Selasa, 13 Juni 2023

Relasi Timbal-Balik : Sistem Siwa-Lima di Maluku Tengah

(bag 1)

[Valerio Valeri]

  1. Pendahuluan

Orang Maluku pasti familiar dengan istilah Siwa-Lima atau terminologi “mistik” yaitu Patasiwa-Patalima, atau Ulisiwa-Ulilima atau Ursiwa-Urlima. Namun haruslah diakui, bahwa sejarah asal usul tentang hal itu tidaklah diketahui secara pasti dan benar. Pemahaman Patasiwa/Ulisiwa sebagai kelompok 9 dan Patalima/Ulilima sebagai kelompok 5  hanyalah “simplikasi” dari definisi dan asal usul yang tidak kita ketahui secara jelas atau pasti.

Para penulis, khususnya penulis Belanda telah menulis tentang hal ini, tetapi itu adalah penafsiran mereka yang tentunya ada yang sependapat atau menolaknya. Salah seorang sarjana yang pernah mengkajinya adalah antropolog Italia, almarhum Valerio Valeri, yang pernah melakukan penelitian lapangan di Seram Tengah. Ia menulis artikel dengan judul Reciprocal Centers : The Siwa-Lima System in the Central Moluccas, yang dimuat dalam buku The Attraction of Opposites : Thought and Society in the Dualistic Mode. Buku ini dieditori oleh David Maybury-Lewid dan Uri Almagor, dan diterbitkan oleh Ann Arbor University of Michigan Press pada tahun 1989. Artikel Valerio Valeri ini adalah 1 dari 15 artikel yang dimuat pada buku tersebut, pada bab 5, halaman 117 – 141. 

Artikel sepanjang 25 halaman ini terdiri dari 22 halaman kajian, 3 halaman bibliografi dan keterangan dari penulis, 9 buah catatan kaki, 4 gambar ilustrasi. Perlu diperjelas bahwa artikel Valerio Valeri dengan judul ini adalah artikel yang diringkaskan dari materi yang lebih panjang dengan judul berjudul Parts and Wholes : Social and Conceptual Dualism in the Cental Moluccas.

Kami menerjemahkan artikel ini untuk dibaca dan menambah pemahaman kita tentang Siwa dan Lima atau Siwa-Lima dari perspektif analisis antropologi, dan membaginya menjadi 2 bagian serta hanya menambahkan beberapa catatan tambahan dan sedikit gambar ilustrasi. Akhir kata semoga bermanfaat.

 
  1. Terjemahan

Maluku Tengah dan Selatan terkenal dengan sistem “bagian” yang pernah mencakup semua masyarakat dari Seram hingga Aru di Tenggara, dan bahkan sekarang penting secara ideologis. Saya menyebutnya sistem ini Siwa-Lima, karena 1 bagian diidentifikasi dengan indeks angka sembilan/9 [siwa], dan yang lainnya dengan indeks angka lima/5 [lima].

Kedua indeks tersebut diawali atau diakhiri dengan kata yang berbeda di area/wilayah yang berbeda. Di Seram, diakhiri dengan kata pata atau fata dan kadang-kadang, terutama di masa lalu, menjadi uli. Mereka juga diawali dengan kata taun. Di Ambon, kedua indeks angka itu diakhiri dengan kata uli, dan di Banda, Kei, Aru, dengan kata ur atau uri  (Van Hoevell 1890; Sachse 1907: 60; Seran 1922: 33; Duyvendak 1926: 77-78; de Vries 1927: 144; Jensen 1948: 152-158; Nutz 1959: 89; Cooley 1962: 13-18; Barraud 1979: 62; Valeri, catatan lapangan).

[kata] Uli diberi keterangan sebagai “saudara” atau “lagi dan lagi” atau “orang”, jadi [kata] Ulisiwa berarti “sembilan fratria” atau “sembilan kali” atau “sembilan orang” (lihat sumber yang dikutip Duyvendak 1926: 77, catatan kaki nomor 2). “Sembilan orang” atau “nine-people” juga merupakan arti yang diberikan kepada kata Patasiwa oleh Jensen dan Niggemeyer (1939: 72). Duyvendak (1926: 78, catatan kaki nomor 2) menghubungkan kata pata dengan kata hata-i atau pata-i dalam bahasa Paulohi (Seram bagian barat), sebuah kata yang berarti “batang pohon” atau “suku”, tetapi ia mengakui bahwa kata badan (“body”) dalam bahasa Melayu mungkin telah menyatu dengan kata asli bahasa Seram. Dia juga mengingatkan kita bahwa sumber awal abad ke-18, Valentijn ([1724-1725]) memberi arti untuk kata patan sebagai “perkumpulan/lembaga/dewan” (lihat juga Ludeking 1868: 56). Jadi Patasiwa bisa berarti “sembilan batang” atau “sembilan suku” atau “sembilan dewan” (Duyvendak 1926)1

Kata Taun digunakan terutama di daerah Teluti di Seram Tengah bagian selatan, yang bermakna “set/himpunan” atau “konfederasi” (Valeri, catatan lapangan). Saya akan menyebut 1 bagian sebagai “bagian-Lima” atau secara sederhananya sebagai “Lima”; dan bagian yang lain sebagai “bagian-sembilan” atau “bagian-Siwa” atau dengan sederhananya sebagai “Siwa”. Setiap masyarakat yang termasuk dalam suatu bagian (moiety) akan disebut sebagai “kelompok Lima” jika termasuk dalam “bagian Lima” atau “Lima-moiety”, atau sebagai “kelompok sembilan” atau “kelompok Siwa” jika termasuk dalam “bagian sembilan” atau “Siwa-moiety”. Saya juga akan mengatakan – mengikuti orang-orang di Seram Tengah dimana saya telah melakukan penelitian lapangan – bahwa suatu kelompok adalah “Siwa” atau “Lima”, yang berarti itu menjadi milik dari “bagian siwa” atau “bagian lima”.

Terlepas dari indeks numerik mereka, “bagian-bagia” itu memiliki atau memiliki tanda simbolis lainnya, seperti “laki-laki” dan “perempuan”, “di dalam” dan “di luar”, “ke arah darat” dan “ke arah laut”, “asli” dan “pendatang”, dan ­– lebih jarang digunakan – “kanan” dan “kiri”, “hidup” dan “kematian”, “hitam” dan “putih”, dan seterusnya. Tanda yang sama tidak selalu dikaitkan dengan bagian yang sama di semua wilayah. Misalnya, dilaporkan bahwa di Seram bagian barat, “laki-laki” diasosiasikan dengan bagian Siwa, dan “perempuan” dengan bagian Lima (Jensen 1948: 46,53,56,72, 231-232). Tetapi di Ambon dan Seram Tengah, masyarakat di kedua bagian itu, sepakat bahwa Lima adalah “laki-laki” dan Siwa adalah “perempuan” (Manusama 1977: 34-35, Valeri, catatan lapangan). 

Peta pembagian Ulilima-Ulisiwa di P. Saparua menurut Chr.Fr van Fraasen

Anehnya, baik di Maluku Tengah maupun Selatan, kelompok Siwa biasanya dihubungkan dengan arah “pedalaman” karena dianggap “asli”, sedangkan kelompok Lima, diparadigmakan sebagai “pendatang” dihubungkan dengan arah ke laut (Van Ekris 1861: 319; Riedel 1886: 90; Jensen 1948: 50,57; Ribbe 1888: 172; Valeri, catatan lapangan). Tetapi beberapa sumber menyatakan bahwa ada korelasi yang berlawanan (Duyvendak 1926: 72).

Lokasi tradisional kelompok Siwa dan kelompok Lima di sebagian besar pulau, mendukung pandangan bahwa di masa lalu penggunaan saling berlawanan atau kontras secara sering dimana Siwa = “asli” versus Lima = “pendatang” tidaklah sembarangan. Masyarakat Lima sering berada di daerah pesisir, seperti di bagian tenggara Seram, atau di daerah-daerah yang langung terlibat dalam perdagangan, seperti di semenanjung Hitu di Ambon, dan di bagian utara Seram. Bahwa Lima juga terkadang terletak di antara 2 daerah/wilayah Siwa, seperti di Seram dan Kei Kecil (Duyvendak 1926: 136) menyiratkan bahwa mereka menyelipkan diri. Di sisi lain, di daerah yang paling komersial, seperti semenanjung Hoamoal di Seram bagian barat atau Kepulauan Banda, kedua bagian tersebut sama-sama terlibat dengan pihak luar dan tinggal di dekat pantai. Adalah hal yang tidak mungkin melihat/memahami kontras asli-pendatang, darat-laut, hanya sebagai refleksi belaka dari situasi aktual.

Sampai kedatangan kekuatan kolonial Eropa, kedua bagian itu termasuk orang-orang pagan/kafir, tetapi kelompok Muslim berada di bagian Lima, sebagaimana layaknya relasinya dengan “luar”. Sebaliknya, bagian Siwa dikatakan sebagaian besar terdiri dari orang-orang pagan. Tetapi ketika Portugis mendirikan benteng mereka di Ambon di wilayah Siwa pada abad ke-16, dan anggota-anggota dari bagian sembilan bekerja sama dengan mereka dan bahkan menganut/masuk Kristen, agama itu menjadi terkait dengan Siwa. Persatuan itu menguat setelah Belanda menguasai Maluku Tengah dan bersekutu dengan Siwa Seram (Valentijn [1724-1726]: 2: 281; Van der Crab 1862: 212-213; Tiele dan Heeres 1886: 1: 196,204,244; Duyvendak 1926: 81-82, Wessels 1934: 29-30; Jacobs 1980: 11-12, Rumphius n.d, 191).

Asosiasi simbolis dan faktual Islam dengan Lima serta Kristen dengan Siwa mengkondisikan sejarah konversi di Maluku Tengah, dimana kelompok sembilan cenderung masuk/menganut Kristen, kelompok Lima masuk/menganut Islam. Lima (dan pagan) Huaulu di Seram Tengah, di antaranya saya melakukan sebagian besar kerja lapangan saya dari tahun 1972 hingga 1973, masih percaya pada hubungan antara bagian-bagian dan agama ini. Mereka berulang kali mengatakan kepada saya, “Kami tidak punya niat untuk pindah agama, tetapi jika kami harus, itu harus ke Islam, bukan ke Kristen, karena kami adalah Lima”. Di tempat lain, saya mengatakan bahwa Eropa, menjadi Kristen, adalah Siwa. Ini menggemakan pandangan orang Seram abad ke-17 bahwa orang Belanda adalah Siwa (Rumphius 1910: 2: 84)2.

Penting untuk disadari bahwa relasi antara bagian dan kelompok yang dicakupnya dipahami sebagai relasi tipe/token. Dengan kata lain, suatu kelompok diklasifikasikan sebagai Lima atau Sembilan (Siwa) karena dianggap mencontohkan sejumlah fitur yang terkait dengan bagian-Lima atau bagian-Siwa/Sembilan. Prinsip ciri ini adalah sifat numerik, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dalam masyarakat nyata.

Pandangan yang sering dipegang, seperti yang akan saya tunjukkan secara lebih rinci nanti, adalah kelompok-Siwa/Sembilan terdiri dari 9 unit (atau dapat dianalisis seperti itu dengan cara tertentu), sedangkan kelompok-Lima terdiri dari 5 unit. Juga umum adalah pandangan bahwa ritual, musik, tarian, dan seterusnya, diatur oleh skema lima-bagian berada dalam kelompok-Lima, dan oleh skema sembilan-bagian berada dalam kelompok-Siwa (lihat Seran 1922: 288; Valentijn [1724-1726]: 2: 87; Van Rees 1866: 106; Tichelman 1922; Duyvendak 1926: 78-79).

Indeks numerik, oleh karena itu memberikan ritme dasar yang, setidaknya dalam teori, mengatur aksi sosial di setiap bagian. Secara lebih umum, semua fitur yang terkait dengan masing-masing bagian adalah kategori budaya dasar yang dianggap berasal dari masyarakat yang menjadi milik mereka. Dalam hal ini, Siwa dan Lima harus dilihat sebagai 2 kategori yang paling umum – dan karena itu tipe – dari kelompok. Pada level tertinggi, oposisi Siwa dan Lima adalah oposisi kategoris. Namun, pertentangan ini diterapkan pada relasi antara kelompok teritorial yang berbeda di setiap pulau atau kepulauan besar; pada tingkat ini oposisi adalah salah satu kelompok. Memang setiap kepulauan (seperti Kei, Aru, atau banda) atau pulau (seperti Ambon atau Seram) di bagi menjadi wilayah Lima dan wilayah Siwa. Saya menyebutnya “bagian lokal” dari bagian.

Secara potensial, kelompok-Siwa dari berbagai kepulauan dapat menggabungkan kekuatan melawan kombinasi kelompok-Lima yang analog. Tetapi tidak ada Athena atau Spartab di Maluku Selatan. Solidaritas lokal dan kesulitan untuk mengembangkan dan mempertahankan aliansi antar pulau tanpa sistem kekuasaan yang tersentralisasi tampaknya telah membatasi kemungkinan ini. Namun demikian, sampai Belanda mengalahkannya pada pertengahan abad ke-17, komunitas Hitu, yang memimpin kelompok-Lima di Ambon, telah mengembangkan sistem ikatan antar pulau di sebagian besar Maluku Tengah dan sekitarnya. Jadi Hitu memiliki relasi politik dengan Lima di Seram bagian selatan (Valentijn [1724-1726]: 1: 240, 2: 69-70; Rumphius 1910: 1: 83) dan dengan Lima di Banda (Van Vollenhoven 1918: 2: 279). Selain itu, salah satu keluarga penguasa Hitu memiliki hubungan kekerabatan dengan garis keturunan penguasa Lisabata, pemimpin Lima di Seram Utara, serta dengan garis keturunan penting Luhu, sebuah kerajaan Lima di semenanjung Hoamoal di Seram. Ikatan kekerabatan juga menyiratkan ikatan dengan kesultanan Jailolo atau Bacan di Maluku Utara (tergantung versinya; lihat Valentijn [1724-1726]: 1: 236,270-271, 2: 55-56; Manusama 1977: 21), yang berpengaruh di Maluku Tengah. Hitu juga menjalin aliansi politik dengan kesultanan Ternate, di Maluku Utara (Ridjali 1977: bab 8; Valentijn [1724-1726]: 2: 240). Tampaknya tidak ada jaringan yang sebanding yang berkembang di antara Siwa. Di sisi lain, Belanda mampu memobilisasi Siwa dalam skala besar untuk keperluan militer, berkat pengaruh 3 “raja” Siwa, yaitu –Sahulau, Sumit dan Siseulu – di Seram bagian barat (lihat de Vlaming van Oudsthoorn 1650-1651: 119; Valentijn [1724-1726]: 2:72-75, 78-79, 80-84).

Meskipun jaringan regional yang agak luas tampaknya telah berkembang sebelum Belanda membentuk kontrol politik yang efektif di Maluku, jaringan yang sangat penting berada pada tingkat yang lebih terbatas, di setiap kepulauan atau wilayah yang luas. Setiap wilayah terpisah yang diklasifikasikan sebagai  Siwa atau Lima tampaknya termasuk dalam suatu bentuk tatanan konfederasi. Di daerah-daerah yang paling banyak terlibat perdagangan, kelompok-kelompok tertentu cenderung menjadi pemimpin konfederasi ini, dalam proses embrio “pemusatan” politik, bukan sentralisasi. Mari kita pertimbangkan konfederasi yang dimulai dari Seram bagian barat. Di sana, semua Siwa adalah anggota konfederasi besar, 3 batang air/3 sungai, yang memiliki tempat pertemuan khusus dan pemimpin khusus setidaknya sampai awal abad ini (Seran 1922: 278-288; Duyvendak 1926; Jensen 1948: 70-125; Leirissa dkk 1982: 45-54).

Di sebelah timur dari konfederasi 3 batang air itu, tinggal mayoritas suku-suku yang berafiliasi dengan kelompok Lima di Seram. Suku-suku di utara yang lama berada di bawah pengaruh penguasa Lisabata memang sering dieksploitasi oleh mereka (Valentijn [1724-1726]: 2:55-56; Rumphius, n.d 111-112, 113, 114, 115). Lima ini juga memiliki tempat pertemuan – mirip dengan konfederasi 3 batang air – di sungai Sapalewa di bagian tengah utara Seram (Valentijn [1724-1726]: 2:59; Valeri, catatan lapangan). Di sebelah timur Lima ini adalah bagian kedua dari kelompok Siwa. Ini berada di bawah kepimpinan penguasa Manusela yang agak lemah, meskipun di selatan Siwa dihegemoni oleh komunitas Teluti yang kuat (Valeri, catatan lapangan; Roder 1948).

Seram Tenggara merupakan wilayah Lima lagi. Lima ini berada di bawah 3 penguasa (Kilmuri, Tobo, dan Werinama) dan terhubung dengan Lima di Seram Tengah bagian selatan melalui penguasa keempat, yaitu Sepa. Keempat penguasa Lima ini secara kolektif disebut Raja Empat (“empat raja” dalam bahasa Melayu) dan mereka sendiri dipersatukan oleh rujukan mereka pada “kelima”, seorang sultan eksternal (Valeri, catatan lapangan; Roder 1948: 24).

Di Ambon, sebagaimana telah disebutkan, kelompok Lima didominasi oleh Hitu; di Banda, masing-masing dari 2 bagian lokal terjalin erat, dan Lima tampaknya dipimpin 4 raja, serupa dengan 4 raja Lima di Seram Selatan dan 4 penguasa (perdana) Lima di Hitu3. Di Aru, masing-masing gugus dianggap dipimpin oleh seorang penguasa perdagangan (Kolff 1840: 194-195; Brumund 1845: 288-290; Van Eijbergen 1864: 557-558; Van Eijbergen 1866: 199; Muller n.d). Para penguasa yang berpengaruh berturut-turut mengklaim menguasai semua Siwa atau semua Lima di Kei juga (Bosscher 1855: 23-26; Van Eijbergen 1866: 254, 268-269).

Beberapa fakta ini cukup untuk menunjukkan bahwa sistem Siwa-Lima mengandaikan adanya konfederasi teritorial terpisah dan metatribal. Konfederasi, pada gilirannya, mengandaikan suatu sistem perdagangan (lihat Van Leur 1967). Dengan demikian, bukti sejarah tampaknya menunjukkan bahwa sistem bagian ini berkembang sebagai aplikasi dari prinsip dualistik yang menyebar secara budaya pada aliansi dan konflik regioanl yang disebabkan oleh perdagangan kuno rempah-rempah (cengkih dan pala) yang tumbuh di daerah ini. Selain itu, perbedaan yang sangat mencolok antara orang-orang yang berhubungan langsung dengan perdagangan pesisir dan mereka yang tinggal di pedalaman tampaknya sebagian telah memotivasi, setidaknya pada awalnya, pemisahan menjadi bagian-bagian.

Beberapa pengamat kuno (Rumphius, n.d, 197, 201; Valentijn [1724-1726]: 1: 249) mengakui bahwa sistem Siwa-Lima terkait dengan proses politik yang dipicu oleh perdagangan tetapi enggan melihatnya sebagai perkembangan yang otonom. Mereka lebih suka mendalilkan bahwa itu berasal dari perpanjangan ke selatan Maluku dari persaingan antara 2 kesultanan Maluku Utara, yaitu Ternate dan Tidore. Mereka membandingkan Siwa dan Lima dengan Guelf dan Ghibbeline di Eropa abad pertengahanc, yang masing-masing berhubungan dengan kepausan dan kekaisaran. Meskipun kesultanan terlibat dalam sistem Siwa-Lima4, pandangan ini tidak dapat diterima setidaknya karena 2 alasan. Salah satunya adalah bahwa pengaruh kesultanan tidak pernah meluas ke Banda, Kei, dan Aru, dimana sistem Siwa-Lima juga eksis (lihat Van der Chijs 1866: 73-74). Yang lain, adalah bahwa Siwa dan Lima tidak hanya membentuk “sistem 2 blok politik” (Barth 1981: 2: 72) tetapi lebih merupakan sistem gugus yang sebenarnya, karena mereka dulu dan sekarang adalah 2 bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Memang, seperti yang dicatat oleh Duyvendak (1926: 82), rumusan dan lagu kuno, serta surat dan perjanjian abad ke-17, semuanya menggunakan pasangan Siwa-Lima dalam arti “semua orang tanpa pengecualian” atau “totalitas” (untuk contoh, lihat de Jonge 1862-1909: 3: 317-318; Tiele dan Heeres 1886-1895: 1: 150-151, 3: 154-158, 204, 209-210; de Vlamingh van Oudsthoorn 1650-1651: 7). Bahwa Siwa dan Lima membentuk sistem bagian juga ditunjukkan oleh asosiasi mereka dengan kutub yang berlawanan seperti kanan dan kiri, laki-laki dan perempuan, yang bersifat kosmologis dan bukan sekadar politik.

Meskipun Siwa dan Lima membentuk sistem bagian, itu adalah sistem bagian dari jenis yang aneh. Misalnya ia menekankan, lebih dari sistem bagian di tingkat suku (lihat Davy 1922: 5-6), hubungan agonistikd dan konflik dari bagian. Siwa dan Lima mungkin secara konseptual saling melengkapi, tetapi pada awalnya mereka tampaknya tidak saling melengkapi dalam hal tindakan sosial. Memang secara tradisional mereka endogami, dan tidak ada pertukaran damai atau transaksi positif yang biasanya ada di antara mereka. Sebaliknya, mereka dikatakan sebagai “musuh luar” yang berhubungan hanya melalui perang (lihat Van der Crab 1862: 212; Tiele dan Heeres 1886-1895: 1: 204; Ludeking 1868: 59).

Lalu, dalam arti apa setiap bagian harus berkontribusi pada keberadaan yang lain??. Saya akan mencoba memberikan jawaban singkat untuk pertanyaan ini, melalui rekonstruksi tentatif dan agak hipotesis. Tidak mungkin melakukan sebaliknya, bukan hanya karena sifat implisit atau bahkan ketidaksadaran dari beberapa hubungan yang terlibat, tetapi juga karena sistem Siwa-Lima sebagian besar telah berhenti berfungsi. Selanjutnya, jenis bukti yang diperlukan untuk membangun model yang benar-benar memuaskan masih kurang dan memang tidak mungkin diperoleh secara etnografis pada saat ini, karena perubahan mendalam yang terjadi dalam sistem.

Saya telah mengembangkan sebuah model berdasarkan pengetahuan langsung saya tentang masyarakat Lima, yaitu Hualu di Seram Tengah, dan tempatnya dalam sistem Siwa-Lima. Saya berasumsi bahwa pandangan Huaulu secara struktural terkait dengan pandangan masyarakat lain dalam sistem tersebut; yaitu, saya berasumsi bahwa setiap pandangan masyarakat mencerminkan posisinya dalam sistem dan, yang paling penting, fakta bahwa ia termasuk dalam satu bagian dan bukan bagian lainnya.

Mempertimbangkan pandangan Hualu sebagai contoh permutasi Lima dari sistem, saya mencoba untuk merekonstruksi, berdasarkan bukti yang ada, permutasi Siwa, atau setidaknya variasinya. Modus saya mengandaikan bahwa sistem Siwa-Lima telah dihasilkan oleh dan hidup berdampingan dengan masyarakat yang melingkupinya karena strukturnya dalam beberapa hal terkait dengan struktural internal masyarakat tersebut. Relasi ini juga harus menjelaskan mengapa sistem itu fungsional; itulah mengapa reproduksi sistem Siwa-Lima berkontribusi untuk memungkinkan reproduksi internal masyarakat di dalamnya.

 

"Pria" di dalam dan "Wanita" di luar dalam Masyarakat Lima

Tatanan budaya Huaulu dicirikan oleh pertentangan yang kuat antara “dalam” dan “luar” desa. Bagian “dalam” mewakili keadaan sosial yang paling teratur, sedangkan bagian “luar” mewakili keadaan hubungan sosial yang kurang teratur atau sekadar kekacauan, meskipun, seperti yang telah saya tunjukan di kajian lain (Valeri 1989), kedua keadaan tersebut terkait secara dialektis.

Salah satu aspek dari kekacauan yang diasosiasikan dengan dunia luar adalah bahwa hal itu berkonotasi dengan ketidakcocokan dari aktivitas atau keadaan utama yang menentukan jenis kelamin: berburu dan pengayauan/potong kepala untuk laki-laki, menstruasi dan melahirkan anak untuk perempuan. Memang kegiatan atau keadaan ini, yang harus terjadi di luar desa, menyiratkan pemisahan laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang melakukan pengayauan/perburuan kepala dan sampai batas tertentu dalam perburuan harus dipisahkan dari perempuan karena membahayakan fungsi pemberi kehidupan mereka, sedangkan kontak dengan perempuan yang sedang menstruasi atau melahirkan membuat laki-laki tidak dapat berhasil dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas (cf. Valeri)5.

Bahwa budaya Huaulu mengasosiasikan keadaan ketidaksesuaian antara jenis kelamin dengan dunia yang tidak teratur di luar desa menunjukkan bahwa hal itu mengasosiasikan tatanan sosial di dalam dengan kesesuaian laki-laki dan perempuan, dan memang dengan pergaulan produktif mereka. Di sisi lain, dan agak paradoks, bagian dalam dipandang sebagai laki-laki karena laki-laki paling bertanggung jawab atas pemeliharaan tatanan sosial, dan oleh karena itu merupakan istilah yang tidak ditandai dalam oposisi laki-laki – perempuan seperti yang terjadi di dalam desa. Sebaliknya, perempuan adalah elemen tidak bertanda dalam oposisi seperti yang terjadi di luat, karena perempuan dianggap memiliki kedekatan yang lebih dekat dengan kekacauan di alam liar. 

Janganlah kita lupa, dalam perjalanan diskusi ini, bahwa kontras antara laki-laki di dalam dan perempuan di luar selalu merupakan fungsi dari pembalikan oposisi yang bertanda-tidak bertanda ketika kita bergerak dari dalam ke luar atau sebaliknya. Dengan kata lain, kontras laki-laki dan perempuan pada tingkat ini merupakan kontras dari penanda 2 keadaan hubungan jenis kelamin: yang satu dimediasi, yang lain tidak dimediasi.

Meskipun ada oposisi global antara hubungan tanpa perantara “perempuan” di luar dan hubungan yang dimediasi “laki-laki” di dalam, bagian dalam itu sendiri dibedakan dalam berbagai tingkatan yang ditandai secara seksual. Tingkat tertinggi diwakili oleh pusat desa, yang juga merupakan bagian yang paling laki-laki, karena merupakan tempat para laki-laki menari sendirian. Namun, bahkan tempat ini laki-laki dalam arti diasosiasikan dengan mediasi laki-laki dan perempuan: memang, perempuan diperbolehkan masuk ke sana ketika laki-laki menari, untuk menghormati mereka dengan hadiah. Tempat tarian laki-laki setidaknya tidak dapat dipisahkan dari rumah komunal yang berdekatan dengannya, yang melambangkan mediasi laki-laki dan perempuan di tingkat masyarakat global.

Mediasi kolektif ini diwakili – selama perayaan besar Kahua – oleh sebuah tarian di mana laki-laki dan perempuan diasosiasikan. Meskipun tarian tersebut melibatkan kedua jenis kelamin, namun dilakukan di beranda rumah “laki-laki”. Dengan demikian pada tataran masyarakat global yang diwakili oleh rumah komunal, mediasi laki-laki dan perempuan diasosiasikan dengan kategori laki-laki. Ini mencerminkan fakta bahwa laki-laki memungkinkan pesta itu melalui aktivitas ritual dan politik mereka.

Baik di rumah komunal maupun rumah "pribadi", beranda (ha ha) adalah laki-laki dan dapur (tuka) adalah perempuan. Namun dalam berbagai konteks, dapur wanitalah, bukan beranda pria, yang merupakan elemen tak bertanda di rumah pribadi. Memang dapur adalah “bagian dalam” rumah, di mana benda-benda pusaka yang mewakili identitas garis keturunan dan bahkan trofi berburu laki-laki (yaitu rahang bawah babi hutan dan rusa) dilestarikan/disimpan. Pembalikan ini seperti yang dibahas oleh Dumont (1978) dan Tcherkezoff (1983) mungkin menunjukkan perbedaan hirarkis antara dua tingkat mediasi (lihat gambar 1); tetapi harus diingat bahwa dalam konteks lain, khususnya ketika hubungan aliansi antara dua rumah dianggap, bagian rumah yang tidak bertanda adalah beranda. Namun, dalam kasus ini, satu rumah (dari kelompok pemberi istri) itu sendiri bertentangan dengan yang lain (rumah dari pengambil istri) sebagai "beranda laki-laki" (haha mana) menjadi "beranda perempuan" (haha pina) ( lih. Valeri 1975, 1976, 1980).

Pembalikan elemen tak bertanda, laki-laki atau perempuan, dari rumah mungkin mencerminkan kontras hierarkis antara pandangan rumah yang "melihat ke luar" dan "melihat ke dalam". Memang rumah didefinisikan baik oleh hubungan yang dibuat oleh laki-laki melalui pertukaran, maupun oleh produktivitas internal mereka, yang terkait dengan kesuburan perempuan dan sampai batas tertentu pekerjaan perempuan. Akan tetapi, adalah di luar cakupan esai ini untuk membahas pertanyaan-pertanyaan ini secara lengkap.

========= bersambung ======

 

Catatan Kaki

  1. Sebuah etimologi rakyat dari Seram bagian barat mengambil pata dari bahasa Melayu patah, “patah”, dan karena itu menekankan bahwa Siwa dan Lima adalah dua bagian dari keseluruhan yang dianggap asli (Krayer van Aalst, 1920: 98-101)
  2. Banda tampaknya merupakan perkecualian terhadap pandangan bahwa Siwa beragama “tradisional” atau Kristen dan Lima beragama Islam; ketika orang Eropa pertama kali tiba di Banda, semua orang Banda adalah Muslim. Namun, mitos tentang asal usul orang Banda yang masih bertahan – mungkin dengan banyak perubahan dan meminjam dari budaya orang Ambon – pengusiran sebagian besar penduduk asli oleh Belanda pada abad ke-17, menunjukkan pertentangan yang ditemukan di tempat lain. Mitos mengatakan bahwa 5 saudara kandung ­– disebut Urlima seperti bagian-Lima (Van Ronkel 1945: 126) – pergi ke Mekaah, dimana mereka membawa Islam, seperti yang tertulis pada teks “ tanah kami Negri Ursiwah, yang berarti Negri Sembilan [“sembilan desa dalam bahasa Melayu]” (Van Ronkel 1945: 127). Dengan demikian, sebuah oposisi dibuat antara Siwa “asli” yang semula pagan/kafir dan Muslim, dan Lima yang semula “imigran/pendatang”. (Ungkapan Negri Sembilan juga digunakan dalam Babad Keraton Bacan untuk menyebut Siwa Seram bagian barat; lihat Coolhas 1923: 447, 481, 506)
  3. Tentang empat raja Banda, lihat Valentijn [1724-1726] : 3: 29, 290-291; Beschrijvinge 1855: 78. Raja-raja ini disebutkan dalam kontrak pertama (1602) antara VOC dan masyarakat Bandae (de Jonge 1862-1909: 2: 536; Heeres dan Stapel 1907: 23; Van der Chijs 1866: 169-170). Satu raja adalah penguasa "kota" Dender dan Rosengein; yang lainnya memerintah Labetaka, Waier dan Salama. Karena laporan yang agak belakangan dan lebih akurat (Beschrijvinge 1855), “kota-kota” ini semuanya dikatakan sebagai Lima, kecuali Labetaka, yang sementara itu telah menjadi Siwa. Saya menyimpulkan bahwa keempat raja semuanya Lima pada saat kontrak pertama
  4. Mereka yang mempertahankan teori yang saya kritik biasanya menyiratkan bahwa satu bagian dikaitkan dengan indeks "sembilan" karena kesultanan yang sesuai dibagi menjadi sembilan unit, sementara yang lain "lima" karena struktur lima kali lipat dari kesultanan yang cocok dengan itu (Rumphius 1910: 1: 16; Ludeking 1868: 56). Anggapan ini jelas salah. Pertama-tama, kesultanan tampaknya harus berpindah sisi dalam perjalanan waktu. Semula, Ternate diasosiasikan dengan Lima, Tidore dengan Siwa (Tiele dan Heeres 1886-1895: 1:7; Rumphius n.d 83.191.201; Valentijn [1724-1726]: 1: 239.249; Brouwer 1612, dalam van der Chijs 1866: 62; lihat juga Van Ekris 1861: 314). Namun belakangan, hubungan yang berlawanan dilaporkan (lihat Riedel 1886: 88). Selain itu sultan Ternate, setidaknya setelah ia menjadi sekutu Belanda, mengklaim kedaulatan atas anggota kedua bagian/moieties tersebut, sebagaimana dibuktikan melalui surat atau proklamasinya kepada para pemimpin Maluku tengahf (Tiele dan Heeres 1886-1895: 1: 150-151 , 3: 154-158, 204, 209-210; de Jonge 1862-1909: 3: 317-318; de Vlamingh van Oudsthoorn 1650-1651).

Kedua, meskipun sedikit yang diketahui tentang struktur internal Tidore, tidak ada alasan untuk meragukan kemiripannya dengan Ternate (lihat van der Crab 1862: 319-320; untuk Tidore, lihat Encylopaedie van Nederlandsch-Indie, s.v. “ Tidore”).

Ketiga, Ternate menggabungkan lima dan sembilan dalam strukturnya. Dari catatan Valentijn ([1724-1726]: 1: 241-243) tampak bahwa Ternate bersifat dualistik dalam berbagai tingkatan. Oposisi utama adalah antara Soa Sio – “sembilan divisi” orang Ternate – dan Fala Raha (“empat rumah”) ditambah sultan dan tiga pejabat lainnya. Pada awalnya, tampaknya merupakan oposisi delapan-sembilan. Tetapi sultan dan ketiga rekannya bersama-sama mewakili satu kesatuan, kedaulatan. Jadi satu bagian negara (yang berkuasa) dicirikan oleh indeks numerik lima ("empat rumah" dan kedaulatan); bagian lainnya ditandai dengan sembilan. Sistem tersebut sesuai dengan sistem Siwa-Lima dimana sembilan melambangkan rakyat (asli), dan lima melambangkan penguasa (pendatang). Struktur ini dibagi lagi, tetapi saya tidak dapat membahasnya di sini secara lengkap

  1. Perempuan harus haid dan melahirkan di gubuk khusus di luar desa (Valeri 1989; R. Valeri 1977: 62), dan laki-laki harus menyembelih hewan dan manusia di luar Desa. Tidak ada hewan yang hidup di desa yang boleh dibunuh atau dibunuh, boleh dimakan oleh Huaulu. Aturan terakhir berlaku untuk hewan liar yang telah merambah ke desa.

 

Catatan Tambahan

  1. Phratry atau Fratri adalah kelompok keturunan atau kelompok kekerabatan di beberapa masyarakat suku
  2. Athena dan Sparta adalah 2 wilayah politik atau 2 wilayah di Yunani pada zaman Yunani Kuno. Kedua wilayah ini saling berbeda/terpisah secara jelas dan bermusuhan. Penulis menggunakan ilustrasi Athena dan Sparta untuk menjelaskan bahwa Patasiwa dan Patalima atau Ulisiwa dan Ulilima bukan seperti Athena dan Sparta
  3. Guelf dan Ghibbeline adalah suatu terminologi yang digunakan untuk 2 “faksi” politik yang masing-masing berpihak pada Paus atau Kepausan yaitu Guelf dan faksi yang berpihak/mendukung kekaisaran/kaisar yaitu Ghibbeline di Eropa abad pertengahan.
  4. Agonistik atau hubungan/perilaku agonistik adalah perilaku sosial yang terkait dengan pertarungan. Istilah ini memiliki artian yang lebih luas daripada perilaku agresif karena juga mencakup tindakan mengancam, menunjukkan kekuatan, mundur, memuaskan, dan berdamai.
  5. Kontrak pertama VOC dengan orang Banda terjadi pada tanggal 23 Mei 1602.
  6. Surat atau pernyataan dari Sultan Ternate ini tertanggal 25 Agustus 1609. Sultan Ternate pada periode ini adalah Sultan Hidayat (1606-1610). Hidayat menggantikan untuk sementara waktu, saat Sultan Saidudin  dibuang ke Manila pada tahun 1606.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar