Selasa, 20 Juli 2021

Para perampok dan pedagang: Bajak Laut Papua di Abad Ketujuh Belas (bag 2- selesai)

 GERRIT KNAAP

 

 Laporan-laporan Ekspedisi Pertama di Raja Ampat

                Catatan sejarah tertulis pertama yang menyajikan beberapa rincian tentang Raja Ampat berasal dari akhir abad ke-16. Ini adalah laporan singkat oleh Miguel Roxo de Brito dari Portugis tentang sebuah pelayaran pada tahun 1581-1582, yang unik dari jenis laporannya. Tampaknya Misool dan Waygeo, dan mungkin juga Salawati, dikunjungi oleh De Brito. Dinyatakan secara eksplisit bahwa Raja Misool dan penduduknya, yang berjumlah sekitar 4.000 hingga 5.000 orang, memiliki kebiasaan menyerang negeri/desa tetangga secara teratur, khususnya di kawasan Seram Laut di Seram Timur, untuk mendapatkan tawanan yang ditebus untuk mendapatkan emas, gong, dan kain. Dikatakan bahwa jumlah kora-kora di Misool adalah sekitar 30 – 40 dan jumlah sandera tahunan yang dibawa dari penyerangan itu sekitar 70 hingga 80 orang. Raja Waygeo, yang sangat cenderung tunduk pada orang-orang Iberia, menemani De Brito ke daerah Onin dengan satu armada. Onin adalah tempat untuk mensuplai budak ke pasar di Seram Timur36. Pada abad ke-17, daerah Onin mendapat perhatian lebih lanjut dalam laporan dari Johanis Keijts dan Georgius Rumphius, masing-masing menulis pada tahun 1678 dan 168437


                Satu-satunya catatan abad ke-17 tentang perjalanan ke Raja Ampat adalah  tentang Simon Cos, yang telah disebutkan sebelumnya. Dia berlayar dengan hongi Amboina dari ujung timur Halmahera ke Salawati melalui Gebe pada tahun 1653. Dalam perjalanannya, dia hampir tidak melihat penduduk karena semua orang telah menyingkir ke dalam hutan. Satu-satunya pekerjaan anak buahnya adalah menjarah dan membakar desa/negeri. Dalam perjalanannya, mereka juga sampai di desa Salawati, kemungkinan besar Sailolof. Cos menggambarkan desa itu terletak di belakang hamparan panjang air berlumpur, tidak mungkin dimasuki oleh kora-kora yang relatif besar. Pesisir terlindungi oleh kubu pertahanan. Di beberapa titik, di antara sungai dan rawa, ada tembok setinggi 9 kaki dan tebalnya 10 kaki, dengan bastion yang mengelilingi. Cos mengatakan bahwa jika anak buahnya harus menyerang tempat itu, mereka mungkin akan mengalami kesulitan. Beruntung bagi Cos, kubu pertahanan yang hanya dibangun di tepi pantai, serta desa/negeri itu sendiri benar-benar tidak ada orang. Tidak ada satu pun tanda penduduk atau 12 hingga 13 kora-kora yang dimiliki oleh desa itu. Setelah armada hongi pergi, desa itu dibakar dan taman-taman di sekitarnya dihancurkan38. Informasi yang diberikan oleh Cos mengarah pada kesimpulan, bahwa di suatu titik di wilayah terpencil yang terdiri dari hutan, rawa, dan anak sungai yang tidak dapat di akses ini, ada kantong-kantong tempat hunian yang menunjukan tanda-tanda organisasi sosial tingkat tinggi. 9 tahun kemudian, pada tahun 1662, ketika Cos menulis memoar mutasi untuk penggantinya sebagai Gubernur VOC Malukua, ia masih belum dapat memberikan informasi baru. Ia hanya mengklaim bahwa Sultan Tidore melakukan inspeksi secara rutin, hingga 2x dalam setahun, dan mendapat upeti yang cukup besar dari hal itu. Sultan Saifudin cukup populer karena ia sendiri dermawan dalam membagikan hadiah. Cos mengakhiri [memoar mutasinya] dengan kesimpulan yang jelas bahwa sebagian dari populasi di distrik-distrik pinggiran ini mencari nafkah dari penangkapan budak39.

                Baru setelah akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, Belanda meningkatkan minat mereka kembali pada kepulauan Raja Ampat. Pada tahun 1706, Gubernur VOC Maluku, Pieter Rooselaar, merangkum apa yang diketahui Belanda dalam lampiran memoar mutasinya kepada penggantinyab. Geografi politiknya adalah sebagai berikut. Di sisi timur Misool, baik Raja maupun kapitan laut Misool memiliki desa sendiri. Jumlah laki-laki yang sehat sekitar 3000 orang. Dulu di sisi barat laut pulau Misool, tetapi sekarang di barat daya, ada raja dan kapitan desa Waigama. Jumlah laki-laki yang sehat antara 500 – 600 orang. Pulau Salawati digambarkan cukup padat, meski tidak disebutkan jumlah penduduknya. Sebagian besar penduduk tinggal di pemukiman sementara di pedalaman. Cara hidup nomaden juga tampaknya terjadi di Batanta yang berdekatan. Desa terpenting di pulau Salawati adalah pemukiman dengan nama yang sama, tempat tinggal raja dan kapitan laut. Desa ini terletak di sungai di bagian barat daya, pastilah Sailolof. Raja Waygeo dikatakan tinggal di ujung jalan masuk yang panjang, yang dapat diakses dari pantai selatan, di sebuah desa bernama Kabilolo. Sekali lagi tidak disebutkan jumlah laki-laki yang berbadan sehat. Orang Papua secara umum digambarkan oleh Rooselaar sebagai orang yang hampir telanjang dan berpikiran agak sederhana. Mereka adalah orang kafir. Namun, para kepala suku, yang kebanyakan berasal dari Tidore dan Seram, berpakaian seperti kaum Muslim. Merampok adalah sumber pendapatan yang penting. Dalam kasus Misool, dikatakan bahwa budak diperoleh dengan menyerang daerah lain dan membelinya di Salawati. Orang Papua adalah pelaut yang baik dan perahu dayung mereka yang panjang dan lancip, sulit untuk disalip/dilewati. Senjata mereka terdiri dari busur dan anak panah, perisai, dan pedang, serta lembing40

 

                Rooselaar dapat menyajikan informasi tersebut karena disediakan oleh beberapa ekspedisi ke Raja Ampat. Minat baru Belanda tersebut berkaitan dengan 2 “alasan”. Pertama, Belanda takut bahwa orang Eropa lainnya, dan yang mereka pikirkan adalah Spanyol atau Perancis, 2 negara yang berperang dengan Belanda pada saat itu, atau Inggris, mungkin akan muncul di wilayah ini. Ada desas-desus bahwa “petualang” Inggris, William Dampier, telah terlihat di Papua. Kedua, adanya kecurigaan bahwa pohon-pohon penghasil rempah-rempah tumbuh di Raja Ampat, yang dapat menjadi ancaman bagi monopoli VOC. Pohon-pohon seperti itu, jika ditemui, harus dihancurkan. William Dampier memang ada di daerah itu. Menjelang akhir tahun 1705, dia melaporkan dirinya bersama anak buahnya yang tersisa dan masih setia padanya di benteng Oranje, setelah perjalanan panjang dan penuh petualangan melintasi Pasifik. Beberapa bulan kemudian, ia berlayar ke Batavia bersama Rooselaar41.

                Sebelum Rooselaar mengirim ekspedisi ke Raja Ampat, pada tahun 1702, otoritas VOC di benteng Nassau di Banda, telah memberangkat 2 kapal di bawah komando boekhouder Jan van Benthem. Leupe mempublikasikan versi ringkasan dari laporan perjalanan ini pada abad ke-1942. Pemandu dan perantara Van Benthem adalah orang kaija Maba dari negeri Keffing di Seram Timur. Pelayaran tersebut akhirnya membawa mereka sampai ke Halmahera, meskipun merupakan keajaiban kecil bahwa mereka benar-benar mencapai pulau itu, karena terkadang Belanda sama sekali tidak mengetahui di mana mereka berada. Di Misool, orang-orang meninggalkan desa mereka saat melihat kapal. Di Salawati, yang sekarang di sebut Sailolof, terlihat 2 kora-kora yang salah satunya mengibarkan bendera Belanda. Kapal ini dari Sultan Tidore, membawa salah satu penerjemahnya yang memperlihatkan dirinya cenderung naik ke kapal setelah Belanda menembakkan meriam untuk menandai pertemuan tersebut secara resmi. Namun, setelah menembakkan meriam, kedua kora-kora itu berlayar menjauh. Upaya untuk mendarat dengan damai juga dibatalkan, karena orang-orang berteriak kepada orang Belanda : “kemarilah, maka kami akan memotongmu”. Di pulau lain, hujan panah menyambut para komisaris, dan secara eksplisit dinyatakan bahwa orang Belanda tidak dihargai di tanah mereka43.

Didorong oleh desas-desus tentang kehadiran orang Eropa lain dan pohon penghasil rempah-rempah, pada tahun 1704 dan 1705, VOC mengirim 2 ekspedisi dari benteng Oranje yang terdiri dari 3 hingga 4 kapal kecil menuju pulau Misool. Satu faktor konstan dalam ekspedisi ini adalah sersan yang kemudian pensiun, Adolph Johan van der Laan, yang menyusun laporan-laporan. Laporan tersebut diterbitkan dalam bentuk ringkasan oleh Leupe pada abad ke-1944. Kedua ekspedisi tersebut terbukti sangat memakan waktu, karena angin dan arus di wilayah itu tidak menguntungkan bagi kapal layar. Kadang-kadang, perlu menunggu berhari-hari sebelum mencapai arah yang diinginkan. Karena masalah navigasi ini, tidak jarang kapal-kapal dalam satu ekspedisi benar-benar kehilangan jejak satu sama lain. Faktor konstan lainnya adalah bahwa ekspedisi ke Raja Ampat, pertama kali mengunjungi Tidore untuk menginformasikan kepada Sultan tentang rencana tersebut dan untuk membawa utusan, biasanya 2 orang, untuk bergabung dalam pelayaran itu dan bertindak sebagai perantara. Dibandingkan dengan pengalaman buruk Van Benthem, ekspedisi Van der Laan berlangsung sukses. Ketika Van der Laan pertama kali bertemu dengan Raja Misool dan rekannya dari Waigama pada bulan Agustus 1704, para pemimpin lokal dari Misool menyatakan bahwa mereka heran melihat utusan Sultan di atas kapal VOC. Van der Laan menjelaskan bahwa ini harus dilihat sebagai tanda persatuan antara Tidore dan kompeni. Para pemimpin lokal mengatakan bahwa utusan Sultan sudah memberi tahu mereka sebelumnya tentang kemungkinan kedatangan kapal VOC. Informasi awal ini adalah satu-satunya alasan penduduk tidak melarikan diri ke hutan, suatu reaksi umum terhadap kemunculan kapal-kapal orang Barat. Selama Van der Laan tinggal, hubungan antara semua pihak terbukti cukup damai, meskipun pemimpin lokal harus mengirimkan cukup banyak orang untuk bergabung dalam kegiatan pencarian pohon-pohon rempah di wilayah pedalaman. Meskipun Van der Laan mengalami kesulitan serius dalam merekrut cukup banyak orang untuk melakukan pekerjaan ini, usaha pencarian itu terus dilanjutkan. Namun, tidak ada pohon seperti itu yang ditemukan. Van der Laan sendiri diterima dengan hormat oleh Raja Misool di “istana raja”, yang menurut Van der Laan, tampak seperti “gudang pertanian yang setengah hancur”, daripada rumah seorang bangsawan45.

Lebih menarik daripada ekspedisi Van der Laan adalah ekspedisi Letnan Pieter Lijn dan onderkoopman (pedagang yunior), Jacob van Gijn, dimana van Gijn berperan sebagai reporter, dengan 3 kapal, yang terpenting adalah [kapal] Oostvoorn, ke Salawati dan Waygeo pada tahun 1705. Sejarahwan abad ke-19 tentang ekspedisi penjelajahan Belanda modern awal, Leupe, telah menerbitkan kutipaan dari laporan tersebut. Andaya juga menerbitkan ringkasan yang singkat46. Alasan utama dilakukannya ekspedisi Lijn dan Van Gijn adalah pesan, yang disampaikan melalui Tidore, bahwa 7 kapal Eropa yang tidak dikenal telah terlihat di lepas pantai Waygeo. Di Tidore, Belanda membawa 2 utusan Tidore. Sultan telah mengirim beberapa pembantunya ke pulau-pulau itu sebelumnya untuk memberi tahu mereka tentang kedatangan ekspedisi yang akan segera datang. Selain kapal dan awaknya, Lijn dan Van Gijn ditemai oleh 15 orang militer dan 1 penerjemah. Sang penerjemah direkrut dari komunitas asing orang Asia yang tinggaal di sekitar benteng Oranje. Bahan makanan untuk jangka waktu 5 bulan juga dibawa. Selain itu, minuman beralkohol dalam jumlah yang cukup banyak dibawa untuk menyuguhkan “rasa tambahan” pada pertemuan dengan para “bangsawan” itu. Selain itu, beberapa helai kain India akan dipersembahkan kepada para bangsawan lokal sebagai tanda terima kasih atas keramahan dan mengharapkan bantuan47

Ketika Lijn dan Van Gijn mengunjungi Sultan Tidore, ia memberi tahu mereka bahwa setibanya mereka di suatu tempat, mereka selalu harus mengirim utusan Sultan ke darat terlebih dahulu, untuk melakukan kontak. Lijn dan Van Gijn berjanji untuk melakukannya. Setelah perjalanan yang lambat selama 45 hari dan tidak melihat 2 kapal yang menyertainya, Lijn dan Van Gijn mencapai negeri Salawati, yang sekarang disebut Sailolof. Dengan kapal mereka yang berlabuh cukup jauh dari pantai, mereka turun bersama para prajurit dan ditempatkan di sebuah rumah di desa, tepat di seberang kediaman raja yang bernama Foukere. Nampaknya, pada abad ke-17, Raja Salawati tinggal di Sailolof dan bukan di Samete, di sisi lain pulau yang nampaknya telah terjadi pada abad ke-19. Pada saat kunjungan Lijn dan Van Gijn, tidak disebutkan tembok atau kubu pertahanan yang telah dilaporkan oleh Cos. Ketika para pemimpin lokal datang untuk menjemput orang Belanda dari kapal mereka, ternyata, selain awak lokalnya, kora-kora juga membawa 2 orang Tidore dengan senapan. Di kapal Salawati lainnya, terutama yang melayani raja dalam pelayarannya yang lebih lama, tampaknya ada swivel gun (senjata putar). Pemerintah lokal tampaknya terdiri dari Raja, Kapitan Laut, seorang gogugu, dan seorang hukum. Seorang gogugu atau jojau, kadang-kadang digambarkan sebagai “wazir agung”, sedangkan hukum menunjuk pada “hakim”. Seperti dikatakan sebelumnya, kapitan laut adalah semcam “panglima laut”. Selama berada di Salawati yang berlangsung selama 18 hari, Lijn dan Van Gijn juga bertemu dengan Raja Misool bernama Bulan, dan kapitan lautnya, yang antara lain datang dengan niat untuk menyerahkan sebagian upeti tahunan yang belum mereka bayarkan kepada Sultan melalui utusan Sultan. Upeti ini tampaknya terdiri dari 3 budak. Lijn dan Van Gijn berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang kapal-kapal Eropa, yang jumlahnya ternyata bukan 7 melainkan 3. Kapal-kapal tersebut terlihat terutama di lepas pantai Sorong di semenanjung Kepala Burung dan dekat Waygeo. Karena tidak ada utusan Sultan Tidore di atas kapal-kapal tersebut, pada penglihatan mereka, penduduk desa biasanya menyingkir ke pedalaman. Lijn dan Van Gijn juga mencoba mencari tahu ada tidaknya pohon penghasil rempah-rempah di Salawati dan Batanta. Saat meninggalkan desa Salawati, Belanda dengan dibantu oleh pemimpin lokal, orang-orang dan kapal-kapal, menghabiskan lebih dari seminggu mencari-cari di pedalaman barat laut Salawati dan sebagian Batanta, untuk mencari pohon-pohon dimaksud. Namun, tidak ada yang ditemukan48.

Selama waktu yang mereka habiskan di Batanta, salah satu dari 2 utusan Tidore, ngofamanyira Mustapha, dikirim dengan kapal dayung Salawati untuk mencari kapal-kapal Eropa. Dia kembali setelah hanya 1 hari mengalami pertemuan yang buruk dengan “kapal” Eropa di dekat pulau kecil Jefmaan, yang terletak di antara pulau Salawati dan Sorong. Kapal itu mengibarkan bendera Belanda, tetapi ketika utusan tersebut memperkenalkan dirinya dengan meneriakan bahwa dia adalah orang Tidore, tembakan senapan dan meriam tertuju di kapal dayung, menewaskan 1 orang. Semua orang di kapal, kecuali utusan itu sendiri, melompat ke air, yang ternyata tidak banyak membantu karena kemudian 2 orang lagi ditembak. Utusan itu memohon kepada orang-orangnya untuk naik lagi ke kapal dan melarikan diri bersamanya. Akhirnya, dengan 16 dari 28 awak pribumi, utusan itu bisa kabur dalam kegelapan. Setelah mendengar cerita ini, Lijn dan Van Gijn memutuskan untuk naik ke kapal Oostvoorn dan berlayar ke daerah tempat kejadian itu terjadi. Akibatnya, mereka juga menemui kapal itu, yang ternyata adalah kapal VOC bernama Nova Guinea. Kapal ini didampingi 2 kapal lainnya berangkat dari Batavia setengah tahun sebelumnya untuk mensurvei pantai Papua. Mereka yang berada di kapal Nova Guinea menyatakan telah menembaki kapal dari Salawati, begitu mendengar kata “Tidore”, karena pada awal ekspedisinya ternyata mereka pernah diserang oleh 43 kapal, yang awalnya memperkenalkan diri dengan nama Tidore. Tiba-tiba, menjadi jelas bagi semua orang bahwa desas-desus tentang kapal asing Eropa, ternyata disebabkan oleh 3 kapal VOC dari Batavia yang terlibat dalam survei ini. Semua itu ternyata merupakan kesalahpahaman yang besar, yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara Batavia dan Maluku49.

Pelayaran 2 hari selanjutnya membawa Lijn dan Van Gijn ke Waygeo, dimana mereka menerima keramahan di desa Wayamerok, kediaman kapitan laut yang terletak di pantai selatan di pintu masuk Teluk Mayalibit. Dengan pengecualian 2 hari, mereka tetap di sini selama 38 hari. 2 hari dihabiskan untuk mendayung melalui ceruk untuk mengunjungi Kabilolo, desa dari raja. Selama mereka tinggal, mereka secara teratur berhubungan dengan raja yang namanya tidak disebutkan, kapitan laut, gugugu untuk Waygeo secara keseluruhan, dan dengan beberapa pemimpin berpangkat lebih rendah dari desa-desa yang kurang terlalu penting dengan gelar sengaji, kimelaha, atau marinyu. Penting untuk dicatat bahwa kediaman raja pada waktu itu berada di suatu tempat, selain lokasinya di pertengahan abad ke-19. Lijn, khususnya melakukan banyak perjalanan dengan pihak-pihak yang mencari pohon rempah-rempah, meskipun tidak ada yang ditemukan. Akhirnya, dengan ditemani orang-orang Eropa lainnya di kapal yang banyak sakit, Lijn dan Van Gijn berlayar kembali ke benteng Oranje. Perjalanan ini memakan waktu 16 hari lagi. Pada saat mereka mencapai benteng Oranje, kesehatan Pieter Lijn berada dalam kondisi yang membahayakan. Namun demikian, terima kasih telah dipersembahkan kepada Tuhan atas “belas kasihan yang tidak selayaknya diperoleh” hingga ekspedisi tersebut kembali pulang. Untungnya, Lijn pulih untuk hidup selama beberapa tahun lagi50.

                [kapal] Nova Guinea, yang disebutkan di atas, menjadi bagian dari regu armada survei dibawah komando nakhoda Jacob Weyland, terdiri dari 3 kapal, yang terpenting adalah Geelvinck. Sayangnya, laporan asli Weyland sendiri telah hilang. Sejauh informasi tentang ekspedisi petualangan, itu adalah berasal dari “tangan kedua”. Kapal-kapal tersebut telah meninggalkan Batavia menjelang akhir Januari 1705. Setelah tinggal sebentar di Banda, 4 penerjemah dari Seram Timur dibawa ke kapal untuk memfasilitasi komunikasi dengan orang-orang yang mereka harapkan akan ditemui di pantai Papua. Selama perjalanan, ketiga kapal tersebut kehilangan jejak satu sama lain. Pada bulan Agustus dan September 1705, mereka muncul lagi di Amboina dan Banda, kehilangan banyak awak karena penyakit dan kematian. Hasil terpenting dari ekspedisi tersebut adalah menemukan dan memetakan sebagian besar Teluk Cendrawasih atau Geelvinck. Pertemuan dengan penduduk pribumi seringkali disertai kekerasan. Kadang-kadang kapal VOC diserang dengan ganas oleh 20 hingga 40 kapal. Mendarat sangat berbahaya karena penyergapan selalu menjadi ancaman. Para penerjemah dari Seram Timur terbukti tidak berguna di pantai-pantai utara Papua. Hanya di daerah Bombarai, bagian dari pesisir selatan, penerjemah dapat menjalin komunikasi yang nyata dengan desa-desa tertentu. Orang-orang di sini mengatakan bahwa mereka adalah vasal Sultan Tidore, yang baru-baru ini mereka persembahkan beberapa budak sebagai upeti. Kadang-kadang mereka juga menjual budak ke Waygeo51. Ekspedisi Weyland tidak memberikan informasi baru tentang kondisi masyarakat dan politik kepulauan Raja Ampat dalam arti yang sebenarnya.

Penyediaan Budak-budak di Raja Ampat

                Selama ekspedisi Adolph Johan van der Laan ke Misool dan dari Pieter Lijn dan Jacob van Gijn ke Salawati dan Waygeo, tak ada satupun kelompok masyarakat yang berada dalam kategori “melanggar hukum” dalam pemahaman kita, yaitu yang bercirikan perompakan/pembajakan dan penangkapan budak ditemui. Berkat jasa perantara utusan Tidore, hubungan pegawai-pegawai VOC dengan elit lokal Papua menjadi sangat harmonis. Orang-orang menemani orang Belanda selama berminggu-minggu di sepanjang pantai, baik dengan perahu dayung atau mencari di hutan untuk menemukan pohon rempah-rempah. Tampaknya ada tingkat kerjasama yang mengejutkan di pihak populasi yang memiliki reputasi sebagai orang yang kejam dan suka berperang. Hal ini jauh sekali dari sikap menghindari yang ditemui oleh Simon Cos sekitar setengah abad sebelumnya. Semuanya tenang dan damai. Meski demikian, fenomena perbudakan merupakan bagian dari realita, dalam arti budak dijadikan sebagai upeti kepada Sultan. Bagaimana para budak ini “dihasilkan”, jika tidak ada perompakan Raja Ampat ke barat yaitu Maluku, atau ke selatan, yaitu Amboina dan Banda??. Baik Raja Ampat itu sendiri maupun pedalaman timurnya, khususnya semenanjung Kepala Burung, pantai-pantai yang berdekatan di Teluk Cendrawasih dan semenanjung Bombarai, dapat dianggap sebagai kandidat bagi penyediaan para budak. Sejauh ini tidak ada informasi bahwa masyarakat Raja Ampat sendiri adalah sumber budak. Alhasil, solusinya harus dicari di wilayah pedalaman.

                Ini menyoroti apa yang disebut sistem kain timur. Fenomena ini telah menjadi objek studi antropologi. Kain timur atau “eastern cloth” dan merujuk pada perdagangan impor ke kain-kain di wilayah Kepala Burung dengan imbalan budak atau orang yang diculik. Di semenanjung itu sendiri, kain timur digunakan sebagai mas kawin untuk memperoleh perempuan untuk dinikahkan dan dimasukan ke dalam suku laki-laki52. Nampaknya pertukaran budak untuk kain ini, semacam rantai dari perompakan dan perdagangan yang terus berlangsung tidak begitu banyak melalui Raja Ampat, melainkan melalui Onin, ujung barat Bombarai, suatu tempat yang secara tradisional didominasi oleh para navigator dari Seram Timur. Goodman telah memberikan gambaran tentang relasi perdagangan Seram Timur dan raja Onin yang paling penting dan pinggiran Onin yang terdiri dari teluk, laut dan muara sungai yang menjangkau jauh ke wilayah pedalaman53

                Kembali ke pedalaman dalam makna yang lebih sempit, dan khususnya di semenanjung kepala burung, kami mencatat bahwa Miedema telah mengklaim bahwa pantai utara kepala burung kurang terlibat dalam perdagangan budak dibandingkan di pantai selatan. Karenanya, suku-suku yang dicirikan oleh sistem pertukaran kain timur adalah suku-suku di bagian selatan dan tengah semenanjung. Tidak semua daerah di sini terbukti sama-sama “berorientasi kain”. Ada juga daerah yang menggunakan barang dagangan lainnya, seperti piring dan barang pecah belah sebagai mas kawin atau untuk membeli budak. Penelitian terbaru menunjukan awal dari sistem kain timur pada abad ke-16. Kain India segera muncul di benak. Namun, boleh jadi di sini kita tidak berurusan dengan sejenis tekstil mewah, melainkan dengan produk Asia Tenggara, yang biasanya jauh lebih murah. Penyerangan dan penculikan itu sendiri menyebabkan pertempuran sengit di antara suku-suku setempat. Tampaknya orang Maybrat di dekat Ayumara menghasilkan “orang besar” atau pemimpin perang yang paling ditakuti54. Tradisi lisan suku-suku yang terletak di antara Ayumaru dan bagian barat pantai selatan kepala burung, mengingat bahwa budak tidak hanya dibawa pergi oleh orang-orang dari Oni, tetapi juga dari Raja Ampat. Lingkup pengaruh Raja Salawati tampaknya telah membentang ke timur sejauh muara Kaibus dekat Teminabun yang sekarang. Baru-baru ini, Timmer menciptakan istilah “penguasa pedagang” untuk Raja Salawati dan Onin, yang menggabungkan perampokan dan perdagangan dengan pengumpulan upeti. Selain itu, dalam publikasi sebelumnya, dengan alasan sumber sejarah abad ke-18, Miedema juga menyebut Salawati di antara para penculik budak di pantai utara55.

                Teluk Cendrawasih, lebih jauh ke timur di sepanjang pantai utara Papua daripada semenanjung kepala burung, menikmati reputasi sejarah perbudakan dan pengayauan (potong kepala), keduanya difasilitasi oleh ekspedisi penyerangan yang disebut rak. Antropolog Held meninggalkan beberapa informasi menarik tentang fenomena ini. Radius ekspedisi semacam itu dibatasi oleh masalah penyediaan makanan yang cukup bagi awak kapal. Kepala clan biasanya mengambil inisiatif dan membeli satu atau lebih kapal, jika ekspedisinya harus melalui jalur laut. Nasib para tawanan, yang ditahan untuk tebusan berada di tangan pemimpin clan. Mengambil tawanan atau “budak” mendapatkan prestise pelaku. Ini sangat penting bagi para kepala suku. Dalam sebuah penyerangan, para pemuda bisa membuktikan bahwa mereka telah masuk dalam jajaran/kategori “pemberani”, kategori laki-laki yang penting di desa mereka. Setelah tawanan dibawa ke desa perampok, ada pesta besar. Para tawanan ditahan di rumah clan dan pelarian mereka dicegah dengan mengikat salah satu kaki mereka di balok kayu. Selain barang rampasan hidup, rombongan perompak juga membawa kembali kepala musuh yang telah dipenggal. Tengkorak-tengkorak itu sering diberi tempat seremonial di dekat tiang rumah, khususnya tiang tengah rumah clan. Oleh karena itu, hal ini dapat dilihat sebagai persembahan kepada leluhur. Alasan melakukan rak itu bermacam-macam, dan tidak terbatas hanya pada penculikan atau pemotongan kepala saja. Di antara motif mungkin juga adalah balas dendam atas pembunuhan, dalam arti “darah untuk darah” atau untuk inses dan pelanggaran hukum adat lainnya.  Bagi para tawanan, para pemimpin clan tampaknya sudah siap untuk membebaskan dan mengembalikan mereka ke desa mereka, ketika uang tebusan yang baik, terdiri dari tekstil, keramik, dan sebagainya telah dibayarkan. Ini adalah “elemen ekonomi” yang berjalan sejajar dengan keadaan perang endemik yang menguasai daerah tersebut. Jika seorang tawanan sangat tidak beruntung karena tidak memiliki kerabat atau teman yang mampu atau siap membayar tebusan, statusnya diturunkan menjadi perbudakan permanen, yang berarti bisa dijual kepada pedagang dari luar. Held mendalilkan pengenalan bertahap dari insentif laba selama perjalanan sejarah, yang menurunkan motif pengayauan. Dengan cara ini, perompakan dan perdagangaan menjadi kegiatan yang saling melengkapi56.


Catatan Penutup

                Secara berkala, abad ke-17 memperlihatkan ekspedisi bajak laut ke wilayah barat Papua, terutama gubernemen kolonial Belanda di Amboina, Banda, dan Maluku. Banyak dari serangan ini berasal dari Misool dan Salawati, 2 pulau di kepulauan Raja Ampat.  Jika diamati lebih dekat, tampaknya penyerangan yang paling berani tidak dilakukan oleh para pelaut dari Raja Ampat sepenuhnya atas inisiatif mereka sendiri, tetapi dilakukan atas kerjasa dengan orang-orang dari wilayah Maluku atau Amboina sendiri. Pada saat ketidakstabilan politik, para pemimpin lokal, baik dari Tidore, Bacan, Maba, Weda, Patani, Seram bagian utara, atau pulau Boano, menggunakan “orang Papua yang kejam” melawan musuh atau pesaing untuk memperkuat prestise dan otoritas mereka sendiri. Mereka memanipulasi para perompak – yang mungkin tidak akan datang jauh-jauh ke arah barat, jika mereka harus melakukan semuanya sendiri – dalam permainan politik mereka sendiri. Mekanisme politik serupa lazim di banyak bagian lain Asia Tenggara, terutama dimaana relasi pusat-pinggiran berada pada fase tertentu57. Ketika situasi politik stabil, perompakan ini semakin jarang terjadi. Hal ini khususnya terjadi ketika VOC berhasil meningkatkan penguasaannya secara lebih luas dan diterima oleh kelompok pemimpin pribumi Amboina dan Maluku. Perlu ditekankan bahwa jangkauan geografis ekspedisi dari Raja Ampat jauh lebih kecil dibandingkan dengan bajak laut terkenal dari Sulu di era selanjutnya.

                Bahwa pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, penduduk kepulauan Raja Ampat masih memiliki reputaasi sebagai bajak laut yang kejam, laporan-laporan ekspedisi VOC tahun 1704 dan 1705 ke pulau-pulau tersebut mengungkapkan kondisi yang cukup aman. Begitulah situasinya selama ekspedisi dilakukan di bawah gabungan bendera aliansi VOC-Tidore. Jelaslah bahwa penguasaan Tidore di Raja Ampat merupakan cara yang efektif untuk membebaskan wilayah inti kekuasaan VOC di belahan dunia ini dari ancaman penyerangan. Kalangan terkemuka di istana Tidore tampaknya menganut pandangan VOC, bahwa ekspedisi penyerangan harus dianggap sebagai pembajakan, dan karenanya dilarang. Namun, bila relasi antara istana dan perantaranya dengan Raja Ampat, seperti para pemimpin dari Weda, Maba, dan Patani di bagian timur Halmahera menjadi bermasalah, orang Papua bisa membuktikan ancaman terus menerus. Istana Tidore di sisi lain juga memanfaatkan hubungan baiknya dengan VOC. VOC membantu istana untuk memperketat kendali otoritasnya, yang pada gilirannya menghasilkan aliran upeti yang kurang lebih teratur dari Raja Ampat. Nyatanya, itu memperluas dan memperkuat wilayah yang relatif kecil dari wilayah asli Tidore. Akibatnya, ritme perompakan sangat diatur oleh faktor politik antar negara/wilayah.

                Banyak penulis telah menekankan bahwa ada juga aspek ekonomi yang tidak terbantahkan dari perompakan59. Dalam kasus yang khusus ini, faktor ekonomi adalah para budak. Perdagangan budak merupakan elemen penting, meskipun kita tidak boleh melebih-lebihkan cakupan luasnya. Sedikit informasi yang kami miliki tentang jumlah budak yang dibawa dalam perompakan menunjukan omset tahunan berupa ratusan daripada ribuan. Jadi, dari segi jumlah, perdagangan budak dari penduduk pulau Papua hampir tidak sebanding dengan situasi di Sulu pada abad ke-1960. Dengan penyerangan ke arah barat yang hanya terjadi pada waktu-waktu yang sulit diatur dan dalam selang waktu yang lama, penduduk pulau Raja Ampat dan sekutu mereka harus mencari area pemasok lain untuk menjaga perdagangan tetap berjalan. Peperangan skala kecil mungkin menjadi sumber untuk mendapatkan budak. Akan tetapi, Raja Ampat itu sendiri, meskipun bukan kesatuan politik, tampaknya bukan panggung konflik internal yang intens, setidaknya tidak sampai pada tingkat yang dihadapi di Amboina dan Seram sebelum pemerintahan kolonial61. Sejauh ini, sumber-sumber umumnya belum menunjukan pada kita, pola khas persaingan partikularistik, yang mengarah ke penyerangan besar-besaran tanpa akhir di darat atau di sepanjang pantai.

                Karena Raja Ampat sendiri tidak banyak menghasilkan budak, pasokan harus datang dari wilayah pedalaman, yaitu semenanjung kepala burung dan daerah sekitarnya sampai ke timur teluk Cendrawasih. Di pedalaman ini, bukti untuk mempertahankan kesimpulan bahwa perang suku berskala kecil adalah cara untuk mendapatkan tawanan, sangat banyak. Pada awal zaman modern, fenomena ini juga ditemukan di bagian lain Indonesia timur62. Para tawanan tersebut, yang tidak ditebus oleh clan atau desa mereka, kemungkinan besar diperdagangkan ke arah barat dengan imbalan kain, peralatan besi, dan komoditas berharga lainnya. Dalam situasi seperti itu, peperangan skala kecil, awalnya dimaksudkan sebagai pembalasan atas pelanggaran dan untuk mendapatkan status, rampasan, atau kepala untuk sistem sosial-agama, terkait dengan hubungan perdagangan komersial. Karena daerah pedalaman Papua, secara ekonomi tidak banyak yang bisa ditawarkan ke bagian-bagian Asia Tenggara yang lebih “berkembang”, tidak mengherankan jika manusia lambat laut menjadi barang ekspor yang menonjol. Karenanya, perampokan dan barter adalah 2 sisi yang saling melengkapi dari satu aktivitas. Untuk waktu yang lama, aktivitas ini menjadi bagian intrinsik dari ekonomi politik daerah tersebut. Dalam konstruksi seperti itu, kekerasan tidak pernah jauh dari hal demikian. Orang-orang yang bertindak sebagai bajak laut, seolah-olah agresor, tentu saja bukan bagian dari kelompok marjinal pada masyarakat pinggiran. Sebaliknya, fenomena tersebut dianggap benar dan seringkali melibatkan kaum elit.

====== selesai ======


Catatan Kaki

  1. C.R. Boxer and P.-Y. Manguin, “Miguel Roxo de Brito’s Narrative of his Voyage to the Raja Empat, May 1581–November 1582”, Archipel 18 (1979), pp. 177–94; J.H.F. Sollewijn Gelpke, “The Report of Miguel Roxo de Brito of
    his Voyage in 1581–1582 to the Raja Ampat, the MacCluer Gulf and Seram”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), pp. 127–45.
  2. P.A. Leupe, “Reizen der Nederlanders”, pp. 115–57; G.P. Rouffaer, “De Javaansche naam ‘Seran’ van Z.W. Nieuw-Guinea vóór 1545; en een rapport van Rumphius over die kust van 1684”, Tijdschrift van het Koninklijk
    Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap
    25 (1908), pp. 316–25.
  3. VOC 1205, pp. 806v–08v.
  4. VOC 1240, p. 795.
  5. VOC 8075, pp. 880–85.
  6. Coolhaas, Generale missiven, vol. 6, pp. 329, 386, 387, 414.
  7. Leupe, “Reizen der Nederlanders”, pp. 212–17.
  8. VOC 1662, pp. 133–40.
  9. Leupe, “Reizen der Nederlanders”, pp. 220–23, 240–47.
  10. VOC 8074, pp. 557–60, 583–84; VOC 8075, pp. 636, 648, 656.
  11. Leupe, “Reizen der Nederlanders”, pp. 223–40; Andaya, World of Maluku, pp. 101-02.
  12. VOC 8074, pp. 628–29, 631–35, 643, 648–49.
  13. VOC 8075, pp. 416–18, 450–65, 496–98, 511–21; F.S.A de Clerq, “Het gebied der kalana fat of vier radja’s in westelijk Nieuw-Guinea”, De Indische Gids 11 (1889), pp. 1312–13.
  14. VOC 8075, pp. 527–30, 533–35, 540–43.
  15. VOC 8075, pp. 545–48, 557–65, 572, 585, 597, 601, 605; De Clerq, “Kalana fat”, pp. 106.
  16. A. Haga, “Het rapport van H. Zwaardecroon en C. Chasteleijn betreffende de reis naar Nieuw Guinea in 1705 ondernomen door Jacob Weyland”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 30 (1885), pp. 236–37, 245–58.
  17.  J. Miedema and G. Reesink, One Head, Many Faces; New Perspectives on the Bird’s Head Peninsula of New Guinea (Leiden: KITLV Press, 2004), p. 62.
  18. T. Goodman, “The Sosolot Exchange Network of Eastern Indonesia during the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, in J. Miedema, C. Odé, R.A.C. Dam, eds., Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia (Proceedings of the Conference, Leiden, 13–17 October 1997) (Amsterdam: Rodopi, 1998), pp. 430–34, 436–40.
  19. J. Miedema, “Trade, Migration, and Exchange; The Bird’s Head Peninsula of Irian Jaya in a Comparative Perspective”, in A.J. Strathern and G. Stürzenhofecker, eds., Migration and Transformations: Regional Perspectives on New Guinea (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1994), pp. 123–24, 133; Miedema and Reesink, One Head, pp. 63–68, 116, 183.
  20. J. Miedema, De Kebar 1855–1980; Sociale structuur en religie in de Vogelkop van West-Nieuw-Guinea (Dordrecht: Foris, 1984), pp. 5–6; J. Timmer, Living with Intricate Futures: Order and Confusion in Imyan Worlds, Irian Jaya, Indonesia (Nijmegen: Centre for Pacific and Asian Studies, 2000), pp. 66, 119–22, 167.
  21. G.J. Held, The Papuas of Waropen (The Hague: Nijhoff, 1957), pp. 198, 200–03, 207–10, 213–16, 223–26, 229–31.
  22.  E. Velthoen, “Wanderers, Robbers and Bad Folk’: The Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750–1850”, in A. Reid, ed., The Last Stand of Asian Autonomies: Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast Asia and Korea, 1750–1900 (London/New York: MacMillan/ St. Martins, 1997), pp. 368–69.
  23. Warren, Sulu Zone, pp. 146, 167.
  24.  Anderson, “Piracy”, pp. 177–80; J.N.F.M. à Campo, “Zeeroof, bestuurlijke beeldvorming en beleid”, in G. Teitler, A.M.C. van Dissel and J.N.F.M. à Campo, eds., Zeeroof en zeeroofbestrijding in de Indische archipel (19 de eeuw) (Amsterdam: Bataafsche Leeuw, 2005), pp. 119–22.
  25. Warren, Sulu Zone, pp. 207–08.
  26. Knaap, Kruidnagelen, pp. 14–15, 76–79.
  27. Velthoen, “Wanderers”, p. 370; G.J. Knaap, “Kora-kora en kruitdamp; De Verenigde Oost-Indische Compagnie in oorlog en vrede in Ambon”, in G. Knaap and G. Teitler, eds., De Verenigde Oost-Indische Compagnie tussen oorlog en diplomatie (Leiden: KITLV Press, 2002), pp. 259–63.

 

Catatan Tambahan

a.        Simon Jacobszoon Cos menjadi Gouvernuer VOC Moluccas (Ternate) pada 1656-1662. Ia menggantikan Jacob Hustaert (1653 -1656) yang dimutasi menjadi Gouvernuer VOC Amboina (1656 – 1662). Simons Cos sendiri digantikan oleh Anthonij van Voorst (1662 – 1667). Jadi Memoar mutasi atau Memorie van Overgave dari Simon Cos sebagai Gubernur VOC Moluccas diberikan kepada penggantinya, Anthonij van Voorst

b.       Pieter Rooselaar menjadi Gouvernuer VOC Moluccas (Ternate) pada 1701 – 1706, dan kemudian digantikan oleh Jacob Claaszoon (1706 – 1710).

 

References

Archival sources
National Archives, The Hague.
————. VOC 1205: 803v–10r. Summary report of the journey of Simon Cos to the Papuan Islands, in Arnold de Vlaming van Oudshoorn’s journal dated 30 December 1653.
————. VOC 1240: 775–826. Memoir of transfer of office of Simon Cos, 23 May 1662.
————. VOC 1662: 132–45. Report of Jan van Benthem and Frans Ernst of an expedition to the Papuan Islands, 17 August 1702.
————. VOC 8074: 534–99. Journal of Pieter Kleijn and Adolph Johan van der Laan of an expedition to the Papuan Islands, 9 October 1704.
————. VOC 8074: 627–59. Instruction for Pieter Lijn and Jacob van Gijn for an expedition to the Papuan Islands, 30 May 1705.
————. VOC 8075: 414–605. Journal of Pieter Lijn and Jacob van Gijn of an expedition to the Papuan Islands, 7 June 1706.
————. VOC 8075: 605–72. Journal of Adolph Johan van der Laan of an expedition to the Papuan Islands, 3 November 1705.
————. VOC 8075: 846–99. Short description of the Moluccas by Pieter Rooselaar, 1 March 1706.

 

Printed sources and literature

  • Andaya, L.Y. The World of Maluku; Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
  • Anderson, J.L. “Piracy and World History: An Economic Perspective on Maritime Predation”. Journal of World History 6 (1995): 175–99.
  • Arfan, H. “Peranan pemerintah tradisional kepulauan Raja Ampat waktu dulu”. In Halmahera dan Raja Ampat sebagai kesatuan majemuk: Studi-studi terhadap suatu daerah transisi, edited by E.K.M. Masinambow. Jakarta: LEKNAS/LIPI, 1987, pp. 209–16.
  • Boxer, C.R. and P.-Y. Manguin. “Miguel Roxo de Brito’s Narrative of his Voyage to the Raja Empat, May 1581–November 1582”. Archipel 18 (1979): 175–94.
  • Buijze, W. De generale lant-beschrijvinge van het Ambonse gouvernment … door G.E. Rumphius. ‘s-Gravenhage: n.p., 2001.
  • Campo, J.N.F.M. à. “Zeeroof, bestuurlijke beeldvorming en beleid”. In Zeeroof en zeeroofbestrijding in de Indische archipel (19 de eeuw), edited by G. Teitler,
  • A.M.C. van Dissel, and J.N.F.M. à Campo. Amsterdam: Bataafsche Leeuw, 2005, pp. 25–133.
  • Clercq, F.S.A. de. “Het gebied der kalana fat of vier radja’s in westelijk NieuwGuinea”. De Indische Gids 11 (1889): 1297–351.
  • Coolhaas, W.Ph. Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1960–79. 7 vols. Rijks Geschiedkundige Publicatiën, 104, 112, 125, 134, 150, 159, 164.
  • Goodman, T. “The Sosolot Exchange Network of Eastern Indonesia during the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. In Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia: Proceedings of the Conference, Leiden, 13–17 October 1997, edited by J. Miedema, C. Odé, R.A.C. Dam. Amsterdam: Rodopi, 1998,
    pp. 421–54.
  • Haga, A. Nederlandsch Nieuw Guinea en de Papoesche eilanden; Historische bijdrage, ±1500–1883. vol. 1. Batavia/’s-Gravenhage: Bruining/Nijhoff, 1884.
    ————. “Het rapport van H. Zwaardecroon en C. Chasteleijn betreffende de reis naar Nieuw Guinea in 1705 ondernomen door Jacob Weyland”.
    Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 30 (1885): 235–58.
  • Hanna, W.A. Indonesian Banda; Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands. Philadelphia: ISHI, 1978.
  • Heeres, J.E. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel. vol. 3. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1895.
    ————. “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”. vol. 1.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 57 (1907).
    ————. “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”. vol. 2.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 87 (1931).
  • Held, G.J. The Papuas of Waropen. The Hague: Nijhoff, 1957. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation Series 2.
  • Huizinga, F. “Relations between Tidore and the North Coast of New Guinea in the Nineteenth Century”. In Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia: Proceedings of the Conference, Leiden, 13–17 October 1997, edited by J. Miedema, C. Odé, and R.A.C. Dam. Amsterdam: Rodopi, 1998, pp. 385–419.
  • Kamma, F.C. “De verhouding tussen Tidore en de Papoese eilanden in legende en historie”, Indonesië 1 (1948), number 4, 361–70, number 6, 536–59; 2 (1948), number 2, 177–87, number 3, 256–75.
    ————.
    Koreri; Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area. The Hague: Nijhoff, 1972. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation Series 15.
  • Katoppo, E. Nuku, Sultan Saidul Jehad Muhamad El Mabus Amirudin Syah, kaicil paparangan, Sultan Tidore: Riwayat perjuangan kemerdekaan Indonesia di Maluku Utara 1780–1805. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
  • Knaap, G.J. “Kora-kora en kruitdamp; De Verenigde Oost-Indische Compagnie in oorlog en vrede in Ambon”. In De Verenigde Oost-Indische Compagnie tussen oorlog en diplomatie, edited by G. Knaap and G. Teitler. Leiden: KITLV Press, 2002, pp. 257–81. Verhandelingen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 197.
    ————.
    Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656–1696. Leiden: KITLV Press, second revised imprint, 2004. Verhandelingen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 212.
  • Lapian, A.B. Orang laut, bajak laut, raja laut; Sejarah kawasan Laut Sulawesi pada abad XIX. Yogyakarta: Ph.D. dissertation Universitas Gadjah Mada, 1987.
  • Leeden, A.C. van der. “The Raja Ampat Islands: A mythological interpretation”. In Halmahera dan Raja Ampat sebagai kesatuan majemuk: Studi-studi terhadap suatu daerah transisi, edited by E.K.M. Masinambow. Jakarta: LEKNAS/LIPI, 1987, pp. 217–44.
  • Leirissa, R.Z. Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan sekitar Laut Seram awal abad 19. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
  • Leupe, P.A. “De reizen der Nederlanders naar Nieuw-Guinea en de Papoesche eilanden in de 17e en 18e eeuw”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 22 (1875): 1–162, 175–307.
  • Miedema, J. De Kebar 1855–1980: Sociale structuur en religie in de Vogelkop van West-Nieuw-Guinea. Dordrecht: Foris, 1984. Verhandelingen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 105.
    ————. “Trade, Migration, and Exchange: The Bird’s Head Peninsula of Irian Jaya in a Comparative Perspective”. In
    Migration and Transformations: Regional Perspectives on New Guinea, edited by A.J. Strathern and G. Stürzenhofecker. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1994, pp. 121–54.
  • Miedema, J. and G. Reesink. One Head, Many Faces; New Perspectives on the Bird’s Head Peninsula of New Guinea. Leiden: KITLV Press, 2004. Verhandelingen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 219.
  • Miedema, J. and W.A.L. Stokhof. Memories van overgave van de afdeling West Nieuw-Guinea. vol. 2. Leiden: DSALCUL/IRIS, 1993. Irian Jaya Source Materials 6.
  • Rouffaer, G.P. “De Javaansche naam ‘Seran’ van Z.W. Nieuw-Guinea vóór 1545: en een rapport van Rumphius over die kust van 1684”. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap 25 (1908): 308–47.
  • Rumphius, G.E. “De Ambonse historie behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen zo in vreede als oorlog […]”. Two parts in one volume. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 64 (1910).
  • Sollewijn Gelpke, J.H.F. “The Report of Miguel Roxo de Brito of his Voyage in 1581–1582 to the Raja Ampat, the MacCluer Gulf and Seram”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994): 123–45.
  • Stapel, F.W. Pieter van Dam, Beschrijvinge van de Oostindische Compagnie, vol. 2-1. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1931. Rijks Geschiedkundige Publicatiën 74.
    ————. “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”. Volume 3.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 91 (1934).
    ————. “Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum”. Volume 4.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 93 (1935).
  • Tiele, P.A. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel. Volume 1. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1886.
  • Tiele, P.A. and J.E. Heeres. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel. Volume 2. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1890.
  • Timmer, J. Living with Intricate Futures: Order and Confusion in Imyan Worlds, Irian Jaya, Indonesia. Nijmegen: Centre for Pacific and Asian Studies, 2000.
  • Valentijn, F. Oud en Nieuw Oost-Indiën. Volume 1. “Beschrijving der Moluccos”. Dordrecht/Amsterdam: Van Braam/Onder de Linden, 1724.
  • Velthoen, E.J. “Wanderers, Robbers and Bad Folk: The Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750–1850”. In The Last Stand of Asian Autonomies; Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast Asia and Korea, 1750–1900, edited by A. Reid. London/New York: MacMillan/St. Martins, 1997, pp. 367–88.
  • Warren, J.F. The Sulu Zone, 1768–1898; The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Singapore: Singapore University Press, 1981.
    ————.
    Iranun and Balangingi; Globalization, Maritime Raiding and the Birth of Ethnicity. Singapore: Singapore University Press, 2002.
  • Widjojo, M.S. Cross-Cultural Alliance-making and Local Resistance in the Moluccas during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810: A HistoricalAnthropological Study into the Resistance of the Moluccan vis-à-vis Western Strive for Hegemony and Domination. Leiden: Brill, forthcoming.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar