Selasa, 11 Juli 2023

Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon


(bag 2)

[Paramitha Abdurachman]

Pada waktu Jordao de Freytas tiba di Ternate, suatu eskader Spanyol dibawah pimpinan Laksamana Ruy de Villalabosa, yang telah diutus oleh Raja Muda di Mexicob untuk mencari jalan ke pulau rempah-rempah itu, telah tiba di Tidore. De Freytas dapat meyakinkan Villalabos bahwa daerah itu termasuk daerah kekuasaan Raja Portugal sehingga akhirnya awak kapal eskader itu dipulangkan ke Spanyol. Villalabos sendiri yang masih menunggu kesempatan untuk berangkat, telah dibawa ke Ambon dimana ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia (di Nusaniwe?)c.

Walaupun de Freytas telah mendapat Pulau Ambon sebagai milik, tetapi ia tidak sempat melunaskan pemberian itu, dan akhirnya mengutus keponakannya Vascod untuk mengklaimnya dan mendirikan benteng dekat Hatiwe-Tawiri. Vasco pergi bersama kawan-kawannya, diantaranya seorang yang bernama Fausto Rodrigues, yang keluar dari dinas militer Portugis untuk menetap di Ambon45. Tindakan ini menyebabkan kemarahan pihak Hitu yang meminta bantuan dari Ratu Jepara untuk menyerang perkampungan baru itu. De Freytas yang menjadi gusar, mengeluh tentang hal ini kepada Sultan Hairun yang menjawab bahwa Jordao adalah “senhor” dari pulau itu, dan karenanya ia (Hairun) tidak dapat berbuat apa-apa, juga tidak sebagai vasal Raja Portugal.

De Freytas dipanggil kembali ke Goa sebelum masa jabatannya berakhir. Sementara itu tibalah Francisco Xavier di Amboina tahun 1546. Pada waktu itu sudah ada 7 tempat di sekitar Teluk Dalam yang menjadi Kristen, letaknya jauh ke pedalaman karena takut akan serangan dari pihak Islam. Xavier sendiri tidak menyebut nama-nama tempat-tempat itu, tetapi kiranya tempat-tempat itu adalah: Hatiwe, Tawiri, Nusaniwe, Halong, Kilang, Soya dan Ema. Tindakan pertama adalah membaptis penganut agama Kristen di sana, sebab mereka belum dibaptis. Kemudian ia mengelilingi pulau itu untuk mengadakan penginjilan dan memberikan pelajaran catechismus. Pelajaran-pelajaran ini diadakan dalam bahasa Melayu yang telah dipelajarinya di Malaka. Sesudah kunjungan di Pulau Ambon, ia meneruskan ke Ceram dan Nusa Laut. Walaupun dalam surat-surat Xavier sendiri tidak disebut kunjungan ini, menurut Wessels, tidak dapat dibantah berhubung suatu penyelidikan resmi yang diadakan atas dasar keterangan Fausto Rodrigues dalam tahun 1608 di Manila, yang telah mengikuti perjalanan Xavier itu. Sekembalinya di Ambon telah tiba kapal-kapal Portugis dari Ternate yang membawa sisa dari awak eskader Villalabos dengan laksamananya sendiri bersama 9 orang padri. Dalam tahun 1546, Xavier pergi ke Ternate dan kemudian ke Moro untuk mengadakan pembaptisan dan penginjilan. Dalam tahun 1547, ia kembali ke Ambon dan kemudian berangkat ke Malaka.

Pengganti de Freytas, Bernaldim de Souzae, memelihara ketenangan dalam daerah ini kecuali dalam tahun 1549 ketika ia merasa perlu untuk memerangi Jailolo karena rajanya terus menerus menyerang orang-orang Kristen di sana. Bersama dengan Hairun ia mengadakan suatu ekspedisi yang oleh Hairun dipergunakan untuk meluaskan kekuasaannya atas Jailolo dan Tidore.

Sementara itu, de Freytas yang telah dipanggil karena telah dituduh melakukan pelbagai pelanggaran, telah membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu dan kemudian ditempatkan kembali di Maluku. Ia membawa pula surat dari Raja Muda Goa yang menyatakan bahwa kekuasaan Hairun tidak akan diganggu gugat. Hairun menerima kabar itu dengan baik dan sejak itu ia membantu pihak Portugis, baik dalam hal perdagangan dan penginjilan. Walaupun ia sendiri tidak menjadi Kristen (menurut para padri karena ia tidak mau menceraikan keseratus istrinya dan sekian banyak selirnya), ia tidak menghalangi usaha penginjilan, malahan berjanji bahwa salah seorang putranya akan menjadi Kristen. Juga diantara saudara-saudara putrinya ada yang menjadi Kristen.

Tahun-tahun kemudian merupakan masa tenang, tetapi dalam tahun 1555, Duarte de Ecaf, capitao baru yang terkenal dalam sejarah sebagai seorang yang loba, mengambil tindakan yang memburukkan sekali nama Portugis dan mengakibatkan suatu pemberontakan oleh Ternate dan Tidore. Dari zaman nenek moyang hasil cengkih dari pulau Makian telah menjadi milik bersama-sama raja-raja Ternate dan Tidore, dan hasil itu adalah khusus untuk membelanjai keperluan kedua raja itu.

Kapitan baru ini ternyata tidak mau mengakui hak itu, dan memerintah agar hasil cengkih menjadi barang perdagangan Portugis (dan ia sendiri). Hal ini ditolak oleh Hairun yang kemudian ditawan bersama ibunya dan saudaranya lalu dipenjarakan tanpa mendapat perlakuan yang baik. Dalam persoalan ini, Portugis dibantu oleh Jailolo dan Bacan (yang telah menjadi Kristen). Sangaji Jailolo diberi gelar “Sultan” oleh Portugis. Perlakuna terhadap Hairun demikian kejinya sehingga orang-orang Portugis sendiri – mereka yang menetap, berdagang, misionaris dan padri-padri – bersatu dan mengambil tindakan yang berlawanan. Akhirnya mereka berhasil menawan de Eca dan dikirim ke Goa sebagai tahanang. Hairun dibebaskan; ia tidak mengambil tindakan balasan. Akan tetapi capitao yang baru, Manuel de Vasconcelosh, membawa berita dari Raja Muda bahwa berdasarkan testamen dari Tabarija, raja Portugal harus diakui sebagai penguasa atas Maluku dan Hairun memerintah sebagai vassal Portugis. Hairun tetap tinggal diam dan menuruti perintah itu karena dalam usaha menyerang Jailolo dan Tidore, ia tetap dibantu Portugis. Pada waktu Xavier kembali tiba di Malaka, ia mengatur supaya ada 3 orang padri yang pergi ke Ambon untuk memelihara keadaan agama di negeri-negeri yang telah memeluk agama Kristen untuk mengadakan penginjilan. Sesudah tahun-tahun itu pengiriman padri-padri diadakan secara teratur dan pada tahun 1555 telah terdapat 30 tempat Kristen di Ambon dan 13 di pulau-pulau Oma, Saparua dan Nusalaut; sedangkan di pulau-pulau Buru dan Seram  juga telah ada orang-orang yang beragama Kristen. Akan tetapi menurut padri-padri itu sendiri46 “walaupun penduduk menjadi Kristen, adat-istiadat dari agama kuno masih tetap menguasai kehidupan mereka, dan apabila memang akan diharapkan kehidupan sebagai seorang Kristen, perlu dikirim 1 padri untuk 1 tempat. Keadaan geografis dari pulau-pulau ini merupakan penghambat untuk mengadakan penginjilan secara intensif, dan karena itu masih terdapat keadaan dimana diadakan pemotongan kepala manusia pada kesempatan pesta adat”.

Keadaan yang menggambarkan kelemahan masyarakat Kristen ini diperburuk lagi karena kedatangan Kaicil Leliato dengan armada Ternate untuk menyerang kaum Kristen di Ambon dan Buru, sebagai tindakan pembalasan terhadap peristiwa penahanan Hairun. Perlawanan hebat terjadi di Oma, Kilang dan Hatiwe. Di Nusaniwe, rajanya memihak pada Ternate. Di Pulau Buru, Leliato memaksakan perkawinan antara laki-laki Islam dan wanita Kristen dan sebaliknya, dan keluarga-keluarga campuran ini disebar di semua kepulauan Ambon dan Lease. Dalam tahun-tahun kemudian, keadaan di Pulau Ambon demikian hangat sehingga dianggap perlu untuk menetapkan seorang capitan khusus untuk daerah itu. Antonio Paez, yang menjadi capitao yang pertama itui, tiba pada tahun 1562 dengan membawa 2 padrij. Sementara itu, Hairun telah mengutus putranya, Baabullah, untuk menaklukkan Ambon. Dengan 4.000 tenaga tempur, ia menyerang Nusaniwe (yang sementara itu sudah menjadi Kristen lagi). Sewaktu terjadi pertempuran, flotila Paez tiba, dan tersiar juga bahwa Raja Bacan, yang menjadi Kristen itu, telah mengirimkan bantuan kepada Portugis. Karena kejadian itu, Paez mulai dengan mendirikan benteng di Hitu, dekat perkampungan Vasco de Freytas, sedangkan kedua padri itu memusatkan perhatian mereka pada penginjilan di Lease (Saparua), Oma, Nusalaut dan Lisabata.

Kedududkan Sultan Hairun telah menjadi demikian kuat sehingga ia merasa terancam oleh maksud Paez dengan mendirikan benteng di Ambon itu. Ia memprotes kepada Henrique de Sa, capitao di Malukuk. Karena perdagangan cengkih dapat terancam apabila Hairun merasa tersinggung, maka de Sa melarang Paez untuk mendirikan benteng itu. Karena tidak ada tenaga tempur pada Paez (hanya 30 orang serdadu) maka ia mencari jalan lain. Negeri-negeri Kristen diorganisirnya dalam suatu persekutuan dan diadakan militia dan angkatan laut yang teratur.

Kejadian ini hanyalah permulaan dari peperangan yang berkobar dimana kedua belah pihak menderita korban, dan terutama tempat-tempat Kristen menjadi sasaran. Ditambah keseganan pihak Portugis untuk memperhatikan kaum Kristen karena lebih mementingkan perdagangan rempah-rempah.

Baru dalam tahun 1565 sesudah raja Portugal mengirim suatu suatu surat yang memarahi Raja Muda di Goa, de Noronhal, diambil tindakan-tindakan. Suatu eskader dengan 1000 orang tentara dipimpin Concalo Pereira Marramaque berangkat ke Ambon. Diantara pembantu-pembantu Pereira terdapat Gabriel Rebello yang sebelumnya telah lama berdiam dan kembali sebagai fetor47. Di Ambon, tentara dari Jawa sebesar 600 prajurit dibantu 2.000 orang Hitu telah mendirikan tempat-tempat pertahanan di sekitar Teluk Dalam. Pereira telah dapat menghalau serangan-serangan mereka, dan kemudian ia minta kepada Hairun supaya membantunya untuk mendirikan benteng. Hairun menyanggupi pembangunan benteng di Hitu atas ongkosnya sendiri, kalau Portugis bersedia mengakui hak-haknya atas Veranula, Lesidi dan Kambelo. Hal ini ditolak oleh Pereira, yang akhirnya mendirikan benteng (masih di Hitu) juga dengan bantuan kaum Kristen dan kaum kafir.

Sementara Pereira berada di Ambon, capitao Ternate, Diego Lopez de Mesquitam, mempersoalkan lagi hasil cengkih pulau Makian dan memberikan Sultan Hairun barang-barang perdagangan sebagai gantinya. Peristiwa ini hanyalah salah satu alasan untuk mencari persoalan dengan Hairun. Akan tetapi perselisihan yang muncul itu dapat diselesaikan berkat bantuan seorang perantara; kemudian Mesquita bersumpah atas Kitab Injil dan Hairu bersumpah atas Kitab Quran, bahwa tidak ada lagi perselisihan antara mereka. Akan tetapi esok harinya (28 Februari 1570) Mesquita menyuruh membunuh Hairun dengan membujuk keponakannya, Antonio Pimentel.

Pembunuhan atas diri Hairun menyebabkan semua raja di Maluku bersatu dan bersumpah akan membantu Baabullah – putra sulung Hairun yang telah diangkat sebagai Raja – untuk mengusir Portugis dari kepulauan Maluku. Benteng Portugis di Ternate tidak dibantu lagi dengan bahan makanan sehingga pada tahun 1575, Portugis terpaksa meninggalkan benteng itu dan mencari persahabatan dengan Tidore. Sultan Tidore mengizinkan mereka mendirikan benteng di daerahnya dengan maksud melindungi dirinya dari serangan-serangan Ternate, dan untuk memajukan perdagangan cengkihnya.

Baabullah memperluas serangan-serangannya dan menaklukan Bacan yang sampai saat itu membantu pihak Portugis dan mengembalikan gelar “Sultan” kepada sangajinya (sejak kira-kira tahun 1560 Sultan Bacan diganti gelarnya menjadi Sangaji).

Peristiwa pembunuhan Hairun mempengaruhi juga keadaan di Ambon. Pereira berusaha membantu Capitao di Ternate, tetapi tidak berhasil. Ia sendiri jatuh sakit dan meninggal dunia dalam tahun 1571 dalam keadaan yang melarat sehingga tidak ada ongkos untuk membayar penguburannya. Benteng di Ambon telah terbakar, mungkin oleh orang-orang Hitu, dan oleh karena itu diputuskan oleh Sancho de Vasconcelos, yang kemudian menjadi capitao di Ambonn, untuk memindahkannya ke Jazirah Leitimor dekat Nusaniwe di pertuanan Urtetu; kemudian benteng itu dipindahkan lagi ke timur. Pembangunan benteng baru ini dicegah oleh kepala-kepala negeri-negeri Kristen yang sampai saat itu membantu Portugis, mungkin mereka mengkhawatirkan pengurangan kekuasaan mereka sendiri. Terjadilah peristiwa penahanan raja Nusaniwe, Ruy de Souza, dan pembakaran Puta oleh Portugis. De Souza yang berhasil melarikan diri dari tawanan berhasil pula menyatukan Nusaniwe dan tempat-tempat di sekelilingnya untuk melawan Portugis. Walaupun kemudian de Vasconcelos dapat mengembalikan ketenangan di Ambon, namun suasana aman belum pulih. Ternyata dari permintaan padri-padri dalam tahun 1581 agar diperbolehkan mendirikan 2 buah gereja di luar benteng karena penduduk tidak berani mengunjungi gereja yang berada di dalam benteng.

Walaupun pihak Portugis masih berkuasa di Ambon dan Tidore dan usaha penginjilan dan perdagangan rempah-rempah terus berlangsung, namun sejak tahun-tahun itu bintang mereka cepat menurun. Juga disebabkan politik dalam negeri, dimana di tahun 1578 Raja Sebastiao tewas dalam pertempuran di Alcassar-Quebir. Karena tidak terdapat ahli waris langsung terjadilah persoalan pergantian. Penyelesaiannya adalah penyatuan kerajaan Portugal dengan Spanyol. Pihak Spanyol yang sedang menghadapi pemberontakan dari provinsi-provinsinya di Holland, kemudian menutupi pelabuhan-pelabuhan di Lisboa dan O Porto untuk mencegah perdagangan dengan Inggris dan Holland. Akibat dari tindakan ini perdagangan Portugal sangat menurun dan akhirnya lumpuh. Sejak akhir abad ke-16, kejayaan masa lalu Portugal tidak terkejar lagi.

Sementara itu bangsa-bangsa lain – diantaranya Belanda dan Inggris – telah mengikuti jejak Portugis dan mencari jalan ke pulau rempah-rempah. Francis Drake tiba di Maluku dalam tahun 1579. Sebenarnya tujuannya adalah Tidore, tetapi setelah diberitahukan oleh Sangaji Motir (yang disebut oleh Drake “Deputy” atau “Viceroy” dari Sultan Ternate), bahwa Portugis sudah menetap di sana maka ia menuju ke Ternate, dimana ia disambut baik  tetapi tidak diadakan perdagangan. Kedatangan Drake ini menggelisahkan Portugis karena takut akan persaingan dalam perdagangan cengkih. Hal ini baru terjadi dalam tahun 1598 dengan kedatangan Belanda.

Baabullah yang telah berhasil meluaskan daerah dan kekuasaan Ternate meninggal dunia dalam tahun 1583 dan diganti oleh putranya yang bernama Said yang meneruskan politik ekspansi dan pengejaran terhadap kaum Kristen.

Keadaan missi selama ini tidak maju dan tidak mundur. Padri-padri datang dan pergi dan setiap padri mengeluh tentang keadaan di Maluku dan Ambon, mengeluh karena pada suatu pihak Ternate makin berkuasa dan makin menekan masyarakat Kristen. Dalam usaha itu Ternate dibantu oleh Hitu dan Jepara. Pada pihak lain Portugis lebih mementingkan perdagangannya dan membiarkan kaum Kristen tertekan oleh serangan-serangan dari pihak Islam, jumlah orang Kristen berkurang, banyak diantara mereka keluar dari gereja karena takut.

Karena keadaan ini, telah diminta oleh pengawas missi-missi Jesuit di India, padre Valignanoo, supaya mengunjungi Maluku dan Ambon, tetapi karena kesibukan pekerjaannya, ia mengirim wakilnya, padre Marta yang tiba dalam tahun 1567p. Sebelumnya Marta (orang Italia) menjadi anggota dari Societas Jesu, ia pernah menjadi perwira di Italia. Pengalaman inilah mungkin menyebabkan ia kemudian dapat melihat keadaan politik-militer di Maluku. Ini sebabnya para sejarahwan memberi nama julukan baginya, “padri-politicus”.

Setiba di Ambon ia segera menghubungi semua tempat dan laporannya48 memuat keterangan-keterangan yang sangat penting tentang keadaan sosial-politik di Maluku dan Ambon. Tercatat dalam laporan itu bahwa di Ambon (dan kepulauan Lease) ada 70 tempat tetapi hanya 34 yang dikuasai Portugis. Jumlah orang yang tadinya beragama Kristen, tetapi telah menjadi Islam adalah 47.000, dan mereka yang menyebut diri Kristen berjumlah 25.000 orang. Untuk mereka ini hanya terdapat seorang padri saja.

Dalam laporan lain ia menggambarkan keadaan kepulauan timur itu, dimana “sudah 20 tahun terus menerus ada perang dan pihak musuh makin berkuasa, keadaan Portugis makin memburuk dan menurun. Kedua capitao, di Tidore dan di Ambon, hanya memikirkan bagaimana mereka dengan secepat mungkin dapat mengumpulkan harta dan melupakan kepentingan kerajaan dan penghormatan kepada Tuhan.

Laporan dari tahun 1590 adalah penting untuk pengetahuan keadaan politik di Maluku, karena menggambarkan kekuasaan Ternate yang meliputi 72 buah pulau yang membayar upeti dan yang terbentang antara Mindanao sampai Bima-Korreh dan Nova Guinea. Tenaga tempur yang harus diberikan oleh masing-masing daerah kalau ada peperangan adalah :


Laskar ini yang terdiri dari 130. 300 tenaga tempur tetap ditambah dengan tenaga cadangan dan budak. Walaupun menurut Tiele, jumlah ini tidak dapat dipastikan namun memberikan gambaran dari pengaruh dan kekuasaan kerajaan Ternate pada dasawarsa terakhir abad ke-16.

Selama 10 tahun di Maluku dan Ambon, padre Marta telah memberikan keterangan-keterangan yang sangat penting. Tetapi dari laporan-laporan yang ditulisnya dalam nada minor itu bahwa kekuasaan Portugis sudah berakhir. Ia meninggal dunia dalam tahun 1598, disebut orang “orang tua yang budiman dan suci”, dalam umur 55 tahun, terserang penyakit semacam pes yang timbul karena peperangan terus menerus dan kekurangan makan.

Dalam suasana ini tibalah kapal-kapal pertama dari Belanda. Dalam tahun 1598 suatu kompeni dagang Belanda telah menyiapkan suatu eskader dibawah pimpinan Jacob van Neck, Wijbrand van Warwick dan Jacob van Heemskerck untuk menemukan jalan ke pulau-pulau rempah-rempahq. Van Heemskerck tiba di Hitur dan diterima baik oleh Kapitan Hitu yang sudah tua sekali (ia telah mengalami 4 sultan Ternate) dan 2 saudara dari Sultan Ternate. Karena tidak mendapat muatan ia terus berlayar ke Banda. Van Warwick tiba di Ternates dan bertemu dengan Sultan Said, yang menerimanya dengan baik juga. Said menggunakan kesempatan adanya kapal-kapal asing di pelabuhannya untuk mengadakan serangan-serangan terhadap pulau-pulau tetangganya, dan meluaskan lagi daerah kekuasaannya. Van Warwick menempatkan 6 orang di Ternate untuk mengatur perdagangan rempah-rempah.

Dalam tahun 1599 tibalah Steven van der Haghen di pelabuhan Hitut. Ia diminta oleh Hitu untuk membantu menyerang benteng Portugis di Leitimor; hal itu disetujuinya. Tetapi sesudah beberapa waktu memblokirnya ia terpaksa mundur. Ia berhasil mendapat persetujuan dari pihak Hitu untuk mendirikan benteng di Kaitetu dekat Hila yang dinamainya “Kasteel van Verre” (Benteng Jauh).

Pada tahun 1600 tibalah Jacob van Neck di Hitu menemui orang-orang Belanda yang tinggal di benteng tersebutu. Sementara itu pihak orang Ambon (kaum Kristen di Leitimor) dan Portugis telah mencoba menyerang Asilulu, tetapi karena Hitu dibantu Belanda, percobaan ini gagal. Van Neck kemudian berhasil mengadakan kontrak dengan pihak Hitu yang membebaskan Belanda dari pembayaran pajak dan uang pelabuhan (uang jangkar)v.

Kegelisahan Portugis waktu mendengar tentang kedatangan kapal-kapal Belanda di Maluku menyebabkan pemerintahan di Goa menyiapkan suatu armada yang besar yang sekaligus dapat menaklukkan pulau-pulau rempah-rempah dan menjadikannya bagian dari kerajaan Portugal. Ayres de Saldanha yang menjabat raja muda dalam tahun 1600w, mendapat instruksi-instruksi yang tegas bahwa usaha-usaha Belanda untuk mengadakan perdagangan dengan Jawa dan Maluku harus dicegah dan dilumpuhkan. Untuk pertama kali dalam hubungan Portugis-Maluku, pemerintah Portugal menyediakan armada sebesar itu yang terdiri dari 27 kapal dengan 2000 awaknya dan 1300 prajurit dibawah pimpinan salah seorang perwira yang “terbaik” dalam tentara Portugal, Andre Furtado de Mendoza. Sejak awal armada ini mengalami kesulitan karena topan, kekurangan bahan makanan dan lain sebagainya. Tetapi setelah 10 bulan berlayar sampailah mereka di Leitimor, dan segera menaklukan bagian-bagian dari pantai utara Jazirah Hitu. Juga Hoamoal juga ditaklukkan, sasaran utama adalah Luhu, sebagai pusat dari Gimilaha Ternate. Tetapi Furtado mengerti bahwa kalau Ternate sendiri tidak ditaklukkan percuma semua usaha Portugis itu.

Sementara itu Sultan Said telah menguatkan pertahanannya dan telah mengirim utusan-utusannya ke Jawa dan Mindanao untuk mendapatkan bantuan. Furtado yang sudah kehilangan banyak prajurit dalam pertempuran dan sudah kekurangan makanan dan amunisi, tidak mampu mengadakan serangan dan karena itu minta bantuan dari Gubernur Spanyol di Manila. Juan Suarez Gallinato diutus oleh Manila dengan 5 buah kapal untuk membantu Furtado, tetapi karena kekurangn pasukan dan senjata, serangan bersama itu tidak berhasil juga. Dan Furtado terpaksa kembali ke Malaka.

Kedatangan Furtado telah membawa harapan kepada missi dan kaum Kristen, dan selama itu usaha penginjilan hidup lagi dan 3000 jiwa yang telah menjadi Islam kembali ke gereja. Akan tetapi kegagalan usaha untuk menaklukan Ternate membawa lagi susah pedih dan benar apa yang diucapkan oleh padre Luis Fernandes, bahwa “sejak Hairun dibunuh secara keji, setelah sumpah yang diberikan capitao benteng dilanggar, sejak itulah semua bencana di Maluku sudah menimpa, dan kiranya hukuman Tuhan atas kejahatan itu belum dijalankan”.

Hari-hari terakhir bagi Portugis di Nusantara Maluku dan Ambon telah tiba. Tahun 1602 “Vereenigde Oost Indische Compagnie” didirikan yang menghimpun pelayaran-pelayaran liar orang-orang Belanda. Pada akhir tahun 1603 suatu eskader dibawah pimpinan Steven van der Haghen belajar dengan instruksi yang tegas untuk merugikan dan melumpuhkan kapal-kapal Portugis. Waktu ia tiba di Bantenx, sudah menunggu utusan-utusan dari Hitu, dan segera mereka berangkat ke Ambon. Dalam perjalanannya itu mereka menahan sebuah kapal dan ternyata penumpangnya adalah Manuel de Mello yang sedang dalam perjalanan ke Tidore sebagai capitao baru.

Pada tanggal 23 Februari, eskader van der Haghen tiba di Hitu. Pada tanggal 25 Februari 1605, capitao benteng, Gaspar de Melloy (keponakan Manuel) menyerahkan benteng Portugis tanpa perlawanan dan berakhirlah riwayat Portugis di Maluku.

Peristiwa jatuhnya pemerintahan Portugis menimbulkan kegelisahan antara penduduk Kristen. Karena takut akan serangan dari pihak Islam, beberapa ratus penduduk diantara mereka lari diri ke gunung. Dalam “Cort Verhael van’t geene bij den Admiraal Steven van der Haghen tot Ambonen met de Portugesen ende Jesuyten gehandeld is” dapat kita ketahui kejadian-kejadian sekitar masa itu.

Sehari setelah penyerahan benteng, 2 padri, diantaranya Lorenzo Masonio, menemui Van der Haghen untuk membicarakan nasib kaum Kristen. Selain membicarakan soal-soal harta dan milik, mereka minta kebebasan dalam menjalankan ibadah. Dalam hari-hari kemudian datanglah Diego Barbudo, seorang Portugis yang sudah lama menetap di situ, bersama dengan kepala-kepala tempat terpenting, diantaranya 2 raja, dari Kilang dan dari Soyaz. Tempat-tempat yang disebut adalah Atuy (Hatiwe)aa, Tauiry (Tawiri)bb, Cuilan (Kilang), Sova (Soya), Nacu (Naku)cc, Atala (Hatalai)dd, Putaee, Sery (Seri)ff, Amaurse (Amahusu)gg, Emahh, Ocorila (Hukurila)ii, Aousa (Ahusen)jj, Anthomori (Hutumuri)kk, Routon (Rutong)ll, Ale (Halong)mm, Baguelo (Baguala)nn, Soul (Suli)oo, Vay (Waai)pp, Emantuello (Amantelo)qq, Oucanar (Hukunalo)rr, Capa (Kapa)ss. Barbudo, atas nama semua kepala tempat itu berjanji akan setia dan takluk pada “Staten van Holland” dan minta perlindungan (“seguros”). Karena takut akan gangguan-gangguan dari pihak Islam, padre Masonio telah meminta kepada Van der Haghen agar diadakan perdamaian antara kedua pihak, Kristen dan Islam.

Beberapa hari kemudian capitao benteng bersama orang-orang laki-laki (Portugis), istri dan anak-anak mereka, meninggalkan Ambon; jumlah mereka ada beberapa ratus. Sebagian berangkat ke Solor, kebanyakan ke Malaka. Kurang lebih 32 keluarga Portugis tinggal di Ambon. Agar tidak akan timbul keruwetan diantara mereka, van der Haghen menetapkan Diego Barbudo sebagai kepala dari penduduk Kristen, dibantu oleh beberapa orang. Kedua padri tersebut tinggal pula.

Selama Steven van der Haghen berada di Ambon, masyarakat Kristen ini dapat menunaikan ibadah mereka dengan bebas. Tetapi setelah ia berangkat, mereka mulai diganggu oleh awak-awak kapal Belanda. Gereja-gereja dirusak dan kampung-kampung diobrak-abrik dan dibakar. De Houtmantt yang mewakili van der Haghen tidak mampu menampung kejadian-kejadian itu dan menghukum awak kapal. Malahan ia memanggil pimpinan dari masyarakat Portugis dan kedua missionaris serta menuduh mereka sebagai pemimpin tindakan-tindakan anti Belanda, tuduhan mana tidak mengandung kebenaran. Akhirnya masyarakat Portugis ini, tidak lebih dari 150 jiwa, disuruhnya berangkat dengan persediaan air, makanan dan alat-alat kapal yang serba kurang. Tidak ada pengemudi atau nakhoda di kapal itu, tetapi akhirnya mereka sampai juga di Pulau Sebu.

Sementara itu Belanda telah juga menaklukkan benteng di Tidore, dan penghuninya, Portugis dan padri, berangkat ke Manila. Akan tetapi pada awal tahun 1606, Don Pedro d’Acuna, Gubernur di Manilauu, berhasil menjatuhkan Ternate; Sultan Said ditawan dan dibawa ke Manila. Benteng Tidore direbut kembali olehnya dan sampai tahun 1663 daerah itu adalah dibawah kekuasaan Spanyol. Rencana d’Acuna untuk merebut Ambon tidak dapat dilaksanakan karena ia meninggal dunia dalam tahun itu juga, dan akhirnya pihak Spanyol melepaskan cita-cita mereka untuk merebut Ambon kembali.

 

III.               Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis

Dalam usaha mendapatkan rempah-rempah, bangsa Lusitania telah memusatkan perhatian mereka pertama-tama kepada Kepulauan Maluku dan Banda yang merupakan pusat penghasil cengkih dan pala. Baru kemudian, justru karena usaha monopoli, penyelundupan cengkih dari Ternate sebagai produsen cengkih menurun, maka cengkih dari Seram dan Ambon menjadi lebih berarti. Dalam usaha untuk menguasai suatu daerah dimana orang Portugis dapat tinggal dengan aman dan dapat berkembang, dan juga, dapat diduga, sebagai faktor keseimbangan terhadap kekuasaan Ternate, pusat perdagangan Portugis menjadi Pulau Ambon. Akhirnya perhatian dicurahkan pula ke kepulauan Ceram, Buru, Lease dan pulau-pulau disekitarnya.

Sudah barang tentu seharusnya peninggalan-peninggalan Portugis telah berkumpul di pulau-pulau tersebut, kalau diperhatikan jalannya riwayat Portugis di seluruh kepulauan itu, terutama di Ternate, Ambon-Lease dan bagian-bagian dari Tidore dan Seram, dimana pada suatu waktu telah terdapat benteng-benteng, bandar-dagang dan pemusatan masyarakat Portugis49.

Peninggalan-peninggalan di Pulau Ambon merupakan suatu kasus tersendiri, yang jelas dalam hubungan timbal-balik antara orang Portugis dan orang pribumi. Politik raja-raja Portugal, sebagaimana telah diperbaharui oleh Henry Pelaut, ia pembentukan feitoria (bandar-dagang), mengadakan hadiah-hadiah tanah (doacao), “companhia” dan monopoli, memerlukan tenaga kerja dari pihak Portugis dan bekerjasama dengan orang pribumi untuk mengokohkan politik tersebut. Raja Muda Affonso d’Albuquerque, semasa pemerintahannya (1509-1515) menganjurkan secara tegas, agar mereka yang turut dalam perdagangan rempah-rempah sebaiknya kawin dengan gadis pribumi, agar dengan demikian kepentingan Portugal dapat dijamin oleh orang-orang yang hatinya tetap, dan tidak ingin cepat-cepat kembali ke tanah air, melainkan menanam akar di negeri baru, dan kemudian menanam akar bagi kepentingan Portugal.

Kebijaksanaan untuk menetap dan berkembang itu merupakan jalan terbaik untuk menjaga kepentingan Portugal yang telah mengarungi semua lautan untuk “penginjilan dan rempah-rempah”. Karena itu peninggalan yang berciri Portugis kiranya dapat ditemukan dalam hal-hal mengenai agama dan dalam berbagai faset kehidupan masyarakat yang telah mengalami persentuhan antara budaya asli dan budaya asing Portugis. Nampaknya dalam bidang pemerintahan, perdagangan, keamanan, agama, kebudayaan dan kesenian.

“The Portuguese arms and pillars placed in Asia and Africa, and in countless isles beyond the bounds of three continents, are material things, and time may destroy them. But time will not destroy the relegion, customs and language which the Portuguese have implanted in those lands”50

[Senjata dan pilar Portugis yang ditempatkan di Asia dan Afrika, dan di pulau-pulau yang tak terhitung jumlahnya di luar batas tiga benua, adalah benda-benda material, dan waktu dapat menghancurkannya. Tetapi waktu tidak akan menghancurkan agama, adat istiadat, dan bahasa yang telah ditanamkan Portugis di negeri-negeri itu]

Demikian juga Henry Russel Wallace, “naturalist”, selama di Ambon dalam tahun 1859 menulis dalam bukunya The Malay Archipelago51 gambaran yang berikut mengenai Ambon dan masyarakatnya :

“The native Ambonese who reside in the city are a strange half-civilized, half-savage, lazy people, who seems to be a mixture of at least three races, Portuguese, Malay and Papuan, or Ceramese, with an occasional cross of Chinese or Dutch. The Portuguese element decidedly predominates in the old Christian population, as indicated by features, habits and the retention of many Portuguese words in the Malay, which is now their language. The have a peculiar style of dress which they wear among themselves, a close fitting white shirt with black trousers and a black frock or uppershirt..........

Though now Protestants, they preserve at feast and weddings the processions and music of the Catholic Church, curiosly mixed up with the gongs and dances of the aboriginese of the country. Their language has still much more Portuguese than Dutch in it, altough they have been in close communication with the latter nation for more than two hundred and fifty years; even many names of birds, trees, being plainly Portuguese. This people seem to have had a marvellous power of colonization, and a capacity for impressing theory national characteristics in every country they conquered, or in  which they effected a merely temporary settlement”

[“Penduduk asli Ambon yang tinggal di kota adalah orang aneh setengah beradab, setengah tidak beradab, pemalas, yang tampaknya merupakan campuran dari setidaknya tiga ras, Portugis, Melayu dan Papua, atau Ceramese, dengan sesekali persilangan Cina. atau Belanda. Unsur Portugis dengan jelas mendominasi populasi Kristen lama, seperti yang ditunjukkan oleh ciri-ciri, kebiasaan, dan retensi banyak kata Portugis dalam bahasa Melayu, yang sekarang menjadi bahasa mereka. Mereka memiliki gaya berpakaian yang khas yang mereka kenakan di antara mereka sendiri, kemeja putih yang pas dengan celana panjang hitam dan rok atau atasan hitam ..........

Meskipun sekarang beragama Protestan, pada pesta dan pernikahan mereka melestarikan prosesi dan musik Gereja Katolik, yang secara aneh bercampur dengan gong dan tarian penduduk asli daerah itu. Bahasa mereka masih lebih banyak Portugis daripada Belanda di dalamnya, meskipun mereka telah berhubungan erat dengan bangsa Belanda selama lebih dari dua ratus lima puluh tahun; bahkan banyak nama burung, pohon, yang jelas bahasa Portugis. Orang-orang ini tampaknya memiliki kekuatan kolonisasi yang luar biasa, dan kemampuan untuk mengesankan karakteristik teori nasional di setiap negara yang mereka taklukkan, atau di mana mereka membuat pemukiman sementara].

 

Untuk mengetahui ciri-ciri Portugis yang masih terdapat dalam peninggalan-peninggalan di Ambon-Lease, kiranya harus diketahui keadaan masyarakat Portugis-Mestico yang terdapat dekat bandar-bandar dagang dan benteng52.

Suatu masyarakat Portugis-Mestico hanya dapat terbentuk atas perkawinan antara pribumi dan pendatang. Perkawinan campuran ini bukanlah barang baru lagi bagi bangsa Lusitania, kalau diingat bahwa percampuran darah telah dialaminya beberapa abad akibat penjajahan berbagai bangsa. Oleh karena itu sikap mereka terhadap kawin campuran lebih liberal dibanding pendapat bangsa-bangsa lain di Eropa53. Kebijaksanaan Raja Portugal terhadap warna di Estado da India tidak selalu jelas dan sama, tetapi pada umumnya raja-raja Portugal berpendapat bahwa agamalah dan bukan warna hendaknya menjadi ukuran bagi kewarganegaraan Portugis penuh, dan semua pemeluk Kristen yang berbangsa Asia harus diperlakukan sama dengan orang Portugis54. Dalam tahun 1562 dan 1572 telah diadakan perundang-undangan untuk meneguhkan kebijaksanaan ini, walaupun tidak pernah dilaksanakan penuh. Perkawinan campuran dengan gadis pribumi juga disebabkan karena sedikit sekali wanita Portugis yang ikut serta menetap di daerah-daerah luar tanah air mereka. Wanita-wanita yang dikirim ke Estado da India biasanya termasuk golongan “orfaos do rey” (anak piatu yang dipelihara dalam rumah-rumah piatu kerajaan) dan kebanyakan hanya sampai di Goa, dimana ada cukup calon suami di antara bujang-bujang pada dinas pemerintahan.

Padre Alexander Valignano, yang terkenal sebagai reorganisator missi-missi Jesuit di Asia (dalam arti kata yang sempit), membuat penduduk India Portuguesa sebagai berikut : Pertama, mereka yang lahir di Eropa tergolong “Reinil”; kedua, orang Portugis yang lahir di India dari orang tua Portugis asli; ketiga, “casticos”, mereka yang lahir dari ayah Eropa dan ibu Indo; keempat, “mestico”, atau “half breeds”; terakhir penduduk pribumi (dalam hal ini dimaksud orang India asli) dan bangsa-bangsa lain yang sama sekali yang tidak mempunyai darah Eropa55.

Yang pertama diketahui dalam sejarah Maluku yang telah memenuhi anjuran dari Affonso d’Albuquerque adalah Francisco Serrao sendiri, yang telah kawin dengan gadis Jawa yang dibawanya dalam perjalanan pertama ke Maluku. Serrao kemudian menetap di Ternate dan menjadi laksamana perang Sultan Ternate. Ia meninggal dunia di sana (1521) dengan meninggalkan seorang putra dan seorang putri56. Contoh lain adalah perkawinan Dona Isabela, putri Sultan Ternate (se-ibu dengan Kaicil Darwis) dengan Balthasar Veloso, seorang bangsawan yang selama 30 tahun tinggal di Ternatevv. Dalam “A Capitania de Amboina”57 digambarkan tentang masyarakat mestico di Saparua, Ternate, Moro, di tempat-tempat mana suatu waktu terdapat 125 anak yatim, akibat suatu peristiwa pembunuhan orang-orang Portugis oleh orang Ternate. Disebut bahwa ibu-ibu mereka adalah wanita pribumi.

Tidak dapat diharapkan bahwa perhubungan antara wanita pribumi dengan laki-laki Portugis selalu merupakan perkawinan yang sah. Terutama pada golongan rendahan dari pejabat-pejabat Portugis hubungan ini merupakan “concubinage”, walaupun pemerintah Portugis dan missi menganjurkan perkawinan yang sah. Dan seringkali, tindakan-tindakan pertama dari padri-padri yang berkunjung dari suatu daerah ke daerah lain adalah meresmikan hubungan ini dengan sakramen. Keluarga campuran ini pada umumnya berdiam dekat benteng atau bandar-dagang Portugis, dan mengadakan perkampungan khusus. Orang Portugis dalam jabatan pemerintahan, setibanya di India, diperbolehkan keluar dari pekerjaannya dan boleh menetap sebagai penduduk sipil atau pedagang. Mereka digolongkan “casados” (orang yang telah kawin) dengan mendapat beberapa hak istimewa. Yang lain tinggal “soldados” (serdadu) dan harus mengikuti dinas militer sampai mereka kawin, meninggal dunia, lari dari tentara atau luka dan cacat.

Sisa-sisa dari hubungan erat antara pendatang dan pribumi, dan penerimaan hal-hal baru dalam berbagai segi kehidupan, dapat dilihat dalam kata-kata pinjaman Portugis yang sampai kini masih digunakan dalam logat Ambon-Melayu58.

Pada waktu Portugis tiba di Malaka mereka belajar kenal dengan lingua franca daerah semenanjung Malaka, Sumatera, dan pulau-pulau lain, yaitu bahasa Melayu. Sudah barang tentu bahasa itu dipelajari untuk hubungan sehari-hari dengan rakyat setempat. Pada waktu mereka sampai di Maluku dan Ambon, lingua franca inipun ditemui. Bahasa tanah (asli) yang digunakan di daerah-daerah itu terlampau berbeda untuk dapat digunakan sebagai bahasa perantara dan dapat dikira bahwa pemasukan ide baru, baik dalam agama, niaga dan kehidupan sehari-hari, disalurkan lewat bahasa Melayu. Oleh karena itu lingua franca inilah yang menerima “shock” dari kontak pertama dengan dunia Barat, dan lewat jalan lingua franca ini pun pengaruh Barat dapat menembus59.

Pigafetta dalam buku catatannya60 telah membuat suatu daftar kata Melayu-Italia, dan walaupun ejaan dari kata-kata Indonesia menggambarkan pengaruh suatu dialek lokal, namun dapat disimpulkan taraf hubungan antara pendatang dan politik. Hubungan ini terutama terdapat dalam perdagangan dan politik, penyebaran agama dan kehidupan sehari-hari.

Apabila kita menilai hubungan politik dan niaga terdapatlah dokumen-dokumen pertama, ia surat menyurat antara raja-raja di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jaililo, dalam bahasa Melayu yang oleh kapitan di Malaka kemudian diterjemahkan untuk  diteruskan kepada Raja Portugis61. Tetapi kemudian pertukaran surat-menyurat itu diadakan dalam bahasa Portugis. Dapat diduga karena Portugis telah dianggap telah berada dalam kedudukan yang berkuasa, pun karena orang-orang Portugis berusaha untuk mengajar bahasa mereka (umpamanya terdapat dalam kurikulum seminari dari Antonio Galvao), dan karena sistem fonetik bahasa Portugis tidak sulit bagi telinga orang-orang pribumi. Bahasa Portugis, sekitar tahun 1540 dan selanjutnya, sudah umum digunakan di kota-kota Malaka dan Goa dan juga di Maluku sebagai bahasa pengantar bagi golongan atasan, sipil, militer dan kaum pedagang. Para sultan di Maluku dan raja-raja di Hitu dan Ambon yang melawat ke Malaka dan Goa, atau dalam berhubungan dengan benteng Portugis di Ternate, menggunakan bahasa Portugis. Dan dalam dokumen-dokumen Portugis, Sultan Hairun disebut sebagai seorang yang ahli bahasa dan sastra Portugis.

Pengaruh yang langsung dirasakan oleh masyarakat Pulau Ambon terwujud dalam struktur masyarakat, dan dengan jabatan-jabatan baru yang timbul sesudah Portugis tiba di kepulauan itu.

Struktur masyarakat Portugis dalam abad ke-15 telah mengalami perubahan, setelah melalui masa feodal dalam zaman tengah. Alam baru, yang dibawa humanisme, telah melahirkan suatu golongan baru, orang-orang cendikiawan (letrados), yang kebanyakan terdiri dari hakim dan yang lulus dari perguruan, prelados (golongan agama) dan nobreza (bangsawan). Golongan baru inilah yang memegang peranan dalam kehidupan sekuler, dan lambat-laun, untuk membalas jasa-jasa mereka, golongan ini diberi kedudukan dalam golongan aristokrasi menengah, sedikitnya sebagai cavaleiro62. Begitu pula dengan penemuan daerah-daerah baru di dunia, sistem ekonomi berubah, dan golongan entrepenaur lebih berarti kedudukannya dalam masyarakat sehingga mereka pun mendapat hak-hak istimewa (previlage) sebagai aristokrasi. Perkembangan sedemikian rupa sehingga akhirnya kebanyakan bangsawan merupakan pedagang.

===== bersambung =====

 

Catatan Kaki

45.     Untuk masa 1540 – 1605 telah dipergunakan karya Tiele tersebut dalam catatan kaki nomor 43 dan C. Wessels De Geschiedenis der RK Missie in Amboina vanaf haar stichting door den H. Fransiscus Xaverius tot haar vernietiging door de O.I. Compagnie 1546-1605 (Nijmegen-Utrecht, 1926)

46.    Saduran dari laporan P. de Castro, tertanggal 13 Mei 1555 sebagaimana tertera dalam Wessels, op cit

47.     Dari tangannya telah terbit karangan penting, lihat catatan kaki nomor 25

48.     Insulindia V, no 21, British Museum Marsden Collection No 12 876, Informacaoes des Mollucas, pelo Padre Antonio Marta, S.J., 1588

49.    Baca : “Portuguese-Mestico”

50.    C.R. Boxer, Four Centuries of Portuguese Expansion 1415 – 1825 : A Succinct Survey (Johannesburg, 1965)

51.      Henry Russel Wallace, The Malay Archipelago (University of Chicago Press, 1966) Bab VIII, 2, 106ww

52.     August Toussaint, History of Indian Ocean (University of Chicago Press, 1966) Bab VIII, 2, 106

53.     Lihat catatan kaki nomor 40

54.     C.R. Boxer, Race Relations in the Portuguese Colonial Empire 1415 – 1825¸(Oxford, 1963)

55.     Ibid

56.    J.A. Robertson, Antonio Pigafetta, Magellan’s Voyage around the world (Cleveland, 1906)

57.     Insulindia IV, Antonio Boccaro, A Capitania de Amboina 1565 – 1579, BNL, Fundo Ceral, No 474

58.     Lihat catatan kaki nomor 8

59.    G.W.J. Drewes, The effect Western influence on the language of the East Indian Archipelago, dalam B. Schrieke (ed), The Archipelago, K.B.B. 1931xx

60.    C.C.F.M. le Roux, De Elcano tocht door den Timor Archipel met Magelhaes schip “Victoria”, Feest-bundel BKI (1919)

61.     Schurhammer, op cit

62.    Semacam golongan “ksatria”

 

Catatan Tambahan

a.        Ruy de Villalabos memiliki nama lengkap Ruy Lopez de Villalabos, lahir sekitar tahun 1500 di Malaga, Spanyol.

b.       Raja Muda atau Viceroy di Mexico bernama Dom Antonio de Mendoza

c.        Ruy Lopez de Villalabos meninggal dunia pada hari Jumaat tanggal  16 April 1546 di Zozanibe (Nusaniwe). Menurut Schurhammer, beberapa penulis misalnya Francisco Collins-Pastells, Pedro Torres y Lanzas, secara keliru menulis bahwa Villalabos meninggal pada hari Jumaat Agung tanggal 23 April 1546, sedangkan penulis Wenceslao E. Retana menulis tanggal kematian pada tanggal 4 April 1546. Tentang tanggal dan tempat kematian Villabos, Schurhammer mengutip dari sumber penulis Garcia d’Escalante Alvarado. Sedangkan penulis Diogo de Couto menulis tempat kematian Villabos di Pulau Ternate.

§  Georg Schurhammer, SJ, Francis Xavier : His Life, His Time, Volume III (Indonesia and India, 1545 – 1549), terjemahan M. Joseph Costelloe, The Jesuit Historical Institute, 1980, Roma Italia, hal 120 – 121, catatan kaki nomor 522-523

§  O.H.K. Spate, The Pasific since Magelan, volume I : The Spanish Lake, ANU  E Press, Australia, 2004, hal 98

d.       Vasco de Freytas, putra dari Diogo de Freytas, saudara laki-laki dari Jordao de Freytas. Vasco de Freytas oleh pamannya, Jordao de Freytas, dikirim ke Ambon pada tahun 1544

e.        Bernaldim de Souza, kapten benteng Portugis di Ternate pada periode 1546 – 1549 dan 1550 – 1552

f.         Duarte de Eca, kapten benteng Portugis di Ternate pada periode 1556 – 1559

g.        Duarte de Eca ditangkap/ditahan pada Desember 1558

h.       Manuel de Vasconcelos, kapten benteng Portugis di Ternate pada periode 1560 – 1561

i.        Antonio Pais/Paez dianggap sebagai Kapitein pertama benteng Portugis di Ambon, 
        meski faktanya belum ada satu benteng Portugis di Ambon. Para sejarahwan menempatkan orang ini sebagai kapitein pertama 
         dengan dasar bahwa ia adalah orang pertama yang secara eksplisit ditugaskan untuk membangun benteng di Ambon, 
         meski pada akhirnya ia tak bisa mewujudkan tugas itu. Ia bertugas dalam periode Januari/Februari 1563 – Desember 1564. 

j.         Menurut sumber dari Hubert Jacobs, eskader Antonio Paez tiba pada Januari 1563, dan 2 orang padri yang dibawa, salah satunya bernama Antonio Goncalves

k.        Henrique de Sa menjadi Kapitein ke-16 benteng Portugis di Ternate dan berkuasa pada periode 1561-1564

l.         Dom Antao de Noronha adalah Wakil Raja/ Vicerei atau Vicerooi pada periode (1564-1568)

m.      Diego Lopez de Musquitta kapten benteng Portugis di Ternate pada periode 1566- 1571

n.       Sancho de Vasconcelos menjadi kapten benteng Portugis di Ambon pada 1576 – 1591

o.       padre Valignano bernama lengkap Alesandro Valignano SJ

p.       Antonio Marta dikirim oleh Alessandro Valignano pada tahun 1587 bukan tahun 1567, mungkin ini adalah kekeliruan teknis semata

q.       Jacob van Neck memiliki nama lengkap Jacob Corneliszoon van Neck. Pada tahun 1598, ada 8 buah kapal yang menuju Nusantara, Jacob Corneliszoon van Neck mengkomandoi kapal “Mauritius”, Wybrandt van Warwick di kapal “Amsterdam” dan Jacob van Heemskerck di kapal “Geldria”.

r.        Jacob van Heemskerck tiba di Hitu pada hari Rabu  tanggal 3 Maret 1599,

§  De Jonge, J.K.J.De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-indie (1595-1610), tweede deel, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Frederik Muller, 1864,hal 207, 377, 419

s.        Wybrandt van Warwick tiba di Ternate pada tanggal 22 Mei 1599

t.         Steven van der Haghen tiba di Hitu pada tanggal 6 Mei 1600, bukan pada tahun 1599

§  De Jonge, J.K.J.De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-indie (1595-1610), tweede deel, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Frederik Muller, 1864,hal 462

u.       Jacob van Neck tidak pernah sampai di Maluku, ia hanya tiba di Banten pada 25 November 1598 dan kemudian kembali ke Belanda dan tiba pada Juli 1599.  

v.        Menurut sumber dari de Jonge, Jacob van Neck tidak melakukan kontrak/perjanjian dengan Hitu, tetapi Cornelis van Heemskerck pada Juni 1601

w.      Ayres de Saldanha menjabat sebagai Raja Muda atau Vocerooy pada periode 1600 – 1605

x.        Steven van der Haghen tiba di Banten pada 31 Desember 1604

y.        Gaspar de Mello, menjadi kapten benteng Portugis pada periode 1602 – 25 Februari 1605

z.        Don Juan da Silva (Silo) Radja van Soya, dan Don Manuel, Radja van Kilang

aa.     Oversten (Pemimpin) Negeri Hatiwe adalah Dom Marcus de Freytas (de Fretes)

bb.    Oversten (Pemimpin) Negeri Tawiri adalah Anthonio Gousal

cc.     Oversten (Pemimpin) Negeri adalah Pedro Mesquita (Muskita)

dd.    Oversten (Pemimpin) Negeri Hatalai adalah  Antonio Lopez (Lopies)

ee.     Oversten (Pemimpin) Negeri Puta adalah George Tumbes

ff.       Oversten (Pemimpin) Negeri Sery adalah Pedro Uriasila

gg.     Oversten (Pemimpin) Negeri Amahusu adalah Simon Syloy (Silooy)

hh.    Oversten (Pemimpin) Negeri Ema adalah Simon Maytimo (Maitimu)

ii.        Oversten (Pemimpin) Negeri Ema adalah Macatita

jj.        Oversten (Pemimpin) Negeri Ahusen adalah Joan Baouta

kk.     Oversten (Pemimpin) Negeri Hutumury adalah Antonio Pays

ll.        Oversten (Pemimpin) Negeri Rutong adalah Tala Hattou (Talahatu)

mm. Oversten (Pemimpin) Negeri Halong adalah Pate Ale dan Don Andreas [Anakotta]

nn.    Oversten (Pemimpin) Negeri Bagula adalah Anthonio

oo.    Oversten (Pemimpin) Negeri Suli adalah Anthonio Quell

pp.    Oversten (Pemimpin) Negeri Waai adalah Don Juan

qq.    Oversten (Pemimpin) Negeri Amantelo adalah Juani

rr.      Gerrit J Knaap menganggap Oucanar adalah Ukuhener, sebuah wilayah yang merupakan bagian dari Nusaniwe dan bukan Hukunala.  Oversten (Pemimpin) Negeri Oucanar  adalah  Siouta (de Soysa?)

ss.      Oversten (Pemimpin) Negeri Kapa adalah Anthonio Hehito

§  [untuk aa – ss] P.A. Tiele, Documenten voor de geschiedenis der Nederlanders in het Oosten, dimuat dalam Bijdragen en mededeelingen van het Historisch Genootschap, deel 6, Kemink en Zoon, Utrecht, 1883, hal 325 – 337,  khusus hal 333

§  Gerrit J Knaap, Memories van overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987, hal 10

tt.       De Houtman yang dimaksud adalah Frederik de Houtman, adik dari Cornelis de Houtman. Frederik de Houtman ditunjuk/diangkat sebagai Gouverneur van Amboina pada tanggal 1 Maret 1605.

§  De Jonge, J.K.J.De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-indie (1595-1610), derde deel, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Frederik Muller, 1865,hal 147-148, catatan kaki nomor 1

uu.    Don Pedro d’Acuna memiliki nama lengkap Don Pedro Bravo d’Acuna, ditunjuk menjadi Gubernur Spanyol Manila pada 16 Januari 1600, dan mulai memerintah sejak 1602 – 24 Juni 1606 (meninggal dunia)

§  Emma Helen Blair & James Alexander Robertson, The Philippine Islands 1493-1803, volume 17, The Arthur H. Clark Company Cleveland, Ohio, 1904,pp. 285-289.

§  Birgit Tremml-Werner, Spain, China, and Japan in Manila, 1571 – 1644 : Local Comparisons and Global Conections, Amsterdam University Press, Amsterdam, 2015, hal 150

vv.     Paramita Abdurachman mungkin tidak “teliti” dalam informasi ini. Pada tulisan yang lain, ia sendiri menulis bahwa Putri dari Sultan Ternate (mendiang Sultan Bayan Sirullah) memeluk agama Kristen dan mengambil nama “Dona Catharina” serta menikah dengan Baltasar Veloso, dan “Dona Isabel” adalah nama baptis dari Boki Raja atau Niachile Pokaraga, permaisuri atau istri Sultan Bayan Sirullah.

§  Paramita R Abdurachman, “A Niachile Pokaraga” A Sad History of a Moluccan Quen, dimuat dalam jurnal Modern Asian Studies, volume 22, 1988, hal 579 – 592, khusus hal 573, 577, 589 - 590

ww.  Sepertinya ada “kekeliruan teknis” pada sumber ini, terkhusus nama penerbit, tahun penerbit, dan bagian buku yang dikutip yang sama dengan catatan kaki nomor 52. Jika mengikuti buku yang diterbitkan  Macmillan and co Limitted, London, tahun 1902, teks ini berada pada bab XX, hal 223- 234, khusus hal 230-231.

xx.     Sumber dari G.W.J. Drewes ini memiliki judul “lain” yaitu The influence of  Western civilisation on the language of the East Indian Archipelago, dimuat oleh B. Schrieke (ed), The Effect  of Western Influence on native civilisation in the Malay Archipelago, G. Kolff and Co, Batavia, 1929, hal 126 – 157.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar