Sabtu, 22 Juli 2023

Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon

 

(bag 3)

[Paramitha Abdurachman]

 

Maluku dalam abad ke-15 dan ke-16 mengalami perubahan yang paralel akibat adanya perdagangan ramai dan modern dengan berbagai bangsa, tetapi sistim bandar dagang, yang merupakan suatu unit administratif, dengan lindungan militer, dalam suatu lingkaran tertutup dan terjaga merupakan suatu hal baru. Feitoria ini mempunyai susunan administrasi yang tertentu, yang terdiri atas seorang capitao (pemimpin administrasi dan laksamana perang), feitor dan alcaide-mor (gubernur benteng), almoxarife (kepala gudang), escrivao (sekretaris) dan ouvidor (hakim). Jabatan rendahan dapat terdiri dari meirinho (pembantu urusan pengadilan), condestabre (kepala keamanan) dan porteiro (penjaga pintu daerah feitoria), dan dapat ditambah dan dikurang menurut kebutuhan. Jabatan-jabatan pimpinan selalu ditentukan oleh raja Portugal di Lisboa atau raja-raja muda di Goa. Sedangkan jabatan-jabatan rendahan sering dapat diisi dengan tenaga setempat, baik orang mestico, maupun orang pribumi asli. Begitu juga dengan tenaga-tenaga yang termasuk dalam daftar gaji benteng, niscaya diantaranya ada orang mestico dan pribumi yang masuk tentara Portugis, dan dengan memberikan pelayanan yang baik, dapat naik dalam jabatan dan pangkat.

Walaupun organisasi feitoria dan benteng merupakan hak Portugis yang khas, lambat laun nama-nama jabatan dan pangkat digunakan oleh penduduk untuk kedudukan yang serupa dalam sistem pemerintahan pribumi.

Demikian pula dengan gelar-gelar kebangsawanan yang digunakan oleh pemuka-pemuka pribumi. Gelar “Dom” telah diberikan pada tahun 1512 oleh Francisco Serrao kepada Jamilu, salah seorang dari Ampat Perdana Hitu, yang bertindak sebagai juru bicara pada pertemuan pertama dengan pihak Portugis. Ia juga diberi pangkat “capitao”, mungkin karena Serrao mengira ia merupakan kepala pemerintahan dan panglima perang Hitua. Sampai pada waktu ini belum ditemukan suatu dokumen yang memberikan Serrao wewenang untuk memberikan gelar “Dom” pada pemuka pribumi di kepulauan rempah-rempah. Pemberian gelar ini adalah prerogatif Raja Portugal dan adalah hak pemakaian dari keturunan langsung seorang raja. Mungkin Serrao dan kapitan-kapitan Portugis selanjutnya diberi wewenang mengangkat orang-orang yang berjasa menjadi “capitao” atau “cavaleiro”, dan dapat mempekerjakan seorang meirinho dan porteiro. Jelas bahwa sampai abad ke-20, gelar-gelar dan pangkat-pangkat ini masih terdapat di pulau-pulau dimana Portugis pernah memiliki bandar dan benteng63.

Satu golongan yang kedudukannya menjadi lebih kuat, sebagai akibat dari perdagangan adalah “orang kaya”. Walaupun Portugis berusaha mendapatkan monopoli perdagangan rempah-rempah, namun saudagar-saudagar lain dari berbagai daerah masih tetap berdagang. Dimana kebun-kebun rempah-rempah sudah meluas ke berbagai daerah, dan tidak terbatas pada tanah milik raja, dapat diduga naiknya kedudukan dari anggota-anggota negeri yang mempunyai tanah dan dapat memperdagangkan hasil kebunnya dengan untung. Golongan orang kaya ini yang diduga mulai muncul pada waktu saudagar-saudagar dari Jambi, Malaka dan Jawa tiba di perairan Maluku makin kuat kedudukannya berkat hasil perdagangan. Berita pertama tentang golongan ini terdapat di Banda, yaitu pedagang-pedagang yang membeli tanah, dan tidak termasuk hierarki susunan adat. Lambat-laun mereka mulai memegang peran juga sebagai pemuka rakyat, walaupun tetap membayar upeti kepada raja. Tulisan-tulisan Portugis tidak menyebut kedudukan atau gelaran “orang kaya”, tetapi disebut bahwa di Hitu disamping raja ada “senhores”, ialah orang yang mempunyai tanah yang luas dan memerintahnya. Dibanding dengan dokumen-dokumen VOC dari awal abad ke-17, ternyata bahwa telah ada beberapa negeri, yang termasuk petuanan seorang raja, telah diperintah oleh seorang orang kaya. Apabila bahan-bahan tersebut dibanding-bandingkan maka terdapatlah situasi di sebagian daerah Ambon-Lease sebagai berikut :

Penginjilan yang dilakukan padri-padri yang langsung hidup di tengah masyarakat pribumi sampai  di daerah-daerah yang jarang didatangi pejabat pemerintahan Portugis, niscaya telah pula meninggalkan kesan walaupun agama Kristen-Katolik dalam masa kekuasaan VOC secara sistematis diganti dengan penginjilan agama Protestan. Namun pengarang-pengarang seperti Wallace selalu heran karena menurut mereka ritual agama Katolik masih bersisa dalam tata cara agama Protestan. Van Hoevell dalam tahun 1875 menulis64 bahwa walaupun orang-orang Ambon telah berabad-abad lamanya memeluk agama Protestan dan membenci segala sesuatu yang bersifat Katolik, mereka masih mempertahankan banyak pengertian Katolik. Dan mengapa? Karena agama yang upacaranya lebih berkesan telah lebih mempengaruhi mereka. Sedangkan Visser65 berpendapat bahwa bahwa sisa-sisa dari agama Katolik dalam tata cara gereja Protestan disebabkan di dalam agama Katolik itu, orang-orang Indonesia melihat jiwanya sendiri. “met haar heimwee naar God, haar ontvankelijkheid voor zinnenaandoenden eeredienst en plechtigheden, haar gehechtheeid aan het overgeleveerde”.

Pada waktu Franciscus Xavier berada di Malaka, menjelang keberangkatannya ke Maluku dalam tahun 1546, ia telah merasakan keperluan akan terjemahan ajaran-ajaran agama Katolik ke bahasa Melayu, agar dapat lebih diresapkan oleh bangsa pribumi. Oleh karena itu, ia telah menerjemahkan Credo (Aku Percaya), Pater noster (Bapa Kami), Ave Maria (Terpujilah Nama Maria), Perintah Tuhan, Peradilan, dan beberapa khotbah. Sangat disayangkan bahwa terjemahan-terjemahan ini telah lenyap tidak berbekas. Sebaliknya, di Maluku sekitar tahun 1546 itu, pada waktu pengaruh Portugis sedang memuncak, dan Portugis berada dalam situasi yang lebih kuat, bahasa Portugis lebih banyak digunakan oleh golongan orang-orang pribumi yang berhubungan dengan orang Portugis, daripada bahasa Melayu. Xavier menceritakan bahwa pada waktu ia mengadakan penginjilan di Ternate (1547), pada sore hari pemuda-pemudi, kalau mereka sedang berjalan-jalan di tepi pantai, tidak lagi menyanyikan lagu-lagu daerah, melainkan bagian-bagian dari ajaran Kitab Injil dalam bahasa Portugis.

Sebagaimana telah disebut, kedatangan VOC dengan tindakan-tindakan terhadap agama Katolik telah membawa perubahan. Oleh karena itu, apabila diselidiki kata-kata yang dipergunakan sampai kini, ternyatalah bahwa persentase kata-kata agama kecil, dan terbatas pada istilah-istilah umum seperti “altar”, “paskah”, “natal”, “gereja”, “padri” dan dalam bentuk pakaian untuk ke gereja dengan “bandolir”, “kain pikol” atau “bandoleira”.

Hubungan dengan orang Portugis yang meninggalkan kesan terkuat adalah dalam kehidupan sehari-hari, terutama cara berumah tangga, dengan aspek-aspeknya seperti berkebun, cara pengawetan makanan, mencari nafkah. Dalam logat Melayu-Ambon abad ke-20 masih jelas kelihatan barang-barang baru mana yang telah dibawa Portugis dalam abad ke-16. Masyarakat Ambon-Lease mengenai fam-fam66 dan keluarga-keluarga dengan nama Portugis, yang terutama terdapat di negeri-negeri Kristen, tidak di negeri-negeri Islam, baik di Hitu maupun Lease atau Seram. Nama-nama ini diperoleh sewaktu kepala keluarga menjadi Kristen, dan oleh bapak seraninya (padrinho) diberi nama Portugis. Umpamanya “Dom Manuel” (Raja Ternate), “Dom Pedro” (Orang kaya Hutumuri), “Dom Duarte de Silva” (Patih Soya). Jelaslah sebagaimana dikatakan Raymon Kennedy bahwa pemegang-pemegang nama keluarga-keluarga itu bukanlah turunan dari borgo67, karena keluarga-keluarga itu memiliki tanah pusaka menurut adat, dan mempunyai kedudukan (jabatan) dalam susunan adat pula. Contoh ini jelas sekali di negeri Hatalai, dimana dalam tahun 1605 orangkaya-nya bernama Antoni Lopies, dan sampai kini faam raja bernama Lopies (Lopez), sedangkan dari 12 fam yang mempunyai dati, 10 diantaranya mempunyai nama Portugis. Dapat juga dimengerti bahwa keluarga yang sebelumnya Islam, kemudian menjadi Kristen dan akhirnya kembali lagi ke Islam, melepaskan nama Portugis dan mengambil nama asal kembali.

Dalam hubungan ini perlu disebut golongan “orang Mardika”, yang untuk pertama kali terdapat dalam manuskrip Antonio Boccaro, “A Capitania de Amboino”. Mereka ini adalah pendatang yang ikut dengan Portugis, berasal dari Goa, Malaka, Ternate dan Tidore. Mungkin bahwa pada mulanya mereka budak dari orang Portugis yang kemudian menjadi Kristen dan karena itu dimerdekakan. Dalam pengkristenan golongan ini, mereka mendapat nama kristen dari bekas tuannya dan modal untuk memulai hidup baru. Orang mardika ini terdapat dalam tulisan Portugis sebagai pengemudi dan awak-awak kora-kora atau sebagai serdadu. Mereka umumnya menetap di perkampungannya sendiri, di luat batas suatu perkampungan negeri. Di Ambon terdapat kampong Halong Mardika di perbatasan dari petuanan Soya dan Halong. Dari uraian di atas dapat diduga bahwa masyarakat campuran ini, baik mestico maupu mardika, berbahasa suatu logat Portugis yang kata-katanya kini masih terdapat dalam bahasa Melayu-Ambon. Pun bahasa ini terbatas perbendaharaan kata-katanya pada kata-kata fungsional, menggambarkan di bidang manakah Portugis telah menyelam. Jarang terdapat istilah-istilah yang mencerminkan pengertian-pengertian abstrak. Kata-kata Portugis terdapat untuk menggambarkan hubungan keluarga, seperti mai, pai, kunyado (“mae”, “pae”, “cunhado”), untuk barang-barang baru dalam rumah tangga seperti kadera, meja (“cadeira”, “mesa”), alat makan seperti garpu, kuyer, toala (“garfo”, “colher”, “toalha”). Perubahan dalam cara hidup seperti pekarangan yang tadinya kosong mulai ditanami bunga, dan dinama kintal (“quintal”). Cara pengawetan makanan, bahan makanan dan makanan seperti assar, farinya, trigu, asam-pedis (“asar”, “farinha”, “trigo”, “calderaida”). Dan dalam pelbagai faset cara hidup suatu masyarakat yang oleh Xavier masih digambarkan “barbaros comum carne humana” (barbar, yang makan daging manusia) sampai pada suatu tingkatan hidup yang dalam pandangan mata sendiri dikatakan “Portugis” atau “Barat”, tercermin dalam cara perang dan organisasi pemerintahan. Kata-kata seperti baluwarti, gardu, bedil, kapseti, peluru, algojo, trunku, peitor, kapitan, marinyo, berasal dari kata-kata Portugis “baluarte”, “guarda”, “fusil”, “capaceto”, “pelouro”, “algoso”, “tronco”, “feitor”, “capitao”, “meirinho”.

Begitu pula pengaruh atas pakaian, musik, dan kesenian lainnya. Perubahan dalam pakaian ternyata dari kata-kata sepatu, cinelab, kalsang (“sapato”, “chinela”, “calcao”) tetapi juga tampak dalam pakaian upacara sebagaimana lazim dipakai oleh istri raja atau guru-pendeta (“nyora”) di Leitimor, dan dalam pakaian kawin untuk seorang putri dari golongan borgor.

Masyarakat Kristen di kepulauan Ambon-Lease, disamping mengenal musik, lagu dan tarian asli, sampai kini menari tari-tarian Barat seperti polonaise, wals, quadrile dan polka. Walaupun kebanyakan dari tarian ini mungkin masuk Indonesia dalam abad ke-19 dan ke-20, namun golongan tarian ini tetap disebut “Portugis”. Salah satu tarian khas Portugis yaitu fandango dari daerah Ribatejo, yang menggambarkan gerak-gerik seekor banteng, mungkin tercermin dalam tarian “orlapai” di Ambon (dari kata Belanda “horlepijp”) yang mirip dengan “Scottish jig”. Sebuah tarian yang tersebar di antara pelaut-pelaut di Eropa Barat, dengan ciri khas masing-masing daerah ini kemudian masuk pula ke Maluku. Maka sulit untuk menentukan tarian mana yang langsung berasal dari Portugis. Demikian pula dengan lagu-lagu yang susunannya Portugis tetapi toh merupakan lagu daerah. Sementara itu “pusat” dari kesenian Portugis dewasa ini adalah negeri Hatalai tersebut di atas (jazirah Leitimor di Pulau Ambon), dimana masih terdapat tradisi pembuatan alat-alat musik bentuk Eropa seperti mandolin, banyo, gitar, biola dan “keroncong” (suatu bentuk rebana) dan dimana 10 di antara 12 pemegang dati memiliki nama keluarga Portugis.

Perubahan-perubahan yang mencolok dan memberikan suatu gaya pada cara hidup asli dapat diduga ditiru oleh negeri-negeri tetangga, sehingga pada suatu waktu menjadi biasa, dan menarik perhatian Valentijn yang menggambarkannya dalam “Ambonsche Zaaken”-nya68.

Di jazirah Hitu, dimana masih digunakan bahasa tanah di masing-masing negeri, terdapatlah keadaan dimana digunakan pemakaian istilah asing (Melayu-Ambon campuran kata-kata Portugis) untuk barang-barang yang tidak asli. Demikian pula dengan tarian dan nyanyian yang masih merupakan tradisi kuno, walaupun terdapat juga suatu tarian Barat (Portugis) seperti polonaise atau wals, ditarikan khusus untuk menghormati pela negeri Kristen pada pertemuan kedua pela bersangkutan.

Nyatalah bahwa masyarakat tradisional Maluku dan Ambon dalam hubungan selama kurang lebih 100 tahun dengan bangsa Lusitania telah menerima dan mengambil alih banyak hal-hal yang baru, dan menjadikannya bagian dari kebudayaan mereka sendiri. selam 100 tahun, kedua belah pihak saling berperang, dan saling merebut kekuasaan, akan tetapi di samping ini tumbuh juga hubungan antar manusia yang menyebabkan sampai dalam abad ke-20 ini, kepulauan Ambon-Lease masih memiliki ciri-ciri Portugis dalam kebudayaannya. Hubungan ini dapat digambarkan dalam pantun mengenai percintaan seorang kapitan kapal Portugis terhadap seorang gadis Lease yang bernama Margarita (disingkat Ita). Demikianlah bunyi pantun ini :


IV.               Penutup

Pada tempatnya untuk kini menilai sampai dimanakah kehidupan masyarakat Ambon terpengaruh oleh Portugis, sesudah 100 tahun mengalami hubungan dengan suatu bangsa yang membawa kebudayaan yang berlainan.

Untuk mengukur perubahan-perubahan yang telah dibawa bangsa Lusitania, perlu kiranya dilihat keadaan di Portugal dalam abad ke-16 itu. Para sejarahwan Portugis seperti Jaime Cortesao, Hernani Cidade, dan lain-lain68 menggambarkan abad ke-16 sebagai suatu masa dimana kekuatan dan kekuasaan Portugal, baik di dalam maupun di luar negeri, menurun. Pada suatu pihak bangsa Lusitania terdorong oleh hasrat untuk mengarungi laut dan melanjutkan kejayaan masa “penemuan” benua-benua yang telah dimulai 100 tahun sebelumnya oleh Pangeran Henry Pelaut. Perlombaan dengan Spanyol untuk menguasai dunia, menguasai perdagangan dan penyebaran agama Kristen, merupakan dorongan untuk merebut dan menanamkan kekuasaannya di mana mereka tiba. Tetapi keadaan yang ruwet di dalam negeri, sesudah Henry Pelaut dan Dom Joao III tidak ada lagi seorang raja yang kuat, tidak menimbulkan suasana dimana semua cita-cita ini dapat berkembang dengan tenang. Disebabkan pula perjalanan dari Lisboa, melingkari Afrika, ke Goa, Malaka dan Maluku mengambil waktu banyak. Lagipula flotila-flotila tergantung dari musim sehingga seringkali perdagangan ini tidak dapat diadakan secara efisien dan teratur, dan walaupun membawa keuntungan besar, juga menimbulkan spekulasi di antara pejabat-pejabat pemerintahan sendiri di Asia-Portugis. Spekulasi ini mengakibatkan tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk pribumi, demi monopoli perdagangan rempah-rempah. Alhasil masyarakat setempat bersatu dan melawan orang Portugis yang dibantu oleh kawan-kawannya.

Di dalam negeri, masyarakat Portugis yang masih hidup dalam alam feodal Zaman Tengah Eropa, pula mengalami perubahan-perubahan akibat dari angin baru yang dibawa dari Eropa Utara. Terlihat dari tindakan-tindakan para pejabat Portugis yang tidak mengikuti suatu garis pemikiran dan kebijaksanaan tertentu. Tindakan-tindakan dari orang-orang seperti Tristao de Atayde, Duarte de Eca dan Diego Lopez de Mesquita masih bersifat feodal, sebaliknya perhatian dan penelitian akan bahasa, adat-istiadat bangsa-bangsa dan suku-suku di benua-benua yang baru “ditemukan” itu, penyesuaian diri pada keadaan setempat, sebagaimana terbukti dari tindakan dan tulisan dari orang-orang seperti Antonio Galvao dan Antonio Rebello; pendirian seminari-seminari dan rumah sakit adalah bukti dari pengaruh filsafat humanisme yang telah menembus ke dalam masyarakat Portugis. Oleh karena itu tindakan-tindakan Portugis di daerah-daerah yang telah mereka kuasai, tidak tetap, dan berbeda menurut waktu, tempat dan keadaan.

Walaupun demikian dapat diambil garis tindakan yang tertuju pada pembentukan benteng-benteng untuk mengamankan perdagangan dan melancarakan serangan-serangan militer terhadap pihak-pihak Islam. Hal-hal lain, seperti penanaman kebudayaan mereka, tidak dilakukan dengan sengaja, dan orang Portugis tidak mengganggu cara hidup, adat kebiasaan dari bangsa-bangsa yang mereka temukan dalam usaha penyebaran kekuasaan itu.

Dengan mengikhtisarkan kejadian-kejadian di perairan Maluku (lihat Bab II) ternyata perubahan dalam politik sekitar kerajaan-kerajaan di Maluku Utara mencapai taraf kesultanan, dan dalam pertarungan kekuatan, Ternate-lah yang muncul sebagai pemenang dan mencapai puncak kejayaannya antara tahun-tahun 1570 – 1610. Demikian kuat kedudukan Ternate, sehingga dalam ambisinya ia membandingkan dirinya dengan kerajaan-kerajaan di luar daerahnya seperti Demak dan Johor, telah mengikuti hierarki pemerintahan yang dapat membulatkan image dari suatu kerajaan. Maka Antonio Bocarro menulis dalam “A Capitania de Amboino” Bab 49 paragraf I sebagai berikut70 :

Raja Ternate menjadi demikian angkuh, setelah pihak Portugis telah menyerahkan benteng mereka kepadanya (seperti dikemukakan terlebih dahulu) hingga ia menyebut dirinya kemudian Sultan Baab, yang berarti Kaisar dan Tuan atas semua rakyat di Maluku; dan setelah ia menyebut diri Kaisar datanglah utusan-utusan dari raja-raja Jawa dan dari Melayu, terutama dari Raja Johor; dan ia telah membawahi 3 raja, ialah raja Loloda, raja Bacan dan raja Jailolo, yang (dahulu) merupakan raja yang paling berkuasa yang ada di bagian Maluku. Hanya belum dapat memiliki mahkota Tidore, yang ia berusaha mendapatkannya, agar akhirnya ia akan menjadi seperti satu-satunya tuan yang paling berkuasa” (terjemahan bebas)

Di pulau Ambon telah terdapat Hitu, suatu “uli”, perkelompokkan dari beberapa kesatuan geneologis-teritorial, dan sedang dalam fase perkembangan menuju kerajaan dalam embrio, pada waktu Portugis tiba. Dari kedudukan semula sebagai tempat transit, kemudian menjadi tempat bandar. Juga merupakan pusat dari kehidupan Islam dan kekuatan penting sampai pertengahan abad ke-17. Dari keadaan persahabatan, menjadi saingan dalam perdagangan dan bermusuhan dengan Portugis. Maka mereka diminta pindah dari negeri Hitu ke pantai selatan jazirah yang masih merupakan daerah wewenang Hitu. Di sana Portugis juga mengalami bentrokan dengan pihak Islam, walaupun telah dapat bantuan dari beberapa negeri yang telah menjadi kristen.

Setelah benteng sementara dibakar akhirnya Portugis pindah ke jazirah Leitimor, dan setelah beberapa kali pindah, akhirnya menetap di sebidang tanah yang diberikan oleh negeri Soya. Di sana didirikan benteng tetap dari batu dan kapur yang selesai pada akhir bulan Juni 1576. Benteng inilah yang kemudian menjadi pusat kehidupan Portugis. Selain menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat penginjilan, dan kehidupan masyarakat Kristen. Di sekitarnya tumbuh perkampungan orang-orang Kristen, baik “casados”, maupun mestico dan orang mardika. Terdapat juga perwakilan dari negeri-negeri di Ambon, Lease, dan pulau-pulau di sekitarnya yang ada hubungan dagang dan agama dengan benteng itu. Umpamanya dari negeri-negeri Nusaniwe dan Kilang, dari Hatu dan Luhu (Seram barat). Kampung-kampung ini berkembang dan meluas dan akhirnya bersatu menjadi suatu kota kecil dengan nama kota “Ambon”. Kota inilah yang dalam abad-abad kemudian menjadi pusat kewibawaan pemerintahan kolonial Belanda. Kota ini pula merupakan pusat penghidupan dan penyebaran kebudayaan mestico yang meluas ke negeri-negeri Leitimor. Dan kiranya, makin meluas pengaruh pemerintahan kolonial, makin meluas pulalah kebudayaan campuran ini, yang dari mestico Portugis menjadi mestico Portugis-Belanda, sebagai identifikasi masyarakat pribumi dengan pemerintah baru.

Di pegunungan Leitimor ikatan-ikatan geneologis menjadi kekuatan geneologis-teritorial, yang dikenal sebagai negeri. Dengan meningkatnya hubungan dagang dan agama antara pihak Portugis dengan negeri-negeri, niscaya termasuk pula pengaruh atas berbagai segi pemerintahan, ternyata dari sebutan bagi pemuka-pemuka negeri. Dalam dokumen Portugis terdapat panggilan cabeca (kepala geneologis) maupun regedor (kepala magistraat, yang menunjukan suatu pemisahan antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif) dan berarti perubahan dalam adat, yang terpengaruh oleh angin asing, dan berkembanglah suatu susunan pemerintahan yang sekuler.

Sebagaiman diutarakan terlebih dahulu, tampil juga golongan ketiga yang terdiri dari pedagang-pedagang atau orang kaya yang lambat laun menjadi bagian dari susunan pemerintahan baru.

Baik kerajaan-kerajaan maupun negeri-negeri di perairan timur Indonesia dianggap oleh Portugis sebagai kesatian politik yang merdeka dan setaraf dengan negara di Eropa. Demikianlah perjanjian-perjanjian dan surat-menyurat yang terjadi antara pemuka-pemuka Maluku dengan raja dan pejabat-pejabat Portugal merupakan dokumen resmi politik71.

Penginjilan membawa hal-hal baru pula bagi masyarakat yang masih mengikuti agama asli. Hal-hal baru ini dianggap bagian dari agama Kristen dan karenanya bagian dari masyarakat Kristen. Terdapatlah permulaan dari kelonggaran dalam kehidupan adat, pengurangan penggunaan bahasa tanah. Pengganti tradisi dan bahasa ditirunya dari masyarakat Kristen mestico yang tinggal di sekitar benteng.

Perlu kiranya disinggung sejenak bagaimana perubahan ini terjadi. Pertama, disebabkan mentalitas pendatang yang membawa arus baru ke dalam masyarakat yang sudah mengikuti suatu irama hidup tertentu. Bangsa Portugis adalah bangsa yang berwatak agresif, suka merantau (outward-going) dan berbakat berdagang. Terdorong oleh fanatisme agama, akibat perjuangan melawan Islam berabad-abad, dan oleh suatu nasionalisme yang berkobar, setelah membebaskan diri dari pemerintahan “mouro”72 dan Spanyol, maka dimana mereka datang, di sana mereka berusaha pula untuk menanamkan agama Katolik, kebudayaan dan cara kehidupannya. Seorang Portugis adalah Kristen, seorang Kristen adalah seorang Portugis. Maka dimana mereka menetap terbentuklah perkampungan-perkampungan yang karena tidak ada wanita Portugis – bersifat perkampungan mestico, dan akhirnya sifat kemesticoan dari kebudayaan dan bahasa Portugislah yang mempengaruhi daerah-daerah di Asia yang menjadi Kristen. Bagi orang Portugis sendiri penemuan benua-benua baru, berarti membuka mata bagi kebudayaan dan kekayaan yang terbenam di pelosok-pelosok dunia. Keduniawianlah yang akhirnya dikejar. Lisboa menjadi entrepot Eropa untuk kekayaan dari dunia timur, tidak hanya berupa rempah-rempah dan bahan dagang lainnya, tetapi juga berbentuk benda-benda kebudayaan, binatang-binatang, tekstil, porselen, dan lain sebagainya. Lisboa dibangun baru, dan timbullah arsitektur baru untuk gereja-gereja, gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, alat-alat rumah tangga. Gaya Manueline73 mempengaruhi semua gaya arsitektur. Kekayaan yang telah dihimpun menjadi dorongan untuk lebih intensif berdagang lagi, dan agresifnya Portugis tergambar dalam berbagai bentuk, umpamanya pendirian “Banco Esperito Santos dan Commercial” (Bank Roh Kudus dan perdagangan).

Arus dan gelombang dari “barang-barang baru” ini diterima oleh masyarakat di timur Indonesia dengan segala kekhasaan dari sifat suku bangsa yang terwujud dalam sifat “nrimo”, yaitu menerima, mengolah, menyesuaikan atau menolak hal-hal baru ke dalam kebudayaan sendiri sehingga menyelami segi-segi kehidupan lahir dan batin. Kualitas ini telah menyebabkan pengintegrasian faset-faset budaya asing berabad-abad, memperkaya kebudayaan asli, membuang mana yang tidak disukai. Akhirnya, orang-orang di Maluku tidak sadar, mengapa ada “barang Portugis” dalam kebudayaan mereka, dan digolongan sama dengan tradisi-tradisi yang mereka terima di zaman dahulu kala, pada waktu nenek moyang baru menentukan adat-kebiasaan masyarakatnya.

Akhirulkalam, memang benar apa yang dikatakan Joao de Barros74, bahwa walaupun senjata-senjata dan tanda-tanda peringatan Portugis dapat hancur dari masa ke masa, tetapi agama, kebiasaan dan bahasa yang telah ditanam Portugis di benua Asia dan Afrika tidak dapat hilang. Akan tetapi perlu dinilai bahwa peninggalan-peninggalan itu bersifat “exotica”, lebih “picturesque” daripada berarti, lebih quaint daripada penting, lebih nostalgic daripada vital, dan tidak menimbulkan problema-problema politik. Malah dari darah Portugis tidak ada banyak sisanya lagi, mungkin beberapa tetes saja. Walaupun demikian, 100 tahun Portugis di perairan Maluku itu tetap meninggalkan bekas yang ikut menentukkan jalannya sejarah Maluku dan keadaan masyarakat di kemudian hari.

====== selesai =====

 

Catatan Kaki

63.    Tentang urutan kedudukan dalam hierarki kebangsawanan terdapat perbedaan. Raymond Kennedy op cit, menerangkan bahwa urutan itu adalah : raja, orang kaya, patih. Pengarang sendiri oleh Badan Saniri Negeri Kilang dalam tahun 1959 dan 1965 diberitahukan bahwa urutan itu adalah : raja, patih, orang kaya.

Untuk Kilang terdapat situasi sebagai berikut :

Kilang     - Kepala Upulatu

Naku       - Patih

Hatalai, Ema, Hukurila – orang kaya ------à merupakan satu mata aman (family grouping)

64.    G.W.W.J. van Hoevell, Ambon en meer bepaaldelijk de Oeliassers, (Dordrecht, 1875)

65.    Lihat catatan kaki nomor 35

66.    Lihat catatan kaki nomor 63 . fam = famili

67.    Ibid “Borgor” (Burger) class of people in Ambon of mixed origin, organized in the local militia, considered of somewhat higher social standing then the rest of the local population but do not own duty property (Catatan pengarang : mungkin dalam tahun 1950 tetapi sekarang tidak lagi)

68.    Lihat catatan kaki nomor 15

69.    Jaime Cortesao Apercue Historique (Lisboa 1962); Hernani Cidade, Historia de Portugal  (Lisboa, 1921)

70.    Lihat catatan kaki nomor 57

71.      J.F.J. Biker, Colhecao de tratados e concertos de pazes que....................................14 Jilid (Lisboa, Imprensa Nacional 1881). Juga As Gavetas  da Torre de Tombo, jilid I – VIII. Centro dos Estudos Historicos Ultramarinos

72.     “Mouro” = dalam bahasa Belanda “Moor” Istilah orang Eropa untuk penduduk yang beragama Islam 

73.     Gaya dalam arsitektur yang tumbuh dan berkembang dalam pemerintahan Raja Portugal Dom Manuel I (1495 – 1521) yang menerima banyak unsur kebudayaan dan kesenian Asia dan dikawinkan dengan gaya-gaya arsitektur Eropa

74.     Lihat catatan kaki nomor 50

 

Catatan Tambahan

a.        Manuel Lobato dalam salah satu tulisannya menulis bahwa dokumen-dokumen Portugis tidak menceritakan/mengabaikan tentang peristiwa ini.

§  Manuel Lobato, A Man in the Shadow of Magellan : Francisco Serrão, the First European in the Maluku Islands (1511 -1521), dalam Jurnal Revista de Cultura (RC) atau Review of Culture, International Edition, volume 39, periode Juli 2011, halaman 102 – 120, khusus hal 108

      b.     Cinela  atau canela berarti sendal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar