Jumat, 18 Juni 2021

Hilangnya Lusofonia dan identitas di kepulauan Melayu-Indonesia. Peristiwa dan marginalisasi komunitas asal Portugis : Kasus Amboino (bag 1)


[MANUEL LOBATO]

  

  1. Kata Pengantar

De Fretes, De Lima, Da Costa, De Queljoe, dan beberapa marga lainnya, kini dianggap sebagai marga atau nama keluarga yang berasal dari Ambon. Namun nama-nama tersebut adalah nama-nama Portugis. Tidak bisa dipungkiri, bahwa hampir seabad lamanya Portugis “menguasai” Maluku dan Ambon, budaya-budaya Portugis dan semua “pernak-perniknya” terserap dalam kebudayaan Ambon. Komunitas “portugis” di tanah jajahan tersebut, oleh sejarahwan disebut Lusofonia atau Lusofon.

Manuel Lobato, melalui artikel sepanjang 21 halaman yang berjudul Lusofonia desaparecida e identidade no arquipélago malaio-indonésio. Génese e marginalização das comunidades de origem portuguesa: O caso de Amboino ini, mengurai tentang komunitas “portugis” di Maluku, khususnya di Ambon. Artikel ini dimuat dalam buku berjudul Lusofonia. Encruzilhadas Culturais, yang dieditori oleh Ana Maria Correia dan Ivo Carneiro de Sousa, yang diterbitkan di Macau oleh Saint Joseph Academic Press tahun 2011, dan berada atau ditempatkan pada halaman 34 – 54. 

Manuel Lobato

Sepanjang artikel, sang penulis sangat setia pada bentuk kata Amboino, kata yang mungkin kurang familiar bagi kita di masa kini dibandingkan bentuk kata Ambon atau Amboina. Menurut penulis, penggunaan kata Ambon merupakan “warisan” dari Belanda dan Inggris, sedangkan sejarahwan yang tetap setia menggunakan sumber-sumber abad ke-16 dan awal 17 (yang berarti sumber-sumber Portugis dan Spanyol),terus menggunakan bentuk kata Amboino. Kita tentu boleh saja berpendapat dengan sang penulis, namun alasan yang diberikan oleh penulis, minimal haruslah diterima dan dianalisis kembali sehingga kita bisa memahami sejarah “Ambon” atau “Amboino” dengan baik.

Artikel ini, seperti yang disebutkan di atas terdiri dari 21 halaman, juga 66 catatan kaki, namun sayangnya tidak ada gambar ilustrasi di dalamnya. Pada artikel yang kami terjemahkan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan catatan tambahan. 

Akhir kata........selamat membaca....semoga pengetahuan dan pengalaman kesejarahan kita semakin bertambah serta memahami sejarah sesuai dengan konteksnya.

 

Amboino (ca. 1601)

  1. Terjemahan

Pendahuluan

Masyarakat Asia asal Portugis hampir tidak mungkin berhasil jika mereka tidak diuntungkan, baik di mata mereka sendiri maupun tetangga mereka dari sanksi/hukuman agama, yang, dalam konteks kepulauan Melayu, melibatkan pengakuan praktik keagamaan dan pemeluknya sebagai pemegang kekuatan magis-religius. Peran Kekristenan terbukti sangat menentukan sebagai pencipta identitas sosial, teruma karena menimbulkan penciptaan alam semesta kepercayaan baru, dimana unsur-unsur Kristen bercampur – tetapi juga bersaing – dengan kepercayaan lokal, baik oleh segmen sosial yang tetap animis maupun secara sosial dan politik lebih berpengaruh dan beralih ke Islam.

Dengan demikian, struktur sosial asli ini memainkan peran penting di Asia Tenggara, dimana masyarakat yang tersegmentasi menyukai kelangsungan hidup kelompok sosial kecil dengan karakteristik mereka sendiri. Dengan demikian, contoh dapat dengan mudah semakin banyak, dimana hilangnya masyarakat Lusofon secara bertahap, tidak berarti hilangnya identitas sosial bagi kelompok-kelompok yang semakin terisolasi dari kontak dengan otoritas Portugis, karena telah terusir dari kota-kota perbenteng mereka seperti di Ternate (1575), Amboino (1605), Tidore (1606), Solor (1613) dan Malaka (1641). Bahkan setelah menjadi kelompok minoritas di pusat-pusat kota tersebut, mereka bertahan sebagai orang Kristen di antara masyarakat Islam tradisional, mengklaim diri mereka sebagai orang Portugis, yang seringkali bersifat imajinasi, seperti di kota Ambon atau Jakarta.

Kajian ini menyangkut asal usul dan perjalanan yang berliku-liku dari komunitas Kristen di Amboino, dimana beberapa keluarga terus mengklaim diri mereka berasal dari Portugis atau orang Portugis. Tanpa mempertanyakan apakah klaim tersebut sesuai atau tidak dengan apa yang dapat disimpulkan dari data sejarah yang ada, bagaimanpun juga, tidak diragukan lagi, bahwa hal tersebut adalah bagian dari warisan budaya yang memiliki nilai positif dan tidak bisa dihindari, sebagaimana adanya fakta penting dari kajian ini.

Umumnya, Amboino dianggap sebagai kota yang didirikan oleh Portugis. Penaklukan kota itu oleh Belanda pada tahun 1605 setelah menyerahnya kapten Gaspar de Melo (1603 – 1605), mengabadikan ingatan akan fakta itu yang selalu diingat oleh para sejarahwan. Namun, yang kurang diingat adalah proses pada pendirian sebuah kota. Tujuan dari studi atau kajian ini, bukan untuk menggambar proses yang, dengan beberapa kesenjangan secara rinci, telah cukup diketahui, tetapi untuk menjelaskan pendirian sebuah kota dalam kerangka regional yang kompleks dan persisten, yang konturnya, dalam hal konflik politik, etnis dan agama, terus terjadi dan mengkondisikan sejarah dan perjalanan masyarakat kota, pulau dan kepulauan, yang oleh para jurnalis sering menyebutnya sebagai “Ambon”, menggunakan suatu istilah yang “ditahbiskan” atau digunakan oleh Belanda dan Inggris. Para sejarahwan yang tetap setia pada bentuk atau nama yang digunakan pada abad ke-16 dan ke-17, menyebutnya Amboino. Penggunaan istilah bahasa Inggris yang tidak tepat saat ini, berarti ketidaktahuan tentang asal usul dan sejarah sebuah kota, yang mungkin merupakan pendirian Portugis terpenting di kepulauan Indonesia.

Nossa Senhora Da Anunciada (dalam tahun 1607)
 

Kembali ke Masa Lalu

                Sejak tahun 1999, Amboino sekali lagi menjadi bahan pemberitaan di media mengenai konflik berdarah antara masyarakat Kristen dan Islam di tempat yang hingga saat ini menjadi ibukota provinsi Maluku, yang kini terbagi menjadi 2 provinsi (Provinsi Maluku dan Maluku Utara).  Masa-masa telah berlalu, setelah dekolonisasi Hindia Belanda, dengan dukungan dan kerjasama dari bekas kekuasaan kolonial, Amboino menjadi ibukota Republik Maluku Selatan yang berumur pendek, yang pendukungnya tetap aktif di dalam dan di luar negeri. Eksperimen kemerdekaan yang berumur pendek dan secara brutal dihancurkan pada tahun 1950 oleh invasi tentara Indonesia, mengakibatkan kematian ribuan orang, termasuk presiden Republik yang muda itu, Chris Soumokil, yang ditangkap pada tahun 1956 dan dieksekusi 10 tahun kemudian. Upaya Belanda untuk membagi wilayah bekas jajahan dengan menciptakan negara yang patuh dan sesuai dengan kepentingan mereka, seperti pemerintahan baru yang dibentuk di Jakarta, terbukti telah gagal dan merugikan.

                Represi pemerintah Indonesia di Maluku Tengah mengakibatkan eksodusnya orang-orang Kristen dan pegawai negeri yang berkomitmen setia pada pemerintah kolonial Belanda sebelumnya, yang memperkirakan hasil seperti yang akan terjadi, mulai meninggalkan Nusantara selama dekolonisasi. Tujuan favoritnya adalah Belanda, dimana lebih dari 40.000 ekspatriat dari Maluku tinggal di situ, serta Afrika Selatan, suatu negara dimana penguasaan dan pengetahuan tentang bahasa Belanda, menjadikan mereka, sampai berakhirnya politik apartheid, unggul dibandingkan mayoritas penduduk pribumi Afrika dan Asia.

                Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa, meskipun direpresi, masalah politik dan sosial meledak kembali pada tahun-tahun pertama jatuhnya rezim pemerintah Indonesia, setelah bertahan dalam bentuk larva selama 4 dekade, suatu periode dimana situasi diperburuk karena dukungan yang diberikan oleh otoritas publik kepada minoritas Muslim, yaitu melalui migrasi yang terkenal, kebijakan perpindahan penduduk secara besar-besaran di Indonesia. 


                Asal muasal masalah politik di pulau Amboino, darimana kota itu mendapatkan namanya, hilang di masa lalu yang sangat jauh, bahkan sebelum kedatangan Portugis, yang merupakan orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah tersebut dan menetap di sana. Situasi di Amboino pada hari-hari ini, bagaimanapun juga, berakar dalam kebijakan kolonial yang diadopsi oleh Belanda, yang, sejak abad ke-17, mengubah pulau itu menjadi benteng terpenting dominasi mereka atas bagian timur kepulauan Melayu dan pusat perdagangan, militer dan administrasi kedua, setelah Batavia (Jakarta) dipilih pada tahun 1619 sebagai ibukota VOC/Hindia Belanda.

                Memang, Amboino, pertama-tama hanya merujuk pada sebuah pulau kecil, yang cukup penting karena berasal dari pelabuhannya yang sangat baik dan terlindung di dalam teluk Leitimor yang luas dan dalam. Di kelilingi oleh beberapa pulau dari kelompok yang sama, beberapa diantaranya jauh lebih besar, seperti Seram, yang mengelilinginya dari utara, Amboino menjadi nama kepulauan kecil itu. Dalam konteks pelayaran jarak jauh, Amboino memiliki arti penting yang sejajar dengan Malaka atau Singapura, menawarkan perlindungan bagi kapal-kapal yang menempuh jalur rempah-rempah antara Malaka atau pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Maluku Utara. Dalam perjalanan menuju atau dalam perjalanan kembali, junk-junk Jawa dan Melayu berlabuh sementara waktu di kepulauan Amboino sambil menunggu pergantian angin yang terjadi, yaitu apa yang disebut muson selatan, yang mulai bertiup pada bulan Juni, yang membantu pelayaran mencapai wilayah Maluku, dan muson barat laut, yang mulai bertiup pada bulan Desember hingga Februari dan bertepatan dengan musim lembab dan hujan, yang dalam sumber Portugis disebut “musim dingin”, yang memungkinkan mereka kembali ke Jawa. Amboino menjadi titik akhir rute, karena cengkih dari Maluku Utara dibawa ke sana dengan perahu dayung oleh penduduk Ternate, Tidore dan Makian, yang merupakan pulau-pulau penghasil rempah-rempah.

Islamisasi Amboino menurut sumber-sumber Portugis dan Lokal

                Keadaan navigasi di kepulauan Melayu dan kondisi yang ditawarkan oleh Amboino, membuat kapal-kapal Portugis membutuhkan waktu beberapa tahun lagi untuk mencapai pulau-pulau di utara Maluku daripada yang biasanya dipahami. Jika kita mengecualikan Fransisco Serrão, yang, setelah diselamatkan dari kapal karam, dibawa ke Hitu di pantai utara Ambon, dan dari sana ke Ternate1, barulah pada tahun 1516, kapal pertama yang dikomandani oleh seorang Portugis, duta besar Jorge Mesurado, dikirim ke Ternate oleh Kapten Malaka, Jorge de Albuquequeb, akan sampai di pulau ini. Antara tahun 1513 dan tahun 1515, kapal-kapal Portugis dan Lusofon-Melayu yang dikirim dari Malaka ke kepulauan rempah-rempah hanya sampai di pulau Banda dan Amboino, seperti yang disebutkan oleh Alvaro do Cocho, dalam sebuah surat kepada Raja, yang dikirim dari Malaka setelah kembali dari Banda, surat yang menyatakan bahwa orang Maluku belum “mendapatkan orang Portugis yang lain, selain hanya Fransisco Serrão saja, yang telah ada di sana”2        

                Fransisco Serrão adalah kapten kapal Sabaia, yang karam pertama kali pada pelayaran yang dilakukan oleh Portugis ke Maluku. Dia dan 10 rekannya selamat dari kapal yang karam untuk kedua kalinya di dekat Nusa Pinju, juga dikenal sebagai pulau penyu (ilha da Tartaruga), yang oleh sumber-sumber Portugis disebut Lucupino atau Lucepinho, 25 liga (league)c sebelah barat Banda. Mereka menemukan tempat berlindung di Nusatelo, kelompok tiga pulau kecil di sebelah barat Hitu, yang penduduknya segera memanfaatkan secara militer orang-orang Portugis yang terdampar ini, dalam konflik mereka dengan negeri-negeri tetangga mereka yaitu Veranula3. Akhirnya mereka dibawa ke Hitu, di pulau Amboino.

                Safara Rijali, penulis sejarah dan Imam Hitu4, mencatat dalam bukunya, Hikayat Tanah Hitu (Kronik Tanah Hitu), yang ditulis sekitar tahun 16465, peristiwa itu, sebagaimana dicatat dalam ingatan penduduknya dan diedarkan di antara mereka melalui tradisi lisan :

“ Suatu hari, penduduk Nusatelo menemukan perahu yang penuh dengan makhluk manusia, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tubuh mereka putih dan matanya mirip dengan mata kucing. Mereka ditanyai beberapa pertanyaan, tetapi mereka tidak bisa berbicara bahasa pribumi”6

                Di Hitu, Serrão dan teman-temannya menyatakan, di hadapan “dewan empat” (empat perdana) dan juru bicaranya yaitu Jamilu, yang awalnya mereka anggap/kira sebagai Raja, bahwa mereka datang dari Portugal untuk berdagang. Setelah kontak pertama ini, para “tahanan” dari Amboino ini menulis pada tahun 1514 kepada kapten Malaka7.

                Sentralitas pulau Amboino, awal dan akhir muson yang mengatur rute rempah-rempah Nusantara, membawa serta Islamisasi awal pulau itu. Faktanya,Hitu, sebuah formasi etnis dan politik yang dipimpin oleh dewan tetua yang menyatukan lebih dari 30 desa/negeri di pantai utara Amboino8, telah menganut Islam ketika Portugis tiba di sana pada tahun 1512 itu. Hitu menjadi formasi politik ketiga yang menganut Islam di kepulauan Nusantara sekitar tahun 1500, 3 dekade setelah Ternate, yang rajanya – menurut tradisi lisan yang dikumpulkan Portugis di pulau ini – adalah penguasa pertama yang memeluk Islam di seluruh wilayah timur kepulauan, suatu fakta yang terjadi antara tahun 1465 dan 1470. Oleh karena itu, Ternate lebih mendahului kepulauan Banda, yang kekuasaan dijalankan oleh dewan perwakilan dari beberapa komunitas desa/negeri, yang beberapa tahun kemudian memeluk agamas Islam sekitar tahun 1485, setidaknya bersandar pada kesaksian Tome Pires, Hitu, yang otoritasnya – sebuah “dewan empat” (empat perdana )9 – sudah menjadi menjadi Muslim pada awal abad ke-16, dan dengan demikian merupakan formasi politik ketiga yang menganut Islam.

                Dua tradisi yang dikumpulkan oleh Antonio Galvao, kapten benteng Portugis di Ternate (1536 – 1539) di pulau ini, mengandung versi-versi yang saling bertentangan mengenai masuknya Islam di Maluku. Cukup jelas dan cerdik, tradisi-tradisi itu mencoba untuk “mendamaikan” pengaruh Jawa dan Melayu yang terasa di Maluku.  Namun, tetap ada kemungkinan bahwa tradisi semacam itu sebagian fiktif, terkait dengan upaya belakangan untuk “mendamaikan” kedua pengaruh tersebut. Jadi, penyusunan ulang memori kolektif, yang terbentuk/terwujud dalam tradisi-tradisi yang dikumpulkan oleh Portugis, terjadi sebelum akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Sama halnya dengan tradisi-tradisi yang dikumpulkan di Ternate, juga di Hitu di pulau Amboino, dalam tradisi lisan yang beredar menyampaikan bahwa Islam telah diperkenalkan di sana oleh orang Jawa. Galvão, yang mengumpulkan tradisi-tradisi ini, menambahkan, dalam langkah ini, bahwa dia berhati-hati untuk bertanya di Jawa tentang masalah ini, dan menerima jawaban bahwa hal itu adalah tradisi fiktif, karena “ moluque” telah masuk (menganut) Islam sebelum orang Jawa sendiri10. Referensi yang dikumpulkan kemudian oleh Belanda, bahkan mengklaim bahwa Hitu pada awalnya adalah koloni yang didirikan oleh Tuban11, yang tampaknya merupakan hasil penambahan yang dibuat pada paruh kedua abad ke-16, selama fase konflik antara Hitu dengan kesultanan Ternate, dengan cara memasukan catatan fiktif dalam tradisi lokal dan menguatkannya dengan mengaitkan legenda-legenda pendiri wilayah itu, dengan tujuan menolak legitimasi kekuasaan Ternate, mempertentangkan dan mengimbanginya melalui cara mengaitkan pengaruh Jawa, dalam upaya untuk menolak kekuasaan Ternate, yang pada saat itu telah berkembang menjadi kuat karena terciptanya jaringan benteng pertahanan yang meliputi pulau-pulau utama kepulauan Amboino. Namun demikian, koeksistensi 2 tradisi yang saling bertentangan yang disebutkan di atas, merupakan indikasi bahwa pedagang Melayu, mungkin tidak memainkan peran yang sering dikaitkan dengan mereka dalam hal masuknya (atau memperkenalkan) Islam di Maluku.

                Bagaimanapun, masuknya Islam di Hitu, hampir tidak mungkin terjadi sebelum akhir abad ke-15, ketika kota-kota pelabuhan di Jawa, seperti Tubão (Tuban), Japará (Jepara) atau Demá (Demak), secara resmi memeluk Islam, oleh karena itu, setelah sebelumnya Islam telah masuk di Maluku bagian utara. Hal ini tidak mungkin terjadi sebaliknya, karena Hitu mengakui otoritas tertentu kepada Raja Ternate. Selain itu, tradisi itu sendiri mendahulukan Maluku Utara dengan mengklaim, - meskipun tidak sesuai - , bahwa pedagang Jawa dan Melayu akan tiba di Maluku Utara untuk pertama kalinya dalam pelayaran mereka, tanpa singgah di Banda dan Amboino : “pertama diketahui Maluquo kemudian Bamda”12

Lembar Pertama Naskah Hikajat Tanah Hitu (Leiden University Library, Cod. Or. 5448)
 

                Menurut Hikayat Tanah Hitu tersebut di atas, pelabuhan ini akan menerima Islam pada akhir abad ke-15, saat pelabuhan lain yang terletak di pulau tetangga, Hoamoal dan Seram, juga menerimanya13. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa para elit di kepulauan Amboino, termasuk orang Maluku pertama yang memeluk Islam14. Namun, meskipun otoritas Hitu telah menjadi Muslim sejak awal abad ke-16, penduduk yang tunduk pada mereka, seabad kemudian, sebagian besar tetap masih animis15. Ini, pada kenyataannya, adalah situasi yang paling umum, karena menurut beberapa kesaksian, yang paling banyak dikutip adalah dari António Pigafetta, masih ada mayoritas animisme yang tetap tinggal di pesisir dan pedalaman16, terutama di pulau-pulau besar, yaitu Halmahera dan Seram. Ini tidak berarti penolakan yang efektif terhadap Islam, tetapi lebih merupakan cara untuk melestarikan identitas sosial dan hak prerogatif yang terkait dengan prioritas pendudukan tanah/wilayah oleh komunitas pedalaman, yang sangat umum terjadi di Asia Tenggara. Pembagian ruang sosial ini, jelas mendukung konversi ke agama Kristen dari segmen sosial yang diklasifikasikan sebagai pribumi, seperti yang terjadi di wilayah-wilayah dimana agama Kristen berhasil, seperti di pulau Moro (Morotai dan Morotia) dan daerah-daerah tertentu di kepulauan Amboino.

                Kasus-kasus konversi ke agama Kristen, mengungkapkan, bukan penolakan terhadap Islam, melainkan penolakan terhadap model sentralisasi yang dilakukan oleh Sultan Ternate, yang menggunakan Islam untuk memperkuat kontrol atas dunia Maluku, sebuah fakta yang dibuktikan oleh perubahan agama terus menerus oleh berbagai kelompok penduduk.

                Kedaulatan, meskipun agak kabur, yang dilakukan Sultan Ternate atas kepulauan Amboino, mengakibatkan meningkatnya kehadiran militer dan penguasaan teritorial mereka sepanjang abad ke-16, hal ini menurut Ridjali17, pada tahun 1501, ketika Sultan Zainal Abidin18 akan membuat kesepakatan dengan Patih Hitu, dimana, masih menurut Hikayat Tanah Hitu tersebut, Ternate mulai mengklaim kedaulatan/kekuasaan tertentu atas pulau Buru, Seram, Amboino, Lease dan Banda. Situasi ini disebutkan oleh Tomé Pires ketika dia menegaskan di akhir uraiannya tentang Amboino : “ agora me paso a maluquo De cuia obidiemcia ambom hee“19  (sekarang saya akan melanjutkan [uraian] ke Maluku, dimana Ambon [merupakan wilayah] kekuasaannya)

 

Kepulauan Ambon - Lease (ca.1605)

Kemunculan Komunitas Portugis di Amboino (1525)

                Pulau Amboino setiap tahun disinggahi kepal-kapal yang dikirim oleh kapten Malaka, bahkan sebelum Maluku Utara dikunjungi, seperti yang telah dikatakan. Ketika, dari tahun 1516, kapal-kapal semacam itu mulai langsung menuju ke Maluku Utara, Amboino tidak kalah arti pentingnya sebagai pelabuhan tempat Portugis memperoleh cengkih dan bertemu dengan utusan-utusan Sultan Ternate. Ini mempertahankan kepentingan strategis sebagai tempat persinggahan yang hampir wajib pada rute ke Maluku, dimana pelayaran Portugis membatasi diri dalam hal meniru praktik maritim pelaut-pelaut Melayu dan Jawa, yang, sejak periode yang sangat jauh lebih awal, telah berlabuh di Amboino, dimana mereka menunggu angin muson yang akan membawa mereka ke pulau-pulau di utara. Sekembalinya dari Ternate menuju Malaka, mereka juga harus singgah selama 3 bulan di Amboino, bahkan ada beberapa di antaranya yang tinggal di sana selama 2 atau 3 tahun20 di berbagai tempat berlabuh di pulau ini. Status berskala besar pada rute rempah-rempah Inter-Asia di Nusantara ini, menyebabkan Amboino telah disebutkan sejak lama oleh penulis Arab dan Jawa21, sebuah reputasi yang digaungkan oleh Portugis dan yang disinggung oleh Tomé Pires, dengan menggambarkan lalu lintas junk-junk yang padat22.

                Ketidaknyamanan, biaya dan resiko yang ditimbulkan dalam rute panjang pelayaran itu, berarti bahwa kapal-kapal yang memuat cengkih Maluco secara teratur singgah di Amboino dan Banda, dimana mereka mendapati pembeli dari Jawa dan Malaka, yang tidak mau melanjutkan perjalanan akhir dan berkepanjangan dari rute rempah-rempah ini, lebih memilih untuk tingal di kepulauan itu, dimana mereka bisa membeli bunga pala dan buah pala yang dihasilkan di Banda serta cengkih yang dihasilkan di pulau-pulau yang terletak lebih jauh di utara. Fakta bahwa panen besar cengkih hanya terjadi setiap 2 atau 3 tahun sekali, juga mengurangi frekuensi kunjungan tahunan ke Maluku Utara. Mungkin, hanya pemilik kapal dan saudagar besar, yang membeli cengkih dalam jumlah besar, akan merasa bermanfaat untuk pergi ke pulau-pulau tempat cengkih dihasilkan, seperti halnya kapal-kapal ke Maluku, yang setiap tahun dikirim ke sana dari Goa atau Malaka. 


                Di Amboino, junk-junk Jawa dan Melayu tidak hanya mengunjungi satu pelabuhan. Awalnya, kapal Portugis berlabuh di Hitu, pelabuhan tak berpenghuni yang terlatak di pesisir utara Amboino. Pada tahun 1525, sudah ada komunitas kecil Portugis di sini. Beberapa waktu setelah kontak pertama, penduduk pribumi Hitu sendiri, memandu kapal-kapal Portugis ke sebuah teluk yang sangat terlindung dari angin, di dalam teluk yang membagi pulau Amboino menjadi 2 semenanjung, yaitu Leitimor dan Hitu. Lokasi ini terletaj di antara desa/negeri Tavire (Tawiri) dan Hatiwi (Hatiwe), yang oleh Portugis diberi nama Cova atau “Covas”23, dimana sepuluh kapal dapat berlabuh berdampingan di dekat daratan, membuat akses ke kapal melalui jalan setapak tanpa perlu untuk menggunakan perahu panjang. Gonçalo de Freitas, putra dari kapten Maluco, Jordão de Freitas, akan membangun benteng kayu di sini pada tahun 154424. Penduduknya adalah penganut animisme dan bukan Islam (Moor) seperti orang Hitu, alasan tambahan mengapa tempat itu disukai oleh Portugis, yang kehadirannya selama “musim dingin” yang panjang, memunculkan keturunan mestizo, karena se cazavão com as mulheres naturais”25 (“mereka menikah dengan perempuan pribumi“), dari kelompok etnis Hatiwi, yang sebelumnya telah dibaptis.  Sebagai pelabuhan yang dipilih untuk berlabuhnya kapal secara musiman – kemudian menjadi galleon- kapal-kapal ke Maluku, yang dari sana akan lahir benteng masa depan Amboino, cikal bakal kota Portugis dan asal mula dari apa yang sekarang menjadi ibukota provinsi Maluku itu.

 

Portugis di Amboino (1525 – 1562)

                Geopolitik kepulauan kecil Amboino masa itu tidak terlalu kompleks. Meskipun dekat dengan Seram, sebuah pulau dengan ukuran yang cukup besar, komunitas utama tinggal di pelabuhan-pelabuhan yang terletak di ujung barat pulau ini, yang disebut dalam sumber-sumber sebagai Veranula (Varenula dan ejaan-ejaan lainnya) yang sekarang disebut semenanjung Hoamoal, di mana Lacide (sekarang Lesidi) dan Cabelo (Kambelo) berada; pelabuhan terpenting berada di pulau Amboino sendiri, dalam kasus ini Hitu yang utama dan di Hatiwi; pemukiman lain yang relevan tersebar di pulau-pulau kecil yang berdekatan, seperti Oma, di pulau Haruku yang kadang-kadang disebut dalam sumber-sumber sebagai Lease atau Liasse (Uliaser), dan Soreçore (Sirisore), di pulau Saparuad. Aspek yang menonjol adalah bahwa, meskipun pulau-pulau tersebut dibatasi laut dalam dan terlindung di sepanjang pesisir selatan Seram, tidak satu pun dari pelabuhan-pelabuhan yang terletak di dekat pelabuhan lainnya, dan tidak mungkin bernavigasi dalam garis lurus di antara pelabuhan tersebut, selalu harus mengelilingi beberapa tanjung atau bagian pantai. Oleh karena itu, posisi relatif ini, ditentukan sejak masa lalu, oleh kebutuhan pertahanan dan pembatasan wilayah, dimana para penjaga memainkan peran yang menentukan dan mendeteksi kemungkinan penyerangan. 


                Pada masa-masa awal, lawan Portugis di Amboino adalah orang asing yang beroperasi  di sana, terlihat dari kemenangan yang dilakukan oleh Diogo Lopes de Azevedo pada tahun 1538 terhadap armada Jawa26. Kekuatan militer Portugis menyebabkan kehadiran yang bersifat permanen, yang status hukumnya mengalami lintasan yang sangat tidak biasa dalam konteks penguasaan Portugis di Timur. Jordão de Freitas, kapten Maluco (1544 – 1546), mendapatkan pemberian dari Sultan Ternate, Sultan Tabarija (1533 – 1535) yaitu sebuah pulau untuk menjadi miliknyae. Pemberian ini dikonfirmasi pada tahun 1543 melalui surat kerajaan dari D. João III. Kutipan dari Relação Vasconcelos yang mereproduksi pandangan Sultan Hairun (1536-1545 dan 1546 – 1570), pengganti Sultan Tabarija, tentang hal ini sangat membingungkan dan tidak membantu untuk memperjelasnya27.  Ahli waris Jordão de Freitas gagal untuk mendapatkan konfirmasi kerajaan tentang pemberian pulau itu. Pada tahun 1574, putra sulungnya, Gonçalo de Freitas, terus bersikeras dalam hal ini dengan Raja Portugis28, memicu proses forensik yang akan berlarut-larut selama bertahun-tahun.

                Sejak tahun 1557, Muslim Amboino yang didukung oleh Sultan Hairun dan oleh orang Jawa dari Jepara, mulai memerangi pengaruh Kristen yang sedang berkembang. Serangan Hitu dan Ternate di wilayah itu semakin intensif, ditandai dengan penganiayaan dan penyerangan terhadap misionaris dan komunitas Kristen, yang juga ditekan untuk memberontak29. Tersebar di pulau-pulau Lease, Seram dan Buru, selain Amboino, komunitas Kristen semacam itu pada tahun 1565, menurut jumlah dari kaum Jesuit berjumlah sekitar 70.000 yang berpindah agama ke Islam30.

                Mungkin tidak berlebihan untuk melihat dalam masyarakat yang menentang hegemoni Hitu tentang penerimaan alami terhadap agama Kristen, karena Portugis tampaknya menjadi sekutu kuat yang mampu membatasi pretensi kaum Muslim yang didukung kesultanan Ternate. Konversi meluas ke pulau-pulau dekat Amboino, seperti Haruku, yang penduduknya, setidaknya pada suatu waktu setuju untuk menjadi Kristen, meskipun penduduk Hatuhaha di pantai utara pulau ini, yang akhirnya murtad, dijuluki untuk sementara waktu sebagai “pemberontak” (“arrenegados”).

                Antara tahun 1558 dan 1578, wakil Sultan Hairun di Amboino adalah Liliato atau Leliato31, yang memiliki sumber daya militer yang cukup besar, terdiri dari para pengikut/pendukungnya di Nusantara dan yang disediakan oleh Sultan, yang dikirim dari Ternate dan dari tempat-tempat lain. Kebijakan Sultan Hairun mengacu pada penganiayaan sistematis terhadap semua penduduk pribumi, Kristen atau bukan, yang menolak Islam, dan dengan demikian, juga otoritasnya. Hairun bertekad untuk menyingkirkan para pendukung Portugis di Amboino, yang menentang otoritasnya. Untuk tujuan ini, Liliato membuat beberapa konsesi dan berusaha untuk menarik para pemimpin komunitas bantaran sungai yang berada di wilayah pengaruh Hatiwi melalui kebijakan perkawinan yang cerdik dengan anggota keluarganya sendiri32

 

===== bersambung =====

Catatan Kaki

1.         Tentang  Francisco Serrão, lihat Manuel Lobato «A man in the shadow of Magellan. Francisco Serrão, the First Portuguese in the Maluku Islands», comunicação apresentada ao International Seminar Indonesia and Portugal: Past, Present and Future. In the Commemoration of the 10 Years of the Reestablishment of Diplomatic Relations, Museu do Oriente, Lisboa, 16 e 17 de Novembro de 2009.

2.        Surat Alvaro do Cocho kepada Raja D Manuel, ditulis di Malaka, 2 Januari 1516, IANTT, CC, Pte. III, maço 6, doc. 3, ditranskripsi oleh L.F. Thomaz dalam  «As cartas malaias de Abu Hayat (...)», cit.

3.        Informasi Gaspar Correia (Lendas da Índia, intr. e ver. de M. Lopes de Almeida, II, Porto, Lello & Irmão, 1975, Cap. IX, p. 710) dalam hal ini, meskipun ada beberapa ketidakakuratan dan kronologi yang tidak dapat diterima

4.        Richard Chauvel, «Ambon’s Other Half: Some Preliminary Observations on Ambonese Society and History», Review of Indonesian and Malayan Affairs, XIV, 1 (Jun. 1980), p. 43.

5.        Z. J. Manusama (ed. e trad. hol.), Ridjali’s Hikayat Tanah Hitu: Historie en Sociale Structuur van Ambonse Eilanden in het Algemeen en Uli Hitu het Bijzonder tot het Midden de Zeventiende Eeuw, Dissertação de Doutoramento, Universidade de Leiden, 1977 (dactil.). A edição integral desta obra de Safara Ridjali, que Manusama, o seu editor, fez acompanhar da respectiva tradução holandesa, mostra, segundo Jacobs (Documenta Malucensia (1542- 1682), Edited and Annotated by Hubert Jacobs, I (1542-1577), Roma, 1974, p. XXXVI), que a posterior versão oferecida por Valentyn (II b 1-14) se afasta bastante do original em língua malaia (cf. Ch. Fraassen, «Historical Introduction», in Katrien Polman, The Central Moluccas. An Annotated Bibliography, KITLV, Bibliographical Series 12, Dordrecht/Cinnaminson, Forbis Publications, 1983, p. 29. A obra de Ridjali foi publicada recentemente em edição anotada: H. Stravers, Ch. Fraassen and J. Putten (eds.), Ridjali Historie van Hitu. Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw, Utrecht, Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004, à qual infelizmente não tivemos acesso. Uma apreciação desta edição pode ler-se em G. L. Koster, «Hikayat Tanah Hitu. A Rare Local Source of 16th and 17th Century Moluccan History», Revista de Cultura de Macau, 28, 2008, pp. 132-142.

6.       Traduzido da versão inglesa de Paramita R. Abdurachman, «New Winds, New Faces, New Forces», Prisma, 33, Set. 1984, p. 48. 57 / 5000.

7.        Surat Jorge de Albuquerque kepada Raja, ditulis di Malaka, 8 Januari 1515, dalam  Artur Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, I, Lisboa, AGU, 1954, p. 80.

8.        Inti dari desa-desa ini dibentuk oleh dua pusat kota kecil - Hitulama dan Hitumesing - yang membentuk Hitu sendiri. (Cf. Hubert Jacobs SJ, «The Portuguese town of Ambon, 1567-1605», Luís de Albuquerque & Inácio Guerreiro (eds.), II Seminário Internacional de História Indo-portuguesa, IICT, Lisboa, 1985, p. 604).

9.       Richard Chauvel, «Ambon’s Other Half», cit., p. 43

10.     Hubert Th. Th. M. Jacobs SJ, A Treatise on the Molucas (c. 1544) Probably the Preliminary Version of António Galvão’s lost Historia das Molucas, edited, annotated and translated into English from the portuguese manuscript in the Archivo General de Indias, Seville, Roma e St. Louis, USA, Historical Institute, Sources and Studies for the History of the Jesuits, III 1971, p. 104. Bagi kami, bagian yang dipermasalahkan, di mana Galvão membahas kebenaran narasi lisan yang dikumpulkannya di Hitu, tidak dapat ditafsirkan dalam arti bahwa orang Ambonens mengklaim sebagai keturunan orang Jawa yang dikaitkan oleh Jacobs (Documenta Malucensia, I, cit., p. 173, nota 11).

11.       Cf. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Haia, Martinus Nijhoff, 1962, p. 160. dan sumber-sumber Belanda yang dikutip di sana

12.      Jacobs, A Treatise on the Molucas, cit., p. 82. Também Tomé Pires (A Suma Oriental de Tomé Pires e o Livro de Francisco Rodrigues, ed. de Armando Cortesão, Coimbra, Imprensa da Universidade, 1978, p. 331. menyinggung fakta bahwa Islam baru sampai di Banda sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1485

13.      Ch. F. van Fraassen, «Historical Introduction», cit., p. 2.

14.      Cf. Gerrit J. Knaap, «Some Observations on a Thriving Dancing-Party: The Cultivation of and the Competition for Cloves in Sixteenth and Seventeenth Century Ambon», Sartono Kartodirdjo (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch History Conference, I, Gadjah Mada University Press, 1986, p. 79.

15.      Paramita R. Abdurachman, «‘Niachile Pokaraga’. A sad Story of a Moluccan Queen», Modern Asian Studies, 22, 3 (1988), p. 575.

16.     Antonio Pigafetta, Primer viaje alrededor del mundo, Leoncio Cabrero Fernández (ed.), Madrid, Historia 16, 1985, p. 147.

17.      Ver supra nota 5.

18.      Zainal Abidin juga dikenal sebagai Tidore Bongui, adalah ayah dari Sultan Bayan Sirrulah – juga disebut Abu Lais – yang menggantikannya naik tahta Cf. P. Abdurachman, «‘Niachile Pokaraga’», cit., p. 574.

19.       A Suma Oriental, cit., p. 338. utusan Sultan Ternate. Hal ini mempertahankan kepentingan strategis utusan sultan Ternate.

20.    Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, Cap. 11.º, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, pp. 195-196.

21.      O Nagara-Kertagama,sebuah kronik Jawa yang ditulis sekitar tahun 1365, menyebutkan Amboino, serta Hoamoal dan Seram, di antara para penguasa yang mengakui keunggulan politik Majapahit Cf. Ch. F. van Fraassen, «Historical Introduction», cit., p. 2.  21. Nagara-Kertagama,

22.      A Suma Oriental, cit., p. 338

23.     Cava, menurut Diogo do Couto, yang sebutannya ini mencakup seluruh teluk (cf. Diogo do Couto e a Década 8ª da Ásia, Edição Crítica e Comentada por M. Augusta Lima Cruz, I, Lisboa, CNCDP / INCM, 1993, Liv. IV, Cap. III, p. 336), meskipun observasi yang kami lakukan di situs itu, pada tahun 1996, memungkinkan kami untuk mengamati bahwa kondisi penahan di sebagian besar perluasannya tidak sesuai dengan deskripsi pelabuhan yang dalam dan aman, yang hanya ditemukan di area dermaga saat ini yang melayani Ambon. Schurhammer, bagaimanapun, menganggap bahwa tempat berlabuh yang digunakan oleh Portugis terletak di bagian terdalam teluk, dipisahkan dari bagian luar oleh sebuah selat, di mana pemukiman Hukunalo berada (apud Jacobs, Documenta Malucensia, I, hal. 157, n 1), sebuah lokasi yang tidak kita ketahui secara pasti, lebih memilih lokasi yang diusulkan oleh Pastor Jacobs, seperti yang dia katakan, “di tepi utara teluk” (Jacobs, Documenta Malucensia, I, hlm. 350, catatan 18 )

24.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, p. 157, catatan kaki nomor 1.

25.     Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, Cap. 11.º, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, pp. 195-196.

26.    Fernão Lopes de Castanheda, História do Descobrimento e Conquista da India pelos Portugueses, ed. M. Lopes de Almeida, I, 1979, liv. VIII, p. 200; Jacobs, A Treatise on the Moluccas (...), cit., p. 304; idem, Documenta Malucensia, I, pp. 14* («General Introduction») e 173, nota 11.

27.     Cf. Relação dos feitos (...) que Sancho de Vasconcelos, Cap. 7.º, Sá (ed.), Documentação, cit., IV, p. 183.

28.     Petição de Gonçalo de Freitas, 18 de Junho de 1574, BM, Add., 21526, fls. 72-74v

29.    Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago, cit., p. 160; H. Jacobs, «The Portuguese town of Ambon», cit., p. 612.

30.    Surat Manuel Gomes kepada konfraternya, ditulis di Maluco, 27 Mei 1565, Documentação, cit., III, p. 140.

31.      Teks-teks Portugis, seperti beberapa laporan akhir yang dikumpukan oleh Belanda, menyebutnya sebagai Laulata (lihat. Jacobs, Documenta Malucensia, I, pp. 346-347, catatan kaki nomor 5)

32.     Jacobs, Documenta Malucensia, I, p. 347.

 

Catatan Tambahan :

a.        Orang Lusofon (bahasa Portugis: Lusofonia) adalah orang-orang yang berbicara bahasa Portugis, baik yang memang menggunakannya sebagai bahasa ibu, maupun yang sedang mempelajarinya. Dunia Lusofon biasanya merupakan warisan dari Imperium Portugal (bekas jajahan Portugal), walaupun komunitas diaspora Brasil dan diaspora Portugis juga berperan dalam penyebaran bahasa Portugis. Bahkan setelah bubarnya imperium, negara-negara penerusnya tetap menunjukkan kesamaan budaya dan politiknya, yang diekspresikan dalam Komunitas Negara-Negara berbahasa Portugis, yang dibentuk pada tahun 1996

§  Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Lusofon

b.       Jorge de Albuqueque menjadi Kapten Portugis di Malaka (1514 – 1516 dan 1521 – 1525)

§  https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Portuguese_Malacca&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search

c.        1 liga laut sama dengan 3 mil laut (5, 556 km)....yang berarti 25 liga sama dengan kira-kira sejauh 139 km

        d.     Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, hal     182-206, catatan kaki no 74 dan 75, hal 203

e.        Pulau yang diberikan oleh Sultan Tabarija kepada Jordao de Freitas adalah Ambon, Seram, Lease, Buru dan Papua

§  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, hal 156-159, catatan kaki no 1, hal 157

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar