§  Leeden, A. C. Van der. "The Raja Ampat Islands: A Mythological Interpretation." In E. K. M. Masinambow (ed.), Halmahera dan Raja Ampat sebagai Kesatuan Majemuk. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1987., hal 217 – 245

§  F.C. Kamma, De Verhouding tussen Tidore en de Papoese Eilanden in Legende en Historie. Indonesie l (1947-48):363-370, 536-559; 2(1948-49): 177-188, 256-275.

§  Johszua.R. Mansoben, Sistim Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI, Jakarta, 1995, hal 235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar