Selasa, 27 Juli 2021

Gereja, Adat dan Theologia. Sejarah singkat Amahai, Negeri Kristen di Ceram (1600 -1935)


[Chr.G.F. de Jong]

  
  1. Kata Pengantar

Artikel sepanjang 20 halaman ini, ditulis oleh sejarahwan gereja Chr.G.F. de Jong dengan judul berbahasa Belanda Kerk, adat en theologie. Een korte geschiedenis van Amahai, een christelijke negorij op Ceram 1600 -1935, yang dimuat pada Balanceren op de smalle weg. Liber Amicorum voor Kees van Duin, Alle Hoekema en Sjouke Voolstra, yang disunting oleh Lies Brusse-van der Zee, Annelies Verbeek, Piet Visser dan Ruth Winsemius, dan berada pada halaman 313 – 332.

Pada artikel ini, de Jong membahas tentang sejarah 3 abad kehidupan gereja di Amahai, lebih tepatnya di distrik Amahai. Ia memulainya dengan fragmen singkat sejarah pendirian negeri Amahai, dilanjutkan dengan asal mula penginjilan (protestan) yang dilakukan oleh pendeta Jan Janszoon Brund pada tahun 1647 saat mengunjungi Amahai. Garis besar kehidupan gereja di Amahai pada abad ke-17 dan ke-18, yang kemudian dilanjutkan dengan kunjungan beberapa pendeta hingga akhir abad ke-19.

Membaca dan memahami isi artikel ini, minimal kita mengetahui beginilah relasi penduduk lokal atau pribumi dengan Kekristenan pada masa awal dan adaptasi mereka terhadap agama “baru” tersebut dengan agama nenek moyang mereka. Hal ini juga bisa menjadi gambaran “umum” yang terjadi di negeri-negeri lain, meski karakteristik terperinci pastilah berbeda-beda di setiap tempat.

Artikel ini terdiri dari 76 catatan kaki dan sayangnya tidak ada gambar ilustrasi dalam artikel, sehingga pada artikel yang diterjemahkan ini, kami memasukan beberapa gambar/foto ilustrasi, catatan tambahan dan “melengkapinya” dengan lampiran daftar hulpprediker atau pendeta bantu yang bertugas di distrik Amahai sejak tahun 1864 – 1935.

 

  1. Terjemahan
  1. Pendahuluan  

Dalam kajian ini, perhatian akan difokuskan pada lebih dari 3 abad gereja dan agama Kristen di Amahai, sebuah negeri di pesisir selatan Seram, pulau terbesar di Maluku Tengah. Sejarah yang dibahas di sini, membentang dari berdirinya negeri sekitar tahun 1600 hingga tahun 1935, tahun dimana berdirinya Gereja Protestan Maluku (atau GPM). Sejarah ini juga memunculkan beberapa catatan tentang perkembangan teologi sendiri di Maluku.

  1. Pembentukan Negeri

2.1.                 Leluhur Tomanoesa

Hanya beberapa negeri di Seram yang [sejarah] asal usulnya diketahui. Contoh negeri yang bagus dalam kasus ini adalah Amahai, yang terletak di pantai timur teluk Elpaputih, meskipun tidak selalu mungkin untuk membedakan antara fakta sejarah dan “fantasi”. Seperti banyak cerita semacam itu, di Amahai, legitimasi keluarga (clan) utama yang berkuasa, yaitu Wattimena, telah terbentuk pada peranannya yang menonjol dalam hal pendirian negeri1.

Kisah tersebut, yang juga memperjelas betapa rumitnya sejarah pemukiman di pantai Seram, menyebutkan bahwa sekitar tahun 1600, seorang yang bernama TOMANOESA, seorang pedagang dari Banda, tiba di lokasi yang kemudian menjadi Amahai2, sebidang tanah yang tidak begitu luas dan tidak berpenghuni di antara bukit (gunung) Kraai dan laut. Di sana, ia bertemu dengan seorang alfur3 bernama WAELO, dari pegunungan tetangga dan membuat perjanjian persahabatan dengannya, dimana TOMANOESA, penduduk (orang) pertama di daerah itu, diakui sebagai penguasa dan tuan tanah (penguasa/pemilik wilayah). WAELO kemudian mencoba membujuk penduduk lainnya di gunung untuk mengikuti sikapnya, dan kembali ke pesisir dengan seorang laki-laki bernama KOHOEWOL, dari aman (negeri/desa) Halatu, yang padat penduduknya. Awalnya mereka hanya dengan satu orang ini (Kohoewol) dan Malesy van Halatu. Tetapi ketika TOMANOESA mengambil putri dari malesy itu sebagai istri, semua aman Halatu menetap di Amahai.

Suatu hari, WAELO diutus lagi untuk mencari orang-orang di pegunungan. Dia bertemu dengan malesy van Paorite, suatu negeri lain, namun malesy itu menolak untuk berbicara dan bahkan memulai pertempuran, dimana ia terbunuh. TOMANOESA menyerang Paorite dan menangkap 10 orang, sisanya dibunuh atau melarikan diri ke hutan. Setelah itu, TOMANOESA berhasil membujuk beberapa clan dari Tupisela dan negeri-negeri lain di sekitarnya untuk menetap di Amahai, di antaranya seorang bernama KAKIAAI (=”pemimpin”)5, yang merupakan “penguasa negeri yang sebenarnya” atau tuan tanah, tetapi yang karena alasan yang tidak diketahui, telah melepaskan haknya6 [itu]. Juga beberapa orang dari Nusalaut dan Ambon serta puluhan pedagang Muslim dari Saparua, beberapa di antaranya adalah orang Arab, menetap di Amahai. Mereka tinggal di sana di tengah-tengah populasi alfur dari pedalaman Seram. Melalui perkawinan anak-anak TOMANOESA, ikatan keluarga elit Amahai terbentuk dengan garis-garis keturunan kepala negeri tetangga lainnya, seperti Makariki, dimana pada akhir abad ke-19, beberapa kepala negeri menyandang nama Wattimena7.

2.2.                 Pembentukan DATI

Penduduk Amahai yang “multi kultural” ini kemudian dibagi menjadi 20 dati, yang utama adalah : Wattimena, yang berarti “dia yang berdiri di depan” atau raja; ini adalah dati TOMANOESA, yang mengganti nama lamanya (Tomanoesa) dengan yang baru (Wattimena). Dari Wattimena yang Pertama (Wattimena I) menurunkan latu (pemimpin) Amahai dalam garis lurus. Pada tahun 1847, itu adalah Wattimena Kedelapan (Wattimena VIII). Dati kedua adalah WAELO, yang mendapat nama dari TOEPAMAHOE, yang berarti “dia yang duduk di sebelah kakak [saudara laki-laki], sehingga menjadi orang kedua dalam urutan sosial lokal. Keturunannya masih hidup pada pertengahan abad ke-19. Dati ketiga adalah KOHOEWOL, yang disebut LASSAMAHOE, dan keturunannya masih hidup pada waktu itu. Dati keempat adalah dati malesy Halatu. 16 belas dati sisanya termasuk orang-orang dari Halatu, Paorite, Nusalaut dan Saparua. Kedua puluh dati itu dibagi menjadi 4 soa, yaitu Soa Lokollo (di bawah Wattimena), Soa Nopu (di bawah Kakiaai), Soa Latu (di bawah Wattimoeri), dan Soa Lesy (di bawah bekas malesy Halatu, ayah mertua Wattimena I).

2.3.                 Wattimena I dan Steven van der Haghen

Cerita berlanjut dengan informasi bahwa ketika Wattimena I masih hidup, laksamana Steven van der Haghen, orang yang mengalahkan Portugis pada tahun 1605 di Ambon, melakukan ekspedisi hukuman ke Seram atas pembunuhan sejumlah pegawai kompeni. Wattimena I membantunya dalam hal ini dengan kekuatan militer, dan sebagai imbalannya, ia ditunjuk oleh Van der Haghen sebagai orang kaija Amahai, di bawah perlindungan dan kekuasaan VOC. Selanjutnya, menurut kebiasaan waktu itu, ia dianugerahi nama laksamana tersebut dan diizinkan untuk menyebut dirinya “Steven van der Haghen”, yang nama kehormatannya digunakan oleh keturunan Wattimena dalam dokumen resmi dan dalam pengumuman hingga periode abad ke-198. Biasanya pandangan penguasa VOC selalu tertuju pada Amahai, dan ketika kebakaran yang menghancurkan semua rumah di desa itu pada bulan Januari 1649, penduduk menerima antara lain, 300 real dari tentara dan setumpuk pakaian, serta sumbangan 50 real dari yang Mulia Gubernur Arnold de Vlaming van Outshoorn”9

Sumber foto : artikel G.L. Tichelman

  1. Asal Usul Jemaat Kristen Protestan di Amahai : Jan Jansen Brund

Kebengisan De Vlamingh, yang dikenal di Maluku sebagai penguasa yang sangat keras dan kejam (1647-1651, 1654-1656), tidak hanya dimaksudkan sebagai ungkapan ikatan persahabatan lama, tetapi terutama untuk menciptakan kesetiaan populasi dan untuk mendukung pekerjaan konversi yang baru dimulai di Amahai. Jejak tertua kehidupan gerejawi yang kurang lebih terorganisir di Amahai berasal dari tahun 1647, ketika menurut Rumphius dan Valentijn, pendeta yang bertugas di Saparua, Jan Jansen Brund10/a, mengunjungi negeri tersebut untuk pertama kalinya dan membaptis sejumlah penduduk11. Elpaputih dengan negeri-negeri di sekitarnya yang terletak di bagian barat teluk Elpaputih, menyusul beberapa tahun kemudian12. Sebagian besar penganut agama tradisional yang menganut agama Kristen, bukan Islam, sampai saat itu merupakan mayoritas penduduk di sepanjang teluk dan pesisir. Akibatnya, garis pemisah agama antara Muslim (“Melayu” dalam bahasa sehari-hari) dan Kristen/Alfur sebagian besar juga merupakan garis pemisah etnis dan ekonomi. Yang terakhir ini (etnis dan ekonomi) terjadi di seluruh Seram hingga abad ke-20, tanpa hal ini mengarah pada ketegangan apa pun. Sebaliknya, kecuali beberapa aksi potong kepala (pengayauan atau perburuan kepala), relasi antara kelompok populasi yang berbeda-beda ini selalu baik13. Seperti kebiasaan dalam misinya, Brund menginstruksikan penduduk dalam prinsip-prinsip Kekristenan dan menjalankan beberapa disiplin di antara mereka. Meskipun tidak ada yang diketahui tentang tuntutan yang dia (Brund) dan rekan-rekannya lakukan kepada orang-orang percaya baru – mengingat keluhan terus menerus tentang “pekerjaan setan”14 mereka yang pasti tidak terlalu berat – dia tampaknya melakukannya dengan banyak keberhasilan mengingat jumlah yang dibaptis meningkat pesat. Jumlah mereka telah mencapai 114 pada April 164815, dan pada awal tahun 1649, setelah kunjungannya yang ketiga itu, berkat pelayanan yang baik dari kepala sekolah pribumi yang baru di Amahaib, yang juga bertanggungjawab di desa-desa tetangga seperti Makariki dan Soahuku, meningkat menjadi 513, yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak16. Setelah itu, pertumbuhannya tetap mendatar karena kegiatan konversi agama dan kehidupan gereja telah stabil. Kadang-kadang bahkan terancam punah akibat perang antar desa-desa dan serangan suku-suku pegunungan melawan penduduk negeri pesisir – seperti yang terjadi, misalnya di desa tetangga yaitu Sepa, dimana pada awalnya beberapa orang Kristen juga tinggal di situ, tetapi pada November 1677, semuanya dibunuh oleh Alfur. Setelah kejadian ini, “orang sarani” telah menghilang dari Sepa untuk selamanya17.

Sejauh menyangkut pertumbuhan di Amahai sejak pertengahan abad ke-17, itu terutama berasal dari angka kelahiran. Namun, kadang-kadang ada Muslim dan Alfur yang mengikuti instruksi baptisan dan bergabung dengan gereja, seperti pada bulan Desember 1673 ketika pendeta Gualteri Peregrinus di Ambon melaporkan “ 3 wanita meninggalkan Islam, dan 3 wanita serta 7 laki-laki yang berasal dari agama kafir, setelah membuat pengakuannya untuk kami, membiarkan kami membaptis 10 anak dan kemudian melayani perjamuan kudus dengan 15 orang anggota katekisasi”18. Seabad kemudian, pada tahun 1757, jumlah orang Kristen “tua” (dewasa) di Amahai adalah 449 orang, 15 orang diantaranya adalah anggota katekisasi, sedangkan rata-rata jumlah anak yang bersekolah adalah 45 anak. Ada 20 orang calon baptisan saat itu. Sekolah tidak terlalu populer, karena tingkat ketidakhadiran yang tinggi : jumlah rata-rata anak usia sekolah yang tidak bersekolah adalah 269 orang19. Dari laporan kunjungan dan laporan perjalanan, tampak bahwa pada masa VOC, “pesisir dalam” Seram, pesisir ke arah Ambon dan Uliaser yang berada di bawah kewenangan VOC, secara teratur dikunjungi oleh pendeta yang bertugas di Saparua dan Ambon, yang biasanya disertai oleh satu atau lebih tetua (penatua) Belanda atau Melayu. Dalam perjalanan mereka, mereka membaptis, menikahkan, membuka gereja baru, mengukuhkan anggota katekisasi, menyelesaikan proses disiplin, mengunjungi sekolah, dan memantau kepala sekolah untuk pencapaian mereka dan anak-anak untuk kemajuan mereka. Jemaat membangun dan merawat gereja dan sekolah. Pendidikan kerakyatan (sampai sekitar tahun 1870), seluruhnya terfokus pada persiapan keanggotaan gereja dan oleh karena itu, hampir tidak ada atau sama sekali tidak dihadiri oleh anak-anak Muslim. Banyak pemukiman Muslim memiliki pendidikan mereka sendiri, yang dijalankan oleh seorang imam dan pembantunya. Pendidikan Kristen sering terhambat oleh kurangnya bahan ajar yang memadai dan berkali-kali meminta bahan ajar matematika melayu dan buku bacaan, pena, kertas, katekismus, Alkitab dan buku Mazmur dengan dan tanpa catatan, dikirim ke Ambon dan Batavia. Menjelang akhir periode VOC, frekuensi misi mulai menurun, baik karena meningkatnya ketidakamanan di laut dan penghancuran desa-desa dan gereja di Seram20, serta karena kekurangan uang dan pendeta. 

Joseph Kam

  1. Amahai di abad ke-19

4.1.                 Kunjungan Roorda van Eysinga dan Carey 

Setelah masa pergolakan pemerintahan sementara Inggris (1796-1803 dan 1810-1817) dan perang Pattimura (1817) di Maluku, kunjungan pendeta dari Ambon dan Batavia ke jemaat gereja di Seram dilanjutkan, seperti kunjungan pendeta S.Roorda van Eysinga pada tahun 182321, yang membaptis 2 anak dari budak di Amahai yang dimiliki oleh salah satu dari 2 orang kaija (pemimpin desa/negeri)22/c. Tetapi abad ini juga menciptakan sesuatu yang tidak ada di zaman sebelumnya yaitu gelombang misionaris (kegiatan zending). Yang pertama adalah Jabez Carey, seorang Inggris dan seorang dari golongan Baptis23, yang bertugas di Ambon dari tahun 1814 hingga 1818 dan mengunjungi Amahai dalam perjalanannya di akhir tahun 181524.

4.2.                Joseph Kam dan Jan Starink

Pada bulan Maret 1815, Joseph Kam (1769-1833) tiba di Ambon, sang “Rasul Maluku”, demikian Enklaar menyebut dirinya karena otoritas dan pengaruhnya25. Kam dan penerusnya dikirim oleh Nederlands Zendelinggenootschap (NZG) karena kurangnya pendeta dan terutama ditujukan untuk mengurus dan melayani apa yang disebut jemaat-jemaat terpencil, jemaat-jemaat pribumi di luar kota Ambon. Kam, yang secara keliru menampilkan dirinya sebagai seorang pendeta26, bukanlah orang yang tegas dalam hal pelestarian tradisi pra-Kristen di dalam jemaat-jemaat Kristen. Dia lebih banyak “menegur” daripada menghukum27. Lebih ketat dan tegas dalam soal doktrin dan moral daripada Kam, adalah misionaris Jan Starink yang bertugas di Elpaputih dari tahun 1822 hingga 1825, dan dari sana juga ia melayani di Amahai. Senjata perjuangannya yang paling penting adalah perlawanan terang-terangan melawan apa yang dia anggap sebagai penyembahan berhala. Ketika dalam kunjungannya ke Amahai pada 19 Desember 1824, dia berhasil membujuk orang-orang untuk menunjukan kepadanya benda-benda sakral mereka, dia membakar sebagian di depan umum dan sisanya dibuang ke laut. Penduduk, bagaimanapun, tidak menerima tindakan penghancuran paksa kebiasaan mereka dan nenek moyang mereka, dan selanjutnya – bahkan lebih dari sebelumnya – mereka menolak untuk ke gereja dan sekolah : “[karena] kebanyakan orang Kristen di sini menganggap agama nenek moyang mereka, adalah agama mereka juga”, menurut Starink pada bulan Maret 182528. Selain itu, pada bulan Maret 1825, seorang pemuda dari Amahai dipotong oleh seorang Alifuru dari Workai, negeri pegunungan, hanya untuk mengambil rambut dari kepalanya. (adalah kebiasaan di antara para alifuru di wilayah itu, bahwa ketika salah satu keluarga mereka meninggal, mereka harus berpuasa dari semua kesenangan duniawi sampai mereka mengambil sebagian rambut dari orang yang telah mereka bunuh atau orang lain). Aksi ini mengakibatkan rencana balas dendam, yang dilakukan dengan semua ritual dan mantera yang diperlukan29. Usaha ini bahkan dilakukan untuk membunuh Starink, yang ingin mencegah tindakan balas dendam itu, sehingga dia terpaksa melarikan diri ke Ambon30.

Orang-orang Amahai tidak menyerah pada tekanan dari gereja atau pemerintah. Seperti di banyak negeri lainnya, Kekristenan tampaknya memiliki pengaruh yang kecil dalam kehidupan sehari-hari dan kebiasaan keagamaan serta lembaga adat pra-Kristen hampir tidak terpengaruh oleh kekristenan. Hal ini tidaklah mengejutkan. Kam mengunjungi jemaat, paling banyak setahun sekali, sedangkan kehadiran kepala sekolah-pendeta sendiri biasanya memiliki pengaruh pendidikan yang kecil, terutama bila tidak didukung secara eksplisit oleh pemimpin negeri. Dan yang terakhir ini (dukungan pemimpin negeri) jarang terjadi. Pada bulan November 1834 dan sekali lagi pada bulan Oktober 1835, misionaris P. Keijser, salah satu penerus Kam, mengunjungi Amahai. Setelah kunjungan pertamanya, ia menulis tentang jemaat itu dan sekolah :

Hampir semuanya di sini kembali menyebabkan kesedihan. Jemaat tidak hanya meninggalkan banyak hal yang kami ingginkan, tetapi sekolah juga menciptakan rasa ketakutan bagi anak-anak. Anak-anak adalah yang paling nakal yang saya temui dalam perjalanan saya selama ini, hanya sedikit sekali yang bisa membaca dan itu sangat buruk, banyak laki-laki hampir tidak mengenal huruf, sehingga walaupun saya ingin mengeluarkan mereka dari sekolah, saya terpaksa membiarkan mereka tetap bersekolah31.

Setahun kemudian, dia (Keijser) menemukan usaha ikonoklasme Starink tidak memiliki efek yang berarti :

Mendengar beberapa hari sebelumnya tentang takhayul yang telah secara terbukan dilakukan selama desas-desus tentang penyerangan, saya memiliki pemikiran yang menyedihkan bahwa sekolah dan gereja akan menderita kerugian yang cukup besar. Dan sekarang berada di sini, saya mengalami ini semua. Jadi saya terpaksa menyampaikan peringatan serius dan untuk melaporkan ketidaksenonohan dan tidak pentingnya takhayul yang dilakukan32.

Tapi, dia juga gagal membujuk penduduk untuk berubah pikiran.

J.E.Jellesma, misionaris yang mengunjungi Amahai (1846)

                Pada tahun 1846, laporan tentang Amahai agak lebih baik dari biasanya, karena fakta bahwa seorang kepala negeri baru, yaitu seorang Pattijd, secara terbuka mendukung kepala sekolah – pendeta, L.A. Tanasalee, yang rajin dan cakap tidak hanya dalam pekerjaannya tetapi juga dalam pembinaan keagamaan warganya yang dikenai hukuman. Pada tahun itu, misionaris NZG, Jellesma33 mengunjungi negeri. Pada waktu itu, penduduknya sebanyak 880 jiwa, 95 diantaranya adalah anggota jemaat gereja : 63 orang anggota katekisasi dan 32 anggota baptis dewasa yang dianggap oleh Jellesma telah cukup diajar doktrin Kristen untuk diterima ke dalam jemaat. Dengan pengecualian sejumlah Muslim, masyarakat desa lainnya, termasuk kaum muda, (kadang-kadang) memiliki pendidikan agama atau, kadang-kadang, menunjukan minat pada agama Kristen – dan oleh karena itu terdaftar sebagai “Kristen” dalam deskripsi “sensus penduduk” pemerintah. Dari 161 anak yang namanya tercantum dalam daftar sekolah, jumlah yang mengejutkan adalah 127 anak yang berada di sekolah itu saat Jellesma berkunjung dan dia tidak puas dengan kemampuan mereka. Adapun dari 32 calon anggota katekisasi, 12 orang dapat membaca dan menulis, sehingga ia menyampaikan keluhan yang banyak di dengar di Eropa tentang kekristenan, yaitu bahwa segala hal tentang iman telah dihafal dengan baik, tetapi tidak dipahami. Namun pengelolaan mereka memuaskan, dan setelah mencatat bahwa jumlah anak “haram” di antara mereka sedikit – sekitar ¼ dari jumlah34ia memutuskan untuk mengukuhkan mereka sebagai anggota katekisasi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, perjamuan kudus dijalankan lagi di Amahai, ”yang sangat mencerahkan adalah” : dari 63 anggota, 50 anggota menghadiri, sisanya sakit atau berada di luar desa. Di Amahai, seperti di pemukiman Kristen lainnya, tidak lazim bagi anggota yang baru direkrut untuk menerima sakramen sekaligus. Anggota baru hanya diizinkan untuk menghadiri pelayanan untuk pertama kalinya. Jellesma menolak ini dengan alasan aturan gereja, tetapi untuk menghindari kepekaan yang ada, dia menunda penerimaan anggota baru sampai setelah perjamuan kudus35.

4.3.                Kakiaij dan Maijarie

Meskipun misionaris yang berkunjung, Willem Luijke36, tidak puas dengan apa yang dia temui pada tahun 184837, perkembangan relatif kehidupan gereja di Amahai ini tidak berlangsung lama. Pada akhir tahun 1848 – mungkin karena berita tentang revolusi di Eropa – terjadi kerusuhan di antara penduduk sejumlah pemukiman Kristen di sepanjang teluk Elpaputih dan lebih jauh ke barat (yaitu Amahai, Samasuru, Paulohy, Hatusua, Seruawan dan Kamarian). Kerusuhan ini disebabkan oleh 2 penduduk Kristen pribumi, Kakiaij dan Maijarief, yang menghasut penduduk untuk melawan pemimpin mereka. Orang-orang Amahai dan Samasuru mengikuti hasutan itu dan meninggalkan rumah mereka secara masal untuk mengangkat senjata, menghancurkan perkebunan pemerintah, menyerang pemukiman tetangga – meskipun Amahai berada di luar aliansi kakehan38 – bahkan memotong beberapaa kepala “musuh”. Seperti biasa, pemerintah bereaksi dengan melakukan beberapa ekspedisi militer (1849, 1851) dimana kedua negeri dihukum, dan diadakan saniri pada tahun 1851, antara lain untuk beberapa negeri yang menunjukan tanda-tanda mengikuti jejak Amahai dan Samasuru. Setelah beberapa tahun, perdamaian kembali tercipta, khususnya berkat mediasi beberapa regent dari Haruku dan Saparua, yang secara tradisional merupakan anggota saniri39. Penduduk Amahai dan Samasuru memang kembali ke tempat tinggal mereka yang lama, tetapi Kakiaij dan Maijarie berhasil meloloskan diri dari orang-orang yang ingin menangkap mereka, dan tetap menghasut rakyat untuk tetap memberontak dalam waktu yang lama40.

Pada tahun-tahun berikutnya, jemaat gereja di Amahai adalah pengecualian yang cukup menguntungkan bagi gambaran menyedihkan yang dilukiskan para misionaris tentang gereja-gereja di sepanjang pesisir selatan Seram, meskipun angka kehadiran di gereja di Amahai masih memprihatinkan : dengan lebih dari 700 jiwa Kristen, rata-rata hanya 20 orang yang hadir di gereja pada hari minggu (di tahun 1857) dan itu kebanyakan wanita berumur lanjut. Peperangan dan penyerangan masih mengganggu kedamaian dan ketenangan. Misalnya, kunjungan pertama misionaris baru, Van Ekris41 ke Amahai, yang bertugas mengurus jemaat di sepanjang pesisir selatan Seram sejak tahun 185742, dibatalkan karena penduduk desa telah memotong 2 kepala (mengayau) di negeri Muslim Sepa, menciptakan ketegangan di daerah tersebut, sedangkan pada tahun 1860, teluk Elpaputih menjadi tempat pertempuran sengit antara alifuru dan pemukim dari Saparua dan Haruku, dimana seorang kepala sekolah dan keluarganya tewas dengan cara dipenggal43. Selain itu, bagi Van Ekrisg, W. Schimenkeh, Asisten Residen Afdeeling van Saparoea-Haruku yang wilayah kekuasaannya termasuk Amahai, adalah seorang pejabat yang tidak menginginkan apa pun dari misi tersebut44

Radja van Amahai dan Patih van Souhuku di awal abad 20

4.4.                Misionaris / Pendeta bantu S.J. de Vries

Pada tahun 1863, Amahai memiliki pendeta Eropa pertama yaitu S.J. de Vries, yang disebabkan hadirnya garnisun militer yang bersifat sementara di sana45. Gereja Amahai pada waktu itu adalah bangunan yang indah meskipun berwarna agak “gelap”, yang seluruhnya dibangun menggunakan batu. Bangku-bangku, berupa sebagian besar papan longgar yang diletakan di atas potongan kayu, ditempatkan sedemikian rupa sehingga bagian tengah benar-benar kosong. Sebab, regent (Radja,Pattij, Orang Kaija) yang bangkunya menghadap mimbar, tidak ingin penduduknya duduk tepat di depannya dan membelakanginya46. Yuridiksi De Vries meliputi wilayah-wilayah di sepanjang teluk Elpaputih, serta Rumakai dan Tihulale, di sebelah baratnya. Kegiatannya terdiri dari memimpin ibadah hari minggu, memberikan katekismus biasa dan instruksi pembaptisan, menjalankan sakramen, memimpin ibadah pemakaman, ibadah pernikahan dan sejenisnya47. Meskipun sikapnya agak lebih lunak daripada Starink, pada tahun 1865 ia terpaksa meninggalkan tempat pekerjaannya tersebut bersama istri dan anaknya untuk alasan yang sama. Dia bisa kembali setelah beberapa saat, tapi dia bilang ia selalu memiliki “senjata” di tangannya48. Pemindahannya ke dalam pelayanan gereja pribumi (Indische Kerk) dan penunjukannya sebagai pendeta bantu pada tahun 1873, terutama memiliki siffnifikansi administratif. Transisi ini menunjukan bahwa era NZG di Maluku telah berakhir, dan kehidupan gereja di Amahai (dan di tempat lain) lebih terintegrasi secara organisasi ke dalam gereja pribumi daripada sebelumnya, dan dibawah pengawasan konsistori dan pendeta di Ambon. Penempatan pendeta bantu di Amahai (seperti tempat lain di Hindia Belanda) dilakukan melalui keputusan pemerintah, terkadang mengabaikan keinginan Gereja Pribumi; jemat lokal seperti di Amahai sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini. Sejauh menyangkut urusan internal wilayah Amahai, konsistori yang telah ada di Amahai selama beberapa waktu sekitar pergantian abad, tetapi harus dibubarkan kembali karena kurangnya minat, tidak bisa berbuat banyak, selain hanya mengatakan “ya dan amin pada apa yang disukai oleh pendeta bantu yang telah ditempatkan itu”49. 

4.5.                     Ekspansi

Pada tahun 1883, melalui keputusan pemerintah, seluruh Seram di sebelah timur Wahai-Seruawan, yang merupakan wilayah karesidenan Banda, ditambahkan ke wilayah tugas pendeta bantu Amahai50. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa Seram Timur menjadi daerah misi bagi jemaat di Amahai, pemerintah menetapkan negeri-negeri alifuru untuk dikonversi agama51. Istilah “misi” tidak digunakan dalam konteks ini demi kehati-hatian. Meskipun pendeta bantu Kelling di Amahai, mengumumkan pada tahun 1889 bahwa “tampaknya di wilayah saya ada keinginan besar untuk kekristenan”52, jumlah orang yang bertobat pada waktu itu masih terbatas. Oleh karena itu, tindakan tersebut tampaknya lebih diilhami oleh keinginan untuk mendahului usaha misi Katholik, yang sementara itu mengarahkan perhatian mereka pada daerah itu53. Tetapi dalam jangka panjang, perkataan Kelling benar, terutama karena setelah tahun 1900, jumlah orang Kristen di Seram meningkat. Pertumbuhan ini tidak berasal dari tingkat kelahiran di jemaat-jemaat yang ada, tetapi dari pertobatan dan pembentukan jemaat-jemaat baru terkait dengan keamanan pulau dan migrasi paksa banyak penduduk pedalaman ke wilayah pesisir54. Jumlah jiwa-jiwa Kristen di distrik Amahai (termasuk seluruh Seram Timur) memang tumbuh dari 7.349 pada tahun 1892, menjadi 10.599 pada tahun 1923, tetapi pertumbuhan ini terjadi seluruhnya di Seram Timur; jumlah jiwa dari jemaat Kristen yang lebih tua di teluk Elpaputih dan Teluti terus menurun pada tahun-tahun ini, sebagian karena alkoholisme, yang jauh lebih buruk di antara orang-orang Kristen daripada di kalangan Muslim dan Alifuru, juga dikombinasikan dengan pemberian sagu, menyebabkan kematian di atas rata-rata, juga perekrutan penduduk untuk serdadu dan polisi bersenjata yang lebih disukai berasal dari pemuda-pemuda Kristen55. Distrik Amahai memiliki 49 jemaat (tahun 1923), yang dipimpin oleh beberapa lusin guru pribumi dan guru jemaat (tidak berpendidikan)56.

Gereja denominasi lain, tidak ada di Amahai sebelum Perang Dunia II. Hanya di Kamarian dan Rumahkai, yang lebih jauh ke barat di pesisir selatan Seram, beberapa orang jemaat gereja Advent pada tahun 1934, kebanyakan merupakan pensiunan tentara dan keluarga mereka, yang pernah berinteraksi dengan aliran ini di tempat lain di Hindia Belanda57. Amahai tetap menjadi tempat tinggal pendeta bantu Belanda, yang terakhir sebelum berdirinya GPM tahun 1935 adalah D.F. Bunte58/i.

Terlepas dari suara-suara negatif yang bergema di sana-sini sehubungan dengan kondisi agama dan moral orang Kristen pribumi dibandingkan dengan Alifuru dan Muslim59, pada saat itu di distrik Amahai, partisipasi dalam ibadah umum, kebaktian rumah, katekisasi dan pengajaran pembaptisan, relatif bisa disebut baik. Secara khusus, katekismus dan kebaktian, yang berbagai bentuknya ada, merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari60. Namun, seperti Brund dan rekan-rekan pendeta pada abad ke-17 dan ke-18, juga Starink dan Van Ekris pada abad ke-19, Gereja Pribumi tidak berhasil juga untuk melarang semua elemen pra-Kristen di jemaat pada awal abad ke-20, dan untuk meyakinkan penduduk bahwa Kekristenan Calvinis yang tidak dogmatis dan lembut yang diwakili oleh Gereja, adalah semua yang dibutuhkan seseorang dalam hidup maupun mati. 

Salah satu jalan utama di Amahai (tahun 1920an)

  1. Sifat Kekristenan

Oleh karena itu, di Seram, peralihan suatu desa atau suku dari agama tradisional ke agama Kristen (atau) Islam, tidak berarti bahwa pengayauan, poligami, atau pemujaan leluhur telah berakhir atau tidak ada kepentingan agama lain selain Kristen. Oleh karena itu, kehadiran seorang misionaris Eropa di desa-desa Kristen, jarang menjadi sumber kegembiraan bagi penduduk, terutama dimana banyak terutama di mana banyak pendeta pribumi berbagi banyak, jika tidak semua, tentang kepercayaan pra-Kristen tentang domba-domba mereka dan karena itu menjadi gangguan mereka tentang hal itu. Seringkali misionaris, pendeta dan organisasi pelengkap/pendukung yang berkeliling, mereka menyadari dipaksa untuk menengahi permusuhan antar negeri-negeri Kristen yang timbul akibat penyerangan atau yang mereka khawatirkan akan segera mengarah pada tindakan potong kepala (pengayauan). Jika mereka mendapati satu atau lebih kepala yang baru dipotong atau benda gaib seperti matakau61 di sebuah jemaat, mereka segera – misionaris (penginjil) agak lebih gampang dan lebih cepat daripada pendeta – menunda perayaan sakramen dan melakukan percakapan pastoral dengan harapan bahwa seseorang akan memperbaiki hidupnya. Starink memberikan contoh percakapan seperti itu di salah satu suratnya :

14 September [1824] datang seorang laki-laki dari negeri Sama Suroe (Samasuru) kepada saya, dengan laporan bahwa seorang laki-laki dari negeri Poulohy (Paulohy) telah membunuh anaknya (ini adalah 2 negeri di Elpaputih). Saya (Starink) : Bagaimana kamu mengetahui hal itu, dan dengan cara apa dia membunuh anakmu?. Dia (Pelapor) : Ya, aku yakin dia melakukannya, karena dia juga membunuh ayahku beberapa waktu lalu dengan menggunakan cara yang sama yaitu matakouw (matakau). Saya (Starink) : Apa itu matakouw?. Dia (pelapor) : itu adalah seni setan, yang dia pelajari dari penduduk Amahy (Amahai). Saya (Starink) : apakah dia telah memberi anakmu sesuatu untuk dimakan atau diminum?. Dia (pelapor) berkata : Tidak, karena anak saya belum berumur 3 bulan, dan belum bisa makan apa-apa selain disusui. Saya (Starink) : bagaimana dia bisa membunuh anakmu, jika dia tidak menggunakan barang-barang miliknya? Ayahmu dan anakmu tidak dibunuh olehnya, tetapi Tuhan telah mengambil mereka darimu : karena setan tidak berkuasa atas hidup manusia, tetapi itu semua di bawah kendali Allah; seperti yang telah dikatakan Juruselamat kita, “Tidak sehelai rambut pun akan jatuh dari kepalamu, tanpa kehendak Bapa Surgawi”62. Kamu tidak boleh percaya pada hal-hal seperti itu, tetapi berusahalah untuk mengenal dan mengasihi Juruselamat dengan, dan kamu akan sepenuhnya ditebus dari kuasa iblis/setan63. 

Starink juga melawan agama tradisional dengan cara yang berbeda, yang dapat dilihat dari sejarah Amahai yang diuraikan di atas, tidak hanya berasal dari Amahai atau Seram saja pada waktu itu, tetapi juga unsur-unsur kuno dari seluruh Maluku dan bahkan berasal dari jauh64. Untuk tujuan itu, Starink telah menyebabkan orang-orang Amahai membawa benda-benda sakral mereka kepadanya. Benda-benda tersebut antara lain, anting-anting telinga, lengan dan jari yang terbuat dari timah, tembaga dan kerang, beberapa untaian batu karang, kancing, cangkir dan piring porselin, batu bulat, beberapa tambalan kapas merah dan putih, sutra, 4 patung kayu berusia tua, 2 di antaranya tanpa kepala, beberapa helai pakaian leluhur, 3 tabung bambu yang terisi rambut dari musuh yang telah mereka bunuh, rantai besi dengan 2 patung yang melekat, yang terikat oleh pita di sekelilingnya selama acara keagamaan, dan sejenisnya. Beberapa benda itu adalah milik pribadi, yang lain dimiliki oleh keluarga utama atau oleh seluruh negeri. Terlepas dari fakta bahwa agama Kristen telah menjadi agama dominan di Amahai selama hampir 2 abad dan pihak pemerintah telah merampas benda-benda seperti lebih dari satu kali, penduduk melestarikannya dengan sangat hati-hati, seperti yang dialkukan orang tua mereka65. Meskipun tidak ada rincian agama tradisional alifuru Amahai pada awal abad ke-19 yang ditemui, benda-benda ini, sejauh itu bukan mahar biasa, menunjukan banyak kemiripan dengan agama tradisional di tempat lain di Maluku Tengah66. Kecuali perbedaan lokal, agama ini berpusat pada makhluk tertinggi (di Seram Tengah dan Barat, disebut pada waktu itu dengan nama-nama seperti Opo Tata Pottoa, Upulanite, dan Opu Ama, pencipta langit dan bumi yang membalas kebaikan dan menghukum kejahatan, baik di kehidupan sekarang maupun di kehidupan yang akan datang. Kehendaknya dapat diketahui dengan mawe. Selain itu, juga ada Nitu, roh baik dan jahat yang tunduk pada makhluk tertinggi, kadang-kadang dari leluhur yang sudah mati, kadang-kadang tidak dikenal, yang coba didamaikan oleh orang-orang dengan berbagai cara. Nitu diharapkan bebas bergerak atau berdiam di tempat tertentu atau di objek atau bangunan tertentu, seperti di baileo. Penduduk membakar dupa untuk mereka, meletakan bendera pengorbanan kecil dari linen merah putih atau kapas di tanah dan mempersembahkan nazar kepada orang mati. Untuk tujuan ini, piring, mangkuk atau pinggan ditempatkan dengan koin, kain, bulu, cincin, batu, kertas dengan teks, rambut, buah pinang, buah jagung, telinga yang dipotong, hidung atau jari, sepotong hati manusia, atau sebatang rokok di bawah pohon seperti beringin, di tepi sungai atau di celah gunung, dan di tempat lain terkait dengan roh67. Nazar tertentu juga diikat sebagai jimat di cawat untuk melindungi diri dari peluru, tombak dan kelewang para pemburu kepala, yang lain juga digunakan untuk mengutuk atau membunuh musuh. Perdagangan barang-barang nazar ini berada di tangan para pedagang Muslim yang mendatangkannya dari Makasar dan Jawa.

W.H. Tutuarima (berjas), pendeta bantu yang pernah bertugas di Amahai (1931-1932)

  1. Nazar lama dan baru

Terutama setelah bencana, di saat bahaya dan ketidakpastian, penduduk, orang Kristen, Muslim dan Alifuru menggunakan segala macam ritual leluhur; kesulitan hidup biasanya dihubungkan dengan pengabaian terhadap warisan agama para leluhur. Mereka akan membangun yang baru atau memperbaiki baileo yang rusak dan menari cakalele selama siang dan malam68. Pada tahun 1925, orang-orang di Amahai yang telah mendaftar untuk dinas militer, masih melakukan pengorbanan di atas batu astana atau batu pemali yang ditempatkan di sebelah gereka69

 Karena selalu harus dan di mana-mana adalah nazar. Tidak dapat disangkal, terlepas dari semua perlawanan penduduk, Kristenisasi dan modernisasi masyarakat Alifuru telah mengakibatkan banyak warisan agama dan lembaga adat yang lama, hilang dan telah digantikan oleh “satu jenis budaya Ambon-Kristen”, sebagaimana dicatat oleh seorang pejabat pemerintah dalam tahun 192570. Tetapi penggunaan nazar, di sisi lain, menggambarkan bagaimana Kekristenan tidak “mengatasi” atau menggantikan unsur-unsur tertentu dari warisan itu, tetapi sampai batas tertentu “membersihkan” dan mengasimilasinya. Karena selain nazar sebagai persembahan kepada orang mati dan sebagai kutukan bagi musuh, yang dilakukan oleh jemaat Kristen karena benda-benda tersebut dipasok oleh pedagang Makasar hingga akhir tahun 193471, muncullah nazar “Kristen” pada abad ke-19 yang merajalela di hampir semua komunitas Kristen di Maluku Tengah pada akhir abad itu72. Ini terdiri dari 2 atau 3 kepin (sen) yang dibungkus kertas, disimpan di peti derma (kotak persembahan) di gereja. Memulai dengan sumbangan 2 sen, 2 saksi bagi Tuhan yang “membuka jalan”; jika penyembuhan atau permintaan diperoleh atau dicapai, maka “jalan ditutup” dengan 3 sen. Persembahan 3 sen ini merupakan kepada Tritunggal, tanda keseriusan dalam iman dan doa. Meja kecil di depan mimbar, dengan kotak atau peti kurban di atas, tidak lain adalah sebuah altar, dan kotak kurban itu sendiri “menggantikan” celah pohon dan cangkir tempat nazar dipersembahkan kepada para leluhur. Ada juga kombinasi bentuk lama dan baru : kadang-kadang Muslim atau Alifuru datang ke gereja pada hari minggu pagi untuk memasukan 2 sen ke dalam kotak persembahan untuk mengutuk seorang Kristen yang berhutang uang kepada mereka. Juga terjadi bahwa Alifuru memberikan beberapa sen kepada orang-orang Kristen untuk dimasukkan ke dalam peti, sebelum mereka pergi berburu secara besar-besaran73. Perkembangan nazar yang “dikristenkan” kemudian ditemui paralel di Belanda. Piring nazar atau natzar, piring dengan koin yang dibungkus kertas, saat ini digunakan di beberapa kalangan Maluku di Belanda yang menerima mistisme dan menganggapnya sebagai bagian yang terhormat dan lengkap dari praktik keagamaan Kristen modern, meskipun denominasi di Maluku tidak (belum) ingin terlibat di dalamnya. Tanpa disadari ternyata piring nazar Kristen sudah umum di Maluku pada abad ke-19, sekarang dianggap sebagai “tempat ibadah --- orang Maluku”, yang ditempatkan di “tempat suci” di rumah-rumah Maluku, sebuah “karunia Tuhan --- tanda khusus kehadiran Tuhan di tengah-tengah budaya kita, janji keterlibatan-Nya dengan keluarga, suatu “gereja kecil di dalam gereja”74.

 
G.L. Tichelman di rumah dinas di Amahai (1920)

  1. Catatan akhir

Gereja, negara dan misi di Hindia Belanda masing-masing dengan caranya sendiri, diungkapkan dalam istilah budaya-sejarah, berusaha untuk mengembangkan agama, hukum, untuk mempromosikan ide-ide dan nilai-nilai politik dan moral yang berasal dari dunia barat modern. Mengganti ide-ide dan nilai-nilai yang dengan orang lain, sering terbukti menjadi tugas yang sangat sulit, kadang-kadang tidak mungkin, terlebih lagi karena para protagonis dalam proses ini sering tidak setuju dan seringkali ada perbedaan antara apa yang dianut dan apa yang dipraktikkan. Itu adalah fenomena terakhir, khususnya ketidaksepakatan timbal-balik antara pejabat pemerintah, pendeta dan misionaris tentang tindakan mana yang diinginkan, perlu diizinkan atau tidak, yang menyebabkan kebingungan di antara penduduk Maluku. Secara alami, hampir tidak cenderung untuk berubah, di saat ketidakpastian itu, ia punya banyak pilihan selain bertahan atau jatuh kembali pada kebiasaan nenek moyang.  

Di kota-kota yang berasal dari masa VOC, serta di kota-kota yang muncul di Maluku pada abad ke-19 dan ke-20, transisi ke Kristen, betapapun drastisnya kadang-kadang dialami oleh mereka yang terlibat, jarang terjadi perubahan pandangan, ide dan moral agama Kristen. Meskipun misionaris keliling, pendeta dan kepala sekolah bertindak melawan keberadaan lanjutan ekspresi iman dan representasi pra-Kristen di jemaat, beberapa lebih kuat daripada yang lain, tentu tidak terkecuali bahwa baik orang Kristen lama maupun baru setelah kepergian guru-guru mereka, meninggalkan desa dan pergi ke hutan dan gunung untuk “berdamai” dengan roh nenek moyang, karena “ketidaktaatan” mereka kepada yang disucikan tradisi dan kebiasaan keluarga.

Penggabungan tradisi lama dan baru, tradisi timur dan agama barat yang tampak mudah ini, merupakan ciri khas Kristen Protestan yang berkembang di Maluku Tengah pada zaman Belanda. Apakah sinkretisme menjijikan yang dilihat beberpa orang sezaman di dalamnya? Apakah ini menunjukan kegagalan para pemimpin gerejawi dan otoritas agama (Eropa) dalam upaya mereka untuk “mendidik” penduduk pribumi?? Atau apakah ini bukan ciri-ciri dari apa yang disebut sejarahwan sebagai “budaya serapan” Asia Tenggara, dimana masa lalu jarang sekali, jika pernah dibuang, tetapi dilestarikan dalam bentuk baru, “suatu sintesis yang berkelanjutan”75. Tapi mungkin memang demikian, sintesis progresif realitas sejarah semua agama sepanjang masa, baik agama lokal berskala kecil di Asia dan Afrika maupun agama wahyu!?. Dengan kata lain, apakah ada Kekristenan yang “murni”, “tak lekang oleh waktu”, kekristenan yang tidak mengambil semua atau sebagian bentuk dan isi budaya tertentu, pada waktu tertentu, di tempat tertentu ?76.

===== selesai ===== 

Catatan Kaki.

1.         T.J. Willer, “Cahier No 1. Dagnotitieboek van de reis naar Ceram en Boeroe, begonnen 4 Mei 1847 tot 23
Juni 1847”, s.l., s.a., Archief Residentie Ambon, Arsip Nasional Republik Indonesia (AA) 588. Zie ook
G.L. Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch
Aardrijkskundig Genootschap, Derde Serie, Deel XLII (1925) 653-724, spec. hfdst. ii

2.        Periode ini tidaklah pasti, tetapi pasti sebelum tahun 1605. Sebuah kontrak yang berasal dari tahun 1617, menunjukan bahwa penduduk Amahai telah menjadi subjek atau “vasal” kastil Portugis. P.A. Tiele, ed., Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel. (3 delen, Den Haag: Martinus Nijhoff, 1886, 1890, 1895) I, 205.  

3.        Alfur (en) = istilah yang digunakan pada periode itu untuk menunjukan penduduk pribumi yang tidak diKristenkan dan diIslamkan  di seluruh wilayah Timur Indonesia, untuk membedakannya dari pedagang dan pelaut yang mayoritas Muslim dari tempat lain yang telah menetap di pesisir selama beberapa waktu. Zie bijv. “Wat zijn Alfoeren” in de Indische Gids, jrg 2 (1880) 117-118; en J.C. van Eerde, "De naam Alfoeren in Indonesië", Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e reeks, 36 (1919) 330-331. Alfoeren werden in de VOC-tijd ook wel “boeren” genoemd. Zie Tiele, Bouwstoffen, I, 316, 327 etc.

4.        Untuk berbagai fungsi dalam pemerintahan desa, zie F.L. Cooley, Altar and Throne in Central Moluccan societies. 4 delen. (Yale Univ., 1961) hfdst iii.

5.        Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 671.

6.       itu sering terjadi. zie G.J. Knaap, Kruidnagelen en christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125, Dordrecht: Foris Publications, 1987), 8-10.

7.        B.N.J. Roskott, Algemeen verslag over 1863, nov. 1863, Archief van de Raad voor de Zending der Nederlandse Hervormde Kerk (ARvdZ) 34/5.

8.        Willer, “Cahier Nº 1.”

9.       Kerkeraad Ambon a. kerkeraad Batavia, 1/5/1649, AA 992, fol. 279-282.

10.     J.J. Brund; 1641-1647 predikant te Ambon, 1647-1649 te Saparua, overl. 1650.

11.       Vgl. kerkenraad Amboina a. kerkenraad Batavia, 24¼/1648, AA 992, fol. 271-274.

12.       Kerkenraad Ambon a. kerkenraad Batavia, 20/8/1650, AA 992, fol. 287-290.

13.      Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 676-679.

14.      Zie bijv. kerkeraad Ambon a. kerkeraad Batavia, 20/8/1650, AA 992, fol. 287-290.

15.      Kerkeraad Ambon a. kerkeraad Batavia, 24/4/1648, AA 992, fol. 271-274.

16.     Kerkeraad Ambon a. kerkeraad Batavia, 1/5/1649, AA 992, fol. 279-282; id. a. id, 23/9/1651, AA 992, fol. 313-314.

17.      Jacobus Montanus, Rapport van een visitatie, 11/9/1671, Algemeen Rijks Archief, Den Haag (ARA), VOC 1286 I, fol. 525-533; kerkeraad Ambon a. kerkeraad Batavia, 28/5/1678, AA, fol. 119-122.

18.      Gualteri Peregrinus, Visitatierapport, 17/12/ 1673, ARA, VOC 1300, fol. 933r-934r.

19.     Adriaan Pietersz. Steutel, Visitatierapport, 22/11/1757, ARA, VOC 2931, fol. 216-242.

20.    Kerkeraad Amboina a. kerkeraad Batavia, 20/6/1783, AA 994, fol. 200-202; id. a. id., 5/9/1787, AA 994, fol. 258-260.

21.      S. Roorda van Eysinga; 1773-1829; 23/11/1818 bevestigd voor de dienst op Java; vervolgens predikant te Batavia; bezocht van juni 1823 tot mei 8124 de Molukken. Zie: S. Roorda van Eysinga, P.P. Roorda van Eysinga, Verschillende reizen en lotgevallen van S. Roorda van Eysinga, II, (Kampen, 1831) 14

22.     J. Starink, Beantwoording der vragen, 20/3/1825, ARvdZ 19/1/D.

23.     Jabez Carey (1793-1862) adalah anak ketiga dari misionaris Inggris William Carey (1761 – 1834), seorang

een der oprichters van de Baptist Missionary Society (BMS) (1792). Zie J.C. Marshman, The life and times of Carey, Marshman, and Ward. Embracing the history of the Serampore Mission. (2 Delen. Londen, 1859),
I, hfdst. iii; II, 74-75.

24.     J. Carey a. W. Carey, 21/3/1816, Archief J. Carey, in: Regent’s Park College, Oxford (AJC) , inv. Nr IN/27.

25.     Lihat catatan kaki nomor 18

26.    Enklaar menganggap Kam sebagai pendeta, karena ia ditahbiskan oleh seorang pendeta Belanda (pada 21 November 1813 di Gereja Belanda di London), Enklaar, Joseph Kam, 16. Menurut Luijke (19 Maret 1827, “Dagboeken van W. Luijke”, [fol. 37], ARvdZ 18/34) Kam hanya memperoleh hak untuk mengelola sakramen. Bahwa Kam hanya seorang misionaris yang ditugasi sebagai wakil sementara pendeta di Ambon, terbukti dari ketentuan bahwa segera setelah seorang pendeta yang terlatih secara akademis tiba, Kam akan mengabdikan dirinya di gereja Melayu. Itulah konstruksi yang sering terjadi di Hindia Belanda dengan misionaris yang untuk sementara waktu mengambil alih jabatan pendeta atau sebagian darinya. Kam “masuk” ke Grote Kerk di Ambon pada tanggal 5 Maret 1815 dan menyajikan makan malam di sana pada tanggal 26 Maret. Itu terjadi untuk pertama kalinya dalam 13 tahun. Enklaar, Joseph Kam, 40.

27.     Zie bijv. J. Kam, Uittreksel uit het dagregister oct.-dec. 1821, ARvdZ 18/24.

28.     J. Starink, Beantwoording der vragen, 20/3/1825, ARvdZ 19/1/D

29.    J. Starink a. Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam(Hb NZG) , 20/4/1825, ARvdZ 19/1/D.

30.    Zie J. Starink, “Dag Verhaal”, 19/9/1825, ARvdZ 19/1/D.

31.      P. Keyser, Extract uit het dagboek 1/8/1834-31/12/1834, ARvdZ 59/3.

32.     P. Keyser, Extract uit het dagboek 1/7/1835-31/12/1835, ARvdZ 59/3.

33.     J.E. Jellesma; 1817-1858; 1844-1846 te Wahai (Ceram); 1848-1858 te Mojowarno (Java).

34.     Pada umumnya banyak anak yang lahir di luar pernikahan karena penduduk harus pergi ke Saparua atau Haruku karena kewajiban hukumnya atau harus menunggu Residen/Asisten Residen dan komisaris perkawinan. Misionaris memeliki wewenang untuk menikahkan, tetapi tidak berwenang dalam urusan pertunangan. Untuk menghindari atau menyiasati biaya perjalanan yang mahal, banyak penduduk pribumi menunda upacara resmi pernikahan mereka sampai kedatangan asisiten residen ke negeri mereka. Kedatangan mereka rata-rata setiap 5 tahun sekali.  Zie W. Luijke, Extract uit het journaal betreffende het jaar 1848, 13/3/1849, ARvdZ 24/5.

35.     J.E. Jellesma, Extract uit het journaal 1/7/1845-31/3/1846, ARvdZ 64/3/3.

36.    W. Luijke; 1798-1886; 1827-1828 Ambon; 1828-1829 Moa (Z.W.-eilanden); 1829-1841 Sarai (Leti, Z.W.-eilanden); 1841-1842 Ambon-stad; 1842-1849 Haruku; 1849-1854 Ambon-stad; 1854-1855 Hutumuri (Ambon); 1855-1883 Rumahtiga (Ambon).

37.     W. Luijke, Extract uit het journaal betreffende het jaar 1848, 13/3/1849, ARvdZ 24/5.

38.     Banyak penelitian telah dilakukan terhadap perjanjian ini, praktik keagamaannya, serta bahasa dan budaya lokal, baik pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Aliansi kakian (juga kakihan, kakehan, kakehen) terbatas pada bagian barat pulau termasuk Semenanjung Hoamoal. Itu luas ritual inisiasi dan tato, dan dengan lingkungan kerahasiaan yang ketat, pada rasa sakit kematian. Mungkin pada mulanya merupakan gerakan politik dengan kecenderungan keagamaan, yang muncul sebelum atau selama periode VOC sebagai aliansi desa-desa pantai dan pegunungan yang antara lain ditujukan untuk ekspansionisme Ternate di Seram. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa para Serammer berpihak pada VOC atau membuka diri untuk bekerja sama dengan Inggris atau pemerintah Hindia Belanda pada abad kesembilan belas. Aliansi ini ditujukan untuk melawan semua dominasi dan pengaruh asing, seperti Islam dan Kristen; secara teratur terjadi pemberontakan atau pertempuran dengan Belanda di Seram, yang melibatkan seluruh desa, Kristen, Muslim dan lain-lain. Pada abad kesembilan belas pemberontak kadang-kadang menerima dukungan dari pasukan dari Ternate dan Tidore, lihat misalnya sub 13 Des. dan 1 Februari, W. Luijke, Kort verslag der werkzaamheden april 1857 - maart 1858, 20/5/1858, ARvdZ 24/5. Uitvoerig in E. Stresemann, “Religiöse Gebräuche auf Ceran”, in: Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, deel 62 (1923) 305-424.

39.    Zie hierover H. von Gaffron, “Bijdrage tot de volkenkunde Ceram's, 1842", AA 588, fol. 2.

40.    C.M. Visser, Gouverneur der Molukse Eilanden (GdME), a. A.J. Duymaer van Twist, Gouverneur-Generaal van Ned.-Indië (GGvNI), 1/12/1853, nr 128, Archief Algemene Secretarie, Arsip Nasional Republik Indonesia–Jakarta (AAS), s104, AD 25/1/1854-XIV.

41.      A. van Ekris; 1830-1868; 1856-1857 te Allang (Ambon); 1857-1858 te Saparua; 1858-1865 te Kamarian (Ceram); 1865-1868 te Haruku.

42.     Over Van Ekris en de zendelingen van zijn generatie, zie Chr.G.F. de Jong, “Een verloren generatie zendelingen in de Molukken in de negentiende eeuw: de ‘vijftigers’”, in: Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken (DZOK) 7/1 (2000) 24-46.

43.     H.C. van Eijbergen a. GdME, 10/11/1860, 17/11/1860, AA 1545; GdME a. GGvNI, 4/10/1860, nr 123, AA 1550; AR Saparua/Haruku, “Overzigt van het geene in gemelde Assistent Residentie is voorgevallen”, [maart 1861], AA 1527.

44.      Het NZG-bestuur beklaagde zich over Schminke bij de minister van Koloniën, en noemde hem iemand die
de zending vijandig gezind was, in Hb NZG a. MvK, 26/3/1860, AMvK 938, Vb 3 mei 1860, nr 8. Vgl. R. Bossert a. H. Hiebink, 26/7/1859, ARvdZ 64/4/4.

45.     S.J. de Vries; 1838-1899; 1863-1873 zendeling te Amahai (Ceram); 1873-1874 hulpprediker te Amahai; 1874 te Saparua; 1872-1886 tevens tijd. wnd hulpprediker te Nusalaut; 1886 verlof; 1889 eervol ontslag.

46.    A. van Ekris, Werkverslag van januari tot november 1857, ARvdZ 24/3/A.

47.     S.J. de Vries a. J.C. Neurdenburg, 27/101865, ARvdZ 24/4/B.

48.     Idem.

49.    Besluit GGvNI, 9/5/1872, nr 6, AAS b337/s101, Bt 9/5/1872, nr 6; Samenvattend rapport van de besprekingen nopens de reorganisatievoorstellen in de ressorts- en gemeentevergaderingen der Inlandsche Christenen. (G. Kolff & Co., Batavia/Weltevreden, 1915), Bijlage IV.

50.    D. Heijting, Algemeen verslag Residentie Ambon over 1889, s.l., s.a., AA 583.

51.      Resident van Ambon, Verslag van Ambon over 1889, AA 583.

52.     J. Kelling a. J.H. de Vries, P.H. Wiersma, 4/12/1889, La K, AAS b337/s101, Bt 8/9/1890, nr 6

53.     Berbeda dengan saran dari Resident van Ambon, pada bulan Maret 1890, kegiatan misi Katholik mendapat izin dari pemerintah di Batavia untuk membuka stasiun misi di Bomvia (Bonvia, Bonfia, Bomfia) di Seram Timur, meskipun sudah ada jemaat Protestan, dengan anggota kaum pribumi. Pada bulan Januari 1892, pastor  C. le Cocq d'Armandville SJ (1846-1896) menetap di Bomvia, namun pada tahun 1895, misi meninggalkan wilayah ini kembali.  Zie hfdst. 4 in P.G.H. Schreurs, Terug in het erfgoed van Franciscus Xaverius. Het herstel van de katholieke missie in Maluku, 1886-1960. Uitgave Missiehuis MSC, Tilburg, 1992.

54.     L.C. Ouwerling, Memorie, 30/4/1916, AMvK, Mailrapport 1916, nr 2130. Verbaal 30/8/1917, nr 29.

55.     Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 674, 675; F.J.P. Sachse, Gegevens uit de nota betreffende de onderafdeeling West-Ceram. Batavia: Encyclopaedisch Bureau, 1919.

56.     J. Mooij, Atlas der Protestantsche Kerk in Nederlandsch Oost-Indië. (Weltevreden: Topografische Inrichting, 1925) 147.

57.     R.J. Koppenol, Politiek-politioneel Verslag juli 1934, 10/9/1934, Archief Ministerie van Koloniën, ARA
(AMvK), Mailrapport 1934, nr 1239 geheim.

58.     Notulen van de conferentie van hulppredikers, gehouden te Ambon van 20 tot en met 23 maart 1933, s.l., s.a., Archief Gereja Protestan Indonesia, ANRI (AGPI), inv. nr 27.

59.    Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 677, menulis : “ini adalah fakta yang menyedihkan seperti yang terlihat jelas bahwa Kekristenan dengan aplikasi dan ketergantungannya pasti mengarah pada degradasi fisik dan moral, meskipun ada beberapa keuntungan politik sebagai balasannya karena kebanyakan orang Kristen adalah subyek pemerintahan yang setia”.

60.    Bestuur Indische Kerk, Verslag over het jaar 1891, 1893, Archief Haagse Commissie, ARA (AHC) 24, bijlage A789; Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 677.

  1. Matakau adalah boneka atau rumah kecil, terbuat dari gaba-gaba, yang digantung di taman, misalnya, untuk mencegah pencurian buah kelapa. Tidak ada yang akan datang dan mencuri di taman seperti itu, takut akan kutukan matakau. Untuk penyakit, benda seperti itu digantung di loteng di depan jendela atap. Diyakini bahwa penyakit (sebenarnya roh jahat) tidak masuk melalui pintu atau jendela di bawah, tetapi hanya melalui jendela atap. Jika matakau ditempatkan di sana, penyakit itu tidak berani masuk ke rumah. Lihat R. Bossert a. Hb NZG, 25/3/1856, ARvdZ 64/4/4.
  2. Matth. 10:29-30. Vgl. Luk. 12:7.
  3. J. Starink a. Hb NZG, 20/4/1825, ARvdZ 19/1/D.
  4. Zie bijv. C. Wiltens a. classis Amsterdam, Ambon, 31/5/1615, in: J.A. Grothe, Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending, zes delen, (Utrecht, 1884-1891) V, 42-67
  5. Idem.
  6. Zie bijv. T.J. Willer, “Instellingen der Halfoeren van het landschap Waai Rama, behoorende tot het regentschap Hatililing, afdeeling Wahaai, Ceram”, juli 1847, AA 588. Tentang situasi pasca perang , zie Roy F. Ellen, Nuaulu settlement and ecology. An approach to the environmental relations of an eastern Indonesian community. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, nr 83. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1978.
  7. “Korte beschrijving van het eiland Ceram. Te zamen gesteld uit inlichtingen door den Ads Rest de Secretaris Rijkschroeff ingewonnen”, 25/1/1847, AA 588.
  8. N.J. van den Brandhof, Kort verslag van de Residentie Ambon over dec. 1918, 14/2/1919, nr 1128, AMvK, Mailrapport 1919, nr 480. Verbaal 7 juni 1919, nr 50.
  9. Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 677.
  10. Tichelman, “De Onder-Afdeeling Amahei (Seran)”, 677.
  11. A. Poot, “Goeroe Conferentie 23-25 Juli 1934”, 30/7/1934, ARvdZ 110/29/18.
  12. Vgl. [T.J. van Oostrom Soede], Verslag der Protestantse Kerk van Nederlandsch-Indië in het ressort
    Gouvernement der Molukken over het jaar 1928. (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1929) 17-18.
  13. A. Poot, “Goeroe Conferentie 23-25 Juli 1934”, 30/7/1934, ARvdZ 110/29/18
  14. Zie Piring Natzar. De waarde en betekenis van een oud Moluks religieus symbool in een geseculariseerde westerse wereld, Driebergen: Moluks Theologisch Beraad, 1995; en A. Hoekema, “Tussen wijsheid en weten. Verschuivingen in het theologisch denken van Indonesische christenen”, in Twee eeuwen Nederlandse zending 1797-1997. Twaalf opstellen. Onder redactie van Th. van den End, Chr.G.F. de Jong, A.Th. Boone, P.N. Holtrop, (Zoetermeer, 1997) 187-199.
  15. John Mansford Prior, Indonesia, 1-2, Paper prepared for the meeting of the History of Christianity in
    Indonesia Project, 19-23 June 2000 at Utrecht.
  16. D. Mulder, “De dialoog tussen culturen en godsdiensten. Kraemers bijdrage in het licht van latere ontwikkelingen”, Wereld en Zending, jrg. 17, nr 3 (1988) 230-238, spec. 236, spreekt van “interpenetratie”.

 

Catatan Tambahan

a.        Jan Janszoon Brund bertugas di Saparua pada 1647 – 1649

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (derde deel) Omstandig verhaal van de geschiedenisen en zaaken het kerkelyke ofte......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1726, bag 2, derde boek,vyfde hoofdstuk (khusus hal 141)

b.       Menurut sumber Francois Valentijn, meester atau guru di Amahai pada tahun 1649 adalah Francisco Molle

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (derde deel) Omstandig verhaal van de geschiedenisen en zaaken het kerkelyke ofte......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1726, bag 1, tweede boek, tweede hoofdstuk (khusus hal 55)

c.        Pada masa ini, Orangkaija  van Amahai adalah Hendrik Philipus Steven Wattimena  (??? - minimal 1824), sedangkan Orangkaija van Souhuku adalah Pieter Tamaela (1807 – 1843)

§  S. Roorda van Eysinga, P.P. Roorda van Eysinga, Verschillende reizen en lotgevallen van S. Roorda van Eysinga, volume II, Johannes van der Hey en zoon, Amsterdam, 1831, hal 156

d.       Pada tahun ini, Patih van Amahai adalah A.P. Wattimena (??? – minimal 1843)

§  Almanak en Naamregister van Nederlandsch-Indie voor het jaar 1843, Landsdrukkerij, Batavia, hal 58

e.        Leonard Abraham Tanasale. Selain menjadi guru di Amahai, ia sebelumnya adalah Patih muda van Leinitu (1829 – 1831), kemudian menjadi Patih van Leinitu (1831 – 1842). Menikah dengan Lewina Jubelina Tuwanakotta. Ia meninggal di Amahai, tanggal 13 April 1866.

§  Verslag aangaande het onderwijs in de inlandse Christen gemeenten der Residentie Amboina en Onderhorigheden over het jaar 1856, Ambon, februari 1857; ARvdZ 34/5. (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 104 – 113, khusus hal 109)

§  Algemeen verslag over de staat van het onderwijs in de inlandse christenscholen der Residentie Ambon en Onderhorigheden over het jaar 1857, [Ambon, begin 1858]; ARvdZ 34/5  (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 175 – 180, khusus hal 178)

§  Algemeen Overzigt van den Toestand der Protestantsche Kerk in Nederlands Oost-Indie, gedurende het tijdperk van 1852 tot en met 1857”, Batavia, 25 juli 1859, nr 19; AMvK 804. Verbaal 7 april 1859, nr 18 (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 236 – 247, khusus hal 244)

§  S.A. Buddingh, Neerlands Oost-Indie Reizen over Java, Madura, Makassar.......Tweede Deel, J.C. van Kesteren en zoon, Amsterdam, 1867, hal 185 – 186

§  Dr. S.A. Buddingh, belast met de inspectie van kerk en schoolwezen in Nederlands-Indië, aan gouverneur-generaal (Duymaer van Twist), Ambon, 27 februari 1854. No. 99. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, 480, vb. 9 januari 1856 no. 6. (dimuat oleh Chr Fr van Fraasen dalam Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902, Huygen Knaw NL, 1997)

f.         Marcus Kakiaij adalah kepala soa kakiaij di Paulohy sedangkan Domingos Maijarie adalah kepala soa di Samasuru

§  Gouverneur der Molukken (Goldman) aan gouverneur-generaal (Pahud), Ambon, 29 december 1857. No. 209. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, 742, vb. 3 september 1858 no. 8. dimuat oleh Chr Fr van Fraasen dalam Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902, Huygen Knaw NL, 1997)

§  R.Z. Leirissa, Pergolakan di Paulohy (Teluk Elpaputih) 1836 – 1837) dimuat pada buku Dinamika Masyarakat Pedesaan, Depdikbud, Jakarta, 1983, hal 1-15

g.        Aris van Ekris (1831 – 1868) menikah dengan wanita burger Saparua bernama Hendrika Engel di Saparua, tanggal 22 Juli 1857

§  A. van Ekris aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Saparua, 5 maart1857; ARvdZ 24/3/A (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 113 – 116, khusus hal 114, catatan kaki nomor 168)

§  Chr.G.F. de Jong, Een Verloren Generatie Zendelingen in de Molukken in de negentiende eeuw : de “vijftigers” dimuat pada Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken (DZOK) 7/1 (2000) 24-46, khusus catatan kaki no 65

h.       Wilhelm Schminke menjadi Asisten Resident van Saparoea – Haruku (1854 – 1859)

§   Almanak en Naamregister voor Nederlandsch -  Indie voor het jaar 1856, Batavia, 1856, hal 108

§   Almanak en Naamregister voor Nederlandsch -  Indie voor het jaar 1857, Batavia, 1857, hal 113

§   Almanak en Naamregister voor Nederlandsch -  Indie voor het jaar 1858, Batavia, 1858, hal 126

§   Almanak en Naamregister voor Nederlandsch -  Indie voor het jaar 1859, Batavia, 1859, hal 131

i.         Dirk.Frederik. Bunte bertugas di Amahai sejak 28 Maret 1933  – 1935. Bunte dilahirkan pada 18 Januari 1898 di Amsterdam dan meninggal di Kinibalu sekitar tahun 1945

§  Bijlage IV. Hulppredikers in dienst van de Indische kerk in de Midden-Molukken, 1873-1942 (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 639 – 642, khusus hal 639)

§  Memorie van Overgave van de Controleur van West Ceram B.J. Kuik, 18 April 1835, KIT DCA 5K. ARA Memories van Overgave, Collectie KIT, 1231. (dimuat oleh Chr Fr van Fraasen dalam Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900 – 1942, Deel 3, Den Haag, 1997, hal 382 – 454, khusus hal 396)

§  Jan Ridderbos, Nederlandse Predikanten Gevangen In Kampen en/of  Omgekomen Tijdens Wo II, hal 26

 

Lampiran :

Daftar Hulpprediker atau Pendeta bantu yang ditugaskan dan bertugas di distrik Amahai sejak 1864 - 1935:

  1. Sijtse Jansz de Vries (1864 – 1874/1875)
  2. Cornelis Willem Schoorel (1876 – 1877) berstatus pejabat
  3. Nicolaas Rinooij (1877 – 1878)
  4. Hendrik Graafland (1878 – 1883) meninggal di Amahai 22 Desember 1883 dan dimakamkan di pekuburan tua negeri Souhuku
  5. Eduard Theodorus Ploos van Amstel (1883 – 1886)
  6. Jonathan Kelling (1886 – 1900)
  7. J.L. Moens (1900 – 1905)
  8. J.R. Kok (1905 – 1909)
  9. H. Kraeyer van Aalst (1909 – 1910)
  10. J.R. Kok (1910 – 1918)
  11. L.J. Wesseldijk (1918 – 1919)
  12. Jonathan Kelling (Feb 1919 – Des 1919)
  13. J.L. Moens (Des 1919 – Mei 1922)
  14. C.W. Dopp (Mei 1922 – Juli 1928)
  15. H.G. Plattel (Juli 1928 – 1929)
  16. C.W. Dopp (1929 – Nov 1931)
  17. W.H. Tutuarima (Nov 1931 – Sept 1932)
  18. C.W. Dopp (Sept 1932 – Maret 1933)
  19. Dirk Frederik Bunte (Maret 1933 – 1935)

 

Sumber :

1.         Memorie van Overgave van de Controleur van West Ceram B.J. Kuik, 18 April 1835, KIT DCA 5K. ARA Memories van Overgave, Collectie KIT, 1231. (dimuat oleh Chr Fr van Fraasen dalam Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900 – 1942, Deel 3, Den Haag, 1997, hal 382 – 454, khusus hal 394-396)

2.        Bijlage IV. Hulppredikers in dienst van de Indische kerk in de Midden-Molukken, 1873-1942 (dimuat oleh Chr.G.F. de Jong, Bronnenpublicatie betreffende de zendings- en kerkgeschiedenis van de Midden Molukken, 1803-1900 (deel 2)  hal 639 – 642)

3.        Algemeen Register oleh Chr Fr van Fraasen pada Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902 dan Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900 – 1942

Tidak ada komentar:

Posting Komentar