Kamis, 29 Juni 2023

Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon

(bag 1)

[Paramita R Abdurachman]

  1. Kata Pengantar

Alm. Paramita Rahayu Abdurachman atau Tante “Jo” semasa hidupnya dikenal sebagai sejarahwan yang banyak menulis artikel tentang keberadaan Portugis di Nusantara. Dari banyak tulisan itu, ada beberapa tulisan yang mengkhususkan sejarah keberadaan dan pengaruh Portugis di Maluku, yang pernah menguasai wilayah Maluku kurang lebih 1 abad lamanya.

Dari beberapa tulisan Paramita Abdurachman itu, salah satu tulisan yang dimuat di sini berjudul Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon. Tulisan ini awalnya dimuat dalam buku Bunga Rampai Sejarah Maluku (I), yang dieditori oleh Paramita R Abdurachman, R.Z. Leirissa dan C.P.F. Luhulima, dan diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Jakarta pada tahun 1973. Tulisan Abdurachman ini ditempatkan pada halaman 45-83. Tulisan ini bersama dengan artikel-artikel lain milik Paramita Abdurachman, kemudian dikumpulkan dan dibukukan dalam buku Bunga Angin Portugis di Nusantara : Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, yang diterbitkan oleh LIPI Press, Jakarta pada tahun 2008. Buku ini dipersembahkan dalam rangka memperingati Ulang Tahun Tante “Jo” yang ke-88, 20 tahun setelah meninggalnya beliau pada 24 Maret 1988. Tulisan ini adalah tulisan atau artikel ke-6 dari 10 artikel yang dimuat pada buku tersebut pada halaman 114-161. Tulisan yang cukup panjang ini terdiri dari 74 buah catatan kaki.

Rasanya tidak perlu banyak untuk disampaikan tentang isi tulisan ini, dan lebih baik jika kita “meikmatinya” sendiri, tetapi yang pasti bahwa Paramita Abdurachman menggunakan banyak sumber-sumber Portugis untuk membahas sejarah Portugis di Maluku, serta ciri-ciri yang ditinggalkan dan bisa “dilihat” di masa kini, setidaknya pada saat tulisan itu dibuat. Kami hanya menambahkan beberapa catatan kaki dan beberapa gambar/lukisan ilustrasi pada tulisan yang dimuat ini, karena pada tulisan aslinya memang tidak ada gambar ilustrasi. Semoga tulisan ini bisa menambah wawasan kesejarahan kita.

 

  1. Isi Artikel

I.             Pendahuluan

 

  1. “Zaman Portugis”

“Bapak Tiang1 Sarimanela, Kepala Soa yang tertua negeri Passo di Pulau Ambon, yang menjabat Pejabat Raja2, menceritakan bahwa negerinya, Passo, didirikan oleh orang Portugis. Sebenarnya penduduk tinggal di Negeri Lama, 5 km dari Passo di Teluk Dalam, di jazirah Hitu, suatu tempat yang terlindung dari angin dan waktu pasang, tempat kapal-kapal dapat berlabuh dan di sekitar negeri itu ada tanah subur untuk berkebun dan terdapatlah hutan-hutan sagu. Waktu Portugis diusir dari jazirah Hitu karena usaha-usaha penginjilan, mereka menyeberang ke gunung-gunung Hitu, sampailah di Teluk Dalam, dekat tanjung Martafons, di antara negeri-negeri Rumahtiga dan Poka. Menyusur pantai mencari tempat menetap, di mana kapal-kapal dapat berlabuh, tibalah mereka di Negeri Lama yang cocok dengan kehendak mereka. Penduduk disuruh pindah dan berkampung tempat kedua jazirah, Hitu dan Leitimor, bertemu. Di sana sudah ada suatu negeri yang letaknya pada pantai timur di Teluk Baguala, yang diberi nama Baguala pula3. Didirikanlah sebuah negeri baru, berdampingan dengan Baguala, tetapi di pantai Teluk Dalam, yang diberi nama Tombalina. Akan tetapi karena letaknya pada pertemuan kedua jazirah itu, Portugis kemudian berikan nama baru, ialah Passo4. Lama-kelamaan dua negeri ini, Tombalina-Passo dan Baguala, menjadi satu, lazimnya disebut Passo. Akan tetapi masing-masing tetap mempunyai baileu dan batu teun  sendiri, dan sampai sekarang demikianlah keadaannya”.

Bapak Tiang sendiri tampaknya sebagai hasil percampuran darah sejak berabad-abad dari Alifuru, Melayu dan Kaukasia. Begitu pula beberapa anggota Badan Saniri. Dan ada yang nama keluarganya Portugis.

Cerita-cerita seperti disebut di atas, yang menunjukkan kenangan akan “Zaman Portugis”, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai datang ke Maluku, masih banyak terdapat di Kepulauan Maluku. Cerita-cerita, kapata-kapata (seperti kapata Tombosite dari Taniwel)5, nyanyian-nyanyian, masih sering mengenangkan penduduk Maluku pada zaman Portugis itu. Kenangan yang lebih tegas lagi terdapat terutama di Pulau Ambon dan Lease, dan dijumpai dalam (nama-nama) tempat (seperti “Sawahtelu” di Hitu)6, nama keluarga7, kata-kata dalam bahasa Melayu-Ambon8, kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, dalam musik, tarian dan puing benteng.

Walau penduduk Ambon mengenalnya sebagai peninggalan Portugis, tetapi dianggap sebagai barang biasa, sesuatu yang sudah turun-temurun menjadi bagian kehidupannya. Sesuatu yang merupakan warisan dari masa nenek moyang ketika sejarah Maluku masih diselubungi rahasia. Secara etimologis kata “Portugis” bagi orang Ambon berarti : “kuno, antik, sesuatu yang tidak konkrit”. Pengetahuan konkrit tentang sejarah Maluku baru dimulai dari zaman VOC.

Berbicara dengan Bapak Tiang dan anggota-anggota Saniri negeri Passo dan penduduk umum mengenai pandangan mereka akan pembagian sejarah Ambon, terdapatlah pembagian sebagai berikut :

  1. Zaman Nenek Moyang      :  

dimana nenek moyang di Ambon untuk bertempat tinggal, berkebun, membentuk keluarga, yang menjadi nenek moyang orang Ambon sekarang

  1. Zaman Portugis :

lanjutan dari zaman nenek moyang, pada waktu pertama kali dengan bangsa Barat (orang kulit putih, atau “bermata kucing” = hijau), termasuk masa pertama VOC

  1. Zaman Vlaming :

pada waktu VOC meneguhkan kekuasaannya dengan jalan “hongi”, monopoli Belanda pada perdagangan rempah-rempah, turunnya pengaruh dan kekuatan kerajaan-kerajaan di Maluku-Ambon, Seram dan pulau-pulau lain di sekitarnya.

  1. Zaman Kompeni :

Pada waktu mana orang Ambon dikerahkan menjadi “serdadu” dari “kompeni” (tentara Hindia Belanda) untuk menaklukkan Aceh, Bali, dan Lombok, kemudian sampai kira-kira tahun 1950

  1. Zaman Republik :

Pada waktu mana Maluku menjadi bagian integral dari Republik Indonesia, sesudah pengakuan kedaulatan RI dan penyerahan kekuasaan Belanda.

 

Menelaah pembagian ini ternyata bahwa periodisasi itu tidak selalu ada persamaan dengan periodisasi sejarah. Sesungguhnya, dipandang dari sudut ini, “zaman Portugis” merupakan suatu titik penting dalam sejarah Maluku, dengan perubahan-perubahan yang menentukan sifat masyarakatnya. Pada hakekatnya, zaman itu membawa peralihan dari masyarakat sakral menuju ke suatu masyarakat sekuler, pada waktu mana baru dimulai dengan peralihan sejarah. Pada masa ini pulalah, adat, sebagaimana dicatat nenek moyang, mulai dicatat. Dan pendatang baru membawa pula perubahan dalam segi-segi perekonomian, pemerintahan, kerohanian dan kebudayaan.

Akan tetapi, dalam pandangan umum zaman Portugis merupakan suatu masa yang masih terkabung kabut. Kesadaran sejarah baru muncul setelah mengalami perubahan-perubahan yang menggemparkan selama zaman Vlaming. Begitulah, tulisan-tulisan sejarah dari tangan orang-orang Indonesia tidak tegas menyebut hubungan dan pengaruh dari masa itu, walaupun orang-orang Portugis berada di Maluku kurang lebih 100 tahun (1512-1605).

Rijali, pengarang Hikayat Tanah Hitu di sekitar tahun 1650, 40 tahun setelah Portugis meninggalkan Maluku, menyebut kedatangan mereka dan beberapa kejadian penting, tetapi dari hikayat tersebut dapat langsung ditarik peristiwa-peristiwa yang berasal dari hubungan dan pengaruh timbal balik yang niscaya telah berkembang dalam waktu yang sekian lama.

 

  1. “Barang-barang Portugis”9

Pelancong-pelancong ke daerah Ambon-Lease sekaligus dapat menyaksikan hal-hal yang bersifat “Eropa” atau “Barat” dalam kebiasaan dan bahasa. Mereka yang tinggal lebih lama dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kemudian akan cepat menangkap hal-hal asing dalam kebiasaan, musik, tari-tarian dan hal-hal lain yang kemudian disebut “barang” Portugis.

“Barang” Portugis di sini sering tidak berasal dari bangsa Portugis kalau diselidiki lebih lanjut, melainkan dari pengaruh bangsa lain yang datang kemudian, terutama bangsa Belanda (mulai masa VOC dalam abad ke-17) dan Inggris (selama pemerintahan Inggris 1812-1815a). Namun masih ada suatu lapangan besar kebudayaan dan sejarah yang akan mengungkap kepada seorang peneliti peninggalan-peninggalan berciri Portugis dalam kehidupan orang Ambon, sebagai bukti yang nyata dari hubungan timbal balik antara bangsa Maluku dan Portugis selama hampir seabad. Ciri-ciri Portugis ini telah merupakan suatu warisan kebudayaan yang memberikan identitas kepada negeri-negeri tertentu di Ambon10, yang membedakannya dari negeri-negeri lain di kepulauan itu11, dimana pengaruh Portugis dan peninggalan-peninggalan tidak ada atau hanya terdapat dalam bentuk yang tidak menyolok.

 

  1. Bahan-bahan tertulis Portugis

Para sejarahwan Indonesia pada umumnya mengenal tulisan-tulisan dari para pengarang-pengarang Belanda dari abad ke-16 dan ke-17, terutama pejabat-pejabat VOC dari tahun-tahun pertama berdirinya factorij-factorij  VOC di Ambon12. Aert Gijsels13 telah menghasilkan karya yang penting bagi pengetahuan akan keadaan masyarakat pada tingkat dimana imprint  Portugis masih sangat berkesan, pada lain pihak menggambarkan keadaan masyarakat yang dalam banyak hal belum berubah oleh pengaruh persentuhan dengan kebudayaan asing. Begitu pula “Ambonsche Landbeschrijving”14 dari Rumphius, telah membuka banyak fakta yang penting untuk mengisi berbagai kekosongan  dalam sejarah Ambon dan sekitarnya, terutama tentang keadaan negeri-negeri dan keluarga yang menghuninya dalam abad ke-17.

Masyarakat Maluku, dalam hal ini khusus di Ambon dan Lease, pada umumnya mendasarkan pengetahuan akan sejarahnya di “zaman Portugis” dari karangan Bapak Valentijn yang menulis “Oud en Nieuw Oost-Indien”15 dan tidak sadar bahwa dalam banyak hal Valentijn mengambil bahannya langsung dari “Ambonsche-Historie”16 karangan Rumphius.

Tulisan-tulisan tangan dari bangsa lain, terutama dari Portugis dan Spanyol, hanya dikenal di kemudian hari dalam terjemahan dan saduran dari bangsa lain (lihat Ruinen), terutama Belanda dan Inggris. Akan tetapi, hanya sejumlah kecil dari seluruh himpunan dokumen, manuskrip dan tulisan serta penerbitan dari orang-orang Portugis yang dikenal. Sejumlah terbesar masih merupakan “terra incognita” bagi orang Indonesia dan oleh karena itu kiranya gambaran yang didapat tentang hubungan antara masyarakat pribumi Indonesia dengan orang-orang Portugis, semasa Portugis bersemayam, berdagang dan bersengketa di lautan Maluku, tidak lengkap.

Oleh sebab itu, untuk mengungkap tabir sejarah ini, dan menentukan latar belakang dan sebab musabab adanya sejumlah sisa peninggalan bangsa dan kebudayaan Portugis, perlulah kiranya diadakan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah asli. Dokumen-dokumen ini tersebar di Portugis sendiri, dan di pelbagai negara di Eropa. Archivo da India di Sevilla, Archivo Nacional  di Simancas dan Bibliotica Nacional  di Madrid, British Museum (Manuscript Departement) dan India Office Record, Commenwealth Relations Office  di London dan Instituto Storico delae Compania del Gesu di Roma, adalah pusat-pusat penting dari dokumen-dokumen Portugis, baik yang bersifat keduniawian maupun kegamaan. Di samping itu perpustakaan-perpustakaan di samping museum, arsip-arsip tertentu di negara-negara lain di Eropa dan Amerika juga memiliki koleksi dokumen Portugis dari abad ke-16 dan ke-17.

Koleksi terbesar dari dokumen-dokumen terdapat di Arquivo Nacional da Torre do Tombo di Lisboa, yang menyimpan lebih dari 100.000 dokumen yang terhimpun dalam berbagai golongan. Yang penting di antaranya bagi sejarah Indonesia terdapat dalam Gavetas  (“laci-laci”), Corpo chronologica (dokumen-dokumen yang disimpan secara kronologis), dan berupa Cartas (surat menyurat), Chancelaria  (dokumen-dokumen dari sekretariat Raja) dan lain sebagainya. Dokumen-dokumen kerajaan Portugal terdapat juga di arsip-arsip kota Evora dan Braga, dan dalam perpustakaan Universitas Coimbra semasa kota ini masih menjadi pusat kerajaan. Di samping itu juga terdapat manuskrip-manuskrip asli dari pengarang-pengarang  Correa, Bothelo, Galvao, Fernao Mendes Pinto dan lain-lain17. Perpustakaan terbesar untuk menghimpun manuskrip Portugis adalah Bibliotica da Ajuda (dahulu perpustakaan raja-raja Portugal) dan Bibliotica Nacional  (kedua-keduanya di Lisboa)18. Kemudian terdapat arsip dari Uskup-uskup Katolik di berbagai tempat, dan dari Santa Casa da Misericodia (rumah-rumah penampungan orang sakit dan jompo dari Gereja Katolik), dimana bisa ditemukan arsip-arsip tentang perorangan, yang pernah bertugas untuk pemerintah Portugis di Asia.

Pejabat-pejabat militer dan sipil dari kerajaan Portugal, baik orang Portugis sendiri maupun bangsa lain, misionaris dan awak kapal, telah menulis dengan penuh semangat dan panjang lebar tentang negeri-negeri dan bangsa-bangsa serta adat dan kebiasaan di sudut-sudut dunia yang baru mereka datangi itu. Adalah kebijaksanaan pemuka-pemuka kerajaan (seperti Pangeran Henry Pelaut, Raja Manuel I), untuk memberikan hadiah kepada mereka yang dapat memberikan laporan lengkap, yang dapat digunakan untuk menentukan garis kebijaksanaan pemerintah terhadap negara-negara dan bangsa-bangsa yang baru ditaklukannya. Laporan-laporan dari kapitan-kapitan benteng dan loji di wilayah “Asia Portuguesa”  kepada kapitan-kapitan di Goa dan Malaka dan kepada raja muda di Goa, diteruskan kepada “ Casa da India”  di Lisboa. Semua dokumen-dokumen tersebut serta jawaban-jawabannya dan dokumen-dokumen lain terhimpun selalu dalam “Livros do Mencoes” (atau “Documentos Remettidos”)19. “Buku Musim” itu menggambarkan pasang surut riwayatnya Portugis dalam usahanya untuk menyebarkan dan menegakkan kekuasaannya dalam perdagangan dan agama selama mereka berada di Afrika dan Asia. Selain surat-surat dan laporan-laporan resmi daripada awak kapal dan pejabat-pejabat, terdapat pula surat-surat pribadi kepada para keluarga, dokumen-dokumen mana tetap disimpan oleh keluarga itu. Keluarga bangsawan seperti Albuquerque, Gama, Freytas, Lima, Castro sampai kini menyimpan arsip keluarga mereka, dan jarang diantaranya yang mengumumkan dan menerbitkannya. Patut disebut 2 koleksi dokumen yang terhimpun dalam perpustakaan pribadi dari Duque de Cadaval dan Duque de Palmela yang juga memuat manuskrip-manuskrip asli pengarang-pengarang Portugis. Kedua perpustakaan ini sekarang mulai dibuka untuk umum.

Jumlah dokumen yang telah diumumkan dari koleksi resmi pemerintah masih berjumlah sedikit, dibanding dengan jumlah seluruhnya. Berbagai lembaga penelitian, atas kerjasama dengan Pemerintah Portugal, telah mulai sejak 10 tahun yang lalu untuk membuat “microfilms”, mentranskripsi dan menerbitkan dokumen-dokumen yang ada di Torre de Tombo, Ajuda, Bibliotica Nacional, Arquivo Historico Ultramarinos  (kedua-duanya di Lisboa), lembaga sejarah dari Universitas di Lisboa dan Coimbra, lembaga sejarah dari Societas Gesu di Roma, telah menghasilkan karya-karya seperti “As Gavetas da Torre do Tombo”, “Documentacao para a historia das missoes do Padroado Oriente: Insulindia”. Pekerjaan ini, yang masih terus berjalan, akan memakan waktu 20 tahun lagi menurut dugaan pimpinan lembaga-lembaga tersebut.

Walaupun jumlah transkripsi ini masih kurang, namun telah dapat dibuka tabir terhadap keadaan Maluku dan bagian-bagian lain dari Indonesia dalam abad ke-16. Dan penelitian-penelitian seksama dari transkripsi-transkripsi ini dapat memberikan gambaran  tentang kejadian-kejadian di Maluku khususnya dan di Indonesia pada umumnya, pada waktu bangsa Indonesia mengalami hubungan pertama dengan bangsa Eropa. Di samping penerbitan transkripsi-transkripsi ini telah terdapat penulisan sejarah oleh chronicler-chronicler  resmi dari Pemerintah Portugal seperti Joao do Barros dan Diogo de Couto20, sedangkan pengarang-pengarang seperti Tome Pires, Diogo Lopez da Castanheda, Duarte Barbosa, dan sejumlah lain21, telah pula menulis tentang hal-ikhwal bangsanya waktu mereka berpengaruh dan berkuasa di Asia.

Dengan meneliti segala tulisan ini dapatlah kiranya terisi suatu kekosongan akan pengetahuan tentang keadaan masyarakat Maluku di abad ke-16, suatu bab dalam sejarah Indonesia yang sedikit dikenal, juga oleh orang-orang Maluku sendiri.

 

II.                 Portugis di Maluku

  1. Hubungan dengan dunia luar, terutama dengan Portugis

Pengetahuan Portugis tentang daerah rempah-rempah didapat dari cerita-cerita dan tulisan-tulisan yang datang ke Lusitania dari perantau-perantau yang membukukan pengalaman mereka. Di Maluku sendiri hubungan dengan orang-orang dari bangsa dan suku lain, sebelum kedatangan Portugis, sudah berjalan berabad-abad lamanya, sebagaimana terbukti dari tulisan-tulisan Arab dan Cina dan dari karangan semasa kerajaan Hindu Kediri dan kemudian Majapahit22; pun dari cerita-cerita asal negeri-negeri di Ambon Lease yang sampai kini masih beredar.

Perdagangan antara bangsa-bangsa dan suku-suku lain dengan Maluku disebabkan oleh rempah-rempah yang dihasilkan di Nusantara Timur itu, yaitu cengkih di daerah kepulauan Ternate dan Tidore, pala di Banda dan kayu cendana di Timor.

Sebagaimana disebut Tome Pires dalam Suma Oriental23Pedagang-pedagang bangsa Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kaya cendana, Banda untuk pala dan Maluku untuk cengkih, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain-lain tempat di dunia kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain dan semua orang katakan tidak”.

Deinum dalam karangannya tentang cengkih24 memberi riwayat singkat tentang cengkih, yang asalnya dirahasiakan selama berabad-abad lamanya oleh orang Cina. Seorang biarawan Byzantin, Cosmas (atau Cosmas Indicopleustis), yang mengunjungi India sekitar 547 A.D. untuk pertama kali menyinggung bahwa cengkih itu diimpor dari Cina dan Sri Langka. Menurut Gabriel Rebello dalam “Informacao das cousas sobre as Moluccas”25 cengkih itu berasal dari Ternate, Tidore, Motir dan Makian. Deinum berpendapat bahwa selain 4 pulau ini, juga Halmahera adalah tempat asalnya cengkih disebarkan oleh burung dara dan burung musiman26.

Ia tidak  sependapat dengan Rumphius yang mengatakan bahwa Makian adalah tempat asal yang asli karena letak geografis pulau-pulau itu, yang berdekatan sekali. Pigafetta dalam buku catatan hariannya mengatakan27 :

cengkih tidak terdapat di dunia kecuali di pegunungan kelima pulau ini, namun beberapa terdapat di Geilolo dan di suatu pulau kecil antara Tidore dan Motir, bernama Mare, tetapi tidak baik keadaannya. Nama cengkih ini adalah “ghomode”, di Saranghani “bongalauan” dan di Maluku “chianche”28.

Perdagangan cengkih dan pala sejak rempah-rempah ini menjadi bahan perdagangan terpusat di pulau Ternate dan Tidore serta Banda. Lalu lintas perdagangan kemudian menyebabkan pulau-pulau itu dari dulu sudah mengenal persentuhan dengan kebudayaan lain, apabila bangsa-bangsa asing datang baik untuk waktu singkat maupun untuk menetap. Dalam lalu lintas antara dunia luar dengan Ternate-Tidore, dan Banda, Hitu kemudian menjadi tempat berlabuh untuk mendapat air, selanjutnya tempat ini berkembang menjadi bandar.

Pada waktu orang-orang Portugis tiba di Maluku, kerajaan-kerajaan Ternate dan Tidore sedang terlibat dalam perlombaan untuk merebut kekuasaan politik mutlak di daerah Maluku dan pulau-pulau di Laut Banda. Dalam perlombaan ini pihak Ternate akhirnya menang, dengan menggunakan faktor baru, yaitu kedatangan Portugis di perairan Maluku. Berita tentang Portugis di Malaka dan direbutnya kota itu, telah tersebar di Kepulauan Nusantara Melayu, dibawa oleh saudagar-saudagar Jawa dan Arab, yang berdagang antara Malaka dan kepulauan di Timur. Begitu pula kedatangan flotalila  Portugis di bawah pimpinan Antonio Abreu dan Francisco Serrao di Banda dan Hitu pada awal tahun 1512 segera terdengar di kepulauan utara. Apalagi setelah Portugis dengan berhasil telah membantu Hitu menghalau serangan dari pihak orang Ceram. Kolano Ternate, Bayan (Na-) sirulah dengan segera mengutus adiknya, Kaicil Darwis ke Hitu untuk mengundang orang-orang Portugis itu untuk datang ke Ternate. Setelah kapal-kapal Portugis di bawah pimpinan Serrao tiba (Antonio Abreu telah kembali ke Malaka), Kolano Ternate juga menyetujui permintaan pendirian bandar dagang dan benteng di Pulau Ternate. Dapat diduga bahwa Kolano Ternate memperhitungkan kekuatan Portugis dengan senjata dan kapal modern dan keinginan untuk berdagang sebagai faktor meninggikan kekuatan dan pretise terhadap saingannya, yaitu Tidore.

Padre Sebastian Goncalves dalam Apostolado de Francisco Xavier29 menulis pada tahun 1579 bahwa di antara kerajaan-kerajaan di daerah Timur itu, Ternate-lah yang paling kuat dan disebut Rey de Maluca, yang meliputi seluruh daerah antara Siau, Moro, Sulawesi, Amboino, dan banyak daerah (lugares) lain. Kekuatan ini disebabkan di pulau itu ada sebuah benteng Portugis yang kecil dengan kekuatan 40-50 tenaga tempur, yang menyebabkan Ternate mempunyai keunggulan terhadap kerajaan-kerajaan lain.

Pihak Tidore yang dalam tahun 1512 itu terlambat mengirimkan utusannya, harus menunggu 9 tahun lagi untuk mengimbangi kekuatan itu, yaitu juga dengan kedatangan pihak luar, yakni Spanyol dalam tahun 1521.

Alfonso de Albuquerque, sesudah menaklukkan Malaka dalam tahun 1511, memberikan perintah kepada Antonio Abreu dan Francisco Serrao untuk mencari jalan ke pulau-pulau rempah yang oleh pedagang-pedagang Arab disebut “Jazirat al-Muluk” (daerah dari banyak tuan). Instruksi bagi Abreu adalah tegas, ialah agar awak kapal tidak membajak, berusaha keras untuk mencapai hubungan yang baik dengan penduduk itu, dan supaya memperhatikan kebiasaan “pribumi”30.

Dengan latar belakang inilah kiranya harus ditinjau hubungan-hubungan dagang antara Portugis dengan sultan-sultan di Maluku, dengan regedors dan cabeca di Hitu dan Banda31. Baik Ternate maupun sultan-sultan di pulau lain minta Portugis untuk mendirikan benteng di daerah mereka, serta minta bantuan untuk meneguhkan kekuasaannya. Sebagai balas jasa pihak Portugis mendapat rempah-rempah. Baru pada tahun 1518, sesudah kekuasaan Portugis di Goa dan Malaka mulai berakar, maka dikirimlah flotila dibawah pimpinan Tristao de Menezes untuk mengangkut bahan-bahan rempah-rempah dari Maluku. Dalam perjalanan pulang flotila itu singgah di Hitu dimana telah didirikan sebuah loji sejak tahun 1515, pada perjalanan itu juga, karena musim timur telah tiba, pihak Portugis mencari pelabuhan yang aman, dan ditemuinya “Teluk Dalam” (“Cova”). Pada kesempatan ini Portugis membantu lagi Hitu menghalau serangan dari Seram.

Periode pertama ini, dimana Portugis dapat memperluas hubungan dagang dengan tenang, dikejutkan oleh kedatangan sisa-sisa eskader Spanyol di bawah pimpinan anak buah mendiang Fernao de Magelhaes dalam tahun 1521. Francisco Serrao, yang telah menetap di Ternate, telah menulis surat kepada kawan karibnya, Fernao de Magelhaes, tentang segala kejadian sejak ia meninggalkan Portugal, dan telah pula memberitahukan jalan-jalan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah. Magelhaes, yang telah menawarkan jasa-jasanya kepada Raja Portugal dan tidak mendapat respons, kemudian berhasil mendapat tugas dari raja-raja Spanyol, dan telah menemukan jalan baru lewat Amerika Selatan menyeberangi Lautan Teduh. Waktu tiba di Sebu, di kepulauan yang kemudian dinamakan Philipinas, ia dibunuh oleh penduduk setempat. Sisa eskadernya, dipimpin oleh Elcanob dan Antonio Pigafetta, berhasil meloloskan diri dan tiba di Maluku, sesudah 27 bulan mengarungi lautan. Setiba di Maluku mereka mendapatkan Portugis di Ternate, dan karena itu berlayar ke Tidore dimana mereka disambut hangat oleh Kolano Tidore32.

Walaupun Portugis dari permulaan berusaha untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat dianggap bermusuhan, namun sejak mulanya tujuan kedatangan adalah untuk mendapatkan hak monopoli atas perdagangan rempah-rempah. Sebagaimana dibentangkan oleh A. Meilink-Roelofsz33 memang bukan maksud Portugis untuk menguasai seluruh perdagangan antar pulau, melainkan cukup monopoli rempah-rempah, terutama cengkih, pala dan bunga pala. Oleh karena itu, Tristao de Menezes meminta kepada Kolano Ternate agar Portugis diberikan monopoli itu dan diizinkan untuk mendirikan sebuah benteng guna melindungi perdagangan rempah-rempah. Sultan Ternate yang rupanya merasakan tekanan dari adanya pihak asing di daerahnya merasa segan memenuhi permintaan itu, dan baru pada tahun 1522 monopoli itu diberikan dan benteng didirikan. Mungkin kehadiran Spanyol di Tidore menjadi dorongan untuk memberikan bantuan kepada Portugis itu.

Sejak bangsa Lusitania mulai mendatangi daerah-daerah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan di zaman Pangeran Henrique (Henry Pelaut), maka olehnya telah dihidupkan dan diadakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat menjamin hubungan (dagang) dengan daerah-daerah itu. Kebijaksanaan-kebijaksanaan itu adalah34 :

§  pendirian “feitoria” (bandar dagang)

§  pemberian tanah-tanah (doacao) kepada para bangsawan untuk dieksploitasi

§  pendirian “companhia da nau” (suatu bentuk asuransi maritim yang menjamin perongkosan flotila-flotila yang dikirim ke daerah-daerah baru)

§  mengadakan monopoli dagang atas suatu bahan perdagangan tertentu

Apabila pendirian “companhia da nau” berlaku khusus untuk dalam negeri, ketiga kebijaksanaan lainnya diikuti dimana Portugis tiba dan mengadakan persiapan untuk menguasai daerah baru itu demi tujuan-tujuannya.

Sebagaimana dijelaskan oleh C.R. Boxer35  dalam “Four Centuries of Portuguese Expansion”, tujuan ekspansi Portugal adalah “orang Kristen dan rempah-rempah” sebagaimana diucapkan oleh awak-awak eskader Vasco da Gama waktu mereka tiba di Calicut dalam tahun 1498. Dimana Raja Portugal juga merupakan pemegang tertinggi dari hak-hak pastronaat gereja Katolik, maka tiap petugas kerajaan merupakan sekaligus penyebar injil.

Dalam sejarah masa Portugis di Maluku Utara, Ambon, dan Banda, telah jelas dilihat bagaimana usaha penginjilan itu. Usaha ini akhirnya menghasilkan pengokohan dunia Islam, karena daerah-daerah Islam saling membantu, dan mencari bantuan dari pihak Islam di luar daerah seperti dari Ratu Jepara. Pada pihak lain usaha penginjilan menghasilkan penasranian dari daerah-daerah yang tadinya memeluk kepercayaan kuno. Menurut Meilink-Roeloefsz usaha-usaha penasranian ini tidak dilakukan karena “humanitarian aspect” dalam agama Kristen, tetapi memeluk agama Kristen berarti sepihak dengan Portugis dan para ekstrimnya, menentang pengaruh Ternate yang sering identik dengan pengaruh Islam, maka motif penginjilan cukup jelas.

Pasang surutnya pengaruh Portugis di Maluku, Ambon dan Banda, banyak tergantung dari sikap dan kepandaian capitao-capitao  Portugis di Maluku. Faktor lain yang menentukan kekuatan Portugis adalah keadaan dalam negeri, hubungan politik antara Ternate dan Tidore. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa pada masa kekuasaan Ternate belum meluas, tidak ada halangan bagi Portugis untuk mendirikan benteng-benteng dan loji-loji di Maluku, Ambon dan Banda, dan bagi Spanyol di Tidore. Konsentrasi perdagangan Portugis adalah di Ternate dan Banda, sedang Hitu merupakan bandar. Akan tetapi bagi kapal-kapal Portugis, jarak Hitu-Banda kurang menguntungkan, dimana rempah-rempah dari Banda dibawa oleh orang-orang Banda, dan diduga karena itu Portugis dalam tahun 1531 menghadiahkan pulau itu kepada Kaicil Daroes (Darwis), Kimelaha sultan Ternate36.

Di masa pertama ini telah dilakukan penginjilan. Tiap flotila Portugis membawa padri-awam yang bertugas untuk mengatur soal-soal kerohanian awak kapal; di mana kapal berlabuh, mereka menyebar agama Kristen kepada penduduk setempat. Usaha penginjilan secara teratur dimulai pada waktu pendirian benteng-benteng dan loji-loji, pada waktu padri-padri mulai datang. Fakta pertama mengenai penginjilan di Maluku adalah sekitar tahun 1523; waktu Antonio de Brito datang untuk mendirikan benteng di Maluku, ikut serta beberapa biarawan Fransiscan. Mengenai missi pertama ini tidak ada banyak kabar. Baru dalam tahun 1534 (semasa pemerintahan Tristao de Atayde), diadakan lagi penginjilan secara serius, dipelopori seorang pedagang Portugis, Goncalves Veloso, yang tinggal di Moro. Kolano dari Mamoya (suatu tempat di Moro), yang masih mengikuti kepercayaan kuno menghadapi serangan-serangan dari tempat-tempat sekitarnya yang sudah memeluk agama Islam. Menurut Visser37, ia datang minta bantuan dari Veloso, yang menganjurkan agar Kolano itu mencari perlindungan dari Portugal. Dan untuk mendapatkan perlindungan itu, ia harus menjadi Kristen, bersama rakyatnya. Hal ini terjadi dan Kolano Mamoya dibaptis di Ternate dengan segala upacara, dimana hadir juga Tristao de Atayde. Sekembalinya ke Moro, “Dom Joao” (nama baptisannya) disertai 2 orang padri, Simon Vaz dan Fransisco Alvares. Tristao de Atayde terkenal dalam sejarah Maluku sebagai seorang yang kurang bijaksana. Semasa pemerintahan terjadi beberapa hal yang oleh orang Maluku tidak dapat diterima, dan karena itu raja-raja mengadakan perjanjian rahasia untuk menjatuhkan Portugis dan kawan-kawannya. Salah seorang korban adalah “Dom Joao”, yang dibunuh dalam peperangan yang terjadi, dan missi pertama ini berakhir dalam tahun 153638.

Masa pemerintahan de Atayde berakhir dengan penahanan sultan Ternate, Tabarija (Tabriji), atas tuduhan mengadakan komplot terhadap Portugis. Ia dibuang ke Goa, dimana ia memeluk agama Kristen, setelah berkenalan dengan seorang bangsawan Portugis, Jordao de Freytas, yang menjabat pada pemerintahan raja muda Portugis di Goa, tetapi telah sering datang ke Maluku. Tabarija mengambil nama baptisan “Dom Manuel”. Dalam tahun 1537, ia menghadiahkan pulau Ambon dan Ceram kepada de Freytas yang di kemudian hari menjabat capitao di Maluku. Sementara itu adiknya Tabarija, Hairun39, diangkat menjadi sultan oleh Portugis.

Tristao de Atayde diganti oleh Antonio Galvao (1536 – 1540), seorang yang ulung dan bijaksana serta jujur, yang menaruh banyak perhatian terhadap keadaan masyarakat dan sejarah Maluku dan kepulauan lainnya.

Di Ambon, dimana Portugis ingin mendirikan benteng di Hitu, yang oleh orang Hitu kurang disenangi, Portugis, atas anjuran dan nasehat Hitu, mencari tempat berlabuh yang terlindung dari angin timur, di pantai selatan dan sampailah mereka di Hatiwe-Tawiri. Orang Hitu menganjurkan kedua tempat ini karena “termasuk Ulisiwa dan makan babi”. Tetapi di sinilah, menurut mereka, orang Portugis akan mendapatkan orang-orang yang dapat membantu mereka memelihara kapal-kapal mereka. Di sanalah orang Portugis menetap dan kawin dengan gadis-gadis pribumi. Akan tetapi orang Hitu yang menganggap Hatiwe-Tawiri tetap sebagai daerah kekuasaan mereka, juga datang menetap di sekitar 2 tempat itu, dan terjadi lagi bentrokan-bentrokan. Oleh sebab itu pemuka Hatiwe (yang kemudian disebut Orangkaya Hatiwe) dalam tahun 1536, bersama kakak putrinya dan pengikut-pengikutnya pergi ke Malaka dan terus ke Goa untuk minta bantuan Portugis terhadap gangguan dari Hitu itu. Di sana mereka masuk agama Kristen dengan mengambil nama “Dom Joao” dan “Dona Isabel”.

Bantuan yang diminta baru dapat dikirim oleh Galvao dalam tahun 1537 dan suatu armada dari 25 cora-cora dengan pasukan-pasukan yang terdiri dari 400 orang Ternate dan Tidore dan 40 orang Portugis dipimpin oleh Diego Lopez de Azevedo tiba di Ambon. Pihak Hitu yang telah mendatangkan bantuan dari Jepara, Makassar dan Banda, terkalahkan, dan Portugis dengan armadanya menyusur seluruh pantai Ambon untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan tempat-tempat di sana. Pada kesempatan itu diadakan juga penginjilan oleh padri-padri yang ikut serta ke Nusaniwe dan Amantelu40.

Kemenangan ini tidak bertahan lama. Oposisi di Hitu terhadap penginjilan terus berjalan dan dalam tahun 1538 itu juga Portugis diusir dari loji mereka di pantai utara. Mereka menyeberangi pegunungan jazirah Hitu diantar oleh kepala negeri Hukunalo sampai di pantai selatan dimana mereka mengadakan perkampungan pada ujung mulut Teluk Dalam, yang sekarang dinamakan Poka41. Kemudian mereka berpindah dekat tanjung yang diberi nama Cabo Martim Affonso42. Perkampungan ini letaknya dekat negeri Rumahtiga, tidak jauh dari Hatiwe-Tawiri.

Masa pemerintahan Antonio Galvao merupakan masa yang tenang dalam sejarah Maluku. Ia terkenal sebagai seorang ahli pemerintahan yang jujur dan memperhatikan nasib dari bawahannya. Umpamanya untuk memudahkan hidup daripada mereka yang ingin menetap di Maluku, ia membawa alat-alat rumah tangga yang lazim dipakai di Portugal.

Galvao dapat kepercayaan dari raja-raja di Maluku, sehingga persekutuan dari raja-raja tersebut untuk melawan usaha penginjilan dapat dibubarkan. Penginjilan dalam masa itu meluas ke Moro dan Jailolo dimana Kolano Sabia, keponakan dari raja Jailolo memeluk agama Kristen. Pada suatu ketika anak-anak dari raja-raja di sana dikirim ke Ternate untuk mengikuti pelajaran pada Seminari Ternate yang telah dibentuk oleh Galvao. Kurikulum meliputi pelajaran agama, menulis dan berhitung, dan dalam waktu singkat pemuka-pemuka lain di Maluku mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah itu pula.

Walaupun terdapat suasana tenang, para pemuka Islam di Ternate tetap memusuhi perluasan agama Kristen. Diantaranya diadakan suatu peraturan yang melarang seorang Islam memeluk agama lain; apabila hal ini terjadi maka orang yang bersangkutan akan diasingkan dan harta bendanya menjadi milik umum. Bila seseorang yang sudah kembali ke Islam kemudian menjadi Kristen lagi, ia dikenakan hukuman mati. Persaingan antara kedua agama itu tetap berlangsung tetapi Hairun, sultan Ternate pada waktu itu, adalah kawan baik dari Galvao dan menjunjung pejabat Portugis itu. Pada waktu Galvao harus mengakhiri masa jabatannya, para Sultan dan rakyat Maluku mengirim surat permintaan kepada raja Portugal supaya Galvao menjadi Kapitan Mor di Maluku seumur hidup. Nama julukan yang diberikan padanya adalah “O Pai” (Bapak).

Sesudah Galvao dipanggil kembali, tidak ada lagi seorang wakil pemerintah Portugal yang demikian bijaksana dan ulung dalam memerintah kepulauan itu, dan mewakiliki kepentingan negaranya. Sesudah masa itu hubungan antara sultan-sultan di Maluku dan pemuka-pemuka di Ambon-Lease dengan pihak Portugis tidak lagi sebaik semasa Galvao. Diketahui bahwa Galvao telah menggunakan segala harta bendanya untuk kemajuan daerah yang dikuasainya, tetapi sekembalinya di Portugal ia tidak dihiraukan dan akhirnya meninggal dunia di rumah sakit dengan keadaan yang menyedihkan43.

Sejarah hubungan politik antara Portugis dengan pemuka-pemuka di Maluku, Ambon-Lease dan kepulauan lainnya antara tahun 1540 sampai 1605 merupakan suatu rangkaian pertikaian antara para pendatang dan penduduk pribumi untuk mempertarungkan kekuasaan atas kepulauan itu, diselingi dengan kejadian-kejadian yang akhirnya menentukan siapa yang jadi pemenang. Dalam masa itu penginjilan telah menunjukkan kegiatan-kegiatan yang meningkat sesudah Fransiscus Xavier tiba di Maluku dan telah mengatur pengiriman padri-padri ke daerah-daerah itu. Akan tetapi dimana usaha penyebaran agama Kristen berdampingan dengan usaha perluasan kekuasaan politik dan perdagangan, dapat diduga bahwa dari pihak kerajaan-kerajaan di Maluku dan kepala-kepala tempat di Hitu yang juga menjadi pendekar dari agama Islam, mengadakan reaksi atas kegiatan itu. Dan walaupun pada suatu ketika keempat kerajaan terbagi atas golongan yang membela agama Islam dan golongan yang menganut agama baru, akhirnya terdapat suatu kristalisasi keadaan yang menentukan dan yang masih berlaku dalam abad ke-20.

Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu, pada tahun 1537, Sultan Tabarija dari Ternate dibuang ke Goa. Di sana ia bertemu dengan seorang bangsawan Portugis, Jordao de Freytas, yang telah seringkali datang ke Maluku. Menurut Tiele44, de Freytas menasehatkan Tabarija supaya menjadi Kristen untuk mendapatkan dukungan atas usahanya membuktikan bahwa ia tidak terlibat dalam suatu komplotan. Nasehat ini dituruti dan Tabarija menjadi Kristen dengan mengambil nama “Dom Manuel” bersama ibunya yang mengambil nama “ Dona Isabela” yang diberikan kepada mereka oleh raja muda Nuno da Cunha dan Jordao de Freytas. Ia kemudian menghadiahkan Pulau Ambon, yang dianggap miliknya, kepada Jordao de Freytas. Raja Portugal, Dom Joao, demikian terharu oleh kejadian itu sehingga ia memerintahkan kepada Martim Alfonso de Souza, Gubernur di Goa, untuk mengembalikan Tabarija pada kedudukannya. Pemberian Tabarija kepada de Freytas diteguhkannya dengan Decret Raja dan de Freytas diangkat menjadi capitao di Maluku (1543).

Keputusan Raja Portugal untuk mengembalikan Tabarija sebagai Sultan menimbulkan suatu kesulitan, yang diselesaikan oleh de Freytas dan pejabat-pejabat pemerintah di Maluku dengan keputusan menawan Sultan Hairun dan mengirimkannya ke Malaka untuk diadili. Sultan Hairun yang diangkat oleh Portugis itu ternyata telah membuktikan keunggulannya sebagai kepala pemerintahan dan telah diakui umum di Ternate sebagai Raja. De Freytas terpaksa akhirnya menangkapnya juga beserta Jogugu Samarau untuk dibawa ke Malaka. Ternyata setibanya Hairun di Malaka (1545), Tabarija telah meninggal dunia sehari sebelumnya, dan dalam testamennya ia sebagai Raja Kristen, telah menunjuk raja Portugal sebagai ahli warisnya. Pemerintahan Portugal di Malaka bermaksud mengirimkan Hairun kembali, tetapi ia menolak dan meminta agar dikirimkan ke Goa guna bertemu dengan Raja muda untuk mendapat keputusan resmi dalam persoalan ini. Akhirnya ia dikembalikan ke Ternate dan dipulangkan pada kedudukannya sebagai raja.

===== bersambung ====

Catatan Kaki

1.         “Tiang” adalah singkatan nama kecil dari “Christian”

2.        Dalam tahun 1965

3.        Baguala dalam bahasa asli berarti “menghubung” (kata “paukala”)

4.        “Passo” berarti pintu gerbang, jalan. Cf. Jan Huygen van Linschoten “Itinerario” (ch.28) tentang kota Goa

5.        Lihat lampiran VI

6.       Ibid

7.        Lihat lampiran V

8.        Paramita R Abdurachman Some Portuguese Loanwords in the Vocabulary of Speakers of Ambonese Malay in Christian Villages of Central Moluccas, Lembaga Research Kebudayaan Nasioanl – LIPI, (Jakarta, 1972)

9.       “Barang” dalam logat Melayu-Ambon berarti “hal”

10.     Lihat terutama negeri-negeri Kristen di jazirah Leitimor dan Hitu; begitu pula negeri-negeri Kristen di Lease

11.       Lihat terutama negeri-negeri Islam di jazirah Leitimor dan Hitu; begitu pula negeri-negeri Islam di Lease

12.      W. Ruinen, Overzicht van de Literatuur betreffende de Molukken (1550 – 1921).  (Amsterdam 1926): Jilid kedua (1923-1933) oleh Tutein Nolthenius, 1935

13.      Aert Gijsels, Grondigh Verhaal van Amboina, 1621, dalam Kroniek van het Historisch Genootschap to Utrecht. XXII.  (1871). Aert Gijsels mengarangnya pada waktu ia menjabat “Opperkopman over de Comptoiren van Amboina ende de dependentien van dien”.

14.      G.E. Rumphius, Ambonsche Landsbeschrijving (1670)  dalam Koninklijk Rijksarchief di Negeri Belanda di s’Gravenhage. Sampai kini dokumen ini belum ditranskripsikan atau diterbitkan secara resmi

15.      Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, II: Beschrijving van Amboina. Ambonsche Zaaken, III, 1 (Dordrecht, 1724-1726)

16.     G.E. Rumphius, “Ambonsche Historie” dalam B.K.I (1910)

17.      G. Schurhammer, S.J., Die zeitgenossischen Quellen zur Geschichte Portugiesisch-Asiens und zeiner Nachbarlander (1538-1552) zur Zeist des hl. Franz Xavier. (Leipsig 1932)

18.      Ibid. Juga E.C. Ryder, Materials for West African History in Portuguese Archives. (University of London, 1966)

19.     G.P. Rouffaer, Encyclopaedia-artikelen. T.t. V, 86 (1930)

20.    Joao de Barros e Diogo de Couto, Da Asia, 24 jilid, edisi baru (Lisboa, 1777 – 1788)

21.      Lihat C.R. Boxer, “Some aspect of Portuguese historical writing” dalam Introduction to Indonesian Historiography, Sudjatmoko, ed. (Cornel University Press, 1965). Juga I.A. Macgregor, some aspect of Portuguese Historical writing of the sixteenth and seventeenth centuries on South East Asia . (London, 1961)

22.     “Pararaton” dan “Nagarakartagama” : Prof. Dr. H. Kern, Het Oud-Javaansch Lofdicht Nagarakertagama van Prapanca. (s’Gravenhage, 1919)

23.     A. Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires (London 1944)

24.     Hk Deinum-De Wit, De Kruidnagel  dalam Dr. C.J.J.  van Hall dan C. van de Koppel, De Landbouw in de Indische Archipel,  jilid II B, 684 dst (s’Gravenhage 1949)

25.     A.B. de Sa, Documentacao,...Insulindia,  jilid III no 23 BNI Fundo Ceral no 923, texto I parte 2, cap 3

26.    Lihat catatan nomor 24

27.     J.A. Robertson, Magalhaens Voyage around the world by Antonio Pigafetta (Cleveland, 1906)

28.     “ghomode” = gumudi? “Saranghani” pulau terselatan Mindanao, USAF Operational Navigation Chart, 1862, One-L-12, “Chianche” = cengkih

29.    Insulindia, op cit IV: Descripcao Sumetria das Moluccas e de Banda  BPE: Codice CXVI

30.    D.G.E. Hall, A History of South East Asia, ch II, 198 (London, 1964)

31.      Lihat G.J. Schurhammer, dimana disebutkan bahwa de Albuqueque meneruskan surat-surat dari Sultan Ternate. Kedua surat ini tertanggal awal tahun 1514 yang ditulis pada kertas kuning sebagaimana biasanya digunakan oleh Sultan-sultan Melayu (aslinya telah hilang), menggambarkan bahwa pada waktu itu ada 4 raja yang memerintah 4 kerajaan. Sultan Ternate “Bayam Ciroz” (Bayan Sirullah) yang menandatangani surat-surat itu mengutus putranya sebagai wakilnya ke Malaka dan juga menggambarkan barang-barang dagangannya yang dibawa serta. Ia berpendapat bahwa 1 raja untuk empat daerah (pulau) itu cukup dan karena itu minta bantuan raja Portugal untuk mendapat senjata

32.     Lihat catatan no 27

33.     M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and 1630 (The Haque, 1962)

34.     Amarro de Guerreiro, Panorama Economica das describemento Henriquena (Lisboa 1961)

35.     B.J.J. Visser M.S.C, Onder Portuguese Spaansche Vlaag. De Katholieke Missie van Indonesia 1511 – 1605  (Amsterdam, 1925)

36.    Insulindia, op cit IV, No 7, Dokumen ANTT Chanceleria de D Joao, 3. L. 9

37.     Lihat catatan nomor 35

38.     Ibid

39.    Saudara dari ibu lain. Tabarija/Tabariji adalah putra dari Ratu

40.    Amantelu adalah soa dari Soya. Lihat  R. Kennedy, Fieldnotes on Indonesia : Ambon and Ceram, 1949-1950, Harold C. Concklin ed. Mungkin sekali peristiwa inilah yang dimaksud Rumphius (diulang oleh Valentijn) yang menyebut pembaptisan Raja Soya “tiga tahun sesudah Portugis tiba di Pulau Ambon”. Yang dimaksud adalah tiga tahun sesudah Portugis berkampung di Hatiwe-Tawiri

41.      Dari perkataan Portugis “boea” – mulut?

42.     Dalam logat Melayu-Ambon menjadi “Tanjung Martafons”

43.     P.A. Tiele, De Europeers in den Maleischen Archipel, BKI (1877-1887), Bag II, bab 6

44.     Ibid

 

Catatan Tambahan

a.        Ini tidak bermakna bahwa Inggris berkuasa sejak tahun 1812-1815, tetapi harus dimaknai dalam periode tahun-tahun itulah Inggris berkuasa. Khususnya di Maluku, Inggris berkuasa sebanyak 2 kali yang disebut sebagai Pemerintahan Interegnum atau Peralihan/Transisi yaitu pada 1796 – 1803 dan 1810 – 1817.

b.     Nama lengkap Elcano adalah Juan Sebastian Elcano atau kadang-kadang ditulis Sebastian del Cano

Tidak ada komentar:

Posting Komentar